Disusun oleh:
Shift/Kelompok: A/1
Perhitungan Tonisitas
Metode Ekivalen
Deksametason Na
0.18 0.44 0.18 x 0.44 = 0.0792
Fosfat
Benzalkonium
0.18 0.01 0.18 x 0.01 = 0.0018
klorida
Jumlah: 0.081 (Hipotonis)
Catatan: Larutan isotonis memiliki syarat batas sebesar 0.9%. Menurut
perhitungan didapatkan hasil sebesar 0.081%. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa sediaan hipotonis karena < 0.9 %. Agar larutan menjadi isontonis maka
dilakukan penambahan NaCl sebagai agen pengisotonis. Dengan perhitungan
sebagai berikut.
𝐠
0.9 % - 0.081 % = 0.819 % > 0.819 ⁄𝟏𝟎𝟎 𝐦𝐥
0.819 gram
0.819 % = x 2 ml
100 ml
g
= 0.01638 ⁄2 ml
𝐦𝐠 𝐍𝐚𝐂𝐥⁄
= 16.38 𝟐 𝐦𝐥
Metode Penurunan Titik Beku
Perhitungan konversi ΔTf
0.44 %
Deksametason Na Fosfat = x 0.050 = 0.044
0.5%
0.01%
Benzalkonium klorida = x 0.022 = 0.00044
0.5%
ΔTf x
Nama Zat ΔTf (0.5 %) Konsentrasi (%) Konsentrasi
(%)
Deksametason Na
0.044 0.44 0.01936 %
Fosfat
Benzalkonium klorida 0.00044 0.01 0.0000044 %
0.0193644 %
Jumlah:
(Hipotonis)
Catatan: Larutan isotonis memiliki syarat batas sebesar 0.52. Menurut
perhitungan didapatkan hasil sebesar 0.0193644%. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa sediaan hipotonis karena < 0.52. Agar larutan menjadi
isontonis maka dilakukan penambahan NaCl sebagai agen pengisotonis.
Dengan perhitungan sebagai berikut.
0,52− a
= b
0,52− 0.0193644
= = 0.86316
0.58
ΔTf untuk 2 ml
0.86316
= x 2 ml = 0.01726 g = 17.26 mg
100
Konversi ΔTf
0.09375 %
Cefuroxime Natrium = x 0.36 = 0.00675
5%
Perhitungan Tonisitas
Nama zat Konsentrasi E ΔTf Konversi %xE % x ΔTf
(%) ΔTf
Cefuroxime 9.375 0.13 5% 0.006 1.21875 % 0.06328 %
Natrium = 0.36 75
Jumlah: 1.21875 % 0.06328 %
(Hipertoni (Hipertonis)
s)
Catatan: Larutan isotonis memiliki syarat batas ekivalensi sebesar 0.9%
sedangkan penurunan titik beku sebesar 0.52. Menurut perhitungan didapatkan
hasil ekivalensi sebesar 1.21875% sedangkan hasil penurunan titik beku sebesar
0.06328. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sediaan hipertonis. Agar larutan
menjadi isontonis maka dilakukan pengenceran agar isotonis. Namun
rentangnya kurang dari 1,6%, maka masih bisa ditoleransi tidak perlu dilakukan
pengenceran.
5.1.3 Injeksi Propanolol HCl
Konsentrasi Zat
mg
Digunakan propranolol HCl kekuatan sediaan 1 ⁄ml. Volume sediaan 2 ml,
sehingga:
1 mg
= x 2 mg = 0.002 g
1 ml
Konversi ΔTf
0.1 %
Propanolol HCl = 0.5 % = 0.060 = 0.012
= 0.8758 %
0.8758 gram
= x 2 ml = 0.017516 gram = 17.51 mg
100 ml
5.2 Penimbangan
5.2.1 Injeksi Deksametason
Deksametason Na Fosfat
1.1 gr Deksametason Na Fosfat ~ 1 gr Deksametason
1.1 mg mg
x 4 ⁄mol = 4.4 ⁄ml Deksametason Na Fosfat
1
𝐦𝐠 𝐦𝐠
Jadi, Deksametason 4 ⁄𝐦𝐥 ~ Deksametason Na Fosfat 4.4 ⁄𝐦𝐥
Volume dalam 1 ampul
= volume ampul + kelebihan
= 2 ml + 0.15 = 2.15 ml
Volume sediaan dibutuhkan 2.15 ml, jadi:
4.4 mg
= x 2.15 ml
1 ml
NaOH q.s
Perhitungan
Nama zat Konsentrasi 1 ampul 10 ampul
2 ml (+ 0.15)
Deksametason Na
0.22% 0.00946 g 0.00946 g 0.0946 g
Fosfat
Benzalkonium
0.01% 0.215 g 0.215 g 2.15 g
klorida
NaCl 185.545 g 185.545 g 1855.45 g
NaOH q.s q.s
Aqua Pro Injection Ad. 2.15
Ad 21.5 ml
ml
Jumlah air 0.0946 g x
melarutkan 10 ml =
0.0946 g
Deksametason 0.946 ml
Natrium Fosfat ~ 1 ml
Jumlah air 0.00215 g
melarutkan x 10 ml
Benzalkonium 0.00215 g = 0.0215
klorida ml
~ 1 ml
Penimbangan
Perhitungan 2 ml 10
Zat Konsentrasi 1 ampul
(+ 0.15 ml) ampul
Propranolol HCl mg
1 ⁄1 ml x 2.15
0.001 % = 0.00215 gr 2.15 mg 21.5 mg
= 2.15 mg
NaCl g
0.88 ⁄100 ml x 2.15
18.92
= 1.892 gram 189.2 mg
mg
= 18.92 mg
Asam sitrat q.s
q.s
Ad pH 3
Aqua Pro Inj Ad 2.15 Ad 21.5
Ad 2.15 ml
ml ml
Air untuk
20 x 2 = 40 ml
melarutkan 40 ml 400 ml
(NaCl)
Propanolol HCl
Air untuk
2.8 x 19 = 53.2 ml
melarutkan 53.2 ml 532 ml
(Propanolol)
Propanolol NaCl
VIII. PEMBAHASAN
8.1 Injeksi Deksametason
Pada praktikum ini dilakukan perancangan dan pembuatan formula injeksi
Deksametason Na Fosfat. Injeksi merupakan sediaan steril yang dirancang untuk
digunakan dengan rute parenteral sehingga sediaan segera masuk ke pembuluh
darah tanpa harus melewati proses mekanisme pertahanan tubuh terlebih dahulu.
Sediaan injeksi ditujukan kepada pasien yang berada pada kondisi tertentu seperti
dalam keadaan tidak sadar atau sulit untuk menelan obat secara oral, maka sediaan
injeksi dibuat untuk memberi solusi pada kondisi tersebut dengan cara pemberian
obat secara parenteral. Pemberian obat dengan rute parenteral tidak perlu melewati
mekanisme pertahanan tubuh sehingga sediaan harus bersifat steril dan bebas
pirogen agar tidak membahayakan kesehatan pasien.
Adapun kelebihan dan kekurangan sediaan injeksi adalah sebagai berikut:
Kelebihan :
1. Memiliki tingkat ketersediaan hayati yang tinggi karena obat tidak
tereliminasi oleh sistem mekanisme pertahanan tubuh
2. Memberikan efek dengan segera setelah penyuntikan karena obat langsung
masuk ke peredaran darah
3. Dapat diberikan kepada pasien walaupun dalam keadaan tidak sadar
4. Memudahkan pemberian obat yang bekerja secara lokal
5. Bersifat steril dan bebas dari pengotor
Kekurangan :
1. Harganya relatif lebih mahal
2. Penggunaan membutuhkan tenaga ahli
3. Jika terjadi kesalahan dalam pemakaian maka tidak dapat dilakukan
penanganan atau pencegahan untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan
4. Membutuhkan persyaratan yang lebih sulit untuk memenuhi standar sediaan
steril
5. Menimbulkan rasa sakit ketika pemberian karena harus merobek jaringan
kulit
Zat aktif yang digunakan pada pembuatan injeksi ini adalah Deksametason
Natrium Fosfat. Pemilihan Deksametason dalam bentuk garamnya bertujuan untuk
meningkatkan kelarutan dari zat aktif tersebut, pada dasarnya zat aktif
deksametason bersifat praktis tidak larut dalam air sehingga pemilihan zat aktif
dalam bentuk garam merupakan solusi dari sifat kelarutan zat aktif tersebut.
Pemilihan bentuk garam lebih diutamakan dibandingkan pembuatan suspensi
dikarenakan efisiensi penggunaan pelarut air lebih aman bagi tubuh dibandingkan
dengan penggunaan suspending agent.
Deksametason merupakan obat antiinflamasi golongan kortikosteroid yang
bekerja dengan cara mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil,
mengurangi produksi mediator inflamasi, dan menurunkan permeabilitas kapiler
yang semula tinggi dan menekan respon imun. Deksametason bekerja dengan cara
mempengaruhi kecepatan sistesis protein. Pada praktikum ini deksametason dibuat
dalam bentuk injeksi yang dapat digunakan dengan rute parenteral. Pembuatan
injeksi dapat memudahkan pemberian obat ke dalam tubuh khususnya dengan
pasien dengan kondisi tidak sadarkan diri ataupun tidak memilliki kemampuan
untuk mengkonsumsi obat secara oral.
Pada rancangan formula, terdapat penambahan beberapa zat eksipien
diantaranya adalah benzalkonium klorida yang berfungsi sebagai pengawet. Tujuan
dari penambahan pengawet benzalkonium klorida adalah untuk menjamin
kesterilan sediaan dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme dikarenakan
metode sterilisasi akhir dari deksametason adalah dengan menggunakan metode
filtrasi membran. Metode sterilisasi filtrasi membran merupakan pilihan terakhir
untuk tingkatan metode sterilisasi dikarenakan deksametason bersifat termolabil
dan dapat terurai pada suhu tinggi sehingga metode filtasi adalah satu-satunya cara
yang dapat dilakukan untuk mensterilisasi sediaan injeksi deksametason. Alasan
selanjutnya ditambahkan pengawet benzalkonium klorida adalah dikarenakan
pembawa yang digunakan adalah air karena air merupakan media terbaik untuk
pertumbuhan mikroorganisme, meskipun air yang digunakan adalah air khusus
injeksi yang telah disterilisasi sebelumnya, namun zat aktif bisa saja mengandung
kontaminan yang dapat merusak kesterilan sediaan.
Selanjutnya terdapat penambahan zat eksipien berupa Natrium Klorida
(NaCl) yang berfungsi sebagai agen pengisotonis. Bobot penggunaan bahan
eksipien NaCl ditentukan dengan cara menghitung terlebih dahulu tonisitas dari
deksametason dan benzalkonium klorida. Setelah dilakukan perhitungan tonisitas,
didapat bahwa kadar persentase ekivalensinya sebesar 0.081% yang mana sediaan
bersifat hipotonis sehingga dibutuhkan penambahan NaCl sebesar 16.38 mg NaCl/
2 mL untuk menjadikan sediaan isotonis.
Tonisitas merupakan kemampuan dari suatu larutan untuk memvariasikan
ukuran dan bentuk sel dengan cara mengubah jumlah air yang terkandung di dalam
sel (James, 2002). Cairan tubuh sangat mirip dengan cairan NaCl 0,9% sehingga
NaCl dijadikan sebagai agen pengisotonis dengan cara menseimbangkan tingkat
tonisitas sediaan hingga setara dengan NaCl 0,9%.
Terdapat dua kondisi dimana kondisi tonisitas sebuh larutan tidak setara
dengan NaCl 0,9% yaitu:
1. Hipotonis (< NaCl 0,9%)
Kondisi hipotonis disebabkan oleh nilai tonisitas larutan yang lebih rendah
dari NaCl 0,9%. Kondisi ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan di
dalam cairan tubuh dimana cairan pada sediaan injeksi lebih rendah
dibandingkan dengan cairan di dalam tubuh sehingga air yang berada di luar
sel akan terserap secara osmosis masuk ke dalam sel darah dan
menyebabkan sel membengkak. Kondisi ini dapat menyebabkan hemolisis
atau pecahnya sel darah sehingga kondisi ini harus dihindari ketika
membuat sediaan injeksi.
2. Hipertonis (> NaCl 0,9%)
Kondisi hipertonis disebabkan oleh nilai tonisitas larutan yang lebih tinggi
dari NaCl 0,9%. Pada kondisi ini, air yang berada pada sediaan injeksi lebih
besar konsentrasinya dibandingkan air yang ada di dalam sel darah sehingga
ketika sediaan dengan kondisi hipertonis masuk ke dalam tubuh akan
menyebabkan air yang terdapat di sel darah akan terdifusi keluar dari sel
darah sehingga menyebabkan sel darah menjadi mengkerut dan kekurangan
cairan.
Penambahan NaCl 0,9% bertujuan untuk menjaga tonisitas sediaan agar
tetap isotonis dan aman ketika memasuki sistem peredaran darah dan tidak
mengganggu kerja sel darah merah. NaCl digunakan untuk mengatur tonisitas
dikarenakan zat aktif tidak terganggu stabilitasnya ketika ditambahkan NaCl.
Namun untuk beberapa kondisi dimana zat aktif inkompatibel dengan NaCl dapat
digunakan zat pengisotonis selain NaCl seperti KCl, glukosa dan gliserol.
Pada awal pembuatan sediaan injeksi Deksametason Na Fosfat, semua alat
dan bahan disterilisasi terlebih dahulu dengan metode yang sesuai. Untuk alat yang
membutuhkan skala presisi dapat digunakan sterilisasi dengan cara panas lembab
menggunakan autoklaf agar menjaga ketepatan skala dan mencegah pemuaian
ketika dilakukan sterilisasi. Selanjutnya zat aktif dan eksipien ditimbang
menggunakan kaca arloji untuk selanjutnya disterilisasi dengan metode yang sesuai
untuk masing-masing zat. Untuk zat aktif Deksametason Natrium Fosfat dipilih
metode sterilisasi awal dengan sinar gammat dikarenakan zat aktif tidak tahan
terhadap pemanasan karena dapat terjadi pemuaian. Untuk eksipien Benzalkonium
Klorida dan NaCl disterilisai dengan metode panas kering menggunakan oven
dikarenakan zat berbentuk serbuk dan stabil terhadap pemanasan.
Selanjutnya dilakukan pelarutan zat aktif dan eksipien menggunakan Aqua
Pro Injection (API) dalam gelas kimia yang berbeda. Pelarutan dengan Aqua Pro
Injection dilakukan karena semua zat dapat larut dengan baik di dalam air dan Aqua
Pro Injection merupakan media yang paling aman bagi tubuh. Bahan-bahan yang
telah dilarutkan dengan Aqua P.I. selanjutnya dicampur di dalam gelas ukur dan
ditambahkan Aqua Pro Injection hingga tanda batas. Setelah semua zat aktif dan
eksipien tercampur secara homogen, selanjutnya dilakukan sterilisasi akhir dengan
menggunakan suntikan membran dengan ukuran 0,45 μm. Digunakan metode
sterilisasi akhir menggunakan suntikan membran dikarenakan zat aktif
Deksametason Natrium Fosfat tidak tahan terhadap pemanasan. Penyaringan juga
dilakukan dengan kertas saring sehingga lebih menjamin tidak adanya kontaminan
yang ikut masuk ke dalam sediaan.
Selanjutnya larutan yang telah disaring dimasukkan ke dalam kemasan
primer berupa ampul dengan menggunakan syringe agar memudahkan pemindahan
cairan melewati lubang ampul yang kecil. Selanjutnya ampul yang berisi sediaan
injeksi ditutup dengan cara dilas ujungnya menggunakan alat las sehingga ampul
tertutup rapat dan tidak bocor.
Setelah sediaan selesai dibuat, selanjutnya dilakukan evaluasi sediaan yang
meliputi penetapan pH, bahan partikulat dalam injeksi, penetapan volume injeksi
dalam wadah, uji kejernihan, uji sterilisasi, uji kebocoran dan uji pirogen.
1. Uji organoleptis
Uji organoleptis bertujuan untuk mengetahui sifat pemerian suatu
sediaan dengan cara mengamati warna dan bau menggunakan indra
manusia. Pada sediaan ini didapatkan hasil bahwa sediaan tidak
berwarna dan tidak berbau.
2. Penetapan pH
Uji evaluasi penetapan pH dilakukan sebelum dan sesudah sediaan
diadjust. Dilakukan adjust pH bertujuan untuk menyamakan pH sediaan
dengan pH darah sehingga tidak perlu ada penyesuaian pH ketika
sediaan diinjeksikan ke dalam tubuh. Penetapan pH dilakukan
menggunakan pH meter yang terlebih dahulu dikalibrasi dengan
menggunakan larutan dapar baku. Hasil dari penetapan pH didapatkan
hasil dimana pH sebelum diadjust adalah 6,945 dan 6,927 sedangkan pH
setelah diadjust adalah 7,215 dan 7,235. pH tersebut telah memenuhi
standar larutan injeksi.
3. Bahan partikulat dalam injeksi
Uji evaluasi adanya bahan partikulat dalam injeksi bertujuan untuk
memastikan tidak ada pengotor yang masuk ke dalam sediaan injeksi
sehingga tidak mengganggu stabilitas dan kesterilan sediaan. Pengujian
dilakukan dengan dua cara yaitu mengukur hambatan cahaya dan
pengamatan partikel dengan menggunakan mikroskop. Pada pengujian
ini didapatkan hasil bahwa tidak terdapat partikulat di dalam sediaan.
4. Penetapan volume injeksi dalam wadah
Uji penetapan volume bertujuan untuk memastikan apakah volume yang
terdapat di dalam wadah sesuai dengan jumlah volume yang tertera pada
kemasan dengan cara mengukur cairan injeksi yang ada di dalamnya.
Dari pengujian ini di dapatkan hasil bahwa volume terpindahkan
sebanyak 100% dan 99%.
5. Uji kejernihan
Uji kejernihan bertujuan untuk melihat apakah sediaan injeksi jernih
atau tidak. Dilakukan pengujian ini dikarenakan salah satu syarat
sediaan injeksi adalah jernih sehingga harus dipastikan bahwa sediaan
bersifat jernih. Dari pengujian ini didapatkan hasil bahwa larutan
sediaan injeksi bersifat jernih.
6. Uji sterilitas
Uji sterilitas bertujuan untuk mengecek kembali apakah sediaan telah
steril atau tidak. Pengujian ini dilakukan dengan cara menginokulasikan
sediaan ke dalam media pertumbuhan mikroba. Namun pengujian ini
membutuhkan waktu 14 hari untuk mendapatkan hasil akhir dari
pengujian evaluasi sterilitas sehingga tidak terdapat hasil yang dapat
dicantumkan pada hasil evaluasi pada sediaan ini.
7. Uji kebocoran
Uji kebocoran bertujuan untuk menganalisa apakah terdapat kebocoran
pada wadah injeksi. Wadah injeksi harus dipastikan tidak bocor
sehingga tidak ada akses masuk dan keluar bagi sediaan maupun
pengotor. Pengujian ini dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu dengan
memasukkan wadah ke larutan metilen biru, meletakkan wadah dengan
posisi ujung wadah berada di bawah, dan dengan cara vakum. Dari
pengujian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada kebocoran pada wadah
injeksi.
8. Uji pirogen
Uji pirogen bertujuan untuk memastikan tidak ada senyawa pirogen
yang terdapat pada sediaan injeksi. Pirogen merupakan senyawa yang
dapat menyebabkan demam yang dapat berasal dari berbagai sumber.
Dikarenakan injeksi langsung masuk ke peredaran darah maka harus
dipastikan sediaan injeksi bebas dari pirogen. Pengujian ini dilakukan
dengan cara menyuntikkan sediaan injeksi ke hewan uji berupa kelinci
melalui vena di telinga kelinci kemudian diamati apakah terjadi
kenaikan suhu setelah penyuntikan atau tidak. Pada sediaan ini belum
dilakukan uji pirogen dikarenakan keterbatasan waktu dan ketersediaan
hewan uji sehingga tidak ada hasil yang dapat dicantumkan pada hasil
uji pirogen ini.
8.2 Injeksi Cefuroxime Na
Pada praktikum kali ini membuat sediaan steril injeksi cefuroxime natrium.
Sediaan injeksi merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspense atau
serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan sebelum digunakan secara
parenteral, suntikan baik dengan cara menembus atau merobek jaringan kedalam
atau melalui kulit atau selaput lendir (Lukas, 2006). Injeksi atau obat suntik juga
didefinisikan secara luas sebagai sediaan steril bebas pyrogen (Ansel, 2008: 399).
Pada umumnya pemberian dengan parenteral dilakukan bila diinginkan kerja obat
yang cepat seperti pada keadaan gawat, tidak sadar, tidak dapat atau tidak tahan
menerima pengobatan melalui mulut (oral) atau bila obat itu sendiri tidak efektif
dengan cara pemberian lain (Ansel, 2005).
Pemberian melalui injeksi mempunyai beberapa keuntungan maupun
kerugian antara lain (Turco & King, 1979).
Keuntungan
1. Obat – obat yang rusak atau diinaktifkan oleh system saluran serna atau
tidak diabsorpsi dengan baik untuk memberikan respon memuaskan, dapat
diberikan secara parenteral.
2. Sering digunakan apabila dibutuhkan absorpsi yang segera, seperti pada
keadaan darurat.
3. Pemberian secara parenteral berguna dalam pengobatan pada pasien yang
tidak mau bekerjasama, kehilangan kesadaran atau sebaliknya tidak dapat
menerima obat secara oral.
Kerugian
1. Apabila obat sudah disuntikkan, maka obat tersebut tidak dapat ditarik
kembali. Hal ini berarti pemusnahan untuk obat yang mempunyai efek tidak
baik atau toksik maupun kelebihan dosis karena ketidak hati– hatian akan
sukar dilakukan.
2. Tuntutan sterilitas untuk sediaan parenteral yang sangat ketat.
3. Harganya relatif mahal dan memerlukan tenaga kesehatan khusus yang
berwenang melakukan pengobatan.
4. Adanya resiko toksisitas jaringan dan akan terasa sakit saat penyuntikan
serta sulit untuk memulihkan keadaan apabila terjadi kesalahan.
Pada praktikum kali ini zat aktif yang digunakan dalam bentuk garamnya
dari Cefuroxime yaitu Cefuroxime Natrium. Hal ini dikarenakan Cefuroxime
memiliki kelarutan yang tidak larut dalam air (Depkes RI, 2020: 1573), sedangkan
salah saru syarat sediaan injeksi adalah harus larut dalam air. Sehingga diganti
dalam bentuk garamnya agar dapat meningkatkan kelarutan dalam air.
Cefuroxime Natrium adalah serbuk putih atau sedikit kekuningan dengan
kelarutan mudah larut dalam air, larut dalam metanol, sangat sukar larut dalam
etanol, eter, etil asetat dan kloroform (Depkes RI, 2020: 1575). Cefuroxime
Natrium diindikasikan untuk Infeksi Gram positif & Gram negatif pada saluran
pernafasan, saluran kemih, saluran pencernaan, kulit & jaringan lunak. Septikemia
(keracunan darah oleh bakteri patogenik dan atau zat-zat yang dihasilkan oleh
bakteri tersebut). Meningitis (radang selaput otak). Cefuroxime Natrium kontra
indikasi dengan orang yang menunjukan hipersensitifitas type 1 terhadap
cefuroxime atau antibiotik golongan cefalosforin. Penggunaan cefuroxime natrium
perlu diperhatikan pada pasien yang sensitife terhadap Penisilin dan pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Efek Samping dari cefuroxime natrium adalah efek pada
saluran pencernaan, colitis pseudomembranosa, reaksi hipersensitivitas, eosinofilia,
neutropenia, anemia hemolitikum, superinfeksi. Flebitis (radang pembuluh balik)
(Centers for Disease Control and Prevention. 2004).
Pada sediaan injeksi cefuroxime natrium ini akan dibuat sediaan injeksi
rekontitusi, karena zat aktif Cefuroxime yang merupakan antibiotik golongan beta-
laktam meski dibuat dalam bentuk garam yang mudah larut dalam air namun
kestabilannya tidak dapat bertahan atau dapat dikatakan zat aktif tersebut tidak
stabil dalam air sehingga akan mempengaruhi kestabilan sediaan akhir. Sehingga
untuk menjaga kestabilannya tetap terjaga dengan membuat sediaan rekontitusi,
yang dimana pada pada sediaan ini akan ditambahkan pelarut atau pembawa pada
saat akan digunakan.
Zat eksipien yang digunakan pada sediaan ini adalah Aqua Pro Injection,
yang akan digunakan pada saat akan digunakan untuk melarutkan zat tersebut.
Aqua Pro Injection merupakan air steril untuk injeksi dibuat dari Air untuk Injeksi
yang disterilkan dan dikemas dalam wadah yang sesuai. Tidak mengandung zat
antimikroba dan zat tambahan lain (Depkes RI, 2020: 70). Aqua Pro Injection ini
digunakan karena memiliki kemiripan dengan cairan tubuh, apabila pelarut yang
digunakan memiliki perbedaan akan terjadi penyumbatan pada pembuluh darah.
Pada zat tambahan ini tidak ditambahkan zat pengisotonis dikarenakan pada saat
melakukan perhitungan tonisitas hasil yang didapat adalah 1,147% (hipertonis).
Sedangkan tekanan osmotis yang sama dengan tekanan osmosis cairan tubuh
bernilai sama dengan tekanan osmosis larutan NaCl 0,9% b/v. Jika larutan injeksi
yang hipertonis disuntikkan, air dalam sel akan ditarik keluar dari sel sehingga
sel akan mengerut, tetapi keadaan ini bersifat sementara dan tidak akan
menyebabkan kerusakan sel tersebut. Namun pada kondisi ini tidak perlu dilakukan
pengenceran dikarenakan rentang hipertonis yang didapat masih kurang dari 1,6%
sehingga masih bisa ditoleransi.
Pada injeksi cefuroxime natrium ini diberikan melalui rute intramuscular
(IM). Rute intramuscular (IM) memungkinkan absorbs obat yang lebih cepat dari
pada rute subcutan (SC), karena pembuluh darah lebih banyak terdapat di otot.
Bahaya kerusakan jaringan berkurang ketika obat memasuki otot dalam, tetapi bila
tidak hati-hati, ada resiko menginjeksi obat langsung ke pembuluh darah.
Hal pertama yang dilakukan dalam pembuatan injeksi cefuroxime natrium
adalah sterilkan alat- alat yang akan digunakan sesuai dengan metode sterilisasinya.
Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril. Secara
tradisional keadaan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai akibat
penghancuran dan penghilangan semua mikroorganisme hidup. Konsep ini
menyatakan bahwa steril adalah istilah yang mempunyai kondisi konotasi relatif,
dan kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari mikrorganisme hanya
dapat diduga atas dapat proyeksi kinetis angka kematian mikroba (Lachman
L,1994: 1254). Karena pada praktikum kali ini dalam membuat sediaan injeksi
rekonstitusi cefuroxime natrium ini dibuat dalam 2 vial untuk 1 obat, hal ini
dikarenakan bahan aktif berupa cefuroxime natrium yang mudah terhidrolisis oleh
air. Sehingga pada pembuatannya dipisahkan antara bahan aktif yang berupa serbuk
dengan larutan pembawa pada vial yang berbeda. Lalu timbang cefuroxime natrium
sebanyak 6,375 gram untuk 1 vialnya. Menurut ketentuaan yang tercantum dalam
USP kadar yang diperbolehkan dalam sediaan injeksi cefuroxime natrium adalah
90%-135% sehingga pada praktikum kali ini menambahkan sediaan sebanyak 0,5gr
dari jumlah seharusnya dengan tujuan untuk menghidari kemungkinan kehilangan
bahan selama proses produksi.
Lalu lakukan sterilisasi awal dengan teknik aseptis dibawah LAF (luminar
air flow) karena sifat stabilitas zat aktif Cefuroxime yang tidak tahan terhadap panas
dan karena termasuk ke dalam golongan antibiotic. Prinsip sterilisasi dengan LAF
adalah mengambil udara dari luar laminar disaring dengan filter yang khusus
sehingga udara dari luar tidak dapat mengkontaminasi ruang kerja yang ada di LAF.
Ada dua sistem pengolahan di LAF yaitu, sistem pengolahan udara vertical dan
horizontal. LAF menggunakan prinsip filtrasi udara dan penggunaan radiasi
ultraviolet (pratiwi, 2008).
Dan pada vial selanjutnya ditambahkan aqua pro injection yang digunakan
pada saat sedian akan digunakan. Pada vial kedua di sterilisasi dengan
menggunakan sterilisasi panas lembab, karena aqua pro injection ini tahan terhadap
panas dan penembusan uap air. Setelah itu dilakukan sterilisasi akhir dengan
metode sterilisasi radiasi pengion dengan sinar gamma karena sifatnya dapat
berpenetrasi kedalam serbuk sehingga menghasilkan sediaan yang steril.
Wadah yang digunakan pada sediaan ini adalah vial, karena pada sediaan
ini dibuat dalam dosis ganda (multiple doses). Wadah dosis ganda adalah wadah
yang memungkinkan pengambilan isinya perbagian berturut- turut tanpa terjadi
perubahan kekuatan, kualitas atau kemurnian bagian yang tertinggal (Ansel, 2005).
Pada umumnya, wadah untuk sediaan dosis ganda mempunyai bentuk vialatau
flakon (Lukas, 2006). Wadah dosis ganda dilengkapi dengan penutup karetdan
plastik untuk memungkinkan penusukan jarum suntik tanpa membuka atau merusak
tutup. Bila jarum ditarik kembali ke wadah, lubang bekas tusukan akan tertutup
rapat kembali dan melindungi isi dari pengotoran udara bebas (Ansel,2005)
United State Pharmacopenia (USP) mempersyaratkan vial dosis ganda
untuk injeksi diberikan batas penggunaan 28 hari setelah penggunaan pertama kali
kecuali label produk (dalam bungkusnya) menyatakan sebaliknya. Produk obat
yang akan dibuat dalam penelitian ini harus mempunyai kemampuan untuk
bertahan dalam bentuk spesifikasi yang ditetapkan sepanjang waktu penyimpanan
dan penggunaan untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas, kemurnian
produk,dan terutama sterilitas produk (Debaun, 2008).
Selanjutnya dilakukan uji evaluasi. Uji evaluasi yang dilakukan pada injeksi
rekontitusi antara lain adalah yang pertama dilakukan uji penetapan volume injeksi
dalam wadah yang bertujuan untuk menetapkan volume injeksi yang dimasukkan
dalam wadah agar volume injeksi yang digunakan tepat/ sesuai dengan yang tertera.
Prinsipnyya dengan cara memindahkan sediaan injeksi kedalam gelas ukur dan
diamati volumenya, hasilnya yaitu volume tidak kurang dari volume yang tertera
pada penandaan wadah, hasil yang didapat menunjukan volume terpindahkan
adalah 100% dan 99%. Uji evaluasi yang kedua adalah uji kejernihan larutan yang
bertujuan untuk memastikan larutan terbebas dari pengotor dan sesuai dengan yang
dipersyaratkan. Prinsipnya pengujian dilakukan dengan mengamati sediaan secara
visual pada latar putih/hitam. Jika perlu disorot menggunakan senter, hasil
pengamatan menunjukkan bahwa larutan injeksi jernih. Uji evaluasi yang ketiga
adalah uji bahan partikulat yang bertujuan untuk melihat ada tidaknya partikel
dalam sediaan injeksi. Prinsipnya dengan mengamati partikel pada sediaan
menggunakan visual dengan latar putih/ hitam serta senter sebagai alat bantu
(Dekpes RI, 1995: 981-985), hasil yang didapat tidak terdapat partikulat. Lalu ada
uji waktu reknstitusi yang bertujuan untuk mengamati kemampuan meredispersi
Kembali dalam memperkirakan penerimaan pasien pada suatu suspense dimana
endapan yang terbentuk harus dengan mudah didispersikan Kembali dengan
pengocokan sedang. Prinsipnya penentuan kemampuan redisperse dilajujan dengan
mengendapkan suspense menggynajan pengocokan mekanik dalam kondisi yang
terkendal kemudian diredispersikan Kembali (Lieberman, 1989: 304), waktu yang
didapat adalah 5 detik dan 7 detik. Selanjutnya ada uji penetapan pH yang betujuan
untuk mengetahui pH sediaan sesuai dengan persyaratan yang terlah ditentukan
dengan prinsp pengukuran pH cairan uji dengan pH meter yang telah dikalibrasi
menggunakan electrode indicator. Hasil pH yang didapat adalah 7,359 dan 7,401.
Kemudian ada uji organoleptic yang bertujuan untuk mengetahu sifat dari suatu zat
sebelum dibuat sediaan dengan cara mengamati warna, bau, rasa. Hasil yang
didapatkan adalah sediaan tidak berwarna dan tidak berbau. Lalu ada uji kebocoran
yang bertujuan untuk memeriksa keutuhan kemasan untuk menjafa sterilitas dan
volume serta kestabilan sediaan, dengan prinsip sediaan dibalik dengan posisi
tertutup dan diberi dasaar kertas lalu diamati apakah ada cairan yang keluar
(kebocoran) dengan tanda basahnya kertas dasar, hasil yang didapat adalah tidak
adanya kebocoran pada vial.
8.3 Injeksi Propanolol HCl
Pada percobaan kali ini dilakukan pembuatan sediaan injeksi dengan zat
aktif Propanolol HCl. Injeksi adalah sediaan yang ditujukan untuk pemberian secara
parenteral, dapat direkonstitusi atau diencerkan terlebih dahulu menjadi sediaan
sebelum digunakan. Sediaan parenteral merupakan sediaan yang ditujukan untuk
penyuntikan dengan merobek jaringan kedalam kulit atau selaput lendir, dimana zat
aktif yang diberikan dengan adanya gravitasi atau kekuatan, mengalir langsung ke
pembuluh darah, organ, atau jaringan. Sediaan parenteral dibuat secara steril
menggunakan metode yang dirancang untuk menjamin bahwa sediaan memenuhi
persyaratan Farmakope (Depkes RI, 2020).
Pemberian obat dengan cara injeksi memiliki beberapa keuntungan dan
kerugian, yaitu:
Keuntungan
- Dosis sesuai dan akurat dengan kebutuhan
- Langsung masuk aliran darah atau jaringan yang dituju tanpa melewati proses
first pass effect di lambung atau gangguan absorbsi oleh organ lain
- Steril
- Dapat memudahkan pasien yang sulit menelan obat atau pasien yang sedang
tidak sadarkan diri
- Dosis obat dapat disesuaikan secara pasti
Kerugian:
- Sediaan relatif lebih mahal
- Butuh tenaga kesehatan dalam pengaplikasian
- Butuh peralatan tambahan seperti spuit injeksi, jarum, dll.
- Beresiko penyakit menular melalui peralatan suntik
- Butuh keahlian khusus
- Rasa sakit dan takut pada sebagian orang
Zat aktif yang digunakan adalah Propanolol HCl, Propanolol HCl
merupakan obat yang dapat menghambat adreno reseptor beta yang ditujukan untuk
menurunkan tekanan darah pada hipertensi ringan dan hipertensi sedang pada
jantung. Pada hipertensi berat propanolol berguna dalam mencegah terjadinya
reflek takikardia yang sering timbul pada pengobatan dengan vasodilator beta
bloker (Katzung, 2007). Mekanisme kerjanya dengan cara memblok reseptor β1
atau β2. Blokade reseptor β1 menyebabkan penurunan curah jantung sedangkan
blokade reseptor β2 menyebabkan menurunkan aliran portal melalui
vasokonstriktor splanknikus, sehingga efek kronotropik, inotropik, dan respon
vasodilator dari stimulasi β-adrenergik menurun. Hal ini dapat menyebabkan
penurunan denyut jantung, kontraktilitas miokardial, tekanan darah, dan kebutuhan
oksigen miokard (McEvoy, 2008). Propanolol adalah obat hipertensi yang
diberikan dalam rute intravena sehingga bentuk sediaan injeksi ini harus dalam
bentuk sediaan larutan karena sediaan ini saat disuntikkan akan langsung berada di
dalam darah, maka diharuskan seluruh zat yang terkandung dalam sediaan ini harus
larut sempurna sehingga aman saat berada di dalam pembuluh darah dan bebas dari
partikulat agar pembuluh darah tidak akan tersumbat. Menurut (Depkes RI, 2020)
kelarutan propanolol ini larut dalam air sehingga dapat larut sempurna dan aman
untuk dijadikan sediaan larutan injeksi.
Zat eksipien yang digunakan pada sediaan ini adalah Aqua Pro Injection,
yang akan digunakan pada saat akan digunakan untuk melarutkan zat tersebut.
Aqua Pro Injection merupakan air steril untuk injeksi dibuat dari Air untuk Injeksi
yang disterilkan dan dikemas dalam wadah yang sesuai. Tidak mengandung zat
antimikroba dan zat tambahan lain (Depkes RI, 2020). Aqua Pro Injection ini
digunakan karena memiliki kemiripan dengan cairan tubuh, apabila pelarut yang
digunakan memiliki perbedaan akan terjadi penyumbatan pada pembuluh darah.
Pada zat tambahan ditambahkan zat pengisotonis dikarenakan pada saat melakukan
perhitungan tonisitas hasil yang didapat adalah 0,02% (hipotonis). Sedangkan
tekanan osmotis yang sama dengan tekanan osmosis cairan tubuh bernilai sama
dengan tekanan osmosis larutan NaCl 0,9% b/v. Jika larutan injeksi yang hipotonis
disuntikkan, air dari luar sel akan diserap ke dalam sel sehingga sel akan pecah,
maka dari itu ditambahkan larutan NaCl 0,9% untuk mengimbangi agar sediaan
isotonis dengan tubuh. Setelah melakukan perhitungan NaCl 0,9% yang diperlukan
agar isotonis sejumlah 18,92 mg.
Dikarenakan Propanolol HCl stabil pada pH 2,8 – 4,0 (Dirjen POM, 1995)
maka perlu ditambahkan penyangga pH atau pendapar. Pendapar yang digunakan
untuk sediaan ini dipakai asam sitrat, asam sitrat ini dapat menjaga kestabilan pH
sediaan Propanolol HCl (2,8 – 4,0) dan dapat juga berperan sebagai pengawet dalam
sediaan ini.
Hal pertama yang dilakukan dalam pembuatan injeksi Propanolol HCl
adalah sterilkan alat dan bahan yang akan digunakan sesuai dengan metode
sterilisasi yang sesuai. Sterilisasi ditujukan untuk memusnahkan dan mencegah
mikroorganisme berkembang biak dalam sediaan karena sediaan injeksi diharuskan
steril dari semua mikroorganisme dan partikel asing lainnya. Metode sterilisasi awal
yang digunakan untuk Propanolol HCl, NaCl, dan asam sitrat yaitu metode
sterilisasi panas kering dikarenakan zat tersebut berbentuk sebuk dan stabil
terhadap pemanasan, untuk aqua pro injection menggunakan metode sterilisasi
panas lembab karena aqua pro injection ini merupakan larutan air, stabil pada
pemanasan dan stabil terhadap uap air, dan untuk alat-alat gelas ukur yang presisi
seperti gelas ukur, labu ukur, dll. Dapat disterilisasikan menggunakan panas lembab
agar alat tersebut tidak memuai dan tetap terjaga keakuratannya, dan untuk alat-alat
gelas bukan ukur seperti corong, labu erlenmeyer, dll. Dapat menggunakan metode
panas lembab atau kering karena tidak perlu dijaga keakuratannya. Kemudian
larutkan semua bahan (Propanolol HCl, NaCl, dan asam sitrat) dengan
menggunakan Aqua Pro Injection sesuai dengan kelarutan masing-masing zat.
Pelarutan ini ditujukan untuk semua bahan dalam sediaan injeksi harus larut
sempurna karena akan langsung disalurkan ke pembuluh darah agar tidak terjadi
penyumbatan. Lalu Propanolol HCl dan NaCl yang telah dilarutkan dicampurkan
ke dalam gelas kimia dan diaduk hingga homogen, kemudian di adjust dengan asam
sitrat hingga diperoleh pH yang diinginkan, karena stabilitas Propanolol HCl ini
adalah stabil pada pH 2,8 – 4,0 sehingga perlu diadjust pHnya menggunakan asam
sitrat agar zat aktif stabil dalam sediaan. Lalu di cek pH menggunakan pH meter
atau indikator universal untuk mengetahui apakah pH sudah memenuhi syarat
kestabilan zat aktifnya. Kemudian sediaan dimasukkan kedalam labu ukur dan
ditambahkan Aqua Pro Injection hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen.
Kemudian larutan disaring menggunakan corong dengan kertas saring 0,45
micrometer agar semua partikulat yang tidak terlarut dapat tertampung dalam kertas
saring sehingga hasil sediaan bebas dari partikulat dan aman untuk diinjeksikan,
kemudian sediaan injeksi Propanolol HCl dimasukkan kedalam ampul dengan
menggunakan syringe lalu ditutup dengan cara dilas agar sediaan bebas
kontaminasi atau pun partikel asing dari luar. Kemudian dilakukan sterilisasi akhir
menggunakan metode panas lembab (autoklaf) dengan suhu 121 derajat celcius
selama 15 menit, penggunaan metode sterilisasi panas lembab dikarenakan zat aktif
tahan dan stabil pada suhu tinggi dan pembawa dari sediaan ini adalah air atau aqua
pro injection sehingga sediaan tidak rusak atau menguap saat dilakukan proses
pemanasan karena dibantu oleh uap air dan kondisi yang lembab pada alat autoclaf.
Selanjutnya dilakukan uji evaluasi. Uji evaluasi yang dilakukan pada injeksi
larutan antara lain adalah yang pertama dilakukan uji penetapan pH yang bertujuan
untuk mengetahui apakah pH sudah sesuai dengan syarat kestabilan zat aktif.
Prinsipnya yaitu larutan sediaan dicek menggunakan pH meter yang telah
dikalibrasi atau menggunakan indikator pH universal, dan didapatkan hasil pH
setelah di adjust yaitu 3,921 dan 3,821 yang berarti termasuk rentang kestabilan pH
propanolol HCl (2,8 – 4,0).
Uji evaluasi yang kedua yaitu uji penetapan volume injeksi dalam wadah
yang bertujuan untuk menetapkan volume injeksi yang dimasukkan dalam wadah
agar volume injeksi yang digunakan sesuai dengan yang tertera. Prinsipnya dengan
cara memindahkan sediaan injeksi kedalam gelas ukur dan diamati volumenya,
hasilnya yaitu volume tidak kurang dari volume yang tertera pada penandaan
wadah.
Uji evaluasi yang ketiga yaitu uji kejernihan larutan yang bertujuan untuk
memastikan larutan terbebas dari pengotor dan sesuai dengan yang dipersyaratkan.
Prinsipnya pengujian dilakukan dengan mengamati sediaan secara visual pada latar
putih/hitam. Jika perlu disorot menggunakan senter, hasilnya adalah larutan jernih
bebas dari pengotor sehingga aman untuk diinjeksikan.
Uji evaluasi yang ke empat adalah uji bahan partikulat yang bertujuan untuk
melihat ada tidaknya partikel dalam sediaan injeksi. Prinsipnya dengan cara larutan
sediaan difiltrasi menggunakan membrane kemudian diamati dengan mikroskop,
hasilnya adalah larutan bebas dari partikulat sehingga aman untuk diinjeksikan.
Uji evaluasi yang terakhir adalah uji kebocoran yang bertujuan untuk
melihat apakah ada kebocoran pada ampul yang dapat menyebabkan sediaan
terkontaminasi dari lingkungan luar. Prinsipnya adalah sediaan bening tak bewarna
dalam ampul yang masih panas setelah disterilisasi dimasukkan kedalam metilen
biru 0,1%, sediaan memenuhi syarat jika lartuan dalam ampul tidak menjadi biru.
Hasilnya adalah larutan tetap bening dan ampul tidak bocor.
11.1.2 Label
11.1.3 Brosur
11.2 Injeksi Cefuroxime Na
11.2.1 Kemasan
11.2.2 Label
11.2.3 Brosur
11.3.2 Label
11.3.3 Brosur
DAFTAR PUSTAKA
Aberg, J.A., Lacy, C., Amstrong, L., Goldman, M. and Lance, L.L., (2009), Drug
Information Handbook 17th Edition, American Pharmacist Association.
Agoes, G. (2006). Pengembangan Sediaan Farmasi. Bandung: ITB Press Publisher
& Digital Printing.
Agoes, G. (2009). Sediaan Farmasi Steril. Bandung: Penerbit ITB
Ansel, H. C. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh
Ibrahim,F., Edisi IV, 605-619, Jakarta: UI Press
Ansel, H.C. (2008). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Centers for Disease Control and Prevention. (2004). Dalam: Dietitians of
Canadaand Canadian Paediatric Society Vol 9 No 3. A Health
Professional’s Guide To Using Growth Charts. Paediatr Child Health
Debaun, barbara, RN,MSN,CIC. (2008). Transmission of infectins with Multi-dose
Vials Volume 3. Infection Control Resource.
Dirjen POM. (1979). Farmakope Indonesia ed III. Jakarta: Depkes RI.
Dirjen POM. (1995). Farmakope Indonesia ed IV. Jakarta: Depkes RI.
Dirjen POM. (2014). Farmakope Indonesia, ed V. Jakarta: Depkes RI.
Dirjen POM. (2020). Farmakope Indonesia ed VI. Jakarta: Depkes RI.
James, Joyce, C. Baker, dan H. Swain (2002). Prinsip-prinsip Sains untuk
Keperawatan. Diterjemahkan oleh: dr. Indah Retno Wardhani.
Katzung, B. G. (2007). Basic & Clinical Pharmacology, Ten Edition. San
Francisco: The Mc Graw-Hill companies.
Katzung, B.G. (1998). Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VIII. Alih Bahasa:
Dripa Sjabana dkk.
Lachman L. (1994). Teori dan praktek Industri Farmasi. Edisi II. Philadelphia.:
Lea & febiger
Lachman, L., & Lieberman, H.A. (1986). The Theory and Practice of Industrial
Pharmacy, Third Edition. Philadelphia: Lea and Febiger.
Lieberman, H. A., M. M. Rieger, and G. S. Banker. (1989). Pharmaceutical Dosage
Form: Disperse Systems, Vol.II. New York : Marcel Dekker, Inc.
Lukas, S. (2006). Formulasi Steril. Yogyakarta: penerbit C.V ANDI OFFSET.
Lund, W. (1994). The Pharmaceutical Codex, 12th Edition. London:
Pharmaceutical Press.
McEvoy & Gerald. (2008). AHFS Drugs Information. USA: American Society of
Health-system Pharmacists.
Pratiwi, S.( 2008). Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga.
Rowe, Raymond C; Sheskey, Paul J; Quinn, Marian E. (2009). Handbook of
Pharmaceutical Exipient Sixth Edition. USA: Pharmaceutical Press and
American Pharmacists Association
Suherman, K.S. (2007). Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog-
Sintetik dan Antagonisnya. Dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) Bagian Farmakologi
FKUI.
Sweetman, S. C. (2009). The 36th edition of Martindale: The Complete Drug
Reference. London, England, UK: Pharmaceutical Press
Syamsuni, H.A. (2007). Ilmu Resep, Kedokteran Jakarta : EGC.
Turco S, King RE. (1979). Sterile Dosage Forms. Second edition. Philadelphia:
Lea & Febiger.
Voight, R. (1995). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
LAMPIRAN
1. Raihan Hafidz Fachrizal (10060319001)
Pembahasan Injeksi Propanolol HCl
2. Devi Zulfitriyana (10060319003)
Penentuan metode sterilisasi, alat dan bahan, prosedur pembuatan dan hasil
evaluasi akhir
3. Ivanka Salsabilla Nurhadi (10060319004)
Nama sediaan, kekuatan sediaan, pengembangan formula/evaluasi formula,
formula akhir dan daftar pustaka
4. Annas Tasya Pertiwi (10060319005)
Pembahasan Injeksi Cefuroxime Na
5. Khodimul Haramain (10060319007)
Pembahasan Injeksi Deksametason
6. Nadia Rahayu (10060319008)
Perhitungan tonisitas/osmolaritas, perhitungan dan penimbangan bahan
7. Dike Kusniati (10060319009)
Cover, hasil pengamatan, kesimpulan, rancangan kemasan dan edit
8. Dwi Maulidani Fadhlan (10060319010)
Teori dasar, data preformulasi zat aktif dan data preformulasi eksipien