EKSPERIMENTAL
PERCOBAAN 9
ANTIPARASIT (ANTELMINTIK)
Disusun oleh:
Lintang Nurul Fatimah (10060321116)
Nurul Lutfi Maulida (10060321117)
Estrin Amalia Fadilah (10060321118)
Fadia K. Jasmine (10060321119)
Deva Silvya Agustin (10060321120)
Sahla Haniifah (10060321121)
Dea Sesilia (10060321123)
Shift/Kel : C/3
Tanggal Praktikum : Senin, 23 Mei 2022
Tanggal Laporan : Senin, 30 Mei 2022
Nama Asisten :Widiasari, S. Farm.
I. Tujuan
1.1 Merancang dan melakukan eksperimen sederhana untuk menguji aktivitas
antelmintik (anti cacing) suatu bahan uji secara in vitro.
1.2 Menjelaskan perbedaan paralisis spastik dan flasid yang terjadi pada cacing
setelah kontak dengan antelmintik (anti cacing).
1. Piperazin
Piperazin sitrat merupakan obat cacing yang pertama zat basa yang
sangat efektif terhadap Oxyrus, Ascaris lumbricoides dan E. vermicularis
berdasarkan perintangan penembusan impuls neuromuskuler dengan bekerja
memblokade respon otot cacing terhadap asetilkolin sehinggga terjadi paralisis
dan cacing dilumpuhkan untuk kemudian mudah dikeluarkan dari tubuh oleh
gerakan peristaltik usus (Tjay.2007).
2. Pirantel Pamoat
1. Nridazol
3. Levamizol
1. Niklosamid
2. Kelompok Benzimidazol
- Tiabendazol
- Mebendazol
3. Pirvinium
Tissue
Termometer,
IV. Prosedur
Untuk melihat apakah cacing yang tidak bergerak tersebut sudah mati atau
hanya paralisis atau sebetulnya masih normal, usik cacing-cacing tersebut dengan
batang pengaduk. Jika cacing tersebut setelah diusik, menjadi bergerak, maka cacing
tersebut dinyatakan masih normal (beri tanda N pada tabel pengamatan). Jika cacing
tersebut setelah diusik tetap diam, segera pindahkan ke dalam air panas 50◦C dan
amati pergerakannya. Apabila dengan cara tersebut, cacing menjadi bergerak berarti
mengalami paralisis. Jika cacing mengalami paralisis, nyatakanlah apakah paralisis
yang terjadi merupakan paralisis spastik atau flasid dengan melihat postur tubuh
cacing tersebut. jika dengan cara dimasukkan ke dalam air panas (50◦C), cacing
tetap diam. berarti cacing tersebut mati. diamati pula postur cacing yang mati
tersebut apakah kematian karena sebelumnya mengalami paralisis spastik atau
flasid.
V. Data Pengamatan
Nama Sediaan Uji Efek Cacing
Konsentrasi 15 30 45 60
Pirantel Pamoat
¼ = 2,5 ml N N N N
1/8 = 1,75 ml N N N N
½ = 5 ml N N N Ps
Keterangan :
N = Normal
Ps = Paralisis Spastik
Pf = Paralisis Flasid
M = Mati
VI. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan antiparasit (antelmintik).
Tujuan dari percobaan ini adalah menguji aktivitas antelmintik (anti cacing)
dari suatu bahan uji secara in vitro dan dapat menjelaskan paralisis spastik dan
flasid yang terjadi pada cacing setelah kontak dengan antelmintik (anti cacing).
Antelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk
memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh.
Antelmintik merupakan obat untuk mengurangi atau membunuh cacing dalam
tubuh manusia dan hewan. Dalam istilah ini termasuk semua zat yang bekerja
lokal menghalau cacing dari saluran cerna maupun obat-obat sistemik yang
membasmi cacing dari larvanya yang menghinggapi organ dan jaringan tubuh
(Tjay,2007).
Cacing yang digunakan pada percobaan ini adalah cacing babi (Ascaris
suum), diasumsikan sama seperti cacing gelang biasa (Ascaris lumbricoides)
yang menginfeksi usus halus manusia.
Percobaan dilakukan dengan menggunakan obat antelmintik pirantel
pamoat dengan 3 dosis yang berbeda yaitu, dosis ½ sebanyak 5 ml, dosis ¼
sebanyak 2,5 ml, dan dosis 1/8 sebanyak 1,25 ml. Cara kerja pirantel pamoat
dapat melumpukan cacing yaitu dengan mendepolarisasi senyawa penghambat
neuromuskuler dan mengeluarkannya dari dalam tubuh.
Dari percobaan ini didapati hasil cacing yang diberikan pirantel pamoat
dosis ½ / 5 ml mengalami paralisis spastik pada menin ke 60, sedangkan pada
dosis ¼ dan 1/8 pergerakan cacing terlihat normal, ini dapat terjadi karena dosis
yang diberikan pada cacing tersebut mendekati dosis normal dan onset kerja
obatnya 1-3 jam.
Hal tersebut dapat terjadi karena mekanisme kerja pirantel pamoat
mendepolarisasi otot cacing dan melepaskana asetilkolin, sehingga mampu
melumpuhkan otot cacing dan terlepas dari usus.
Pirantel pamoat (1-Methyl-2-[(E)-2-(thiophen-2-yl)ethenyl]-1,4,5,6-
tetrahydropyrimidine hydrogen 4,4 methylenebis(3-hydroxynaphthalene-2-
carboxylate) memiliki khasiat sebagai anthelmintik yang mekanisme kerjanya
menimbulkan depolarisasi pada otot cacing sehingga terjadi pelepasan
asetilkolin dan penghambatan kolinesterase. Halini menyebabkan pelumpuhan
cacing-cacing, yang diikuti dengan pembuangan dari saluran intestinal manusia
(Katzung, 1989).
Sedangkan mekanisme kerja piperazin yaitu dengan memblokade enzim
asetilkolinestrase, sehingga dapat menyebabkan penumpukan asetilkolin dan
menyebabkan terjadinya paralisis atau kejang pada otot cacing dan cacing akan
mudah dikeluarkan oleh gerakan peristaltik usus.
VII. Kesimpulan
Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa :
Penggunaan obat antelmintik dapat menyebabkan paralisis pada cacing.
Berdasarkan hasil pengamatan cacing yang diberikan sediaan pirantel pamoat
dengan dosis ½ pada waktu ke-60 menit terjadi paralisis statik pada cacing .
Hal ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan mendekati dengan dosis
seharusnya, sedangkan pada konsentrasi ¼ dan 1/8 tidak mengalami paralisis
sama sekali karena konsentrasi obat yang diberikan tidak cukup untuk
membuat cacing mengalami paralisis.
DAFTAR PUSTAKA