Anda di halaman 1dari 3

Penyakit infeksi merupakan salah satu penyakit yang menjadi permasalahan utama di

negara- negara berkembang seperti di Indonesia. Salah satu infeksi yang paling umum
tersebar di dunia yaitu infeksi cacing. Penyakit cacing merupakan salah satu penyakit rakyat
umum dan diperkirakan lebih dari 60% menyerang anak-anak di Indonesia. Prevalensi infeksi
cacing yang tinggi berdampak buruk bagi kesehatan. Walaupun jarang menyebabkan
kematian, namun infeksi cacing berdampak terhadap gizi, pertumbuhan fisik, mental, kognitif
dan kemunduran intelektual, khususnya bagi anak-anak (Tiwow, dkk, 2013). Antelmintik
merupakan obat yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen
usus atau jaringan tubuh. Antelmintik merupakan obat untuk mengurangi atau membunuh
cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Dalam istilah ini termasuk semua zat yang bekerja
lokal menghalau cacing dari saluran cerna maupun obat-obat sistemik yang membasmi
cacing dari larvanya yang menghinggapi organ dan jaringan tubuh. Sebagian besar obat
cacing efektif terhadap satu macam kelompok cacing, sehingga diperlukan diagnosis yang
tepat sebelum menggunakan obat tertentu.
Pada praktikum ini dilakukan pengamatan terhadap aktivitas antelmentik secara in
vitro. Percobaan ini dilakukan secara invitro yaitu tidak menggunakan organisme yang
terinfeksi hanya dibuat keadaan lingkungan yang mirip dengan keadaan aslinya atau tubuh.
Pengamatan aktivitas yang dilakukan hanya dilihat dari segi perubahan kerja saraf dan otot
pada cacing. Cacing yang digunakan pada praktikum ini ialah Ascaris yang merupakan
hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata). Ascaris suum
diasumsikan sama seperti cacing gelang biasa (Ascaris lumbricoides) yang menginfeksi usus
halus manusia.
Pada awal praktikum perlu dilakukan penyiapan sediaan uji, yaitu berupa pirantel
pamoat dan piperazin sitrat. Selain itu disiapkan air panas bersuhu 50 oC untuk melihat apakah
cacing masih bergerak atau tidak hal ini akan menunjukkan sifat paralisis yang akan terjadi
karena aktivitas obat antelmintik yang diberikan pada cacing. Cacing yang sudah aktif
diletakan pada cawan petri yang berbeda untuk tiap larutan uji, cawan petri yang pertama
untuk larutan uji piperazin sitrat 10% ± 50mL, cawan petri yang kedua untuk larutan
piperazin sitrat 5% ± 50mL, cawan petri ketiga untuk larutan pirantel pamoat 10% ± 50mL,
cawan petri ketiga untuk larutan pirantel pamoat 5% ± 50mL, dan cawan petri kelima untuk
larutan NaCl fisiologis 0,9% sebanyak ± 50 mL, Tiap cawan petri berisikan 3 ekor cacing.
Pengamatan dilakukan selama waktu 120 menit dengan jarak pengamatan 15 menit sekali.
Percobaan dilakukan dengan menggunakan obat-obat antelmintik dengan
berbagai konsentrasi yaitu konsentrasi 1/2, 1/4, dan 1/8 dari konsentrasi awalnya yaitu 250
mg/10 ml untuk larutan uji Pirantel pamoat dan konsentrasi awal untuk larutan uji Piperazin
sitrat yaitu 3g/15 ml. Pada larutan uji yang terdiri dari Piperazin sitrat dengan konsentrasi 1/8,
1
/4 dan 1/2 dari konsentrasi awal sediaan, sedangkan pada Pirantel pamoat digunakan
konsentrasi 1/4 dan 1/2 dari konsentrasi awal sediaan. Penggunaan NaCl fisiologis (NaCl
0,9%) sebagai kontrol negatif atau pembanding karena larutan ini sebagai pengisotonis tubuh
yang sesuai dengan keadaan pada tubuh manusia dimana sebagai tempat atau host cacing
tetap hidup dalam kondisi normal.
Percobaan dilakukan dengan mernggunakan obat antelmintik pirantel palmoat,
piperazin sitrat dan penggunaan NaCl fisiologis sebagai kontrol. Pirantel pamoat merupakan
antelmintik berspektrum luas yang sangat efektif untuk penanganan askariasis. Pirantel
efektif terhadap wujud dewasa ataupun imatur dari cacing yang rentan dalam saluran
intestinal, namun tidak terhadap tahap perpindahan dalam jaringan ataupun terhadap telur.
Obat ini merupakan agen penghambat neuromuskular yang sifatnya mendepolarisasi,
sehingga menimbulkan pengeluaran asetilkolin dan penghambatan kolinesterase, hal ini
menyebabkan stimulasi reseptor-reseptor ganglionik dan pelumpuban cacing-cacing, yang
diikuti dengan pembuangan dari saluran intestinal manusia (Katzung, 2004:286). Karena
meningkatnya frekuensi impuls akibat depolarisasi, cacing akan mati dalam keadaan spastik
(Sukarban dan Santoso, 1995:530).
Piperazin merupakan obat alternatif dalam pengobatan askariasis (Katzung,
2004:280). Piperazin menyebabkan blokade respons otot cacing terhadap asetilkolin,
schingga terjadi paralisis dan cacing mudah dikeluarkan oleh peristaltik usus. Cacing
biasanya keluar 1-3 hari setelah pengobatan dan tidak diperlukan pencahar untuk
mengeluarkan cacing itu. Diduga cara kerja piperazin pada otot cacing dengan mengganggu
permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan potensial
istirahat, sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai paralisis
(Sukarban dan Santoso, 1995:529).
Dari hasil pengamatan yang didapatkan bahwa kelompok A cacing jantan yang diberi
obat pirantel pamoat dengan konsentrasi ¼ mengalami paralisis spastik (kaku) dari menit ke
30 sampai dengan 105 dan mengalami kematian pada menit ke 120 sedangkan pada cacing
betina mengalami paralisis spastik dari menit ke 60 sampai dengan 105 dan mengalami
kematian pada menit ke 120. Pada cacing jantan yang diberi obat piperazin sitrat dengan
konsentrasi ¼ mengalami paralisis flasid atau lemah dari menit ke 45 sampai dengan 105 dan
mengalami kematian pada menit ke 120 sedangkan pada cacing betina mengalami paralisis
spastik dari menit ke 60 sampai dengan 105 dan mengalami kematian pada menit ke 120.
Kemudian pada kelompok B cacing jantan dan cacing betina yang diberikan pirantel pamoat
dengan konsentrasi ½ mengalami paralisis spastik atau kaku dari menit ke 30-45 dan
megalami kematian pada menit ke 60. Pada cacing jantan dan betina yang diberi obat
piperazin sitrat dengan konsentrasi 1/8 mengalami paralisis flasid dari menit ke 60-120. Dan
yang terakhir pada kelompok C cacing jantan dan cacing betina yang diberikan obat pirantel
pamoat dengan konsentrasi ¼ mengalami paralisis spastik (kaku) dari menit ke 30-45 dan
mengalami kematian pada menit ke 60. Pada cacing jantan dan betina yang diberi obat
piperazin sitrat dengan konsentrasi 1/2 mengalami paralisis flasid dari menit ke 30 dan mati
pada menit ke 45. Dari semua hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi obat maka aktivitas obat yang digunakan akan semakin baik dalam membunuh
atau melemahkan cacing Ascaris sp. Dari data pengamatan menunjukan hasil sesuai dengan
literatur yaitu cacing yang diberi piperazin mengalami paralisis flasid atau lemah dan cacing
yang diberi pirantel pamoat mengalami paralisis spastik atau kaku.

Sumber :

Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran. 2007. Farmakologi dan


Terapi Universitas Indonesia.

Katzung, B. G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi II. Jakarta, Salemba Medika.

Sukarban, S. dan Santoso S.O. 1995. Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Editor Sulistia
Ganiswara G, Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.

Tiwow, D., Bodhi, W., Kojong, N. S. 2013. UJI EFEK ANTELMINTIK EKSTRAK ETANOL
BIJI PINANG (ARECA CATECHU) TERHADAP CACING ASCARIS LUMBRICOIDES DAN
ASCARIDIA GALLI SECARA IN VITRO. Manado : UNSRAT Manado.

Anda mungkin juga menyukai