Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASI

ABSORBSI OBAT PERKUTAN SECARA IN VITRO

OLEH:
DIAN EKA FAKHIRA
201FF04040

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
BANDUNG
2021
Modul 5. Absorbsi Obat Perkutan Secara In Vitro
I. Tujuan
Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui cara
evaluasi sediaan yang diberikan perkutan secara in vitro menggunakan sel
difusi franz.
II. Prinsip
Absorpsi paracetamol perkutan secara in vitro menggunkan sel difusi Franz
pada cairan reseptor larutan dapahar phospat pH 7,4 menggunakan
spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang () 243nm.
III. Dasar Teori
Kulit adalah organ terbesar pada tubuh yang menutupi sekitar 1,7 m2 tubuh
dan berisi kira-kira 10 % dari total berat badan orang berukuran sedang. Fungsi
utama dari kulit adalah untuk menyediakan barrier perlindungan antara tubuh
dengan lingkungan luar (Benson, 2012). Struktur serta fungsi dari kulit manusia
yang terdiri dari empat bagian utama yakni : stratum korneum, viable epidermis,
dermis, dan jaringan subkutan.

Gambar 1. Komponen Dan Fungsi Kulit (Walter, 2008).


Istilah absorpsi “perkutan” menunjukkan bahwa penembusan obat terjadi
pada lapisan epidermis kulit dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis
yang berbeda yang terdiri secara berurutan dari luar ke dalam stratum corneum,
stratum lucidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.
Jalur umum yang dilewati senyawa aktif untuk menembus kulit yakni melalui
lapisan stratum korneum, jalur interseluler, dan jaringan tambahan.
a) Melalui Lapisan Stratum Korneum
Merupakan jalur transeluler, jalur dimana obat menyeberangi kulit secara
langsung dengan melewati kedua fosfolipid membran dan sitoplasma
keratinosit mati yang merupakan stratum korneum (Benson, 2012).
b) Jalur interseluler
Merupakan jalur dimana obat melintasi kulit dengan melewati ruang- ruang
kecil di antara sel-sel kulit (Benson, 2012).
c) Jaringan tambahan pada kulit yakni folikel dan kelenjar (Benson, 2012).

Gambar 2. Jalur Umum Senyawa Aktif Dalam Menembus Kulit (Lane, 2013)
Sediaan yang diaplikasikan di kulit bisa bertujuan lokal atau sistemik.
Untuk sediaan yang bertujuan lokal, obat tidak diharapkan sampai ke pembuluh
darah yang ada di lapisan dermis. Untuk sediaan yang bertujuan sistemik, obat
diharapkan sampai menembus ke pembuluh darah yang ada di dermis dan akan
dialirkanoleh darah ke seluruh tubuh, sediaan ini disebut dengan istilah sediaan
transdermal (Supriadi, 2020).
Enhancer kimia adalah senyawa yang dapat meningkatkan penetrasi
perkutan obat dengan berpartisi pada stratum korneum dan mengubah susunan
lipid-protein di kulit. Perubahan ini menyebabkan perubahan sifat stratum
korneum dan terjadi penurunan pertahanan pada stratum korneum. Enhancer
kimia dapat meningkatkan permeabilitas stratum korneum melalui beberapa
mekanisme yaitu
1) Meningkatkan fluiditas lipid di kulit;
2) Melalui Hidrasi Jalur Polar;
3) Melalui Aksi Keratolitik;
4) Meningkatkan Kelarutan Obat;
5) Meningkatkan Partisi Stratum Korneum (Kumar dan Philip, 2007).
Dalam formulasi sediaan transdermal biasanya ditambahkan zat peningkat
penetrasi (absorption enhencher). Golongan-golongan senyawa yang dapat
digunakan sebagai absorption enhancher adalah alkohol dan poliol, amin dan
amida, asam lemak, terpen, ester, sulfoksid, siklodekstrin, dan surfaktan
(Remon, 2007). Evaluasi biofarmasetik sediaan yang diaplikasikan di kulit
diperlukan baik untuk sediaan yang bertujuan lokal maupun yang sistemik.
Terdapat dua teknik evaluasi sediaan yang diberikan secara perkutan yaitu
menggunakan tekniksel difusi Franz dan seldifusi “Flow-Through” (Addicks,
1987).

Gambar 3. Skema alat difusi franz dan sel flow through


IV. Alat dan Bahan
a. Alat
1. Sel difusi franz Seperangkat Alat Bedah
2. Spektrofotometer UV-VIS
3. Kuvet
4. Alat Gelas yang Biasa digunakan di Laboratorium
b. Bahan
1. Parasetamol
2. KH2PO4
3. NaOH
4. HCl
5. Kertas Lensa
6. Viscolam
7. Sodium Lauril Sulfat (Texapon)
8. Trietanolamin (TEA)
V. Prosedur
a. Pembuatan Cairan Reseptor Dapar Fospat pH 7,4 (FI III : 656)
Timbang 0,59 gr kalium Hidrogen Fospat

Timbang 2,15 gr Natrium Hidrogen Fospat

Larrutkann dalam 500 mL air bebas CO2


b. Penyiapan Membran

Siapkan minyak kelapa 15%, asam oleat 15%, valesin putuh 15%, kolesterol 5%,
asam strearat 5%, paraffin cair 10%, asam palmitat 10% dan minyak zaitun 20%

Leburkan seluruh bahan bertitik lebur tinggi

Timbang kertas Whatman, rendam dalam cairan Spangler ± 15 menit

Angkat kertas dan letakkan diantara 2 kerta saring agar cairan Spangler terhisap

Membrane buatan yang akan digunakan ditimbang untuk mengetahui jumlah cairan
yang terserap terserap antara 102,19-131,22 % (Wirawan, 1993).
c. Pembuatan Gel

Timbang PCT, Viscolam dan Sodium Lauril Sulfat

Masukkan PCT dalam 50 mL aquadest, aduk sampai larut

Masukkan viscolam dalam larutan tersebut diatas, teteskan TEA sedikit demi sedikit
hingga terbentuk massa gel

Masukkan Sodium Lauril Sulfat dalam beaker glass, tambahkan aquades hingga 100
mL (F1)

d. Evaluasi Sediaan Gel


Aliri alat dengan air bersuhu 37°C

Masukkan cairan reseptor ke dalam kompartemen reseptor dan catat volume

Letakkan membrane yang disiapkan pada alat. Adaptasikan selama 10 menit

Oleskan gel masing-masing 1 gram diatas membran

Ambil sampel cairan reseptor pada menit ke 5, 15, 30, 60, dan 120 sebanyak 3 mL

Ganti cairan reseptor setiap kali pengambilan dengan cairan reseptor bersuhu 37°C

Ukur absorbansi sampel pada spektrofotometri UV pada λ 243 nm

Analisis hasil yang diperoleh

Analisis data tersebut.

VI. Hasil Pengamatan


a. Pembuatan Dapar Fospat pH 7,4 sebanyak 500ml (FI III : 656)
Diketahui :
Kalium Higrogen Fospat : 1,18 gram
Natrium Dihidrogen Fospat Anhidrat : 4,3 gram
Ad air bebas CO2 : 1000 mL
Pembuatan Dapar Fospat Sebanyak 500 mL
500 𝑚𝐿
Kalium Higrogen Fospat : x 1,18 gr = 0,59 gram
1000 𝑚𝐿
500 𝑚𝐿
Natrium Dihidrogen Fospat Anhidrat : x 4,3 gr = 2,15 gram
1000 𝑚𝐿
500 𝑚𝐿
Ad air bebas CO2 : x 1000 mL = 500 mL
1000 𝑚𝐿

b. Perhitungan Absorbsi Pada Gel Tanpa Peningkat Penetrasi (F0)


Diketahui :
Volume cairan reseptor : 7 mL
Volume sampling : 1,5 mL
Persamaan Y : 0,0812x + 0,081

Gel Tanpa Peningkat Penetrasi (F0)


Menit Ke Abs / Y C (bpj) Qb' Fk Fk Kum Qb
5 0,455 4,605 32,235 6,907 0 32,235
15 0,359 3,423 23,961 5,134 6,907 30,868
30 0,274 2,376 16,632 3,564 12,041 28,673
60 0,160 0,972 6,804 1,458 15,605 22,409

c. Perhitungan Absorbsi Pada Gel Mengandung Peningkat Penetrasi (F1)


Diketahui :
Volume cairan reseptor : 7 mL
Volume sampling : 1,5 mL
Persamaan Y : 0,0812x + 0,081

Gel Tanpa Peningkat Penetrasi (F0)


Menit Ke Abs / Y C (bpj) Qb' Fk Fk Kum Qb
5 0,594 6,317 44,219 9,475 0 44,219
15 0,423 4,211 29,477 6,316 9,475 38,952
30 0,458 4,642 32,494 6,963 15,791 48,285
60 0,349 3,300 23,100 4,950 22,754 45,854
d. Grafik Hubungan Antara Jumlah Obat yang Terabsorbsi dengan Waktu
pada F0 dan F1

Gambar 4. Grafik hubungan antara Qb dan waktu pada F0 dan F1

VII. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian evaluasi sediaan yang diberikan
melalui rute perkutan secara in vitro menggunakan sel difusi Franz. Dengan
menggunakan cairan reseptor yang dimaksut mengambarkan cairan tubuh yang
terbuat dari larutan dapar phospat pH 7,4. Prinsip kerja dari sel difusi Franz
dengan meletakkan membrane semi permiabel diantara kompartemen donor dan
reseptor, kemudian senyawa-senyawa yang masuk kedalam cairan reseptor diukur
kadarnya menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 243
nm.
Absorpsi perkutan melibatkan bagian dari molekul obat berdifusi dari
permukaan kulit ke dalam stratum korneum dibawah pengaruh gradien konsentrasi
dan juga berdifusi melalui stratum korneum, epidermis, melalui dermis, dan ke
dalam sirkulasi darah. Kulit merupakan bagian yang sangat efektif sebagai tempat
suatu zat untuk berpenetrasi dan berperan sebagai penghalang yang bersifat pasif
pada senyawa penetration enhancer. Kulit terdiri atas beberapa bagian salah
satunya yakni stratum korneum yang memberikan perlawanan terbesar terhadap
penetrasi (Sinha and Kaur, 2000).
Pada pengujian ini kulit yang digunakan adalah kulit sintesis yaitu
membrane kertas Whatmann yang dibacemkan dalam cairan Spangler dimana
membrane tersebut menggambarkan menggambarkan stratum korneum yang
menjadi penghalang utama obat melewati kulit. Cairan Spangler yang terdiri dari
minyak kelapa 15%, asam oleat 15%, vaselin putih 15%, kolesterol 5%, asam
stearat 5%, skualen 5%, parafin cair 10%, asam palmitat 10% dan minyak zaitun
20%. Komponen dalam cairan Spangler ini menyerupai kondisi kulit manusia.
Meskipun memiliki sifat menyerupai kulit tetapi bahan – bahan tersebut tidak
memiliki sifat sekompleks kulit sebenarnya. Membrane dibuat dengan merendam
kertas Whatmann dalam cairan Spangler selama 15 menit, kemudian diletakkan
diantara dua kertas saring agar cairan Spangler terhisap. Membrane yang akan
digunakan harus ditimbang agar memiliki bobot yang sama untuk mengetahui
jumlah cairan yang diserap.
Studi permeasi in-vitro menggunakan sel difusi karena dapat menguji obat
dalam bentuk larutan, sediaan semi padat ataupun patch transdermal (Roberts and
Walters, 1998). Senyawa uji diletakkan pada kompartemen donor dalam bentuk
larutan, formula tertentu, atau patch transdermal. Evaluasi yang dilakukan berupa
transfer massa menembus kulit dengan mengukur kadar obat dalam aseptor
(Roberts and Walters, 1998). Uji permeasi in-vitro yang menggunakan sel difusi
franz-cell harus memperhatikan kondisi penghantaran obat yang dikontrol karena
permeasi obat dapat tergantung pada kulit atau membran yang digunakan. Faktor-
faktor yang perlu diperhatikan dalam uji permeasi in-vitro seperti: Pemilihan
membran, larutan donor, dan larutan akseptor.
Obat yang dievaluasi absoprsinya pada kulit adalah sediaan gel dengan zat
aktif paracetamol. Penggunaan utama paracetamol sebagai antipiretik, zat akhif ini
agak sukar larut dalam air, tetapi mudah larut dalam etanol. Paracetamol dapat
diabsorpsi secara cepat karena sifatnya cenderung lipofilik. Pembuatan gel
dilakukan pencampuran zat aktif paracetamol dengan viscolam sebagai basis gel
yang dapat juga digunakan sebagai emulgator dan ditambahkan sedikit
trietanolamin sebagai alkilazing agent karena bersifat basa. Gel tersebut sebagai
F0 atau gel tanpa peningkat penetrasi. Selanjutnya dibuat lagi gel paracetamol
dengan komposisi tersebut diatas namun dilakukan penambahan sodium lauril
sulfat sebagai peningkat penetrasi (skin penetrant). Gel tersebut dilabeli sebagai
F1 yang merupakan gel yang mengandung peningkat penetrasi kulit. Peningkat
penetrasi digunakan unutuk memperbaiki fluks obat melewati membrane.
Peningkat penetrasi yang efektif dapat meningkatkan penghalangan dari startum
korneum. Peningkat penetrasi dapat bekerja dengan tiga mekanisme yaitu dengan
merusak struktur stratum korneum, berinteraksi dengan protein interseluler dan
memperbaiki partisi obat.
Evaluasi yang dilakukan secara in vitro disesuaikan dengan kondisi manusia.
Dengan menggunakan kertas Whatmann yang dibuat mirip dengan kondisi
membrane manusia sebagai kulit sintetis. Kompartemen reseptor berisi dapar
fosfat pH 7,4 untuk mengkondisikan cairan agar seperti pH tubuh pada normal
yang berkisar antara pH 7,35 - 7,45. Tujuan pengkondisian pH ini yaitu untuk
menghasilkan nilai pengujuran yang mendekati atau sama dengan bila pengujian
dilakukan langsung terhadap manusia. Pengujian dengan sel difusi Franz
dilakukan dengan pengaturan suhu 37℃ yang dikondisikan seperti suhu tubuh
pada normalnya. Kemudian kompartemen aseptor ditambahkan magnetic
bar dengan kecepatan 120 rpm untuk menggambarkan sirkulasi darah dalam
tubuh yang terus mengalir. Pengambilan sampel sebanyak 3 ml dari cairan reseptor
dilakukan pada menit ke 5, 15, 30 dan 60. Kemudian sampel dilakukan
pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang
gelombang 243 nm. Pemilihan instrrumen analisis spektrofotometri karena sampel
yang digunakan memiliki gugus kromofor dan auksokrom yang dapat dideteksi
oleh alat. Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian dilakukan perhitungan untuk
mengetahui jumlah obat yang terabsorpsi pada sediian gel yang diberikasn secara
perkutan.
Dari hasil praktikum dapat dikethaui pada F1 dengan formula gel dengan
tambahan sodium lauril sulfat sebagai Enhancer, memiliki jumlah obat yang
terabsorpsi lebih besar dibandingkan dengan F0 yaitu gel tanpa tambahan
Enhancer. Hal ini menunjukkan bahwa Enhancer dapat mempengaruhi
peningkatan jumlah obat yang terabsorbsi. Jika dilihat dari hubungan antara
jumlah obat yang terbasopsi dengan lamanya waktu penetrasi obat kedalam tubuh.
Maka semakin lama waktu menunjukkan jumlah obat yang terabsorpsi akan
semakin besar sehingga efek terapeutik akan sesuai dengan yang diharapkan.

VIII. Kesimpulan
Dari hasil praktikum tersebut dapat disimpulkan bahwa evaluasi sediaan gel
paracetamol yang diberikan perkutan secara in vitro menggunakan sel difusi Franz
pada gel dengan penambahan peningkat penetrasi (F1) memiliki absorpsi yang
lebih besar dibandingkan dengan gel tanpa penambahan penetrasi (F0). Hal ini
menunjukkan bahwa Enhancer dapat mempengaruhi peningkatan jumlah obat
yang terabsorbsi.

IX. Daftar Pustaka


Addick, W.J., et. Al., 1987. Validation of Flow-Through Diffusion Cell for Use in
Transdermal Research. Pharmaceutical Research. Vol. 4 No. 4. 338.
Benson, H.A., 2012, Topical and Transdermal Drug Delivery, John Wiley & Sons,
New Jersey, pp.3-16.
Kumar, R. and Philip, 2007, Review Article Modified Trnsdermal Technologies:
Breaking The Barriers Of Drug Permeation Via The Skin, Tropical Journal
of Pharmacaeutical Research, 6 (1),634-644.
Lane, M.E., 2013, Skin Penetration Enhancers, International Journal of
Pharmaceutics, 447, 13.
Remon J. P., 2007. Penuntun Praktikum Biofarmasi. STFB. Bandung. Wirawan,
T., 1993, Pengaruh pH dan Tween 80 Terhadap Laju Difusi Natrium
diklofenak Melalui Membran yang Dibacam dengan Larutan Spangler,
Tugas Akhir Sarjana Farmasi, Departemen Farmasi, FMIPA, ITB, Bandung,
18-22.
Roberts, M.S. and Walters, K.A., 1998, Dermal Absorption and Toxicity ssesment,
Marcel Dekker, New York, pp.161-169.
Sinha,V.R., and Kaur, M.P., 2000, Permeation Enhancers for Transdermal Drug
Delivery, Drug Development and Industrial Pharmacy, 26 (11),1131- 1140.
Supriadi, dadih. (2020). Penuntun Praktikum Biofarmasi. Bandung: Universitas
Bhakti Kencana.
Walters, K.A., 2008, Drug Delivery : Topical and Transdermal Routes, 3rd edition,
Informa Healthcare, USA, pp.1311-1325.

Anda mungkin juga menyukai