WHO → 7.097 kasus difteri yang dilaporkan di seluruh dunia pada tahun
2016.
INDONESIA → 3.353 kasus difteri dilaporkan dari tahun 2011-2016
INDONESIA menjadi urutan ke-2 setelah India dengan jumlah kasus
difteri terbanyak.
INDONESIA → November 2017, ada 95 kabupaten dan kota dari 20
provinsi yang melaporkan kasus difteri. Secara keseluruhan terdapat 622
kasus, 32 diantaranya meninggal dunia.
Kementerian Kesehatan sudah menetapkan status kejadian luar biasa
(KLB).
ANATOMI HIDUNG
ANATOMI FARING dan TONSIL
ANATOMI LARING
FISIOLOGI HIDUNG
FUNGSI RESPIRASI
• Udara → nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian
turun ke bawah kearah nasofaring.
• Partikel debu, virus, bakteri dan jamur akan disaring di hidung oleh: rambut
pada vestibulum nasi, silia, palut lendir.
FUNGSI PENGHIDU
• adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum.
FUNGSI FONETIK
Refleks Nasal
FISIOLOGI FARING
Fungsi Menelan
• Fase oral
• Fase Faringeal
• Fase Esofagus
FUNGSI PROTEKSI
FUNGSI RESPIRASI
FUNGSI FONASI
ETIOLOGI
DIFTERI HIDUNG
Awalnya menyerupai Common Cold
Pada pemeriksaan: tampak
membrane putih pada daerah
septum nasi.
Absorbsi toksin sangat lambat dan
gejala sistemik yang timbul tidak
nyata
GEJALA KLINIS
DIFTERI TONSIL-FARING
Nyeri tenggorok
Serak, malaise atau nyeri kepala.
Membrane yang melekat berwarna
putih kelabu (Pseudomembran)
“Bull neck”
Pada kasus berat, dapat terjadi
kegagalan pernafasan.
GEJALA KLINIS
DIFTERI LARING
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring.
Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas
berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering.
Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-
difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke
empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan
sesudah dosis ke tiga. Dosis booster diberikan umur 4-6 tahun
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu
dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus
mengalami lima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6
tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama
adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan
pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.
PENATALAKSANAAN
PENGOBATAN UMUM
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu
Pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna,
cukup mengandung protein dan kalori.
Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan
pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu.
Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban
udara dengan menggunakan nebulizer.
PENATALAKSANAAN
ANTIBIOTIK
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah
penularan organisme pada kontak.
Dosis :
Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila
hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
KORTIKOSTEROID
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama
14 hari.
PENGOBATAN KONTAK
Kardiovaskuler Miokarditis
Saraf (pada 10% pasien difteri) terutama sistem motorik dapat berupa:
Paralisis umum