Anda di halaman 1dari 24

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

PADA KASUS DIFTERI DI BIDANG


THT DALAM LAYANAN PRIMER.
Nama : Tri Intan Sari
NPM : 1102013288

Pembimbing : Koloner (Purn) dr. Tri Damijatno, Sp.THT-KL


Mayor CKM dr. Junicko Sacrifian A, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT THT


PERIODE 12 MARET – 14 APRIL 2018
RUMAH SAKIT TK II MOHAMMAD RIDAN MEURAKSA
JAKARTA TIMUR
PENDAHULUAN

 Difteri adalah penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh


Corynebacterium diphtheria
 Difteri adalah penyakit menular dari droplet individu yang terinfeksi.
 Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika
dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada
tahun 2016).
 Penanganan penyakit terdiri dari dua fase: (1) Pengobatan umum dan (2)
Pengobatan khusus seperti Anti-Toksin, antibiotik, dll.
 Komplikasi dari difteri pasien dapat mengalami obstruksi jalan nafas
membutuhkan tindakan trakeostomi. Kegagalan jantung dan paralisis otot
dapat terjadi.
INSIDENSI

 WHO → 7.097 kasus difteri yang dilaporkan di seluruh dunia pada tahun
2016.
 INDONESIA → 3.353 kasus difteri dilaporkan dari tahun 2011-2016
 INDONESIA menjadi urutan ke-2 setelah India dengan jumlah kasus
difteri terbanyak.
 INDONESIA → November 2017, ada 95 kabupaten dan kota dari 20
provinsi yang melaporkan kasus difteri. Secara keseluruhan terdapat 622
kasus, 32 diantaranya meninggal dunia.
 Kementerian Kesehatan sudah menetapkan status kejadian luar biasa
(KLB).
ANATOMI HIDUNG
ANATOMI FARING dan TONSIL
ANATOMI LARING
FISIOLOGI HIDUNG
FUNGSI RESPIRASI

• Udara → nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian
turun ke bawah kearah nasofaring.
• Partikel debu, virus, bakteri dan jamur akan disaring di hidung oleh: rambut
pada vestibulum nasi, silia, palut lendir.

FUNGSI PENGHIDU

• adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum.

FUNGSI FONETIK

Refleks Nasal
FISIOLOGI FARING

Fungsi Menelan

• Fase oral
• Fase Faringeal
• Fase Esofagus

Fungsi Faring dalam Proses Bicara

• Gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring.


FISIOLOGI LARING

FUNGSI PROTEKSI

FUNGSI RESPIRASI

FUNGSI FONASI
ETIOLOGI

 Corynebacterium diphteriae (basil


Klebs-Loeffler) merupakan basil
gram positif, tidak bergerak, tidak
membentuk spora dan berbentuk
batang pleomorfis.
 Penularan → Droplet atau Skin
Lesion
PATOFISIOLOGI
 Toxin difteri berlekatan dengan sel host/
mukosa melalui ikatan antara heparin-
binding epidermal growth
factor dan receptor binding
region subunit B, regio translokasi
disisipkan ke dalam membrane endosome
yang kemudian memungkinkan pergerakan
region katalitik subunit A ke dalam sitosol.
 Subunit A bekerja dengan cara
menghentikan sintesis protein sel host.
 Subunit A memiliki aktivitas enzimatik
yang mampu memecah Nikotinamida
dari Nicotinamide Adenine
Dinucleotide (NAD) dan kemudian
mentransfer sisa ADP-ribosa dari hasil
pemecahan tadi menuju Elongation
Factor-2 (EF-2). EF-2 yang ter-ADP
ribosilasi ini kemudian menjadi
 Proses ini kemudian menyebabkan
nekrosis sel disertai dengan inflamasi dan
eksudat fibrin yang memberikan
gambaran pseudomembrane inaktif.
GEJALA KLINIS

DIFTERI HIDUNG
 Awalnya menyerupai Common Cold
 Pada pemeriksaan: tampak
membrane putih pada daerah
septum nasi.
 Absorbsi toksin sangat lambat dan
gejala sistemik yang timbul tidak
nyata
GEJALA KLINIS

DIFTERI TONSIL-FARING
 Nyeri tenggorok
 Serak, malaise atau nyeri kepala.
 Membrane yang melekat berwarna
putih kelabu (Pseudomembran)
 “Bull neck”
 Pada kasus berat, dapat terjadi
kegagalan pernafasan.
GEJALA KLINIS

DIFTERI LARING
 Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring.
 Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas
berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering.
 Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu


hasil mikrobiologi.
 Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody
technique
 Pembiakan pada media loeffler
 Dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-vitro
(tes Elek).
PENCEGAHAN

 Menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria


bagi anak.
 Dua preparat toksoid difteri
 Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP)
 Preparat dewasa (yaitu Td)
RENCANA JADWAL

 Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-
difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke
empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan
sesudah dosis ke tiga. Dosis booster diberikan umur 4-6 tahun
 Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu
dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
 Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
 Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus
mengalami lima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6
tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama
adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan
pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.
PENATALAKSANAAN

 PENGOBATAN UMUM
 Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu
 Pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna,
cukup mengandung protein dan kalori.
 Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan
pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu.
 Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban
udara dengan menggunakan nebulizer.
PENATALAKSANAAN

 ANTITOKSIN: Anti Diphtheria Serum (ADS)


 Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu,
oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik.

Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteria Hidung 20.000 Intramuscular


Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena
PENATALAKSANAAN

 ANTIBIOTIK
 Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah
penularan organisme pada kontak.
 Dosis :
 Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila
hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
 Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.

 KORTIKOSTEROID
 Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama
14 hari.
PENGOBATAN KONTAK

- Isolasi sampai dilakukan


biakan hidung dan tenggorok
Anak yang kontak dengan - Observasi gejala klinis tiap
pasien hari sampai melewati masa
inkubasi
- Pemeriksaan serologi
Pengobatan Karier

 Karier : Tidak menunjukkan keluhan, mempunyai Uji Schick negatif tetapi


mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.

 Pengobatan yang dapat diberikan :

 Penisillin 100mg/kgBB/hari secara oral/suntikan atau Eritromisin 40mg/kgBB/hari


selama satu minggu.
Biakan Uji Shick Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi : anak yang
telah mendapat imunisasi
dapat diberikan booster
toksoid difteri
(+) (-) Pengobatan karier :
Penisilin 100
mg/kgBB/hari oral/IV
atau Eritromisin 40
mg/kgBB/hari selama 1
minggu
(+) (+) Penisilin 100
mg/kgBB/hari oral/IV
atau Eritromisin 40
mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteri (imunisasi
aktif) sesuaikan dengan
status imunitas
KOMPLIKASI

 Saluran pernapasan  Obstruksi jalan napas

 Kardiovaskuler Miokarditis

 Saraf (pada 10% pasien difteri) terutama sistem motorik dapat berupa:

 Paralisis palatum molle

 Paralisis otot-otot mata

 Paralisis umum

Anda mungkin juga menyukai