Anda di halaman 1dari 19

JURNAL

Rhinitis pada Populasi Geriatri



J ayant M Pinto, Seema J eswani, Allergy Asthma & Clinical
Immunology
Section of Otolaryngology- Head and Neck Surgery, Department of
Surgery, The University of Chivago, I L,USA
(Allergy, Asthma & Clinical Immunology J ournal Vol.6:10 /2010)



Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
Lab/SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan FK UNEJ - RSD
dr.Soebandi Jember




Disadur Oleh :
Siti Julaikha, S.Ked
092011101014





SMF ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG,
TENGGOROKAN
RSD dr. SOEBANDI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER

2

Abstrak
Populasi geriatri pada saat ini di Amerika serikat diperkirakan berjumlah
12% dari total populasi dan diperkiran akan bertambah menjadi 20% (71,5 juta
jiwa) pada tahun 2030. Dengan pertambahan ini dokter dihadapkan dengan
keluhan utama rhinitis seiring dengan peningkatan jumlah lansia. Keluhan pada
hidung menjadi beban kesehatan pada lansia diperlukan perhatian untuk
meningkatkan kualitas hidup. Beberapa mekanisme mendasari patogenesis
rhinitis pada lansia, termasuk kondisi inflamasi dan pengaruh dari penuaan pada
hidung, yang terdapat korelasi diantara keduanya. Berbagai macam pengobatan
bertujuan untuk mengatasi masalah ini, bagaimanapun masih perlu usaha untuk
memahami patofisiologi dari berbagai macam bentuk rhinitis geriatri dan untuk
mengembangkan terapi yang lebih efektif pada populasi ini.

Klasifikasi
Rhinitis didefinisikan sebagai inflamasi dari mukosa dengan karakterisitik
kongesti, rhinorrhea, gatal pada hidung, hidung berair, dan bersin [2]. Pada
populasi geriatri interpretasi pada gejala kompleks yang berkaitan dengan hidung,
batuk, drainase berlebihan, kehilangan pembauan, dan hidung kering [3,4].
Secara garis besar rhinitis dibagi menjadi alergi dan non alergi (lampiran1)
Rhinitis alergi merupakan inflamasi yang diperantarai oleh IgE pada
rongga hidung dan dipicu oleh alergen seperti debu, serbuk bunga, atau jamur.
Gejala dari rhinitis alergi dapat timbul musiman atau perrenial. Sebuah organisasi
internasional the Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)
mengklasifikasikan hal tersebut untuk membedakan kesulitan antara keduanya[5].
guideline ARIA mengelompokkan rhinitis alergi sebagai berikut: intermiten jika
gejala kurang dari 4 hari dalam seminggu, persisten jika gejala lebih dari 4 hari
dalam seminggu. Berat ringan gejala diklasifikan menjadi : ringan jika tidak ada
mengganggu aktivitas, sedang/berat jika mengganggu tidur, aktivitas sehari-hari,
atau mengganggu pekerjaan.
Rhinitis non alergi tidak diperantarai oleh IgE dengan gejala tipikal seperti
rhinitis seperti kongesti dan rhinorrhea jernih disertai bersin dan gatal pada
3

hidung/mata [6,7]. Gejala dapat timbul sporadik, tidak dipengaruhi musim, dan
pemicunya nonspesifik seperti bau, makanan, emosi, dan perubahan atmosfer
[5,8,9]. Rhinitis alergi dapat dikelompokkan vasomotor, atrophic, gustatory, dan
karena obat-obatan [10,11].

Epidemiologi
Rhinitis alergi mempengaruhi sekitar 10-30% orang Amerika. Prevalensi
tersering pada dewasa dan usia muda dan menurun sesuai dengan tingkatan usia.
Diperkirakan 3 dari 1000 individu yang berusi >65 tahun menderita rhinitis alergi
dan tersering pada wanita [13,14]. Studi cross sectional dan longitudinal
menunjukkan bahwa gejala rhinitis alergi dan dan tes alergi menjadi
ringan/berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Bagaimanapun kedua hal ini
tidak saling berhubungan [15,16]. Perubahan tersebut dikaitkan dengan penurunan
fungsi imun sesuai dengan bertambahnya usia [17,18]. Misalnya penurunan level
IgE total dan degranulasi sel mast sebagai respon dari stimulasi sitokin. Sejauh ini
pajanan berulang terhadap alergen menyebabkan toleransi/anergi melalui
mekanisme yang tidak diketahui. Tidak ada penelitian yang membandingkan
frekuensi rhinitis alegi dan rhinitis non alergi pada lansia. Diperkirakan 13 juta
orang di Amerika menderita rhinitis non alergi [13]. Insidensi meningkat pada
wanita dan usia tua. > 60% pasien rhinitis > 50 tahun menderita rhinitis non
alergi.

Efek rhinitis pada kualitas hidup
Beberapa penelitian telah menunjukkan efek buruk dari rhinitis pada
kualitas hidup pasien bergejala . Benninger et al menemukan bahwa rhinitis alergi
dapat menyebabkan gangguan tidur yang signifikan dan kelelahan menggunakan
Rhinosinusitis Disability Index ( RSDI ) , untuk menilai bagaimana rhinitis alergi
mempengaruhi kualitas hidup [ 25 ] . Keluhan tidur yang buruk sudah umum
terjadi pada lansia sebagai proses penuaan normal [ 26 ] , rhinitis alergi
mungkin memperburuk masalah ini. Kurang tidur dapat mengubah proses
4

fisiologis seperti metabolisme glukosa, fungsi kognisi, pengendalian nafsu makan,
dan fungsi endokrin , semua proses fisiologis pada orang tua [ 27,28 ] .
Studi longitudinal telah menunjukkan bahwa keluhan tidur pada populasi
geriatri juga terkait dengan status kesehatan yang rendah, depresi, dan
peningkatan mortalitas [ 29-32 ]. Efek lain dari rhinitis alergi termasuk sakit
kepala, konsentrasi yang buruk, dan lekas marah. Gejala-gejala ini dapat
menghalangi individu untuk melaksanakan tanggung jawab fisik dan sosial yang
efektif [ 2 ]. Kedua domain tersebut berkontribusi besar terhadap kualitas hidup
geriatri[33,34].
Sedikit data yang tersedia yang secara khusus mengenai efek rhinitis
nonallergic terhadap kualitas hidup, terutama pasien geriatri. Karena rhinitis alergi
dan nonallergic, merupakan dua kondisi sama menurut pasien [35]. Bahkan,
penelitian terbaru menunjukkan penurunan kualitas kesehatan pasien rhinitis
alergi dan nonallergic; memang tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
tingkat penurunan antara dua populasi pasien [36].

Perubahan fisiologis pada usia yang dapat mempengaruhi rhinitis
Immunosenescence
Rhinitis adalah penyakit inflamasi, dengan mekanisme dan presentasi dari
kondisi yang disebabkan perubahan fungsi imun yang menurun dengan usia,
disebut immunosenescence. Komponen penting dari sistem kekebalan tubuh yaitu
timus, yang dengan cepat berinvolusi saat remaja ke dekat usia pertengahan,
diikuti dengan penurunan 1% per tahun. Penurunan penyebab massa fungsional
disebabkan penekanan produksi dari T - sel naif yang mengarah ke gangguan
imunitas seluler [ 37,38 ] . Meskipun involusi thymus , total T - sel tetap konstan
karena adanya peningkatan produksi T sel memori [ 38 ] .Penyebab
heterogenitas ini dalam limfosit pool ini tidak diketahui . Dengan proses penuaan
juga terjadi penurunan Respon sel - T untuk faktor pertumbuhan , penurunan
respon limfosit terhadap antigen spesifik , dan berkurangnya produksi IL 2 dan
ekspresi reseptor [ 17 ] . Ketidakseimbangan dalam rasio Th1/Th2 terjadi selama
immunosenescence , dengan pergeseran ke arah Th2 , yang menyebabkan
5

penurunan produksi sitokin lebih jauh [ 39 ] . Ini adalah sebuah paradoks sejak
ditemukannya kejadian rhinitis alergi menurun seiring dengan usia. Berkurangnya
respon T - sel berkurang mungkin berhubungan dengan peningkatan kejadian
keganasan dan infeksi di populasi geriatri [ 17,40 ] , sedangkan kelainan pada
produksi sitokin dan respon inflamasi mungkin menjelaskan onset rhinitis yang
kronis.
Fungsi sel - B berubah juga dengan usia. Meskipun populasi sel - B perifer
tetap konsisten , ada penurunan IgG, dan jumlah antigen - antibodi spesifik
menurun sementara jumlah autoantibodi dan kompleks imun beredar
meningkatkan [ 17,18 ] . Hal ini mungkin menjelaskan fakta bahwa orang yang
lebih tua lebih rentan terhadap infeksi , menurunnya respon kekebalan terhadap
vaksin , dan meningkatkan prevalensi penyakit autoimun [ 17,38,40 ] . Perubahan
ini mungkin juga berkontribusi terhadap gejala ringan serta penurunan kejadian
rhinitis alergi dalam geriatri.

Perubahan dari Penuaan Hidung
Struktural
Dengan bertambahnya usia individu, beberapa perubahan anatomi hidung
dan fisiologi terjadi yang dapat mempengaruhi rhinitis. Hilangnya penyokong
ujung hidung karena melemahnya jaringan ikat fibrosa di kartilago lateralis atas
dan bawah [4]. Kolagen dan elastin loss, maxillary hypoplasia alveolar, dan
kendornya otot-otot wajah menyebabkan ujung hidung terkulai [41]. Selain itu,
kelemahan dan fragmentasi septum tulang rawan dan retraksi dari columella
hidung menyebabkan perubahan dalam rongga hidung [42]. Kombinasi ini dapat
menurunkan aliran udara hidung dan mengarah ke keluhan sumbatan hidung yang
sering terlihat di rhinitis geriatri.
Mukus
Atrofi epitel mukosa pada pasien yang lebih tua sering menyebabkan
dehidrasi [43,44]. Faktor-faktor ini dapat menjelaskan produksi lendir berlebihan
pada pasien yang tua.
6

Lendir kental bersama dengan penurunan mukosiliar clearance (lihat di bawah)
diperkirakan menyebabkan keluhan seperti postnasal drip, batuk, globus.
Edelstein mampu menunjukkan bahwa prevalensi postnasal drip, drainase hidung,
batuk, dan bersin meningkat dengan bertambahnya usia [4].
Nasal humidifikasi dan Hidung Kering
Hal ini juga diakui secara klinis bahwa orang tua lebih rentan terhadap
hidung yang kering. Lindemann et al mengilustrasikan bahwa nilai suhu dan
kelembaban dalam rongga hidung secara signifikan lebih rendah pada pasien
geriatri dibandingkan dengan orang yang lebih muda [45]. Alasan lain untuk
penurunan humidifikasi termasuk perubahan yang berkaitan dengan pembuluh
darah hidung. Misalnya, pembuluh darah submukosa menjadi kurang paten dan
oleh karena itu tidak dapat melembabkan dan udara terinspirasi menjadi hangat
[44]. Temuan ini pada pasien geriatri mungkin menjelaskan gejala khas iritasi
hidung terkait dengan kekeringan dan pengerasan kulit.
Nasal Airflow
Efek usia pada aliran udara hidung masih belum jelas. Calhoun et al tidak
menemukan hubungan antara usia dan resistensi hidung [ 46 ] , sedangkan Vig
dan Zajacmenjelaskan bahwa ada hubungan langsung antara usia dan kedua
resistensi hidung dan tipe pernapasan [ 47 ] . Edelstein menemukan korelasi
signifikan antara penuaan dan resistensi saluran napas hidung , sebelum dan
sesudah dekongestan digunakan [ 4 ] . Kalmovich et al mempelajari arsitektur di
endonasal pasien geriatri menggunakan rhinometry akustik dan menyimpulkan
bahwa volume endonasal dan minimal cross-sectional area secara bertahap
meningkat dengan usia [ 48 ] . Alasan untuk perbedaan antara dua penelitian
terakhir adalah tidak jelas . Sahin - Yilmaz dan Corey menunjukkan perbedaan ini
mungkin karena penurunan fungsi mukosa hidung[ 10 ] . Para penulis mencatat
bahwa kandungan estrogen di mukosa hidung menurun sesuai dengan usia dan
dapat kemudian menyebabkan hilangnya kelenturan dan elastisitas , yang
menyebabkan peningkatan resistensi saluran napas . Wanita pasca-menopause
mungkin juga menderita gangguan penciuman , hidung tersumbat , dan
peningkatan waktu mukosiliar clearance disebabkan perubahan sekunder
7

hormonal [ 49 ] . Estrogen memodulasi fungsi mukosa dengan memodifikasi
konsentrasi lokal neurotransmiter atau reseptor , yang mengatur pembuluh darah
basal dan sekresi kelenjar [ 49 ] . Bukti terbaru menunjukkan bahwa jumlah
reseptor estrogen tertentu ( ER ) dalam mukosa hidung positif berkorelasi
dengan gejala rhinitic , namun mekanisme efek reseptor pada hidung mukosa
masih harus dijelaskan [ 50 ] . Hal ini masuk akal bahwa kelainan aliran udara lain
juga bisa mendasari keluhan hidung pasien lebih tua .
Mukosiliar clearance
Studi menunjukkan bahwa frekuensi irama silia dan mukosiliar clearance
dalam epitel hidung, melambat dengan bertambahnya usia [51]; Namun, jumlah
sel bersilia dalam epitel hidung tidak berubah [4]. Faktanya, Kirtsreesakul et al
baru-baru ini menunjukkan bahwa keparahan gejala secara signifikan berkorelasi
dengan waktu transportasi mukosiliar pada pasien diklasifikasikan rhinitis alergi
sedang-berat [52]. Hal ini mungkin karena penurunan clearance alergen dan
iritan, serta stasis dan penebalan lendir, kekeringan dalam rongga hidung dan
nasofaring, menyebabkan keluhan rhinitis postnasal drip, batuk, dan globus.
Pembauan
Fungsi pembauan menurun dengan bertambahnya usia terutama pada
dekade ke 7. Kedua fungsi pembau untuk mendeteksi dan membedakan bau
mengalami penurunan [53]. Disfungsi pembauan juga dikaitkan dengan rhinitis.
Sebuah studi menunjukkan 71% subyek yang memberikan hasil tes alergi positif
mengeluh disosmia [54]. Mekanisme disfungsi pembauan pada rhinitis alergi
dikaitkan dengan hidung buntu, data terbaru menyebutkan disebabkan karena
inflamasi pada celah hidung [55]. Inflamasi ini berespon terhadap steroid nasal.
Sebuah percobaan menunjukkan fungsi pembauan lebih buruk pada pasien rhinitis
alergi [56]. Dengan demikian gangguan pembauan pada lansia disebabkan karena
proses penuaan atau disebabkan masalah rhinitis.




8

Patofisiologi dan manifestasi klinis dari rhinitis
Alergi
Ulasan singkat , rhinitis alergi adalah hasil dari reaksi hipersensitivitastipe 1
dimana paparan alergen pada individu yang rentan menyebabkan sensitisasi
produksi antibodi IgE spesifik yang dipicu protein ekstrinsik .Antibodi ini
kemudian terikat di permukaan sel mast , dan ketika alergen tersebut
diperkenalkan kembali, ikatan tersebut akan menyebabkan degranulasi sel mast
[57 ] . Dalam hitungan detik, mediator inflamasi seperti histamin , leukotrien , dan
prostaglandin dilepaskan menyebabkan dilatasi pembuluh darah , yang kemudian
menyebabkan kebocoran dan edema mukosa [ 58,59 ] . Hal ini menyebabkan
obstruksi hidung dan gejala kongesti , kemerahan , robekan , bengkak , tekanan
telinga , dan postnasal drip . Reseptor iritan dirangsang oleh alergen yang
menyebabkan gatal-gatal dan bersin [ 60 ] .
Dalam waktu empat sampai delapan jam paparan awal , sitokin yang
tertarik oleh mediator sebelumnya menyebabkan perekrutan sel inflamasi lain
untuk mukosa , seperti neutrofil , eosinofil , limfosit , dan makrofag [59 ] .
Peradangan berlanjut dan tahap ini disebut fase lambat . Fase lambat mirip dengan
fase awal , tetapi bersin dan gatal kurang menonjol lebih dominan kongesti dan
produksi lendir yang lebih . Fase lambat mungkin bertahan selama berjam-jam
atau berhari-hari [ 61 ]
Meskipun kejadian puncaknya adalah selama masa dewasa muda, rhinitis
alergi sering di kalangan orang tua. Bahkan, Laporan Pusat Nasional Statistik
Kesehatan tahun 2005 menyatakan bahwa 10,7% dari individu antara usia 45-64
tahun, 7,8% pasien 65-75 tahun, dan 5,4% dari pasien yang lebih tua dari 75
menderita oleh rhinitis alergi [62]. Seiring dengan perubahan anatomi dan
fisiologis dari hidung, perubahan kekebalan non-spesifik seperti penurunan
mekanisme produksi lendir dan batuk tidak efektif berkontribusi terhadap onset
alergi pada orang tua, karena proses ini diperlukan untuk clearance alergen dan
iritan [17]. Menariknya, Jackola et al. menggambarkan bahwa individu atopik
dengan riwayat keluarga yang positif tidak terjadi perubahan keparahan atau
9

sensitivitas atopi dengan bertambahnya usia mereka. Selain itu tidak ada
perubahan dalam jumlah IgE spesifik [63].
Mediaty et al juga menunjukkan bahwa immunosenescence tidak
mempengaruhi peningkatan kadar IgE pada pasien atopik dengan dermatitis
atopik atau serum yang tinggi kadar IgE [64]. Singkatnya, temuan ini
menunjukkan bahwa kecenderungan atopik tetap ada di usia lanjut. Oleh karena
itu, rhinitis alergi tidak boleh diabaikan dalam populasi geriatri jika terdapat
riwayat dan gejala konsisten dengan kondisi ini.

Nonallergic
Vasomotor
Rhinitis vasomotor adalah bentuk paling umum dari rhinitis non alergi,
dan prevalensinya meningkat pada populasi tua [22]; Namun, karena kesulitan
dalam mengklasifikasikan kondisi ini dan data epidemiologi yang kurang. Kondisi
ini tidak memiliki kaitan yang jelas dengan imunologi atau infeksi dan tidak
terkait dengan eosinofilia [2]. Gejala yang menonjol dari rhinitis vasomotor
termasuk obstruksi hidung, rhinorrhea, dan kongesti [65]. Gejala-gejala ini
diperparahbau atau asap, lampu terang, dan perubahan cuaca atau kelembaban
[65,66]. Kemungkinan lain mungkin bahwa refleks neurogenik dipicu oleh faktor
lingkungan (misalnya, ozon, asap rokok) menyebabkan respon inflamasi di
hidung. Saraf sensorik dari mukosa hidung merespon terhadap rangsangan kimia
dengan bersin dan hipersekresi hidung melalui jalur refleks. Mekasnisme rhinitis
vasomotor masih belum jelas. Salah satu teori menyebutkan ketidakseimbangan
otonom yang disebabkan hiperaktivitas pasrasimpatis dan simpatis pada pasien
rhinitis vasomotor. Jalus simpatis mempertahankan patensi aliran udara hidung
dengan sekresi norepinefrin dan neuropeptida. [68]. Sedangkan parasimpatis
melepaskan substansi yang menyebakan kongesti dan sekresi mukus speprti
asetilkolin. Dengan demikian rhinitis vasomotor pada lansia terjadi karena
penurunan respon neurologi pada fisiologi hidung.
Kemungkinan lain yang berkaitan dengan refleks neurologi dipicu fakor
lingkungan (ozon, asap rokok) yang mengakibatkan respon inflamasi. Saraf
10

sensoris pada mukosa hidung menyebabkan bersin dan hipersekresi nasal melalui
jalur refleks. Serabut saraf sensoris unmyelinated dan lambat termasuk serat tipe
C yang berisi neuropeptida substansi P. Peptida calcitonin, peptida vasoaktif
intestinal, yang mengatur sekresi klaenjar dan tonus pembuluh darah [67,69].
Baraniuk dan kawan-kawan mendemonstrasikan ada kaitan neurpopetida tersebut
dengan mediator imun histamin. Interaksi antara molekul tersebut menyebabkan
respon saraf [70]. Mekanisme ini menjadi salah satu etiologi rhinitis vasomotor
pada lansia.
Cardell et al baru-baru ini mempelajari biopsi mukosa hidung pasien
rhinitis nonallergic menggunakan analisis microarray [ 71]. Kelompok ini
mencatat setidaknya sepuluh gen untuk terlibat di rhinitis nonallergic, berkaitan
dengan fungsi seluler, pengembangan sistem hematologi, dan respon imun. Dua
dari gen ini, c-fos dan pembelahan sel siklus 42 (Cdc42) ditemukan memiliki
peran penting dalam jalur mekanistik kemungkinan rhinitis nonallergic dan
penulis percaya gen ini bisa berpotensi berguna sebagai biomarker untuk kondisi
ini dan membantu dalam diagnosis. Data ini bersifat sementara dan akan
memerlukan penelitian lanjut.

Gustatory
Rhinorrhea gustatory ditandai dengan rhinorrhea profus setelah
mengkonsumsi makanan tertentu. Gejala ini mengganggu secara sosial dan
bahkan menyebabkan penurunan gizi. Umumnya, penyebabnya adalah alkohol
dan pedas atau makanan dingin. Dengan makanan pedas mengandung capsaicin
menginduksi pengeluaran neuropeptid dari serat saraf sensorik, menyebabkan
overstimulasi dari parasimpatik sistem saraf [67]. Baraniuk dan rekan
menunjukkan pentingnya TRP (transient receptor potensial) reseptor dalam
regulasi sensorik depolarisasi dan repolarisasi, eksositosis kelenjar, dan banyak
fungsi lainnya. Substrat untuk reseptor ini termasuk capsaicin, suhu tinggi atau
rendah, alkohol, minyak mustard, dan beberapa komponen bawang putih [72].
Salah satu spekulasi adalah bahwa reseptor TRP mungkin berperan dalam
rhinorrhea gustatory.
11


Drug-induced
Beberapa kelas obat dikenal dapat menginduksi rhinitis (Lampiran 2).
Mekanisme yang menyebabkan ini mencakup perubahan otonom pada mukosa
hidung dan pembuluh darah, aktivitas platelet, efek kekebalan tubuh, dan efek
hormonal. Kondisi ini sangat penting terutama pada pasien yang lebih tua,
berkaitan masalah polifarmasi di antara penduduk usia lanjut dengan peningkatan
jumlah kondisi komorbiditas. Meskipun jumlah individu lebih dari 65 tahun
mewakili kurang dari 15% dari total penduduk, kelompok ini menyumbang lebih
dari sepertiga dari penggunaan obat resep nasional [73]. Selain itu, Kaufman et al
menemukan bahwa 57% dari Wanita Amerika usia < 65 tahun menggunakan
minimal lima obat-obatan dan 12% menggunakan setidaknya sepuluh obat [74].
Obat umum yang digunakan dalam populasi geriatri yang dapat menyebabkan
rhinitis dibahas di bawah ini
Obat dengan efek pada sistem kardiovaskular membawa efek samping dari
rhinitis akibat gangguan simpatik yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah lokall. Obat-obatan seperti alpha dan beta-blocker, anti-hipertensi yang
bekerja di sentral, dan angiotensin
converting enzyme (ACE) inhibitor yang menghambat simpatik menyebabkan
vasodilatasi dan gejala nasal kongesti. Antipsikotik juga memiliki efek samping
rhinologic karena sifat alpha dan beta blocking [75].
Dekongestan topikal dapat menyebabkan rebound vasodilatasi yang
berlebihan. Populasi yang lebih tua risikonya meningkat karena penipisan dan
kekeringan mukosa hidung [76]. Pasien yang sensitif dengan aspirin mungkin
menderita rhinitis sampai epistaksis berkepanjangan karena aktivitas anti-platelet.
Obat sistemik lainnya yang menyebabkan rhinitis adalah kontrasepsi, terapi
disfungsi ereksi, imunosupresan, antivirus, penicillamine, dan retinoid oral[75]

Atrofi primer
Rhinitis Geriatric, atau rinitis atrofi primer, merupakan istilah yang tidak
tepat digunakan untuk menandakan rhinitis karena perubahan fisiologi hidung
12

berkaitan dengan usia (nasal atrofi kelenjar, perubahan vaskular, penurunan
humidifikasi hidung, penurunan mukosiliar clearance, dan perubahan struktural
hidung) [77]. Perubahan histopatologi terkait dengan rhinitis atrofi primer
meliputi atrofi mukosa, metaplasia skuamosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronis
[78]. Garcia et al mempelajari bagaimana perubahan ini mengarah ke gejala
menggunakan teknik computational fluid dinamika aliran udara dan air dan
transportasi panas, menemukan bahwa penguapan berlebihan dari lapisan lendir
sekunder ke rongga hidung melebar dan penurunan permukaan mukosa daerah
merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari rhinitis atrofi [79].
Perubahan ini menyebabkan penebalan dan lendir persisten dan mengubah
aliran udara hidung. Penelitian terbaru berusaha untuk menjelaskan peran
apoptosis dalam rhinitis, menemukan bahwa epitel hidung dari pasien yang
menderita rhinitis atrofi menunjukkan peningkatan aktivitas caspase 3, protein
kunci dalam kaskade apoptosis [80]. Temuan ini mengarahkan penelitian yang
akan datang untuk menyelidiki strategi terapi yang dapat mengatur apoptosis.
Pasien yang menderita rinitis atrofi primer, diagnosis eksklusi, biasanya
dengan gejala dari postnasal drip, batuk kronis, dan sumbatan hidung dan
kekeringan. Pasien juga mengeluhkan seringnya membersihkan tenggorokan
karena sekret yang kental dan padat, dan krusta hidung yang mengganggu ketika
bangun tidur [77,78,81]. Karena kondisi progresif ini mirip dengan rhinitis jenis
lain, sehingga sering tidak benar didiagnosis dan diobati.
Untuk kelengkapan, kami menyebutkan bahwa atrofi sekunder rhinitis
terlihat pada pasien dengan operasi hidung yang luas, trauma, penyakit
granulomatous, dan terapi radiasi [82] dan tidak akan dibahas di sini.

Evaluasi
Diagnosis dan pengobatan rhinitis pada populasi yang lebih tua lebih rumit
oleh kondisi komorbiditas . sekitar50 % dari orang-orang di atas usia 75 memiliki
tiga atau lebih penyakit dan meminum obat tiga atau lebih [ 83 ] . Dalam populasi
ini , ada juga kekhawatiran kepatuhan karena gangguan fisik atau kognitif dan
masalah keuangan [ 83 ] . Selain itu, banyak pasien yang lebih tua dengan rhinitis
13

mengeluh " masalah sinus " atau " alergi " . hal ni mempersulit untuk menilai jenis
dari rhinitis atau perawatan yang tepat [ 77 ] .
Evaluasi pasien yang lebih tua dengan rhinitis harus dimulai dengan
riwayat yang lengkap . Detail mengenai lama dan waktu gejala , faktor yang
memperburuk , dan respon untuk obat-obatan yang berbeda tiap pasien. Penting
juga untuk mengetahui paparan lingkungan seperti asap tembakau , hewan
peliharaan , polusi , jenis perumahan yang mungkin lebih tua yang mungkin
mengandung formalin untuk isolasi atau pelapis finishing, kecoa dan hewan
pengerat . Kegiatan yang membutuhkan penggunaan sarung tangan lateks , produk
pembersih tertentu , lem tertentu , serbuk kayu , dan asam anhidrida dapat memicu
gejala rhinitis [ 84 ] . Menariknya , bubuk psyllium untuk Metamucil ( umum
digunakan pada pasien yang lebih tua untuk sembelit ) telah dilaporkan untuk
menginduksi rhinitis akut [ 85 ]
Riwayat pengobatan dahulu seperi trauma di hidung atau wajah,
pernafasan yang simetris karena perubahan struktural hidung, kondisi alergo
seperti asma dan eksema, dan riwayat keluarga perlu digali. Dokter harus mampu
menilai paensi hidung, aliran udara, kelurusan septum, adanya polip dan tanda
inflamasi. Kebanyakan pemeriksaan endonasal dibantu dengan otoskop. Evaluasi
mukosa mungkin dapat menjelaskan rhinitis alergi dan non alergi dengan tanda
pucat pada mukosas, edema, dan hiperemi [2]. Penggunaan obat yang berlebihan
menyebabkan mukosa nasal lebih kemerahan. Kualitas dari sekresi mungkin dapat
membedakan etiologi dari rhinitis. Rhinitis alergi mensekresi mukus yang berair,
sebaliknya defek mucociliary atau obstruksi berat akan tampak mukus yang tebal
pada dasar hidung. [2]
Sekret yang mukopurulen dengan cobblestone pada faring mengarah ke
rhinitis kronis dengan sinusitis akut. Pada kasus rhinitis kelainan harus ditemukan
bilateral. Jika unilateral kemungkinan kelainan patologi anatomi atau neoplasma
dan membutuhkan nasal endoskpi atau CT scan sinus paranasal. Selain itu
pemeriksaan fisik rhinitis harus mampu menghilangkan penyebab karena rhinorea
karena CSF dan tumor.
14

Pemeriksaan alergi berguna untuk menetukan status atopi dengan total
serum IgE (biasanya > 100 U/mL) [86] sebaik untuk mengidentifikasi IgE
spesifik. Perlu diketahui respon skin test menurun dengan usia dan photodamaged,
karena itu pemeriksaan harus dilakukan dengan cermat [87]. Faktor alin yang
dapat mempengaruhi skin test adala pengobatan ( antihistamin long acting dan
antidepresan trisiklik), tekanan darah, suhu yang ekstrim, dan pajanan alergen
yang terlalu lama [87]. Pemberian dilakukan pada area yang tidak terpapar sinar
seperti punggung. Jika area tersebut tidak ditemukan dapat dilakukan secara in
vitro.
Pasien dengan rhinitis non alergi akan memberikan hasil negatif [87]. Tes
tambahan juga bermanfaat untuk evaluasi rhinitis pada usia tua. Endoskopi
saluran nafas ats dapat mengetahui adanya kelainan anatomi yang tidak dapat
dilihat dengan rhinoskopi anterior, seperti deviasi septum, nasal polyposis atau
atrofi mukosa. Selain itu tanda obstruksi pada ostium meatus medius merupakan
predisposisi sinusitis [84,88]. Gambaran sinus pada CT scan akan memperlihatkan
adanya obstruksi pada kompleks osteomeatal dan mengetahui adanya polip,
edema, dan kelainan tulang seperti concha bullosae [84]. Biaya yang mahal serta
efek radiasi menyebabkan pemeriksaan jarang digunakan. Pemeriksaan khusus
(seperti acid reflux testing dengan parameter pH , penilaian nasal volume dengan
rhinometry acoustic) dapat berguna untuk evaluasi faktor eksaserbasi seperti
GERD atau penurunan patensi hidung [23,92,92].

Penatalaksanaan
Umum
Ada beberapa cara untuk mengobat rhinitis pada pasien lansia. Pada kedua
kasus rhinitis alergi dan non alergi, terapi yang paling sederhana adalah
mengeliminasi pajanan terhadap alergen/iritan. Pencegahan terhadap alergen
(debu, pengharum ruangan, karpet) tidak menunjukkan hasil efektif untuk
mengurangi gejala dan tidak menghalangi kekambuhan. Humidifikasi dengan
irigasi salin menunjukkan hasil yang aman dan efektif untuk mengurangi
kekeringan pada hidung dan membantu penipisan lendir [93,94]. Agen mukolitik
15

juga dapat membantu membersihkan lendir yang tebal dan meredakan gejala.
Emolien membantu mengatasi krusta pada hidung [10]. Johnsen et al
mendemostrasikan pasien yang menderita hidung kering karena rendahnya
humidifikasi, penggunaan minyak wijen akan meningkatkan kekeringan mukosa,
kekakuan hidung, dan meningkatkan krusta jika dibandingkan dengan cairan
isotonik NaCl [95]. Hasil tersebut terbukti aman dan dapat digunakan untuk
pengobatan.

Rhinitis alergi
Pengobatan rhinitis alergi mempunyai 3 prinsip penting: mencegah pajanan
terhadap alergen, farmakoterapi, dan imunoterapi.
Menghindari alergen
Menghindari beberapa bentuk alergen efektif untuk manajemen dari
rhinitis alergi, meskipun bukti dari penelitian masih sulit untuk digeneralisasikan.
Berdiam di dalam ruangan dengan jendela yang tertutup selama musim semi dapat
menurunkan angka kesakitan. Tindakan lain termasuk membersihkan debu karpet,
mengeluarkan hewan peliharaan dari rumah, mencuci sprei teratur. Tindakan
tersebut penting bagi pasien lansia karena mereka lebih sering berdiam diri dalam
rumah daripada di luar rumah. Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk
menjalankan tindakan tersebut memberikan sedikit bukti mengenai efikasi hal
tersebut.
Farmakoterapi
Generasi kedua antihistamin merupakan pengobatan standar untuk alergi
ringan. Obat ini efektif untuk mengurangi gejala dari hidung dan gatal pada mata,
rhinorea, dan bersin, tetapi kurang efektif untuk mengatasi kongesti hidung [2,96].
Generasi kedua lebih aman pada pasien lansia karena tidak mempunyai efek
antikolinergik atau ani alfa-adrenergik [57,76]. Generasi pertama antihistamin
sebaiknya tidak diberikan karena potensial efek samping pada sisitem saraf dan
interaksi dengan obat yang dipakai pasien lansia [10.57,76]. Obat ini dapat
mempengaruhi saat berkendara lebih dari efek alkohol, mengganggu siklus tidur
normal, mempengaruhi pemusatan perhatian dan fungsi kognitif [97,98].
16

Antihistamin topikal seperti azelastine merupakan alternativ selain terapi
oral dan disetujui untuk rhinitis alergi musiman di Amerika. Penelitian
menunjukkan efikasi dari ebastine, cetirizine, loratadine, dan terfenadine dapat
mengurangi gejala dan juga meningkatkan kongesti nasal lebih baik dari
antihistamin oral [99]. Azelastine dapat ditoleransi dengan baik pada pasien
geriatri [100]. Efek samping yang umum adalah rasa pahit di mulut, sedasi, nyeri
kepala, dan iritasi pada tempat pemakaian.[99,101]. Antihistamin topikal
mempunyai efikasi lebih besar jika digunakan bersamaan dengan steroid
intranasal daripada penggunaan tunggal [102]. Sebuah formulasi baru sedang
dikembangkan untuk mengurangi efek samping rasa pahit di mulut. Produk baru
ini juga disesuaikan untuk pasien geriatri dengan frekuensi pemberian dan efek
samping yang minimal [103,104].
Steroid intranasal menjadi terapi lini pertama untuk rhinitis alergi sedang-
berat dan efektif untuk mnghilangkan semua gejala [105]. Sebuah penelitian
randomized control trial menyebutkan efek mometasonefuroate spray pada pasien
usia < 65 tahun dengan rhinitis alergi perrenial menunjukkan hasil efektif pada
studi kohort [106]. Streoid intranasal ditoleransi dengan baik pada lansia [10,107].
Meskipun terdapat efek mengganggu seperti hidung kering, epistaksis, dan krusta
pada hidung [108]. Untuk itu diperlukan instruksi yang jelas dan follow up untuk
mengetahui adanya masalah di hidung.
Dekongestan topikal dan sistemik golongan alfa adrenergik agonist secara
signifikan mengurangi kongesti dari hidung meskipun tidak meredakan gejala
bersin, hidung gatal dan sekresi lendir [109]. Dekongestan dapat digunakan
dengan antihistamin jika pasien menunjukkan gejala rhinitis multiple termasuk
kongesti. Obat oral dilarang pada pasien dengan kondisi penyakit yang menyertai
seperti penyakit jantung koroner, diabetes, hipertensi, hipertiroid, glaukoma sudut
tertutup dan gejala obstruksi saluran kencing [96,110,111]. Efek samping dari
dekongestan oral termasuk palpitasi, insomnia, gemetar, iritabilitas. Beberapa
pasien menunjukkan masalah pada BAK dan penurunan nafsu makan [2]. Efek
samping mayor dari penggunaan topikal dekongestan yang berlebihan adalah
17

rebound vasodilatasi dan hidung kering, speprti efek samping pada rhinitis
medikamentosa karena penggunaan obat yang lama [105,11].
Antagonis reseptor leukotrine (montelukasy, zileuton) menurunkan respon
inflamasi pada rhinitis alergi dan mengurangi gejala kongesti, bersin dan rhinorea
[113]. Obat ini kurang baik jika diberikan monoterapi, biasanya digunakan
bersama dengan antihistamin atau steroid intranasal [96,114]. Data terdahulu tidak
melaporkan mengenai keamanan penggunaan pada lansia, tetapi tampaknya obat
ini dapat ditoleransi dengan baik [10,115]. Obat ini secara umum digunakan untuk
pengobatan asma.
Sodium cromolin intranasal dapat secara efektif mengurangi gejala rhinitis
alergi pada pasien yang refrakter. Obat ini menghambat sensitisasi dan
degranulasi sel mast dengan mencegah pengeluaran mediator pada respon alergi
dan inflamasi [116]. Pasien yang diberikan sodium cromolin nasal harus diberikan
penjelasan untuk menggunakan obat sebelum pajanan alergen dan digunakan
secara teratur saat terjadi pajanan alergen [2]. Cromolin sebaiknya diberikan
selama 2-3 minggu, 3-4 kali dalam sehari [105]. Pengobatan ini secara luas dapat
diterima dan efek samping minimal [116]. Cromolin dapat menjadi pilihan baik
untuk pasien lansia yang kurang toleransi antihistamin dan dekongestan, atau
pasien yang mendapat pengobatan multipel [102,116].
Imunoterapi
Imunoterapi biasanya digunakan sebagai terapi lini terakhir ketika pasien
menderita rhinitis alergi sedang-ringan terus menerus meskipun sudah mendapat
terapi medikamentosa. Beberapa penelitian menyatakan efikasi dari imunoterapi
pada populasi geriatri, walaupun bebrapa data jauh dari hasil positif. Eidelman et
al melaporkan respon yang menguntungkan pada pasien usia >60 tahun lebih baik
daripada usia <60 tahun [117]. Asero melakukan penelitian pada pasien usia >54
tahun denga monosensititasi serbuk bunga dan rerumputan [118]. Uji coba
menunjukkan pengobatan imunoterapi efektif pada individu lansia yang sehat
dengan durasi pendek (<10 tahun) dengan gejala yang tidak dapt dikontrol dengan
obat. Penelitian ini perlu dikembangkan lagi untuk mengetahui keamanan terapi.

18

Rhinitis Non Alergi
Rhinitis vasomotor
Farmakoterapi. Azelastine telah disetujui oleh FDA untuk terapi rhinitis
vasomotor. Obat ini mempunyai efek antiinflamasi dan meredakan semua gejala
termsuk rhionorea, bersin, postnasal drip dan kongesti [119,120]. Steroid
intranasal dapat diberikan pada keluhan]hidung buntu atau kongesti [121];
walaupun penelitian terbaru menunjukkan penggunaan steroid pada rhinitis
vasomotor yang dipicu udara atau suhu tidak efektif [122]. Penggunaan
antikolinergik pada kondisi ini untuk meredakan rhinorea [6,123] tetapi
penggunaan pada lansia belum diteliti. Bersin dan kongesti daat diredakan dengan
cromolin tetapi tidak efektif sebagai terapi lini pertama [6]. Tidak ada bukti yang
menunjukkan pengunaan dekongestan oral atau topikal. Secara empiris tidak ada
kontraindikasi pemberian pada pasien lansia. Kesimpulan, farmakoterapi pada
rhinitis vasomotor diberikan sesuai gejala, jika 1 terapi gagal maka dicoba terapi
lainnya.

Rhinitis Gustatory
Penurunan atropin pada respon parasimpatik berguna untuk terapi rhinitis
gustatory [67]. Agen antikolinergik intranasal seperti intranasal ipratropium
disetuji FDA untuk rhinitis alergi dan non alergi serta sangat efektif untuk rhinitis
gustatory jika digunakan sebelum makan [125]. Pengobatan ini memiliki efek
samping lokal seperti epistaksis dan hidung kering [105].
Toksin Botulinum merupakan terapi terbaru untuk rhinitis gustatory
walapun pemberian optimal, dosis optimal, efikasi jangka panjang, dan efek
samping belum dijelaskan [126,127].

Rhinitis Atrofi
Fokus utama pengobatan untuk meningkatkan kelembaban hidung. Hal ini
dapat dicapai denagn hidrasi, irigasi nasal, meningkatkan fungsi mukus dengan
obat seperti guasifenesin, atau humidikasi rumah [108]. Agen mukolitik seperti
alkohok dapat juga memberikan manfaat [128].
19

Pembedahan
Terapi pembedahan juga digunakan sebagai pilihan pada populasi geriatri.
Pertama, karena terdapat kelainan struktural. Rekonstruksi hidung berguna untuk
mengatasi efek penuaan pada hidung misalnya mengangkat ujung hidung dan
kartilago lateral [10]. Hal ini memberi manfaat untuk aliran udara dan fungsi
hidung. Begitupun juga dengan septoplasti dengan atau tanpa reduksi inferior
menunjukkan manfaat pada lansia diatas 65 tahun [129]. Pembedahan sinus
dengan endoskopi untuk penyakit sinus yang terjadi bersamaan. Pembedahan
sinus terbukti aman pada pasien lansia dan meningkatkan kualitas hidup
[130,131]. Reh et al melaporkan lansia dengan rhinosinusitis kronik memiliki
perbaikan yang sama setelah endoskopi dan kualitas hidup yang baik
dibandingkan dengan kontrol usia muda[132]. Pembedahan dapat menjadi terapi
efektif untuk lansia tetapi pasien harus dilakukan penilaian pre operasi terlebih
dahulu.

Kesimpulan
Rhinitis jelas menjadi beban yang penting pada populasi lansia di
Amerika. Struktur dan fungsi hidung yang menagalami penuaan menyebabkan
manifestasi dan mekanisme dari kondisi ini. Variasi yang lebih luas pada
kelompok yang heterogen sehingga fokus terapi harus diklasisfikasikan terlebih
dahulu tergantung pasien dengan subtipe yang sesuai. Kemudian ditentukan terapi
yang aman dan sesuai pada individu tersebut. Pengobatan mempunyai tantangan
tersendiri karena terdapat sedikit data yang jelas mengenai terapi yang bermafaat
pada tiap subtipe. Uji coba dapat dibuktikan bermanfaaat secara langsung ketika
tidak adan data yang valid pada pasien geriatri. Terlebih lagi terapi tambahan
seperti menghindari alergen dan humdifikasi hidung tidak hanya murah tapi juga
membatasi pengggunaan polifarmasi pada pasien lansia. Dibutuhkan penelitian
lagi untuk mengembangkan protokol pengobatan yang efektif pada kelompok
pasien ini.

Anda mungkin juga menyukai