Anda di halaman 1dari 11

9 Diagnosis Banding

1. Difteria Hidung, diagnosis bandingnya:


 common cold
Bila sekret yang dihasilkan purulent :
 sinusitis
 adenoiditis
 benda asing dalam hidung
 snuffles (lues congenital).
2. Difteria Faring,diagnosis bandingnya:
 Pharingitis oleh streptococcus
 Tonsillitis membranosa akut
 Mononucleosis infeksiosa,
 Tonsillitis membranosa non-bakteria
 Tonsillitis herpetika primer
 Moniliasis
 Blood dyscrasia
 Pasca tonsilektomi
3. Difteria Laring, diagnosis bandingnya:
 Laryngitis
 Laringo-trakeo bronkitis
 Spasmodic croup
 Angioneurotic edema pada laring
 Benda asing dalam laring.
 Akut epiglotitis
4. Difteria Kulit, diagnosis bandingnya:
 impetigo
 infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus. (1)

10 Penatalaksanaan
Apabila seseorang diduga menderita difteri oleh dokter, maka pengobatan harus segera
dilakukan tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang.(1) Selain itu, kontak dekat, seperti
anggota keluarga, kontak rumah tangga, dan karier harus menerima pengobatan profilaksis
tanpa memandang status imunisasi atau usia, yaitu pengobatan dengan eritromisin atau

1
penisilin selama 14 hari dan kultur pasca pengobatan untuk mengkonfirmasi ketiadaan
bakteri.(2) Pengobatan yang paling efektif yaitu pada tahap awal penyakit, untuk mengurangi
penularan, mengobati infeksi, dan mencegah perjalanan infeksi lebih jauh.(3,15)

Tatalaksana Umum
Pasien dengan difteri dirawat di rumah sakit selama pemberian antitoxin diberikan.
Selama perawatan, yang biasanya dilakukan adalah
 Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi sampai setidaknya 2
kultur berturut-turut setelah pengobatan selesai dengan jarak 24 jam memberikan
hasil negatif
 Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi,
untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bila perlu sonde lambung
jika ada kesukaran menelan (terutama pada paralisis palatum molle dan otot-otot
faring).
 Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas perbaiki segera. Berikan oksigen atau
lakukan tindakan trakeostomi bila diperlukan.
 Monitoring jantung dan organ-organ vital lain. (1,4,5)

Tatalaksana Medikamentosa
1. Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin difteri adalah preparat steril yang mengandung globulin bersifat antitoksin
spesifik yang memiliki kekuatan menetralisir toksin yang dibentuk oleh Corynebacterium
diphtheriae. Antitoxin ini dibuat dari plasma kuda yang sehat, yang telah terimunisasi dengan
suntikan toksin difteri. (6)
Antitoksin difteri tersedia dalam bentuk vial 5 ml (10.000 IU) dan 10 ml (20.000 IU),
tiap ml mengandung 2000 IU antitoxin difteri dan 0,25% fenol v/v. Untuk pencegahan, dosis
untuk anak-anak adalah 1000-3000 IU, sedangkan untuk dewasa 3000-5000 IU. Untuk
pengobatan, dosis tergantung usia, berat gejala, dan lokasi membran. (7)

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran


Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteria Hidung 20.000 IU Intramuscular

2
Difteria Tonsil 40.000 IU Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 IU Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 IU Intramuscular /Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 IU Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IU Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 IU Intravena

Serum antidifteri merupakan serum heterolog, maka dapat menimbulkan reaksi


anafilaktik. Untuk mencegah hal tersebut, maka dilakukan hal-hal berikut(6,8) :
 Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan
sesudah pemberian terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.
 Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan untuk
menanggulangi reaksi anafilaktik ( dosis 0,01 cc/kg BB intramuskuler, maksimal
diulang tiga kali dengan interval 5-15 menit ).
 Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
 Uji kepekaan, yang terdiri dari :
o Tes kulit
Anti difteri serum 0,1 cc diencerkan dengan perbandingan 1:10 dalam NaCl
0,9% disuntikkan intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit. Dianggap
positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
o Tes mata
Satu tetes anti difteri serum yang telah diencerkan dengan perbandingan 1:10
dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah. Satu
tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya untuk
perbandingan. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian. Dianggap
positif bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi ). Apabila
terjadi konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000.
Bila salah satu tes kepekaan positif, maka ADS tidak diberikan secara sekaligus (single
dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan
(desensitisasi) dengan interval 20 menit. ADS diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis
sebagai berikut(9):

3
Efek samping yang bisa terjadi pada pemberian antitoksin ini adalah(7) :
a. Reaksi anafilaktik jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dengan segera atau dalam
waktu beberapa jam sesudah suntikan.
b. Serum Sickness dapat timbul 7 - 10 hari setelah suntikan dan dapat berupa
kenaikan suhu, gatal-gatal, eksantema, sesak nafas dan gejala alergi lainnya. Reaksi
ini jarang terjadi bila menggunakan serum yang telah dimurnikan.
c. Demam dengan menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian serum secara
intravena.
d. Rasa nyeri pada tempat suntikan yang biasanya timbul pada penyuntikan serum dalam
jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam 24 jam.

2. Antibiotik
Terapi antimikroba diindikasikan untuk menghentikan produksi toksin, mengobati
infeksi lokal, dan mencegah penularan. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen
in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin, dan tetrasiklin. Resistensi
terhadap eritromisin sering terjadi karena obat tersebut telah digunakan secara luas. Eritromisin
diberikan pada pasien dengan alergi penisilin. Eritromisin sedikit lebih unggul dari penisilin
untuk pemberantasan infeksi nasofaring. Terapi antibiotik bukanlah pengganti untuk terapi
antitoksin. Pemberantasan bakteri harus didokumentasikan oleh setidaknya 2 kultur berturut-
turut diperoleh 24 jam setelah selesai terapi. Pengobatan dengan eritromisin diulang jika hasil
kultur tetap positif.(1,4,5)

4
Dosis(4,5) :
 Penisilin prokain 25.000-50.000 IU/kgBB/hari intramuskuler, selama 14 hari atau
bila hasil biakan 3 hari berturut-turut negatif.
 Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, per oral, tiap 6 jam selama 14
hari.
 Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam
4 dosis, diberikan selama 14 hari.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB perhari.
4. Simtomatis
Dapat diberikan antipiretik untuk menurunkan demam, jika pasien anak gelisah berikan
sedatif, dan apabila batuk bisa diberikan antitusif.

Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan,
iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan
trakeostomi.

 Trakeostomi/intubasi endotrakeal segera bila ada obstruksi larings.


 Alat pacu jantung bila ada blok jantung.
 DL-Carnitine 100 mg/kg BB dalam 2 dosis bila terjadi miokardistis

Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut
terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa
tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat
imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.

Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif
tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah
penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu
minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi. (18,19,22)

5
11 Pencegahan
1. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium Diphtheriae
(1,2,6)

2. Imunisasi
Imunisasi adalah cara terbaik untuk mencegah difteri. Vaksin difteri umumnya
dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan pertusis. Ada empat jenis kombinasi
vaksin difteri, tetanus dan pertusis : DTaP, Tdap, DT, dan Td. DT tidak
mengandung pertusis, dan digunakan sebagai pengganti DTaP untuk anak-anak
yang tidak dapat mentoleransi vaksin pertusis. Td adalah vaksin tetanus-difteri yang
diberikan kepada remaja dan orang dewasa sebagai booster setiap 10 tahun, atau
bila terpapar tetanus dalam kondisi tertentu. Tdap mirip dengan Td tetapi juga
mengandung perlindungan terhadap pertusis. (10,11)
Imunisasi DTaP untuk bayi dan anak-anak umumnya lima kali umumnya diberikan
pada 2, 4, dan 6 bulan, dengan dosis keempat yang diberikan antara 15-18 bulan,
dan dosis kelima pada usia 4-6 tahun. Karena kekebalan terhadap difteri berkurang
seiring dengan waktu, maka pemberian booster dianjurkan.(10,11,18)

6
12 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah miokarditis. Biasanya jelas
didapatkan pada hari ke 10 – 14 tetapi dapat dijumpai sepanjang minggu 1 – 6, biarpun setelah
gejala tonsillitis menghilang. Risiko cardiac toxicity terkait dengan derajat tonsillitis sendiri.
Kelainan EKG yang tidak signifikan ditemukan pada 20 – 30% pasien, tetapi disosiasi
atrioventrikular, complete heart block, dan aritmia ventricular bisa terjadi dan biasa diasosiasi
dengan tingkat kematian yang tinggi. Gagal jantung juga bisa terjadi.(1,2)

Toksisitas system saraf bisa terjadi pada pasien dengan kasus tonsillitis difteria berat 2. Toksin
difteri mengakibatkan demyelinating polyneuropathy yang mengenai saraf cranial dan perifer.
Kesan toksin biasanya bermula pada minggu 1 infeksi dengan kehilangan akomodasi ocular
dan bulbar palsy, mengakibatkan disfagia serta regurgitasi nasal. Bisa juga didapatkan suara
parau dan kelumpuhan otot pernafasan. Neuropati perifer pula terlihat sepanjang minggu 3 –
6. Neuropati terjadi secara motorik dan sensorik, walaupun symptom motorik lebih dominan.
Resolusi terjadi dalam masa beberapa minggu (2,3,4)

Komplikasi yang paling berat melibatkan penutupan jalan nafas oleh pseudomembran yang
mengakibatkan gejala sumbatan. Semakin muda usia pasien makin cepat pula timbul
komplikasi ini. Selain itu bisa timbul gejala albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal
yang menyebabkan nefritis. (4,6,21)

13 Prognosis
Prognosis tergantung kepada
 Virulensi kuman
 Lokasi dan perluasan membrane
 Kecepatan terapi
 Status kekebalan
 Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin buruk.
 Keadaan umum penderita,misalnya prognosisnya kurang baik pada penderita gizi
kurang
 Ada atau tidaknya komplikasi
. Secara umum, pasien dengan tonsillitis difteri tanpa komplikasi yang berespon baik terhadap
pengobatan memiliki prognosis yang baik. Penyembuhan bisa mengambil masa yang lama dan
kadar kematian adalah 5 – 10% bagi semua kasus difteri respiratorik. (5,20,21)

7
BAB IV
KESIMPULAN

Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi dengan segera, oleh
karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam mengurangi insidensi
penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-
kadang masih ada yang terkena penyakit ini.

Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan kuman gram
(+), ireguler,tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan memperlihatkan bentuk
seperti tulisan China.Masa inkubasi kuman ini 2-5 hari, dengan gejala klinis berupa sakit
tenggorokan ringan, panas badan 38,9ºC.

Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri tonsil
dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri konjungtiva, dan difteri
telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri tonsil faring.

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat
mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini adalah isolasi C.
Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam (kultur).

Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae
dengan isolasi, antibiotik dan ADS. Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk
kebanyakan strain C. diphtheriae.

Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran
membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.

Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi


pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan pemberian imunisasi DPT 0,5
mL intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun dan pemberian DT 0,5 mL intramuscular
untuk anak lebih dari 7 tahun.

8
BAB V
Daftar Pustaka

1. Tonsil. Available at http://www.scribd.com/doc/58952076/Tonsil. Accesed at


July, 28 2012.
2. Tonsil. Availabe at http://www.scribd.com/doc/38304135/Referat-Tonsil-It-Is-
Kronis-Rendy. Accesed at July, 28 2012.
3. Tonsil. Available at http://www.scribd.com/doc/47784138/TONSIL. Accesed at
July, 28 2012.

4. Tifus, Tonsilitis, dan Difteri. Available at :


http://www.scribd.com/doc/92802818/TIPUS-TONSILITIS-DIFTERI. Accesed
at July, 28 2012.
5. Difteria. Availabe at : http://www.blogdokter.net/2007/09/30/difteri-difteria/.
Accesed at July, 28 2012
6. Difteriae. Available at http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/referat-
difteri_18.html. Accesed at July, 28 2012.
7. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell R. Basic of Pathology. 8ed.
Elsevier.United Kingdom:2008
8. Demirci CS, Abuhammour W. Pediatric Diphhteria. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview#showall. Accesed at
July, 28 2012.
9. The Histopathology of Tonsilitis Diphtheria. Available at :
http://www.histopathology-india.net/Dipth.htm. Accesed at July, 28 2012.
10. CDC.DiphtheriaEpidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable
Diseases.Edisi 12.2011,diakses dari
http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.html. Accesed at July, 28 2012.
11. CDC.Diphtheria.Edisi 5.2011, diakses dari http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/surv-
manual/chpt01-dip.html. Accesed at July, 28 2012.
12. Zieve D, Kaneshiro NK. Diphtheria. Available at:
http://www.umm.edu/ency/article/001608trt.htm. Accessed July 28th 2012
13. Dale DC. Infections Due to Gram Positive Bacilli. In: In Infectious Diseases:
The Clinician's Guide to Diagnosis, Treatment, and Prevention. 16th ed.
WebMD Corporation; 2007.

9
14. Guy AM. Diphtheria in Emergency Medicine Medication. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/782051-medication#1. Accessed July
28th 2012.
15. Demirci CS. Pediatric Diphtheria Treatment & Management. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/963334-treatment#showall. Accessed
July 28th 2012.
16. Rusmarjono, Efiaty AS. Faringitis,tonsillitis dan hipertrofi adenoid. Dalam :
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor
: Afiaty AS,Iskandar N,Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-6. Jakarta : Balai
Penerbit FK UI.2008; hal 221-222.
17. Egyptian Company for Production. Diphtheria Anti-Toxin Serum (Equine).
Available at: http://www.egyvac.com/egyproducts/Diphtheria%20Anti-
Toxin.htm. Accessed July 28th 2012.
18. Biofarma. Serum Anti Difteri. Available at: http://www.biofarma.co.id/index.
php/detil/items/serum-anti-diptheri.html. Accessed July 28th 2012.
19. RxMed The Comprehensive Resource for Physician, Drugs and Ilness
Information. Diphtheria Antitoxin (Equine). Available at:
http://www.rxmed.com/b.main/b2. pharmaceutical/b2.1.monographs/CPS-
%20Monographs/CPS-%20%28General%20 Monographs-
%20D%29/Diphtheria%20Antitoxin.html. Accessed July 28th 2012.
20. American Academy of Pediatrics. Red book: 2006 Report of the Commitee on
Infectious Diseases. 27th ed. American Academy of Pediatrics; 2006.
21. Doerr S. Diphtheria. Available at: http://www.emedicinehealth.com
/diphtheria/page9_em.htm. Accessed July 28th 2012.
22. Centers for Disease Control and Prevention. Diphtheria, Tetanus, and Pertussis
Vaccines. Available at: http://www.cdc.gov/vaccines/vpd-vac/diphtheria/
default.htm#vacc. Accesed July 28th 2012.
23. Bush L.M, Perez M.T. The Merck Manual: Diphtheria. Tersedia di:
http://www.merckmanuals.com/professional/infectious_diseases/gram-
positive_bacilli/diphtheria.html?qt=Diphtheria&alt=sh#v1006046
24. GP Notebook. Complications of Tonsillar Diphtheriae
http://www.gpnotebook.co.uk/simplepage.cfm?ID=1745223704&linkID=12516
&cook=no

10
25. Diphtheria: Division of Bacterial and Mycotic Diseases (US CDC). Tersedia di
http://www.rightdiagnosis.com/artic/diphtheria_dbmd.htm. Diunduh pada 27 Juli
2012.
26. Diphtheria. http://www.umm.edu/ency/article/001608trt.htm. Reviewed last on:
12/15/2010
27. David Zieve, MD, MHA, Medical Director, A.D.A.M., Inc., and Neil K.
Kaneshiro, MD, MHA, Clinical Assistant Professor of Pediatrics, University of
Washington School of Medicine.
28. Dale DC, ed. 16 Infections Due to Gram-Positive Bacilli. In: Infectious Diseases:
The Clinician's Guide to Diagnosis, Treatment, and Prevention. WebMD
Corporation; 2007.
29. Diphtheria in Emergency Medicine Medication. Allysia M Guy, MD Staff
Physician, Department of Emergency Medicine, State University of New York
Downstate Medical Center. http://emedicine.medscape.com/article/782051-
medication#1
30. Pediatric Diphtheria Treatment & Management. Cem S Demirci, MD Consulting
Staff, Division of Endocrinology/Diabetes, Connecticut Children's Medical
Center. http://emedicine.medscape.com/article/963334-treatment#showall and
http://www.egyvac.com/egyproducts/Diphtheria%20Anti-Toxin.htm
31. Serum Antidifteri http://www.biofarma.co.id/index.php/detil/items/serum-anti-
diptheri.html
32. biofarmarxmed
http://www.rxmed.com/b.main/b2.pharmaceutical/b2.1.monographs/CPS-
%20Monographs/CPS-%20%28General%20Monographs-
%20D%29/Diphtheria%20Antitoxin.html
33. American Academy of Pediatrics. Red book: 2006 report of the Committee on
Infectious Diseases, 27th ed. http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/738/treatment/step-by-step.html

11

Anda mungkin juga menyukai