Anda di halaman 1dari 3

1

Protokol Singkat Respon KLB Difteri, Garut, Jawa Barat


Disclaimer : Dokumen ini adalah ringkasan dari pedoman nasional penanggulangan Difteri, 2017.

Respon KLB Difteri : (1) Penemuan kasus dan manajemen klinis, (2) Pelacakan kontak dan pemberian
profilaksis + vaksin, (3) pencarian kasus aktif, (4) imunisasi

Latar Belakang. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria
(C.diphtheria) yang dapat dicegah dengan imunisasi. Strain toksigenik paling sering menyebabkan infeksi
pada saluran pernapasan atas dengan gejala seperti faringitis, naso-faringitis, tonsilitis, laryngitis (atau
kombinasinya), dan seringkali muncul pseudomembran putih pada tonsil/faring/laring/rongga hidung.
Pada kasus berat, perluasan pseudomembran dapat menyebabkan tracheitis, pembengkakan daerah
sekitar leher dan peradangan pada kelenjar limfe dan bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas. Kematian
juga bisa disebabkan karena asfiksiasi atau aspirasi dari pseudomembran yang lepas. Toksin yang
dihasilkan dapat menyebabkan komplikasi pada jantung, ginjal dan sistem saraf. C.diphtheria juga dapat
menyebabkan infeksi pada kulit. Penularan dari orang ke orang melalui percikan ludah (droplet) pada
saat batuk/bersin atau kontak langsung dengan secret pernafasan atau kulit terinfeksi. Masa inkubasi
terjadi 2-5 hari.

Definisi Kasus

 Suspek : seseorang dengan gejala faringitis, tonsilitis, laryngitis, trakeitis atau kombinasi, bisa
dengan demam/tidak demam dan adanya pseudomembran pada tonsil, faring dan/atau hidung.

Bullneck Pseudomembran

Presentasi Klinis : gejala awal berupa malaise, nyeri tenggorokan dan pilek yang mirip dengan ISPA viral.
Gejala lanjutan dapat muncul seperti keluar darah dari hidung, suara serak, batuk dan/atau nyeri saat
menelan. Pada anak hal ini dapat menyebabkan produksi cairan liur yang berlebihan. Pada kasus berat,
dapat muncul inspiratori stridor dan sesak nafas. Demam bisa ada atau tidak ada. Jika infeksi terjadi
pada kulit, maka akan muncul luka dengan lapisan abu-abu yang melapisinya.

Pemeriksaan tenggorokan dan hidung. Hati-hati supaya tidak menyebabkan distress pada anak. Pada
inspeksi lihat apakah ada pembengkakan daerah leher yang disebut “bullneck” (pembengkakan lymph
node, jaringan lunak dan edema mukosa). Periksa rongga hidung dan mulut untuk melihat adanya
pseudomembran berwana putih (keabu-abuan) yang menutupi permukaan yang tampak memerah
(radang). Pseudomembran ini sulit lepas, ketika lepas dapat muncul perdarahan. Pada fase awal
2

biasanya pseudomembran belum muncul, sehingga perlu pemantauan gejala bagi yang berisiko (kontak
erat).

Komplikasi serius : dalam 1-12 minggu setelah fase faringeal, beberapa pasien dapat mengalami
myocarditis (CHF, gangguan konduksi, aritmia), disfungsi neurologis (neuropathy kranial atau perifers,
paralisis) atau gagal ginjal.

Danger sign (tanda ke arah gagal airway/gagal nafas)


 Bullneck atau adanya pseudomembran yang luas seperti dari nasofaring ke faring/laring
 Tanda distress respiratory (stridor, nafas cepat, chest indrawing, penggunaan otot asesoris
untuk bernafas, gelisah)
 Penurunan kesadaran, tanda sianosis atau SpO2<90% adalah beberapa tanda obstruksi jalan
nafas atas.
 Tanda syok seperti CRT>3 detik, ekstremitas dingin, turun tekanan darah, nadi cepat.

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)

1. Lakukan upaya standar pencegahan penularan melalui droplet.


2. Triase dapat dilakukan segera pada pasien dengan gejala ISPA ditempat terpisah. Dapat
ditempatkan secara cohort pasien dengan diagnosis yang sama.
3. Jaga jarak antar pasien minimal 1 meter, dan pastikan ruangan memiliki ventilasi yang baik.
4. Difteri akan tidak infeksius setelah pasien menyelesaikan terapi antibiotic dalam 48 jam.
5. Jika pasien sudah dapat dipulangkan, hindari kontak dengan orang lain sampai terapi antibiotic
selesai (14 hari).

Upaya pencegahan penularan droplet


Pasien:
1. Tempatkan di ruangan terpisah dengan pasien lain atau dibuatkan dalam cohort.
2. Batasi pergerakan pasien keluar ruang isolasi
3. Jika harus ada pergerakan keluar ruang isolasi, pastikan pasien menggunakan masker medis.

Petugas Kesehatan:
1. Hand hygiene
2. Menggunakan masker medis, gloves, pelindung mata dan gaun Panjang jika melakukan
pemeriksaan pada pasien.
3. Lepaskan APD sesuai prosedur setelah melakukan pemeriksaan pasien
4. Menggunakan alat-alat sekali pakai atau khusus untuk satu pasien. Jika tidak lakukan
pembersihan dan disinfeksi setelah pemakaian dari satu pasien ke pasien lain.
5. Hindari memegang mata, hidung atau mulut dengan gloves yang terkontaminasi atau tanpa
gloves.
6. Hindari/cegah kontaminasi pada permukaan-permukaan seperti gagang pintu, tombol lampu,
telepon dsb.

Pemeriksaan Laboratorium (Pemeriksaan Bakteri)

Dalam situasi rutin, dapat diambil spesimen swab pada daerah sekeliling pseudomembran atau daerah
dibawah pseudomembran (ditekan), kemudian masukkan dalam media Amis. Dalam situasi KLB,
3

pengambilan spesimen rutin dapat dibatasi. Pertimbangkan pengambilan spesimen swab pada kasus
dimana diagnosis kurang jelas atau jika ada kecurigaan resisten antibiotic.

Tatalaksana Klinis

 Tatalaksana mengikuti pediman klinis IDAI/SPM RS. Pemberian ADS mengikuti rekomendasi dari
komite ahli difteri dengan berkomunikasi melalui Dinkes setempat.
 Pemberian antibiotic harus dilakukan segera. Pada pasien dengan kondisi berat/tidak mampu
menelan dapat digunakan IV/IM. Jika pasien sudah perbaikan, dapat dipertimbangkan untuk
menggunakan obat oral.
 Pada pasien dengan gejala sedang/ringan, dapat digunakan terapi oral sejak awal.
 Cek adanya alergi (termasuk alergi penisilin).

Tatalaksana untuk Kontak Erat

1. Definisi kontak erat : seseorang, semua golongan umur, yang tinggal dalam satu rumah dalam 5
hari sebelum onset/awal gejala dan selama sakit (sebelum dirujuk/diisolasi) ATAU yang
berkontak kurang dari 1 meter selama waktu yang lama (minimal 1 jam) dalam periode 5 hari
sebelum onset (pengasuh, saudara, teman kelas, dsb) dan selama sakit (sebelum
dirujuk/diisolasi). Untuk Petugas Kesehatan, yang terpapar oleh cairan dari mulut atau
pernafasan dari pasien tanpa menggunakan APD yang sesuai.
2. Kumpulkan data : nama, usia, nomer kontak, alamat, status imunisasi, dan tanyakan gejala yang
mengarah ke difteri.
3. Berikan informasi terkait difteri dan risiko sebagai kontak erat serta upaya yang bisa dilakukan.
4. Evaluasi status imunisasi. Jika sudah lengkap, berikan cukup 1 dosis sesuai usia. Jika belum
pernah, maka berikan 3 dosis (0, 1 bulan, 2 bulan) – jarak minimal 4 minggu antar dosis.
5. Berikan obat pencegahan (profilaksis). Pemantauan pada hari 1, 2, 3 dan hari ke-7. Pantau
minum obat dan gejala.

Erythromycin Oral
- Anak : 40 mg/kg BB/hari, dibagi menjadi 4 dosis (setiap 6 jam)
- Dewasa : 1 gram per hari, dibagi menjadi 4 dosis (250 mg per dosis setiap 6 jam)
Berikan selama 7 hari.
Azithromycin oral
- Anak : 20 mg/kg BB 1 kali sehari, selama total 7 hari.
- Dewasa : 500 mg 1kali sehari, selama 7 hari.

6. Karantina minimal selama 48 jam dan minum obat profilaksis. Lakukan pemantauan gejala.
7. Jika muncul gejala, segera rujuk dan lakukan tatalaksana klinis sesuai standard.

Surveilans Aktif (Active Search) : untuk meningkatkan upaya DETEKSI DINI, sehingga dapat ditangani
lebih awal dan menekan penularan serta kematian.

 Lakukan penyisiran (pencarian kasus aktif) di wilayah sekitar kasus, dan jika kasus sudah pernah
berobat kef askes, maka luasan pencarian kasus dapat diperluas. Minimal dalam radius 50
meter.
 Meningkakan kewaspadaan di seluruh fasyankes.

Anda mungkin juga menyukai