1 Pengertian Faringitis akut adalah peradangan dinding faring yang dapat disebabkan
oleh virus (60%), bakteri (40%), alergi, trauma, toksin, dan lain-lain
2 Anamnesis Gejala - gejala faringitis viral :
1. Demam
2. Rinorea
3. Mual
4. Nyeri tenggorok
5. Sulit menelan
6. Nyeri kepala
7. Muntah
8. Batuk kadang – kadang
3 Pemeriksaan Tanda - tanda :
Fisik 1. Arkus faring hiperemis
2. Faring hiperemis
3. Eksudasi faring
4 Kriteria Berdasarkan pemeriksaan fisik dan anamnesa
Diagnostik
5 Diagnosis Kerja Faringitis akut
6 Diagnosis 1. Faringitis viral
Banding 2. Faringitis bakterial
3. Faringitis fungal
4. Faringitis gonorea
7 Pemeriksaan -
Penunjang
8 Terapi Antivirus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes
simpleks dengan dosis 60 – 100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali
pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50
mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari
9 Edukasi 1. Istirahat dan minum cukup
2. Kumur dengan air hangat
10 Prognosis 1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad sanam : dubia ad bonam
3. Quo ad fungsionam : dubia ad malam
14 Kepustakaan 1. Lester DR. Pharyngitis. In : Bailey BJ, Johnson JT, editors. Head & Neck
Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins ; 2006
2. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.
In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL. Jakarta : Badan Penerbit FKUI ;
2007
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
1 Pengertian Radang kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan
riwayat keluarnya sekret telinga lebih dari 3 bulan baik terus menerus
atau hilang timbul, sekret mungkin kental, bening, atau berupa nanah.
Otitis media supuratif kronik (OMSK) dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe jinak
(benigna) dan tipe bahaya (maligna)
2 Anamnesis Tipe jinak dan tipe bahaya bisa didapatkan keluar cairan telinga terus
menerus atau hilang timbul selama 3 bulan disertai kurang pendengaran,
dapat disertai dengan batuk pilek atau nyeri tenggorok, telinga
berdenging, pusing berputar, sakit kepala.
Pada tipe bahaya dapat disertai komplikasi diantaranya infeksi bersifat
progresif, dapat mengenai area intrakranial (abses otak, abses perisinus,
tromboflebitis sinus lateral dan meningitis) dan area intratemporal (abses
subperiosteal, labirintitis, paresis fasialis, dan petrositis)
3 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan otoskopi didapatkan :
a. Tipe jinak
1. Discaj cenderung mucoid dan/atau granulasi pada canalis
auditorius eksternus (CAE).
2. Perforasi membran timpani (MT) dengan tepi tebal, rata dengan
jumlah tunggal maupun multipel, letak perforasi dapat anterior
maupun marginal, dan luasnya perforasi dapat minimal, subtotal,
maupun total.
b. Tipe bahaya
1. Discaj dan/atau granulasi pada canalis auditorius eksternus (CAE).
Kadang-kadang discaj tersebut berwarna kemerahan dan berbau
2. letak perforasi dapat posterior, atik dan luasnya perforasi dapat
minimal, subtotal, maupun total.
3. Pada tipe bahaya, didapatkan kolesteatoma (gambaran massa
keputihan dan berbau), dapat terjadi demam tinggi, tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial, kaku kuduk (+), fistel dan/atau
abses retroaurikula, paresis n.VI, paresis n.VII perifer.
4 Kriteria Diagnostik Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
5 Diagnosis Kerja Otitis media supuratif kronik tipe aman
Otitis media supuratif kronik tipe bahaya
6 Diagnosis Banding -
7 Pemeriksaan 1. Laboratorium : pengecatan gram & jamur
Penunjang 2. Pemeriksaan pengecatan BTA, kultur, dan uji sensitifitas kuman (atas
indikasi)
3. CT scan mastoid tanpa kontras (keperluan operasi)
4. Audiometri
5. Tes fungsi tuba
6. Tes fasialis (atas indikasi)
7. Vestibulometri (atas indikasi)
8 Terapi 1. Antibiotik sesuai hasil pengecatan gram/uji sensitivitas atau antibiotik
empiris :
Quinolon : Ciprofloksasin (dewasa), dosis 500 mg tiap 12 jam,
ofloksacin 200-400 mg per 12 jam, levofloxasin 500 mg per 24 jam
Diberikan 7-14 hari
Penicillin + As.Klavulanat (anak-anak), dosis menggunakan dosis
penicillin yaitu 45 mg/kgBB/hari setiap 8 jam atau 40 mg/kgBB/hari
setiap 8 jam
Cephalosporin generasi 3 (cefixime) 200 mg per 12 jam, dosis anak 20
mg/kgBB/hari
2. Simtomatis :
Analgesik atau antipiretik (golongan NSAID) : Paracetamol (bila perlu)
3. Cuci telinga peroksida (H2O2 3%) : 3 x 4 tetes (selama 30 detik)
4. Tetes telinga antibiotik golongan Quinolon (Ofloxacin) : 2 x 7-10 tetes
(dewasa), 2 x 5 tetes (anak-anak)
5. Terapi bedah : tipe aman : Timpanoplasti dinding utuh
Terapi 1, 2, 3, 4 diberikan selama 5 hari, bila ada perbaikan terapi
diteruskan sampai dengan 10-14 hari. Bila tidak ada perbaikan terapi
diberikan sesuai hasil pemeriksaan uji sensitivitas kuman atau
pengobatan secara intravena (bila hasil uji sensitivitas menunjukkan
obat-obat hanya dapat diberikan secara intravena). Bila tidak ada
perbaikan terapi bedah harus dilakukan.
Otitis media supuratif kronik tipe bahaya terapi yang diberikan adalah
pembedahan. Konsul saraf dan bedah saraf atas indikasi.
9 Edukasi 1. Telinga jangan kemasukan air
2. Obat diminum teratur dan sampai habis
3. Menjaga higienitas
4. Kontrol secara teratur
5. Kemungkinan untuk tindakan operasi bila terapi medikamentosa gagal
6. Kurang pendengaran yang terjadi dapat menetap atau menjadi lebih
berat
7. Jika batuk pilek segera periksa ke dokter
10 Prognosis 1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad sanam : dubia ad bonam
3. Quo ad fungsionam : dubia ad malam
11 Indikator Medis Kepatuhan DPJP terhadap PPK dalam pemberian terapi
12 Kompetensi Dokter spesialis telinga hidung tenggorok-kepala leher
13 Kepustakaan 1. Helmi, Otitis Media Supuratif Kronis, Balai Penerbit, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2005
2. Chronic suppurative otitis media. Burden of Illness and Management
Options. World Health Organization. Switzerland, 2004.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS RHINOSINUSITIS KRONIK
1 Pengertian Peradangan hidung dan sinus paranasal (maksila, etmoid, frontal, sfenoid)
lebih dari 12 minggu dan/atau dalam 6 bulan terakhir kambuh lebih dari 3
episode.
Penyebabnya dapat :
1. Rinogen, berupa kelainan anatomi hidung, infeksi jamur/bakteri, alergi, LPR
(laringofaringeal reflux) atau hipertrofi adenoid
2. Odontogen (infeksi THT)
Peradangan hidung dan sinus paranasal (maksila, ethmoid, frontal, sphenoid)
lebih dari 12 minggu.
Penyebabnya dapat :
1. Rinogen berupa kelainan anatomi hidung, infeksi jamur/ bakteri, alergi,
Laringo faringeal reflux (LPR), hipertrofi adenoid, tumor, pasca trauma
2. Odontogen (infeksi gigi)
3. Keadaan penurunan sistem imun seperti HIV
Bila terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung
tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior)
:
a. nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
b. penurunan/ hilangnya penghidu (pada dewasa)
c. batuk (pada anak) yang berlangsung > 12 minggu
Riwayat sakit gigi, Riwayat Alergi, Riwayat LPR, Riwayat tumor hidung,
Riwayat trauma hidung
3 Pemeriksaan 1. Rinoskopi anterior :
Fisik a. Discharge mukopurulen (di cavum nasi/meatus media)
b. Mukosa edem (di meatus media)
c. Bisa disertai polip atau tidak
2. Pemeriksaan faring: Post nasal drip
3. Dapat ditemukan bengkak dan nyeri tekan di pipi dan kelopak mata
bawah pada sinus maksila
4. Dapat ditemukan bengkak dan nyeri di dahi dan kelopak mata atas pada
sinusitis frontal
Rinoskopi Anterior:
a. Discharge mukopurulen (di cavum nasi /meatus media)
b. Mukosa edem (di cavum nasi / meatus media)
c. Bisa disertai polip atau tidak
Pemeriksaan Faring :
Post Nasal Drip
4 Kriteria 1. Sesuai dengan kriteria Anamnesa
Diagnostik 2. Sesuai dengan kriteria Pemeriksaan Fisik.
1 Pengertian Tonsilitis kronik adalah peradangan kronik dari tonsil sebagai lanjutan
peradangan akut/ subakut yang berulang/rekuren, dengan kuman
penyebab non spesifik. Peradangan kronik ini dapat mengakibatkan
pembesaran tonsil yang menyebabkan gangguan menelan dan gangguan
pernafasan.
2 Anamnesis 1. Nyeri tenggorok minimal atau rasa mengganjal di tenggorok yang
berulang
2. Halitosis
3. Gejala sistemik (penurunan daya tahan tubuh, kelelahan, pusing,
mudah mengantuk, penurunan nafsu makan, sakit kepala, nyeri sendi)
4. Nyeri menelan
5. Gangguan bernafas
6. Mendengkur
7. Hidung tersumbat
8. Batuk pilek berulang.
3 Pemeriksaan Fisik 1. Tenggorok : tonsil ukuran atrofi atau hipertrofi, permukaan tidak rata,
kripte melebar, kadang berisi detritus/eksudat. Arkus anterior dan
posterior hiperemis.
2. Kelenjar limfe : pembesaran kelenjar submandibula
4 Kriteria Diagnostik Satu atau lebih keluhan dari anamnesa yang berulang disertai dengan
pembesaran ukuran tonsil dan atau pemeriksaan fisik lainnya
5 Diagnosis Kerja 1. Chronik tonsolitis and adenoiditis (ICD 10: J35.0)
2. Hypertrophy of tonsils (ICD 10: J35.1)
3. Hypertropy of adenoids (ICD 10: J35.2)
4. Hypertropy of Tonsils with hypertrophy of adenoids (ICD 10: J35.3)
6 Diagnosis Banding 1. Tonsil Atrofi
2. Tonsil Hipertrofi
3. Tonsillitis kronis oleh sebab lain: tuberculosis, sifilis, aktinomikosis
4. Pembesaran tonsil oleh karena kelainan darah atau keganasan,
misalnya leukemia, limfoma.
7 Pemeriksaan 1. Labolatorium paket PreOperasi (Darah rutin, Ureum, Creatinin, GDS,
Penunjang APTT/PTTK.
2. ASTO (atas indikasi).
3. Bila perlu kultur resistensi dari swab tenggorok
4. Foto polos nasofaring lateral
5. Pasca operasi: pemeriksaan histopatologi jaringan tonsil dana tau
adenoid (bila dicurigai keganasan)
8 Terapi Bila terjadi serangan akut
1. Antibiotik empiris
a. Penicillin, augmented penicillin
b. Cefalosporin
c. Macrolide (eritromicin, azitromicin) : pada alergi penicillin
2. Simtomatis
a. Anak: Analgesik atau antiinflamasi: Paracetamol 10 – 15
mg/kgBB/8 jam
b. Dewasa: Paracetamol 500 mg – 1 gr/8 jam atau ibuprofen/
1 Pengertian Karsinoma / tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring.
2 Anamnesis 1. Telinga : Gembrebeg, tinitus, kurang dengar, telinga terasa terisi air,
telinga terasa tersumbat.
2. Hidung: Hidung tersumbat menetap memberat, pilek-pilek,
mimisan, ingus berbau busuk kental
3. Mata: Diplopia, oftalmoplegi, Sakit kepala, Diplopia, Ptosis, Trismus
a. Parese lidah
4. Parese syaraf otak lain
5. Leher: Benjolan di leher yang semakin besar. Lamanya benjolan.
6. Kepala: Nyeri kepala hebat, gejala parese Nn. Craniales
Gejala klinis
1. Gejala hidung :
a. Ingus campur darah (sedikit) / epistaksis ringan unilateral
b. Sumbatan hidung unilateral bilateral
c. Post nasal drip
2. Gejala telinga
a. Rasa penuh / gangguan pendengaran unilateral menetap
b. Tinitus unilateral
c. Otalgia / otorea unilateral
3. Gejala leher : benjolan leher
a. Benjolan leher unilateral bilateral
4. Gejala mata & syaraf
a. Sakit kepala
b. Diplopia
c. Ptosis
d. Trismus
e. Parese lidah
f. Parese syaraf otak lain
3 Pemeriksaan Fisik A. Inspeksi :
1. Rinoskopi anterior:
a. Tampak massa di nasofaring. Tampak secret bercampur
darah.
b. Palatal phenomen (-)
2. Rinoskopi posterior :
a. Dengan kaca laring tampak massa di nasofaring
3. Tampak pembesaran kelenjar leher
1 Pengertian Fraktur yang berhubungan dengan sistem pilar vertikal dari sepertiga
tengah wajah
2 Anamnesis 1. Pembengkakan infraorbital
2. Hipestesi cabang n.V2
3. Maloklusi (Le Fort I – II)
4. Epistaksis (Le Fort II – III)
5. Kebocoran LCS (Le Fort III)
6. Mekanisme trauma : Tentang kekuatan, lokasi, dan arah benturan
yang terjadi
7. Cedera di bagian tubuh yang lain
8. Riwayat perubahan status mental dan penurunan kesadaran
9. Adanya defisiensi fungsional lainnya, misalnya berhubungan dengan
jalan nafas, penglihatan, syaraf otak ataupun pendengaran
3 Pemeriksaan Secara inspeksi wajah tampak tidak simetris atau tidak proporsional
Fisik 1. Inspeksi : Kelainan lokal luka, asimetri wajah, adakah gangguan fungsi
mata, gangguan oklusi, trismus, paresis facialis, dan lain sebagainya
2. Edema jaringan lunak dan ekimosis
3. Palpasi : Daerah supraorbital, lateral orbital rim, zygoma, infraorbital,
hidung, mandibula, sendi temporomandibular, palpasi bimanual
(ekstra – intra oral)
4. Le Fort I :
5. Terdapat mobilitas atau pergeseran arkus dentalis, maksila dan
palatum
6. Maloklusi gigi
7. Le Fort II :
a. Palatum bergeser ke belakang
b. Maloklusi gigi
8. Le Fort III :
a. Terdapat mobilitas dan pergeseran kompleks
zigomatikomaksilaris
b. Komplikasi intrakranial, misalnya : kebocoran cairan serebrospinal
melalui sel atap etmoid dan lamina cribriformis
4 Kriteria Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
Diagnostik seperti tersebut di atas.
Klasifikasi :
1. Le Fort I (Processus alveolaris) : Fraktur maksila rendah yang
memisahkan maksila setinggi dasar hidung
2. Le Fort II (Fraktur piramidal) : Fraktur pada palatum dan
sepertiga tengah wajah yang berakibat terpisahnya bagian sepertiga
tengah wajah dari dasar kranium
3. Le Fort III ( Craniofacial disjunction) : Fraktur yang mengakibatkan
pemisahan lengkap kompleks zygomaticomaxillaris dari dasar cranium
5 Diagnosis Kerja Fraktur maxilla Le Fort
6 Diagnosis Fraktur multipel wajah
Banding
7 Pemeriksaan 1. Pemeriksaan radiologi baik berupa foto polos maupun CT scan
Penunjang 2. Foto polos : Posisi Waters, foto kepala lateral maupun servikal lateral
3. CT scan baik potongan axial maupun coronal
4. Pemeriksaan untuk persiapan operasi :
a. Lab darah : Hb, leukosit, trombosit, BT, CT, bila perlu PT dan aPTT,
SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, Na, kalium
b. Radiologik : Foto thorax
c. Lain – lain : EKG bila perlu
8 Terapi 1. Perbaikan keadaan umum
2. Medikamentosa kausal
3. Tranfusi darah (bila perlu)
4. Operatif : Repair (atau reduksi) fraktur maksila
a. Le Fort I: Fiksasi interdental dan intermaksilar selama 4 – 6
minggu
b. Le Fort II: Seperti Le Fort I disertai fiksasi dari sutura zigomatikum
atau rim orbita
c. Le Fort III: Reduksi terbuka dengan fiksasi interdental dan
intermaksilar, suspensi dari sutura zigomatikum dan pemasangan
kawat dari dari rim orbita
d. Dapat digunakan mini/microplate untuk mobilisasi segmen fraktur
sebagai pengganti kawat
e. Bila dengan teknik diatas tidak didapatkan fiksasi yang adekuat,
digunakan alat fiksasi eksterna untuk membuat traksi lateral atau
anterior
f. Pemasangan splint bila terdapat displacement gigi, fraktur
alveolar atau maloklusi.
9 Prognosis Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad sanam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
10 Indikator Medis
1 Pengertian Trauma yang mengenai kulit, jaringan subkutis, kerangka tulang, septum
hidung atau os maksila. Trauma hidung dapat disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas, kecerobohan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, dan
perkelahian serta kecelakaan olah raga. Trauma hidung dapat merupakan
trauma sendiri ataupun bagian trauma wajah lainnya.
2 Anamnesis 1. Gejala – gejala fraktur os nasal :
a. Riwayat trauma hidung dengan perdarahan
b. Obstruksi nasi
c. Nyeri pada hidung
2. Kerusakan yang dapat terjadi pada trauma hidung bervariasi tergantung
dari beberapa faktor sehingga perlu ditanyakan mengenai :
a. Usia
b. Besar kekuatan trauma
c. Arah trauma
d. Objek / benda penyebab
3 Pemeriksaan Hidung luar: Deformitas pada hidung luar, palpasi didapatkan os nasal dapat
Fisik digerakkan dan krepitasi
Rinoskopi anterior : Hematoma septum, deviasi septum, disloka
4 Kriteria Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti
Diagnostik tersebut di atas
Klasifikasi fraktur hidung berdasarkan arah trauma :
1. Tipe I : Depresi tulang hidung unilateral. Disebabkan trauma
dari arah lateral dengan kekuatan yang ringan dan
sedang.
2. Tipe II : Fraktur multipel dari piramid hidung akibat trauma
tumpul arah frontolateral. Terjadi fraktur pada os nasal
dan lamina perpendikularis dengan fragmen eksternak
dislokasi ke lateral.
3. Tipe III : Fraktur bilateral dan depresi atau dislokasi os nasal
karena trauma langsung dari arah frontal. Fraktur
lamina perpendikularis dan kartilago dapat terjadi
karena depresi yang hebat.
4. Tipe IV : Kompresi dan fraktur septum disebabkan trauma arah
kaudal-kranial
5 Diagnosis Kerja Fraktur os nasal
6 Diagnosis 1. Fraktur multipel wajah
Banding 2. Fraktur Le Fort
7 Pemeriksaan X foto polos AP lateral : Gambaran diskontinuitas baik pada tulang dan
Penunjang kartilago
Nasoendoskopi : Gambaran hematom septum dan deviasi septum
MSCT-scan SPN tanpa kontras (rekonstruksi 3 dimensi) :
Diskontinuitas tulang
8 Terapi Luka terbuka dibersihkan, pinggir luka dan os nasal diperiksa hati-hati.
Fragmen fraktur diposisikan kembali dan jaringan lunak dijahit atraumatik.
Reposisi fraktur sederhana pada 24 jam pertama, atau paling lambat dalam
48 jam karena fraktur mudah untuk direduksi. Tetapi bila terdapat
pembengkakan jaringan yang hebat, reposisi dapat dilakukan dalam 10 hari.