Anda di halaman 1dari 23

PANDUAN PRAKTIK KLINIS FARINGITIS AKUT

1 Pengertian Faringitis akut adalah peradangan dinding faring yang dapat disebabkan
oleh virus (60%), bakteri (40%), alergi, trauma, toksin, dan lain-lain
2 Anamnesis Gejala - gejala faringitis viral :
1. Demam
2. Rinorea
3. Mual
4. Nyeri tenggorok
5. Sulit menelan
6. Nyeri kepala
7. Muntah
8. Batuk kadang – kadang
3 Pemeriksaan Tanda - tanda :
Fisik 1. Arkus faring hiperemis
2. Faring hiperemis
3. Eksudasi faring
4 Kriteria Berdasarkan pemeriksaan fisik dan anamnesa
Diagnostik
5 Diagnosis Kerja Faringitis akut
6 Diagnosis 1. Faringitis viral
Banding 2. Faringitis bakterial
3. Faringitis fungal
4. Faringitis gonorea
7 Pemeriksaan -
Penunjang
8 Terapi Antivirus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes
simpleks dengan dosis 60 – 100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali
pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50
mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari
9 Edukasi 1. Istirahat dan minum cukup
2. Kumur dengan air hangat
10 Prognosis 1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad sanam : dubia ad bonam
3. Quo ad fungsionam : dubia ad malam

12 Indikator Medis Kepatuhan DPJP melaksanakan PPK

13 Kompetensi Dokter spesialis THT

14 Kepustakaan 1. Lester DR. Pharyngitis. In : Bailey BJ, Johnson JT, editors. Head & Neck
Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins ; 2006
2. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.
In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL. Jakarta : Badan Penerbit FKUI ;
2007
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
1 Pengertian Radang kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan
riwayat keluarnya sekret telinga lebih dari 3 bulan baik terus menerus
atau hilang timbul, sekret mungkin kental, bening, atau berupa nanah.
Otitis media supuratif kronik (OMSK) dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe jinak
(benigna) dan tipe bahaya (maligna)
2 Anamnesis Tipe jinak dan tipe bahaya bisa didapatkan keluar cairan telinga terus
menerus atau hilang timbul selama 3 bulan disertai kurang pendengaran,
dapat disertai dengan batuk pilek atau nyeri tenggorok, telinga
berdenging, pusing berputar, sakit kepala.
Pada tipe bahaya dapat disertai komplikasi diantaranya infeksi bersifat
progresif, dapat mengenai area intrakranial (abses otak, abses perisinus,
tromboflebitis sinus lateral dan meningitis) dan area intratemporal (abses
subperiosteal, labirintitis, paresis fasialis, dan petrositis)
3 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan otoskopi didapatkan :
a. Tipe jinak
1. Discaj cenderung mucoid dan/atau granulasi pada canalis
auditorius eksternus (CAE).
2. Perforasi membran timpani (MT) dengan tepi tebal, rata dengan
jumlah tunggal maupun multipel, letak perforasi dapat anterior
maupun marginal, dan luasnya perforasi dapat minimal, subtotal,
maupun total.
b. Tipe bahaya
1. Discaj dan/atau granulasi pada canalis auditorius eksternus (CAE).
Kadang-kadang discaj tersebut berwarna kemerahan dan berbau
2. letak perforasi dapat posterior, atik dan luasnya perforasi dapat
minimal, subtotal, maupun total.
3. Pada tipe bahaya, didapatkan kolesteatoma (gambaran massa
keputihan dan berbau), dapat terjadi demam tinggi, tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial, kaku kuduk (+), fistel dan/atau
abses retroaurikula, paresis n.VI, paresis n.VII perifer.
4 Kriteria Diagnostik Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
5 Diagnosis Kerja Otitis media supuratif kronik tipe aman
Otitis media supuratif kronik tipe bahaya
6 Diagnosis Banding -
7 Pemeriksaan 1. Laboratorium : pengecatan gram & jamur
Penunjang 2. Pemeriksaan pengecatan BTA, kultur, dan uji sensitifitas kuman (atas
indikasi)
3. CT scan mastoid tanpa kontras (keperluan operasi)
4. Audiometri
5. Tes fungsi tuba
6. Tes fasialis (atas indikasi)
7. Vestibulometri (atas indikasi)
8 Terapi 1. Antibiotik sesuai hasil pengecatan gram/uji sensitivitas atau antibiotik
empiris :
Quinolon : Ciprofloksasin (dewasa), dosis 500 mg tiap 12 jam,
ofloksacin 200-400 mg per 12 jam, levofloxasin 500 mg per 24 jam
Diberikan 7-14 hari
Penicillin + As.Klavulanat (anak-anak), dosis menggunakan dosis
penicillin yaitu 45 mg/kgBB/hari setiap 8 jam atau 40 mg/kgBB/hari
setiap 8 jam
Cephalosporin generasi 3 (cefixime) 200 mg per 12 jam, dosis anak 20
mg/kgBB/hari
2. Simtomatis :
Analgesik atau antipiretik (golongan NSAID) : Paracetamol (bila perlu)
3. Cuci telinga peroksida (H2O2 3%) : 3 x 4 tetes (selama 30 detik)
4. Tetes telinga antibiotik golongan Quinolon (Ofloxacin) : 2 x 7-10 tetes
(dewasa), 2 x 5 tetes (anak-anak)
5. Terapi bedah : tipe aman : Timpanoplasti dinding utuh
Terapi 1, 2, 3, 4 diberikan selama 5 hari, bila ada perbaikan terapi
diteruskan sampai dengan 10-14 hari. Bila tidak ada perbaikan terapi
diberikan sesuai hasil pemeriksaan uji sensitivitas kuman atau
pengobatan secara intravena (bila hasil uji sensitivitas menunjukkan
obat-obat hanya dapat diberikan secara intravena). Bila tidak ada
perbaikan terapi bedah harus dilakukan.

Otitis media supuratif kronik tipe bahaya terapi yang diberikan adalah
pembedahan. Konsul saraf dan bedah saraf atas indikasi.
9 Edukasi 1. Telinga jangan kemasukan air
2. Obat diminum teratur dan sampai habis
3. Menjaga higienitas
4. Kontrol secara teratur
5. Kemungkinan untuk tindakan operasi bila terapi medikamentosa gagal
6. Kurang pendengaran yang terjadi dapat menetap atau menjadi lebih
berat
7. Jika batuk pilek segera periksa ke dokter
10 Prognosis 1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad sanam : dubia ad bonam
3. Quo ad fungsionam : dubia ad malam
11 Indikator Medis Kepatuhan DPJP terhadap PPK dalam pemberian terapi
12 Kompetensi Dokter spesialis telinga hidung tenggorok-kepala leher
13 Kepustakaan 1. Helmi, Otitis Media Supuratif Kronis, Balai Penerbit, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2005
2. Chronic suppurative otitis media. Burden of Illness and Management
Options. World Health Organization. Switzerland, 2004.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS RHINOSINUSITIS KRONIK

1 Pengertian Peradangan hidung dan sinus paranasal (maksila, etmoid, frontal, sfenoid)
lebih dari 12 minggu dan/atau dalam 6 bulan terakhir kambuh lebih dari 3
episode.
Penyebabnya dapat :
1. Rinogen, berupa kelainan anatomi hidung, infeksi jamur/bakteri, alergi, LPR
(laringofaringeal reflux) atau hipertrofi adenoid
2. Odontogen (infeksi THT)
Peradangan hidung dan sinus paranasal (maksila, ethmoid, frontal, sphenoid)
lebih dari 12 minggu.
Penyebabnya dapat :
1. Rinogen berupa kelainan anatomi hidung, infeksi jamur/ bakteri, alergi,
Laringo faringeal reflux (LPR), hipertrofi adenoid, tumor, pasca trauma
2. Odontogen (infeksi gigi)
3. Keadaan penurunan sistem imun seperti HIV

2 Anamnesis 1. Gejala Utama


a. Sumbatan hidung
b. Nasal discharge
c. Nyeri wajah/rasa penuh di wajah
d. Penurunan penciuman (pada dewasa)
e. Ingus mukopurulen
f. Ingus belakang hidung
a. Gejala Tambahan
b. Nyeri kepala
c. Bau mulut/ halitosis
d. Nyeri daerah gusi atau gigi rahang atas
e. Batuk
f. Nyeri telinga
g. Kelelahan
2. Gejala faktor resiko, jika ada:
a. curiga rhinitis alergi
b. curiga refluk laringofaringeal
3. Dapat disertai keluhan gangguan kualitas tidur

Bila terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung
tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior)
:
a. nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
b. penurunan/ hilangnya penghidu (pada dewasa)
c. batuk (pada anak) yang berlangsung > 12 minggu
Riwayat sakit gigi, Riwayat Alergi, Riwayat LPR, Riwayat tumor hidung,
Riwayat trauma hidung
3 Pemeriksaan 1. Rinoskopi anterior :
Fisik a. Discharge mukopurulen (di cavum nasi/meatus media)
b. Mukosa edem (di meatus media)
c. Bisa disertai polip atau tidak
2. Pemeriksaan faring: Post nasal drip
3. Dapat ditemukan bengkak dan nyeri tekan di pipi dan kelopak mata
bawah pada sinus maksila
4. Dapat ditemukan bengkak dan nyeri di dahi dan kelopak mata atas pada
sinusitis frontal

Rinoskopi Anterior:
a. Discharge mukopurulen (di cavum nasi /meatus media)
b. Mukosa edem (di cavum nasi / meatus media)
c. Bisa disertai polip atau tidak
Pemeriksaan Faring :
Post Nasal Drip
4 Kriteria 1. Sesuai dengan kriteria Anamnesa
Diagnostik 2. Sesuai dengan kriteria Pemeriksaan Fisik.

Berdasarkan Kriteria EPOS 2012


a. Anamnesis : keluhan lebih dari 12 minggu
1) didapatkan salah satu dari: Sumbatan hidung / Nasal discharge dapat
disertai:
a) Nyeri wajah/rasa penuh di wajah
b) Penurunan penciuman (pada dewasa) ,batuk (pada anak)
b. Pemeriksaan Fisik
1) Rinoskopi Anterior:
a) Discharge mukopurulen (di cavum nasi /meatus media)
b) Mukosa edem (di cavum nasi/meatus media)
c) Bisa disertai polip atau tidak
d) Pemeriksaan Faring : Post Nasal Drip
c. Dan atau dari pemeriksaan penunjang didapatkan:
1) Endoskopi (nasoskopi) :
a) Polip
b)Discharge mukopurulen (berasal dari meatus media)
c) Obstruksi / mukosa edem (berasal dari meatus media)
2) SCT Scan SPN :
gambaran perubahan mukosa yang terjadi pada kompleks osteomeatal
dan atau sinus paranasal
5 Diagnosis Kerja 1. Chronic maxillary sinusitis (ICD 10: J32.0)
2. Chronic frontal sinusitis (ICD 10: J32.1)
3. Chronic ethmoidal sinusitis (1CD 10: J32.2)
4. Chronic sphenoidal sinusitis (ICD 10: J32.3)
5. Chronic pansinusitis (ICD 10: J32.4)
6. More than one sinus but not pansinusitis (ICD 10: J32.8)
7. Chronic sinusitis, unspecified (ICD 10: J32.9)
6 Diagnosis 1. Allergic rhinitis (ICD 10: J30.4)
Banding 2. Vasomotor rhinitis (ICD 10: J30.0)
7 Pemeriksaan 1. MSCT Scan SPN (setelah diberikan terapi medikamentosa 7-14 hari) :
Penunjang gambaran perubahan mukosa yang terjadi pada kompleks osteomeatal
dan atau sinus paranasal
2. Endoskopi / Nasoendoskopi
1. Polip
2. Discharge mukopurulen (berasal dari meatus media)
3. Obstruksi / mukosa edem (berasal dari meatus media)
8 Terapi 1. Terapi medikamentosa
a. Antibiotika
1) AB chepalosporin II : cefixime
2) Quinolone : ciprofloksasin
3) Macrolide: azitromisin
4) Antibiotik lini II + terapi tambahan 7 hari
5) Evaluasi hari ke 7 :
a) Membaik : antibiotik 7 – 14 hari lagi + terapi tambahan
b) Tidak membaik : antibiotik alternatif 7 hari serta kultur dan
sensitivitas
6) Evaluasi hari ke 14 :
Sembuh : edukasi
Tidak membaik : operasi BSEF/konvensional
b. Terapi tambahan (dekongestan, mukolitik, analgetik) sesuai keluhan
c. Kortikosteroid topikal
d. Nasal irigasi/cuci hidung dengan larutan salin fisiologis

2. Bila ada faktor predisposisi :


a. Rinogen :
1) Kelainan anatomi : operasi sesuai kelainan
2) Alergi : terapi sesuai panduan alergi
3) LPR : terapi sesuai panduan LPR
4) Hipertrofi adenoid : operasi adenoidektomi
b. Odontogen : terapi sesuai konsul Gigi
3. Pembedahan: Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)
1. Intranasal antrotomy (ICD 9 CM: 22.2)
2. Frontal sinusectomy (ICD 9 CM: 22.42)
3. Ethmoidectomy (ICD 9 CM: 22.63)
4. Sphenoidectomi (ICD 9CM: 22.64)
9 Edukasi 1. Hindari/tangani alergi, LPR, kelainan Gigi
2. Makan obat teratur
3. Banyak istirahat
4. Minum hangat dan banyak
5. Hindari alkohol
6. Selalu konsultasi dengan dokter dalam penggunaan obat (beberapa obat
dapat memperberat penyakitnya)
10 Prognosis 1. Quo ad vitam : bonam
2. Quo ad sanam : bonam
3. Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
11 Indikator Medis 1. Kesesuaian dokter terhadap terapi dan pemeriksaan penunjang

12 Kompetensi Dokter spesialis telinga hidung tenggorokan


13 Kriteria Pulang 1. Tidak ada perdarahan
Saat Rawat 2. Luka operasi tidak infeksi
Inap ( Post 3. Tidak ada komplikasi operasi daerah mata
Operasi FESS) 4. Tidak ada komplikasi operasi intrakranial
14 Kepustakaan 1. Fokkens W, Lund V, Mullol J, Bachert C, editors, Chapter Classification and
definition of Rhinosinusitis. Eropean Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps; 2012 : Rhinology
2. Sutjipto D, Wardhani RS, editors. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia
dalam Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Jakarta; Bristol
Meyer Squibb. Indonesia; 2007:h 65
3. Pengurus Pusat PERHATI – KL. PPK Prosedur Tindakan Clinical Pathways Di
Bidang THT- KL volume 1 ( oktober 2015)
PANDUAN PRAKTIK KLINIS TONSILITIS KRONIK/ADENOITIS KRONIK

1 Pengertian Tonsilitis kronik adalah peradangan kronik dari tonsil sebagai lanjutan
peradangan akut/ subakut yang berulang/rekuren, dengan kuman
penyebab non spesifik. Peradangan kronik ini dapat mengakibatkan
pembesaran tonsil yang menyebabkan gangguan menelan dan gangguan
pernafasan.
2 Anamnesis 1. Nyeri tenggorok minimal atau rasa mengganjal di tenggorok yang
berulang
2. Halitosis
3. Gejala sistemik (penurunan daya tahan tubuh, kelelahan, pusing,
mudah mengantuk, penurunan nafsu makan, sakit kepala, nyeri sendi)
4. Nyeri menelan
5. Gangguan bernafas
6. Mendengkur
7. Hidung tersumbat
8. Batuk pilek berulang.
3 Pemeriksaan Fisik 1. Tenggorok : tonsil ukuran atrofi atau hipertrofi, permukaan tidak rata,
kripte melebar, kadang berisi detritus/eksudat. Arkus anterior dan
posterior hiperemis.
2. Kelenjar limfe : pembesaran kelenjar submandibula
4 Kriteria Diagnostik Satu atau lebih keluhan dari anamnesa yang berulang disertai dengan
pembesaran ukuran tonsil dan atau pemeriksaan fisik lainnya
5 Diagnosis Kerja 1. Chronik tonsolitis and adenoiditis (ICD 10: J35.0)
2. Hypertrophy of tonsils (ICD 10: J35.1)
3. Hypertropy of adenoids (ICD 10: J35.2)
4. Hypertropy of Tonsils with hypertrophy of adenoids (ICD 10: J35.3)
6 Diagnosis Banding 1. Tonsil Atrofi
2. Tonsil Hipertrofi
3. Tonsillitis kronis oleh sebab lain: tuberculosis, sifilis, aktinomikosis
4. Pembesaran tonsil oleh karena kelainan darah atau keganasan,
misalnya leukemia, limfoma.
7 Pemeriksaan 1. Labolatorium paket PreOperasi (Darah rutin, Ureum, Creatinin, GDS,
Penunjang APTT/PTTK.
2. ASTO (atas indikasi).
3. Bila perlu kultur resistensi dari swab tenggorok
4. Foto polos nasofaring lateral
5. Pasca operasi: pemeriksaan histopatologi jaringan tonsil dana tau
adenoid (bila dicurigai keganasan)
8 Terapi Bila terjadi serangan akut
1. Antibiotik empiris
a. Penicillin, augmented penicillin
b. Cefalosporin
c. Macrolide (eritromicin, azitromicin) : pada alergi penicillin
2. Simtomatis
a. Anak: Analgesik atau antiinflamasi: Paracetamol 10 – 15
mg/kgBB/8 jam
b. Dewasa: Paracetamol 500 mg – 1 gr/8 jam atau ibuprofen/

Operatif bila memenuhi indikasi HTA (Health Technologi Assessment)


Kriteria Indikasi Operasi (berdasar HTA 2004)
I. Indikasi Absolut:
a. Hipertrofi tonsil yang menyebabkan:
1) OSAS (obstructive sleep apnea syndrome)
2) Disfagia berat karena obstruksi
3) Gangguan tidur
4) Gangguan pertumbuhan dentofacial (bila adenoid membesar
maka wajah memiliki tampilan yang khas yaitu frog face)
5) Gangguan bicara
6) ASTO positif > 200
7) Komplikasi kardiopulmoner
b. Riwayat abses peritonsil
c. Tonsilitis yang memerlukan biopsi untuk PA terutama hipertrofi
tonsil unilateral
d. Tonsilitis kronik berulang yang merupakan fokal infeksi untuk
penyakit lain.
II. Indikasi Relatif :
a. Terjadi 7 episode/lebih pada tahun sebelumnya, 5 episode/lebih
tiap tahun pada 2 tahun sebelumnya, 3 episode/lebih tiap tahun
pada 3 tahun sebelumnya dengan terapi antibiotik adekuat
b. Kejang demam berulang yang disertai tonsilitis
c. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan terapi
medis
d. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptococcus beta
haemolyticus grup A yang tidak membaik dengan pemberian
antibiotik adekuat.
9 Edukasi 1. Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang timbul.
2. Menjelaskan rencana pengobatan, indikassi operasi, dan
komplikasinya.
3. Menjaga kebersihan rongga mulut misalnya menganjurkam sikat gigi
dan kumur kumur teratur,.
4. Hindari makanan yang bersifat iritatif
5. Obat diminum teratur dan sampai habis
6. Kontrol secara teratur
7. Kemungkinan untuk tindakan operasi bila terapi medikamentosa tidak
berhasil.
10 Prognosis 1. Ad vitam : bonam.
2. Ad sanationam : bonam.
3. Ad fungsionam : bonam.
11 Indikator Medis Melihat Kepatuhan DPJP untuk menilai kepatuhan PPK operasi
Tonsilektomi yaitu
1. Terapi pasca operasi adalah golongan Penicillin oral atau Cefixime oral
12 Kompetensi Dokter spesialis telinga hidung tenggorok-kepala leher
13 Kriteria Pulang 1. Sudah bisa makan minum.
Saat Rawat Inap 2. Kondisi umum Baik.
(Post Operasi
Tonsilektomi)
14 Kepustakaan 1. Scottish intercollegiate guidelines network 2010
2. BMJ clinical evidence recurrent throat infections (tonsillitis) 2006
3. Lee KJ. Essential Otolaryngology. 2003
4. Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment. 2008
5. HTA Indonesia 2004. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa
6. Pengurus Pusat PERHATI – KL. PPK Prosedur Tindakan Clinical Pathways
Di Bidang THT- KL volume 1 ( oktober 2015)
PANDUAN PRAKTIK KLINIS KARSINOMA NASOFARING

1 Pengertian Karsinoma / tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring.
2 Anamnesis 1. Telinga : Gembrebeg, tinitus, kurang dengar, telinga terasa terisi air,
telinga terasa tersumbat.
2. Hidung: Hidung tersumbat menetap memberat, pilek-pilek,
mimisan, ingus berbau busuk kental
3. Mata: Diplopia, oftalmoplegi, Sakit kepala, Diplopia, Ptosis, Trismus
a. Parese lidah
4. Parese syaraf otak lain
5. Leher: Benjolan di leher yang semakin besar. Lamanya benjolan.
6. Kepala: Nyeri kepala hebat, gejala parese Nn. Craniales

Gejala klinis
1. Gejala hidung :
a. Ingus campur darah (sedikit) / epistaksis ringan unilateral
b. Sumbatan hidung unilateral  bilateral
c. Post nasal drip
2. Gejala telinga
a. Rasa penuh / gangguan pendengaran unilateral menetap
b. Tinitus unilateral
c. Otalgia / otorea unilateral
3. Gejala leher : benjolan leher
a. Benjolan leher unilateral  bilateral
4. Gejala mata & syaraf
a. Sakit kepala
b. Diplopia
c. Ptosis
d. Trismus
e. Parese lidah
f. Parese syaraf otak lain
3 Pemeriksaan Fisik A. Inspeksi :
1. Rinoskopi anterior:
a. Tampak massa di nasofaring. Tampak secret bercampur
darah.
b. Palatal phenomen (-)
2. Rinoskopi posterior :
a. Dengan kaca laring  tampak massa di nasofaring
3. Tampak pembesaran kelenjar leher

1. Pemeriksaan Hidung dan nasofaring dengan :


a. Rinoskopi anterior dan posterior
b. Naso-endoskopi, nasolaringoskopi rigid/fleksibel
2. Perhatian pada :
a. OMS, lesi intrakranial dan adanya pembesaran kelenjar leher
(limfadenopati servikal)
3. Pemeriksaan kelenjar leher
a. Lokasi, ukuran, kekenyalan, mobilitas
4. Pemeriksaan lesi intrakranial
a. Gangguan gerak bola mata (diplopia  N3 & 6)
b. Ptosis (N4)
c. Trismus (N5)
d. Parese lidah (N12)
4 Kriteria Diagnostik Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3 N0 M0
T1-3 N1 M0
Stadium IVa T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1-4a N2 M0
Stadium IVb T4b anyN M0
anyT N3 M0
Stadium IVc anyT anyN M1

Klasififikasi histopatologi berdasarkan WHO :


a. WHO tipe 1 : KSS berkeratin
b. WHO tpe 2 : KSS tak berkeratin
c. WHO tipe 3 : KSS tak berdiferensiasi / undifferentiated ca
5 Diagnosis Kerja Karsinoma nasofaring WHO.. T.. N.. M.. stadium ... ECOG...
6 Diagnosis Banding 1. Limfoepitelioma nasofaring
2. Limfoma maligna nasofaring
3. Hipertrofi adenoid nasofaring
4. Nasofaringitis
5. Angiofibroma nasofaring
7 Pemeriksaan 1. Endoskopi nasofaring
Penunjang 2. biopsi nasofaring
3. Bila perlu fine needle aspiration biopsy pada pembesaran KGB leher
4. Pemeriksaan radiologi :
5. CT scan nasofaring dengan kontras
6. X-foto thorax AP lateral
7. USG abdomen
8. Bone scan (bila perlu)
9. Audiogram
8 Terapi 1. Radioterapi
2. Kemoterapi
9 Edukasi Penjelasan tentang tujuan dan resiko biopsy, penjelasan tentang
stadium tumor, rencana terapi, akibat dan efek samping selama dan
setelah pengobatan.
10 Prognosis 1. Quo ad vitam : Dubia
2. Quo ad sanam : Dubia
3. Quo ad fungsionam : Dubia
11 Indikator Medis Biopsi nasofaring tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai dalam
waktu 60 menit
Target : 80% biopsy nasofaring tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan
selesai dalam waktu 60 menit
12 Kompetensi Dokter spesialis THT level 4 untuk tindakan biopsy
Dokter spesialis THT Subspesialisasi Onkologi level 4 untuk tindakan
kemoterapi
13 Kriteria Pulang Saat Tidak ada perdarahan
Rawat Inap (Post Nyeri berkurang
Operasi Biopsi
Nasofaring)
14 Kepustakaan 1. Bailey Byron J, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, third
edition, volume two, Nasal Fracture, Lippincot William-Wilkins,
Philadelphia, USA, 2001 : 71A : 1637-1654
2. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia, Perhimpunan Dokter
Spesialis THT-KL Indonesia, 2007
3. Pengurus Pusat PERHATI – KL. PPK Prosedur Tindakan Clinical
Pathways Di Bidang THT- KL volume 1 ( oktober 2015)
PANDUAN PRAKTIK KLINIS FRAKTUR LE FORT

1 Pengertian Fraktur yang berhubungan dengan sistem pilar vertikal dari sepertiga
tengah wajah
2 Anamnesis 1. Pembengkakan infraorbital
2. Hipestesi cabang n.V2
3. Maloklusi (Le Fort I – II)
4. Epistaksis (Le Fort II – III)
5. Kebocoran LCS (Le Fort III)
6. Mekanisme trauma : Tentang kekuatan, lokasi, dan arah benturan
yang terjadi
7. Cedera di bagian tubuh yang lain
8. Riwayat perubahan status mental dan penurunan kesadaran
9. Adanya defisiensi fungsional lainnya, misalnya berhubungan dengan
jalan nafas, penglihatan, syaraf otak ataupun pendengaran
3 Pemeriksaan Secara inspeksi wajah tampak tidak simetris atau tidak proporsional
Fisik 1. Inspeksi : Kelainan lokal luka, asimetri wajah, adakah gangguan fungsi
mata, gangguan oklusi, trismus, paresis facialis, dan lain sebagainya
2. Edema jaringan lunak dan ekimosis
3. Palpasi : Daerah supraorbital, lateral orbital rim, zygoma, infraorbital,
hidung, mandibula, sendi temporomandibular, palpasi bimanual
(ekstra – intra oral)
4. Le Fort I :
5. Terdapat mobilitas atau pergeseran arkus dentalis, maksila dan
palatum
6. Maloklusi gigi
7. Le Fort II :
a. Palatum bergeser ke belakang
b. Maloklusi gigi
8. Le Fort III :
a. Terdapat mobilitas dan pergeseran kompleks
zigomatikomaksilaris
b. Komplikasi intrakranial, misalnya : kebocoran cairan serebrospinal
melalui sel atap etmoid dan lamina cribriformis
4 Kriteria Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
Diagnostik seperti tersebut di atas.
Klasifikasi :
1. Le Fort I (Processus alveolaris) : Fraktur maksila rendah yang
memisahkan maksila setinggi dasar hidung
2. Le Fort II (Fraktur piramidal) : Fraktur pada palatum dan
sepertiga tengah wajah yang berakibat terpisahnya bagian sepertiga
tengah wajah dari dasar kranium
3. Le Fort III ( Craniofacial disjunction) : Fraktur yang mengakibatkan
pemisahan lengkap kompleks zygomaticomaxillaris dari dasar cranium
5 Diagnosis Kerja Fraktur maxilla Le Fort
6 Diagnosis Fraktur multipel wajah
Banding
7 Pemeriksaan 1. Pemeriksaan radiologi baik berupa foto polos maupun CT scan
Penunjang 2. Foto polos : Posisi Waters, foto kepala lateral maupun servikal lateral
3. CT scan baik potongan axial maupun coronal
4. Pemeriksaan untuk persiapan operasi :
a. Lab darah : Hb, leukosit, trombosit, BT, CT, bila perlu PT dan aPTT,
SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, Na, kalium
b. Radiologik : Foto thorax
c. Lain – lain : EKG bila perlu
8 Terapi 1. Perbaikan keadaan umum
2. Medikamentosa kausal
3. Tranfusi darah (bila perlu)
4. Operatif : Repair (atau reduksi) fraktur maksila
a. Le Fort I: Fiksasi interdental dan intermaksilar selama 4 – 6
minggu
b. Le Fort II: Seperti Le Fort I disertai fiksasi dari sutura zigomatikum
atau rim orbita
c. Le Fort III: Reduksi terbuka dengan fiksasi interdental dan
intermaksilar, suspensi dari sutura zigomatikum dan pemasangan
kawat dari dari rim orbita
d. Dapat digunakan mini/microplate untuk mobilisasi segmen fraktur
sebagai pengganti kawat
e. Bila dengan teknik diatas tidak didapatkan fiksasi yang adekuat,
digunakan alat fiksasi eksterna untuk membuat traksi lateral atau
anterior
f. Pemasangan splint bila terdapat displacement gigi, fraktur
alveolar atau maloklusi.
9 Prognosis Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad sanam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
10 Indikator Medis

11 Kompetensi Dokter spesialis THT


12 Indikasi Pulang Tanda vital baik
Rawat Inap Tidak ada perdarahan aktif
Tidak ada komplikasi: anemia,obstruksi jalan nafas, maloklusi, infeksi,
gangguan gerakan bola mata
13 Kepustakaan 1. Brendan C. Stack Jr in Bailey Byron J, Head and Neck Surgery-
Otolaryngology, fourth edition, volume one, Maxillary and Periorbital
Fractures, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia, USA, 2006 : 70 :
975-993
2. Bailey Byron J, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, third edition,
volume two, Nasal Fracture, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia,
USA, 2001 : 71A : 995-1008
3. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis
THT-KL Indonesia, 2007
4. Pengurus Pusat PERHATI – KL. PPK Prosedur Tindakan Clinical Pathways
Di Bidang THT- KL volume 1 ( oktober 2015)
PANDUAN PRAKTIK KLINIS FRAKTUR OS NASAL

1 Pengertian Trauma yang mengenai kulit, jaringan subkutis, kerangka tulang, septum
hidung atau os maksila. Trauma hidung dapat disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas, kecerobohan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, dan
perkelahian serta kecelakaan olah raga. Trauma hidung dapat merupakan
trauma sendiri ataupun bagian trauma wajah lainnya.
2 Anamnesis 1. Gejala – gejala fraktur os nasal :
a. Riwayat trauma hidung dengan perdarahan
b. Obstruksi nasi
c. Nyeri pada hidung
2. Kerusakan yang dapat terjadi pada trauma hidung bervariasi tergantung
dari beberapa faktor sehingga perlu ditanyakan mengenai :
a. Usia
b. Besar kekuatan trauma
c. Arah trauma
d. Objek / benda penyebab
3 Pemeriksaan Hidung luar: Deformitas pada hidung luar, palpasi didapatkan os nasal dapat
Fisik digerakkan dan krepitasi
Rinoskopi anterior : Hematoma septum, deviasi septum, disloka
4 Kriteria Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti
Diagnostik tersebut di atas
Klasifikasi fraktur hidung berdasarkan arah trauma :
1. Tipe I : Depresi tulang hidung unilateral. Disebabkan trauma
dari arah lateral dengan kekuatan yang ringan dan
sedang.
2. Tipe II : Fraktur multipel dari piramid hidung akibat trauma
tumpul arah frontolateral. Terjadi fraktur pada os nasal
dan lamina perpendikularis dengan fragmen eksternak
dislokasi ke lateral.
3. Tipe III : Fraktur bilateral dan depresi atau dislokasi os nasal
karena trauma langsung dari arah frontal. Fraktur
lamina perpendikularis dan kartilago dapat terjadi
karena depresi yang hebat.
4. Tipe IV : Kompresi dan fraktur septum disebabkan trauma arah
kaudal-kranial
5 Diagnosis Kerja Fraktur os nasal
6 Diagnosis 1. Fraktur multipel wajah
Banding 2. Fraktur Le Fort
7 Pemeriksaan X foto polos AP lateral : Gambaran diskontinuitas baik pada tulang dan
Penunjang kartilago
Nasoendoskopi : Gambaran hematom septum dan deviasi septum
MSCT-scan SPN tanpa kontras (rekonstruksi 3 dimensi) :
Diskontinuitas tulang
8 Terapi Luka terbuka dibersihkan, pinggir luka dan os nasal diperiksa hati-hati.
Fragmen fraktur diposisikan kembali dan jaringan lunak dijahit atraumatik.

Reposisi fraktur sederhana pada 24 jam pertama, atau paling lambat dalam
48 jam karena fraktur mudah untuk direduksi. Tetapi bila terdapat
pembengkakan jaringan yang hebat, reposisi dapat dilakukan dalam 10 hari.

Indikasi reduksi tertutup :


1. Fraktur os nasal
2. Nasal bridge yang melebar

Indikasi reduksi terbuka :


1. Fraktur – dislokasi os nasal bone and septum
2. Deviasi pyramid hidung lebih dari setengah lebar nasal bridge
3. Fraktur – dislokasi septum bagian kaudal
4. Fraktur septum terbuka
5. Deformitas yang menetap setelah dilakukan reduksi tertutup
9 Edukasi 1. Penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi
2. Tindakan operasi dan penanganan paska operasi
10 Prognosis Quo ad vitam : dubia Ad bonam
Quo ad sanam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
11 Indikator Medis Kesesuaian dokter spesialis terhadap terapi atau pemeriksaan penunjang

12 Kompetensi Dokter Spesialis THT


13 Kriteria Pasien Tidak ada perdarahan
Pulang Rawat Perbaikan patensi airway hidung
Inap Perbaikan integritas nasal valve
Tidak timbul komplikasi yang mungkin terjadi :
Komplikasi dini : Edema, ekimosis, epistaksis, hematoma, infeksi,
kebocoran serebrospinal
14 Kepustakaan 1. Brendan C. Stack Jr in Bailey Byron J, Head and Neck Surgery-
Otolaryngology, fourth edition, volume one, Maxillary and Periorbital
Fractures, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia, USA, 2006 : 70 : 975-
993
2. Bailey Byron J, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, third edition,
volume two, Nasal Fracture, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia, USA,
2001 : 71A : 995-1008
3. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis
THT-KL Indonesia, 2007
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
HIPERTROFI KONKA
1 Pengertian Konka hipertrofi adalah suatu kondisi dimana konka mengalami
pembesaran ukuran (hipertrofi atau hiperplasia)
2 Anamnesis Gejala utama: Hidung tersumbat pada satu sisi atau keduanya.
Gejala penyerta:
1. Sakit kepala atau rasa berat di kepala
2. Penurunan pembauan (pada dewasa)
3. Riwayat alergi, Rhinithis , riwayat sinusitis

3 Pemeriksaan Fisik Rinoskopi Anterior:


Konka hipertrofi
4 Kriteria Diagnostik Diagnosis ditegkkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang.
5 Diagnosis Kerja 1. Konka hipertrofi
2. Konka bulosa
6 Diagnosis Banding 1. Massa cavum nasi
2. Polip hidung
7 Pemeriksaan 1. Endoskopi (nasoendoskopi)
Penunjang 2. MSCT scan SPN, coronal/axial, slice 3 mm
8 Terapi 1. Medikamentosa
a. Dekongestan
b. Kortikosteroid oral dan topikal
c. Nasal irigasi/cuci hidung dengan larutan salin fisiologis
d. Pengobatan sesuai faktor predisposisi
2. Pembedahan
a. Submucose resection of turbinate
b. Konka reduksi / turbinectomi
9 Edukasi 1. Hindari/tangani alergi, LPR, kelainan THT
2. Makan obat teratur
3. Banyak istirahat
4. Minum hangat dan banyak
5. Hindari alkohol
6. Selalu konsultasi dengan dokter dalam penggunaan obat (beberapa
obat dapat memperberat penyakitnya)

10 Prognosis 1. Quo ad vitam : bonam


2. Quo ad sanam : bonam
3. Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
11 Indikator Medis Kepatuhan DPJP terhadap PPK tentang terapi Hipertrofi konka

12 Kompetensi Dokter Spesialis THT


13 Kriteria Pasien Tidak ada perdarahan
Pulang Rawat Inap Tidak ada infeksi
14 Kepustakaan Sutjipto D, Wardhani RS, editors. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia
dalam Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Jakarta; Bristol
Meyer Squibb. Indonesia; 2007:h 65

Anda mungkin juga menyukai