Anda di halaman 1dari 64

PANDUAN PRAKTEK KLINIK

(PPK)
THT - KL

DAFTAR ISI

1. RINITIS ALERGI 1
2. SINUSITIS AKUT BAKTERIAL 3
3. SINUSITIS PARANASAL KRONIK 5
4. RINITIS VASOMOTOR 8
5. OTITIS MEDIA SUPURATIF AKUT 10
6. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK 12
7. OTITIS EKSTERNA 14
8. PRESBIAKUS 16
9. FARINGITIS AKUT 17
10. TONSILITIS/ADENOIDITIS KRONIK 18
11. LARINGITIS AKUT NONSPESIFIK 20
12. BENDA ASING JALAN NAPAS 22
13. BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO 23
(BPPV)
14. TRAUMA WAJAH & MAKSILOFASIAL 26
15. SUMBATAN JALAN NAPAS ATAS 29
16. KARSINOMA NASOFARING 31
17. TULI KONGENITAL/GANGGUAN PENDENGARAN PADA 35
BAYI & ANAK
18. SERUMEN IMPAKSI 38
19. TONSILEKTOMI 40
20. ADENOIDEKTOMI 44
21. BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL 47
(BSEF)/FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS
SURGERY (FESS)
Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
RINITIS ALERGI
1. Pengertian Penyakit simptomatis pada hidung yang terinduksi oleh proses
(Definisi) inflamasi yang diperantai IgE pada mukosa hidung setelah
pajanan alergen. Karakteristik gejala rinitis alergi adalah bersin
berulang, hidung tersumbat, hidung berair dan hidung gatal.
2. Anamnesa  Gejala hidung : hidung berair, hidung tersumbat, hidung
gatal dan bersin berulang. Gejala umumnya muncul dipagi
ahri atau malam hari.
 Gejala mata : mata merah, gatal dan berair
 Gejala lain : batuk, tenggorokan gatal, gangguan konsentrasi
dan gangguan tidur. Penderita yang disertai asma dapat
ditemukan keluhan sesak napas dan mengi.
3. Pemeriksaan Pada anak sering ditemui tanda khas : bayangan gelap
Fisik didaerah bawah mata (allergic shiner), sering menggosok-
gosok hidung dengan punggung tangan (allergic salute), dan
garis melintang dibagian dorsum hidung (allergic crease).
Gambaran khas pada rongga hidung : mukosa hidung
edema, berwarna pucat atau livid, disertai sekret encer
banyak. Dapat dijumpai juga konka inferior yang hipertropi.
4. Kriteria Diagnosa Sesuai dengan kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
5. Diagnosa Rinitis alergi
6. Diagnosa Rinitis vasomotor, rinitis hormonal, rinitis kronik
Banding
7. Pemeriksaan  Tes kulit:”Prick Test”.
Penunjang  Eosinofil sekret hidung. Positif bila > = 25%.
 Eosinofil darah. Positif bila >= 400/mm .
 Bila diperlukan dapat diperiksa:
- IgE total serum (RIST dan PRIST). Positif bila > 200 IU.
- IgE spesifik (RAST).
 Endoskopi nasal: bila diperlukan dan tersedia sarana.
8. Terapi  Farmakoterapi :
Obat diberikan selama 2-4 minggu, kemudian di evaluasi ulang
ada atau tidaknya respon. Bila terdapat perbaikan, obat
diteruskan lagi 1 bulan. Obat yang direkomendasikan :
- Antihistamin oral generasi kedua dan terbaru. Pada kondisi
tertentu dapat diberikan antihistami yang dikombinasi
dekongestan, antikolinergik intranasal atau
kortikosteroid
PPK THT-KL Page 1
sistemik.
- Kortikosteroid intranasal
 Penghindaran alergen, kontrol lingkungan dan edukasi
9. Edukasi Hindari alergen penyebab
Meningkatkan kondisi tubuh (olahraga pagi, makanan
yang baik, istirahat cukup dan hindari stress)
10. Prognosis Ad Vitam : Dubia ad
bonam Ad Sanationam : Dubia
ad bonam Ad Fungsionam :
11. Kepustakaan  Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi.
Dalam : Soepardi Ea, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi 7. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI ; 2012
 Krouse JH, Chadwick Sj, Gordon BR, Derebery MJ,
editors : Allergy and Immunology An Otoalaryngic
Approach. Lippincott Williams dan Wilkins : Philadelphia ;
2002
 Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA et al. Allergic Rhinitis
and its Impact on Astma (ARIA) 2008 UPDATE (In
Collaboration With The World Health Organization, GA

PPK THT-KL Page 2


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
SINUSITIS AKUT BAKTERIAL
1. Pengertian Proses infeksi dari mukosa sinus maksilaris yang akut yaitu
(Definisi) kurang dari 4 minggu yang disebabkan oleh mikroorganisme.
2. Anamnesa  Nyeri pada daerah hidung, pipi atau dahi (tergantung
lokasi sinus), dan dapat terjadi pada gigi atas(pada
sinusitis maksila)
 Dapat terjadi buntu hidung, pilek, nafas berbau, panas
badan, malaise dan kelesuan
 Pilek berbau busuk pada sinusitis maksila dentogen.
 Sekret mukopurulen, dapat terjadi periorbital udim pada
infeksi yang berat.
3. Pemeriksaan  Nyeri tekan daerah fosa kanina dan sulkus gingivobukalis
Fisik (pada sinusitis maksila), nyeri tekan supra orbita (pada
sinusitis frontal).
 Rinoskopi anterior:
- Mukosa oedem + hiperemi
- Sekret muko purulen, terutama di meatus medius
 Rinoskopi posterior: post nasal sekret purulen
 Transiluminasi : pada sinus yang terkena gelap (sinus
maksila).
4. Kriteria Sesuia dengan kriteria anamnesis , pemeriksaan fisik dan
Diagnosa penunjang
5. Diagnosa Sinusitis akut bakterial
6. Diagnosa -
Banding
7. Pemeriksaan  Plain foto sinus (posisi Water): penebalan mukosa, air fluid
Penunjang level
atau perselubungan.
 CT-scan: walaupun dapat memberi gambaran yang
lebih jelas, tetapi biasanya tidak diperlukan.

PPK THT-KL Page 3


8. Terapi  Anbiotik (diberikan minimal 2 minggu) :
- Lini pertama : Amoksisilin, trimetropim
sulfametoksazol(kotri moksazol), atau
eritromisin.
- Lini kedua :Bila ditengarai kuman menghasilkan enzim
beta- laktamase diberikan kombinasi amoksisilin +
asam klavulanat, sefaklor, atau sefalosporin generasi II
atau III oral.
 Dekongestan:
- Topikal (sol efedrin 1% tetes hidung, oksimetazolin
0,025% tetes hidung – 0,050% semprot hidung).
Jangan digunakan lebih dari 5 hari.
- Sistemik (fenil propanolamin, pseudo-efedrin).
 Mukolitik (asetil sistein, bromheksin)
 Analgesik/antipiretik bila perlu

PPK THT-KL Page 4


 Antihistamin: diberikan pada penderita dengan latar
belakang alergi.
 Irigasi sinus maksila : bila resorpsi sekret sinus maksila
tidak adekuat.
 Perawatan gigi bila diketahui penyebab dentogen.
9. Edukasi  Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang
timbul
 Menjelaskan rencana pengobatan, indikasi
10. Prognosis Ad Vitam : Dubia ad
bonam Ad Sanationam : Dubia
ad bonam Ad Fungsionam :
11. Kepustakaan  White JA. Paranasal sinus infections. In: Ballenger JJ.
th
Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 14 ed.
Philadelphia: Lea & Febiger, 1991:184-202.
 Facer GW, Kern EB. Sinusitis: Current concept and
management. In: Bailey BJ. Ed. Head and Neck Surgery
– Otolaryngology, ed. Vol I, Philladelphia: JB. Lippincott
Company, 1993:366-76.
 Gustafson RO, Bansberg SF. Sinus surgery. In: Bailey
BJ. Ed. Head and Neck Surgery – Otolaryngology.
Philadelphia: JB. Lippincott Company, 1993:377-88.
 Wilson WR, Montgomerry WW. Infections Diseases of the
Paranasal Sinuses. In: Paparella, Shumrick DA, eds
rd
Otolaryngology. 3 ed. Philadelphia: WB Saunders
Company, 1991 : 1844-8.
 Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL. Infections of the Upper respiratory Tract.
th
In: Harrison’s Manual of Medicine. 15 ed. Boston:
McGraw Hill International Edition, 2002:213-5

PPK THT-KL Page 5


PPK THT-KL Page 6
Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
SINUSITIS PARANASAL KRONIK
1. Pengertian Inflamasi mukosa sinus paranasal dan rongga hidung
(Definisi) dengan durasi lebih dari 12 minggu dan/atau 6 bulan terakhir
kambuh lebih dari 3 episode.
2. Anamnesa  Gejala utama :
- Sekret mukopurulen
- Postnasal drip
- Hidung terumbat
- Nyeri wajah
- Hiposmia dan anosmia
 Gejala tambahan :
- Nyeri kepala
- Halitosis
- Nyeri daerah gusi atau gigi rahang atas
- Batuk
- Nyeri telinga
- Kelelahan
 Gejala faktor resiko, jika ada :
- Curiga rinitis alergi : gelaja sekret encer, bersin,
hidung gatal jika terpajan alergen
- Curiga refluk laringofangeal : gejala suara serak,
mendehem, post nasal drip, kesukaran menelah,
batuk setelah makan/berbaring, rasa panas didada
 Dapat disertai keluhan gangguan kualitas tidur
 Jika terdapat keluhan bengkak di mata, penglihatan
ganda, penurunan penglihatan, nyeri dan bengkak di dahi
yang berat, nyeri kepala berat, tanda- tanda
meningitis/gangguan neurologik dipikirkan kemungkinan
komplikasi sinusits ke orbita atau intrakranial.
3.  Pemeriksaan rinoskopi anterior dan atau
Pemeriksa nasoendoskopi dapat ditentukan :
an Fisik - Sekret mukopurulen dari meatus medius
- Sekret mukopurulen dari meatus superior dan/atau
- Edema dan/atau hiperemis dan/atau polip di meatus
medius
- Post nasal drip
- Septum deviasi/konka paradoks/ defleksi prosesus
unsiatus ke lateral
 Dapat ditemukan bengkak dan nyeri di pipi dan kelopak
mata bawah pada sinus maksila
PPK THT-KL  Dapat ditemukan bengkak dan nyeri di dahi dan kelopak
Page 5
PPK THT-KL Page 6
atas pasa sinussitis frontal
4. Kriteria  Sesuai dengan kriteria anamnesis
Diagnosa  Sesuia dengan kriteria pemeriksaan fisik
5. Diagnosa Sinus maksilaris /frontal /ethmoidal /spenoidal /pansinusitis
/unspecified kronik.
6. Diagnosa Rinitis alergic, rinitis
Banding vasomotor
7. emeriksaan  Foto polos sinus posisi Water: penebalan mukosa,
Penunjang perselubungan, atau bentukan polip/mukokel.
 Nasal endoskopi : melihat rongga hidung dan meatus
medius lebih jelas. Kondisi KOM dapat dievaluasi lebih
cermat.
 CT Scan kadang-kadang diperlukan khususnya pada
yang unilateral untuk menyingkirkan kemungkinan
malignansi atau bila disiapkan untuk tindakan
pembedahan.
 Pemeriksaan gigi atas untuk mencari kemungkinan
penyebab dari gigi.

PPK THT-KL Page 7


8. Terapi  Cuci hidung dengan larutan NaCl 0,9%
 Steroid tropika intranasal
 Dekongestan, analgetik, mucolitik
 Terapi ,edikamentosa terhadap faktor resiko yaitu
antihistamin dan steroid topikal intranasal untuk rinitis
alergi persisten sedang berat dan proton pump inhibitor
untuk refluks laringofaringeal
 Antibiotik dapat diberikan jika terdapat 3 gejala dan tanda
infeksi bakteri dari 5 kriteria berikut :
- Sekret mukopurulen dominan satu sisi
- Nyeri wajah dominan satu sisi
- Demam lebih dari 380C
- Terdapat double sickening-gejala yang memberat
sesudah terjadi perbaikan
- Pemeriksaan CRP dan LED yang meningkat.
Jenis antibiotik : amoksisilin clavulanan
3x625mg/cotrimoxazol 2x960mg / eritromicin 4x500mg /
sefalosforin oral generasi ke dua dan tiga, / clyndamicin
3x300 mg / claritomicin 2x500mg selama 10-14 hr,
azitromicin 1x500mg selama 5 hari, atau antibiotik sesuai
kultur dan resistensi da/atau dengan pemberian dosis
sesuai umur, berat badan serta penyakit penyerta.
 Pembedahan : bedah sinus endoskopik fungsional :
- Intranasal antrotomy
- Frontal sinusectomy
- Ethmoidectomy
- Sphenoidectomy
 Terapi selama 3 hari pasca operasi :
- Seftriaxon 1x2 gram IV selama 3 hari dan dilanjutkan
antibiotik oral selama 7 hari
- Paracetamol 3x500-1000mg IV atau tramadol 2x50-100
mg IV atau keterolac 3x10-30mg IV
- Jika diperlukan : ranitidin IV, methylprednisolon IV,

pseudoefedrin Hcl oral, loratadin oral, asam traxenamat


9. Edukasi IV tentang rencana pengobatan dan operasi
Penjelasan
Pencegahan inflamasi berulang dengan melakukan
penatalaksanaan faktor resiko dan faktor lingkungan.
10. Prognosis Ad Vitam : Dubia ad
bonam Ad Sanationam : Dubia
ad bonam Ad Fungsionam :

PPK THT-KL Page 8


11. Kepustakaan  Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis, Dalam :
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J. Restuti RD,
editors, Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL Edisi enam.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2009.hal 150-4
 Fokkens W, Lund V, Mullol J, Bachert C, Alobid I,
Baroody F, et al. European Position Papper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinology 2012.
Rhinology 2012; 50(supl.23): 1- 299
 Soetjipto D., Wardhani RS. Guideline Penyakit THT di
Indonesia, PP. Perhati-KL 2007, hal 63.
 Patel ZM, Hwang PH, Non Polypoid rhinosinusitis:
pathogenesis, diagnosis, staging and treatmen. In
Bailey’s Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 5 th ed.
Philadelphia. Wolter Kluwer Lippincot Williams and
Wilkins; 2014. P535-549
 Kolin KA, Senior BA. Diagnosis and Management of
Acute Rhinosinositis. Dalam : Thaler ER, Kennedy DW
(eds). Rhinosinositis – A guide for Diagnosis and
Management. Philadelphia: Springer; 2008: hal 29 – 40
 Schlosser RJ, Harvey RJ. Diagnosis and Management of
Chronic Rhinosinusitis. Dalam : Thaler ER, Kennedy DW
(eds). Rhinosinositis – A guide for Diagnosis and
Management. Philadelphia: Springer; 2008: hal 41 – 64
 Rosenfeld MR, Piccirillo JF, Chandrasekhar SS, Brook I,
Kumar AA, Kremper M, et al. Cliical practise guideline
(update): adult sinusitis. Otolaryngol Head and Neck
Surg. 2015;152(25):S1-S39
 Temperano J, Geremarkis C, Hinyard L. Obstructive sleep
apneu sinusitis, gastroesophageal reflux and severe
asthma exercebations, J Allergi Clin Immunol
2012:192(2): Suplement AB151
 Chandra RK, Conley DM, Kern RC. Prophylactic i.v.
antibiotics in functional endoscopic sinus surgery: trends
and attitudes of the American Rhinologic Society member.
Am J Rhinol Allergy, 2009; 23(4):448-50
 Saleh AM, Torres KM, Murad MH, Erwin PJ, Driscoll CL.
Prophylactic perioperative antibiotic use in endoscopic
sinus surgery: A systematic review and meta-analysis.

PPK THT-KL Page 9


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
RINITIS VASOMOTOR
1. Pengertian Sindroma/gejala-gejala kronik yang berupa pilek encer, bersin-
(Definisi) bersin dan buntun hidung yang tidak diketahui dasar
penyebabnya
2. Anamnesa Pilek encer, bersin-bersin paroksismal, buntu hidung,
biasanya kambuh waktu pagi (dingin), mendung
(kelembaban tinggi
3. Pemeriksaan Rinoskopi anterior pada saat serangan:
Fisik  Konka oedem
 Sekret serokumulus
 Warna mukosa tidak khas

4. Kriteria Sesuai dengan kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik


Diagnosa
5. Diagnosa Rinitis vasomotor

6. Diagnosa  Rinitis alergi


Banding  Rinitis akut (“infectious Rhinitis”)
 Rinitis karena iritan (“irritant Contact Rhinitis”)
 Rinitis medikamentosa (“Drug Induced Rhinitis”)
 Rinitis hormonal (“Hormonally Induced Rhinitis”)

7. Pemeriksaan  X-ray
Penunjang  Tes alergi

8. Terapi Terapi kausal tidak ada, dapat dilakukan terapi simptomatik :


 Kombinasi antistamin dan dekongestan oral
sebelum tidur malam/saat serangan.
 Antihistamin: CTM, (2-4 mg) pada saat serangan.
 Dekongestan oral: Psedoefedrin (30-60 mg) pada saat
serangan.
 Kalau buntu dapat dilakukan/diberi:
- Tetes hidung (waktu serangan akut).
- Kaustik konka inferior, atau kalau lebih berat,
- Konkotomi konka inferior
9. Edukasi  Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang
timbul
10. Prognosis  Vitam
Ad Menjelaskan: rencana
Dubiapengobatan..
ad
bonam Ad Sanationam : Dubia
ad bonam Ad Fungsionam :
PPK THT-KL Dubia ad bonam Page 11
Kepustakaan  Ballenger JJ.Chronic infections of the nasal fossae. In: Ballenger
JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th
external ear. In: Philadelphia: Lea & Febiger,1985:199-204.
 Kimmelman CP, Ali Gamal HA. Vasomotoe rhinitis.
Otolaryngol Clin of North Am 1986;19:65-72.
 Marshall KG, Attia EL. Disorder of the nose and paranasal
sinus. Massachusetts : PSG Publishing Company, Inc,
1987:195-98.
Weir N. Vasomotor rinitis-allergi and non allergi. In: Ballantyne J,
Groves J, eds. Scott-Brown’s diseases of the ear, nose, throat. 3rd
ed. London: Butterwoths, 1979 : 209-24.

PPK THT-KL Page 12


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
OTITIS MEDIA SUPURATIF AKUT
1. Pengertian Infeksi akut dengan pembentukan sekret purulen yang
(Definisi) mengenai muka kavum timpani.

2. Anamnesa dan Tergantung stadium


pemeriksaan
3. Kriteria Diagnosa Dibagi dalam 4 stadium
: Stadium I (stadium
katara
 Stadium I (stadium kataral)
- Anamnesis : telinga terasa terasa penuh, gangguan
pendengaran, batuk pilek.
- Pemeriksaan : membran timpani retraksi, hiperemi,
kadang- kadang tampak “air fPemeriksaan : membran
timpani retraksi, hiperemi, kadang-kadang tampak “air
fluid level”.
 Stadium II (stadium supuratif)
- Anamnesis : nyeri telinga, gangguan pendengaran,
demam, batuk pilek, belum ada otorea.
- Pemeriksaan fisik : membran rimpani bombans, hipere i,
belum ada sekret di dalam telinga.
 Stadium III ( stadium perforasi)
- Anamnesis : otorea, nyeri telinga, gangguan
pendengaran, batuk pilek.
- Pemeriksaan fisik : sekret mukopurulen. Membran
timpani perforasi, kadang-kadang tampak pulsasi.
 Stadium IV (stadium revolusi)
- Anamnesis : gangguan pendengeran, kadang-kadang
tinitus,telinga kering
- Pemeriksaan fisik : membran timpani perforasi, hiperemi,
tidak ada sekret.
4. Diagnosa OTITIS MEDIA SUPURATIF AKUT
5. Diagnosa  Furunkel liang telinga
Banding  Otitis eksterna
6.  Garpu tala
Pemeriksa
an
Penunjang

PPK THT-KL Page 13


7. Terapi  Memperbaiki drainase
- Tindakan : parasentesis (miringotomi)
- Obat-obatan : dekongestan oral (pseudoefedrin). Tetes
hidung (efedrin 1%), selama diperlukan.
 Antibiotik diberikan selama 7 hari.
 Simtomatik untuk infeksi saluran napas atas :
- Analgetik/antipiretik bila diperlukan
- Kombinasi dekongestan oral dan antihistamin.

8. Edukasi  Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang timbul


 Menjelaskan rencana pengobatan, indikasi operasi dan
komplikasinya
 Menjaga kebersihan rongga mulut, bila perlu konsultasi dokter
gigi.
9. Prognosis Ad Vitam : Dubia ad
bonam Ad Sanationam : Dubia
ad bonam Ad Fungsionam :
Dubia ad bonam
10. Kepustakaan  Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and
neck. 13th external ear. In : Philadelphia: Lea & Febiger,
1985:1128- 34.
 Ransome J. Acute suppurative otitis media and acute
mastoiditis. In: Evans JNG, ed.Scott – Brown’s otolaryngology
5th ed. Paediatric Otolaryngology. London, Boston, Durban,
Singapore, Sydney, Toronto, Wellington : Butterworths,
1987:177-185.

PPK THT-KL Page 14


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
1. Pengertian Peradangan kronik yang mengenai mukosa dan struktur tulang
(Definisi) di dalam kavum timpani dan tulang mastoid.
2. Anamnesa Otorea terus menerus/kumat-kumatan lebih dari 6-8
minggu. Pendengaran menurun (tuli).
3. Pemeriksaan  Otitis media supuratif kronik tipe benigna :
Fisik Perforasi sentral atau subtotal pada parstensa, sekret
mukoid tidak berbau dan gangguan pendengaran ringan
sampai sedang.
 Otitis media supuratif kronik tipe maligna :
Perforasi total, marginal atau perforasi atik dengan sekret
berbau busuk akibat nekrosis tulang. Terdapat koleatom
dan jaringan granulasi. Gangguan pendengaran bervariasi
dari tuli ringan sampai tuli total
4. Kriteria Diagnosa Sesuia dengan kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik dan
5. Diagnosa penunjang
Otitis media supuratif kronik
6. Diagnosa Otitis media supuratiif akut
Banding
7.  Tes fungsi tuba.
Pemeriksa  Audiogram nada murni dan nada tutur.
an  X-foto mastoid posisi Schuller.
Penunjang
8. Terapi  Tipe benigna
- Hindari air masuk dalam telinga
- Cuci liang telinga dengan : NaCl 0,9%, asam aseta 2 %
atau peroksida 3 %
- Antibiotik : tetes telinga ofloxacin, untukk sistemik dapat
digunakan golongan quinolon dan sefalosporin
generasi ke IV
- Pembedahan : timpanoplasti dengan atau tanpa
masteodektomi
 Tipe maligna
 benigna
- Hindari air masuk dalam telinga
- Cuci liang telinga dengan : NaCl 0,9%, asam aseta 2 %
atau peroksida 3 %
- Antibiotik : tetes telinga ofloxacin, untukk sistemik dapat
digunakan golongan quinolon dan sefalosporin
generasi ke IV
- Terapi pembedahan (mastoidektomi radikal, radikal
modifikasi, radikal dengan rekontruksi)

PPK THT-KL Page 15


9. Edukasi  Berobat segera bila batuk pilek
 Hindari air masuk ke dalam telinga

PPK THT-KL Page 16


 Menyarankan operasi dengan tujuan menurunkan
resiko kekambuhan, mencegah komplikasi lebih
lanjut serta memperbaiki fungsi pendengaran

10. Prognosis Ad Vitam : Bonam


Ad Sanationam : Dubia ad
bonam/malam Ad Fungsionam :
11. Kepustakaan Dubia ad malam
Proctor B. Chronic otitis media and mastoiditis. In:
Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff
WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. II. Otology and
Neuro-otology. Philadelphia, London, Toronto, WB
Saunders, Co, 1991:1349- 76.
 Austin DF. Chronic ear diseases. In: Ballenger JJ. Ed.
Diseases of the Nose,Throat, Ear, Head and Neck. 14th
ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991:1109-
118.
 Strunk CL. Cholesteatoma. In: Bailey BJ and Pillsburry III
HC. Eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol.
II Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:1635-46.
 Goycoolea MV, Jung T TK. Complications of supurative
otitis media In : Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL,
Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. II. Otology
and Neuro-otology. Philadelphia, London, Toronto, WB
Saunders, Co, 1991:1381-104.

PPK THT-KL Page 17


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
OTITIS EKSTERNA
1. Pengertian Infeksi pada kulit Meatus Akustikus Eksternus (MAE).
(Definisi)
2. Anamnesa  Rasa gatal dan nyeri di dalam telinga. Awalnya sekret
encer dan bening, namun dapat berubah menjadi sekret
kental purulen. Pada bentuk kronik sekret tidak ada atau
hanya sedikit berupa gumpalan berbau.
 Pendengaran normal atau sedikit berkurang
3. Pemeriksaan  MAE terisi sekret seruos (alergi), purulen (infeksi
Fisik kuman), keabu-abuan atau kehitam-hitaman
(jamur).
 Kulit MAE udim, hiperemi merata sampai ke membrana
timpani.
 Pembesaran kelenjar regional : daerah servikal antero
superior, parotis atau retro aurikuler.
4. Kriteria Sesuia kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik
Diagnosa
5. Diagnosa Otitis eksterna
6. Diagnosa Otitis media akut, otitis eksterna bulosa
Banding
7. Pemeriksaan Garpu tala
Penunjang
8. Terapi  MAE dibersihkan dengan menggunakan kapas lidi.
 Pemasangan tampon pita 1/2cm x 5 cm yang telah
dibasahi dengan larutan burowi fiiltrata (3%) pada MAE.
Tampoin setiam 2-3 jam sekali ditetesi dengan larutan
burawi agar tetap basah. Tampon diganti setiap 2 hari
sekali.
 Obat tets diberikan selama 2-3 hari setelah gejala
nyeri/gatal hilang. (diduga infeksi bakteri : tetes telinga
neomisin hidrokortison, infeksi jamur : tetes telinga asam
salisilat 2-5% dalam alkohol 20%)
 Pada otitis eksterna kronik difus dapat diberikan
triamsinolon 0,25% krim/salep atau deksametason 0,1%.
 Antibiotik oral tidak diperlukan.
9. Edukasi Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang timbul
Menjelaskan rencana pengobatan
10. Prognosis Ad Vitam : Dubia ad
bonam Ad Sanationam : Dubia
ad bonam Ad Fungsionam :

PPK THT-KL Page 14


11. Kepustakaan  Linstrom JL, Lucente FE. Infections of the external ear.
In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck
Surgery –

PPK THT-KL Page 15


Otolaryngology Vol. II Philadelphia: JB Lippincott
Company. 1993:1542-56.
 Meyerhoff WL, Caruso VG. Trauma and infections of the
external ear. In: Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman
JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. II.
Otology and Neuro-otology. Philadelphia, London, Toronto:
WB Saunders, Co, 1991:1227-36.
 Austin DF. Diseases of the external ear. In: Ballenger
JJ. Ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and
Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger,
1991:1069-80.

PPK THT-KL Page 16


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
PRESBIAKUS
1. Pengertian Kekurang pendengaran yang disebabkan oleh proses ketuaan
(Definisi)
2. Anamnesa  Pendengaran berkurang, sulit berkomunikasi.
 Telinga berdenging.
 Diplakusis.
 Dapat disertai vertigo.
3. Pada otoskopi tak ditemukan kelainan.
Pemeriksa
4. an Fisik
Kriteria Terjadi pada usia 60-80 tahun, dapat terjadi mulai usia 40
Diagnosa tahun (presbiakusis prekok). Paling banyak usia 60-65 tahun.
Pada pemeriksaan otoskopi tidak ditemukan kelainan.
5. Diagnosa Pesbiakus
6. Diagnosa  Trauma akustik (karena kebisingan).
Banding  Penyakit Meniere.
 Otosklerosis stadium lanjut.
7. Audiometri
Pemeriksa
8. Terapi  Tidak ada terapi definirtif yang memuaskan : vasodilator
(asamnikoitinat), vitamin B complex dan A. Keduanya
diberikan dalam sebulan, dihentikan bila tidak ada
perubahan.
 Apabila diperlukan dapat dipasang alat pembantu
9. Edukasi  mendengar (“hearing
Menghindari aid”).
kebisingan.
 Diet rendah lemak.
 Menghindari rokok, ketegangan, avitaminosis, anemi.
 Pengobatan terhadap kelainan kardiovaskular
10. Prognosis Ad Vitam : Dubia ad
bonam Ad Sanationam : Dubia
ad malam Ad Fungsionam :
11. Kepustakaan  Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head
and neck. 13th external ear. In : Philadelphia: Lea &
Febiger, 1985:1067,1269.
 Hinokosa R, Nauton RF.Presbycusis. In : Paparella MM,
Shumrick DA, eds. Otolaryngology, Vol II.2nd ed.
Philadelphia, London, Toronto :WB Saunders Co,
1980:1777-87.

PPK THT-KL Page 16


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
FARINGITIS AKUT
1. Pengertian Radang akut yang mengenai mukosa faring dan
(Definisi) jaringan limfonodular di dinding faring
2. Anamnesa Tenggorok terasa kering dan panas, kemudian timbul nyeri
menelan di bagian tengah tenggorok. Demam, sakit kepala,
malaise.
3. Mukosa faring tampak merah dan oedem, terutama di daerah
Pemeriksa lateral band, kadang- kadang terdapat eksudat. Sekret yang
an Fisik terbentuk awalnya bening, lama kelamaan kental berwarna
kuning. Granula tampak lebih besar dan merah.
4. Kriteria Sesuia dengan kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik
Diagnosa
5. Diagnosa Faringitis akut
6. Diagnosa Tonsilitis akut
Banding
7. Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk
Pemeriksa menegakkan diagnosa
8. Terapi  Analgestik/antipiretik: Parasetamol 3-4 x 500 mg, 3-5 hari.
 Obat kumur Gargarisma Kan.
 Tidak diperlukan antibiotika, kecuali untuk infeksi berat.
9. Edukasi  Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang
timbul
 Menjelaskan rencana pengobatan dan komplikasinya
 Menjaga kebersihan rongga mulut, bila perlu konsultasi
10. Prognosis Ad Vitam : Dubia ad
bonam Ad Sanationam : Dubia
ad bonam Ad Fungsionam :
11. Kepustakaan  Ballenger JJ. Diseases of the oropharynx. In: Ballenger
JJ, ed. Diseases of the nose, throat, ear and neck. 14th
ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1991:243-58.
 Wenig BM, KornblutAD. Pharyngitis. . In: Bailey BJ. Ed.
Head and Neck Surgery – Otolaryngology. Ed. Vol I.
Philadelphia: JB. Lippincott Company, 1993:551-67.

PPK THT-KL Page 17


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
TONSILITIS/ADENOIDITIS KRONIK
1. Pengertian Peradangan kronik pada tonsil sebagai lanjutan peradangan
(Definisi) akut/subakut yang berulang/rekuren, dengan kuman
penyebab nonspesifik. Peradangan kronik ini dapat
menyebabkan gangguan menelan dan gangguan pernafasan.
2. Anamnesa  Keluhan lokal :
- Nyeri menelan
- Nyeri tenggorokan
- Rasa mengganjal di tenggorokan
- Mulut berbau (halitosis)
- Demam
- Mendengkur
- Gangguan berbafas
- Hidung tersumbat
- Batuk pilek berulang
 Dapat pula disertai keluhan sistemik :
- Rasa lemah
- Nafsukana berkurang
- Sakit kepala
- Nyeri pada sendi
3.  Pembesaran tonsil
Pemeriksa  Permukaan kripta tonsil melebar
an Fisik  Detritus pada penekanan kripta
 Arkus anterior atau posterior hiperemis
 Perbesaran kelenjar submandibula
4. Kriteria Satu atau lebih keluhan dari anamnesis yang berulang
Diagnosa disertai dengan pembesaran ukuran tonsil dan atau
pemeriksaan fisik lainnya.
5. Diagnosa Tonsilitis/adenoiditis kronik
6. Diagnosa  Tonsilitis kronik oleh sebab lain ; tuberculosis,
Banding sifilis, aktinmikosis
 Pembesaran tonsil karena kelainan darah atau
keganasan, misalnya leukemia, limfoma
7.  Bila perlu kultur resistensi dari swab tenggorokan
Pemeriksa  Pasca operasi : pemeriksaan histopatologi jaringan
an tonisl atau adenoid (bila dicurigai keganasan).
Penunjang
PPK THT-KL Page 18
8. Terapi  Non pembedahan :
- Lokal : obat kumur tenggorok
- Medikamentosa : dengan antibiotik spectrum luas
sambil menunggu hasil kultur
- Simptomatik : na;getik-antipiretik, anti inflamasi
 Pembedahan :
- Tonsillectomy pada tonsilitis kronik
- Adenoidectomy pada hipertropi adenoid, hipertropi
tonsil dengan hipertropi adenoid.
- Tonsilloadenoidectomy pada hipertropi tonsil
dengan hipertropi adenoid

9. Edukasi  Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang


timbul
 Menjelaskan rencana pengobatan, indikasi
operasi dan komplikasinya
 Menjaga kebersihan rongga mulut, bila perlu konsultasi
10. Prognosis Ad Vitam : Dubia ad
bonam Ad Sanationam : Dubia
ad bonam Ad Fungsionam :
11. Kepustakaan  Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis dan
Hipertropi adenoid. Dalam : buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorokan. Edisi 6. Jakarta : FKUI ;
2007. H 223-5
 Lore JM, Medina JE. Tonsillectomy and adenoidectomy.
In : An Atlas of head and neck surgery. 4 ed.
Philladelphia : Elsevier Sunders ; 2005 : p. 770-2
 Brodsky L.Poje C. Tonsilitis, Tonsilektomu and
Adenoidectomy. In : Bailey BJ, Johnson JT, Newlands
SD, editor. Head and neck surgery – otolaryngology. 4
ed. Baltimore : Lippincott William and Wilkins ; 2006
 Baug RF, Archer SM, Mitchell RB, Rosenfeld RM, Amin
R, Burn JJ, et al, Clinical practice guidline : tonsillectomy
in children. Otolaryngology head and neck Surg.

PPK THT-KL Page 19


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
LARINGITIS AKUT NONSPESIFIK
1. Pengertian Infeksi akut pada mukosa laring. Infeksi ini pada umumnya
(Definisi) merupakan kelanjutan dari rhinitis akut atau nasofaringitis
akut. Walaupun epiglotis termasuk laring, batasan ini tidak
untuk epiglotitis akut.
2. Anamnesa o
 Didapatkan gejala panas badan (subferil: 38,5 C),
malaise, batuk dan pilek.
 Kemudian diikuti suara membesar, kemudian parau
sampai afoni (tidak ada suara sama sekali)
 Nyeri menelan atau berbicara
 Gejala sumbatan jalan nafas atas, terutama pada anak.
3.  Suara parau sampai afoni
Pemeriksa  Panas badan subfebril
an Fisik  Pemeriksaan laringoskopi indirekta / direkta didapatkan
- Mukosa laring dan korda voklais hiperemi dan oedem
- Rima glotis sempit (terutama pada anak)
 Gejala sumbatan jalan nafas atas:
- Stridor inspirasi
- Sesak saat inspirasi
- Retraksi supravikula, interkostal, epigastrial
4. Kriteria Sesuia dengan kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosa
5. Diagnosa Laringitis akut nospesifik
6. Diagnosa Epiglotitis akut
Banding
7. -
Pemeriksa
8. Terapi  Terapi simptomatis analgetik-antipiretik untuk panas
badan dan nyeri menelan
 Ekspektoran untuk batuk dan mengencerkan lendir
 Humidifikasi dalam ruangan yang sejuk . dingin
 Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi sekunder
 Kortikosteroid
9. Edukasi  Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang
timbul
 Menjelaskan rencana pengobatan dan komplikasinya
10. Prognosis  Vitam
Ad Menjaga kebersihan rongga mulut.
: Dubia ad
bonam Ad Sanationam : Dubia
ad bonam Ad Fungsionam :
Dubia ad bonam

PPK THT-KL Page 20


11. Kepustakaan  Bastian RW. Acute inflammatory diseases of the larynx.
In: Ballenger JJ, ed. Diseases of the nose, throat, ear,
head and neck. 14th ed. Philadelphia: Lea & Febiger,
1991: 605-606.
 Marvin P, Fried MD, Jo Shapiro MD. Acute and chronic
laryngeal infections. In: Paparella MM, Shumrick DA, eds.
Otolaryngology. 3rd ed. Vol III Philadelphia: WB Saunders
Co, 1991: 2245-2247.
 Feehs RS, Koufman JA. Laryngitis. In: Bailey BJ, Johnson
JT, eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology. Ed.
Vol I. Philadelphia: JB. Lippincott Company, 1993:612-
619.
 Pedoman diagnosis dan terapi Lab / UPF Ilmu Penyakit

PPK THT-KL Page 21


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
BENDA ASING JALAN NAPAS
1. Pengertian Benda asing yang secara tidak sengaja terhirup masuk ke
(Definisi) jalan nafas (Laring, trakea, bronkus).
2. Anamnesa Batuk mendadak hebat, bertubi-tubi sampai biru (sianosis).
Sesak nafas bila penyumbatan pada laring atau trakea.
3. Pemeriksaan  Kadang-kadang tidak dapat ditemukan gejala yang jelas.
Fisik  Bila ada penyumbatan jalan napas atas, tampak :
- Gelisah
- Sesak
- Stridor inspirasi
- Retraksi supraklavikuler, interkostal, epigastrial,
supra sternal.
- Biru (sianosis).
 Bila benda asing berhenti pada salah satu cabang bronkus:
- Gerak nafas satu sisi berkurang
- Suara nafas satu sisi berkurang
 Pada fase tenang, mungkin gejala tersebut di atas tidak
ada.
4. Kriteria Diagnosa Sesuai kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik dan atau
5. Diagnosa penunjang
Benda asing jalan napas
6. Diagnosa  Asma bronkial : didapatkan stridor ekspiratoir, wheezing.
Banding  Laringitis akut.
 Trakeitis
 Bronkitis
 Pneumoni
7.  X-ray thorax
Pemeriksaa

PPK THT-KL Page 22


8. Terapi  Ekstraksi benda asing melalui bronkoskopi di Lab/UPF
THT. Bila tidak tersedia fasilitas, kirim segera,
sebaiknya dengan ambulans dan persediaan oksigen
yang cukup. Rujukan dapat menggunakan manfaat dari
radio medik agar Lab/UPF THT dapat mengadakan
persiapan sebelumnya.
 Bila penderita apatis dan tidak tersedia peralatan
tersebut, dapat dilakukan “Heimlich manouvre”.
 Cara pengiriman penderita :
- Duduk, miring ke sisi obstruksi (anak dipangku ibunya).
- Jangan banyak bergerak atau menangis, sebab
benda asing dapat “lepas”, dibatukkan dan mungkin
dapat terjepit pada rima glotis sehingga
menimbulkanpenyumbatan jalan nafas yang fatal.
- Sebaiknya disertai paramedis yang dapat melakukan
“heimlich manouvre”.
9. Edukasi  Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang
timbul
 Menjelaskan rencana pengobatan, indikasi
10. Prognosis Ad Vitam : Dubia ad bonam /
malam Ad Sanationam : Dubia ad
bonam
11. Kepustakaan  Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and
neck. 13th external ear. In: Philadelphia: Lea & Febiger,
1985:1346- 72.
 Jackson C, Jackson CL. Diseases of the nose, throat, and
ear. 2nd ed. Philadelphia, London: WB Saunders Co,
1963:842-55.
 Tucker GF Jr, Holinger LD. Foreign bodies in esophagus
or respiratory tract. In: Paparella MM, Shumrick DA, eds.
Otolaryngology, Vol. III 2nd ed. Philadelphia, London,
Toronto, Mexico City, Rio de Janeiro, Tokyo: WB
Saunders Co, 1991:2628- 41.

PPK THT-KL Page 23


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO (BPPV)
1. Pengertian Gangguan keseimbangan yang ditandai dengan adanya
(Definisi) sensasi berputar dari dunia sekelilingnya atau dirinya sendiri
yang berputar dan bersifat episodic yang diprovokasi oleh
gerakan kepala. Kondisi ini terjadi ketika Kristal kalsium
karbonat di utrikulus terlepas dan masuk ke dalam salah satu
atau lebih kanalis semi sirkularis vestibuler sehingga terjadi
2. Anamnesa rangsangan gangguan
1. Vertigo atau sensasi keseimbangan
ruang berputar bila kepala digerakan
2. Awitan (onset) tiba-tiba/mendadak
3. Episodik
4. Dapat disertai gejala otonom; mual, muntah, keringat
dingin
5. Tidak didapatkan gangguan pendengaran
3. Pemeriksaan 6. 1.Tidak ada gejala
Nistagmus fasefokal otak searah
rotatoar (deficit jarum
neurologis)
jam (pada sisi
Fisik lesi) saat dilakukan pemeriksaan Dix-Hallpike
2. Timbulnya gejala otonom saat diprovokasi
4. Kriteria Diagnosa Sesuai kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik
5. Diagnosa BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO (BPPV)
6. Diagnosa  Meniere disease
Banding  Vestibular neuronitis
 Disorders of vestibular function
 Other peripheral vertigo
 Unspecified disorder of vestibular function
7.  Radiologi : foto rontgen, tomografi computer,
Pemeriksaa pencitraan magnetic resonansi (bila perlu)
n  Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui factor
8. Penunjang
Terapi predisposisi
 Canalith Repotitional Therapy/CRT
 Latihan Brandt-Daroff
 Medikamentosa : Betahistin 48mg/hari dibagi 2
atau 3 dosis
 Vestibular Retraining Therapy (VRT)
9. Edukasi Setelah tindakan reposisi pasien disarankan agar tetap
mempertahankan kepalanya pada posisi tegak selama 24
jam, tidur dengan 2 bantal (posisi 45 derajat), sehingga
kanalit tidak akan mengikuti gravitasi kembali ke krus dan
masuk kembali ke kanalis semisirkularis posterior. Jika
nystagmus tipikal masih ada maka manuver ini diulang
10. Prognosis Ad Vitam :
Bonam Ad Sanationam
: Dubia

PPK THT-KL Page 24


11. Kepustakaan  Ballenger JJ. Vestibulometri, dalam Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher, edisi 13,
terjemahan FKUI RSCM, Binarupa Aksara Jakarta, 1997
hal : 236-268
 .Nicacio C, Myrelly K, Ribeiro OBDF, Vanessa R, Freitas
DM, Maria L, et al. Vertiginous Symptoms and Objective
Measures of Postural Balance in Elderly People with
Benign Paroxysmal Positional Vertigo Submitted to the
Epley Maneuver. In Arch Otorhinolaryngol. 2016;20;61-68
 PERHATI-KL, Panduan Praktik Klinis, Panduan Praktik
Klinis Prosedur Tindakan, Clinical Pathways. Di bidang

PPK THT-KL Page 25


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
TRAUMA WAJAH & MAKSILOFASIAL
1. Pengertian Trauma wajah yang mengakibatkan fraktur yang
(Definisi) berhubungan dengan sistem pilar vertical dan horizontal pada
sepertiga tengah wajah
2. Anamnesa  Edema infra orbital
 Hipestesi cabang N.V2
 Maloklusi (Le Fort I-II)
 Epistaksis (Le Fort II-III)
 Kebocoran cairan otak (Le Fort III)
 Mekanisme trauma : tentang kekuatan, lokasi dan arah
benturan yang terjadi.
 Cedera di bagian tubuh yang lain
 Riwayat perubahan status mental dan penurunan
kesadaran
 Adanya disfungsi yang berhubungan dengan jalan
3. Pemeriksaan Inspeksi:
Fisik Evaluasi kelainan lokal berupa: luka, disproporsi, asimetri
wajah, adakah gangguan fungsi mata, gangguan oklusi,
trismus, paresis fasialis dan edema jaringan lunak serta
ekimosis

Palpasi:
Di daerah supraorbital, lateral orbital rim, zygoma, infra
orbital, hidung, mandibula, sendi temporomandibular,
palpasi bimanual (ekstra-intra oral)

Pemeriksaan fisik dapat berupa:


1. Le Fort I
 Fraktur horizontal antara maksila dan
palatum (Guerin Fracture). Fraktur dapat ke
arah posterior melalui Pterygoid Plate antara
palatum dan maksila. Terdapat mobilitas
atau pergeseran arkus dentalis, maksila, dan
palatum
 Maloklusi gigi
2. Le Fort II
 Disebut juga sebagai fraktur piramid. Fraktur
langsung horizontal ke arah muka yang
mengenai dari dagu, mandibula, dan
pertengahan muka. Fraktur mulai dari os

PPK THT-KL Page 26


sinus maksila lateral. Le Fort II sering melewati
Pterygoid Plate.
 Palatum bergeser ke belakang
 Maloklusi gigi
 Deformitas hidung dan maksila
3. Le Fort III
 Fraktur akibat benturan langsung ke arah
vertical buttresses dan sering bersamaan
dengan fraktur muka lainnya. Fraktur melewati
sutura nasofrontal proses frontal os maxilla, os
lakrimal, sinus etmoid, lamina papirasea.
Fraktur tiga arah melewati dinding orbita
lateral melalui sutura zigofrontal melalui arcus
zygoma melalui Pterygoid Plate yang
memisahkan muka dengan dasar tengkorak.
 Terdapat mobilitas dan pergeseran
kompleks zigomatiko-maksilaris
 Komplikasi intrakranial misalnya: kebocoran
cairan serebrospinal melalui sel atap etmoid
4. dan lamina kribiformis.
Pemeriksaan radiologi:
Pemeriksaa  Foto polos sinus paranasal: posisi Waters
n  Foto kepala lateral maupun servikal lateral
Penunjang  Tomografi komputer sinus paranasal dan wajah 3
dimensi
5. Kriteria Diagnosa 1. Rontgen
Sesuai dengan
toraks kriteria anamnesis
2. Sesuai dengan kriteria pemeriksaan fisik
3. Sesuai dengan kriteria pemeriksaan penunjang
6. Diagnosa Trauma wajah dan maksilofasial:
 Fracture of skull and facial bones (ICD 10: S 02)
 Fracture of malar and maxillary bones (ICD 10: S 02.4)
 Fracture of other skull and facial bones (ICD 10: S 02.8)
 Fracture of skull and facial bones, part unspecified
(ICD 10: S 02.9)
7. Diagnosa Fraktur Multipel Wajah
Banding
8. Terapi 1. Perbaikan keadaan umum
 Medikamentosa kausal
 Transfusi darah (bila perlu)

2. Operatif
Reduksi atau repair fraktur maksila dengan metoed
Open Reduction Internal Fixation (ORIF): open
reduction of malar and zygomatic fracture (ICD 9CM:
76.72), open reduction of maxillary fracture (ICD 9CM:
76.73), open reduction of mandibular fracture (ICD
9CM: 76.76), other open reduction of facial fracture
(ICD 9CM: 76.79).

Dapat berupa:
PPK THT-KL Page 27
 Le Fort I: Fiksasi interdental dan intermaksilar
selama 4-6 minggu
 Le Fort II: Seperti Le Fort I disertai fiksasi dari
sutura zigomatikum atau rim orbita
 Le Fort III: Reduksi terbuka dengan fiksasi
interdental dan intermaksilar, suspensi dari
sutura zigomatikum dan pemasangan kawat dari
rim orbita.

Dapat digunakan mini/microplate untuk mobilisasi segmen


fraktur sebagai pengganti kawat.
Bila dengan teknik di atas tidak didapatkan fiksasi yang
adekuat, digunakan alat fiksasi eksterna untuk membuat
traksi lateral atau anterior.
Pemasangan arch bar/MMF/splint bila terdapat
9. Edukasi displacement
 Penjelasan tentang rencana pengobatan dan operasi
 Penjelasan penyakit utama dan tata laksana selanjutnya
10. Prognosis Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam: dubia ad
bonam Quo ad fungsionam:
11. Kepustakaan dubia
1. ad bonam
Stack Jr BC. Ruggiero FP. Midface Fracture. In:
Johnson JT, Rosen CA eds. Bailey’s Head and Neck
Surgery- Otolaryngology Vol 1. Lippincot Williams and
Wilkins. Philadelphia. 2014:1209-24
2. Doerr TD, Mathog RH. Le Fort Fractures (Maxillary
fractures). In: Papel ID, Frodel JL eds. Facial Plastic
and Reconstructive Surgery. Thieme. New York. 2008:
991- 1000.
3. Loyo M, Boahene KDO. Maxillary and Mandibular. In:
Sclafani AP. Sataloff’s Comprehensive Textbook of
Otolaryngology Head and Neck Surgery Vol 3.
Jaypee. New Delhi. 2016: 947-961.
4. Banks P, Brown A. Fractures of the facial skeleton.
Wright; 2001
5. International Classification of Diseases 10 th Revision
(ICD 10). World Health Organization
6. International Classification of Disease 9 th Revision
Clinical Modification (ICD 9CM). World Health

PPK THT-KL Page 28


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
SUMBATAN JALAN NAPAS ATAS
1. Pengertian Kondisi terbuntunya jalan napas atas baik sebagian/parsial
(Definisi) maupun keseluruhan/total yang menyebabkan terjadinya
gangguan ventilasi. Etiologi sumbatan ini adalah tertutupnya
jalan napa atas yang dapat disebabkan tumor, benda asing,
atau infeksi terutama di daerah orofaring dan laring.
2. Anamnesa 1. Gejala utama:
 Sesak napas
 Bunyi saat bernafas seperti orang ngorok
2. Gejala tambahan:
 Gelisah
 Batuk
 Serak
 Sulit komunikasi
 Sulit menelan makanan
 Gangguan kesadaran
3. Gejala, faktor risiko, jika ada:
 Anak lebih mudah terjadi obstruksi karena edema
laring
 Alkohol
 Rokok
3. Pemeriksaan 1. Frekuensi
 Infeksi nafas
gigi meningkat
Fisik 2. Stridor
3. Retraksi supraklavikula, epigastrial, dan intercostal
4. Nafas cuping hidung (pada anak)
5. Laringoskopi: celah glotis sempit/tertutup
6. Stadium obstruksi ditentukan berdasarkan kriteria
Jackson, yang terdiri dari:
 Stadium I: tenang, stridor, retraksi suprasternal
 Stadium II: mulai gelisah, stridor jelas,
retraksi suprasternal dan epigastrium
 Stadium III: sangat gelisah (air hunger), stridor
keras, retraksi suprasternal, epigastrium, dan
intercostal
 Stadium IV: lemas, penurunan kesadaran,
stridor melemah, retraksi suprasternal,
4. Pemeriksaan epigastrium,
1. Radiologi dan non
(untuk kasus intercostal
emergency):
Penunjang  Rontgen leher AP dan lateral (jaringan lunak)
 Tomografi komputer kepala & leher (dengan dan
tanpa kontras)
PPK THT-KL Page 29
2. Pemeriksaan Darah: Analisa gas darah
5. Kriteria Diagnosa 1. Sesuai dengan kriteria anamnesis
2. Sesuai dengan kriteria pemeriksaan fisik
6. Diagnosa Sumbatan jalan napas atas (stadium sesuai kriteria Jackson)
Acute Respiratory Failure (ICD 10: J96.0)
7. Diagnosa Gangguan saluran nafas bawah/paru
Banding
8. Terapi 1. Non Pembedahan – Medika mentosa:
 Oksigenasi
 Antibiotik jika penyebab utama infeksi
 Kortikosteroid
2. Pembedahan
 Intubasi endotrakea (ICD 9CM: 96.04)
 Krikotiroidotomi (ICD 9CM: 31.9)
 Transient tracheostomy (ICD 9CM: 31.1)
9. Edukasi  Penjelasan tentang rencana pengobatan dan operasi
 Penjelasan penyakit utama dan tata laksana selanjutnya
10. Prognosis Quo ad vitam: dubia
Quo ad sanationam:
dubia Quo ad
11. Kepustakaan fungsionam:
1. Myersdubia
EN. Tracheostomy. In: EN Myers, ed. Operative
Otorlaryngology Head and Neck Surgery vol. 1. WB
Saunders. Philadelphia. 2014, pp. 293-305
2. Goldsmith AJ, Wynn R. Upper airway obstruction. In:
Lucente FE, Har-el.eds. Essential of otolaryngology 5 th
ed. Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia, 2004;
257-61
3. Burkey BB. Airway Control and Laryngotracheal
Stenosis in Adults. In: JJ Ballenger, ed. Diseases of
the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 17 th Ed. Lea &
Febiger. Philadelphia. 2009, pp. 903-12
4. Kost KM. Tracheotomy & Intubation. In: BJ Bailey, et
al. eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology. Vol
2. 5th Ed. Philadelphia. Lippincot Williams & Wilkins.
2014, pp. 908-944
5. Yu KCY. Airway Management & Tracheotomy. In: AK
Lalwani, ed. Current Diagnosis & Treatment in
Otolaryngology – Head and Neck Surgery.
International Edition. McGraw-Hill, Boston, 2012. pp.
536-42
6. Woofson G. The Larynx. In: KJ Lee, ed. Essential
Otolaryngology Head and Neck Surgery, 10 th Ed.
McGraw- Hill, New York. 2012, pp. 529-56
7. Bhatti, NI. Surgical Management of the Difficult Adult
Airway. In: Cummings Otolaryngology Head and Neck
Surgery. 5th ed. Philadelphia. 2010.pp 122-29
8. International Classification of Diseases 10 th Revision
(ICD 10). World Health Organization

PPK THT-KL Page 30


PPK THT-KL Page 30
Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
KARSINOMA NASOFARING
1. Pengertian Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang
(Definisi) berasal dari sel epitel nasofaring. Tumor ini bermula dari
dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan dapat
menyebar ke dalam atau keluar nasofaring menuju dinding
lateral, posteroposterior, dasasr tengkorak, palatum, kavum
nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher.
2. Anamnesa  Benjolan di leher yang semakin membesar
 Lamanya benjolan
 Hidung tersumbat
 Riwayat mimisan
 Gangguan pendengaran
 Telinga terasa tersumbat
 Penglihatan ganda
 Sakit kepala
 Penurunan berat badan
 Riwayat kemoradiasi
 Riwayat mengkonsumsi ikan asin/makanan yang
diawetkan
 Riwayat merokok, minum alkohol
3. Pemeriksaan  Benjolan
a. Riawayat keluarga yang mempunyai
di leher/Neck mass (ICD10: tumor ganas
C76.0)
Fisik sebanyak 43% kasus metastasis ke kelenjar getah
bening leher, di bawah angulus mandibula (Level IIb)
dan atau di level III (KGB jugularis superior), di bawah
lobulus daun telinga 36% unilateral, 6% bilateral

b. Gejala Hidung (ICD10: C30.0) sebanyak 30%, berupa


sekret bercampur darah (blood stained discharge),
sumbatan hidung unilateral dan bilateral serta
epistaksis

c. Gejala Telinga (ICD10: C72.4) sebanyak 17%,


berupa tuli konduktif unilateral, tinnitus, otalgia, dan
otore.

d. Gejala lain (ICD10: C72.5) akibat kelumpuhan atau


terkenanya sarafkranial sebanyak 10% berupa, sakit
kepala hebat, diplopia, parestesia wajah, kelumpuhan
4. Pemeriksaan 1. Tomografi komputer/pencitraan magnetik resonansi,
Penunjang untuk mengetahui besar tumor, perluasan tumor,
destruksi tumor
PPK THT-KL Page 31
2. Foto toraks posisi AP, menilai ada/tidak metastasis
jauh ke paru
3. USG abdomen, menilai ada/tidaknya metastasis jauh ke
hati
4. Bone Scan, menilai ada/tidaknya metastasis jauh ke
tulang
5. Serologi Virus Epstein Barr
6. Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan hemostasis
 Pmeeriksaan fungsi ginjal dan fungsi hati
 Pemeriksaan elektrolit
5. Kriteria Diagnosa Ditemukannya karsinoma nasofaring WHO tipe I, II, atau III
melalui pemeriksaan jaringan nasofaring
6. Diagnosa Karsinoma Nasofaring
 Superior wall of nasopharynx (ICD 10: C11.0)
 Posterior wall of nasopharynx (ICD 10: C11.1)
 Lateral wall of nasopharynx (ICD 10: C11.2)
 Anterior wall of nasopharynx (ICD 10: C11.3)
 Oerlapping lesion of nasopharynx (ICD 10: C11.8)
7. Diagnosa 1. Hipertrofi adenoid
Banding 2. Nasofaringitis
3. Jaringan fibrosis
4. Angiofibroma nasofaring
5. Limfoma
8. Terapi (Penanganan saat ini yang dapat dilakukan di RS
Annisa adalah terapi supportif, tatalaksana lain
pasien di rujuk)
1. Radioterapi
KNF stadium I dan IIa (T1N0M0, T2aN0M0) →
Radioterapi definitif pada nasofaring ( 70 Gy) dan
elektif RT di daerah leher (N0) →  40 Gy

2. Kemoradiasi
 KNF stadium IIb, III, IVa, (T1-T4, N1,2, M0) →
Radioterapi definitif ( 70 Gy) pada nasofaring
dan leher disertai kemoterapi setiap minggu
(kemoterapi sensitiser) dengan Sisplatin 30-40
mg/m2 atau paclitaksel 40 mg atau denagn
Nimotuzumab 200 mg. Dilanjutan Kemoterapi
Fulldose 3 siklus
 KNF Stadium IVB (T1-4 N3M0) neo-ajvan
kemoterapi (kemoterapi full dose) selama 3
siklus dan dilanjutkan dengan kemoradiasi
(radioterapi definitif di daerah nasofaring dan
leher masing- masing  70 Gy dan
kemoterapi dosis sensitisasi setiap minggu).

3. Kemoterapi
 KNF stadium IVC (T1-4N0-3M1) kemoterapi
PPK THT-KL Page 32
FU 1000 mg/m2 atau Paclitaksel 75 mg/m2 atau
dengan Nimotuzumab 200 mg diberikan
setiap 3 mingu, sebanyak 6-8 siklus.
 Pada metastasis tulang yang mengenai weight
bearing bone (tulang yang menyangga tubuh),
daerah pegerakan ini harus di tunjang dengan
korset (konsul ke dokter spesialis rehabillitasi
medis) dan diberikan obat2 antiosteoporosis 1
bulan sekali.
 Bila ada rasa nyeri akibat metastasis
tulang, diberikan radioterapi lokal
sebanyak 2Gy

4. Penanganan suportif
 Bila ada nyeri hebat di kepala harus diatasi
sebagai nyeri kanker → sesuai protokol nyeri
(stepladder WHO)
 Bila ada kesulitan makan/ asupan nutrisi
kurang, pasang NGT/gastrostomi
 Bila ada tanda2 infeksi di daerah saluran
nafas atas, telinga tengah, diberikan
antibiotika sistemik (oral/injeksi) atau dan
topikal tetes telinga → konsultasi ke ahli
otologi
9. Edukasi Penjelasan mengenai tujuan dan risiko biopsi, penjelasan
tentang stadium tumor, hasil penemuan tumor, rencana terapi
serta akibat dan efek samping yang dapat terjadi selama dan
10. Prognosis Quo ad vitam: dubia
Quo ad sanationam:
dubia Quo ad
11. Kepustakaan fungsionam: dubiaM., Forsby, N., Klein, G., Henle, W., 2007,
1. Anderson,
Relationship between the Epstein-Barr Viral and
Undifferential Nasopharyngeal Carcinoma: Correlated
nucleic acid hybridation and histopathological
examination. Int. J. Cancer 20: 486-494
2. Bernadette Brennan. 2009. Nasopharyngeal
Carcinoma. Orphanet J rare Disease. June 2009.
3. Christopher M Nutting, Christopher P Cottrill and
William I Wei. 2009. Tumors of the Nasopharynx in
Principles and Practice of Head and Neck Surgery and
Oncology.; 2nd ed. Informa UK Ltd.254-342
4. Ho-Sheng et al. 2009. Malignant nasopharyngeal
tumor. Chinese Journal of Cancer. Vol V. 2009
5. Lin HS. 2013. Malignant Nasopharyngeal Tumors.
Review: Annals of Oncology. 2013.
6. William W, Daniel T. T.Chua, 2014. Nasopharyngeal
Carcinoma. BJ Bailey, et al., eds. Head and Neck
Surgery – Otolaryngology. Vol 2. 5 th Ed.

PPK THT-KL Page 33


Williams & Wilkins. Pp:1875-97
7. International Classification of Diseases 10th Revision
(ICD 10). World Health Organization
8. International Classification of Disease 9th Revision
Clinical Modification (ICD 9CM). World Health

PPK THT-KL Page 34


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
TULI KONGENITAL/GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI
& ANAK
1. Pengertian Tuli kongenital merupakan gangguan fungsi pendengaran
(Definisi) sejak lahir. Jenis ketulian biasanya berupa tuli sensorineural
berat bilateral. Dapat juga berupa tuli konduktif bila disertai
kelainan struktur anatomi telinga. Penyebab ketulian
kongenital bisa terjadi pada masa prenatal, perinatal, atau
2. Anamnesa 1. Belum dapat berbicara atau bicara tidak lancar
2. Tidak dapat mendengar atau pendengaran yang kurang
3. Curiga gangguan pendengaran
4. Riwayat prenatal seperti infeksi dalam kehamilan
(TORCH), mendapatkan pengobatan ototoksik
5. Riwayat perinatal seperti cara lahir tidak normal,
saat lahir tidak menangis, berat badannya yang tidak
normal, umur kelahiran yang tidak cukup bulan
6. Riwayat post natal seperti adanya riwayat kejang,
hiperbilirubinemia, infeksi TORCHs, campak,
parotitis, meningitis dan kelainan bawaan
3. Pemeriksaan (genetik)
1. Pemeriksaan lingkar kepala: mikrosefali atau
Fisik hidrosefalus
2. Kelainan anatomi maksilofasial
3. Pemeriksaan telinga, daun telinga, liang telinga dan
4. membran
Pemeriksaan timpani
fungsi kokleayang
danabnormal.
pendengaran:
Pemeriksaa 1. Timpanometri (high frequency < 6 bulan)
n 2. Oto Acoustic Emission (OAE)
Penunjang 3. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) click
dan
tone burst
4. BERA hantaran tulang
5. Auditory Steady-State Response (ASSR)
6. Pemeriksaan
5. Kriteria Diagnosa Sesuai Behavioral
dengan kriteria Observation
anamnesis, Audiometry
pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang
6. Diagnosa Tuli kongenital/ Gangguan pendengaran pada bayi dan
anak, dapat berupa:
 Speech and language development delay to
hearing loss (ICD 10: F80.4)
 Conductive hearing loss, bilateral (ICD 10: H90.0)
 Conductive hearing loss, unilateral with unrestricted
hearing on the contralateral side (ICD 10: H90.1)
 Conductive hearing loss, right ear with unrestricted

PPK THT-KL Page 35


on the contralateral side (ICD 10: H90.11)
 Conductive hearing loss, left ear with unrestricted
hearing on the contralateral side (ICD 10: H90.12)
 Conductive hearing loss, unspecified (ICD 10: H90.2)
 Sensorineural hearing loss, bilateral (ICD 10: H90.3)
 Sensorineural hearing loss, unilateral with
unrestricted hearing on the contralateral side
(ICD 10: H90.4)
 Sensorineural hearing loss, right ear with unrestricted
hearing on the contralateral side (ICD 10: H90.41)
 Sensorineural hearing loss, left ear with unrestricted
hearing on the contralateral side (ICD 10: H90.42)
7. Diagnosa Neuropati Auditori, ADHD, Autism, CAPD, afasia, retardasi
Banding mental, disleksia, gangguan komunikasi (keterlambatan
perkembangan lainnya).
8. Terapi 1. Tentukan usia sesuai maturasi yang tepat (prematur/
cukup bulan/ usia koreksi).
2. Penilaian perkembangan mendengar dan
wicara serta perkembangan motorik
3. Evaluasi faktor risiko ketulian, termasuk
kemungkinan adanya sindroma yang
berhubungan dengan ketulian
4. Konsul dokter spesialis anak (tumbuh kembang),
neurologi anak
5. Bila diperlukan konsul dokter spesialis mata,
jantung, dan psikologi/ psikiatri anak
6. Pemeriksaan genetik jika diperlukan
7. Habilitasi:
 Alat Bantu Dengar (ABD) (ICD 9CM: 95.48)
 Implan koklea (ICD 9CM: 20.98)
8. Terapi wicara (ICD 9CM: 93.74)
9. Edukasi  Taman latihan & observasi/ PAUD (Pendidikan Anak
Usia Dini)
 Edukasi orang tua
10. Prognosis Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam: dubia ad
bonam Quo ad fungsionam:
11. Kepustakaan dubia
1. ad bonam WR. Testing infants and young children. In:
Hodgson
Handbook of Clinical Audiology. Katz JK. 5 th edition.
Williams and Wilkins, Baltimore, 2002.
2. Gelfand SA. Assessment of Infant and Children. In:
Essentials of Audiology. 2nd edition Thieme, New York,
Stutgart, 2001:p.377-96
3. Diefendorf AO. Detection and Assessment of Hearing
Loss in Infant and Children. In: Handbook of clinical
audiology. Katz JK. Ed 5th edition. William and Wilkins.
Baltimore, 2002: p. 440-65
4. Rehm HL. Genetic hearing loss. In: Pediatric audiology.
1st
PPK THT-KL Page 36
edition. Thieme, New York, 2008: p.13-25
5. Alexiades G. Medical evaluation and management of
hearing loss in children. In: Pediatric audiology. 1 st
edition. Thieme, New York, 2008: p.25-31
6. Lee KJ. Congenital hearing loss. In: Essential
otolaryngolgy head and neck surgery. Ninth edition.
The McGraw-Hill Companies, Inc. New York, 2008:
p.135-62.
7. Wetmore RF. Pediatric otolaryngology. In: the
requisites in pediatric. Mosby Elsevier, Philadelphia,
2007; p.66.
8. International Classification of Diseases 10 th Revision
(ICD 10). World Health Organization

PPK THT-KL Page 37


PPK THT-KL Page 38
Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
SERUMEN IMPAKSI
1. Pengertian Serumen merupakan produk campuran dari sekresi kelenjar
(Definisi) sebasea dan kelenjar keringat apokrin, sel-sel epitel, yang
merupakan hal normal ada di liang telinga. Serumen
bermigrasi ke lateral dengan kecepatan 2 mm per bulan.
Serumen impaksi adalah serumen yang terkumpul di dalam
liang telinga sehingga menimbulkan gejala yang dikeluhkan,
dan menghalangi pemeriksaan liang telinga, membran
telinga, atau sistem audiovestibular. Terkumpulnya serumen
ini bisa menyumbat sebagian atau total liang telinga.
2. Anamnesa Asimptomatik, sensasi telinga penuh, tinnitus, nyeri telinga,
gatal telinga, penurunan pendengaran, vertigo
3. Pemeriksaan Pemeriksaan dengan otoskopi atau lampu kepala:
Fisik  Di dalam liang telinga tampak kumpulan serumen
berwarna coklat kehitaman yang bercampur dengan
epitel skuamosa yang biasanya membentuk seperti
bola.
 Liang telinga biasanya normal atau dapat disertai
otitis eksterna.
 Penurunan pendengaran berkisar antara 5-40 dB,
tergantung derajat sumbatan serumen di liang telinga
 Faktor modifikasi yang perlu diperhatikan karena
mempengaruhi teknik penatalaksanaan yaitu
membran timpani perforasi, stenosis liang telinga,
4. eksotosis,
Mikroskop diabetes melitus,
atau endoksopi imunokompromise, dan
telinga bila
Pemeriksaa diperlukan Audiometri (atas indikasi)
5. nKriteria Diagnosa Sesuai dengan kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik
6. Diagnosa Serumen/impacted cerumen (ICD 10:61.2)
7. Diagnosa Kolesteatom eksterna/ keratosis obturans (ICD 10: H60.4)
Banding
8. Terapi  Bahan pelunak serumen:
o Berbahan dasar air (water based):
Hidrogen peroksida (H2O2) 3%, Asam
asetat 2%, Natrium bikarbonat 10%, air
(H2O), dan Natrium klorida (NaCl) 0,9%.
o Berbahan dasar bukan air/ bukan minyak
(non- water-based/non-oil-based): Gliserol,
Karbogliserin 10%
o Berbahan dasar minyak: minyak kelapa
(murni), minyak zaitun (murni), minyak
almond (murni).

PPK THT-KL Page 38


 Irigasi DAN/ATAU (ICD 9CM: 96.52)
 Penghisapan (suctioning) DAN/ATAU
 Ekstraksi manual (ICD 9CM: 96.52)
9. Edukasi  Menjelaskan dianosis penyakit.
 Menjelaskan pilihan rencana tata laksana dan
alasan pemilihan tata laksana
 Tidak boleh melakukan pembersihan telinga sendiri
dengan cotton bud, karena pada dasarnya serumen
akan keluar sendiri
 Pada individu dengan serumen padat, disarankan
kontrol teratur 2-4 kali setahun untuk pembersihan
10. Prognosis Quo adtelinga
vitam: bonam
Quo ad sanationam:
bonam Quo ad
11. Kepustakaan fungsionam:
1. Rolansbonam
PS, Smith TL, Shwartz SR, et al. Clinical
pactice guideline: cerumen impaction. Otolaryngoh
head and neck surg 2008;139:S1-S21
2. Mc Carter DF, et.al. Cerumen Impaction. Am Fam
Physician 2007;75:1523-28
3. Menner LA. A pocket guide to the ear. Thieme, 2003
4. Djafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga
Tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher.
Edisi ke enam. Jakarta: FKUI; 2007.
5. International Classification of Diseases 10 th Revision
(ICD 10). World Health Organization
6. International Classification of Disease 9 th Revision
Clinical Modification (ICD 9CM). World Health

PPK THT-KL Page 39


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
TONSILEKTOMI
1. Pengertian Tonsilektomi adalah prosedur operasi pengangkatan tonsil
(Definisi) yang dilakukan dengan atau tanpa adenoidektomi. Prosedur
ini dilakukan dengan mengangkat seluruh tonsil dan
kapsulnya, dengan melakukan diseksi pada ruang peritonsil di
antara kapsul tonsil dan otot dinding fossa tonsil (AAO-HNS
2. Indikasi 2011)
1. Chronic tonsilitis (ICD 10: J35.0), Hypertrophy of tonsil
(ICD 10: J35.1), Hypertrophy of tonsils with hypertrophy
of adenoids (ICD 10: J35.3), Peritonsilar abscess (ICD
10: J36)
2. Recurrent acute tonsillitis (ICD 10: J03.91)
3. Malignant neoplasm of tonsil (ICD 10: C09.0 sampai C09.9)
4. Benign neoplasm of tonsil (ICD 10: D10.4)
5. Hodgkin lymphoma of tonsil (ICD 10: C81.0 sampai C81.9)
6. Obstructive Sleep Apnea Syndrome / Sleep Disorder
3. Kontraindikasi 1. Kelainan darah, seperti hemofilia, diskrasia darah, anemia
(Relatif) 2. Risiko tinggi pembiusan umum
4. Persiapan pasien 1. Penjelasan operasi dan kemungkinan komplikasi yang
dapat terjadi
2. Ijin operasi
3. Ijin pembiusan
4. Konsul: anestesi
5. Konsul: kesehatan anak/penyakit dalam/kardiologi (atas
indikasi)
6. Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah tepi lengkap
 PT dan APTT
 Atas indikasi: SGOT, SGPT, ureum dan creatinin darah,
Gula darah sewaktu
7. Pemeriksaan radiologi
 Foto toraks
5. Persiapan 1. Bahan:
bahan dan alat  Larutan Betadine 100 ml
 Alkohol 70% 25 ml
 Kasa Depper Tonsil 4 pack (@5 buah)
 Kasa steril 1 pack (@5 lembar)
 Benang Silk 2-0 1 pack
2. Alat:
 Bipolar cautery system 1 set
 Mouth gag Davis 1 set dengan tongue depressor ukuran

PPK THT-KL Page 40


1,2,3, dan 4
 Tonsil Holding forceps 1 buah
 Tonsil Dissector dan Pillar Retractor 2 buah
 Birkett Artery Forceps 1 buah
 Negus Artery Forceps 1 buah
 Gunting tonsil
 Adenoid Curette 2 buah
 Yankauer Suction Catheter Bulb Tip (disposable)
 Needle Holder
 Blade Holder
 Blade no. 12 (disposable)
 Sickle Knife
 Lampu kepala
 Mesin suction dan selang suction
6. Petugas 1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan
klinis
2. PPDS Sp.1 THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
sesuai tingkat kompetensi pendidikannya
3. Perawat Kamar Operasi THT-KL yang mempunyai
kewenangan klinis
7. Prosedur 4.
1. Dokter Spesialis
Antibiotik Anestesi
profilaksis yangdiberikan
intravena mempunyai kewenangan
30 menit
sebelum insisi
2. Identifikasi
3. Sign in
4. Time out
5. Pasien terbaring dalam narkose umum di meja operasi
6. Teknik operasi tonsilektomi adalah mengangkat jaringan
tonsil yang secara umum dilakukan dengan insisi mukosa
faring dan diseksi tonsil diikuti dengan hemostasis
mengikat pembuluh darah (tehnik operasi dapat
menggunakan cold instrument atau guillotine dissection.
Tehnik lain untuk mengangkat tonsil bersamaan dengan
hemostasis dapat dilakukan dengan electrosurgery/
diathermy, radiofrequency ablation, coblation, harmonic
scalpel, thermal welding, carbon dioxide laser, micro
debrider).
7. Tahapan tonsilektomi dengan metode diseksi
(Dissection method)
a. Pasien dalam posisi terlentang, kepala ekstensi
b. Dipasang mouth gag Davis sesuai ukuran rongga
mulut pasien.
c. Pole atas tonsil dipegang dengan klem kemudian
ditarik ke arah medial
d. Lakukan insisi secara tajam antara massa tonsil
dan pillar dengan menggunakan sickle knife mulai
dari pole atas tonsil
e. Selanjutnya insisi dilanjutkan secara gentle
f. Kemudian dilakukan diseksi tonsil menggunakan
PPK THT-KL Page 41
juga dapat dilakukan dengan menggunakan
electrosurgery/ diathermy, radiofrequency
ablation, coblation, harmonic scalpel, thermal
welding, carbondioxide laser, micro debrider.
g. Pedikel di klem dengan Negus Artery Forceps,
tonsil digunting
h. Perdarahan dirawat dengan cara ligasi
menggunakan benang Silk 2-0
i. Hal yang sama dilakukan pada tonsil sisi
kontralateral
j. Dilakukan evaluasi pada fossa tonsil, blila
ada perdarahan dilakukan hemostasis
k. Mouth gag Davis dilepas
8. Operasi selesai
8. Pasca prosedur 1. Medikamentosa:
tindakan  Deksametason dosis tunggal intraoperatif
injeksi (Rekomendasi A)
 Antibiotika: Amoksisilin Klavulanat selama 3 hari
 Analgetika: Paracetamol atau Metampiron selama 3
hari
2. Evaluasi outcome:
 Tidak ada risiko obstruksi napas yang dapat
berisiko mengancam kematian
 Tidak ada perdarahan dan terbentuk fibrin
 Luka operasi tidak infeksi
 Tidak ada dehidrasi
9. Indikator prosedur Tonsilektomi tanpa komplikasi selesai dalam waktu 60
tindakan menit. Target: 80% tonsilektomi tanpa komplikasi selesai
dalam waktu 60 menit
10. Kepustakaan 1. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis dan
Hipertrofi Adenoid. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti Dwi R, editor. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6.
Jakarta: FKUI; 2007. h.223-5
2. Lore JM, Medina JE. Tonsillectomy and
Adenoidectomy. In: Lore JM, Medina JE, editor. An
Atlas of Head & Neck Surgery. 4th Ed. Philladelphia:
ElsevierSaunders; 2005: p.770-2
3. Brodsky L, Poje C. Tonsillitis, Tonsillectomy, and
Adenoidectomy. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands
SD, editor. Head & neck surgery-otolaryngology. 4 th
edition. Baltimore: Lippincot Williams & Wilkins; 2006.
p.1184-98
4. Baugh RF, Archer SM, Mitchell RB, Rosenfeld RM,
Amin R, Burns JJ, et al. Clinical practice guideline:
tonsillectomy in children. Otolaryngol Head Neck Surg.
2011;144: S1-30.
5. Baglio G, Bellusi L, et all. The clinical and

PPK THT-KL Page 42


International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology; 2005.
6. International Classification of Diseases 10th Revision
(ICD 10). World Health Organization
7. International Classification of Disease 9th Revision
Clinical Modification (ICD 9CM). World Health

PPK THT-KL Page 43


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
ADENOIDEKTOMI
1. Pengertian Pengangkatan seluruh adenoid (tonsil faringeal) melalui
(Definisi) orofaring dengan cold instrument dan atau melalui lubang
hidung (menggunakan endoskopi).
2. Indikasi 1. Hypertrophy of adenoid (ICD 10: J35.2)
2. Hypertrophy of tonsils with hypertrophy of adenoids
(ICD 10: J35.3)
3. Recurrent acute serous otitis media (ICD 10: H65.07)
4. Acute reccurent sinusitis (ICD 10: J01.91)
5. Chronic sinusitis in children (ICD 10: J32.9)
6. Obstructive Sleep Apnea Syndrome (ICD 10: G47.3)
3. Kontraindikasi 1. Kelainan darah, seperti hemofilia, diskrasia darah, anemia
2. Risiko tinggi pembiusan umum
3. Anak dengan risiko terjadi Velopharyngeal insufficiency
(VPI)
4. Persiapan pasien 1. Penjelasan operasi dan kemungkinan komplikasi yang
dapat terjadi
2. Ijin operasi
3. Ijin pembiusan
4. Konsul: anestesi
5. Konsul: kesehatan anak/penyakit dalam/kardiologi (atas
indikasi)
6. Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah tepi lengkap
 PT dan APTT
 Atas indikasi: SGOT, SGPT, ureum dan creatinin darah,
Gula darah sewaktu
7. Pemeriksaan radiologi
 Foto toraks
 Foto sinus paranasal
5. Persiapan 1. Bahan:
bahan dan alat  Larutan Betadine 100 ml
 Alkohol 70% 25 ml
 Oxymetazoline nasal spray 1 botol
 Kasa Depper Tonsil 4 pack (@5 buah)
 Kasa steril 1 pack (@5 lembar)
 Roll tampon 1 pack
 Kateter karet
2. Alat:
 Bipolar cautery system 1 set
 Mouth gag Davis 1 set dengan tongue depressor ukuran

PPK THT-KL Page 44


1,2,3, dan 4
 Negus Artery Forceps 1 buah
 Adenoid Curette 2 buah
 Pinset Bayonet 1 buah
 Suction Tip lurus 1 buah
 Yankauer Suction Catheter Bulb Tip (disposable)
 Bila diperlukan: Blakesley Forceps lurus 1 buah,
nasoendoskopi 00 1 buah, Kamera 1 set, Light
Source 1 set
 Lampu kepala
6. Petugas  Mesin
1. Dokter suctionTHT-KL
Spesialis dan selang
yangsuction
mempunyai kewenangan
klinis
2. PPDS Sp.1 THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
sesuai tingkat kompetensi pendidikannya
3. Perawat Kamar Operasi THT-KL yang mempunyai
kewenangan klinis
7. Prosedur 4. Antibiotik
1. Dokter Spesialis Anestesi
profilaksis yangdiberikan
intravena mempunyai30 menit
sebelum insisi
2. Identifikasi
3. Sign in
4. Time out
5. Pasien terbaring dalam narkose umum di meja operasi
6. Pasien dalam posisi terlentang, kepala ekstensi
7. Dipasang mouth gag Davis, bila perlu pasang kateter karet
melalui masing-masing lubang hidung sampai ke orofaring
untuk melihat daerah nasofaring dengan menggunakan
kaca laring.
8. Langit-langit lunak diretraksi dengan kateter karet
tadi, kemudian kateter karet difiksasi dengan
klem.
9. Kaca laring diarahkan ke nasofaring.
10. Dilakukan kuretasi adenoid menggunakan adenotome
dengan cara ditekan ke bawah dinding faring posterior
untuk mengangkat adenoid, dengan atau tanpa
dipandu oleh kaca laring.
11. Perdarahan dirawat dengan memasang tampon di
area nasofaring, bila masih ada perdaraan dilakukan
hemostasis (tampon Belloque, electrosurgery/
diathermy).
12. Mouth gag Davis dilepas
13. Bila diperlukan, endoskopi dapat digunakan untuk
membersihkan sisa jaringan adenoid dengan forsep
8. Pasca prosedur 1. Medikamentosa:
tindakan  Deksametason dosis tunggal intraoperatif
injeksi (Rekomendasi A)
 Antibiotika: Amoksisilin Klavulanat selama 3 hari
 Analgetika: Paracetamol atau Metampiron selama 3
hari

PPK THT-KL Page 45


 Tidak ada risiko obstruksi napas yang dapat
berisiko mengancam kematian
 Tidak ada perdarahan
 Luka operasi tidak infeksi
 Tidak ada dehidrasi
3. Diet: lunak dan dingin 5 hari
9. Indikator prosedur Adenoidektomi tanpa komplikasi selesai dalam waktu 60
tindakan menit. Target: 80% adenoidektomi tanpa komplikasi selesai
dalam waktu 60 menit
10. Kepustakaan 1. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis dan
Hipertrofi Adenoid. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti Dwi R, editor. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6.
Jakarta: FKUI; 2007. h.223-5
2. Lore JM, Medina JE. Tonsillectomy and
Adenoidectomy. In: Lore JM, Medina JE, editor. An
Atlas of Head & Neck Surgery. 4th Ed. Philladelphia:
ElsevierSaunders; 2005: p.770-2
3. Brodsky L, Poje C. Tonsillitis, Tonsillectomy, and
Adenoidectomy. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands
SD, editor. Head & neck surgery-otolaryngology. 4 th
edition. Baltimore: Lippincot Williams & Wilkins; 2006.
p.1184-98
4. Baugh RF, Archer SM, Mitchell RB, Rosenfeld RM,
Amin R, Burns JJ, et al. Clinical practice guideline:
tonsillectomy in children. Otolaryngol Head Neck Surg.
2011;144: S1-30.
5. Baglio G, Bellusi L, et all. The clinical and
organisational appropriateness of tonsillectomy and
adenoidectomy. The Italian National Program for
Clinical Practice Guidelines. International Journal of
Pediatric Otorhinolaryngology; 2005.
6. International Classification of Diseases 10 th Revision
(ICD 10). World Health Organization

PPK THT-KL Page 46


Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL(BSEF)/FUNCTIONAL
ENDOSCOPIC SINUS SURGERY (FESS)

1. Pengertian Operasi sinus dengan bantuan endoskopi untuk


(Definisi) membersihkan jaringan patologi dan memperbaiki drainase
2. Indikasi 1. Rhinosinusitis kronik: setelah 14 hari terapi
medikamentosa optimal, tidak terdapat perbaikan
2. Rinosinusitis jamur
3. Anatomi sinonasal patologis
4. Epistaksis untuk ligasi arteri sfenopalatina
5. Pott’s puffy tumor
6. Polip nasi grade II & III, Polip antrokoana
7. Rinitis Atrofi
8. Benda asing di sinus paranasal
3. Kontraindikasi Relatif: Anemia berat, hipertensi, gangguan
hemostasis tidak terkontrol
4. Persiapan pasien 1. Penjelasan operasi dan kemungkinan komplikasi yang
dapat terjadi
2. Ijin operasi
3. Ijin pembiusan
4. Konsul:
 Anestesi: untuk teknik hipotensi
 Anak: bila usia di bawah 18 tahun atas indikasi
 Penyakit dalam: bila usia di atas 18 tahun atas indikasi
 Kardiologi: bila usia di atas 40 tahun
5. Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah tepi lengkap
 PT dan APTT
 SGOT, SGPT
 Ureum dan creatinin darah
 Elektrolit
 Gula darah sewaktu
 Pemeriksaan golongan darah
 Pemeriksaan HbsAg dan anti HCV (bila terdapat
kecurigaan)
6. Pemeriksaan radiologi
 CT scan sinus paranasal potongan aksial, koronal, dan
sagital ketebalan 3 mm, soft tissue setting.
 Foto toraks
7. Elektrokardiografi
PPK THT-KL Page 47
PPK THT-KL Page 48
9. Pemeriksaan Nasoendoskopi
10. Cukur bulu hidung
11. Medikamenotsa sebelum operasi: injeksi
antibiotika, kortikosteroid, dan asam traneksamat
12. Puasa 6 jam sebelum operasi
5. Persiapan 1. Bahan:
bahan dan alat  Tampon Hidung Netcell (PVA)/ Rapid
Rhino (hydrocolloid fabric)
 Surgicell (carboxymethyl cellulosa)
 Surgical Patties
 Tampon gulung
 Oxymethazoline nasal spray
 Xylocaine gel
 Gentamisin injeksi
 Deksametason ampul
 Fibrin glue jika diperlukan
 Jarum spinal jika diperlukan
 Disposable syringe 3 ml, 5 ml, 10 ml
 Injeksi epinefrin/ Phenilccain
 H2O2 3%
 Betadine
 Saline water
2. Alat:
 Nasal Endoscopic scope 00, 300, 450, 700, ukuran
4 mm dan 2,7 mm
 Endoskopi fluorescence LCS
 Camera system
 Light Source
 Kabel Light Source
 TV monitor system
 Anti Fog
 Navigation System
 Radiofrequency System
 Bipolar System
 Microdebrider system, terdiri dari:
o Tip Mircrodebrider
o Hand Piece Microdebrider
o Hand Piece Burr Cutting & Diamond
 Electrocauter Bipolar dan monopolar
 Mesin Suction 2 buah
 Gunting Septum Heymann Nasal Scissors
 1 buah Frontal & 2 buah Sfenoid
Mushroom/Umbrella : Frontal Stammberger
Punch
 Suction Rasp Kecil Tumpul Freer Suction Elevator
 Suction Rasp Besar Tajam Castelnuovo Suction
Elevator
PPK THT-KL Page 49
PPK THT-KL Page 50
 Ostium Seeker Frontal KUHN Frontal Sinus
Seeker/ Ostium Seeker Maxilla
 Suction Lurus Besar Fergusson Suction Tube 2
buah (Diam 12 Fr/4 mm, Length 11 cm)
 Suction Lurus Kecil Fergusson Suction Tube 2
buah (Diam 8 Fr/2.5 mm, Length 11 cm)
 Suction Lurus Panjang (15 cm) Fergusson Suction
Tube
(20 Fr, Length 15 cm) 2 buah
 Suction Bengkok Besar Eicken Antrum Cannula 2
buah (Diam 4 mm, Length 12.5 cm)
 Suction Bengkok Kecil Eicken Antrum Cannula 2
buah (Diam 3 mm, Length 12.5 cm)
 Suction Bengkok 900 Eicken Castelnuovo
Antrum Cannula 2 buah (Diam 2.5 mm,
Length 12.5 cm)
 1 buah Tip suction Frontal
 Kerrison Bone Punch 1 mm dan 3 mm
 Forceps Lurus Kecil (width 1.8 mm, Length 15
cm)/ Blakesley Straight Forceps (kecil, sedang,
dan besar)
 Forceps 450 Kecil (450, width 1.8 mm, Length 15
cm)/ Blakesley 450 Forceps (kecil, sedang, dan
besar)
 Forceps 900 Kecil (900, width 2.5 mm, Length 15
cm)/ Blakesley 900 Forceps (kecil, sedang, dan
besar)
 Forceps Lurus Besar Nasal Forceps (450, width 4.8
mm,
Length 11 cm)
 Cutting Lurus Kecil Nasal Forceps (width 2.5 mm,
Length 11 cm)
 Forceps Cutting Lurus Nasal Cutting Forceps
(kecil, sedang, besar)
 Forceps Cutting 450 Nasal Cutting Forceps
(kecil, sedang, besar)
 Cutting 900 Nasal Cutting Forceps (kecil, sedang,
besar)
 Gunting Kecil Suction Tube
 Killian Speculum dengan Kunci Killian Struycken
Nasal Speculum
 Killian Speculum Tanpa Kunci
 Killian Speculum 1 Blade Panjang/ 1 Blade Pendek
 Scissor Angle Straight (Lurus)
 Scissor Angle Right (Kanan) (Right, Length 18 cm)
 Scissor Angle Left (Kiri) (Left, Length 18 cm)
 J Curette
 KUHN curette/ Suction Curette
PPK THT-KL Page 51
PPK THT-KL Page 52
 Clip ligator arteri Sfenopalatina
 Pinset Bayonet besar dan kecil
 Hijack Bone Panch
 Polip Forceps
 Bone Tang
 Sickle Knife 3 buah (straight, left, and right)
 Suction Monopolar
 Fluorescence LCS Tracet
6. Petugas 1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan
klinis
2. PPDS Sp.1 THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
sesuai tingkat kompetensi pendidikannya
3. Perawat Kamar Operasi THT-KL yang mempunyai
kewenangan klinis
7. Prosedur 4. Identifikasi
1. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai
2. Sign in
3. Time out
4. Pasien terbaring dalam narkose umum posisi anti
Trendelenburg 20 derajat
5. Dilakukan a dan antisepsis lapangan operasi
6. Dilakukan tindakan tampon adrenalin 1/1000 lidokain 2%
1:4 atau Oxymethazolin pada kavum nasi dan dinding
lateral hidung selama 10 menit dengan menggunakan
endoskopi
7. Infiltasi di daerah aksila konka media dengan adrenalin
lidokain 1:200.000
8. Dilakukan unsinektomi dengan Black Bitting/Incisi Sickle
Knife
9. Mencari dan membuat patensi ostium sinus maksila &
meatal antrostomi
10. Jika terdapat sel Haller, infundibulum ethmoid diangkat
11. Tindakan etmoidektomi retrograde atau antegrade jika
proses patologis meluas ke sinus etmoid anterior
12. Tindakan etmoidektomi posteror jika proses meluas ke
sinus etmoid posterior
13. Frontal Sinusektomi, jika proses meluas ke Frontal
14. Sfenoidektomi/sfenoidotomi jika proses patologis
meluas ke sinus sfenoid
15. Revisi anatomi patologis: Konka media bulosa dan
paradoksikal
8. Pasca prosedur 16. Rencana
1. Pasang tampon hidung
rawat inap jika perlu
sekitar selama 3 – 5 hari
tindakan 2. Medikamentosa selama rawat inap:
 Antibiotika injeksi: golongan Sefalosporin selama 3 – 5
hari
 Parasetamol atau NSAID intra vena
 Jika diperlukan metilprednisolon dosis tinggi (3 x 125
mg)
 Jika diperlukan pseudoefedrin HCl oral
PPK THT-KL Page 50
 Tidak ada perdarahan
 Luka operasi tidak infeksi
 Tidak ada komplikasi operasi ke mata
 Tidak ada komplikasi operasi intrakranial
4. Tindakan pasca operasi
 Lepas tampon hidung hari ke tiga pasca operasi
 Bila tidak ada perdarahan hidung pasien dapat
rawat jalan setelah lepas tampon hidung
5. Tindak lanjut rawat jalan:
 Terapi rawat jalan:
o Antibiotik golongan Amoksisilin klavulanat/
makrolid/ aminoglikosida/ quinolon sesuai
jenis infeksi
o Analgetik parasetamol atau NSAID
o Steroid nasal topikal
o Irigasi cuci hidang dengan larutan NaCl isotonis
o Anti perdarahan jika perlu
 Kontrol 2 kali per minggu, 2 minggu pertama pasca
operasi, 1 kali per minggu, untuk 2 minggu
selanjutnya, dilanjutkan 2 minggu sekali hingga 2
9. Indikator prosedur bulan komplikasi selesai dalam waktu 180 menit.
FESS tanpa
tindakan Target: 80% FESS tanpa komplikasi selesai dalam waktu 150
10. Kepustakaan menit
1. Byron J. Bailey. Head and Neck Surgery –
Otolaryngology. Third Edition. Lippincot Williams &
Wilkins. Copyright 2001
2. International Classification of Diseases 10 th Revision
(ICD 10). World Health Organization
3. International Classification of Disease 9 th Revision
Clinical Modification (ICD 9CM). World Health

PPK THT-KL Page 51


PPK THT-KL Page 51

Anda mungkin juga menyukai