(PPK)
THT - KL
DAFTAR ISI
1. RINITIS ALERGI 1
2. SINUSITIS AKUT BAKTERIAL 3
3. SINUSITIS PARANASAL KRONIK 5
4. RINITIS VASOMOTOR 8
5. OTITIS MEDIA SUPURATIF AKUT 10
6. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK 12
7. OTITIS EKSTERNA 14
8. PRESBIAKUS 16
9. FARINGITIS AKUT 17
10. TONSILITIS/ADENOIDITIS KRONIK 18
11. LARINGITIS AKUT NONSPESIFIK 20
12. BENDA ASING JALAN NAPAS 22
13. BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO 23
(BPPV)
14. TRAUMA WAJAH & MAKSILOFASIAL 26
15. SUMBATAN JALAN NAPAS ATAS 29
16. KARSINOMA NASOFARING 31
17. TULI KONGENITAL/GANGGUAN PENDENGARAN PADA 35
BAYI & ANAK
18. SERUMEN IMPAKSI 38
19. TONSILEKTOMI 40
20. ADENOIDEKTOMI 44
21. BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL 47
(BSEF)/FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS
SURGERY (FESS)
Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RS BUNDA SEJATI TANGERANG
2022 – 2024
RINITIS ALERGI
1. Pengertian Penyakit simptomatis pada hidung yang terinduksi oleh proses
(Definisi) inflamasi yang diperantai IgE pada mukosa hidung setelah
pajanan alergen. Karakteristik gejala rinitis alergi adalah bersin
berulang, hidung tersumbat, hidung berair dan hidung gatal.
2. Anamnesa Gejala hidung : hidung berair, hidung tersumbat, hidung
gatal dan bersin berulang. Gejala umumnya muncul dipagi
ahri atau malam hari.
Gejala mata : mata merah, gatal dan berair
Gejala lain : batuk, tenggorokan gatal, gangguan konsentrasi
dan gangguan tidur. Penderita yang disertai asma dapat
ditemukan keluhan sesak napas dan mengi.
3. Pemeriksaan Pada anak sering ditemui tanda khas : bayangan gelap
Fisik didaerah bawah mata (allergic shiner), sering menggosok-
gosok hidung dengan punggung tangan (allergic salute), dan
garis melintang dibagian dorsum hidung (allergic crease).
Gambaran khas pada rongga hidung : mukosa hidung
edema, berwarna pucat atau livid, disertai sekret encer
banyak. Dapat dijumpai juga konka inferior yang hipertropi.
4. Kriteria Diagnosa Sesuai dengan kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
5. Diagnosa Rinitis alergi
6. Diagnosa Rinitis vasomotor, rinitis hormonal, rinitis kronik
Banding
7. Pemeriksaan Tes kulit:”Prick Test”.
Penunjang Eosinofil sekret hidung. Positif bila > = 25%.
Eosinofil darah. Positif bila >= 400/mm .
Bila diperlukan dapat diperiksa:
- IgE total serum (RIST dan PRIST). Positif bila > 200 IU.
- IgE spesifik (RAST).
Endoskopi nasal: bila diperlukan dan tersedia sarana.
8. Terapi Farmakoterapi :
Obat diberikan selama 2-4 minggu, kemudian di evaluasi ulang
ada atau tidaknya respon. Bila terdapat perbaikan, obat
diteruskan lagi 1 bulan. Obat yang direkomendasikan :
- Antihistamin oral generasi kedua dan terbaru. Pada kondisi
tertentu dapat diberikan antihistami yang dikombinasi
dekongestan, antikolinergik intranasal atau
kortikosteroid
PPK THT-KL Page 1
sistemik.
- Kortikosteroid intranasal
Penghindaran alergen, kontrol lingkungan dan edukasi
9. Edukasi Hindari alergen penyebab
Meningkatkan kondisi tubuh (olahraga pagi, makanan
yang baik, istirahat cukup dan hindari stress)
10. Prognosis Ad Vitam : Dubia ad
bonam Ad Sanationam : Dubia
ad bonam Ad Fungsionam :
11. Kepustakaan Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi.
Dalam : Soepardi Ea, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi 7. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI ; 2012
Krouse JH, Chadwick Sj, Gordon BR, Derebery MJ,
editors : Allergy and Immunology An Otoalaryngic
Approach. Lippincott Williams dan Wilkins : Philadelphia ;
2002
Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA et al. Allergic Rhinitis
and its Impact on Astma (ARIA) 2008 UPDATE (In
Collaboration With The World Health Organization, GA
7. Pemeriksaan X-ray
Penunjang Tes alergi
Palpasi:
Di daerah supraorbital, lateral orbital rim, zygoma, infra
orbital, hidung, mandibula, sendi temporomandibular,
palpasi bimanual (ekstra-intra oral)
2. Operatif
Reduksi atau repair fraktur maksila dengan metoed
Open Reduction Internal Fixation (ORIF): open
reduction of malar and zygomatic fracture (ICD 9CM:
76.72), open reduction of maxillary fracture (ICD 9CM:
76.73), open reduction of mandibular fracture (ICD
9CM: 76.76), other open reduction of facial fracture
(ICD 9CM: 76.79).
Dapat berupa:
PPK THT-KL Page 27
Le Fort I: Fiksasi interdental dan intermaksilar
selama 4-6 minggu
Le Fort II: Seperti Le Fort I disertai fiksasi dari
sutura zigomatikum atau rim orbita
Le Fort III: Reduksi terbuka dengan fiksasi
interdental dan intermaksilar, suspensi dari
sutura zigomatikum dan pemasangan kawat dari
rim orbita.
2. Kemoradiasi
KNF stadium IIb, III, IVa, (T1-T4, N1,2, M0) →
Radioterapi definitif ( 70 Gy) pada nasofaring
dan leher disertai kemoterapi setiap minggu
(kemoterapi sensitiser) dengan Sisplatin 30-40
mg/m2 atau paclitaksel 40 mg atau denagn
Nimotuzumab 200 mg. Dilanjutan Kemoterapi
Fulldose 3 siklus
KNF Stadium IVB (T1-4 N3M0) neo-ajvan
kemoterapi (kemoterapi full dose) selama 3
siklus dan dilanjutkan dengan kemoradiasi
(radioterapi definitif di daerah nasofaring dan
leher masing- masing 70 Gy dan
kemoterapi dosis sensitisasi setiap minggu).
3. Kemoterapi
KNF stadium IVC (T1-4N0-3M1) kemoterapi
PPK THT-KL Page 32
FU 1000 mg/m2 atau Paclitaksel 75 mg/m2 atau
dengan Nimotuzumab 200 mg diberikan
setiap 3 mingu, sebanyak 6-8 siklus.
Pada metastasis tulang yang mengenai weight
bearing bone (tulang yang menyangga tubuh),
daerah pegerakan ini harus di tunjang dengan
korset (konsul ke dokter spesialis rehabillitasi
medis) dan diberikan obat2 antiosteoporosis 1
bulan sekali.
Bila ada rasa nyeri akibat metastasis
tulang, diberikan radioterapi lokal
sebanyak 2Gy
4. Penanganan suportif
Bila ada nyeri hebat di kepala harus diatasi
sebagai nyeri kanker → sesuai protokol nyeri
(stepladder WHO)
Bila ada kesulitan makan/ asupan nutrisi
kurang, pasang NGT/gastrostomi
Bila ada tanda2 infeksi di daerah saluran
nafas atas, telinga tengah, diberikan
antibiotika sistemik (oral/injeksi) atau dan
topikal tetes telinga → konsultasi ke ahli
otologi
9. Edukasi Penjelasan mengenai tujuan dan risiko biopsi, penjelasan
tentang stadium tumor, hasil penemuan tumor, rencana terapi
serta akibat dan efek samping yang dapat terjadi selama dan
10. Prognosis Quo ad vitam: dubia
Quo ad sanationam:
dubia Quo ad
11. Kepustakaan fungsionam: dubiaM., Forsby, N., Klein, G., Henle, W., 2007,
1. Anderson,
Relationship between the Epstein-Barr Viral and
Undifferential Nasopharyngeal Carcinoma: Correlated
nucleic acid hybridation and histopathological
examination. Int. J. Cancer 20: 486-494
2. Bernadette Brennan. 2009. Nasopharyngeal
Carcinoma. Orphanet J rare Disease. June 2009.
3. Christopher M Nutting, Christopher P Cottrill and
William I Wei. 2009. Tumors of the Nasopharynx in
Principles and Practice of Head and Neck Surgery and
Oncology.; 2nd ed. Informa UK Ltd.254-342
4. Ho-Sheng et al. 2009. Malignant nasopharyngeal
tumor. Chinese Journal of Cancer. Vol V. 2009
5. Lin HS. 2013. Malignant Nasopharyngeal Tumors.
Review: Annals of Oncology. 2013.
6. William W, Daniel T. T.Chua, 2014. Nasopharyngeal
Carcinoma. BJ Bailey, et al., eds. Head and Neck
Surgery – Otolaryngology. Vol 2. 5 th Ed.