Anda di halaman 1dari 7

Penatalaksanaan Tetanus

Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: membuang sumber


tetanospasmin, menetralisasi toksin yang tidak terikat, dan memberikan perawatan
penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah
habis dimetabolisme.1

Membuang sumber tetanospasmin

Prinsip penatalaksanaan luka adalah menghentikan perdarahan, mencegah


infeksi, menilai kerusakan yang terjadi pada struktur yang terkena dan untuk
menyembuhkan luka. Membersihkan luka merupakan faktor yang paling penting
dalam pencegahan infeksi luka. Sebagian besar luka terkontaminasi saat pertama
pasien datang. Luka tersebut dapat mengandung darah beku, kotoran, jaringan
mati atau rusak dan mungkin benda asing. Untuk itu dilakukan tindakan:2
1) Bersihkan kulit sekitar luka secara menyeluruh dengan sabun dan air atau
larutan antiseptik. Air dan larutan antiseptik harus dituangkan ke dalam luka.
2) Setelah memberikan anestesi lokal, periksa hati-hati apakah ada benda
asing dan bersihkan jaringan yang mati. Pastikan kerusakan apa yang terjadi.
Luka besar memerlukan anestesi umum.
3) Setelah itu, buat robekan luka secara teratur membentuk huruf “X” dengan
titik tengah persilangan adalah luka. Tujuan dibuat robekan luka adalah agar
mempermudah pembersihan kotoran didalam luka tusuk.
4) Setelah membuat robekan, siramlah dengan larutan H202, biasanya akan
timbul buih, gosoklah dengan kuat, sampai benar-benar bersih tak tertinggal
bekas kotoran yang menempel ataupun kotoran yang masih tersisa.
5) Bilas luka dengan menggunakan larutan NaCl 0,9%, tekan sekitar luka
hingga berdarah, tujuannya adalah untuk menghilangkan cairan H2O2 serta
membersihkan luka. Lalu beri betadhine pada luka.
Pada infeksi tetanus, luka tidak perlu ditutup, biarkan luka tetap terbuka, karena
hal tersebut akan menghambat pertumbuhan bakteri clostridium tetani.2

Walaupun manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotik diberikan pada


tetanus untuk mengeradikasi sel-sel vegetatif, sebagai sumber toksin.
Metronidazole merupakan antibiotik pilihan. Metronidazol (500 mg tiap 6 jam
atau 1gr tiap 12 jam) dipergunakan oleh beberapa ahli berdasarkan aktivitas
antimikrobial. Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk
vegetatif. Penggunaan penicillin procain (10 sampai 12 juta unit intravena setiap
hari selama 10 hari) telah direkomendasikan dan secara luas. Penicillin berperan
sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam
aminobutirat gama (GABA).1,3

Menetralisasi toksin yang tidak terikat

Antitoksin menurunkan mortalitas dengan menetralisasi toksin yang


beredar di sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin
yang telah melekat pada jaringan saraf tidak terpengaruh. Human tetanus
immunoglobulin (HTIG) merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan
segera dengan dosis 3000-10.000 unit intramuskuler, biasanya dibagi 3 dosis
karena volumenya besar dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Untuk bayi,
dosisnya 500 unit intramuskuler dosis tunggal. Immunoglobulin intravena
merupakan alternative lain daripada HTIG tapi konsentrasi antitoksin spesifik
dalam formulasi ini belum distandarisasi. Sebaiknya memberikan antitoksin
sebelum manipulasi luka.1,4

Bila tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000


unit diberikan 50.000 unit intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari
pertama, kemudian 60.000 unit, dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing
pada hari kedua dan ketiga. Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit
harus diberi immunisasi aktif dengan toksoid.1,4
Pengobatan Suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek dari
toksin yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya
ditangani di ICU, dimana mereka bisa dimonitoring dan diobservasi secara
kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroxysmal yang dipresipitasi oleh
stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan yang gelap dan tenang.
Pasien diposisikan sedemikian rupa dengan hati-hati untuk mencegah pneumonia
aspirasi. Cairan intravena harus diberikan, dan elektrolit serta analisa gas darah
sangatlah penting sebagai penuntun terapi.1,4,5
Pada fase akut, penyebab kematian yang paling sering adalah gagal nafas
akut akibat dari paralisis diafragma atau juga spasme laring. Dengan intervensi
medis yang intensif, meliputi penggunaan pelumpuh otot dan ventilasi mekanik,
angka mortalitas tetanus mengalami perbaikan. Airway management merupakan
prioritas pada tetanus. Hal ini harus dilakukan setiap saat dan dibutuhkan
kewaspadaan yang konstan. Spasme otot general, spasme laring, aspirasi, atau
dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi, dan ancaman pada
jalan nafas harus diantisipasi. Sekresi bronkial yang berlebihan terjadi pada
tetanus, dan pasien-pasien membutuhkan suctioning yang sering untuk menarik
sekret.1,4,5
Farmakologi obat-obatan yang biasa dipakai:6,7
a. Diazepam
Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik.
Mendepresi semua tingkatan system saraf pusat, termasuk bentukan limbic
dan reticular dengan meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotansmiter
inhibitori utama.
1) Dosis Dewasa
Spasme ringan : 5 – 10 mg oral tiap 4 – 6 jam apabila perlu.
Spasme sedang : 5 – 10 mg i.v apabila perlu
Spasme berat : 50 – 100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg
per jam.
2) Dosis pediatric
Spasme ringan : 0,1 – 0,8 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiga
atau empat kali sehari.
Spasme sedang-berat: 0,1 – 0,3 mg/kgBB/hari i.v tiap 4 sampai 8 jam.
Spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal
untuk berat badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat
badan ≥10 kg, atau diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali.
Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis
rumatan sesuai keadaan klinis.
Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis
awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti
infus tetesan tetap 15-40 mg/ kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam
diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa
orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis
membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku,
kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan.
3) Kontraindikasi : Hipersensitiitas, glaucoma sudut sempit.
4) Interaksi : Toksisitas benzodiazepine pada system saraf pusat meningkat
apabila dipergunakan bersamaan dengan alcohol, fenothiazin,barbiturate,
dn MAOI; cisapride dapat meningkatkan kadar diazepam secara
bermakna.
5) Kehamilan : Kriteria D (tidak aman bagi kehamilan)
6) Perhatian : Hati-hati pada pasien yang mendapatkan depresan system
saraf pusat yang lain, pasien dengan kadar albumin rendah atau gagal hati
karena, toksisitas diazepam dapat meningkat.6,7

b. Fenobarbital
Dosis baru harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi
pernafasan. Jika pada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi
diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi yang diinginkan.6,7
1) Dosis Dewasa : 1 mg/kg i.m tiap 4 – 6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari.
2) Dosis pediatric : 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari.
3) Kontraindikasi : Hipersensitifitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-
paru berat, dan pasien nefritis.
4) Interaksi : Dapat menurunkan efek kloranfenikol, digitoksin,
kortikosteroid, karbamazepin, teofilin, verapamil, metronidazol, dan
antikoagulan.
5) Kehamilan : Criteria D (tidak aman bagi kehamilan)
6) Perhatian : Pada terapi jangka panjang, monitor fungsi hati, ginjal dan
system hematopoitik. Hati-hati pada miastenia gravis dan miksedema.6,7

c. Baklofen
Baklofen intatekal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara
eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk
menghentikan infuse diazepam. Baklofen intratekal 600 kali lebih poten
daripada baklofen peroral. Keseluruhan dosis baklofen diberikan sebagai
bolus injeksi. Dosis dapat diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme
paroksismal kembali terjadi.
1) Dosis Dewasa: < 55 tahun = 100 mgc IT
> 55 tahun = 800 mgc IT
2) Dosis pediatrik : < 16 tahun = 500 mgc IT
>16 tahun = seperti dosis dewasa
3) Kontraindikasi : Hipersensitifitas.
4) Interaksi : analgesic opiate, benzodiazepine, alcohol, guanabens,
MAOI, klindamisin, dan obat antihipertensi dapat meningkatkan efek
baklofen.
5) Kehamilan : Kriteria C (keamanan bagi wanita hamil tidak diketahui)
6) Perhatian : Hati-hati pada pasien dengan disrefleksia otonomik.

Jika spasme tidak cukup terkontrol dengan terapi di atas, dapat dipilih
pelumpuh otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure ventilation
(IPPV). Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus,
rekomendasi didapatkan dari laporan kasus. Pancuronium harus dihindari karena
efek samping simpatomimetik. Atracurium dapat sebagai pilihan. Vecuronium
juga telah digunakan karena stabil pada jantung.1,6,7

Pasien tetanus berat sering kali membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3


minggu sampai spasme mereda. Insiden ventilator-associated pneumonia pada
pasien-pasien tetanus sebesar 52,6%. Infeksi nosokomial umum terjadi karena
lamanya perjalanan penyakit tetanus dan masih merupakan penyebab penting
kematian. Pencegahan komplikasi respirasi meliputi perawatan mulut sangat teliti,
fisioterapi dada dan suction trakea. Sedasi adekuat selama prosedur invasif
mencegah provokasi spasme atau ketidakstabilan otonom.6,7
Daftar Pustaka

1. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al.
Management and prevention of tetanus. Journal of Long-Term Effect of
Medical Implant. Vol. 13 No 3. 2003. Available at:
http://www.dl.begellhouse.com/journals/JLT1303-139-154(184)pdf.
2. Perdossi. 2013. Standar Pelayanan Medik. Jakarta: Perdossi Available at:
http://kniperdossi.org/
3. Taylor AM. Tetanus Continuing education in anesthesia, critical are & pain.
Vol 6 No. 3. 2006. Available at:
http://www.ceaccp.oxfordjournals.org.content/6/4/164.3.full.pdf
4. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.
5. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, editors. Oh’s intensive care
manual. 6thed. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009. p. 593-
597.
6. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during
humanitarian emergencies. WHO Tech Note. [Internet]. 2010. Available at:
http://www.whqlibdoc.who.int/hq/2010/WHO_HSE_GAR_DCE_2010.2_eng
.pdf.
7. Witt MD, Chu LA. Infections in the critically ill. In: Bongard FS, Sue DY,
eds. Current critical care diagnosis and treatment. 2nd ed. California:
McGraw-Hill; 2003.p.432-4.

Anda mungkin juga menyukai