Anda di halaman 1dari 10

1.

Kegawatdaruratan Stroke

Stroke merupakan kondisi kegawatdaruratan yang harus segera diatasi dalam kurun

waktu 4,5 jam..1 Penatalaksanaan stroke biasanya dimulai dengan penanganan akut dalam

kondisi emergensi dan dilanjutkan dengan rehabilitasi pasien jangka panjang. Selain itu,

pemilihan jenis terapi juga dilihat dari waktu masuk layanan kesehatan dan onset dari

stroke. Stroke memiliki jendela terapi 3-6 jam.2

Beberapa hal yang harus dilakukan pada kasus stroke akut adalah:3

 Lakukan intubasi bila pasien tidak sadar atau Glasgow Coma Scale di bawah 8.

Pastikan jalan napas pasien aman jika intubasi tidak dapat dilakukan

 Jika pasien mengalami hipoksia (saturasi oksigen di bawah 94%), berikan oksigen.

Mulai dari pemberian 2 liter per menit menggunakan nasal kanuldan tingkatkan

hingga 4 liter per menit sesuai kondisi pasien

 Dapat dilakukan elevasi kepala 30 derajat, tetapi penelitian terbaru mempertanyakan

posisi kepala mana yang lebih baik, apakah elevasi kepala atau tidak

1.1 Stroke Iskemik

Terapi stroke iskemik bertujuan untuk mempertahankan jaringan pada ischemic

penumbra. Terapi yang dapat diberikan mencakup pemberian recombinant tissue-type

plasminogen activator (rtPA), aspirin, dan terapi suportif. Antihipertensi tidak lagi

disarankan karena justru berkaitan dengan luaran yang buruk.4

 Recombinant Tissue-Type Plasminogen Activator

Pemberian rtPA (recombinant tissue-type plasminogen activator) atau alteplase

merupakan pilihan dalam upaya revaskularisasi pada stroke iskemik menggunakan

agen trombolisis. Pemberian trombolisis dengan rtPA pada stroke iskemik.


Pemberian rtPA harus segera dilakukan dalam 3 jam sejak onset terjadinya stroke

dan kemungkinan stroke hemoragik telah disingkirkan. Dokter juga perlu

menimbang risiko komplikasi yang muncul akibat rtPA, seperti perdarahan

intrakranial dan reaksi alergi.3

 Aspirin

Penggunaan antiplatelet juga direkomendasikan oleh The American Heart

Association/American Stroke Association tahun 2018. Pemberian aspirin diberikan

24-48 jam setelah onset. Pada pasien yang mendapat r-tPA, pemberian aspirin

dilakukan setelah 24 jam. Pemberian aspirin pada stroke akut (<48 jam) dilaporkan

efektif dalam mengurangi angka kematian dan kejadian stroke. Dosis yang dapat

diberikan adalah 160-325mg. Risiko perdarahan akibat penggunaan aspirin terjadi

berhubungan dengan dosis yang diberikan. Perdarahan yang paling sering terjadi

adalah perdarahan gastrointestinal.3

 Antikoagulan

Pemberian antikoagulan, seperti warfarin dan rivaroxaban, tidak dianjurkan pada

kasus stroke akut. Antikoagulan tidak diindikasikan dan tidak berkaitan dengan

perbaikan luaran pasien stroke akut. Antikoagulan dapat diberikan pada pasien yang

memiliki kondisi medis yang meningkatkan risiko stroke, misalnya atrial fibrilasi.3

 Terapi Suportif

Pada pasien stroke, dokter perlu mengevaluasi apakah terdapat hipoglikemia atau

hiperglikemia, karena kedua kondisi ini memiliki gejala yang mirip dengan stroke.

Keadaan hipoglikemia dan hiperglikemia harus segera diatasi. Hipoglikemia dapat diatasi

dengan dekstrosa 40%, sedangkan hiperglikemia dapat diatasi dengan


pemberian insulin drip.Pasien stroke juga umumnya membutuhkan tata laksana maupun

pencegahan retensi urine dengan cara kateterisasi uretra. Namun, bila tidak

memungkinkan atau gagal, dokter dapat melakukan kateterisasi suprapubik. Beberapa

praktisi memberikan agen neuroprotektif seperti citicolin atau piracetam pada pasien

stroke iskemik. Namun, bukti tentang efikasi kedua agen ini pada stroke sebenarnya

masih kontroversial.4

 Antihipertensi

Pada aliran darah otak yang buruk, pembuluh darah pada otak kehilangan fungsi

vasoregulator, sehingga untuk mempertahankan tekanannya, pembuluh tersebut

bergantung pada Mean Arterial Pressure (MAP) dan cardiac output. Penggunaan

antihipertensi dianggap dapat mengurangi perfusi dan memperparah kejadian iskemia.2,3

1.2 Stroke Hemoragik

Kunci penanganan stroke hemoragik adalah menghentikan perdarahan, penanganan

tekanan tinggi intrakranial, serta identifikasi dan penanganan komplikasi seperti kejang.3

 Penghentian Perdarahan

Dokter perlu mengidentifikasi apakah pasien memiliki diasthesis perdarahan. Jika pasien

menggunakan antikoagulan, lakukan anticoagulant reversal.4

 Kontrol Tekanan Darah

Pedoman klinis saat ini merekomendasikan penurunan tekanan darah pada pasien dengan

stroke hemoragik intraserebral dengan tekanan darah antara 150- 200

mmHg. .Penghambat kanal kalsium intravena seperti nikardipin dan beta bloker seperti

labetalol merupakan pilihan untuk pengurangan tekanan darah inisial mengingat waktu
paruhnya yang pendek dan mudah dititrasi. Pemberian nitrat harus dihindari karena

potensi vasodilatasi serebral dan peningkatan tekanan intrakranial. Agen antihipertensi

oral disarankan untuk dimulai segera setelah pasien mampu mentoleransinya, untuk

mencegah hipertensi resisten dan memfasilitasi transisi perawatan jangka panjang.4

 Penanganan Peningkatan Tekanan Intrakranial

Penanganan tekanan tinggi intrakranial dapat menggunakan manitol bolus intravena 0,25-

1 gram/kg/30 menit, dilanjutkan dengan 0.25 gram/kg/30 menit selama 3-5 hari.

Penanganan juga dapat dilakukan dengan pembedahan. Tindakan bedah dilakukan

dengan mempertimbangkan usia pasien dan letak perdarahan.3

Penanganan Kejang

 Penanganan kejang dapat menggunakan diazepam 5-20 mg intravena. Tata laksana untuk

keluhan umum lainnya sama dengan stroke iskemik.

1.3 Rehabilitasi

Terapi rehabilitasi pada stroke dapat terdiri dari terapi bicara, fisioterapi, konseling

psikologi, dan terapi okupasi. Tim yang merawat pasien haruslah tim multidisiplin dengan

anggota meliputi, dokter, perawat, pekerja sosial, psikolog, terapis okupasi, fisioterapis, dan

terapis bicara dan bahasa.3

2. Tatalaksana Kegawatdaruratan Infeksi Sistem Saraf Pusat

2.1 Meningitis Bakterialis

MB adalah kegawatdaruratan medik. Secara umum, tata laksana MB dapat dilihat

pada gambar 2.1 Pemilihan antibiotik yang tepat adalah langkah yang krusial, karena

harus bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan dapat masuk ke CSS
dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera dimulai sambil menunggu

hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada temuan laboratorik. Pilihan

antibiotik empirik pada pasien MB harus berdasarkan epidemiologi lokal, usia pasien,

dan adanya penyakit yang mendasari atau faktor risiko penyerta. Antibiotik harus segera

diberikan bila ada syok sepsis. Jika terjadi syok sepsis, pasien harus diterapi dengan

cairan dan mungkin memerlukan dukungan obat inotropik. Jika terjadi peningkatan

tekanan intrakranial, pertimbangkan pemberian mannitol.5

Gambar 2.1 Algoritma tatalaksana meningitis bakterial


2.2 Meningitis Tuberkulosis

Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan basil tahan asam

melalui apusan atau kultur, baik dari sputum, darah maupun CSS. Oleh karena itu, pada

kondisi seperti ini atau pada pasien dengan sakit berat dimana dicurigai tuberkulosis,

maka penilaian klinis dapat digunakan untuk memulai pemberian terapi empiris sembari

menunggu hasil akhir pemeriksaan seperti kultur yang membutuhkan waktu lama atau

bahkan ketika hasil pemeriksaan negative.6

Tuberkulosis paru dan ekstraparu ditatalaksana dengan regimen antituberkulosis

yang sama, yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol selama 2 bulan fase

intensif dan rifampisin, isoniazid selama 4 bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Para ahli

merekomendasikan pemberian terapi obat anti tuberkulosis pada meningitis tuberkulosis

selama minimal 9 hingga 12 bulan.12 WHO dan PDPI mengklasifikasikan meningitis

tuberkulosis (tuberkulosis ekstra paru, kasus berat) ke dalam kategori I terapi

tuberkulosis. Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus

meningitis tuberkulosis umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10 bulan. Namun, pada

pasien ini diberikan terapi OAT awal berupa RHZES. 6

2.3 Kegawatdaruratan Rabies

Penanganan rabies sebagai berikut :7,8

1. Penanganan luka terbuka dan pencegahan infeksi lini pertama pada kasus gigitan

anjing adalah dengan irigasi dan debridemen luka

2. Penderita tersangka rabies segera dirujuk ke rumah sakit

3. Sebelum dirujuk, penderita diinfus dengan cairan Ringer Laktat atau NaCl 0,9%.

Kalau perlu berikan antikonvulsan dan sebaiknya penderita difiksasi selama di


perjalanan. Waspadai tindak-tanduk penderita yang tidak rasional dan kadang-

kadang maniakal disertai saat-saat responsif.

4. Di rumah sakit penderita dirawat di ruang isolasi.

5. Tindakan medis dan pemberian obatobatan simptomatis dan suportif termasuk

antibiotika bila diperlukan. Antibiotik untuk profilaksis biasa diberikan selama 3-

5 hari, dengan antibiotik empiris baku emasnya adalah amoksisilin klavulanat.

6. Untuk menghindari adanya kemungkinan penularan dari penderita, maka sewaktu

menangani penderita rabies handaknya dokter dan paramedis memakai sarung

tangan, kacamata (goggle) dan masker serta melakukan fiksasi penderita di

tempat tidurnya.

7. Jika petugas medis atau paramedis yang merawat penderita rabies, belum pernah

mendapatkan vaksin anti rabies dan tidak

Untuk tatalaksana di IGD, yang pertama kali dilkakukan adalah

mengklasifikasikan pasien apakah suspect/probable/confirmed. Suspect adalah kasus

dengan gejala klinis sindroma neurologis akut disertai koma dan perubahan status

mental, probable merupakan kasus suspect dengan riwayat interaksi dengan gigitan

hewan dan confirmed merupakan kasus terdiagnosis dari laboratorium. Untuk

pemeriksaan lab dapat dilakukan:7

 Blood Gas Analysis: ditemukan respiratorik alkalosis konsisten dengan

peningkatan frekuensi napas

 Darah lengkap: Leukositosis dengan atipikal monocyte

 EEG: perubahan encephalopathic

 EKG: dapat dijumpai SVT.


 Diagnosis dilakukan dengan PCR saliva/CSS/biopsi pada luka area bekas gigitan

2.4 Ensefalitis

Penanganan ensefalitis secara umum adalah mempertahankan fungsi organ

dengan mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian makanan enteral atau

parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan mengatasi kejang. Intervensi

yang dilakukan untuk mengatasi masalah ensefalitis melakukan manajemen peningkatan

tekanan intrakranial dengan memberikan posisi yang tepat, mempertahankan ventilasi,

bebaskan jalan nafas, berikan O2 sesuai kebutuhan dan melakukan pemantauan secara

langsung yaitu memantau kondisi klinis klien berupa observasi keadaan atau tingkat

kesadaran serta vital sign.9

Penatalaksanaan ensefalitis diataranya mengatasi kejang yaitu tindakan vital,

dikarenakan kejang pada ensefalitis biasanya berat maka diberikan fenobarbital 5-8

mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi maka perluh diberikan diazepam (0,1-0,2

mg/kgBB) melalaui IV dalam bentuk infus selama 3 menit, memperbaiki homeostatis

dengan infus cairan D5-1/2 S atau D5-1/4 S (tergantung umur) dan pemberian oksigen,

mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh anoksia serebri

dengan deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari melalui IV dibagi dalam 3 dosis,

menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan menitol diberikan melalui

intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. pemberian dapat dilakukan

ulang setiap 8-12 jam. Selain itu dapat juga diberikan gliserol melalui pipa nasogastrik

0,5-1,0 ml/kgBB serta dapat diberikan kompres pada permukaan tubuh atau dapat juga

diberikan antipirektikum yaitu asetosal atau paracetamol. Jika keadaan sudah

memungkinkan pemberian obat melalui pre oral.9


Daftar Pustaka :

1. Lisiswanti R, Iqbal F, Putra E. Multi Media Campaign Akronim F . A . S . T dalam

Mengurangi Mortalitas dan Morbiditas Kegawatdaruratan Penyakit Stroke The Acronym

of F . A . S . T Multi Media Campaign to Reducing Mortality and Morbidity in Stroke

Emergency. Majority. 2016;5(1):43–8.

2. Tangkudung G, Muliawan E, Pertiwi JM, Dompas A. Tatalaksana stroke iskemik akut

dengan trombolisis intravena: suatu serial kasus. J Sinaps. 2020;3(2):1–12.

3. Warner JJ, Harrington RA, Sacco RL, Elkind MSV. Guidelines for the early management

of patients with acute ischemic stroke 2019 update to the 2018 guidelines for the early

management of acute ischemic stroke. Stroke. 2019;50(12):3331–2.

4. Powers WJ, Rabinstein AA, Ackerson T, Adeoye OM, Bambakidis NC, Becker K, et al.

Guidelines for the Early Management of Patients With Acute Ischemic Stroke: 2019

Update to the 2018 Guidelines for the Early Management of Acute Ischemic Stroke: A

Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American

Stroke. Vol. 50, Stroke. United States; 2019. p. e344–418.

5. Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis

Bakterialis. Cdk-224. 2015;42(1):15–9.

6. Pemula G, Azhary R, Apriliana E, Dwi P. Ety dan Paulus | Penatalaksanaan yang Tepat

pada Meningitis Tuberkulosa J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember. J Unila.

2016;6(1).
7. Kemenkes R.I. A technical handbook for the management of rabies-borne animal bite

cases in Indonesia. Kemenkes RI. 2016;

8. Fabiana Meijon Fadul. Tatalaksana Dan Pencegahan Infeksi Rabies Pada Kasus Gigitan

Anjing Pada Jaringan Periokular. 2019;0–14.

9. Tursinawati Y, Tajally A, Kartikadewi A. Buku Ajar Sistem Syaraf. Vol. 1, Fakultas

Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. 2015. 1–149 p.

Anda mungkin juga menyukai