Anda di halaman 1dari 13

Nama : Nilam Belliny Kakiay

NIM : 201983019

1. Kegawatdaruratan Stroke

Stroke merupakan kondisi kegawatdaruratan yang harus segera diatasi dalam kurun

waktu 4,5 jam..1 Penatalaksanaan stroke biasanya dimulai dengan penanganan akut dalam

kondisi emergensi dan dilanjutkan dengan rehabilitasi pasien jangka panjang. Selain itu,

pemilihan jenis terapi juga dilihat dari waktu masuk layanan kesehatan dan onset dari

stroke. Stroke memiliki jendela terapi 3-6 jam.2

Beberapa hal yang harus dilakukan pada kasus stroke akut adalah:3

 Lakukan intubasi bila pasien tidak sadar atau Glasgow Coma Scale di bawah 8.

Pastikan jalan napas pasien aman jika intubasi tidak dapat dilakukan

 Jika pasien mengalami hipoksia (saturasi oksigen di bawah 94%), berikan oksigen.

Mulai dari pemberian 2 liter per menit menggunakan nasal kanuldan tingkatkan

hingga 4 liter per menit sesuai kondisi pasien

 Dapat dilakukan elevasi kepala 30 derajat, tetapi penelitian terbaru mempertanyakan

posisi kepala mana yang lebih baik, apakah elevasi kepala atau tidak

1.1 Stroke Iskemik

Terapi stroke iskemik bertujuan untuk mempertahankan jaringan pada ischemic

penumbra. Terapi yang dapat diberikan mencakup pemberian recombinant tissue-type

plasminogen activator (rtPA), aspirin, dan terapi suportif. Antihipertensi tidak lagi

disarankan karena justru berkaitan dengan luaran yang buruk.4

 Recombinant Tissue-Type Plasminogen Activator


Pemberian rtPA (recombinant tissue-type plasminogen activator) atau alteplase

merupakan pilihan dalam upaya revaskularisasi pada stroke iskemik menggunakan

agen trombolisis. Pemberian trombolisis dengan rtPA pada stroke iskemik.

Pemberian rtPA harus segera dilakukan dalam 3 jam sejak onset terjadinya stroke

dan kemungkinan stroke hemoragik telah disingkirkan. Dokter juga perlu

menimbang risiko komplikasi yang muncul akibat rtPA, seperti perdarahan

intrakranial dan reaksi alergi.3

 Aspirin

Penggunaan antiplatelet juga direkomendasikan oleh The American Heart

Association/American Stroke Association tahun 2018. Pemberian aspirin diberikan

24-48 jam setelah onset. Pada pasien yang mendapat r-tPA, pemberian aspirin

dilakukan setelah 24 jam. Pemberian aspirin pada stroke akut (<48 jam) dilaporkan

efektif dalam mengurangi angka kematian dan kejadian stroke. Dosis yang dapat

diberikan adalah 160-325mg. Risiko perdarahan akibat penggunaan aspirin terjadi

berhubungan dengan dosis yang diberikan. Perdarahan yang paling sering terjadi

adalah perdarahan gastrointestinal.3

 Antikoagulan

Pemberian antikoagulan, seperti warfarin dan rivaroxaban, tidak dianjurkan pada

kasus stroke akut. Antikoagulan tidak diindikasikan dan tidak berkaitan dengan

perbaikan luaran pasien stroke akut. Antikoagulan dapat diberikan pada pasien yang

memiliki kondisi medis yang meningkatkan risiko stroke, misalnya atrial fibrilasi.3

 Terapi Suportif
Pada pasien stroke, dokter perlu mengevaluasi apakah terdapat hipoglikemia atau

hiperglikemia, karena kedua kondisi ini memiliki gejala yang mirip dengan stroke.

Keadaan hipoglikemia dan hiperglikemia harus segera diatasi. Hipoglikemia dapat diatasi

dengan dekstrosa 40%, sedangkan hiperglikemia dapat diatasi dengan

pemberian insulin drip.Pasien stroke juga umumnya membutuhkan tata laksana maupun

pencegahan retensi urine dengan cara kateterisasi uretra. Namun, bila tidak

memungkinkan atau gagal, dokter dapat melakukan kateterisasi suprapubik. Beberapa

praktisi memberikan agen neuroprotektif seperti citicolin atau piracetam pada pasien

stroke iskemik. Namun, bukti tentang efikasi kedua agen ini pada stroke sebenarnya

masih kontroversial.4

 Antihipertensi

Pada aliran darah otak yang buruk, pembuluh darah pada otak kehilangan fungsi

vasoregulator, sehingga untuk mempertahankan tekanannya, pembuluh tersebut

bergantung pada Mean Arterial Pressure (MAP) dan cardiac output. Penggunaan

antihipertensi dianggap dapat mengurangi perfusi dan memperparah kejadian iskemia.2,3

1.2 Stroke Hemoragik

Kunci penanganan stroke hemoragik adalah menghentikan perdarahan, penanganan

tekanan tinggi intrakranial, serta identifikasi dan penanganan komplikasi seperti kejang.3

 Penghentian Perdarahan

Dokter perlu mengidentifikasi apakah pasien memiliki diasthesis perdarahan. Jika pasien

menggunakan antikoagulan, lakukan anticoagulant reversal.4

 Kontrol Tekanan Darah


Pedoman klinis saat ini merekomendasikan penurunan tekanan darah pada pasien dengan

stroke hemoragik intraserebral dengan tekanan darah antara 150- 200

mmHg. .Penghambat kanal kalsium intravena seperti nikardipin dan beta bloker seperti

labetalol merupakan pilihan untuk pengurangan tekanan darah inisial mengingat waktu

paruhnya yang pendek dan mudah dititrasi. Pemberian nitrat harus dihindari karena

potensi vasodilatasi serebral dan peningkatan tekanan intrakranial. Agen antihipertensi

oral disarankan untuk dimulai segera setelah pasien mampu mentoleransinya, untuk

mencegah hipertensi resisten dan memfasilitasi transisi perawatan jangka panjang.4

 Penanganan Peningkatan Tekanan Intrakranial

Penanganan tekanan tinggi intrakranial dapat menggunakan manitol bolus intravena 0,25-

1 gram/kg/30 menit, dilanjutkan dengan 0.25 gram/kg/30 menit selama 3-5 hari.

Penanganan juga dapat dilakukan dengan pembedahan. Tindakan bedah dilakukan

dengan mempertimbangkan usia pasien dan letak perdarahan.3

Penanganan Kejang

 Penanganan kejang dapat menggunakan diazepam 5-20 mg intravena. Tata laksana untuk

keluhan umum lainnya sama dengan stroke iskemik.

1.3 Rehabilitasi

Terapi rehabilitasi pada stroke dapat terdiri dari terapi bicara, fisioterapi, konseling

psikologi, dan terapi okupasi. Tim yang merawat pasien haruslah tim multidisiplin dengan

anggota meliputi, dokter, perawat, pekerja sosial, psikolog, terapis okupasi, fisioterapis, dan

terapis bicara dan bahasa.3

2. Tatalaksana Kegawatdaruratan Infeksi Sistem Saraf Pusat


2.1 Meningitis Bakterialis

MB adalah kegawatdaruratan medik. Secara umum, tata laksana MB dapat dilihat

pada gambar 2.1 Pemilihan antibiotik yang tepat adalah langkah yang krusial, karena

harus bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan dapat masuk ke CSS

dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera dimulai sambil menunggu

hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada temuan laboratorik. Pilihan

antibiotik empirik pada pasien MB harus berdasarkan epidemiologi lokal, usia pasien,

dan adanya penyakit yang mendasari atau faktor risiko penyerta. Antibiotik harus segera

diberikan bila ada syok sepsis. Jika terjadi syok sepsis, pasien harus diterapi dengan

cairan dan mungkin memerlukan dukungan obat inotropik. Jika terjadi peningkatan

tekanan intrakranial, pertimbangkan pemberian mannitol.5


Gambar 2.1 Algoritma tatalaksana meningitis bakterial

2.2 Meningitis Tuberkulosis

Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan basil tahan asam

melalui apusan atau kultur, baik dari sputum, darah maupun CSS. Oleh karena itu, pada

kondisi seperti ini atau pada pasien dengan sakit berat dimana dicurigai tuberkulosis,

maka penilaian klinis dapat digunakan untuk memulai pemberian terapi empiris sembari

menunggu hasil akhir pemeriksaan seperti kultur yang membutuhkan waktu lama atau

bahkan ketika hasil pemeriksaan negative.6


Tuberkulosis paru dan ekstraparu ditatalaksana dengan regimen antituberkulosis

yang sama, yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol selama 2 bulan fase

intensif dan rifampisin, isoniazid selama 4 bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Para ahli

merekomendasikan pemberian terapi obat anti tuberkulosis pada meningitis tuberkulosis

selama minimal 9 hingga 12 bulan.12 WHO dan PDPI mengklasifikasikan meningitis

tuberkulosis (tuberkulosis ekstra paru, kasus berat) ke dalam kategori I terapi

tuberkulosis. Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus

meningitis tuberkulosis umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10 bulan. Namun, pada

pasien ini diberikan terapi OAT awal berupa RHZES. 6

2.3 Kegawatdaruratan Rabies

Penanganan rabies sebagai berikut :7,8

1. Penanganan luka terbuka dan pencegahan infeksi lini pertama pada kasus gigitan

anjing adalah dengan irigasi dan debridemen luka

2. Penderita tersangka rabies segera dirujuk ke rumah sakit

3. Sebelum dirujuk, penderita diinfus dengan cairan Ringer Laktat atau NaCl 0,9%.

Kalau perlu berikan antikonvulsan dan sebaiknya penderita difiksasi selama di

perjalanan. Waspadai tindak-tanduk penderita yang tidak rasional dan kadang-

kadang maniakal disertai saat-saat responsif.

4. Di rumah sakit penderita dirawat di ruang isolasi.

5. Tindakan medis dan pemberian obatobatan simptomatis dan suportif termasuk

antibiotika bila diperlukan. Antibiotik untuk profilaksis biasa diberikan selama 3-

5 hari, dengan antibiotik empiris baku emasnya adalah amoksisilin klavulanat.


6. Untuk menghindari adanya kemungkinan penularan dari penderita, maka sewaktu

menangani penderita rabies handaknya dokter dan paramedis memakai sarung

tangan, kacamata (goggle) dan masker serta melakukan fiksasi penderita di

tempat tidurnya.

7. Jika petugas medis atau paramedis yang merawat penderita rabies, belum pernah

mendapatkan vaksin anti rabies dan tidak

Untuk tatalaksana di IGD, yang pertama kali dilkakukan adalah

mengklasifikasikan pasien apakah suspect/probable/confirmed. Suspect adalah kasus

dengan gejala klinis sindroma neurologis akut disertai koma dan perubahan status

mental, probable merupakan kasus suspect dengan riwayat interaksi dengan gigitan

hewan dan confirmed merupakan kasus terdiagnosis dari laboratorium. Untuk

pemeriksaan lab dapat dilakukan:7

 Blood Gas Analysis: ditemukan respiratorik alkalosis konsisten dengan

peningkatan frekuensi napas

 Darah lengkap: Leukositosis dengan atipikal monocyte

 EEG: perubahan encephalopathic

 EKG: dapat dijumpai SVT.

 Diagnosis dilakukan dengan PCR saliva/CSS/biopsi pada luka area bekas gigitan

2.4 Kegawatdaruratan Ensefalitis

Penanganan ensefalitis secara umum adalah mempertahankan fungsi organ

dengan mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian makanan enteral atau

parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan mengatasi kejang. Intervensi

yang dilakukan untuk mengatasi masalah ensefalitis melakukan manajemen peningkatan


tekanan intrakranial dengan memberikan posisi yang tepat, mempertahankan ventilasi,

bebaskan jalan nafas, berikan O2 sesuai kebutuhan dan melakukan pemantauan secara

langsung yaitu memantau kondisi klinis klien berupa observasi keadaan atau tingkat

kesadaran serta vital sign.9

Penatalaksanaan ensefalitis diataranya mengatasi kejang yaitu tindakan vital,

dikarenakan kejang pada ensefalitis biasanya berat maka diberikan fenobarbital 5-8

mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi maka perluh diberikan diazepam (0,1-0,2

mg/kgBB) melalaui IV dalam bentuk infus selama 3 menit, memperbaiki homeostatis

dengan infus cairan D5-1/2 S atau D5-1/4 S (tergantung umur) dan pemberian oksigen,

mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh anoksia serebri

dengan deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari melalui IV dibagi dalam 3 dosis,

menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan menitol diberikan melalui

intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. pemberian dapat dilakukan

ulang setiap 8-12 jam. Selain itu dapat juga diberikan gliserol melalui pipa nasogastrik

0,5-1,0 ml/kgBB serta dapat diberikan kompres pada permukaan tubuh atau dapat juga

diberikan antipirektikum yaitu asetosal atau paracetamol. Jika keadaan sudah

memungkinkan pemberian obat melalui pre oral.9

2.5 Kegawatdaruratan Tetanus

Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: membuang sumber tetanospasmin;

menetralisasi toksin yang tidak terikat; perawatan penunjang (suportif) sampai

tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme.10

1. Membuang Sumber Tetanospasmin

Luka harus dibersihkan secara menyeluruh untuk mengurangi muatan bakteri dan

mencegah pelepasan toksin lebih lanjut. Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi


bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal.

Metronidazol diberikan secara IV dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30

mg/ kgBB/ hari setiap 6 jam selama 7−10 hari. Lini kedua dapat diberikan prokain

penisilin 50.000−100.000 U/ kgBB/hari selama 7−10 hari, jika hipersensitif terhadap

penisilin dapat diberi tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berusia lebih dari 8

tahun).10

2. Netralisasi toksin yang tidak terikat

Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan.

Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan

intramuskular dengan dosis total 3.000−10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan

diinjeksikan di tiga tempat berbeda. HTIG dengan dosis 100.000- 200.000 unit diberikan

50.000 unit intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian

60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan

ketiga.Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi

aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki

kekebalan.10

3. Terapi Suporatif

Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang

telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU agar

bisa diobservasi secara berkelanjutan. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal

yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan

tenang. Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus

diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai penuntun

terapi. Penanganan jalan napas merupakan prioritas. 10


Spasme otot, spasme laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat

mengganggu respirasi. Sekresibronkus yang berlebihan memerlukan tindakan

suctioning yang sering. Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan napas terutama jika

ada opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan.

Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot

respirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator. 10

3. Kegawatdaruratan GBS

Perawatan sebelum masuk rumah sakit pada pasien dengan sindroma Guillain-

Barre (GBS) meliputi jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi (ABCs). Bantuan nafas

mekanik kadang dibutuhkan dan pencegahan terhadap aspirasi makanan atau isi lambung

harus dilakukan jika otot orofaring terganggu. Indikasi pemberian oksigen dan bantuan

pernafasan dapat ditemukan, bersamaan dengan pemasangan infus untuk administrasi

intravena Perawatan kegawatdaruratan pada GBS termasuk monitoring respirasi dan

kardiovaskular secara ketat. Bisa didapatkan indikasi untuk dilakukan intubasi. Intubasi

harus dilakukan pada pasien yang mengalami kegagalan nafas derajat berapapun.

Indikator klinis untuk intubasi pada ED termasuk hipoksia, fungsi respirasi yang menurun

dengan cepat, batuk yang lemah, dan curiga adanya aspirasi. Pada umumnya, intubasi

terindikasi pada saat Forced vital capacity (FVC) kurang dari 15 ml/kg.10,11

Pasien harus dimonitor secara ketat untuk mengetahui perubahan tekanan darah,

denyut jantung, dan aritmia. Terapi jarang dibutuhkan untuk takikardia. Atropine

direkomendasikan untuk bradikardi simptomatik. Karena adanya labilitas dari

disautonomia, hipertensi paling baik diterapi dengan agen yang bekerja jangka pendek,

seperti beta-blocker jangka pendek atau nitroprusside. Hipotensi dari diautonomia


biasanya merupakan respon yang timbul pada cairan intravena dan pemposisian supinasi.

Pacing secara temporer dapat dibutuhkan pada pasien heart block derajat dua dan tiga.

Konsultasikan dengan spesialis neurologi jika ada ketidakpastian dan ketidakyakinan

dalam diagnosis.10,11

Konsultasikan pada tim ICU untuk evaluasi butuh tidaknya untuk dimasukkan ke

ICU. Keputusan untuk melakukan intubasi pada pasien GBS ditentukan berdasarkan

kasus. Seperti kelainan neuromuskular lain dengan potensi kelemahan diafragmatika,

tanda-tanda kolaps respiratori termasuk takipnea, penggunaan otot-otot tambahan

inspirasi, negative inspiratory force (NIF) kurang dari 20 atau forced vital capacity (FVC)

kurang dari 15cc/kg merupakan indikator untuk melakukan intubasi dan pemberian

ventilasi artifisial.10

Beberapa terapi yaitu plasmapheresis atau penggantian plasma mampu

mengurangi relaps dengan cara menghilangkan antibodi dan faktor imun yang berperan

dalam kerusakan saraf. Terapi imunoglobulin dalam dosis tinggi diadministrasi melalui

injeksi intravena dengan jumlah yang sedikit untuk membantu sistem imun melawan

patogen. Steroid juga dapat digunakan untuk mengurangi keparahan, tetapi

keefektifannya masih dipertanyakan karena terkait efek samping. Plasmapharesis lebih

awal dan terapi IVIG terbukti berguna pada pasien GBS. Pemberian glukokortikoid tidak

memendekkan perjalanan penyakit ataupun memperngaruhi prognosis. Plasma exchange

dan imunoglobulin intravena bisa menjadi terapi yang efektif, namun pasien bisa

membutuhkan intubasi dan perawatan intensif yang lebih lama. 10,11


Daftar Pustaka
1. Lisiswanti R, Iqbal F, Putra E. Multi Media Campaign Akronim F . A . S . T dalam
Mengurangi Mortalitas dan Morbiditas Kegawatdaruratan Penyakit Stroke The Acronym
of F . A . S . T Multi Media Campaign to Reducing Mortality and Morbidity in Stroke
Emergency. Majority. 2016;5(1):43–8.
2. Tangkudung G, Muliawan E, Pertiwi JM, Dompas A. Tatalaksana stroke iskemik akut
dengan trombolisis intravena: suatu serial kasus. J Sinaps. 2020;3(2):1–12.
3. Warner JJ, Harrington RA, Sacco RL, Elkind MSV. Guidelines for the early management
of patients with acute ischemic stroke 2019 update to the 2018 guidelines for the early
management of acute ischemic stroke. Stroke. 2019;50(12):3331–2.
4. Powers WJ, Rabinstein AA, Ackerson T, Adeoye OM, Bambakidis NC, Becker K, et al.
Guidelines for the Early Management of Patients With Acute Ischemic Stroke: 2019
Update to the 2018 Guidelines for the Early Management of Acute Ischemic Stroke: A
Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American
Stroke. Vol. 50, Stroke. United States; 2019. p. e344–418.
5. Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis
Bakterialis. Cdk-224. 2015;42(1):15–9.
6. Pemula G, Azhary R, Apriliana E, Dwi P. Ety dan Paulus | Penatalaksanaan yang Tepat
pada Meningitis Tuberkulosa J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember. J Unila.
2016;6(1).
7. Kemenkes R.I. A technical handbook for the management of rabies-borne animal bite
cases in Indonesia. Kemenkes RI. 2016;
8. Fabiana Meijon Fadul. TATALAKSANA DAN PENCEGAHAN INFEKSI RABIES
PADA KASUS GIGITAN ANJING PADA JARINGAN PERIOKULAR. 2019;0–14.
9. Tursinawati Y, Tajally A, Kartikadewi A. Buku Ajar Sistem Syaraf. Vol. 1, Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. 2015. 1–149 p.
10. Jaya HL, Aditya R. Pengelolaan Pasien Tetanus di Intensive Care Unit. Maj Anest dan
Crit Care [Internet]. 2018;36(3):114–21. Available from: http://journal.perdatin.org
11. Fadlan Fadilah Wahyu|Guillain-Barré syndrome: Penyakit Langka Beronset Akut yang
Mengancam Nyawa Medula. 2018. 8(12).113-115p.
12. Nandar, S. (2013). SINDROMA GUILLAIN-BARRE (GUILLAIN-BARRE SYNDROME)
(GBS). https://www.researchgate.net/publication/326447004

Anda mungkin juga menyukai