NIM : 201983019
1. Kegawatdaruratan Stroke
Stroke merupakan kondisi kegawatdaruratan yang harus segera diatasi dalam kurun
waktu 4,5 jam..1 Penatalaksanaan stroke biasanya dimulai dengan penanganan akut dalam
kondisi emergensi dan dilanjutkan dengan rehabilitasi pasien jangka panjang. Selain itu,
pemilihan jenis terapi juga dilihat dari waktu masuk layanan kesehatan dan onset dari
Beberapa hal yang harus dilakukan pada kasus stroke akut adalah:3
Pastikan jalan napas pasien aman jika intubasi tidak dapat dilakukan
posisi kepala mana yang lebih baik, apakah elevasi kepala atau tidak
Aspirin
24-48 jam setelah onset. Pada pasien yang mendapat r-tPA, pemberian aspirin
dilakukan setelah 24 jam. Pemberian aspirin pada stroke akut (<48 jam) dilaporkan
efektif dalam mengurangi angka kematian dan kejadian stroke. Dosis yang dapat
berhubungan dengan dosis yang diberikan. Perdarahan yang paling sering terjadi
Antikoagulan
kasus stroke akut. Antikoagulan tidak diindikasikan dan tidak berkaitan dengan
perbaikan luaran pasien stroke akut. Antikoagulan dapat diberikan pada pasien yang
Terapi Suportif
Pada pasien stroke, dokter perlu mengevaluasi apakah terdapat hipoglikemia atau
hiperglikemia, karena kedua kondisi ini memiliki gejala yang mirip dengan stroke.
Keadaan hipoglikemia dan hiperglikemia harus segera diatasi. Hipoglikemia dapat diatasi
stroke iskemik. Namun, bukti tentang efikasi kedua agen ini pada stroke sebenarnya
masih kontroversial.4
Antihipertensi
Pada aliran darah otak yang buruk, pembuluh darah pada otak kehilangan fungsi
tekanan tinggi intrakranial, serta identifikasi dan penanganan komplikasi seperti kejang.3
Penghentian Perdarahan
Dokter perlu mengidentifikasi apakah pasien memiliki diasthesis perdarahan. Jika pasien
labetalol merupakan pilihan untuk pengurangan tekanan darah inisial mengingat waktu
paruhnya yang pendek dan mudah dititrasi. Pemberian nitrat harus dihindari karena
oral disarankan untuk dimulai segera setelah pasien mampu mentoleransinya, untuk
1 gram/kg/30 menit, dilanjutkan dengan 0.25 gram/kg/30 menit selama 3-5 hari.
Penanganan Kejang
1.3 Rehabilitasi
Terapi rehabilitasi pada stroke dapat terdiri dari terapi bicara, fisioterapi, konseling
psikologi, dan terapi okupasi. Tim yang merawat pasien haruslah tim multidisiplin dengan
anggota meliputi, dokter, perawat, pekerja sosial, psikolog, terapis okupasi, fisioterapis, dan
pada gambar 2.1 Pemilihan antibiotik yang tepat adalah langkah yang krusial, karena
harus bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan dapat masuk ke CSS
dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera dimulai sambil menunggu
hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada temuan laboratorik. Pilihan
antibiotik empirik pada pasien MB harus berdasarkan epidemiologi lokal, usia pasien,
dan adanya penyakit yang mendasari atau faktor risiko penyerta. Antibiotik harus segera
diberikan bila ada syok sepsis. Jika terjadi syok sepsis, pasien harus diterapi dengan
cairan dan mungkin memerlukan dukungan obat inotropik. Jika terjadi peningkatan
Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan basil tahan asam
melalui apusan atau kultur, baik dari sputum, darah maupun CSS. Oleh karena itu, pada
kondisi seperti ini atau pada pasien dengan sakit berat dimana dicurigai tuberkulosis,
maka penilaian klinis dapat digunakan untuk memulai pemberian terapi empiris sembari
menunggu hasil akhir pemeriksaan seperti kultur yang membutuhkan waktu lama atau
yang sama, yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol selama 2 bulan fase
intensif dan rifampisin, isoniazid selama 4 bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Para ahli
tuberkulosis. Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus
1. Penanganan luka terbuka dan pencegahan infeksi lini pertama pada kasus gigitan
3. Sebelum dirujuk, penderita diinfus dengan cairan Ringer Laktat atau NaCl 0,9%.
tempat tidurnya.
7. Jika petugas medis atau paramedis yang merawat penderita rabies, belum pernah
dengan gejala klinis sindroma neurologis akut disertai koma dan perubahan status
mental, probable merupakan kasus suspect dengan riwayat interaksi dengan gigitan
Diagnosis dilakukan dengan PCR saliva/CSS/biopsi pada luka area bekas gigitan
dengan mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian makanan enteral atau
parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan mengatasi kejang. Intervensi
bebaskan jalan nafas, berikan O2 sesuai kebutuhan dan melakukan pemantauan secara
langsung yaitu memantau kondisi klinis klien berupa observasi keadaan atau tingkat
dikarenakan kejang pada ensefalitis biasanya berat maka diberikan fenobarbital 5-8
mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi maka perluh diberikan diazepam (0,1-0,2
dengan infus cairan D5-1/2 S atau D5-1/4 S (tergantung umur) dan pemberian oksigen,
mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh anoksia serebri
intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. pemberian dapat dilakukan
ulang setiap 8-12 jam. Selain itu dapat juga diberikan gliserol melalui pipa nasogastrik
0,5-1,0 ml/kgBB serta dapat diberikan kompres pada permukaan tubuh atau dapat juga
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh untuk mengurangi muatan bakteri dan
mg/ kgBB/ hari setiap 6 jam selama 7−10 hari. Lini kedua dapat diberikan prokain
penisilin dapat diberi tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berusia lebih dari 8
tahun).10
intramuskular dengan dosis total 3.000−10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan
diinjeksikan di tiga tempat berbeda. HTIG dengan dosis 100.000- 200.000 unit diberikan
50.000 unit intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian
60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan
ketiga.Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi
aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki
kekebalan.10
3. Terapi Suporatif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang
telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU agar
yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan
tenang. Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus
diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai penuntun
suctioning yang sering. Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan napas terutama jika
ada opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan.
Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot
respirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator. 10
3. Kegawatdaruratan GBS
Perawatan sebelum masuk rumah sakit pada pasien dengan sindroma Guillain-
Barre (GBS) meliputi jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi (ABCs). Bantuan nafas
mekanik kadang dibutuhkan dan pencegahan terhadap aspirasi makanan atau isi lambung
harus dilakukan jika otot orofaring terganggu. Indikasi pemberian oksigen dan bantuan
kardiovaskular secara ketat. Bisa didapatkan indikasi untuk dilakukan intubasi. Intubasi
harus dilakukan pada pasien yang mengalami kegagalan nafas derajat berapapun.
Indikator klinis untuk intubasi pada ED termasuk hipoksia, fungsi respirasi yang menurun
dengan cepat, batuk yang lemah, dan curiga adanya aspirasi. Pada umumnya, intubasi
terindikasi pada saat Forced vital capacity (FVC) kurang dari 15 ml/kg.10,11
Pasien harus dimonitor secara ketat untuk mengetahui perubahan tekanan darah,
denyut jantung, dan aritmia. Terapi jarang dibutuhkan untuk takikardia. Atropine
disautonomia, hipertensi paling baik diterapi dengan agen yang bekerja jangka pendek,
Pacing secara temporer dapat dibutuhkan pada pasien heart block derajat dua dan tiga.
dalam diagnosis.10,11
Konsultasikan pada tim ICU untuk evaluasi butuh tidaknya untuk dimasukkan ke
ICU. Keputusan untuk melakukan intubasi pada pasien GBS ditentukan berdasarkan
inspirasi, negative inspiratory force (NIF) kurang dari 20 atau forced vital capacity (FVC)
kurang dari 15cc/kg merupakan indikator untuk melakukan intubasi dan pemberian
ventilasi artifisial.10
mengurangi relaps dengan cara menghilangkan antibodi dan faktor imun yang berperan
dalam kerusakan saraf. Terapi imunoglobulin dalam dosis tinggi diadministrasi melalui
injeksi intravena dengan jumlah yang sedikit untuk membantu sistem imun melawan
awal dan terapi IVIG terbukti berguna pada pasien GBS. Pemberian glukokortikoid tidak
dan imunoglobulin intravena bisa menjadi terapi yang efektif, namun pasien bisa