Anda di halaman 1dari 27

A.

DEFINISI DEPRESI

Depresi adalah satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu
makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya,
serta bunuh diri (Kaplan, 2010). Depresi merupakan respon terhadap stres kehidupan.
Diantara situasi yang paling sering mencetuskan depresi adalah kegagalan di sekolah atau
pekerjaan, kehilangan orang yang dicintai dan menyadari bahwa penyakit atau penuaan
sedang menghabiskan kekuatan seseorang. Depresi dianggap abnormal hanya jika dalam
kurun waktu yang lama (Atkinson,1993).

Maramis (2005) memasukkan depresi sebagai gangguan afek dan emosi. Afek ialah nada
perasaan menyenangkan atau tidak (seperti kebanggaan, kekecewaan, dan kasih sayang),
yang menyertai suatu pikiran dan biasanya berlangsung lama serta kurang disertai oleh
komponen fisiologis. Sedangkan emosi merupakan manifestasi afek keluar dan disertai
oleh banyak komponen fisiologis, biasanya berlangsung relatif tidak lama (misalnya
ketakutan, kecemasan, depresi dan kegembiraan). Afek dan emosi dengan aspek-aspek
yang lain seorang manusia (umpama proses berpikir, psikomotor, persepsi, ingatan) saling
mempengaruhi dan menentukan tingkat fungsi dari manusia itu pada suatu waktu. Depresi
adalah suatu gangguan perasaan hati dengan ciri sedih, merasa sendirian, rendah diri, putus
asa, biasanya disertai tanda-tanda retardasi psikomotor atau kadang-kadang agitasi,
menarik diri dan terdapat gangguan fisiologis seperti insomnia dan anoreksia (Kaplan,
2010). Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh
hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Mood
adalah keadaan emosional internal yang meresap dari seseorang (Kaplan, 2010).

Maslim berpendapat bahwa depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh
defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik neurotransmiter (noradrenalin,
serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di Sistem Saraf Pusat (SSP) terutama pada sistem
limbik (Maslim, 2002).

B. EPIDEMOLOGI

Prevalensi penderita depresi di Indonesia diperkirakan 2,5 - 9 juta dari 210 juta jiwa
penduduk.9 Pada saat setelah pubertas resiko untuk depresi meningkat 24 kali lipat, dengan
20% insiden pada usia 18 tahun. Perbandingan gender saat anak-anak 1:1, denga
peningkatan resiko depresi pada wanita setelah pubertas, sehingga perbandingan pria dan
wanita menjadi 1:2. Hal ini berhubungan dengan tingkat kecemasan pada wanita tinggi,
perubahan estradiol dan testosteron saat pubertas, atau persoalan sosial budaya yang
berhubungan dengan perkembangan kedewasaan pada wanita.

Depresi sering terjadi pada wanita dengan usia 25-44 tahun, dan puncaknya pada
masa hamil. Faktor sosial seperti stres dari masalah keluarga dan pekerjaan. Hal ini
disebabkan karena harapan hidup pada wanita lebih tinggi, kematian pasangan mungkin
juga menyebabkan angka yang tinggi untuk wanita tua mengalami depresi. Penilaian gejala
depresi seperti perasaan sedih atau kekecewaan yang kuat dan terus menerus yang
mempengaruhi aktivitas normal, menunjukan prevalensi seumur hidup sebanyak 9-20%.(3)
Pada kriteria lain yang digunakan pada depresi berat, prevalensi depresi 3% untuk pria dan
4-9% untuk wanita. Resiko seumur hidup 8-12% untuk pria dan 20-28% untuk wanita.
Sekitar 12-20% pada orang yang mengalami episode akut berkembang menjadi sindrom
depresi kronis, dan diatas 15% pasien yang mengalami depresi lebih dari 1 bulan dapat
melakukan bunuh diri.

C. ETIOLOGI DEPRESI

Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi
menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.

a. Faktor biologi Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada


amin biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic
acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan
serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan
patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat
mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki
serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin
berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin
pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang
menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit dimana
konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala depresi.
Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan
bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010). Disregulasi neuroendokrin.
Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input
neuron yang mengandung neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi
ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat
kelainan fungsi neuron yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik
yang mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat
menimbulkan perubahan pada amin biogenik sentral. Aksis neuroendokrin yang
paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis
HPA merupakan aksis yang paling banyak diteliti (Landefeld et al, 2004).
Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada
pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem
umpan balik kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan pada sistem
monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010).
Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah
berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ utama
pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi
mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH
(Landefeld, 2004). Pada orang lanjut usia terjadi penurunan produksi hormon
estrogen. Estrogen berfungsi melindungi sistem dopaminergik negrostriatal
terhadap neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan methamphetamin. Estrogen
bersama dengan antioksidan juga merusak monoamine oxidase (Unutzer dkk,
2002).
Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat
mengalami kehilangan secara selektif pada sel – sel saraf selama proses menua.
Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang
hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di
dalam lokus seroleus, substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius (Lesler,
2001). Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur tentang
penurunan aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di dalam
otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada umur 80-
an tahun dibandingkan dengan umur 60-an tahun (Kane dkk, 1999).
b. Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara
anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat
(unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum.
Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar
monozigot (Davies, 1999). Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap depresi
tidak disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam
ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat
individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah
genetik.
c. Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah
kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial
yang diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada
umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah
hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara,
penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan
penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2010) Sedangkan menurut Kane, faktor
psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan
hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan
penyakit fisik (Kane, 1999). Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi
meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian,
psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan sosial
(Kaplan, 2010). Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan
yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan
mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa
kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan
bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi.
Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi
adalah kehilangan pasangan (Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang bersifat
akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya
kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal,
ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi (hardywinoto, 1999). Faktor
kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu,
seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai resiko
tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid
(kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai
resiko yang rendah (Kaplan, 2010). Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori
psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat
menimbulkan depresi (Kaplan, 2010). Dalam upaya untuk mengerti depresi,
Sigmud Freud sebagaimana dikutip Kaplan (2010) mendalilkan suatu hubungan
antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang
dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena identifikasi dengan
objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan cara satu-
satunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek, ia membedakan melankolia atau
depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan
harga diri yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela
diri sendiri, sedangkan orang yang berkabung tidak demikian. Kegagalan yang
berulang. Dalam percobaan binatang yang dipapari kejutan listrik yang tidak bisa
dihindari, secara berulang-ulang, binatang akhirnya menyerah tidak melakukan
usaha lagi untuk menghindari. Disini terjadi proses belajar bahwa mereka tidak
berdaya. Pada manusia yang menderita depresi juga ditemukan ketidakberdayaan
yang mirip (Kaplan, 2010). Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru
terhadap sesuatu, menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang
pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan.
Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010).

D. Patofisiologis Depresi

1. Teori Biologi
Telah dipikirkan selama berabad-abad bahwa setidaknya beberapa bentuk
depresi disebabkan oleh atau dipelihara oleh gangguan fungsi otak, dan sejak tahun
1960-an, telah dimungkinkan untuk mempelajari proses neurobiologis tertentu
yang terkait dengan etiologi dan patogenesis gangguan mood. Beberapa penelitian
telah menginformasikan penelitian di bidang ini. Pertama, heritabilitas gangguan
suasana perasaan telah menyarankan bahwa dasar-dasar neurobiologi depresi
mungkin terkait dengan gen tertentu. Kedua, pemahaman yang lebih rinci tentang
neurobiologi respons stres telah menginformasikan model stresdiatesis interaktif
dari kerentanan. Ketiga, penemuan generasi pertama penatalaksanaan "somatik"
(yaitu, ECT dan antidepresan TCA dan MAOI) pada tahun 1940-an dan 1950-an
menunjukkan target neurobiologis yang berpotensi reversibel untuk intervensi.
Metodologi untuk mempelajari neurobiologi gangguan suasana perasaan telah
berkembang lebih canggih, penelitian yang menggunakan indikator tidak langsung
dari fungsi otak, seperti kadar metabolit monoamine atau kortisolurin, plasma, atau
CSF, sebagian besar telah digantikan oleh penelitian yang dipandu secara translasi
dari transkrip gen dan proteomik. Demikian juga, pengukuran kasar fungsi regional
otak , seperti rekaman potensi yang ditimbulkan atau pola aktivitas
electroencephalographic (EEG) saat bangun dan tidur, sebagian besar telah
memberikan cara untuk strategi neuroimaging yang memungkinkan aktivitas
daerah atau sirkuit saraf tertentu untuk diperiksa saat istirahat dan selama tantangan
provokatif.(Sadock, 2017)
Perubahan dalam aktivitas saraf dan dalam efisiensi pemrosesan informasi
dalam masing-masing dari sebelas daerah otak yang ditunjukkan di sini dapat
menyebabkan gejala episode depresi besar. Fungsionalitas di setiap wilayah otak
secara hipotesis dikaitkan dengan konstelasi gejala yang berbeda. PFC, korteks
prefrontal; BF, otak depan basal; S, striatum; NA, nucleus accumbens; T, talamus;
Hy, hipotalamus; A, amygdala; H, hippocampus; NT, pusat neurotransmitter
batang otak; SC, sumsum tulang belakang; C, serebelum.(Stahl, 2013)(Sadock,
2017).
Tanda-tanda, gejala, dan pengalaman subjektif yang terkait dengan depresi
telah lama terkait disfungsi proses sistem saraf pusat dasar (SSP). Sehubungan
dengan fungsi kortikal, depresi melibatkan beberapa gangguan pemrosesan
informasi. Kebanyakan orang yang depresi secara otomatis menafsirkan
pengalaman dari perspektif negatif, dan aksesnya ke memori negatif. Keadaan
depresi yang lebih parah, kognisi dan keterampilan pemecahan masalah semakin
lengkapi dengan konsentrasi yang buruk dan menurunnya kemampuan untuk
menggunakan pemikiran abstrak. Sebuah monolog virtual pikiran dan gambar
negatif tampaknya berjalan dengan autopilot, dan, tidak seperti keadaan normal
kesedihan, ventilasi ke orang kepercayaan memiliki sedikit efek yang
menguntungkan. Pada kasus yang lebih ekstrim, delusi atau halusinasi, atau
keduanya, benar-benar mendistorsi pengujian realitas. Perubahan neurokognitif ini
menunjukkan disfungsi yang melibatkan hipokampus, korteksprefrontal(PFC),
amigdala dan struktur limbik lainnya. Karakteristik depresi berdasarkan biologis
lainnya melibatkan penurunan minat dan hilangnya reaktivitas suasana hati:
Aktivitas yang spontan, tujuan yang disutradarai menurun, dan peristiwa yang
seharusnya meningkatkan suasana perasaan memiliki sedikit atau tidak
berpengaruh sama sekali. Satu berkorelasi kehilangan minat adalah penurunan arti
penting penguatan. Bahkan fungsi dasar seperti nafsu makandan libido berkurang
dalam depresi berat. Anhedonia dan penurunan titik perilaku nafsu makan untuk
disfungsi sirkuit saraf yang terlibat dalam antisipasi dan penyempurnaan
penghargaan, yang melibatkan thalamus, hipotalamus, nukleus akumbens, anterior
cingulate, dan PFC.(Sadock, 2017)(Marwick K. ,2013)
Tingkat depresi yang lebih berat dan persisten, termasuk yang
diklasifikasikan sebagai gangguan depresi mayor, berhubungan dengan gangguan
neurobiologis yang luas, yang pada gilirannya terkait dengan setidaknya beberapa
perbedaan yang diamati dalam presentasi klinis dan respons terhadap perawatan
khusus. Beberapa gangguan lebih baik dipahami sebagai sifat, yang mungkin
diwariskan atau diperoleh, sedangkan yang lain jelas tergantung pada tingkatan dan
dapat dipulihkan dengan pengobatan atau remisi spontan. Beberapa kelainan yang
bergantung pada tingkatan terkait dengan gangguan depresi mayor, yang terjadi
lebih sering pada pasien yang lebih tua dengan gejala yang lebih berat, termasuk
peningkatan tidur faseRapid Eye Movements (REM), pemeliharaan tidur yang
buruk, hiperkortisolisme, gangguan imunitas seluler, penurunan aliran darah otak
anterior dan metabolisme glukosa, dan peningkatan metabolisme glukosa di
amigdala. Bersama-sama, perubahan ini tampaknya mencerminkan efek progresif
dari respons jangka pendek adaptif terhadap stres berkelanjutan. Begitu
bermanifestasi dalam bentuk ini, episode depresi berat atau depresi melankolis
cenderung lebih lama, lebih melumpuhkan, lebih mudah kambuh, dan lebih
mungkin mendapat manfaat dari farmakoterapi atau ECT (vis-à-vis nonspesifik
atau intervensi psikoterapi).(Sadock, 2017)(Friedman, 2014)
Hipotesis di neurotropik dari tingkat depresi dinyatakan bahwa depresi
dapat disebabkan oleh turunnya sintesis protein yang terlibat dalam neurogenesis
dan plastisitas sinaptik.Salah satu mekanisme kandidat yang telah diusulkan
sebagai tempat kemungkinan cacat dalam transduksi sinyal dari reseptor
monoamina dalam depresi adalah gen target untuk faktor neurotropik yang
diturunkan dari otak (BDNF). Biasanya, BDNF menopang kelangsungan hidup
neuron otak, tetapi di bawah tekanan, gen untuk BDNF dapat ditekan. Stres dapat
menurunkan level 5HT dan dapat meningkat secara akut, kemudian secara kronis
berkurang, baik NE dan DA. Perubahan neurotransmiter monoamine bersama
dengan jumlah BDNF yang kurang dapat menyebabkan atrofi dan kemungkinan
apoptosis neuron yang rentan di hippocampus dan area otak lainnya seperti
prefrontal cortex. Konsep tentang atrofi hippocampal yang telah dilaporkan
berkaitan dengan stres kronis dan depresi mayor dan berbagai gangguan
kecemasan, terutama PTSD. Untungnya, beberapa kehilangan neuronal ini bisa
reversibel. Yaitu, pemulihan transduksi sinyal transduksi yang berhubungan
dengan monoamine oleh antidepresan dapat meningkatkan BDNF dan faktor trofik
lainnya dan berpotensi mengembalikan sinapsis yang hilang. Di beberapa area otak
seperti hippocampus, tidak hanya dapat sinaps berpotensi dipulihkan, tetapi ada
kemungkinan bahwa beberapa neuron yang hilang bahkan mungkin digantikan
oleh neurogenesis.(Stahl, 2013).
Neuron dari daerah hipokampus dan amygdala biasanya menekan aksis
hipotalamushipofisis-adrenal, jadi jika stres menyebabkan neuron hippokampus
dan amigdala menjadi atrofi, dengan hilangnya input penghambatan ke
hipotalamus, ini dapat menyebabkan untuk overaktivitas sumbu HPA. Pada
depresi, kelainan pada aksis HPA telah lama dilaporkan, termasuk peningkatan
kadar glukokortikoid dan ketidakpekaan sumbu HPA terhadap penghambatan
umpan balik. Beberapa bukti menunjukkan bahwa glukokortikoid pada tingkat
tinggi bahkan bisa menjadi racun bagi neuron dan berkontribusi pada atrofi mereka
di bawah tekanan kronis. Pengobatan antidepresan baru dalam pengujian yang
menargetkan reseptor corticotropin-releasing factor 1 (CRF-1), reseptor vasopresin
1B, dan reseptor glukokortikoid, dalam upaya untuk menghentikan dan bahkan
membalikkan kelainan HPA ini pada depresi dan stres lainnya. terkait penyakit
kejiwaan.(Stahl, 2013).
Peningkatan aktivitas HPA adalah ciri respons stres mamalia dan salah
satu hubungan paling jelas antara depresi dan biologi stres kronis.
Hiperkortisolemia pada depresi menunjukkan satu atau lebih gangguan sentral
berikut: penurunan tonus 5-HT penghambatan; peningkatan drive dari NE, ACh,
atau CRH; atau penurunan inhibisi umpan balik dari hippocampus. Bukti
peningkatan aktivitas HPA terlihat pada 20 hingga 40 persen pasien rawat jalan
yang depresi dan 40 hingga 60 persen pasien rawat inap yang depresi. Pasien yang
lebih tua, terutama mereka dengan gangguan depresi yang sangat berulang atau
psikotik, adalah yang paling mungkin untuk menunjukkan peningkatan aktivitas
HPA. Meskipun hypercortisolism adalah salah satu korelasi biologis terbaik dari
melankolis atau depresi endogen, hampir tidak ada kelainan spesifik. Misalnya,
periode singkat kelaparan atau beberapa minggu kurang tidur secara parsial dapat
menyebabkan hiperkortisolisme pada orang yang sehat.(Sadock, 2017).
Subkelompok pasien depresi yang lebih besar (20 hingga 30 persen)
menunjukkan respons TSH yang tumpul terhadap tantangan TRH. Jenis respons
ini biasanya menunjukkan hipertiroidisme, namun beberapa pasien depresi
memiliki peningkatan hormon tiroid yang signifikan secara klinis. Respons TSH
yang tumpul pada orang eutiroid dapat diakibatkan oleh penurunan regulasi
hipofisis akibat peningkatan TRH ―drive.‖ Karena neuron yang mengandung
TRH telah diidentifikasi dalam berbagai daerah kortikal, kelainan ini mungkin
memiliki asal suprahypothalamic. Peningkatan sekresi TRH sentral, pada
gilirannya, dapat dihasilkan dari respon homeostasis terhadap penurunan
neurotransmisi noradrenergik. Manfaat terapeutik terapi ajuvan dengan 1-
triiodothyronine (T3) atau hormon tiroid lainnya dapat dimediasi oleh peredam
respon homeostasis yang gagal ini. Kelainan ini mungkin paling umum pada
individu yang memiliki kemampuan untuk mengubah tiroksin menjadi T3.
Implikasi terapeutik utama dari respons TSH yang tumpul adalah bukti
peningkatan risiko kambuh meskipun terapi antidepresan preventif. Dari catatan,
tidak seperti tes penekanan deksametason (DST), respons TSH tumpul terhadap
TRH sering tidak menormalkan dengan pengobatan yang efektif.(Sadock, 2017)

2. Teori kognitif
Teori belajar telah lama menjadi cabang psikologi perilaku. Aaron Beck,
menemukan bahwa teori psikoanalitik tidak cukup menjelaskan mimpi pasien
depresi, mengembangkan teori depresi berdasarkan mendidik pasien tentang
pemikiran negatifnya, atau kognisi. Beck dan rekannya kemudian berhasil menguji
CBT, sebuah perawatan yang dibangun di atas teori ini, dalam uji klinis. Model
kognitif didasarkan pada pengakuan bahwa orang tidak objektif; sebaliknya,
persepsi idiosinkratik individu tentang peristiwa memengaruhi emosi dan
perilakunya. Individu yang depresi merasakan realitas dengan cara tertekan yang
subjektif. Pembahasan yang rumit tentang teori kognitif ada, dan penjelasan
kognitif telah diperpanjang dari asal depresif awal mereka ke berbagai
psikopatologi. Brad Alford dan Beck berpendapat bahwa teori kognitif
memberikan paradigma yang komprehensif dan koheren untuk psikopatologi.
Observasi awal Beck tentang depresi besar memiliki arti-penting dan
kesederhanaan yang patut diulang. Dia mencatat bahwa pasien yang depresi
cenderung memiliki pikiran miring dan negatif tentang :
 diri mereka sendiri,
 lingkungan mereka, dan
 masa depan, suatu klaster yang ia disebut trias kognitif.

Teori kognitif telah mengeksplorasi bentuk serta isi karakteristik berpikir


pasien depresi. Tidak hanya kognisi yang condong ke negatif dan pesimis, tetapi
jenis distorsi tertentu terjadi. Orang yang depresi cenderung terlibat dalam "semua
atau tidak sama sekali," pemikiran dikotomi: Jika segala sesuatu tidak sepenuhnya
satu arah, maka mereka harus menjadi lawan. Individu yang depresi membuat
kesimpulan yang tidak berdasarkan akal sehat (negatif) tentang peristiwa, secara
selektif mendeskripsikan detail negatif di luar konteks, generalisasi berlebihan
(menyimpulkan aturan negatif dari satu kejadian), memperbesar (negatif) dan
meminimalkan (yang positif), dan mengambil peristiwa pribadi yang mungkin
tidak secara langsung tentang mereka. Terapi kognitif, penatalaksanaan yang
mengikuti dari pendekatan ini, termasuk diskusi Socrates dan evaluasi pikiran
pasien, menimbang bukti yang mendukung dan bertentangan dengan pemikiran
tersebut. Pasien secara aktif menguji hipotesis berdasarkan pemikiran otomatis
(―Saya akan gagal pada apa pun yang saya lakukan‖) dengan mencoba berbagai
perilaku yang dipilih sebagai pekerjaan rumah. Ketika pasien belajar untuk
mengenali sifat irasional dari pemikiran depresif, dia dapat menantang dan bukan
sekadar memercayainya dan dapat mulai memadamkan pemikiran tersebut,
menggantikan pemikiran irasional otomatis dengan tanggapan rasional. Hasil
penelitian berulang kali menunjukkan bahwa pendekatan ini berkhasiat dalam
mengobati gangguan mood dan sindrom kejiwaan nlainnya.(Sadock, 2017),
(Friedman, 2014)

Memang, individu yang depresi sering melaporkan pemikiran negatif


tentang diri mereka sendiri: "Saya pecundang," "Semua yang saya lakukan salah,"
"Saya lemah dan rusak." Lingkungan tampak bermusuhan dan luar biasa: "Bahkan
jika saya merasa mampu— yang tidak saya lakukan — tidak mungkin saya bisa
mengatasi apa yang harus saya lakukan ‖; ―Teman-teman saya akan bereaksi
buruk jika saya mencoba berbicara‖; ―Dia akan menolak saya.‖ Akhirnya, bukan
hanya hal-hal yang terlihat suram di masa sekarang, tetapi tidak ada prospek yang
melegakan di masa depan: ―Tidak akan pernah menjadi lebih baik.‖ Ketiga aspek
dari perspektif negatif ini bertemu untuk menyediakan secara meyakinkan,
pandangan dunia yang suram dan putus asa. Pandangan ini membantu menjelaskan
mengapa pasien depresi tidak melihat jalan keluar dari kesengsaraan dan
memikirkan untuk bunuh diri. Model kognitif, yang dikembangkan oleh Aaron
Beck di University of Pennsylvania, berhipotesis bahwa berpikir sepanjang garis
negatif (misalnya, berpikir bahwa seseorang tidak berdaya, tidak layak, atau tidak
berguna) adalah ciri khas depresi klinis. Akibatnya, depresi didefinisikan ulang
dalam hal trias kognitif, yang menurut pasien menganggap diri mereka tidak
berdaya, menafsirkan sebagian besar peristiwa yang tidak menguntungkan vis-à-
vis the self, dan percaya masa depan menjadi putus asa. Dalam formulasi terbaru
dalam psikologi akademis, kognisi ini dikatakan dicirikan oleh gaya atribusi
negatif yang bersifat global, internal, dan stabil dan yang ada dalam bentuk skema
mental laten yang menghasilkan interpretasi bias dari peristiwa kehidupan. Karena
model kognitif didasarkan pada pengamatan retrospektif dari orang yang sudah
depresi, hampir tidak mungkin untuk membuktikan bahwa atribusi kausal seperti
skemata mental negatif mendahului dan, oleh karena itu, predisposisi untuk depresi
klinis; mereka dapat dengan mudah dianggap sebagai manifestasi subklinis
depresi. Kepentingan teoritis dari model kognitif terletak pada jembatan
konseptual yang disediakan antara model depresi egopsikologis dan perilaku. Hal
ini juga menyebabkan sistem psikoterapi baru dan diterima secara luas yang
mencoba untuk mengubah gaya atribusi negatif, untuk meringankan keadaan
depresi, dan, akhirnya, untuk membentengi pasien dari penyimpangan di masa
depan menjadi berpikir negatif, putus asa, dan depresi.(Sadock, 2017).(Friedman,
2014)

3. Teori interpersonal
Teori interpersonal berasal dari era setelah Perang Dunia II, ketika muncul
sebagai respons sesat terhadap penekanan psikoanalisis yang lebih intrapsikis.
Teori psikoanalitik menekankan pentingnya pengalaman hidup awal, dan banyak
terapis pada waktu itu melihat struktur psikis pasien sebagai dasarnya dibentuk
pada akhir masa remaja. Psikiater seperti Adolf Meyer, Harry Stack Sullivan, Erich
Fromm, dan Frieda Fromm-Reichmann menantang teori saat ini dengan
menekankan pengaruh dampak nyata dari peristiwa kehidupan saat ini pada
psikopatologi pasien mereka, yang berfokus pada pertemuan lingkungan dan
interpersonal daripada intrapsychic yang mendasarinya. drive dan struktur.
Sullivan menciptakan istilah "interpersonal" sebagai rubrik untuk
mempertimbangkan pengalaman hidup saat ini. Dia meneliti komunikasi di bidang
sosial, pandangan yang lebih "eksternal" daripada psikoanalisis tradisional. Para
peneliti mengembangkan sejumlah data terkait tentang masalah interpersonal yang
terkait dengan depresi. Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa dukungan
antarpribadi melindungi seseorang terhadap depresi: Memiliki orang yang dapat
dipercaya untuk berbicara mengurangi risiko mengembangkan episode depresi.
Pemicu utama kehidupan, termasuk kematian orang lain yang signifikan,
perjuangan dalam hubungan penting, dan pergolakan seperti perubahan status
perkawinan, perumahan, status pekerjaan, atau kesehatan fisik telah terbukti
meningkatkan risiko episode depresi pada individu yang rentan. Selain itu, onset
episode depresif menyebabkan kerusakan dalam hubungan dan fungsi sosial. John
Bowlby mendalilkan bahwa orang-orang memiliki dorongan insting yang
evolusioner untuk membentuk ikatan emosional. Bukti binatang sekarang
mendukung teori ini. Komponen dasar dari sifat manusia ini menjamin
kelangsungan hidup bayi: Anak-anak harus memiliki orang tua terdekat atau
tersedia untuk makan dan perlindungan. Ketika anakanak berkembang, mereka
mulai mengeksplorasi lingkungan mereka, secara bertahap bergerak keluar dari
"basis aman" dari sosok lampiran mereka. Gangguan dalam hubungan pengasuhan
awal ini dapat menyebabkan kerentanan gaya lampiran. Misalnya, kehilangan ibu
seseorang di dekade pertama kehidupan telah terbukti menjadi faktor risiko untuk
depresi berikutnya. Anak-anak dengan keterikatan masa kecil yang tidak aman
mungkin tidak belajar untuk meminta bantuan dari orang lain. Ketika individu yang
rentan menghadapi stressor atau merasa tidak adanya atau tidak memadainya
dukungan interpersonal selama masa stres, mereka mungkin tidak berdaya untuk
merespons secara efektif dan rentan untuk mengembangkan gejala. Lebih jauh lagi,
individu dengan gaya keterikatan yang tidak aman mungkin mengalami kesulitan
dalam mengembangkan hubungan yang nyaman di mana mereka dapat
mengandalkan dukungan pada saat dibutuhkan.(Sadock, 2017),(Friedman, 2014)

4. Teori Psikoanalitik
Fitur umum untuk banyak teori psikoanalitik depresi termasuk perasaan
kerentanan narsistik yang indah yang berasal dari berbagai sumber, termasuk
kehilangan awal atau pengalaman dengan orang tua dirasakan sebagai traumatis
unempathic, frustasi, atau menolak. Rasa tidak berdaya atau ketidakmampuan
dalam kaitannya dengan pengalamanpengalaman ini, disertai fantasi kerusakan
atau pengebirian, dapat berkontribusi pada kerentanan ini. Kerusakan yang
dihasilkan dalam regulasi self-esteem adalah umum untuk semua pasien yang
depresi, yang rentan terhadap citra diri yang tidak mudah dicintai, rusak, atau tidak
memadai. Pasien depresi merasa bahwa mereka gagal memenuhi ambisi mereka
atau nilai moral mereka dalam ego ideal, mekanisme intrapsik yang memicu rasa
bersalah dalam depresi. Banyak psikoanalis yang berhipotesis bahwa agresi yang
diakibatkannya terhadap orangtua yang frustasi, atau terhadap diri sendiri sebagai
rusak, berkontribusi secara meyakinkan terhadap kecenderungan terhadap depresi.
Pada pasien yang depresi, agresi sebagian besar diarahkan sendiri. Rasa bersalah
(sadar atau tidak sadar) atau rasa malu secara teoretis dihasilkan dari perasaan
gagal yang dirasakan pasien, dengan perasaan diri yang berkurang. Kesulitan
dalam pengaturan harga diri berkontribusi pada representasi diri menjadi "buruk"
atau memalukan di luar kendali, memperparah masalah asli dalam lingkaran
setan.(Sadock, 2017)(Friedman, 2014).
 Respon terhadap kehilangan / Kemarahan ke Dalam Pemahaman psikoanalitik
klasik tentang depresi dinyatakan oleh Karl Abraham, Freud, dan Sandor Rado dan
menekankan reaksi pasien yang depresi terhadap kehilangan objek, dalam
kenyataan atau dalam fantasi. Dalam formulasi-formulasi ini, respons yang sangat
besar terhadap kehilangan diyakini terjadi sebagian karena kerugian saat ini
memicu kerugian sebelumnya, kehilangan masa kanak-kanak, juga baik dari alam
fantasi atau realitas. Para penulis ini mencatat hubungan objek ambivalen atau
bermusuhan pasien yang lemah, bersama dengan lampiran objek yang ditandai
oleh ketergantungan berlebihan, ditandai dengan penekanan pada kebutuhan
kepuasan dalam hubungan emosional. Depresi besar hanya terjadi setelah ikatan
ke objek hancur. Dalam Mourning and Melancholia, Freud menyoroti cara di mana
pasien depresi secara irasional menyerang diri mereka sendiri. Dalam
formulasinya, ini terjadi karena aspek objek ambivalen menjadi terinternalisasi,
atau dimasukkan, ke dalam rasa diri pasien, dan permusuhan yang diarahkan ke
objek justru diarahkan pada diri. Keadaan ini berfungsi untuk mempertahankan
hubungan dengan orang lain (objek) dalam kenyataan.
 Merasa bersalah (Guilt)
Melanie Klein mendalilkan bahwa pasien yang depresi takut bahwa mereka tidak
dapat melindungi "yang lain" yang diidealkan, atau yang baik, yang diinternalisasi
dari kerusakan, impuls yang penuh kemarahan. Meskipun menekankan sisi yang
berbeda dari depresi mayor, pandangan ini bertepatan dengan fokus Freud pada
penghancuran ikatan objek pada depresi mayor. Akibatnya, karakteristik pasien
depresi yaitu rasa bersalah, penghambatan, dan berkembangnya superego yang
menghukum. Namun, tidak semua depresi ditandai oleh rasa bersalah yang
berlebihan, dan deskripsi Klein hanya berlaku untuk subset pasien ini. Klein juga
menyoroti bahaya bahwa pasien yang depresi memprediksikan ―kemenangan‖
atas orang tua atau saudara kandung melalui kesuksesan hidup apa pun:
Keberhasilan dialami sebagai penghinaan yang agresif terhadap orang yang
dicintai atau sebagai perusakan kepada orang lain. Klein berteori bahwa idealisasi
dan devaluasi adalah "pertahanan manik" melawan rasa bersalah dan rasa
kehilangan yang dialami dalam depresi.
 Penurunan dalam Regulasi Self-Esteem
Ciri umum pasien dengan depresi berat adalah hilangnya harga diri. Namun
kehilangan harga diri dapat terjadi tanpa adanya depresi. Edward Bibring tidak
setuju dengan formulasi Klein yang menekankan pentingnya superego hukuman
dan berpendapat bahwa konflik tentang agresi dan kehilangan objek adalah
penentu sekunder dalam depresi. Dia memandang depresi sebagai akibat dari
perasaan tidak berdaya, gangguan harga diri, dan kemarahan yang diarahkan
sendiri yang dipicu oleh kegagalan untuk hidup sesuai dengan aspirasi narsistik
dari setiap fase perkembangan.Brenner menyatakan bahwa fantasi-fantasi ini
disertai dengan agresi reaktif terhadap orang-orang yang disalahkan atas pengaruh
menyakitkan, dengan konsekuensi rasa bersalah. Banyak psikoanalis kontemporer
memperkuat model-model ini dalam pemahaman mereka tentang depresi,
sementara mengakui pentingnya regulasi harga diri yang lemah. Edith Jacobson
menekankan pengembangan representasi diri dan objek pada pasien depresi. Dia
mencatat kekecewaan pasien depresi dengan angka orang tua, yang mengakibatkan
devaluasi dan degradasi citra mereka dan representasi diri, terutama ketika
pemisahan yang matang belum tercapai.
 Kekurangan dari Caregiver Awal
Psikoanalis telah memberikan pribadi, wajah intrapsikik ke pengamatan
epidemiologi terkenal tentang hubungan antara depresi orangtua (terutama ibu) dan
depresi berikutnya pada anak-anak. Hans Kohut menggambarkan depresi terkait
dengan pengalaman kekosongan mendalam pada pasien yang orang tuanya tidak
dapat berempati dengan pengalaman afektif awal mereka. Begitulah yang terjadi,
karena banyak orang tua dari pasien yang depresi itu sendiri mengalami depresi.
Pasien-pasien ini mendambakan hubungan kompensasi (hubungan "selfobject",
pengalaman mirroring, dan hubungan idealisasi), membuat mereka rentan terhadap
kekecewaan, karena hubungan nyata tidak dapat memenuhi fantasi kompensasi
ini.(Sadock, 2017)(Friedman, 2014).

E. FAKTOR RESIKO

Orang-orang dari berbagai usia bisa terpengaruh pada depresi. Alasan


berkembangnya depresi bisa berbeda-beda pada setiap individu. Depresi bisa berkembang
karena faktor fisik, psikologis, lingkungan, dan genetik. Kadang-kadang, penyebab
pastinya tidak diketahui.

Faktor fisik

Perubahan di otak karena berbagai penyakit, misalnya, infeksi, hipotiroidisme dan trauma,
dan penyalahgunaan minuman beralkohol atau obat-obatan bisa menyebabkan depresi.

Faktor psikologis

1) Kecemasan yang terkait dengan kesehatan, pengalaman menyakitkan yang


menyebabkan pikiran dan emosi negatif

2) Sifat kepribadian tertentu, seperti terlalu stres atau keras kepala

Faktor lingkungan

Tekanan hidup dan di tempat kerja, masalah keuangan, kehilangan pekerjaan, tujuan yang
tidak tercapai, masalah kerja atau sekolah, trauma cinta, masalah perkawinan, konflik
keluarga, masalah dalam hubungan, penyakit anggota keluarga, beban keluarga, anak-anak
tumbuh dewasa dan meninggalkan rumah, dll.

Faktor genetik

Depresi kadang-kadang bisa menurun dalam keluarga. Jika Anda memiliki riwayat medis
keluarga yang terkait dengan gangguan depresi, Anda cenderung akan terkena penyakit ini.
F. KLASIFIKASI

Menurut PPDGJ III, kriteria diagnosis episode depresif (F32) adalah sebagai berikut:

 Gejala utama ( pada derajat ringan, sedang, dan berat) :


1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah ( rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja ) dan
menurunnya aktivitas.
 Gejala Lainnya :
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan psimistik
5) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganggu

Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat ∑ Kategori
diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat (F32.2) hanya
digunakan untuk episode depresif tunggal (yang pertama). Episode depresif berikutnya
harus diklasifikasikan dibawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-).

1. Episode Depresif Ringan


 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
tersebut diatas
 Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: 1) sampai dengan 2).
 Tidak boleh ada gejala berat diantaranya.
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu.
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.
2. Episode Depresif Sedang
 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
episode depresi ringan.
 Ditambah 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya.
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 Minggu.
 Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga,.
3. Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
 Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di
antaranya harus berintensitas berat.
 Bila ada gejala penting ( misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian
secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapa dibenarkan.
 Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka
masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang
dari 2 minggu.
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.

4. Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik


 Episode depresif berat yang memenuhi kriteri menurut F32.2 tersebut
diatas.
 Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham malapetaka yang
mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi
auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau
menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor
yang berat dapat menuju stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi
dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek (mood-
congruent).
G. TANDA/GEJALA DAN DIAGNOSE

1. Gejala
Gejala-gejala depresi terjadi minimal selama dua minggu. Beberapa penderita bisa
menderita depresi yang cukup parah sehingga mengganggu aktivitas sehari-
harinya. Misalnya dalam pekerjaan, disekolah, aktivitas sosial, atau dalam
berinteraksi dengan orang lain. Sebagian penderita lainnya juga dapat merasa tidak
bahagia tanpa tahu alasannya.
The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke-5 (DSM-5)
adalah panduaan yang banyak digunakan dalam mendiagnosis kelainan mental.
Menurut panduan tersebut, penyakit depresi dapat diderita seseorang jika ia
minimal mengalami 5 dari gejala-gejala berikut ini :
 Perasaan murung/tertekan hamper sepanjang hari, terutama dipagi hari.Rasa lelah
atau kehilangan energihampir setiap hari.
 Perasaan tidak berguna atau bersalah hamper setiap hari.
 Gangguan konsentrasi, ketidakyakinan.
 Mengalami susah tidur atau bahkan tidur berlebihan.
 Berkurangnya minat dan ketertarikan pada semua aktivitas.
 Pikiran akan kematiaan atau keinginan bunuh diri yang muncul berulang kali.
 Rasa gelisah atau menjadi lamban.
 Penurunan atau kenaikan berat badan yang signifikan.

2. Diagnosis
Diagnosis depresi dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan status
mental. Diagnosis gangguan depresi dapat ditegakkan apabila pasien memenuhi
kriteria diagnosis sesuai klasifikasi gangguan depresi.[3-5,15]
3. Anamnesis
Pasien–pasien dengan depresi umumnya mengeluhkan gejala seperti:
Gejala emosional
 Perasaan sedih
 Rasa tertekan
 Anhedonia
 Mudah menangis
 Ansietas

Gejala kognitif
 Sulit konsentrasi
 Mudah lupa
 Pikiran bersalah
 Putus asa/hopelessness
 Perasaan tidak berharga/worthlessness

Gejala neurovegetatif

 Hipersomnia
 Insomnia
 Anoreksia
 Hiperfagia
 Retardasi/agitasi psikomotor

Gejala somatik

 Keluhan gastrointestinal: konstipasi, diare, kembung, mual, muntah, nyeri


 Keluhan kardiovaskular : nyeri dada, dyspnea, palpitasi
 Keluhan reproduksi : gangguan menstruasi, masalah seksual
 Keluhan lainnya : pusing, lelah, sakit kepala, mialgia, nyeri sendi, nyeri
pinggang

4. Status Mental
Pemeriksaan status mental dilakukan untuk mengobservasi tanda-tanda
depresif yang dapat mendukung anamenesis. Pasien depresi umumnya
menunjukkan:

 Alam perasaan/mood: distimia atau hipotimia


 Afek datar atau tumpul atau terbatas
 Pembicaraan sedikit, monoton
 Tidak ada gangguan persepsi
 Fungsi intelektual dan kognitif dapat terganggu apabila terdapat penyebab
organik
 Proses pikir umumnya tidak terganggu
 Pengendalian impuls terganggu: umumnya dapat membahayakan diri sendiri
ataupun orang lain
 Tilikan dapat baik ataupun tidak

H. PROGNOSIS

Gangguan depresi mayor adalah suatu penyakit yang mempunyai potensi


morbiditas dan mortalitas yang signifikan, karena depresi bisa menyumbang kepada
terjadinya kasus bunuh diri, salahguna obat, gangguan hubungan interpersonal, dan
kehilangan masa kerja. Suatu studi dari WHO dan WB menemukan gangguan depresi
mayor merupakan penyebab keempat terbanyak yang menyumbang kepada kecacatan di
seluruh dunia, dan angka ini dijangka meningkat menjadi penyebab kedua terbanyak
menyebabkan kecacatan pada tahun 2020 (Bjornlund, 2010). Menurut National Alliance
on Mental Illness, gangguan depresi mayor merupakan penyebab utama terjadinya
kecacatan di Amerika Serikat dan beberapa negara maju lainnya. Tetapi dengan terapi
yang sesuai, 70-80% dari penderita gangguan depresi mayor bisa mencapai pengurangan
gejala secara signifikan, walaupun masih kirakira 50% dari penderita mungkin tidak
memberi respon pada permulaan terapi. 40% dari individu dengan gangguan depresi mayor
yang tidak diterapi selama 1 tahun akan terus termasuk dalam kriteria diagnosa, manakala
20% lainnya akan mengalami remisi. Remisi parsial dengan atau adanya riwayat gangguan
depresi mayor kronis akan menjadi satu faktor resiko untuk terjadinya episode rekuren dan
resisten terhadap terapi. Hasil pengobatan biasanya baik, tetapi tidak untuk semua
penderita. gangguan depresi mayor adalah satu penyakit dengan angka rekuren yang tinggi.
Bagi penderita gangguan depresi mayor yang mengalami episode depresi yang berulang,
terapi cepat dan berterusan diperlukan untuk mengelak terjadinya gangguan depresi mayor
kronis dan berterusan, hingga bisa menyebabkan seseorang penderita gangguan depresi
mayor itu perlu berterusan diterapi untuk jangka masa yang lama (National Institute of
Mental Health, 2008).

I. TATALAKSANA TERAPI

Tujuan terapi depresi adalah untuk mengurangi gejala depresi akut, meminimalkan
efek samping, memastikan kepatuhan pengobatan, membantu pengembalian ketingkat
fungsi sebelum depresi, dan mencegah episode lebih lanjut ( Sukandar dkk., 2008 ).
Banyaknya jenis terapi pengobatan, keefektivitan pengobatan juga akan berbeda – beda
antara orang yang satu dengan orang yang lain. Psikater biasanya memberikan medikasi
dengan menggunakan antidepresan untuk menyeimbangkan kimiawi otak penderita.Terapi
yang digunakan untuk pasien dipengaruhi oleh hasil evaluasi riwayat kesehatan serta
mental pasien ( Depkes, 2007 ) Untuk melakukan pengobatan pada pasien dengan
gangguan depresi mayor, ada 3 tahapan yang harus dipertimbangkan antara lain : a. Fase
akut, fase ini berlangsung 6 sampai 10 minggu. pada fase ini bertujuan untuk mencapai
masa remisi ( tidak ada gejala ). b. Fase lanjutan, fase ini berlangsung selama 4 sampai 9
bulan setelah mencapai remisi. pada fase ini bertujuan untuk menghilangkan gejala sisa
atau mencegah kekambuhan kembali. c. Fase pemeliharaan, fase ini berlangsung 12 sampai
36 bulan. Pada fase ini tujuannya untuk mencegah kekambuhan kembali.
a. Terapi non farmakologi

1) Psikoterapi

Psikoterapi adalah terapi pengembangan yang digunakan untuk menghilangkan


atau mengurangi keluhan – keluhan serta mencegah kambuhnya gangguan pola perilaku
maladatif (Depkes, 2007). Teknik psikoterapi tersusun seperti teori terapi tingkah laku,
terapi interpersonal, dan terapi untuk pemecahan sebuah masalah. Dalam fase akut terapi
efektif dan dapat menunda terjadinya kekambuhan selama menjalani terapi lanjutan pada
depresi ringan atau sedang. Pasien dengan menderita depresi mayor parah dan atau dengan
psikotik tidak direkomendasikan untuk menggunakan psikoterapi. Psikoterapi merupakan
terapi pilihan utama utuk pasien dengan menderita depresi ringan atau sedang (Teter et
al.,2007)

2) Electro Convulsive Therapy (ECT)

Electro Convulsive Therapy adalah terapi dengan mengalirkan arus listrik ke otak (Depkes,
2007). Terapi menggunakan ECT biasa digunakan untuk kasus depresi berat yang
mempunyai resiko untuk bunuh diri (Depkes, 2007). ECT juga diindikasikan untuk pasien
depresi yang tidak merespon terhadap obat antidepresan (Lisanby, 2007). Terapi ECT
terdiri dari 6 – 12 treatment dan tergantung dengan tingkat keparahan pasien. Terapi ini
dilakukan 2 atau 3 kali seminggu, dan sebaiknya terapi ECT dilakukan oleh psikiater yang
berpengalaman (Mann. 2005). Electro Convulsive Therapy akan kontraindikasi pada
pasien yang menderita epilepsi, TBC miller, gangguan infark jantung, dan tekanan tinggi
intra karsial (Depkes, 2007).

b. Terapi Farmakologi

Antidepresan adalah obat yang dapat digunakan untuk memperbaiki perasaan (mood) yaitu
dengan meringankan atau menghilangkan gejala keadaan murung yang disebabkan oleh
keadaan sosial – ekonomi, penyakit atau obat – obatan ( Tjay & Rahardja, 2007 ).
Antidepresan adalah obat yang digunakan untuk mengobati kondisi serius yang
dikarenakan depresi berat. Kadar NT (nontransmiter) terutama NE (norepinefrin) dan
serotonin dalam otak sangat berpengaruh terhadap depresi dan gangguan SSP. Rendahnya
kadar NE dan serotonin di dalam otak inilah yang menyebabkan gangguan depresi, dan
apabila kadarnya terlalu tinggi menyebabkan mania. Oleh karena itu antideresan adalah
obat yang mampu meningkatkan kadar NE dan serotonin di dalam otak ( Prayitno,2008 ).
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) merupakan obat terbaru dengan batas
keamanan yang lebar dan memiliki spektrum efek samping obat yang berbeda – beda. SSRI
diduga dapat meningkatkan serotonin ekstraseluler yang semula mengaktifkan
autoreseptor, aktivitas penghambat pelepasan serotonin dan menurunkan serotonin
ekstraseluler ke kadar sebelumnya. Untuk saat ini SSRI secara umum dapat diterima
sebagai obat lini pertama (Neal, 2006).

1) Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI).

Selective Serotonin Reuptake Inhibitor adalah obat antidepresan yang mekanisme


kerjanya menghambat pengambilan serotonin yang telah disekresikan dalam sinap (gap
antar neuron), sehingga kadar serotonin dalam otak meningkat. Peningkatan kadar
serotonin dalam sinap diyakini bermanfaat sebagai antidepresan (Prayitno, 2008). SSRI
memiliki efikasi yang setara dengan antidepresan trisiklik pada penderita depresi mayor
(Mann, 2005). Pada pasien depresi yang tidak merespon antidepresan trisiklik (TCA)
dapat diberikan SSRI ( MacGillvray et al., 2003). Untuk gangguan depresi mayor yang
berat dengan melankolis antidepresan trisiklik memiki efikasi yang lebih besar daripada
SSRI, namun untuk gangguan depresi bipolar SSRI lebih efektif dibandingkan antidepresan
trisiklik , hal ini dikarenakan antidepresan trisiklik dapat memicu timbulnya mania dan
hipomania ( Gijsman, 2004). Obat antidepresan yang termasuk dalam golongan SSRI
seperti Citalopram, Escitalopram, Fluoxetine, Fluvoxamine, Paroxetine, dan Sertraline
(Teter et al.,2007). Fluoxetine merupakan antidepresan golongan SSRI yang memiliki
waktu paro yang lebih panjang dibandingkan dengan anidepresan golongan SSRI yang
lain, sehingga fluoxetine dapat digunakan satu kali sehari (Mann, 2005). Efek samping
yang ditimbulkan Antidepresan SSRI yaitu gejala gastrointestinal ( mual, muntah, dan
diare), disfungsi sexsual pada pria dan wanita, pusing, dan gangguan tidur. Efek samping
ini hanya bersifat sementara (Teter et al., 2007).

2) Antidepresan Trisiklik (TCA)

Antidepresan trisiklik (TCA) merupakan antidepresan yang mekanisme kerjanya


menghambat pengambilan kembali amin biogenik seperti norepinerin (NE), Serotonin ( 5
– HT) dan dopamin didalam otak, karena menghambat ambilan kembali neurotransmitter
yang tidak selektif,sehingga menyebabkan efek samping yang besar ( Prayitno, 2008).
Antidperesan trisiklik efektif dalam mengobati depresi tetapi tidak lagi digunakan sebagai
obat lini pertama, karena efek sampingnya dan efek kardiotoksik pada pasien yang
overdosis TCA (Unutzer, 2007). Efek samping yang sering ditimbulkan TCA yaitu efek
kolinergik seperti mulut kering, sembelit, penglihatan kabur, pusing, takikardi, ingatan
menurun, dan retensi urin. Obat – obat yang termasuk golongan TCA antara lain
Amitripilin, Clomipramine, Doxepin, Imipramine, Desipiramine, Nortriptyline (Teter et
al., 2007).

3) Serotonin /Norepinephrin Reuptake Inhibitor (SNRI)

Antidepresan golongan Serotonin /Norepinephrin Reuptake Inhibitor (SNRI)


mekanisme kerjanya mengeblok monoamin dengan lebih selektif daripada antidepresan
trisiklik, serta tidak menimbulkan efek yang tidak ditimbulkan antidepresan trisiklik (
Mann, 2005). Antidepresan golongan SNRI memiliki aksi ganda dan efikasi yang lebih
baik dibandingkan dengan SSRI dan TCA dalam mengatasi remisi pada depresi parah (
Sthal, 2002). Obat yang termasuk golongan SNRI yaitu Venlafaxine dan Duloxetine. Efek
samping yang biasa muncul pada obat Venlafaxine yaitu mual, disfungsi sexual. Efek
samping yang muncul dari Duloxetine yaitu mual, mulut kering, konstipasi, dan insomnia
(Teter et al., 2007). 4) Antidepresan Aminoketon Antidepresan golongan aminoketon
adalah antidepresan yang memiliki efek yang tidak begitu besar dalam reuptake
norepinefrin dan serotonin. Bupropion merupakan satu – satunya obat golongan
aminoketon(Teter et al., 2007). Bupropion bereaksi secara tidak langsung pada sistem
serotonin, dan efikasi Bupropion mirip dengan antidepresan trisiklik dan SSRI (Mann,
2005). Bupropion digunakan sebagai terapi apabila pasien tidak berespon terhadap
antidepresan SSRI (Mann, 2005). Efek samping yang ditimbulkan Bupropion yaitu mual,
muntah, tremor, insomnia, mulut kering, dan reaksi kulit ( Teter et al., 2007). 5)
Antidepresan Triazolopiridin Trazodone dan Nefazodone merupakan obat antidepresan
golongan triazolopiridin yang memiliki aksi ganda pada neuron seratonergik. Mekanisme
kerjanya bertindak sebagai antagonis 5 – HT2 dan penghambat 5 – HT, serta dapat
meningkatkan 5 – HT1A .Trazodone digunakan untuk mengatasi efek samping sekunder
seperti pusing dan sedasi, serta peningkatan availabilitas alternatif yang dapat diatasi (
Teter et al., 2007). Efek samping yang ditimbulkan oleh Trazodone adalah sedasi, gagguan
kognitif, serta pusing. Sedangkan efek samping yang ditimbulkan Nefazodone yaitu sakit
kepala ringan, ortostatik hipotensi, mengantuk, mulut kering, mual, dan lemas ( Teter et
al., 2007). 6) Antidepresan Tetrasiklik Mirtazapin adalah satu – satunya obat antidepresan
golongan tetrasiklik. Mekanisme kerjanya sebagai antagonis pada presinaptic α2 –
adrenergic autoreseptor dan heteroreseptor, sehingga meningkatkan aktivitas
nonadrenergik dan seratonergik ( Teter et al., 2007). Mirtazapin bermanfaat untuk pasien
depresi dengan gangguan tidur dan kekurangan berat badan (Unutzer, 2007). Efek samping
yang ditimbulkan berupa mulut kering, peningkatan berat badan, dan konstipasi (Teter et
al., 2007). 7) Mono Amin Oxidase Inhibitor ( MAOI ) Mono Amin Oxidase Inhibitor
adalah suatu enzim komplek yang terdistribusi didalam tubuh, yang digunakan dalam
dekomposisi amin biogenik (norepinefrin, epinefrin, dopamin, dan serotonin) (Depkes,
2007). MAOI bekerja memetabolisme NE dan serotonin untuk mengakhiri kerjanya dan
supaya mudah disekresikan. Dengan dihambatnya MAO, akan terjadi peningkatan kadar
NE dan serotonin di sinap, sehingga akan terjadi perangsangan SSP (Prayitno, 2008).
MAOI memiliki efikasi yang mirip dengan antidepresan trisiklik. MAOI juga dipakai untuk
pasien yang tidak merespon terhadap antidepresan trisiklik (Benkert, 2002). Enzim pada
MAOI memiliki dua tipe yaitu MAO – A dan MAO – B. Kedua obat hanya akan digunakan
apabila obat – obat antidepresan yang lain sudah tidak bisa mengobati depresi ( tidak
manjur ). Moclobomida merupakan suatu obat baru yang menginhibisi MAO – A secara
ireversibel, tetapi apabila pada keadaan overdosis selektivitasnya akan hilang. Selegin
secara selektif memblokir MAO – B dan dapat digunakan sebagai antidepresan pada dosis
yang tinggi dan beresiko efek samping. MAO – B sekarang sudah tidak digunakan lagi
sebagai antidepresan ( Tjay & Rahardja, 2007 ). Obat – obat yang tergolong dalam MAOI
yaitu Phenelzine, Tranylcypromine, dan Selegiline. Efek samping yang sering muncul
yaitu postural hipotensi ( efek samping tersebut lebih sering muncul pada pengguna
phenelzine dan Tranylcypromine ), penambahan berat badan, gangguan sexual (penurunan
libido, anorgasmia) ( Teter et al., 2007).

c. Terapi Tambahan Digunakannya terapi tambahan yang untuk meningkatkan efek


antidepresan serta mencegah terjadinya mania. 1) Mood Stabilizer Lithium dan Lomotrigin
biasa digunakan sebagai mood stabilizer. Litium adalah suatu terapi tambahan yang efektif
pada pasien yang tidak memberikan respon terhadap pemberian monoterapi antidepresan.
Lomotrigin adalah antikonvulsan yang mereduksi glutamateric dan juga digunakan sebagai
agen terapi tambahan pada depresi mayor (Barbosa et al., 2003) dan juga digunakan untuk
terapi dan pencegahan relapse pada depresi bipolar (Yatham, 2004). Beberapa mood
stabilizer yang lain yaitu Valproic acid, divalproex dan Carbamazepin ini semua digunakan
untuk terapi mania pada bipolar disorder. Divalproex dan Valproate digunakan untuk
mencegah kekambuhan kembali (Mann, 2005). 2) Antipsikotik Antipsikotik digunakan
untuk meningkatkan efek antidepresan. Ada 2 macam antipsikotik yaitu typical antipsikotik
dan atypical antipsikotik. Obat – obat yang termasuk typical antipsikotik yaitu
Chorpromazine, Fluphenazine, dan Haloperidol. Antipsikotik typical bekerja memblok
dopamine D2 reseptor. Atypical antipsikotik hanya digunakan untuk terapi pada depresi
mayor resisten (Kennedy, 2003) dan bipolar depresi (Keck, 2005). Obat – obat yang
termasuk dalam Atypical antipsikotik clozapine, olanzapine, dan aripripazole (Mann,
2005).

( Dipiro et al., 2017)


DAFTAR PUSTAKA

Dipiro et al., 2017, Pharmacoteraphy 10th Edition, Mc Graw Hill Education.

Friedman, Edward S.; Anderson, Ian M, 2014. Handbook of Depression, second Edition.

London : Springer Healthcare, a part of Springer Science+Business Media.pp:1-29

Ellenbroek, Bart; Youn, Jiun, 2016. Affective Disorders in Gene-Environment

Interactions in Psychiatry, Nature, Nurture, Neuroscience. London : Elsevier Inc.

pp:173-183.

Isometsa, Erkki. 2014. Suicidal Behaviour in Mood Disorders-Who, When, and Why?,

CanJPsychiatry. 59(3). pp:120–130

Marwick,K; Birrel,M., 2013. The Mood (Affective) Disorders in Crash Course

Psychiatry, 4th Edition. Edinburgh : Elsevier Ltd. Pp:133-137

Stahl, Stephen M.; Muntner, Nancy, 2013. Mood Disorders in Stahl‘s Essential

Psychopharmacology, Neuroscientific Basis and Practical Application, 4th edition.

New York : Cambridge University Press. Pp:237-282

Sadock, Benjamin J.; Sadock, Virginia A.; et al, 2017. Mood Disorders in Comprehensive

Textbook of Psychiatry, Volume I/II, 10th edition. Philadelphia : Wolters Kluwer. pp:

4099-4403

APA, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition.

Washington DC : American Psychiatric Association. pp: 160-161

B.Mansur, Rodrigo; Brietzke, Elisa; McIntyre, Roger S., 2015. ―Is there Metabolic

Mood Syndrome? A review of the Relationship between obesity and mood

disorders. Neuroscience and Biobehavioral Reviews. J.neubiorev.12.017. pp:


Cosci, Fiammeta; Fava, Giovanni A.; Sonino, Nicoletta, 2014. Mood and Anxiety

Disorders as Early Manifestations of Medical Illness : A Systematic review.

Psychotherapy and Psychosomatics article. 84:22–29

Johnstone, Eve C; Owens, David Cunningham; et al, 2010. Mood Disorders in

Companion to Psychiatric Studies, 8th Edition. Edinburgh : Elsevier Ltd. Pp:427-

449

Serafini, Gianluca; Gonda, Xenia, et al, 2017. Possible predictors of Age at illness onset

and illness duration in a cohort study comparing younger adults and older major

affective patients. Journals of Affective Disorders (225). pp:691–701

Anda mungkin juga menyukai