Anda di halaman 1dari 19

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi Depresi
Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai
masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif,
gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta
bipolar (Ingram dkk, 1993).
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada
pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus
asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan dkk, 1992).
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka
orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan,
karena ia kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya (Ingram dkk, 1993).
1.2 Epidemiologi
Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup
sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10% perawatan primer
dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%.
Pada usia remaja didapatkan prevalensi 5% dari komunitas memiliki gangguan
depresif berat (Ismail dkk, 2010).
1. Jenis Kelamin
Perempuan 2x lipat lebih besar disbanding laki-laki. Diduga adanya perbedaan
hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor psikososial antara laki-laki dan
perempuan, dan model perilaku yang dipelajari tentang ketidakberdayaan (Ismail
dkk, 2010).
Pada pengamatan yang hampir universal, terdapat prevalensi gangguan
depresif berat yang dua kali lebih besar ada wanita dibandingkan dengan laki-laki
(Kaplan, 2010). Pada penelitian lain disebutkan bahwa wanita 2 hingga 3 kali
lebih rentan terkena depresi dibandingkan laki-laki (Akhtar, 2007). Walaupun
alasan adanya perbedaan tersebut tidak diketahui, alasan untuk perbedaan tersebut
didalilkan sebagai keterlibatan dari perbedaan hormonal, efek kelahiran,
perbedaan stressor psikososial dan model perilaku keputusasaan yang dipelajari
(Kaplan, 2010).

Pada penelitian yang dilakukan NIMH (2002) ditemukan bahwa prevalensi


yang tinggi pada wanita dibandingkan pria kemungkinan dikarenakan adanya
ketidakseimbangan regulasi hormon yang langsung mempengaruhi substansi otak
yang mengatur emosi dan mood contohnya dapat dilihat pada situasi PMS (Pre
Menstrual Syndrome). Untuk wanita yang telah menikah, depresi dapat diperparah
dengan masalah keluarga dan pekerjaan, merawat anak dan orangtua lanjut usia,
kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.
2. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara usia 20-50
tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia. Data
terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun.
Mungkin

berhubungan

dengan

meningkatnya

pengguna

alkohol

dan

penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut (Ismail dkk, 2010).


Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah
kira-kira 40 tahun, dimana 50% dari semua pasien mempunyai onset antara usia
20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat juga memiliki onset selama masa anakanak atau pada lanjut usia. Beberapa data epidemiologis menyatakan bahwa
insidensi gangguan depresif berat mungkin meningkat pada orang-orang yang
berusia kurang dari 20 tahun (Kaplan, 2010). Pada penelitian lain yang dilakukan
oleh Akhtar (2007) didapatkan bahwa tingkat prevalensi tertinggi terjadi pada
kelompok usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang terendah pada kelompok usia >75
tahun (4,3%), sementara data yang didapatkan dari NIMH (2002) menyebutkan
bahwa tingkat depresi terbanyak ditemukan pada kelompok usia >18

tahun

(10%).

3. Status Perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan
interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah. Wanita yang
tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk menderita depresi
dibandingkan dengan wanita yang menikah namun hal ini berbanding terbalik
untuk laki-laki (Ismail dkk, 2010).
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang
tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, pasangan yang bercerai atau
berpisah (Kaplan, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Akhtar (2007)

memperlihatkan bahwa prevalensi tertinggi dari depresi didapatkan pada pasangan


yang bercerai atau berpisah.
4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya
Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan depresi
berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan disbanding daerah perkotaan
(Ismail dkk, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Academy on An Aging
Society (2000) didapatkan data bahwa pada kelompok responden dengan
pendapatan rendah ditemukan tingkat depresi yang cukup tinggi yaitu sebesar
51%. Pada penelitian Akhtar (2007) ditemukan tingkat depresi terendah pada
kelompok pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar (9,1%) dan
sebaliknya tingkat depresi yang tertinggi ditemukan pada responden dengan
kelompok pendidikan yang lebih tinggi sebesar (13,4%). Walaupun hasil ini dapat
menjadi indikasi adanya perbedaan tingkat depresi pada tingkat pendidikan,
namun hal tersebut tidak memiliki korelasi positif dengan terjadinya gangguan
depresif (Kaplan, 2010).
1.3 Etiologi
Etiologi depresi terdiri dari:
1. Faktor genetik
Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan gangguan
bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak kembar, suatu bukti
adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga tersebut.
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam
perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan genetika
adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak mungkin untuk
menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan
memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada
sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak
saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresif berat berkemungkinan 2
sampai 3 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama (Kaplan, 2010;
Tomb, 2004).
2. Faktor Biokmia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam
metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin, serotonin

dan dopamine (Gambar 1.1). Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa selain
faktor neurotransmitter yang telah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain
yang dapat mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino
khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif, regulasi
neurendokrin dan neuroanatomis (Kaplan, 2010).
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama oleh
adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. Selain itu
kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood adalah
penurunan sekresi nocturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin terhadap
pemberian tryptophan, penurunan kadar dasar FSH (Follicle Stimullating
Hormon) dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada
laki-laki (Trisdale, 2003).

Gambar 1.1 Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter


Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:
a. Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin
pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui kadangkadang menimbulkan depresi lambat (Ingram dkk, 1993).
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun
dalam urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi dan
meningkat di saat mereka gembira (Ingram dkk, 1993).
b. Hipotesis Indolamin

Hipotesis

indolamin

membuat

pernyataan

serupa

untuk

5-

hidroxitriptamin (5 HT). metabolit utamnya asam 5-hidroksi indolasetat


(5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi, dan 5 HIAA rendah pada otak
pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang mempunyai efek antidepresi
meningkatkan 5HT otak (Ingram dkk, 1993).
3. Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan
kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason. Pasien
depresi resisten terhadap penekanan dexametason dan hasil abnormal ini
didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama pada pasien dengan depresi bipolar,
waham dan ada riwayat penyakit ini dalam keluarga (Ingram dkk, 1993).
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau
menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum menstruasi.
Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore. Hal ini
menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan faktor penting
dalam menentukan etiologi (Ingram dkk, 1993).
4. Faktor Kepribadian Premorbid
Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama
hidupnya, keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna. Kepribadian
depresi ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan kurang bersemangat.
Personalitas hipomania berperilaku lebih riang, energetik dan lebih ramah dari
rata-rata (Ismail dkk, 2010).
Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya dan dunia
luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres besar, mereka
cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog menyatakan bahwa mereka
yang mengalami gangguan depresif mempunyai riwayat pembelajaran depresi
dalam pertumbuhan perkembangan dirinya. Mereka belajar seperti model yang
mereka tiru dalam keluarga, ketika menghadapi masalah psikologik maka respon
mereka meniru perasaan, pikiran dan perilaku gangguan depresif. Orang belajar
dengan proses adaptif dan maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan dalam
kehidupannya di keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya. Faktor
lingkungan mempengaruhi perkembangan psikologik dan usaha seseorang
mengatasi masalah. Faktor pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita
mengapa masalah psikologik kejadiannya lebih sering muncul pada anggota
keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak dibesarkan dalam suasana pesimistik,

dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak biasa, maka anak itu akan
tumbuh dan berkembang dengan kerentanan tinggi terhadap gangguan depresif
(Ismail dkk, 2010).
5. Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak
peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan dan
mereka keluar dari lingkungan social. 80% serangan pertama depresi didahului
oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi hanya 50% pada serangan
berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada anak yang kehilangan
orang tua di masa kanak-kanak dibandingkan dengan populasi lainnya (Ingram
dkk, 1993).
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai, pekerjaan
tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit kronis dan
krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode gangguan depresif. Seringkali
kombinasi faktor biologik, psikologik dan lingkungan merupakan campuran yang
membuat gangguan depresif muncul (Ismail dkk, 2010).
Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa peristiwa
kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama
gangguan mood daripada episode selanjutnya (Kaplan, 2010; Slotten, 2004). Satu
teori yang diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress
yang menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang
bertahan lama. Perubahan yang bertahan lama tersebut dapat meyebabkan
perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem pemberi
sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan tersebut akan menyebabkan
seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita episode gangguan
mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stresor external (Kaplan, 2010).
1.4 Klasifikasi
1. Episode Depresif
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di bawah
ini: ringan, sedang dan berat, individu biasanya menderita suasana perasaan
(mood) yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya
energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya
aktivitas. Biasanya ada rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja. Gejala
lazim lainnya adalah (Depkes RI, 1993):
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang

b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang


c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada episode
d.
e.
f.
g.

tipe ringan sekalipun)


Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
Tidur terganggu
Nafsu makan berkurang
Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit dari hari ke

hari, dan sering kali tak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, namun dapat
memperlihatkan variasi diurnal yang khas seiring berlalunya waktu. Sebagaimana
pada episode manik, gambaran klinisnya juga menunjukkan variasi individual
yang mencolok, dan gambaran tak khas adalah lumrah, terutama di masa remaja.
Pada beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan agitasi motorik mungkin pada
waktu-waktu tertentu lebih menonjol daripada depresinya, dan perubahan suasana
perasaan (mood) mungkin juga terselubung oleh cirri tambahan seperti iritabilitas,
minum alkohol berlebih, perilaku histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik atau
obsesif yang sudah ada sebelumnya, atau oleh preokupasi hipokondrik. Untuk
episode depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode
lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung
cepat (Depkes RI, 1993).
Beberapa di antara gejala tersebut di atas mungkin mencolok dan
memperkembangkan cirri khas yang dipandang secara luas mempunyai makna
klinis khusus. Contoh paling khas dari gejala somatik ialah kehilangan minat atau
kesenangan pada kegiatan yang biasanya dapat dinikmati, tiadanya reaksi
emosional terhadap lingkungan atau peristiwa yang biasanya menyenangkan,
bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih daripada biasanya, depresi yang lebih
parah pada pagi hari, bukti objektif dari retardasi atau agitasi psikomotor yang
nyata (disebutkan atau dilaporkan oleh orang lain), kehilangan nafsu makan secara
mencolok, penurunan berat badan (sering ditentukan sebagai 5% atau lebih dari
berat badan bulan terakhir), kehilangan libido secara mencolok. Biasanya,
sindrom somatik ini hanya dianggapp ada apabila sekitar empat dari gejala itu
pasti dijumpai (Depkes RI, 1993).
F32.0

Episode depresif ringan

Suasana perasaan mood yang depresif, kehilangan minat dan


kesenangan, dan mudah menjadi lelah biasanya dipandang sebagai gejala depresi
yang paling khas; sekurang-kurangnya dua dari ini, ditambah sekurangkurangnya dua gejala lazim di atas harus ada untuk menegakkan diagnosis pasti.
Tidak boleh ada gejala yang berat di antaranya. Lamanya seluruh episode
berlansung ialah sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu (Depkes RI, 1993).
Individu yang mengalami episode depresif ringan biasanya resah tentang
gejalanya dan agak sukar baginya untuk meneruskan pekerjaan biasa dan
kegiatan social, namun mungkin ia tidak akan berhenti berfungsi sama sekali
(Depkes RI, 1993).
F32.1
Episode depresif sedang
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala yang paling khas yang
ditentukan untuk episode depresif ringan, ditambah sekurang-kurangnya tiga
(dan sebaiknya empat) gejala lainnya. Beberapa gejala mungkin tampil amat
menyolok, namun ini tidak esensial apabila secara keseluruhan ada cukup banyak
variasi gejalanya. Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2
minggu (Depkes RI, 1993).
Individu dengan episode depresif taraf; sedang biasanya menghadapi
kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah
tangga (Depkes RI, 1993).
F32.2

Episode depresif berat tanpa gejala psikotik


Pada episode depresif berat, penderita biasanya menunjukkan

ketegangan atau kegelisahan yang amat nyata, kecuali apabila retardasi


merupakan ciri terkemuka. Kehilangan harga diri dan perasaan dirinya tak
berguna mungkin mencolok, dan bunuh diri merupakan bahaya nyata terutama
pada beberapa kasus berat. Anggapan di sini ialah bahwa sindrom somatik hampir
selalu ada pada episode dpresif berat.
Semua tiga gejala khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan
dan sedang harus ada, ditambah sekurang-kurangnya empat gejala lainnya, dan
beberapa diantaranya harus berintensitas berat. Namun, apabila gejala penting
(misalnya agitasi atau retardasi) menyolok, maka pasien mungkin tidak mau atau
tidak mampu utnuk melaporkan banyak gejalanya secara terinci. Dalam hal
demikian, penentuan menyeluruh dalam subkategori episode berat masih dapat
dibenarkan. Episode depresif biasanya seharusnya berlangsung sekurangkurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,

maka mungkin dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam waktu kurang dari
2 minggu.
Selama episode depresif berat, sangat tidak mungkin penderita akan
mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali
pada taraf yang sangat terbatas.
Kategori ini hendaknya digunakan hanya untuk episode depresif berat
tunggal tanpa gejala psikotik; untuk episode selanjutnya, harus digunakan
subkategori dari gangguan depresif berulang.
F32.3

Episode depresif berat dengan gejala psikotik


Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2

terssebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Wahamnya


biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien dapat merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi
auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh
atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat
menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan
sebagai serasi atau tidak serasi dengan suasana perasaan (mood).
Diagnosis banding. Stupor depresif perlu dibedakan dari skizofrenia
katatonik, stupor disosiatif, dan bentuk stupor organik lainnya. Kategori ini
hendaknya hanya digunakan untuk episode depresif berat tunggal dengan gejala
psikotik; untuk episode selanjutnya harus digunakan subkategori gangguan
depresif berulang.
F32.8

Episode depresif lainnya


Episode yang termasuk di sini adalah yang tidak sesuai dengan

gambaran yang diberikan untuk episode deprresif pada F32.0-F32.3, meskipun


kesan diagnostik menyeluruh menunjukkan sifatnya sebagai depresi. Contohnya
termasuk campuran gejala depresif (khususnya jenis somatik) yang berfluktuasi
dengan gejala non diagnostik seperti ketegangan, keresahan dan penderitaan; dan
campuran gejala depresif somatik dengan nyeri atau keletihan menetap yang
bukan akibat penyebab organik (seperti yang kadang-kadang terlihat pada
pelayanan rumah sakit umum).
F32.9
F33

Episode depresif YTT


Gangguan Depresif Berulang

Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari depresi


sebagaimana dijabarkan dalam episode depresif ringan, sedang, atau berat, tanpa
riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian suasana perasaan dan
hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania dan hiperaktivitas ringan yang
memenuhi kriteria hipomania segera sesudah suatu episode depresif (kadangkadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi). Usia dari onset,
keparahan, lamanya berlangsung, dan frekuensi episode dari depresi, semuany
sangat bervariasi. Umumnya episode pertama terjadi pada usia lebih tua
dibanding dengangangguan bipolar, dengan usia onset rata-rata lima puluhan.
Episode masing-masing juga lamanya antara 3 dan 12 bulan (rata-rata lamanya
sekitar 6 bulan) akan tetapi frekuensinya lebih jarang. Pemulihan keadaaan
biasanya sempurna di antara episode, namun sebagian kecil pasien mungkin
mendapat depresi yang akhirnya menetap, terutama pada usia lanjut (untuk
keadaan ini, kategori ini harus tetap digunakan). Episode masing-masing dalam
berbagai tingkat keparahan, seringkali dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang
penuh sters; dalam berbagai budaya, baik episode tersendiri maupun depresi
menetap dua kali lebih banyak pada wanita daripada pria.
Bagaimanapun seringnya seseorang pasien gangguan depresif berulang
mengalami episode depresif sebagai penderitaan, tidak mustahil baginya akan
mengalami episode manik. Jika ternyata terjadi episode manik, maka
diagnosisnya harus diubahmenjadi gangguan afektif bipolar.
1.5 Gejala
Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energy
adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih,
tidak mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak berharga. Emosi pada mood
depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita atau kesedihan yang normal
(Ingram dkk, 1993).
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan
minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati
atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas,
kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual
dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya
interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan (Ismail dkk, 2010).
Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain (Ingram dkk,
1993):

1. Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang mungkin


dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih. Biasanya dia menarik diri
dari kehidupan sosialnya. Segala sesuatu kelihatannya tanpa harapan, selalu
murung, ansietas mungkin ada atau pasien mungkin mencoba untuk
menyembunyikan keluhannya (depresi senyum).
2. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini hari dan
membaik di siang hari.
3. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh diri sulit
diduga sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan. Pikiran bunuh diri
seharusnya selalu ditanyakan dan jika ada harus dianggap serius. Penderita depresi
jarang membunuh keluarganya, tetapi kalau terjadi biasanya karena dia merasa
harus menyelamatkan keluarganya dari kehidupan yang sengsara.
4. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan dalam
pembicaraan serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan kesulitan
berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi mungkin menjadi gejala dominan, disertai
dengan adanya kegelisahan motorik yang nyata.
5. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan turunnya
penilaian diri. Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana penyakit yang
dideritanya merupakan suatu hukuman untuk dosanya di masa lampau, baik itu
dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan yang memang benar-benar pernah ia
lakukan. Pasien juga bisa merasa bahwa dia dipandang rendah dan dituduh bejad
oleh orang lain. Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan waham
hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham nihilistik.
6. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.
7. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan bahwa dia
kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia merasa tidak nyata dan
baginya benda-benda terlihat tidak nyata.
8. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri
mungkin ditemukan.
9. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun dini hari,
kemudian semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya dapat menjadi
insomnia total.
10. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan, amenore dan
kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi kelelahan dan letargi, atau
tanda autonom ansietas.

Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga
pasien depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat dirumah sakit
dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup lebih panjang
disbanding yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia
mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka
menarik diri dari keluarga, teman dan aktifitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya.
Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi dimana
mereka mengalami kesulitan menyelesikan tugas, mengalami kendala disekolah dan
pekerjaan, dan menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80%
pasien mengeluh masalah tidur, khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan
sering terbangun dimalam hari karena memikirkan masalh yang dihadapi. Kebanyakan
pasien menunjukkan peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian pula dengan
bertambah dan menurunnya berat badan serta mengalami tidur lebih lama dari yang
biasa (Depkes RI, 1993).
1.7 Diagnosis
Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada
DSM-IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ (2003), gangguan afektif berupa depresi dapat
terbagi menjadi episode depresif dan episode depresif berulang, dimana episode
depresif sendiri terbagi menjadi episode depresif ringan, sedang, dan berat.
Sedangkan untuk episode berulang terbagi menjadi episode berulang episode kini
ringan, episode kini sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik, episode kini
berat dengan gejala psikotik dan episode kini dalam remisi.
DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik

yang

dapat

diidentifikasi (meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi kriteria


diagnostik yang spesifik untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat berdasarkan
kenyataan dari riwayat pasien yang khas dan tampilan klinis yang cocok dan
memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang ditentukan (suatu diagnostik politetik,
tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk membuat diagnosa).
DSM-IV telah memperbaiki reabilitas diagnosis (kemungkinan orang yang
berbeda akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama), tetapi hanya
mempunyai dampak yang sederhana terhadap validitas. Hal ini boleh jadi karena DSMIV telah memecah kondisi psikiatrik menjadi terlalu banyak bagian-bagian dan setiap
bagian tidak mewakili suatu kondisi yang sah. Walaupun DSM-IV dapat dipergunakan

lintas kultural, penggunaannya pada situasi tertentu memerlukan kehati-hatian dalam


menginterpretasikan gejala-gejala.
Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga
menggunakan sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi penting
lainnya, yaitu:
1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.
2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental
3. Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan
gangguan mental
4. Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, bisaanya
selama setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti tidak punya
pekerjaan, perceraian, problem keuangan, korban penelantaran anak dan lainlain.
DSM-IV telah menyusun gangguan mood tambahan baik di dalam badan teks dan
didalam appendiks. Gangguan-gangguan tersebut adalah sindrom yang berhubungan
dengan depresi, berupa gangguan depresif ringan (minor depressive diorder), gangguan
depresif singkat rekuren, dan gangguan disforik pramenstruasi. Pada gangguan depresif
ringan keparahan gejala tidak mencapai keparahan yang diperlukan untuk diagnosis
gangguan depresif

berat. Pada gangguan depresif singkat rekuren gejala episode

depresif memang mencapai keparahan gejala yang diperlukan untuk diagnosis


gangguan depresif berat tetapi hanya untuk waktu singkat, dengan lama waktu yang
tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat.
DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat secara
terpisah dari kriteria diagnostik untuk diagnosis berhubungan dengan depresi, dan juga
menuliskan deskriptor keparahan untuk episode depresif berat.

a. Depresif Berat dengan Ciri Psikotik


Adanya ciri psikotik pada gangguan depresif berat mencerminkan penyakit
yang parah dan merupakan indikator prognostik yang buruk.
b. Depresif Berat dengan Ciri Melankolik
Kepentingan yang potensial untuk mengenali ciri melankolik dari gangguan
depresif berat adalah untuk mengidentifikasi suatu kelompok pasien yang
dinyatakan oleh beberapa data adalah lebih responsive terhadap terapi farmakologi
daripada pasien nonmelankolik.
c. Depresif Berat dengan Ciri Atipikal

Diperkenalkannya tipe depresi dengan ciri atipikal yang didefinisikan secara


resmi adaah sebagai respons terhadap penelitian dan data klinis yang menyatakan
bahwa pasien atipikal memiliki karakteristik yang spesifik dan dapat diramalkan.
Ciri atipikal klasik adalah makan berlebihan dan tidur berlebihan.
1.7 Pemeriksaan Penunjang
Selain dari klasifikasi yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa instrumeninstrumen pengukur tingkat depresi dapat digunakan untuk membantu memberikan
penilaian yang objektif terhadap kondisi depresi yang dialami oleh pasien. Berikut ini
adalah beberapa instrumen yang sering digunakan, yaitu:
a. Becks Depression Inventory
b. Hamilton Depression Scale
c. The Zung Self-Rating Depression Scale
Beck Depression Inventory (BDI) adalah tes depresi untuk mengukur keparahan
dan kedalaman dari gejala gejala depresi seperti yang tertera dalam the American
Psychiatric Association's Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders
Fourth Edition (DSM-IV) pada pasien dengan depresi klinis. BDI dapat digunakan
untuk dewasa ataupun remaja yang berumur 13 tahun ke atascan be used for both
adults and adolescents 13 years of age and older, dan merupakan sebuah ukuran
standar dari depresi yang terutama digunakan dalam penelitian dan untuk
mengevaluasi dari efekttivitas pengobatan dan terapi.
BDI tidak dapat digunakan sebagai instrumen untuk mendiagnosis, tetapi lebih
kepada identifikasi dari adanya depresi dan tingkat keparahannya sesuai dengan
criteria dari DSM-IV. Pertanyaan-pertanyaan yang tertera pada BDI II menilai gejalagejala khas dari depresi seperti gangguan mood, pesimisme, perasaan gagal,
ketidakpuasan diri, perasaan bersalah, merasa dihukum, ketidaksukaan terhadap diri
sendiri, pendakwaan terhadap diri, pikiran untuk bunuh diri, menangis, irittabilitas,
penarikan diri dari kehidupan sosial, gambaran tubuh, kesulitan bekerja, insomnia,
kelelahan, nafsu makan, kehilangan berat badan dan kehilangan libido.
1.8 Penatalaksanaan
Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada sejumlah
tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, pemeriksaan diagnostik
yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga, suatu rencana pengobatan harus

dimulai yang menjawab bukan hanya gejala sementara tetapi juga kesehatan pasien
selanjutnya (Kaplan, 2010).
Dokter

harus

mengintegrasikan

farmakoterapi

dengan

intervensi

psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya berkembang


dari

masalah

psikodinamika,

ambivalensi

mengenai

kegunaan

obat

dapat

menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan kemungkinan dosis yang


tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat. Sebaliknya, jika dokter mengabaikan
kebutuhan psikososial pasien, hasil dari farmakoterapi mungkin terganggu (NIMH,
2002).
1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek
farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan bahwa
pasien individual mungkin berespons terhadap antidepresan lainnya. Variasi
tersebut juga merupakan dasar untuk membedakan efek samping yang terlihat
pada antidepresan (Kaplan, 2010).
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada proses
farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki efek
farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan kembali
(reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine oksidasi. bekerja
untuk menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak khususnya epinefrin
dan norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini sesuai dengan
etiologi dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas dari sistem
neurotransmitter di otak (NIMH, 2002). Obat antidepresan yang akan dibahas
adalah antidepresi generasi pertama (Trisiklik dan MAOIs), antidepresi golongan
kedua (SSRIs) dan antidepresi golongan ketiga (SRNIs) (Arozal, 2007).
a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan sebagai
pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat (Kaplan, 2010).
Golongan trisiklik ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik
primer, tetrasiklik amin sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik
tersier (imipramine, amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut, yang
paling sering digunakan adalah tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai
efek samping yang lebih minimal. Obat golongan tetrasiklik sering dipilih
karena tingkat kepuasan klinisi dikarenakan harganya yang murah karena

sebagian besar golongan dari obat ini tersedia dalam formulasi generik
(Kaplan, 2010).
Golongan

obat

trisiklik

bekerja

dengan

menghambat

reuptake

neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder diduga bekerja


sebagai

penghambat

reuptake

norepinefrin,

sedangkan

amin

tersier

menghambat reuptake serotonin pada sinaps neuron.hal ini mempunyai


implikasi bahwa depresi akibat kekurangan norepinefrin lebih responsive
terhadap amin sekunder, sedangkan depresi akibat kekurangan serotonin akan
lebih responsive terhadap amin tersier (Arozal, 2007).
b. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)
MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15 tahun yang lalu.
Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan deaminasi oksidatif
katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar einefrin, noreprinefrin dan 5-HT
dalam otak naik (Arozal, 2007). Obat ini sekarang jarang digunakan sebagai
lini pertama dalam pengobatan depresi karena bersifat sangat toksik bagi
tubuh. Selain karena dapat menyebabkan krisis hipertensif akibat interaksi
dengan tiramin yang berasal dari makanan-makanan tertentu seperti keju,
anggur dan acar, MAOIs juga dapat menghambat enzim-enzim di hati
terutama sitokrom P450 yang akhirnya akan mengganggu metabolisme obat di
hati. (Kaplan, 2010).
c. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan lini pertama
pada gangguan depresif berat seain golongan trisiklik (Kaplan, 2010). Obat
golongan ini mencakup fluoxetine, citalopram dan setraline. SSRIs sering
dipilih oleh klinisi yang pengalamannya mendukung data penelitian bahwa
SSRIs sama manjurnya dengan trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh
tubuh karena mempunyai efek samping yang cukup minimal karena kurang
memperlihatkan pengaruh terhadap sistem kolinergik, adrenergik dan
histaminergik. Interaksi farmakodinamik yang berbahaya akan terjadi bila
SSRIs dikombinasikan dengan MAOIs, karena akan terjadi peningkatan efek
serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom serotonin dengan gejala
hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular dan gangguan tanda vital (Arozal,
2007).
d. SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors )

Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang hampir sama


dengan golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga menghambat dari reuptake
norepinefrin (NIMH, 2002).
Selain dari golongan obat yang telah dibahas sebelumnya, masih ada
beberapa alternatif yang digunakan untuk terapi medikamentosa pada pasien
depresi dengan keadaan tertentu. Hal tersebut dapat terlihat lebih jelas pada gambar
di bawah ini (Mann, 2005).

Gambar 1.2 Pilihan obat-obatan antidepresan pada lini pertama


e. Terapi Non Farmakologis
Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang digunakan dalam
pengobatan depresif berat adalah terapi kognitif, terapi interpersonal dan terapi
perilaku (Kaplan, 2010). NIMH (2002) telah menemukan predictor respons
terhadap berbagai pengobatan sebagai berikut ini : (1) disfungsi sosial yang
rendah menyatakan respons yang baik terhadap terapi interpersonal, (2)
disfungsi kognitif yang rendah menyatakan respons yang baik terhadap terapi
kognitif-perilaku dan farmakoterapi, (3) disfungsi kerja yang tinggi

mengarahkan respons yang baik terhadap farmakoterapi, (4) keparahan depresi


yang tinggi menyatakan respons yang baik terhadap terapi interpersonal dan
farmakoterapi.
Pada awalnya, terapi ini dikembangkan oleh Aaron Beck yang
memusatkan pada distorsi kognitif yang didalilkan ada pada gangguan depresi
berat. Tujuan terapi ini untuk menghilangkan episode depresif dan mencegah
rekurennya dengan membantu pasien mengidentifikasi dan uji kognitif negatif
(Kaplan, 2010).
Terapi interpersonal dikembangkan oleh Gerald Klerman, memusatkan
pada satu atau dua masalah interpersonal pasien yang sedang dialami
sekarang, dengan menggunakan dua anggapan: pertama, masalah interpersonal
sekarang

kemungkinan

memiliki

akar

pada

hubungan

awal

yang

disfungsional. Kedua, masalah interpersonal sekarang kemungkinan terlibat di


dalam mencetuskan atau memperberat gejala depresif sekarang (Kaplan,
2010).

1.9 Prognosis
Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan
pasien cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif yang tidak diobati
berlangsung 6 sampai 13 bulan, sementara sebagian besar episode yang diobati
berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan antidepresan sebelum 3 bulan hampir
selalu menyebabkan kembalinya gejala (Kaplan, 2010).
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresif
berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun pertama. Banyak
penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi indikator prognostik yang baik dan
buruk di dalam perjalanan gangguan depresif berat. Episode ringan, tidak adanya
gejala psikotik, fungsi keluarga yang stabil, tidak adanya gangguan kepribadian,
tinggal dalam waktu singkat di rumah sakit dalam waktu yang singkat, dan tidak lebih
dari satu kali perawatan di rumah sakit adalah indikator prognostik yang baik.
Prognosis buruk dapat meningkat oleh adanya penyerta gangguan distimik,
penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan kecemasan, dan riwayat lebih
dari satu episode sebelumnya. (Kaplan, 2010).

DAFTAR PUSTAKA

Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FKUI, 2007.
I.M Ingram. dkk. 1993. Catatan kuliah Psikiatri. Jakarta: buku kedokteran EGC
Kaplan and Saddock. Synopsis of Psychiatry. 7th ed. Vol 1. Sans Tache. New York, 1993.
Kaplan and Saddock. Comprehensive Textbook Of Psychiatry. 7th Ed. Lippincott Wiliams
And Wilkins. Philadelphia, 2010.
Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan PPDGJ-III Gangguan
Depresi. PT Nuh Jaya. Jakarta, 2001.
Maslim, Rusdi. Panduan Praktis pengguaan klinis obat psikotropik edisi ketiga. Jakarta:2002

Anda mungkin juga menyukai