Anda di halaman 1dari 22

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

LAPORAN HASIL PRAKTIKUM


OBAT ANTIHIPERLIPIDEMIK

OLEH :
NAMA : RAFIKA FIRDA U.HATIBIE
STAMBUK : 150 2015 0028
KELAS : C2
KELOMPOK : II
ASISTEN : NURHAJAR KARIM

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016

1
ARTIKEL HASIL PRAKTIKUM
SISTEM SARAF PUSAT

Dipersiapkan dan disusun oleh


Rafika Firda U.Hatibie
15020150028

Telah dipertahankan di asisten pendamping


Pada tanggal 19 Novenmebr 2016

Telah disetujui oleh :

Asisten pendamping

Nurhajar Karim Tanggal 19 November 2016

2
UJI OBAT CENDOTROPINE SEBAGAI OBAT SISTEM SARAF OTONOM

YAITU GOLONGAN PARASIMPATOLITIK PADA MENCIT (Mus

muscullus)

Erni Safira Umarella1, Nurhajar Karim2

1
Mahasiswa Fakultas Farmasi, UMI
2
Asisten Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi, UMI

Email : erumarella99@gmail.com

ABSTRAK

Latar belakang : Sistem saraf otonom (SSO) adalah sistem motorik eferen viseral.
Sistem ini menginervasi jantung, seluruh otot polos, seperti pada pembuluh darah
dan visera, serta kelenjar-kelenjar. Sistem saraf otonom merupakan sistem saraf
yang tidak dapat dikendalikan oleh kemauan kita melalui otak. Sistem saraf otonom
memiliki dua divisi yaitu sistem simpatis dan sistem parasimpatis. Sistem saraf
parasimpatis mekanisme kerjanya menggunakan suatu zat kimia atau
neurotransmitter yaitu asetilkolin, sedangkan sistem saraf simpatis menggunakan
neurotransmitter adrenalin. Sistem saraf otonom tersebar luas diseluruh tubuh dan
fungsinya adalah mengatur secara otomatis unsur-unsur fisiologis yang konstan,
seperti suhu badan, tekanan dan peredaran darah, serta pernafasan.
Tujuan praktikum : Untuk menentukan efek dari obat Cendotropin pada hewan
coba mencit (Mus muscullus) dengan parameter pengamatan berupa grooming,
salivasi, vasokontriksi, vasodilatasi, takikardia, bradikardia, straub, piloereksi dan
diare.
Metode : penelitian ini menggunakan 5 ekor tikus yang kemudian dibagi ke dalam
5 kelompok, pada mencit kelompok I diberikan propanolol secara intraoral, mencit
kelompok II diberikan cendotropin secara intraperitonial, mencit kelompok III
diberikan Na-CMC secara intraoral dan cendocarpin secara intraperitonial, mencit
kelompok IV diberikan epinefrin secara intraperitonial, dan mencit kelompok V
diberikan Na-CMC secara intraperitonal. Sebelum dilakukan pengamatan, hewan
coba dipuasakan 1x24 jam terlebih dahulu, kemudian hewan coba dihitung berat
badannya dan volume pemberian. Pengamatan dilakukan pada menit ke 15, 30, 60
dan 90 setelah pemberian cairan obat.
Hasil : Hasil penelitian menunjukan bahwa obat cendotropin merupakan golongan
obat antagonis kolinergik atau parasimpatolitik.
Kesimpulan : obat cendotropin merupakan golongan obat antagonis kolinergik
yaitu obat antimuskarinik.
Kata Kunci :sistem saraf otonom,cendotropin, parasimpatolitik, antagonis
kolinergik.

3
PENDAHULUAN
Sistem saraf kita terdiri dari dua kelompok yakni susunan saraf pusat (SSP)
yang meliputi otak dan sumsum tulang belajang, dan sistem saraf perifer dengan
saraf-saraf yang secara langsung atau tak langsung ada hubungannya dengan SSP.
Saraf perifer ini terbagi lagi kedalam dua bagian, yaitu susunan saraf motoris yang
bekerja sekehendak kita, misalnya otot-otot lurik (kaki, tangan dan sebagainya) serta
susunan saraf otonom (SSO) yang bekerja menurut aturannya sendiri (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Sistem saraf otonom (SSO), juga disebut sistem saraf vegetatif, meliputi
antara ain saraf-saraf ganglia (= majemuk dari ganglion= simpul saraf) yang
merupakan persarafan ke semua otot polos dari berbagai organ (bronchia, lambung,
usus, pembuluh darah, dan lain-lain). Termasuk dalam kelompok ini adalah
beberapa kelenjar (ludah, keringat dan pencernaan) dan juga otot jantung, yang
sebagai pengecualian bukan merupakan otot polos, tetapi otot lurik. Dengan
demikian, SSO tersebar luas diseluruh tubuh dan fungsinya adalah mengatur secara
otomatis unsur-unsur fisiologis yang konstan, seperti suhu badan, tekanan,
peredaran darah, pernapasan (Harvey dan Champe, 2009).
Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang mengatur fungsi
visceral tubuh. Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi
gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, berkeringat, suhu tubuh dan aktivitas
lain. Karakteristik utama dari sistem saraf otonom adalah kemampuan memengaruhi
yang sangat cepat (misalnya: dalam beberapa detik saja denyut jantung dapat
meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam
belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik,
juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan sistem saraf otonom tepat
untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis dengan mengingat gangguan
terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan
demikian, sistem saraf otonom merupakan komponen dari refleks visceral (Pearce,
2002).
Berbagai sistem dalam tubuh (misalnya pencernaan, sirkulasi) secara
otomatis dikendalikan oleh sistem saraf otonom (dan sistem endokrin). Kendali

4
sistem saraf otonom seringkali melibatkan umpan balik negatif dan terdapat banyak
serabut aferen (sensoris) yang membawa informasi ke pusat pada hipotalamus dan
medula. Pusat-pusat ini mengendalikan aliran sistem saraf otonom, yang terbagi
secara anatomis menjadi dua bagian besar yaitu sistem saraf simpatis dan sistem
saraf parasimpatis. Banyak organ dipersarafi oleh kedua sistem saraf tersebut, yang
secara umum memiliki aktivitas berlawanan (Neal, 2005).
Sebagian kecil saraf otonom tidak melepaskan asetilkolin maupun
norepinefrin. Sebagai contoh, nervus kavernosus melepaskan nitrat oksida (nitric
oxide, NO) di penis. Nitrat oksida merelaksasi otot polos korpus kavernosus
(melalui guanosin-3,5-monofosfat siklik) yang menyebabkan perluasan ruang
lakunar dan terjadi ereksi. Sildenafil, yang digunakan pada disfungsi seksual pria,
menghambat fosfodiesterase tipe 5 dan memfasilitasi ereksi melalui peningkatan
konsentrasi cGMP (Neal, 2005).
Sistem saraf otonom dipecah lagi dalam dua cabang, yakni sistem (orto)
simpatis dan sistem parasimpatis. Umumnya dikatakan bahwa kedua susunan ini
bekerja antagonistis: bila suatu sistem merintangi suatu sistem tertentu, sistem
lainnya justru menstimulasinya.Dalam beberapa hal, khasiatnya berlainan atau
bahkan bersifat sunergistik (Tjay dan rahardja, 2015).
Saraf simpatis dan parasimpatis mensekresi salah satu dari neurotarnsmitter
asetilkolin atau norepinefrin. Serat yang mensekresi asetilkolin disebut serat
kolinergik, Serat yang mensekresi norepinefrin disebut serat adrenergik (dari
adrenalin=epinefrin). Semua neuron preganglionik simpatis dan parasimpatis
bersifat kolinerjik. Hampr semua neuron post ganglionik parasimpatis bersifat
kolinergik dan Hampir semua neuron post ganglionik simpatis bersifat adrenerjik.
Karena itu asetilkolin disebut transmitter parasimpatis dan norepinefrin disebut
transmitter simpatis (Raven, 2003).
Sistem saraf motoris mengatur otot-otot lurik melalui impuls listrik
(rangsangan) yang secara langsung dikirim dari sistem saraf pusat melalui saraf
motorik ke otot tersebut. Pada sistem saraf otonom, impuls disalurkan ke organ
tujuan (efektor, organ ujung) secara tidak langsung. Di beberapa tempat saraf
otonom terkumpul di sel-sel ganglion pada mana terdapat sinaps, yaitu sela diantara

5
dua neuron (sel saraf). Saraf yang meneruskan impuls dari sistem saraf pusat ke
ganglion dinamakan neuron preganglioner, sedangkan saraf antara ganglia dan
organ ujung disebut neuron post-ganglioner. Impuls listrik dari sistem saraf pusat
dalam sinaps dialihkan dari satu neuron kepada yang lain secara kimiawi melalui
neurotransmitter (juga disebut neurohormon). Bila dalam suatu neuron impuls tiba
di sinaps, maka pada saat itu juga neuron tersebut membebaskan suatu neurohormon
di ujungnya, yang melintasi sinaps dan merangsang neuron berikutnya. Di neuron
ini impuls secara elektris diteruskan lagi. Pada ujungnya dibebaskan pula
neurohormon tersebut untuk secara kimiawi melintasi sinaps dan seterusnya hingga
impuls tiba di organ efektor (Tjay dan rahardja, 2015).
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah
obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf
sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi
obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-
obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom
dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian
neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).
Obat-obat otonom adalah obat yang dapat memengaruhi penerusan impuls
dalam SSO dengan cara mengganggu sintesis, penimbunan, atau penguraian
neurotransmitter. Akibatnyadipengaruhinya fungsi otot polos, jantung dan kelenjar.
Sesuai khasiatnya, obat otonom dapat digolongkan sebagai berikut (Tjay dan
rahardja, 2015) :
1. Zat-zat yang bekerja terhadap SO:
a. Simpatomimetika (adrenergika), yang meniru efek perangsangan SO oleh
misalnya noradrenalin,Isoprenalin dan amfetamin.
b. Simpatikolitika (adrenolitika), yangjustru menekan saraf simpatis atau
melawan efek adrenergika, misalnya alkaloida sekale dan propanolol.
2. zat-zat yang bekerja terhadap SP:
a. parasimpatomimetik, yang merangsang organ-organ yang dilayani saraf
parasimpatis dan meniru efek perangsangan oleh asetilkolin, misalnya
pilokarpin.

6
b. Parasimpatolitik, yang justru melawan efek-efek kolinergika, misal alkaloida
belladona dan propantelin.
3. Zat-zat perintang ganglion yang merintangi penerusan impuls dalam sel-sel
ganglion simpatis dan parasimpatis. Efek dari perintangan ini dampaknya luas,
antara lain vasodilatasi akibat blokade susunan simpatis dan karena itu digunakan
pada hipertensi tertentu, antihipertensiva. Zat-zat ini pada umumnya tidak
digunakan lagi sebagai obat hipertensi karena efek sampingnya yang juga
menyebabkan blokade dari SP (gangguan penglihatan, obstipasi dan
berkurangnya sekresi berbagai kelenjar), kebanyakan obat ini adalah senyawa
amonium kwatener.
Perjalanan SSO dimulai dari persarafan sistem saraf pusat (selanjutnya
disebut SSP). Neuron orde pertama berada di SSP, baik di sisi lateral medulla
spinalis maupun di batang otak. Akson neuron orde pertama ini disebut dengan
serabut preganglion (preganglionic fiber). Serabut ini bersinaps dengan badan sel
neuron orde kedua yang terletak di dalam ganglion. Serabut pascaganglion
menangkap sinyal dari serabut preganglion melalui neurotransmiter yang dilepaskan
oleh serabut preganglion. Seperti yang telah diketahui, ganglion merupakan
kumpulan badan sel yang terletak di luar SSP. Akson neuron orde kedua, yang
disebut dengan serabut pascaganglion (postganglionic fiber) muncul dari ganglion
menuju organ yang akan diinervasi. Organ efektor menerima impuls melalui
pelepasan neurotransmiter oleh serabut pascaganglion. Kecuali untuk medulla
adrenal, baik sistem saraf simpatis dan parasimpatis mengikuti pola seperti yang
telah dijelaskan di atas (Price, 2005).
Saraf kolinergik, semua neuron preganglioner, baik dari SO maupun SP,
menghasilkan neurohormon asetilkolin (ACh), begitu pula neuron postganglioner
dari SP. Saraf-saraf ini disebut saraf kolinergik. Asetilkolin merupakan transmitter
untuk saraf motorik pada penerusan impuls ke otot-otot lurik (Tjay dan rahardja,
2015).
Antagonis kolinergik (disebut juga obat penghantar kolinergik,
parasimpatolitik, atau obat kolinergik) berikatan dengan kolinoseptor, tetapi tidak
memicu efek intraseluler yang diperantarai reseptor, seperti biasanya. Manfaat

7
terbesar obat golongan ini adalah efek penghambatan sinaps muskarinik secara
selektif pada saraf parasimpatis. Oleh sebab itu, efek persarafan parasimpatis
menjadi terganggu dan kerja perangsangan simpatis muncul tanpa hambatan.
Kelompok kedua obat ini, penghambat ganglionik, lebih menghambat reseptor
nikotinik pada ganglia simpatetik dan parasimpatetik. Secara klinis golongan obat
yang ini kurang penting diantara obat-obat antikolinergik lain. Kelompok ketiga
senyawa ini, obat pelemas neuromuskular, mengganggu transmisi impuls eferen
yang menuju otot rangka. Obat-obat kelompok ketiga ini digunakan sebagai ajuvan
anastetik selama pembedahan (Harvey dan Champe, 2009).
Obat antimuskarinik seperti atropine dan scopolamine) bekerja menghambat
reseptor muskarinik, yang menyebabkan hambatan semua fungsi muskarinik. Selain
itu, obat ini menghambat beberapa neuron simpatis yang juga bersifat kolinergik,
seperti persarafan kelenjar keringat dan kelenjar ludah. Berlawanan dengan obat
agonis kolinergik yang memiliki keterbatasan kegunaan terapeutik, obat
penghambat kolinergik sangat bermanfaat pada sejumlah besar situasi klinis. Karena
obat ini tidak menghambat reseptor nikotinik, obat antimuskarinik sedikit atau tidak
mempengaruhi taut saraf otot rangka atau ganglia otonom (Harvey dan Champe,
2009).
Tergantung pada sifat spesifiknya masing-masing, antikolinergika digunakan
dalam farmakoterapi untuk bermacam-macam gangguan dan yang terpenting di
antaranya adalah (Tjay dan rahardja, 2015) :
a. Sebagai midriatikum, untuk melebarkan pupil dan melumpuhkan akomodasi
(atropin, homatropin, tropikamida), jika efek terakhir tidak diinginkan, maka
harus digunakan adrenergikum, misalnya fenilefrin
b. Sebagai spasmolitikum (pereda kejang otot dan kolik) dari saluran lambung-usus,
saluran empedu dan alat urogenital, misalnya pada IBS (irritable bowel
syndrome) (hyoscyamin, butilskopolamin dan propantelin)
c. Pada inkontinensi urin pada kandung kemih instabil akibat hiperaktivitas dari
otot detrusor. Kontraksi spontan serta hasrat berkemih dikurangi (flavoksat,
oksibutinin, tolterodin)
d. Pada parkinsonisme

8
e. Sebagai premedikasi pra-bedah, untuk mengurangi sekresi ludah dan bronchi dan
sebagai sedativum berkat efek menekannya terhadap sistem saraf pusat.
Terutama digunakan atropin dan skopolamin secara bersamaan dengan anastetika
umum. Antihistaminika dan fenotiazin juga digunakan untuk maksud ini.
f. Sebagai zat anti-mabuk jalan, guna mencegah mual dan muntah (skopolamin)
g. Pada hiperhidrosus, untuk menekan pengeluaran keringat berlebihan
h. Sebagai zat penawar pada intoksikasi dengan zat penghambat kolinesterase
(atropin)
Efek muskarinik terutama bersifat parasimpAtomimetik (kecuali berkeringat
dan vasodilatasi) dan secara umum merupakan kebalikan efek yang disebabkan oleh
stimulasi simpatis. Efek muskarinik meliputi : konstriksi pupil, akomodasi untuk
penglihatan dekat, salivasi cair yang sangat banyak, konstriksi bronkus,
bronkosekresi, hipotensi (akibat bradikardia dan vasodilatasi), peningkatan motilitas
dan sekresi gastrointestinal, kontraksi kandung kemih, dan berkeringat (Neal, 2005).
Antikolinergik atau parasimpatolitika melawan khasiat asetilkolin dengan
meng-hambat reseptor-reseptor-M(uskarin) yang terdapat di sistem saraf pusat dan
organ perifer. Zat-zat ini tidak bekerja terhadap reseptor-N(ikotin) terkecuali zat-zat
amonium kwartener yang berkhasiat lemah. Misalnya relaksan otot pankuronium
dan vekuronium, serta ganglion-blocker yang terutama menghambat reseptor-N di
pelat ujung myoneural dan di ganglia otonom, kebanyakan antikolinergik tidak
bekerja selektif bagi lima subtipe reseptor-M. Bekerja terhadap banyak organ tubuh,
antara lain mata, kelenjar eksokrin, paru-paru, jantung, saluran kemih, saluran
lambung-usus dan sistem saraf pusat. Antikolinergika dapat dibagi dalam 3
kelompok, yaitu (Tjay dan Rahardja, 2015) :
1. Alkaloida belladonna : homatropin, hyoscyamin, skopolamin, dan atropin.
2. Zat amonium kwaterner : propantelin, ipratropium, tiotropium.
3. Zat amin tersier : pirenzepin, flavoksat, oksibutinin, tolterodin dan tropikamida.
Efek antikolinergik terpenting adalah sebagai berikut (Tjay dan Rahardja,
2015) :
1. Memperlebar pupil (midriasis) dan berkurangnya akomodasi
2. Mengurangi sekresi kelenjar (liur, keringat, dahak)

9
3. Mengurangi tonus dan motilitas saluran lambung-usus, juga sekresi getah
lambung
4. Dilatasi bronchi
5. Meningkatkan frekuensi jantung dan mempercepat penerusan impuls di berkas
His (bundle of His), yang disebabkan penghambatan saraf paru-lambung (saraf
mengembara, nervous vagus)
6. Merelaksasi otot detrusor yang menyebabkan pengosongan kandung kemih,
sehingga kapasitasnya meningkat. Flavoksat dan oksibutinin juga berkhasiat
langsung merelaksasi otot
7. Merangsang sistem saraf pusat dan pada dosis tinggi menekan sisitem saraf pusat
(terkecuali pada zat amonium kwatener)
Efek samping umum antikolinergika tergantung dari dosis dan berupa efek-
efek muskarin yaitu mulut kering, obstipasi, retensi urin, takikardia, palpitasi dan
aritmia, gangguan akomodasi, midriasis dan berkeringat. Pada dosis tinggi timbul
efek sentral, seperti gelisah, bingung, eksitasi, halusinasi dan delirium. Zat-zat
amonium kwatener dalam dosis tinggi juga dapat menghasilkan efek nikotin,
khususnya blokade ganglion dengan antara lain hipotensi ortotastik dan impotensi.
Untuk kehamilan dan laktasi, hanya atropin yang dapat digunakan untuk wanita
hamil dan yang menyusui, sedangkan dari obat-obat lainnya belum tersedia cukup
data mengenai keamanannya (Tjay dan Rahardja, 2015).
Antagonis muskarinik memblok asetilkolin yang dilepaskan dari terminal
saraf parasimpatis pascaganglion. Akan tetapi organ efektor parasimpatis
mempunyai sensitivitas yang berfariasi terhadap efek antagonis. Sekresi kelenjar
saliva, bronkus dan kelenjar keringat adalah yang paling sensitif terhadap blokade.
Dosis antagonis yang lebih tinggi dapat mendilatasi pupil, melumpuhkan
akomodasi, dan menyebabkan takikardia melalui blok tonus vagal pada jantung.
Dosis yang lebih tinggi ini menghambat kontrol parasimpatis dari saluran
gastrointestinal dan kandung kemih. Sekresi asam lambung adalah yang paling
resisten terhadap blokade (Neal, 2005).
Atropin, hiosin (skopolamin), atau antagonis lain digunakan untuk (Neal,
2005) :

10
1. Pada anestesia untuk memblok vagus yang memperlambat jantung dan untuk
menghambat sekresi bronkus.
2. Untuk mengurangi spasme usus, sebagai contoh pada sindrom iritasi usus
(irritable bowel syndrome).
3. Pada penyakit parkinson (misalnya benzatropin).
4. Untuk mencegah motion sickness
5. Untuk mendilatasi pupil pada pemeriksaan oftalmologi (misalnya tropikamid)
atau untuk melumpuhkan otot siliaris.
Cendotropin (atropin sulfat), adalah campuran rasemis yang berkhasiat
antikolinergik kuat dan merupakan antagonis khusus dari efek antimuskarin Ach.
Efek nikotin diantagonir dengan sangat ringan. Zat ini digunakan sebagai
midriatikum kerja panjang (sampai beberapa hari) dan juga melumpuhkan
akomodasi (cyclopegia). Juga sebagai spasmolitikum pada kejang-kejang disaluran
lambung-usus dan urogenital, sebagai premedikasi pada anestesi dan sebagai zat
penawar (antidotum) keracunan Ach (zat-zat anti-kolinesterase) dan kolinergika
lain. Atropin juga memiliki daya kerja atas SSP dan efek bronchodilatasi ringan
(Tjay dan rahardja, 2015).
Pada mata atropine menghambat semua aktivitas kolinergik pada mata
sehingga menimbulkan midriasis yang persisten (dilatasi pupil), mata menjadi tidak
bereaksi terhadap cahaya, dan sikloplegika (ketidakmampuan memfokuskan pada
penglihatan dekat). Pasien glaukoma sudut tertutup memiliki tekanan intraokular
tinggi yang dapat membahayakan. Obat kerja-singkat, seperti antimuskarinik
tropicamide, atau obat -adrenergik(Harvey dan Champe, 2009).
Atropine juga dapat digunakan sebagai antipasmodik untuk mengurangi
aktivitas saluran cerna. Atropine dan scopolamine mungkin merupakan obat paling
poten penghasil efek tersebut. Walaupun motilitas saluran cerna dikurangi, produksi
asam hidroklorat tidak terlalu terpengaruhi. Oleh sebab itu, obat ini tidak efektif
untuk mempercepat penyembuhan ulkus peptikum(Harvey dan Champe, 2009).
Atropine juga digunakan pula untuk mengurangi keadaan hipermotilitas
kandung kemih. Obat ini terkadang masih dipakai untuk kasus enuresis
(mengeluarkan urine tanpa disadari/ngompol) pada anak-anak, tetapi obat agonis

11
adrenergik dapat jauh lebih efektif dengan efek samping yang lebih sedikit(Harvey
dan Champe, 2009).
Atropine menimbulkan efek divergen pada sistem kardiovaskular,
tergantung pada dosisnya. Pada dosis rendah, efek yang menonjol adalah penurunan
denyut jantung (bradikardia). Pada awalnya, mungkin disebabkan oleh pengaktifan
sentral aliran keluar eferen N, vagus, tetapi, pada saat ini, diketahui dihasilkan dari
hambatan reseptor M1 pada neuron penghambat prataut (atau prasinaps) yang
meningkatkan pelepasan asetilkolin. Pada dosis atropine yang lebih tinggi, reseptor
M2 pada nodus SA dihambat dan denyut jantung sedikit meningkat. Hal ini
umumnya membutuhkan sedikitnya 1 mg atropine, yang berarti dosis tersebut lebih
tinggi dari pemberian umum. Tekanan darah arteri tidak terpengaruhi, tetapi pada
kadar toksik, atropine akan mendilatasi pembuluh darah kulit (Harvey dan Champe,
2009).
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya
obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek
terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik.
Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah,
sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief,
1990).
Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara oral melalui saluran
gastrointestinal atau rectal, parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan
subkutan, inhalasi langsung ke dalam paru-paru. Efek lokal dapat diperoleh dengan
cara intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung, telinga,
intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru, rektal, uretral dan vaginal, dengan
jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan kemaluan wanita, obat
meleleh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan Rute
penggunaan obat dapat dengan cara melalui rute oral, melalui rute parenteral,
melalui rute inhalasi, melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga,
vagina dan sebagainya dan melalui rute kulit (Anief, 1990).
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal
(dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular,

12
subkutan, dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-
beda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri,
intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung
masuk ke dalam peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site)
cara pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat
melalui kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan
aktifitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses
penyerapan akan mempengaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pada
pengobatan ( Anief, 1990).
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang
kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai model
atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara
lain persyaratan genetis / keturunan dan lingkungan yang memadai dalam
pengelolaannya, disamping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta
mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia
(Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002).
Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula
diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-
beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta
tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips
ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan
atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya
(Katzung, B.G, 1989).
METODE PENELITIAN
Alat dan bahan yang digunakan
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu spoit injeksi 1 mL, kandang
mencit, kanula, stopwatch, dan timbangan analitik.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu alkohol, atropin sulfat
(cendotropin), cendocarpin, epinefrin, Na-CMC, dan propanolol.
Prosedur Kerja
Pemilihan dan penyiapan hewan uji

13
Sebanyak 5 ekor mencit (Mus Musculus) yang telah disiapkan kemudian
dibagi dalam 5 kelompok, masing kelompok terdiri dari 1 hewan coba, adapun
pembagian kelompoknya sebagai berikut :
1. Kelompok I diberikan propanolol secara IO.
2. Kelompok II diberikan cendotropin (atropin sulfat) secara IP.
3. Kelompok III diberi Na-CMC secara intraoral dan cendocarpin secara
intraperitonial.
4. Kelompok IV diberikan epinefrin secara intraperitonial.
5. Kelompok V diberikan Na-CMC secara intraperitonial.
Perlakuan terhadap hewan uji
Hewan uji mencit (mus musculus) dikeluarkan dari kandang, kemudian
dihitung berat badan dan volume pemberian pada masing-masing mencit, kemudian
diberi tanda pada bagian tubuh mencit (ekor dan bagian leher mencit). Setelah itu,
mencit dipegang pada bagian ekornya dan bagian leher belakang dengan ibu jari dan
jari telunjuk agar mencit lebih mudah diinjeksi. Mencit diusap-usap kepalanya
terlebih dahulu agar tidak stress ketika diberi perlakuan. Sebelum mencit diberi
perlakuan, mencit dipuasakan sehari terlebih dahulu agar berat badan yang sudah
ditimbang tidak berubah.
Pada mencit kelompok I diberikan propanolol secara intraoral dengan
volume pemberian 0,9 mL, kelompok II diberikan cendotropin secara intraperitonial
dengan volume pemberian 0,93 mL, mencit kelompok III diberikan Na-CMC secara
intraoral dan cendocarpin secara intraperitonial dengan volume pemberian 0,83 mL,
mencit kelompok IV diberikan epinefrin secara intraperitonial dengan volume
pemberian 0,9 mL, dan mencit kelompok V diberikan Na-CMC sebagai kontrol
secara intraperitonial dengan volume pemberian sebanyak 0,8 mL. Selanjutnya
dilakukan pengamatan pada masing-masing mencit pada menit ke 15, 30, 60, dan
90. Untuk mengamati apakah obat tersebut masih menimbulkan efek pada jangka
waktu tertentu yang diberikan. Selama pengamatan harus dilakukan secara teliti
untuk menghidari terjadinya kesalahan mengenai efek pada pemberian masing-
masing obat tersebut. Pengamatan meliputi miosis, midriasis, diare, tremor,
vasodilatasi, vasokontriksi, grooming, piloereksi, takikardia, bradikardia dan saliva.

14
Analisis Data
Data penelitian yang diperoleh dikumpulkan dan kemudian dianalisis secara
statistic berdasarkan analisis uji obat yang dilakukan pada masing-masing
kelompok. Hal-hal yang harus diperhatikan pada saat pengujian dilakukan adalah
miosis, midriasis, diare, tremor, vasodilatasi, vasokontrksi, grooming, piloereksi,
takikarda, bradikardia dan saliva. Sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan
yaitu pada menit ke 15, 30, 60 dan 90.
Tabel Pengamatan
Kelompok I ( propranolol secara oral)
Berat badan mencit = 22 gram
Vp mencit = 0,7 ml
Pengamatan pada menit
Perlakuan BB
15 30 60 90
Obat Propanolol - - - - - - - -
Miosis - - - - - - + -
Midriasis + - + - + - + -
Diare - - - - - - - -
Tremor - - - - + - + -
Vasodilatasi + - + - + - + -
22 gram
Vasokontriksi - - - - - - - -
Grooming + - + - + - + -
Piloereksi + - + - - - - -
Takikardia - - - - - - - -
Brakikardia - - - - - - - -
Saliva - - - - - - - -
Kelompok II ( cendotropin secara intraperitonial)
Tabel pengamatan
Berat badan mencit = 22 gram
Vp mencit = 0,9 ml
Perlakuan BB Pengamatan pada menit

15
15 30 60 90
Obat cendotropin - - - - - - - -
Miosis - - - - - - + -
Midriasis + - + - + - + -
Diare - - - - - - - -
Tremor - - - - + - - -
Vasodilatasi 25 - - - - - - - -
Vasokontriksi gram + - + - + - + -
Grooming + - - - - - + -
Piloereksi - - + - + - - -
Takikardia - - - - - - - -
Brakikardia - - - - - - - -
Saliva - - - - - - - -

Kelompok III ( cendotropin secara intraperitonial dan Na.CMC secara oral)


Tabel pengamatan
Berat badan mencit = 25 gram
Vp mencit = 0,83 ml
Pengamatan pada menit
Perlakuan BB
15 30 60 90
Obat Cendotropin
dan Na.CMC - - - - - - - -
Miosis - - - - - - + -
Midriasis + - + - + - - -
Diare 25 - - + - + - - -
Tremor gram + - + - + - + -
Vasodilatasi - - - - - - - -
Vasokontriksi + - + - + - + -
Grooming + - - - + - - -
Piloereksi + - + - + - - -

16
Takikardia + - + - - - - -
Brakikardia - - - - + - + -
Saliva + - + - - - - -

Kelompok IV (epinefrin secara intraperitonial)


Tabel Pengamatan
Berat badan mencit = 27 gram
Vp mencit = 0,9 ml
Pengamatan pada menit
Perlakuan BB
15 30 60 90
Obat Epinefrin - - - - - - - -
Miosis - - - - - - + -
Midriasis + - + - - - - -
Diare - - - - - - - -
Tremor - - + + + - - -
Vasodilatasi - - - - - - - -
27 gram
Vasokontriksi - - - - - - - -
Grooming + + + + + + + +
Piloereksi + - + + + + + +
Takikardia + + + - + - - -
Brakikardia - - + - - + + -
Saliva - - - - - - - -

Kelompok V ( Na.CMC secara oral)


Tabel pengamatan
Berat badan mencit = 24 gram
Vp mencit = 0,8 ml
Pengamatan pada menit
Perlakuan BB
15 30 60 90
Obat Na-CMC 24 gram - - - - - - - -

17
Miosis - - - - - - - -
Midriasis - - - - - - - -
Diare - - - - - - - -
Tremor - - - - - - - -
Vasodilatasi - - - - - - - -
Vasokontriksi - - - - - - - -
Grooming - - - - - - - -
Piloereksi - - - - - - - -
Takikardia - - - - - - - -
Brakikardia - - - - - - - -
Saliva - - - - - - - -

PEMBAHASAN
Sistem saraf otonom, juga disebut sistem saraf vegetatif, meliputi antara lain
saraf-saraf dan ganglia yang merupakan persarafan ke semua otot polos dari
berbagai organ (lambung, usus, pembuluh darah). Termasuk dalam kelompok ini
adalah beberapa kelenjar dan juga otot jantung, yang sebagai pengecualian bukan
me-rupakan otot polos, tetapi otot lurik. Dengan demikian, sistem saraf otonom
tersebar luas di seluruh tubuh dan fungsinya adalah mengatur secara otomatis unsur-
unsur fisiologis yang konstan, seperti suhu badan, tekanan dan peredaran darah,
serta pernafasan.
Sistem saraf otonom adalah sistem saraf yang tidak dapat di kendalikan oleh
kemauan kita melalui otak. Dibagikan menjadi dua yaitu sistem saraf simpatik dan
parasimpatik. Obat-obat yang menghasilkan efek terapeutik utamanya dengan cara
menyerupai atau mengubah fungsi system saraf otonom disebut obat-obat otonom.
Obat-obat otonom ini bekerja dengan cara merangsang bagian system saraf otonom
atau kerja system saraf ini.
SSO dapat dipecah lagi dalam dua cabang, yaitu sistem simpatis dan sistem
parasimpatis. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa kedua susunan ini bekerja
antagonistis: bila satu sistem merintangi fungsi tertentu, sistem lainnya justru

18
menstimulasinya. Tetapi, dalam beberapa hal, khasiatnya berlainan sama sekali atau
bahkan bersifat sinergistik.
Atropin terdapat dalam atropa belladona. Atropin merupakan stimulan
sentral yang lemah, terutama pada nukleus vagus, dan pada dosis rendah sering
menyebabkan bradikardia. Dosis yang lebih tinggi menyebabkan takikardia. Hiosin
mempunyai efek sedasi yang lebih kuat daripada atropin dan seringkali
menyebabkan rasa kantuk dan amnesia. Dosis toksik dari kedua obat tersebut
menyebabkan eksitasi, agitasi, halusinasi, dan koma.
Atropin memiliki afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik, dimana obat ini
terikat secara kompetitif, sehingga mencegah asetil kolin terikat secara kompetitif
pada tempatnya direseptor muskarinik. Pemberian atropine yang merupakan
antagonis kolinergik pada mencit menyebabkan terjadinya efek miosis, midriasis,
groming, midriasis, tremor dan vasokontriksi. Atropine bekerja menghambat
reseptor muskarinik baik sentral maupun perifer. Kerja obat ini secara umum
berlangsung sekitar 4 jam, kecuali bila diteteskan pada mata, lama kerja bahkan
bertahan hingga berhari-hari.
Hasil pengujian pada kelompok 1 yaitu obat yang digunakan yatu propanolol
yang berfungsi sebagai antihipertensi. Setelah pemberian obat dilakukan mencit
memberikan respon pada menit ke 15 terjadi piloereksi, grooming, midriasis dan
vasodilatasi. Pada menit ke 30 terjadi piloereksi, grooming, midriasis dan
vasodilatasi. Pada menit ke 60 terjadi midrasis, diare, vasodilatasi, grooming dan
piloereksi. Pada menit ke 90 terjadi midriasis, diare, vasodilatasi, grooming dan
takikardia. Propanolol merupakan obat golongan system saraf simpatis yang bekerja
berlawanan dengan saraf simpatis, atau antagonis adrenergic. Obat ini bekerja
menghambat reseptor .
Pada kelompok 2 obat yang digunakan yaitu cendotropin efek
farmakodinamiknya yaitu pada menit ke 15 terjadi vasokontriksi dan grooming.
Pada menit ke 30 terjadi vasokontriksi, piloereksi dan takikardia. Pada menit ke 60
terjadi tremor, vasokontriksi, piloereksi dan takikardia. Pada menit ke 90 terjadi
vasokontriksi dan grooming. Obat cendotropin merupakan obat parasimpatolitik

19
yang termasuk obat antimuskarinik, yaitu obat yang menghambat efek saraf
simpatis terhadap otot polos dan kelenjar.
Pada kelompok 3 obat yang digunakan yaitu cendocarpin efek
farmakodinamiknya yaitu pada menit ke 15 terjadi midriasis, termor, vasokontriksi,
grooming, piloereksi, takikardia dan saliva. Pada menit ke 30 terjadi midriasis,
diare, tremor, vasokontriksi, piloereksi, takikardia dan saliva. Pada menit ke 60
terjadi midriasis, diare, tremor, vasokontriksi, grooming, piloereksi dan bradikardia.
Pada menit ke 90 terjadi miosis, tremor, vasokontriksi dan bradikardia.Pilokarpin
adalah salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air
mata dan saliva.
Pada kelompok 4 obat yang digunakan yaitu Epinefrin efek
farmakodinamiknya yaitu pada menit ke 15 terjadi grooming dan takikardia. Pada
menit ke 30 terjadi tremor, grooming, piloereksi dan takikardia. Pada menit ke 60
terjadi piloereksi, grooming dan bradikardia. Pada menit ke 90 terjadi grooming dan
piloereksi. Epinefrin termasuk golongan obat simpatomimetik, efek
farmakodinamik-nya terhadap sistem saraf dan organ tubuh ada dua macam
tergantung reseptornya. Obat ini bekerja secara langsung berikatan dengan reseptor
sehingga memberikan efek seperti efek farmakodinamik dari system saraf simpatis.
Pada kelompok 5 obat yang digunakan yaitu Na-CMC efek
farmakodinamiknya pada menit ke 15, 30, 60 dan 90 tidak memberikan respon
karena Na-CMC hanya sebagai control.
Pengujian efek terapi obat Cendotropin dengan parameter waktu diberikan
secara intraperitonial. Sebelum perlakuan, hewan uji dipuasakan 1x24 jam hal ini
agar berat badan mencit yang telah ditimbang tidak berubah.
Pemberian obat secara intra peritorial dilakukan dengan menyutikkan pada
daerah abdomen sampai agak menepi dari garis tengah dengan volume 1 ml. mencit
dipegang jarum disuntikkan dari abdomen yaitu pada daerah yang menepi dari garis
tengah, agar jarum suntik tidak terkena kandung kemih dan tidak terlalu tinggi
supaya tidak terkena penyutikkan pada hati. Pemberian obat secara intraperitorial
dilakukan pada rongga perut. IP serng digunakan pada hewan daripada manusia.
Pada hewan, injeksi IP digunakan terutama dalam pengujian hewan untuk

20
pemberian obat sistemik dan cairan karena kemudahan administrasi parenteral
dibandingkan dengan metode lainnya.
Dengan menginjeksikan obat cendotropin pada hewan coba, perangsangan
yang tampak adalah grooming (mengusap-usap muka) dan straub. Efek terhadap
saluran cerna sulit diamati dibanding efek kolinergik yang menyebabkan diare.
Demikian pula efek terhadap kelenjar eksokrin lain seperti air liur, air mata, keringat
maupun air kemih, harus lebih cermat mengamatinya dan membandingkan dengan
kontrol.
Efek-efek farmakodinamik yang terjadi pada hewan coba tersebut
menunjukan hasil yang sama dengan literatur bahwa obat cendotropin termasuk
golongan obat parasimpatolitik (antagonis kolinergik) yaitu antimuskarinik.
KESIMPULAN
Efek dari Cendocarpin adalah midriasis, diare, tremor, vasokontriksi,
grooming, piloereksi, takikardia, dan saliva. Cendocarpin tidak bekerja dengan baik,
sehingga tidak memberikan efek pada mencit.
Pada propanolol yaitu midriasis, diare, vasodilatasi, grooming, dan
takikardia. Propanolol bekerja dengan baik pada mencit tersebut sehingga
menghasilkan efek yang sesuai dengan kerja obat propanolol.
Efek dari Cendrotropin yaitu tremor, vasokontriksi, grooming, dan
takikardia, cendrotropin bekerja dengan baik sehingga efek yang terjadi pada mencit
juga sesuai dengan kerja obat Cendrotropin.
Efek dari epinefrin yaitu tremor, grooming, piloereksi, takikardia, dan
bradikardia. Epinefrin bekerja dengan baik pada mencit tersebut sehingga efek yang
ditimbulkan juga sesuai dengan kerja obat epinefrin.
Sedangkan pada pemberian NaCMC mencit tidak memberikan efek apapun
hal ini disebabkan penggunaan NaCMC hanya sebagai pengontrol saja.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh., 1990, Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan, Gadjah Mada
University Press, D.I Yogayakarta.
Harvey, R. A., dan Champe, P. C., 2009, Farmakologi ulasan bergambar,
Kedokteran EGC, Jakarta.

21
Katzung, Bertram G, dkk, 2014, Farmakologi dasar dan klinik vol.1 edisi 12, EGC :
Jakarta.
Neal, M. J., 2005, Farmakologi medis, Gelora Aksara Pratama, Jakarta.
Pearce, Evelyn C., 2002, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Gramedia
Pustaka Umum, Jakarta.

Price, Sylvia A.,2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. EGC,


Jakarta.

Raven,her., 2003,Atlas Anatomi, Djambatan, Jakarta.

Tjay, T.H. dan Rahardja, K., 2015, Obat-Obat Penting, PT Elex Media
Kompoitindo Gramedia, Jakarta.

Sloane, E., 2004, Anatomi dan fisiologi untuk pemula, Kedokteran EGC, Jakarta.

22

Anda mungkin juga menyukai