DISUSUN OLEH:
ANISA WIDIA SUDARMAN 6130015003
FERNANDO PRASETYA E.H 6130015006
RUSDIANA SILABAN 6130015010
MOHAMMAD QOIMAM B.Z 6130015051
Dosen Pembimbing:
Dr. Handayani, dr, M.Kes
PENDAHULUAN
Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Pada sistem saraf
pusat, rangsang seperti sakit, panas, rasa, cahaya, dan suara mula-mula diterima oleh reseptor,
kemudian dilanjutkan ke otak dan sumsum tulang belakang. Rasa sakit disebabkan oleh
perangsangan rasa sakit diotak besar. Sedangkan analgetik narkotik menekan reaksi
emosional yang ditimbulkan rasa sakit tersebut. Sistem saraf pusat dapat ditekan seluruhnya
oleh penekan saraf pusat yang tidak spesifik, misalnya sedatif hipnotik (Taylor, 2006).
Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat memperlihatkan efek yang sangat luas
(merangsang atau menghambat secara spesifik atau secara umum). Umumnya semua obat
yang bekerja pada SSP menimbulkan efek dengan mengubah sejumlah tahapan dalam
hantaran kimia sinap (tergantung kerja transmitter). Obat yang bekerja terhadap susunan saraf
pusat berdasarkan efek farmakodinamiknya dibagi atas dua golongan besar yaitu pertama,
merangsang atau menstimulasi secara langsung maupun tidak langsung aktivitas otak,
sumsum tulang belakang beserta syarafnya, kedua, menghambat atau mendepresi, yang
secara langsung maupun tidak lansung proses-proses tertentu pada aktivitas otak, sumsum
tulang belakang dan saraf-sarafnya (Katzung, 2002).
Stimulan sistem saraf pusat (SSP) adalah obat yang dapat merangsang serebrum medula dan
sumsum tulang belakang. Stimulasi daerah korteks otak-depan oleh senyawa stimulan SSP
akan meningkatkan kewaspadaan, pengurangan kelelahan pikiran dan semangat bertambah.
Contoh senyawa stimulan SSP yaitu kafein dan amfetamin (Taylor, 2006).
Obat-obat otonom yaitu obat yag bekerja pada berbagai tahap transmisi dalam system saraf
otonom, mulai dari sel saraf sampai sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ
otonom, tetapi organ otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil
(FKUI, 2008).
1. Apa yang disebut dengan dengan susunan saraf otonom dan transmisi neurohormonal?
2. Apa saja obat agonis dan antagonis kolinergik?
3. Apa saja obat adrenergic?
4. Apa saja obat pelumpuhotot dan pelemas otot?
5. Apa saja obat ganglion?
6. Apa saja obat anestesik umum?
7. Apa saja obat hipnotik- sedatif dan alkohol?
8. Apa saja obat psikotropik?
9. Apa saja obat antiepilepsi dan antikonvulsi?
10. Apa saja obat penyakit Parkinson?
11. Apa saja obat analgesic opioid dan antagonis?
12. Apa saja obat analgsik-antipiretik analgesic anti-inflamasi nonsteroid dan obat
gangguan sendi lainnya?
13. Apa saja obat perangsang susunan saraf pusat?
1.3. TUJUAN
1. SISTEM SARAF
1.1. Pengertian
Sistem saraf merupakan serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan
serta terdiri terutama dari jaringan saraf (Sloane, 2003). Sistem saraf merupakan salah satu
sistem yang berfungsi untuk memantau dan merespon perubahan yg terjadi di dalam dan
diluar tubuh atau lingkungan. Sistem saraf juga bertanggung jawab sebagai sistem
persepsi, perilaku dan daya ingat, serta merangsang pergerakan tubuh (Farley et all, 2014).
Kemampuan untuk dapat memahami, mempelajari, dan merespon suatu rangsangan
merupakan hasil kerja terintegrasi sistem persarafan yang mencapai puncaknya dalam
bentuk kepribadian dan tingkah laku individu (Batticaca, 2008).
1.3. Klasifikasi
Susunan saraf terdiri dari susunan saraf sentral dan susunan saraf perifer. Susunan
saraf sentral terdiri dari otak (otak besar, otak kecil, dan batang otak) dan medula spinalis.
Susunan saraf perifer terdiri dari saraf somatik dan saraf otonom (saraf simpatis dan saraf
parasimpatis).
1.3.1 Susunan Saraf Sentral
Susunan saraf sentral terdiri dari:
1) Otak
Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh
manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Otak
mengandung hampir 98% jaringan saraf tubuh (Batticaca, 2008). Otak dibungkus
oleh tiga selaput otak (meningen) dan dilindungi oleh tulang tengkorak. Selaput
otak terdiri dari tiga lapis yaitu durameter (lapisan paling luar yang menutupi otak
dan medula spinalis, serabut berwarna abu-abu yang bersifat liat, tebal dan tidak
elastis), araknoid (membran bagian tengah yang tipis dan lembut yang menyerupai
sarang laba-laba, berwarna putih karena tidak tidak dialiri aliran darah), dan
piameter (membran yang paling dalam berupa dinding tipis dan transparan yang
menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak) (Batticaca, 2008).
2) Serebrum
Sereberum atau otak besar mempunyai dua belahan yaitu hemisfer kiri dan
hemisfer kanan yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut korpus
kollosum. Serebrum(telensefalon) terdiri dari korteks serebri, basal ganglia dan
rheniensefalon.
3) Korteks Serebri
Korteks serebri adalah lapisan permukaan hemisfer yang disusun oleh substansia
grisea. Beberapa daerah tertentu dari korteks serebri telah diketahui memiliki
fungsi spesifik. Brodmann (1909) membagi korteks serebri menjadi 47 area
berdasarkan struktur selular. Bagian-bagian dari korteks serebri menurut
Brodmann:
1. Lobus Frontalis
Area 4 (area motorik primer) sebagian besar girus presentralis dan bagian
anterior lobus parasentralis); area 6 bagian sirkuit traktus piramidalis (area
premotorik) mengatur gerakan motorik dan premotorik, area 8 mengatur
gerakan mata dan perubahan pupil; dan area 9, 10, 11, 12 (area asosiasi
frontalis). Lobus frontalis terletak di depan serebrum, bagian belakang dibatasi
oleh sulkus sentralis rolandi.
2. Lobus Perietalis
Area 3, 1, 2 adalah area sensorik primer (area postsentral) meliputi girus
sentralis dan meluas ke arah anterior sampai mencapai dasar sulkus sentralis dan
area 5, 7 (area asosiasi somatosensorik) meliputi sebagian permukaan medial
hemisfer serebri.
3. Lobus Oksipitalis
Area 17 (korteks visual primer) permukaan medial lobus oksipitalis sepanjang
bibir superior dan inferior sulkus kalkanius; area 18, 19 (area asosiasi visual)
sejajar dengan area 17 meluas sampai meliputi permukaan lateral lobus
oksipitalis.
4. Lobus Temporalis
Area 41 (korteks auditori primer) meliputi girus temporalis superior meluas
sampai ke permukaan lateral girus temporalis; area 42 (area asosiasi auditorik)
korteks area sedikit meluas sampai pada permukaan girus temporalis superior;
dan area 38, 40, 20, 21, 22 (area asosiasi) permukaan lateral dibagi menjadi girus
temporalis superior, girus temporalis media dan girus temporalis inferior. Pada
bagian basal terdapat girus fusiformis.
5. Area Broka
Area broka (area bicara motoris) terletak di atas sulkus lateralis, mengatur
gerakan berbicara.
6. Area Visualis
Area visualis terdapat pada polus posterior dan aspek medial hemisfer serebri di
daerah sulkus kalkaneus, merupakan daerah menerima visual. Gangguan dalam
ingatan untuk peristiwa yang belum lama.
7. Insula Reili
Insula reili yaitu bagian serebrum yang membentuk dasar fisura silvi yang
terdapat di antara lobus frontalis, lobus parietalis dan lobus oksipitalis. Bagian
otak ini ditutupi oleh girus temporalis dan girus frontalis inferior.
8. Girus Singuli
Girus singuli yaitu bagian medial hemisfer terletak di atas korpus kolosum.
Pendahuluan
Sistem saraf motorik secara garis besar dibagi atas sistem otonom dan somatik. Sistem
saraf otonom sesuai dengan namanya bersifat otonom (independen) dimana aktifitasnya
tidak dibawah kontrol kesadaran secara langsung. Sistem saraf otonom (SSO) terutama
berfungsi dalam pengaturan fungsi organ dalam seperti curah jatung, aliran darah ke
berbagai organ, sekresi dan motilitas gastrointestinal, kelenjar keringat dan temperatur
tubuh. Aktifasi SSO secara prinsip terjadi dipusat di hipothalamus, batang otak dan
spinalis. Impuls akan diteruskan melalui sistem simpatis dan parasimpatis. (Indra,
2012)
Anatomi
Sistem Saraf otonom terdiri dari saraf preganglion, ganglion dan saraf
pascaganglion yang mempersarafi sel efektor. Secara garis besar dibagai atas sistem
simpatis (thorakolumbal) dan parasimpatis (kraniosakral) (gambar 1). Keduanya
berasal dari nukleus yang berada dalam sistem saraf pusat. Serat preganglion simpatis
meninggalkan sistem saraf pusat melalui nervus spinalis thorakal dan lumbal, sehingga
dinamakan sistem thorakolumbal dan serat preganglion parasimptis meninggalkan
sistem saraf pusat melalui saraf kranial (khususnya N III, VII, IX dan N X) dan nervus
sakral, sehingga dinamakan sistem kraniokaudal. Lingkaran refleks saraf otonom terdiri
dari serat eferen yang sentripetal disalurkan melalui N. vagus, pelvikus, splanknikus
dan saraf otonom lainnya. Badan sel serat- serat ini terletak di ganglia dalam kolumna
dorsalis dan di ganglia sensorik dari saraf kranial tertentu. (Indra,2012)
Gambar 1 Skema diagram Susunan saraf pusat
Fisiologi
Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem simpatis dan parasimpatis memperlihatkan
fungsi yang antagonistik. Bila yang satu menghambat suatu fungsi maka yang lain
memacu fungsi tersebut. Contoh yang jelas ialah midriasis terjadi dibawah pengaruh
saraf simpatis dan miosis dibawah pengaruh parasimpatis.Organ tubuh umumnya
dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis, dan tonus yang terjadi merupakan hasil
perimbangan kedua sistem tersebut. Inhibisi salah satu sistem oleh obat maupun akibat
denervasi menyebabkan aktifitas organ tersebut didominasi oleh sistem yang lain.
Antagonisme ini tidak terjadi pada semua organ, kadang kadang efeknya sama,
misalnya untuk ereksi. Sekresi liur dirangsang baik oleh saraf simpatis maupun
parasimpatis, tetapi sekret yang dihasilkan berbeda kualitasnya pada perangsangan
simpatis liur kental, sedangkan pada perangsangan parasimpatis liur lebih encer.
Fungsi dua sistem tersebut dapat juga saling melengkapi, misalnya pada fungsi seksual,
ereksi merupakan fungsi parasimpatis sedangkan ejakulasi efek simpatis. Secara umum
dapat dikatakan bahwa sistem parasimpatis berperan dalam fungsi pertahanan diri yang
dikenal dengan fight or flight reaction. (Indra,2012)
Sistem parasimpatis fungsinya lebih terlokalisir, tidak difus seperti sistem simpatis,
dengan fungsi utama menjaga dan memelihara sewaktu aktifitas organisme minimal.
Sistem ini mempertahankan denyut jantung dan tekanan darah pada fungsi basal,
menstimulasi sistem pencernaan berupa peningkatan motilitas dan sekresi getah
pencernaan, meningkatkan absorbsi makanan, memproteksi retina terhadap cahaya
berlebihan, mengosongkan rektum dan kandung kemih. Dengan demikian saraf
parasimpatis tidak perlu bekerja secara serentak. (Indra,2012)
Transmisi Neurohumoral
Impuls saraf dari susunan saraf pusat (SSP) hanya dapat diteruskan ke ganglion dan
sel efektor melalui pelepasan suatu zat kimia yang khas yang disebut transmitor
neurohumoral atau disingkat transmitor. Pada dosis terapi, tidak banyak obat yang
dapat mempengaruhi konduksi akson, tetapi banyak sekali zat yang dapat mengubah
transmisi neurohumoral. Konduksi saraf hanya dapat dipengaruhi oleh anestetik lokal
dosis terapi yang diinfiltrasikan dalam kadar yang relatif tinggi di sekitar serabut saraf,
dan oleh beberap zat lain seperti tetradoksin. (Indra,2012)
Pada akson, potensial membran istirahat sekitar -70 mV. Potensial negatif ini
disebabkan oleh kadar ion K+ didalam sel saraf 40 kali lebih besar daripada kadarnya
diluar sel, sedangkan ion Na+ dan Cl+ jauh lebih banyak di luar sel. Dalam keadaan
potensial istirahat ini, ion Na+ tidak dapat memasuki sel. Bila ada depolarisasi yang
mencapai ambang rangsang, maka permeabilitas terhadap ion Na+ sangat meningkat
sehingga ion Na+ masuk ke dalam aksoplasma dan menyebabkan potensial yang
negatif tadi menuju netral dan bahkan menjadi positif . Hal ini diikuti dengan
repolarisasi, yaitu kembalinya potensial istirahat dengan terhentinya pemasukan ion
Na+ dan keluarnya ion K+. Perubahan potensial tersebut disebut potensial aksi
(impuls) saraf (nerve action potential, NAP). Gambar 2
Gambar 2 Perubahan potensial pada neuron
NAP akan berjalan sepanjang akson sampai di ujung saraf, di sinaps akan
menyebabkan pelepasan transmitor. Transmitor akan melintasi celah sinaps selebar
100-500 Angstrom ke membran pasca sinaps. Transmitor ini disintesis dan disimpan
di ujung akson dalam organel yang disebut gelembung (vesikel) sinaps. (Indra,2012)
Transmitor yang dilepaskan dari ujung saraf preganglion ialah asetilkolin (ACh),
(lihat gambar 3). ACh berdifusi sepanjang celah sinaps dan mencapai membran
pasca sinaps; disini ACh bergabung dengan reseptornya dan mengakibatkan
terjadinya depolarisasi membran saraf pasca ganglion yang disebut potensial
perangsangan pasca sinaps (excitatory postsynaptic potential, (Indra,2012)
Transmisi Kolinergik
Sintesis Asetilkolin
Otto Loewi (1921) dari Universitas Graz, Austria pertamakali membuktikan adanya
zat neurotransmiter bila N. Vagus dirangsang, yang dinamakannya vagussstoff.
Setelah diteliti ternyata zat vagus tersebut adalah asetilkolin (ACh). Terdapat dua
jenis enzim yang berhubungan dengan Ach yaitu kolinasetilase dan kolinesterase.
Kolinasetilase (koliasetiltransferase, ChAT) mengkatalisis sintesis ACh, pada
tahap pemindahan gugus asetil dari asetilkoenzim-A ke molekul kolin. Reaksi ini
merupakan langkah terakhir dalam sintesis ACh, yang terjadi dalam sitoplasma
ujung saraf yang kemudian ditransportasi ke dalam gelembung sinaps tempat ACh
disimpan dalam kadar tinggi (gambar 3). (Indra,2012)
Penyimpanan dan Pelepasan Asetilkolin Pada tahun 1950 Fall dan Kastz
menemukan ACh dilepaskan dari ujung saraf somatik dalam satuan-satuan yang
jumlahnya konstan (kuanta). Ach dalam jumlah tersebut hanya menimbulkan
perubahan potensial kira-kira 0,5 mV. Potensial miniatur lempeng saraf (miniatur
end-plate potential, mepp) yang tidak cukup untuk menimbulkan potensial aksi ini,
ditingkatkan dengan pemberian neostigmin dan diblok oleh d-tubokurarin. Suatu
potensial aksi yang mencapai ujung saraf akan menyebabkan penglepasan ACh
secara eksplosif sebanyak 100 atau lebih kuanta (atau vesikel). Urutan kejadiannya
diduga sebagai berikut : depolarisasi ujung saraf diikuti influks ion Ca yang akan
berikatan dengan gugus bermuatan negatif di membran aksoplasmik bagian dalam.
Hal ini menyebabkan terjadinya fusi membran akson dengan membran vesikel,
diikuti penglepasan Ach dari dalam vesikel (proses eksositosis). Penglepasan ini
dihambat oleh ion Mg yang berlebihan. (Indra,2012)
Transmisi Adrenergik
Sintesis katekolamin
2. KOLINERGIK
a. Devinisi Kolinergik
Senyawa kolinergik adalah senyawa yang secara langsung atau tidak langsung dapat
menimbulkan efek seperti yang ditunjukan oleh asetil kolin, suatu senyawa
normal,bubuh yang disintetis pada jaringan saraf, sinapsis kolinergik dan dinding
usus. Ada dua tipe efek yang dihasilkan yaitu efek muskarinik dan nikotinik.
(Kimin, 2004)
Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat
menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena
melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama
SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya,
singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang, timbullah sejumlah efek
yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting
seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi
kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, dan lain-lain,
memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi,
dan penurunan tekanan darah, memperlambat pernafasan, antara lain dengan
menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata
dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat
lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek
memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka,
menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya. (Kimin, 2004)
Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron
postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan Saraf
Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap
perangsangan, reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni: (Kimin, 2004)
Kolinergika dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja langsung
dan zat-zat dengan kerja tak langsung. Kolinergika yang bekerja secara langsung
meliputi karbachol, pilokarpin, muskarin, dan arekolin (alkaloid dari pinang, Areca
catechu). Zat-zat ini bekerja secara langsung terhadap organ-organ ujung dengan
kerja utama yang mirip efek muskarin dari ACh. Semuanya adalah zat-zat amonium
kwaterner yang bersifat hidrofil dan sukar larut memasuki SSP, kecuali arekolin.
(Kimin, 2004)
Sedangkan kolinergika yang bekerja secara tak langsung meliputi zat-zat
antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin, dan piridogstimin. Obat-obat ini
merintangi penguraian ACh secara reversibel, yakni hanya untuk sementara. Setelah
zat-zat tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase, ACh segera akan dirombak lagi.
Disamping itu, ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara irreversibel, misalnya
parathion dan organofosfat lainnya. Kerjanya panjang, karena bertahan sampai
enzim baru terbentuk lagi. Zat ini banyak digunakan sebagai insektisid beracun kuat
di bidang pertanian (parathion) dan sebagai obat kutu rambut (malathion). Gas saraf
yang digunakan sebagai senjata perang termasuk pula kelompok organofosfat ini,
misalnya Sarin, Soman, dan sebagainya. (Kimin, 2004)
a. Senyawa Kolinergik dengan efek langsung
Senyawa kolinergik dengan efek langsung (Kolinomimetik,
Parasimpatomimetik) adalah obat yang mempunyai struktur kimia, jarak antara
gugus-gugus polr dan distribusi muatan serta dengan asetil kolin sehingga dapat
menimbulkan efek pada transmiter kimia asetikolin.
1) Mekanisme kerja kolinomimetik
Kolinomimetik memiliki struktur mirip dengan asetikolin sehingga dapat
membentuk komplek dengan reseptor asetikolin. Reseptor tersebut terletk
pada membran yan peka. Asetikolin dan kolinomimetik dapat mempengaruhi
dan mengikat keselektifan permeabilitas membran terhadap kation. (Kimin,
2004)
Contoh senyawa kolinergik :
a) Asetilkolin : aktif terhadap nikotinik dan muskarinik cepat
terhidrolisis. Larutan 1 % (dibuat baru) topikal pada interior chamber
mata : 0,5-2 ml.
b) Metacholin : dihidrolisis lebih lambat karena efek halangan sterik oleh
gugus β -metil aktif terhadap muskarinik (jarang digunakan). Dosis : SC
10 mg, setelah 20 menit dapat diberikan 25 mg.
c) Carbachol : dihidrolisis lambat (karena gugus karbamat). Digunakan
pada glaukoma untuk menurunkan tekanan intraokuler. Larutan 1 %
topikal pada kongjutiva mata 1 tetes 2-3 dd.
d) Betanechol: Efek lebih lama (karena halangan sterik & karbamat).
Digunakan untuk stimulasi saluran cerna dan saluran urin pasca operasi.
Dosis oral : 10-30 mg 3 dd dan SC : 2,5 mg 3 dd.
2) Hubungan Struktur dan aktfitas
a) Perubahan gugus amonium kuarterner Salah satu metil dapat
digantikan dengan gugus yang lebih besar tetapi modifikasi seperti itu
dapat menurunkan aktivitas secara drastis Contoh : analog dimetiletil
aktivitas hanya 25% dibanding Ach Substitusi dengan gugus yang lebih
besar atau terhadap lebih dari satu metil dapat meniadakan aktivitas.
Muatan juga penting untuk aktivitas, contoh: isoster karbon tak
bermuatan (3,3-dimetilbutilasetat) hanya punya aktivitas 0,003% tetapi
amin tersier (pilokarpin, arecolin) aktif karena pada pH fisiologis,
amina-amina ini terprotonasi sehingga bermuatan. (Kimin, 2004)
b) Perubahan rantai etilen Bagian molekul ini menjamin jarak yang tepat
antara gugus amonium dengan gugug ester penting untuk pengikatan
yang efektif dengan reseptor.Peningkatan panjang rantai menghasilkan
penurunan aktivitas yang bermakna. Percabangan rantai hanya
memungkinkan untuk substituen metil. Substitusi dengan β-metil
(metacholin)
menunjukkan aktivitas muskarinik, substitusi dengan α-metil
menunjukkan aktivitas nikotinik.
c. Penggunaan kolinergik
Kolinergik terutama digunakan pada : (Kimin, 2004)
1) Glaukoma, yaitu suatu penyakit mata dengan ciri tekanan intra okuler
meningkat dengan akibat kerusakan mata dan dapat menyebabkan kebutaan.
Obat ini bekerja dengan jalan midriasis seperti pilokarpin, karbakol dan
fluostigmin.
2) Myastenia gravis, yaitu suatu penyakit terganggunya penerusan impuls di pelat
ujung motoris dengan gejala berupa kelemahan otot-otot tubuh hingga
kelumpuhan. Contohnya neostigmin dan piridostigmin.
3) Atonia, yaitu kelemahan otot polos pada saluran cerna atau kandung kemih
setelah operasi besar yang menyebabkan stres bagi tubuh. Akibatnya timbul
aktivitas saraf adrenergik dengan efek obstipasi, sukar buang air kecil atau
lumpuhnya gerakan peristaltik dengan tertutupnya usus (ielus paralitikus).
Contohnya prostigmin (neostigmin).
2.2. Antikolinergika
1. Devinisi antikolinergik
Antikolinergik (disebut juga obat penyekat kolinergik atau obat Antagonis
kolinergik) mengikat koffloseptor tetapi tidak memicu efek intraselular diperantarai
oleh reseptor seperti lazimnya yang paling bermanfaat dari obat golongan ini adalah
menyekat sinaps muskarinik pada saraf parasimpatis secara selektif. Oleh karena itu,
efek persarafan parasimpatis menjadi terganggu, dan kerja pacu simpatis muncul
tanpa imbangan. Kelompok kedua obat ini, penyekat ganglioník nampaknya lebib
menyekat reseptor nikotinik pada ganglia simpatis dan parasímpatis. Keluarga ketiga
senyawa ini, obat penyekat neumuscular mengganggu transmisi impuls eferon yang
menuju otot rangka.
Antikolinergik juga disebut antimuskaranik, parasimpatolitik, kolinolitik, atroponik,
dan pemblok parasimpatetik
Antikolinergik menghambat efek asetilkolin pada saraf postganglionik kolinergik
danotot polos, menghasilkan efek efek sebagai berikut:
a. Anti spasmodik, yaitu menurunkan tonus dan pergerakan sauran cerna dan
saluran urogenital.
b. Antisekresi, mengurangi sekresi air liur, keringat dan asam lambung.
c. Anti parkison, parkison adalah suatu ppenyakit yang disebabkan oleh adanya
ketidak seimbangan kadar dopain fan asetil kolin di otak.
d. Mifriatik atau dilatasi pupil mata sikloplegik atau paralisis struktur siliari
mata, yang menyebabkan paralisis akomodasi pengihatan dekat.
Efek samping antikolinergik antara lain adalah mulut kering, anhidrosis, mata
kabur. Takikardia, disuria dan retensi urin akut. Pada orag dapat menyebabkan
glau koma, konstipasi, dan kesulitan akomodasi penglihatan.
2. Golongan obat antikolinergik
Berdasarkan efek yang ditimbulkan senyawa antikolinergik dibagi menjadi empat
kelompok yaitu: (Kimin, 2004)
a. Obat antispasmodik
Obat antispanmodik (spasmolitik umum) adalah senyawa yang dapat
menurunkan tonus dan pergerakan sauran cerna dan urogenial. Obat
antispasmodik digunakan sebagai penunjang pengobatan tukak lambung da
usus, serta untuk eringankan spasme viseral.
Antikolinergik yang digunakan sebagai obat anti spasmodik obat antispasmodik
dibagi enjadi tiga kelompok yaitu alkoloida salonacea dan turunanya, senyawa
amonium kuartener siteti dan senyawa amin tersier sintetik.
b. Senyawa antisekresi
Efek antisekrsi dapat dihasilkan oleh senyawa antikolinergik dan digunakan
sebagai obat tambahan pada pengobatan tukak lambung dan usus serta untuk
meringankan spasme viseral.
Contoh: klidinium klorida, fentonium bromida, isopropamid iodida, metalin
bromida, dan propentelin bromida.
c. Obat anti parkinson
Obat anti-parkinson adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan gejala
penyakit parkinson. Pada individu normal ada keseimbangan antara kadar
dopamin dan asetilkolin diotak. Adanya ketidak seimbangan kadar kedua
senyawa diatas, terutama kekurangan dopamin disriatum otak dapat
menyebabkan penyakit parkinson.
Berdasarkan mekanisme kerjanya obat anti parkinson dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu senyawa antikolinergik pusat, senyawa yang mempengaruhi
kadar dopamin diotak dan senyawa yang menurunkan metabolisme dopamin.
d. Midriatik
Antikolinergik kuat digunakan seeccara setempat pada mata karna
menimbulkan efek midriasis (dilatasi pupil) dan siklopelgia (paralisis
akomodasi). Midriatik dan efek sikloplegik digunakan untuk membantu
pembiasan dan pemeriksaaan bagian dalam mata, membantu prosedur
diagnostik sebelum, selama dan sesudah oprasi intrakular serta untuk untuk
pengobatan glaukoma sekunder.
Contoh : atropin sufat, hematropin HBr, hisin metil bromida, dan tropikamid.
3. Hubungan Struktur Dan Aktifitas
Struktur umum CR2X-CO-O-(CH2)n- N
a. Strruktur antikolinergik sangat mirip dengan senyawa kolinergik. Perbedaan
utama adalah adanya gugus besar yang terikat pada gugus alkil yang dapat
meningkatkan kekuatan ikatan dengan permukaan resptor.
b. Pemasukan subtituen pada cincin aromatik (gugus fenil) hanya sedikit
menunjang aktivitas.
c. X dapat berupa gugus H, OH, CH3, CONH2-adanya gugus OH meningkatkan
aktivitas antikolnergik karna dapat menunjang kekuatan intraksi obat resptor
melalui ikatan hidrogen.
d. N berupa amonium kuarterner atau amin tersier yang terprotonasi pada pH
fisologis atau bio fisa, membentuk gaya tarik menari elekstrostatik.
Contoh Obat di Pasaran (Kimin, 2004)
Tablet, Sirup (Theophylline/Teofilin)
Nama Obat Generik : Theophylline / Teofilin
Nama Obat Bermerek : Bronsolvan
KOMPOSISI
Tiap tablet Bronsolvan mengandung Theophylline (Teofilin) 150 mg.
Tiap 15 ml sirup Bronsolvan mengandung Theophylline (Teofilin) 150 mg.
FARMAKOLOGI (CARA KERJA OBAT)
Teofilin merupakan turunan metilxantin yang mempunyai efek antara lain
merangsang susunan saraf pusat dan melemaskan otot polos, terutama bronkus.
(Kimin, 2004)
INDIKASI
Indikasi Bronsolvan adalah untuk meringankan dan mengatasi serangan asma
bronkial.
KONTRAINDIKASI
EFEK SAMPING
Efek samping Bronsolvan yang dapat timbul adalah sebagai berikut :
· Pernapasan : takipnea
INTERAKSI OBAT
KEMASAN
Tablet, Dus, Isi 10 Strip x 10 tablet.
Sirup, Botol, isi 100 ml. (Kimin, 2004)
KETERANGAN
Kocok terlebih dahulu.
Simpan di bawah suhu 30 C. Simpan dalam keadaan tertutup rapat. (Kimin, 2004)
3. ADRENERGIK
1. Definisi Adrenergik
Adrenergik dapat dibagi dalam dua kelompok menurut titik kerjanya di sel – sel
efektor dari organ – ujung, yakni reseptor-alfa dan reseptor-beta. Perbedaan
antara kedua jenis reseptor didasarkan atas kepekaannya bagi adrenalin,
noradrenalin ( NA ), dan isoprenalin. Reseptor-alfa lebih peka bagi NA,
sedangkan reseptor-beta lebih sensitive bagi isoprenalin.
Diferensiasi lebih lanjut dapat dilakukan menurut efek fisiologisnya yaitu
dalam alfa-1 dan alfa-2 serta beta-1 dan beta-2.Pada umumnya stimulasi dari
masing-masing reseptor itu menghasilkan efek-efek sebagai berikut :
(Ganiswarna, 1998)
Alfa-1 : menimbulkan vasokonstriksi dari otot polos dan menstimulasi
sel-sel kelenjar dengan bertambahnya antara lain sekresi liur dan keringat.
Alfa-2 : menghambat pelepasan NA pada saraf-saraf adrenegis dengan
turunnya tekanan darah. Mungkin pelepasan ACh di saraf kolinergis dalam
usus pun terhambat sehingga antara lain menurunnya peristaltic.
Beta-1 : memperkuat daya dan frekuensi kontraksi jantung (efek inotrop
dan kronotop).
Beta-2 : bronchodilatasi dan stimulasi metabolisme glikogen dan lemak.
Lokasi reseptor ini umumnya adalah sebagai berikut :
alfa-1 dan beta-1 : postsinaptis artinya lewat sinaps di organ efektor
alfa-2 dan beta-2 : presinaptis dan ekstrasi-naptis yaitu dimuka sinaps
atau diluarnya antara lain dikulit otak,rahim,dan pelat-pelat darah. Reseptor-
a1 juga terdapat presinaptis (Ganiswarna, 1998).
EPINEFRIN
Epinefrin merupakan prototype obat kelompok adrenergic. Zat ini dihasilkan juga
oleh anak-ginjal dan berperan pada metabolisme hidrat-arang dan lemak. Adrenalin
memiliki semua khasiat adrenergis alfa dan beta, tetapi efek betanya relative lebih
kuat ( stimulasi jantung dan bronchodilatasi ). (Ganiswarna, 1998)
a. Mekanisme Kerja
Farmakodinamika
Pada umumnya pemberian epinefrin menimbulkan efek mirip stimulasi saraf
adrenergic. Ada beberapa perbedaan karena neurotransmitter pada saraf adrenergic
adalah NE. Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos
pembuluh darah dan otot polos lain.
Jantung, epinefrin mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung
dan jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positif
epinefrin pada jantung.
Epinefrin mempercepat depolarisasi fase 4, yakni depolarisasi lambat sewaktu
diastole, dari nodus sino-atrial ( SA ) dan sel otomatik lainnya, dengan demikian
mempercepat firing rate pacu jantung dan merangsang pembentukan focus ektopik
dalam ventrikel. Dalam nodus SA, epinefrin juga menyebabkan perpindahan pacu
jantung ke sel yang mempunyai firing rate lebih cepat. (Ganiswarna, 1998)
Epinefrin mempercepat konduksi sepanjang jaringan konduksi, mulai dari atrium ke
nodus atrioventrikular ( AV ). Epinefrin juga mengurangi blok AV yang terjadi
akibat penyakit, obat atau aktivitas vagal. Selain itu epinefrin memperpendek
periode refrakter nodus AV dan berbagai bagian jantung lainnya. Epinefrin
memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi. Dalam mempercepat denyut
jantung dalam kisaran fisiologis, epinefrin memperpendek waktu sistolik tanpa
mengurangi waktu diastolic. Akibatnya curah jantung bertambah tetapi kerja jantung
dan pemakaian oksigen sangat bertambah sehingga efisiensi jantung ( kerja
dibandingkan dengan pemakaian oksigen ) berkurang. Dosis epinefrin yang berlebih
disamping menyebabkan tekanan darah naik sangat tinggi juga menimbulkan
kontraksi ventrikel premature diikuti takikardia ventrikel dan akhirnya fibrilasi
ventrikel.
Pembuluh darah, efek vascular epinefrin terutama pada arteriol kecil dan
sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah
kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi karena dalam organ – organ
tersebut reseptor α dominan. Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi oleh
epinefrin dosis rendah, akibat aktivasi reseptor β2 yang mempunyai afinitas lebih
besar pada epinefrin dibandingkan dengan reseptor α. Epinefrin dosis tinggi bereaksi
dengan kedua jenis reseptor tersebut. Dominasi reseptor α di pembuluh darah
menyebabkan peningkatan resistensi perifer yang berakibat peningkatan tekanan
darah. Pada waktu kadar epinefrin menurun, efek terhadap reseptor α yang kurang
sensitive lebih dulu menghilang. Efek epinefrin terhadap reseptor β2 masih ada pada
kadar yang rendah ini. Dan menyebabkan hipotensi sekunder pada pemberian
epinefrin secara sistemik. Jika sebelum epinefrin telah diberikan suatu penghambat
reseptor α, maka pemberian epinefrin hanya menimbulkan vasodilatasi dan
penurunan tekanan darah. Gejala ini disebut epinefrin reversal yaitu suatu kenaikan
tekanan darah yang tidak begitu jelas mungkin timbul sebelum penurunan tekanan
darah ini, kenaikan yang selintas ini akibat stimulsai jantung oleh epinefrin.
(Ganiswarna, 1998)
Pada manusia pemberian epinefrin dalam dosis terapi yang menimbulkan kenaikan
tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan
peningkatan aliran darah otak. (Ganiswarna, 1998)
Epinefrin dalam dosis yang tidak banyak mempengaruhi tekanan darah,
meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dan mengurangi aliran darah ginjal
sebanyak 40%. Ekskresi Na, K dan Cl berkurang volume urin mungkin bertambah,
berkurang atau tidak berubah. Tekanan darah arteri maupun vena paru meningkat
oleh epinefrin meskipun terjadi konstriksi pembuluh darah paru, redistribusi darah
yang berasal dari sirkulasi sistemik akibat konstriksi vena – vena besar juga berperan
penting dalam menimbulkan kenaikan tekanan darah paru. Dosis epinefrin yang
berlebih dapat menimbulkan kematian karena adema paru. (Ganiswarna, 1998)
Pernapasan, epinefrin mempengaruhi pernapasan terutama dengan cara
merelaksasi otot bronkus melalui reseptor β2. efek bronkodilatasi ini jelas sekali bila
sudah ada kontraksi otot polos bronkus karena asma bronchial, histamine, ester
kolin, pilokarpin, bradikinin, zat penyebab anafilaksis yang bereaksi lambat dan lain
– lain. Disini epinefrin bekerja sebagai antagonis fisiologik. Pada asma, epinefrin
juga menghambat penglepasan mediator inflamasi dari sel – sel mast melalui
reseptor β2, serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti mukosa melalui reseptor
α1.
Proses Metabolik, epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan otot
rangka melalui reseptor β2, glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian
glukosa-6-fosfat. Hati mempunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak,
sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas asam laktat. Epinefrin
juga menyebabkan penghambatan sekresi insulin akibat dominasi aktivasi reseptor
α2 yang menghambat, terhadap aktivasi reseptor β2 yang menstimulasi sekresi
insulin. Sekresi glucagon ditingkatkan melalui reseptor β pada sel α pancreas. Selain
itu epinefrin mengurangi ambilan glukosa oleh jaringan perifer, sebagian akibat
efeknya pada sekresi insulin, tapi juga akibat efek langsung pada otot rangka.
Akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa dan laktat dalam darah dan penurunan
kadar glikogen dalam hati dan otot rangka. (Ganiswarna, 1998)
Epinefrin melalui aktivasi reseptor β meningkatkan aktivasi lipase trigliserida dalam
jaringan lemak, sehingga mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak
bebas dan gliserol. Akibatnya kadar asam lemak bebas dalam darah meningkat. Efek
kalorigenik epinefrin terlihat sebagai peningkatan pemakaian oksigen sebanyak 20
sampai 30% pada pemberian dosis terapi. Efek ini terutama disebabkan oleh
peningkatan katabolisme lemak, yang menyediakan lebih banyak substrat untuk
oksidasi.
Efek utamanya terhadap organ dan proses – proses tubuh penting dapat diikhtisarkan
sebagai berikut : (Ganiswarna, 1998)
Jantung : daya kontraksi diperkuat ( inotrop positif ), frekuensi ditingkatkan (
chronotrop positif ), sering kali ritmenya di ubah.
Pembuluh : vasokontriksi dengan naiknya tekanan darah.
Pernapasan : bronchodilatasi kuat terutama bila ada konstriksi seperti pada
asma atau akibat obat.
Metabolisme ditingkatkan dengan naiknya konsumsi O2 dengan ca 25%,
berdasarkan stimulasi pembakaran glikogen ( glycogenolysis ) dan lipolysis. Sekresi
insulin di hambat, kadar glukosa dan asam lemak darah ditingkatkan.
Farmakokinetik
Absorbsi, pada pemberian oral, epinefrin tidak mencapai dosis terapi karena
sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada
dinding usus dan hati. Pada penyuntikan SK, absorbsi lambat karena vasokontriksi
local, dapat dipercepat dengan memijat tempat suntikan. Absorbsi yang lebih cepat
terjadi dengan penyuntikan IM. Pada pemberian local secara inhalasi, efeknya
terbatas terutama pada saluran napas, tetapi efek sistemik dapat terjadi, terutama bila
digunakan dosis besar. (Ganiswarna, 1998)
Biotransformasi dan ekskresi, epinefrin stabil dalam darah. Degradasi
epinefrin terutama terjadi dalam hati terutama yang banyak mengandung enzim
COMT dan MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak zat ini. Sebagian besar
epinefrin mengalami biotransformasi, mula – mula oleh COMT dan MAO,
kemudian terjadi oksidasi, reduksi dan atau konyugasi, menjadi metanefrin, asam 3-
metoksi-4-hidroksimandelat, 3-metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk
konyugasi glukuronat dan sulfat. Metabolit – metabolit ini bersama epinefrin yang
tidak diubah dikeluarkan dalam urin. Pada orang normal, jumlah epinefrin yang utuh
dalam urin hanya sedikit. Pada pasien feokromositoma, urin mengandung epinefrin
dan NE utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya. (Ganiswarna, 1998)
b. Indikasi
Terutama sebagai analepticum, yakni obat stimulan jantung yang aktif sekali pada
keadaan darurat, seperti kolaps, shock anafilaktis, atau jantung berhenti. Obat ini
sangat efektif pada serangan asma akut, tetapi harus sebagai injeksi karena per oral
diuraikan oleh getah lambung. (Ganiswarna, 1998)
c. Kontraindikasi
Epinefrin dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat β-bloker nonselektif,
karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor α1 pembuluh darah dapat
menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak. (Ganiswarna, 1998)
d. Efek samping
Pemberian epinefrin dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala
berdenyut, tremor, dan palpitasi. Gejala – gejala ini mereda dengan cepat setelah
istrahat. Pasien hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap efek – efek tersebut
maupun terhadap efek pada system kardiovaskular. Pada pasien psikoneuretik
epinefrin memperberat gejala – gejalanya. (Ganiswarna, 1998)
NOREPINEFRIN
Norepinefrin adalah derivate tanpa gugus-metil pada atom-N. neurohormon ini
khususnya berkhasiat langsung terhadap reseptor α dengan efek fasokontriksi dan
naiknya tensi. Efek betanya hanya ringan kecuali kerja jantungnya ( β1 ). Bentuk-
dekstronya, seperti epinefrin, tidak digunakan karena ca 50 kali kurang aktif. Karena
efek sampingnya bersifat lebih ringan dan lebih jarang terjadi, maka norepinefrin
lebih disukai penggunaannya pada shok dan sebagainya. Atau sebagai obat
tambahan pada injeksi anastetika local. (Ganiswarna, 1998)
a. Mekanisme Kerja
Farmakodinamika
NE bekerja terutama pada reseptor α, tetapi efeknya masih sedikit lebih lemah bila
dibandingkan dengan epinefrin. NE mempunyai efek β1 pada jantung yang
sebanding dengan epinefrin, tetapi hampir tidak memperlihatkan efek β2.
(Ganiswarna, 1998)
Infus NE pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan diastolic, tekanan
sistolik, dan biasnya juga tekanan nadi. Resistensi perifer meningkat sehingga aliran
darah melalui ginjal, hati dan juga otot rangka juga berkurang. Filtrasi glomerulus
menurun hanya bila aliran darah ginjal sangat berkurang. Reflex vagal
memperlambat denyut jantung, mengatasi efek langsung NE yang mempercepatnya.
Perpanjangan waktu pengisian jantung akibat perlambatan denyut jantung ini,
disertai venokonstriksi dan peningkatan kerja jantung akibat efek langsung NE pada
pembuluh darah dan jantung, mengakibatkan peningkatan curah sekuncup. Tetapi
curah jantung tidak berubah atau bahkan berkurang. Aliran darah koroner
meningkat, mungkin karena dilatasi pembuluh darah koroner tidak lewat persarafan
otonom tetapi dilepasnya mediator lain, antara lain adenosin, akibat peningkatan
kerja jantung dan karena peningkatan tekanan darah. Berlainan dengan epinefrin,
NE dalam dosis kecil tidak menimbulkan vasodilatasi maupun penurunan tekanan
darah, karena NE boleh dikatakan tidak mempunyai efek terhadap reseptor β2 pada
pembuluh darah. (Ganiswarna, 1998)
otot rangka. Efek metabolic NE mirip epinefrin tetapi hanya timbul pada dosis yang
lebih besar. (Ganiswarna, 1998)
b. Indikasi
Pengobatan pada pasien shock atau sebagai obat tambahan pada injeksi pada
anastetika local. (Ganiswarna, 1998)
c. Kontraindikasi
Obat ini dikontraindikasikan pada anesthesia dengan obat – obat yang menyebabkan
sensitisasi jantung karena dapat timbul aritmia. Juga dikontraindikasikan pada
wanita hamil karena menimbulkan kontraksi uterus hamil. (Ganiswarna, 1998)
d. Efek Samping
Efek samping NE serupa dengan efek samping epinefrin, tetapi NE menimbulkan
peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi. Efek samping yang paling umum
berupa rasa kuatir, sukar bernafas, denyut jantung yang lambat tetapi kuat, dan nyeri
kepala selintas. Dosis berlebih atau dosis biasa pada pasien yang hiper-reaktif (
misalnya pasien hipertiroid ) menyebabkan hipertensi berat dengan nyeri kepala
yang hebat, fotofobia, nyeri dada, pucat, berkeringat banyak, dan muntah.
(Ganiswarna, 1998)
ISOPROTERENOL
Obat ini juga dikenal sebagai isopropilnorepinefrin, isopropilarterenol dan
isoprenalin, merupakan amin simpatomimetik yang kerjanya paling kuat pada semua
reseptor β, dan hampir tidak bekerja pada reseptor α. (Ganiswarna, 1998)
a. Mekanisme Kerja
Farmakodinamika
Isoproterenol tersedia dalam bentuk campuran resemik. Infus isoproterenol pada
manusia menurunkan resistensi perifer, terutama pada otot rangka, tetapi juga pada
ginjal dan mesenterium, sehingga tekanan diastolic menurun. Curah jantung
meningkat karena efek inotropik dan kronotropik positif langsung dari obat.pada
dosis isoproterenol yang biasa diberikan pada manusia, peningkatan curah jantung
umumnya cukup besar untuk mempertahankan atau meningkatkan tekanan sistolik,
tetapi tekanan rata – rata menurun. Efek isoproterenol terhadap jantung
menimbulkan palpitasi, takikardia, sinus dan aritmia yang lebih serius. (Ganiswarna,
1998)
Isoproterenol melalui aktivasi reseptor β2, menimbulkan relaksasi hampir semua
jenis otot polos. Efek ini jelas terlihat bila tonus otot tinggi, dan paling jelas pada
otot polos bronkus dan saluran cerna. Isoproterenol mencegah atau mengurangi
bronkokonstriksi. Pada asma, selain menimbulkan bronkodilatasi, isoprotorenol juga
menghambat penglepasan histamine dan mediator – mediator inflamasi
lainnya.akibat reaksi antigen-antibodi, efek ini juga dimiliki oleh β2-agonis yang
selektif. Efek hiperglikemik isoproterenol lebih lemah dibandingkan dengan
epinefrin, antara lain karena obat ini menyebabkan sekresi insulin melalui aktivasi
reseptor β2 pada sel – sel beta pancreas tanpa diimbangi dengan efek terhadap
reseptor α yang menghambat sekresi insulin. Isoproterenol lebih kuat dari epinefrin
dalam menimbulkan efek penglepasan asam lemak bebas dan efek kalorigenik.
(Ganiswarna, 1998)
b. Indikasi
Digunakan pada kejang bronchi ( asma ) dan sebagai stimulant sirkulasi darah.
c. Kontraindikasi
Pasien dengan penyakit arteri koroner menyebabkan aritmia dan serangan angina.
d. Efek samping
Efek samping yang umum berupa palpitasi, takikardi, nyeri kepala dan muka merah.
Kadang – kadang terjadi aritmia dan serangan angina, terutama pada pasien dengan
penyakit arteri koroner. Inhalasi isoproterenol dosis berlebih dapat menimbulkan
aritmia ventrikel yang fatal. (Ganiswarna, 1998)
DOPAMIN
a. Mekanisme Kerja
Farmakodinamik
Precursor NE ini mempunyai kerja langsung pada reseptor dopaminergik dan
adrenergic, dan juga melepaskan NE endogen. Pada kadar rendah, dopamin bekerja
pada reseptor dopaminergik D1 pembuluh darah, terutama di ginjal, mesenterium
dan pembuluh darah koroner. Stimulasi reseptor D1 menyebabkan vasodilatasi
melalui aktivasi adenilsiklase. Infus dopamin dosis rendah akan meningkatkan aliran
darah ginjal, laju filtrasi glomerulus dan ekskresi Na+ . Pada dosis yang sedikit lebih
tinggi, dopamin meningkatkan kontraktilitas miokard melalui aktivasi adrenoseptor
β1. Dopamin juga melepaskan NE endogen yang menambah efeknya pada jantung.
Pada dosis rendah sampai sedang, resistensi perifer total tidak berubah. Hal ini
karena dopamin mengurangi resistensi arterial di ginjal dan mesenterium dengan
hanya sedikit peningkatan di tempat – tempat lain.dengan demikian dopamin
meningkatkan tekanan sistolik dan tekanan sistolik dan tekanan nadi tanda
mengubah tekanan diastolic ( atau sedikit meningkat ). Akibatnya dopamin terutama
berguna untuk keadaan curah jantung rendah disertai dengan gangguan fungsi ginjal,
misalnya syok kardiogenik dan gagal jantung yang berat. Pada kadar yang tinggi
dopamin menyebabkan vasokontriksi akibat aktivasi reseptor α1 pembuluh darah.
Karena itu bila dopamin di gunakan untuk syok yang mengancam jiwa, tekanan
darah dan fungsi ginjal harus dimonitor. Reseptor dopamin juga terdapat dalam otak,
tetapi dopamin yang di berikan IV, tidak menimbulkan efek sentral karena obat ini
sukar melewati sawar darah-otak. (Ganiswarna, 1998)
Fenoldopam merupakan agonis reseptor D1 perifer dan mengikat reseptor α2 dengan
afinitas sedang, afinitas terhadap reseptor D2, α1 dan β tidak berarti. Obat ini
merupakan vasodilator kerja cepat untuk mengontrol hipertensi berat ( misalnya
hipertensi maligna dengan kerusakan organ ) di rumah sakit untuk jangka pendek,
tidak lebih dari 48 jam. Fenoldopam mendilatasi berbagai pembuluh darah, termasuk
arteri koroner, arteriol aferen dan eferen ginjal dan arteri mesenteric. Masa paruh
eliminasi fenoldopam intravena, setelah penghentian 2-jam infuse ialah 10 menit.
Efek samping akibat vasodilatasi berupa sakit kepala, muka merah, pusing,
takikardia atau bradikardia. (Ganiswarna, 1998)
Dopeksamin merupakan analog dopamin dengan aktivitas intrinsic pada reseptor D1,
D2 dan β2, juga menghambat ambilan katekolamin. Obat ini agaknya
memperlihatkan efek hemodinamik yang menguntungkan pada pasien gagal jantung
berat, sepsis dan syok. Pada pasien dengan curah jantung rendah, infus dopeksamin
meningkatkan curah sekuncup dan menurunkan resistensi vascular sistemik.
(Ganiswarna, 1998)
b. Indikasi
Pengobatan pada pasien syok dan hipovolemia.
c. Kontraindikasi
Dopamin harus dihindarkan pada pasien yang sedang diobati dengan penghambat
MAO.
d. Efek Samping
Dosis belebih dapat menimbulkan efek adrenergic yang berlebihan. Selama infuse
dopamine dapat terjadi mual, muntah, takikardia, aritmia, nyeri dada, nyeri kepala,
hipertensi dan peningkatan tekanan diastolic. (Ganiswarna, 1998)
DOBUTAMIN
a. Mekanisme Kerja
Farmakodinamika
Struktur senyawa dobutamin mirip dopamin, tetapi dengan substitusi aromatic yang
besar pada gugus amino. Dobutamin merupakan campuran resemik dari kedua
isomer / dan d. Isomer / adalah α1-agonis yang poten sedangkan isomer d α1-bloker
yang poten. Sifat agonis isomer / dominan, sehingga terjadi vasokontriksi yang
lemah melalui aktivasi reseptor α1. Isomer d 10 kali lebih poten sebagai agonis
reseptor β daripada isomer / dan lebih selektif untuk reseptor β1 daripada β-
2. (Ganiswarna, 1998)
Dobutamin menimbulkan efek inotropik yang lebih kuat daripada efek kronotropik
dibandingkan isoproterenol. Hal ini disebabkan karena resistensi perifer yang
relative tidak berubah ( akibat vasokontriksi melalui reseptor α1 diimbangi oleh
vasodilatasi melalui reseptor β2 ), sehingga tidak menimbulkan reflex takikardi, atau
karena reseptor α1 di jantung menambah efek inotropik obat ini. Pada dosis yang
menimbulkan efek inotropik yang sebanding, efek dobutamin dalam meningkatkan
automatisitas nodus SA kurang dibanding isoproterenol, tetapi peningkatan
konduksi AV dan intraventrikular oleh ke-2 obat ini sebanding. Dengan demikian,
infuse dobutamin akan meningkatkan kontraktilitas jantung dan curah jantung,
hanya sedikit meningkatkan denyut jantung, sedangkan resistensi perifer relative
tidak berubah. (Ganiswarna, 1998)
Farmakokinetik
Norepinefrin, isoproterenol dopamine dan dobutamin sebagai katekolamin tidak
efektif pada pemberian oral. NE tidak diabsorpsi dengan baik pada pemberian SK.
Isoproterenol diabsorpsi dengan baik pada pemberian parenteral atau sebagai aerosol
atau sublingual sehingga tidak dianjurkan. Obat ini merupakan substrat yang baik
untuk COMT tetapi bukan substrat yang baik unuk MAO, sehingga kerjanya sedikit
lebih panjang daripada epinefrin. Isoproterenol diambil oleh ujung saraf adrenergic
tetapi tidak sebaik epinefrin dan NE. Nonkatekolamin yang digunakan dalam klinik
pada umumnya efektif pada pemberian oral dan kerjanya lama, karena obat – obat
ini resisten terhadap COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan
hati sehingga efektif per oral. (Ganiswarna, 1998)
b. Indikasi
Pengobatan pada jantung
c. Kontraindikasi
Pasien dengan fibrilasi atrium sebaiknya dihindarkan karena obat ini mempercepat
konduksi AV.
d. Efek samping
Tekanan darah dan denyut jantung dapat sangat meningkat selama pemberian
dobutamin. (Ganiswarna, 1998)
ANTAGONIS CAMPURAN – LABETALOL
Pertimbangan Klinis
Labetalol memblok reseptor α1-, β1- dan β2-. Perbandingan dari rasio blokade α
dengan blokade β telah diperkirakan untuk mendekati 1:7 mengikuti pemberian
intravena. Blokade campuran ini menurunkan tahan perifer vaskuler dan tekanan
darah arteri. Laju nadi dan curah jantung biasanya sedikit menurun atau tidak
berubah. Jadi, labetalol menurunkan tekanan darah tanpa reflek takikardi karena
kombinasinya dengan efek α- dan β-. Efek tertinggi biasanya terjadi dalam 5 menit
setelah dosis intravena. Gagal jantung kiri, paradoksikal hipertensi, dan
bronkospasme telah dilaporkan. (Ganiswarna, 1998)
PROPANOLOL
Pertimbangan Klinis
Propanolol secara nonselektif memblok reseptor β1 dan β2. Tekanan pembuluh
darah arteri diturunkan dengan beberapa mekanisme, termasuk menurunkan
kontraktilitas otot jantung, menurunkan laju nadi, dan menghilangkan pelepasan
rennin, curah jantung dan kebutuhan oksigen oto jantung juga dikurangi. Iskemik
berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan laju nadi. IMPEDANCE dari
ejeksi ventrikuler adalah menguntungkan pada pasien dengan obstruksi
kardiomiopati dan aneurisma aorta. Propanolol memperlambat konduksi
atrioventrikuler dan menstabilisasi membran miokard, walaupun efek yang terjadi
tidak begitu signifikan pada dosis klinis. Propanolol biasanya efektif terutama dlaam
memperlambat respon ventrikuler kepada supraventrikuler takikardi, dan biasanya
mengontrol takikardi ventrikuler yang berulanhg atau fibrilasi yang disebabkan oleh
iskemik miokard. Propanolol memblok efek adrenergik β dari tirotoksikosis dan
pheokromasitoma. (Ganiswarna, 1998)
Efek samping dari propanolol termasuk bronkospasme (antangonisme β2), gagal
jantung kongestif, bardikardi, dan blok jantung atrioventrikuler (antagonisme β1).
Propanolol mungkin memburuk depresi miokard dari anestesi inhalasi (cth: halotan)
atau tidak menutupi karakteristik negatif inotropik dari rangsangan jantung tidak
langsung (cth: isoflurane). Pemberian terus-menerus dari propanolol dan verapamil
(sebuah bloker kalsium chanel) dapat secara sinergi menekan laju nadi,
kontraktilitas, dan induksi nodus atrioventrikuler. (Ganiswarna, 1998)
Memberhentikan terapi β-bloker untuk 24-48 jam dapat memacu gejala putus obat
yang ditandai dengan hipertensi (hipertensi yang berulang), takikardi, dan angina
pektoris. Efek ini timbul sebagai sebab dari peningkatan jumlah reseptor adrenergik
β (up-regulasi). Propanolol mengikat protein secara ekstensif dan dibuang dari
metabolisme hati. Waktu paruh eliminasinya dari 100 menit cukup lama
dibandingkan esmolol. Dosis dan Sediaan Dosis individu membutuhkan propanolol
yan bergantung kepada tonus dasar simpatetik. Secara umum, propanolol dititrasi
sesuai efek yang diinginkan, dimulai dengan 0,5 mg dan meningkat dengan
penambahan 0,5 mg setiap 3-5 menit. Dosis total jarang melebihi 0,15 mg/kg.
Propanolol tersedia dalam ampul 1 mL berisi 1 mg. (Ganiswarna, 1998)
6. PELUMPUH OTOT DAN PELEMAS OTOT
Contoh : d-tubokurarin
Contoh : suksinilkolin
Farmakodinamik
ACh yang dilepaskan dari ujung saraf motorik akan berinteraksi dengan NM
(reseptor nikotinik otot) di endplate (lempeng akhir saraf) pada membrane sel otot
rangka dan menyebabkan depolarisasi local (endplate potential, EPP) yang bila
melewati Et (ambang rangsang) akan menghasilkan potensial aksi otot (MAP
(muscle action potential). Selanjutnya MAP akan menimbulkan kontraksi otot. d-
tubokurarin (d-Tc) dan penghambat kompetitif lainnya mempunyai cara kerja yang
sama yaitu menduduki reseptor nikotinik otot (NM), sehingga menghalangi
interaksinya dengan ACh. Akibatnya EPP menurun, EPP yang menurun sampai
kurang dari 70% tidak mencapai Et sehingga tidak menghasilkan MAP dan kontraksi
otot tidak terjadi. Tetapi stimulasi listrik langsung pada ototnya dapat menimbulkan
kontraksi. Impuls dalam akson tidak terganggu (FKUI, 2008).
Kurare adalah nama generik dari bermacam-macam racun panah yang digunakan
oleh orang Indian di Amerika Selatan untuk berburu. Kurare berasal dari beberapa
tumbuhan, yaitu Strychnos dan Chondrodendron, terutama C.Tomentosum. Bahan
aktifnya terdiri dari beberapa alkaloid, diantaranya d-tubokurarin. Kurare
menyebabkan kelumpuhan dengan urutan tertentu. Pertama, otot rangka yang kecil
dan bergerak cepat seperti otot ekstrinsik mata, jari kaki dan tangan. Kemudian
disusul oleh otot yang lebih besar seperti otot-otot tangan, tungkai, leher, dan badan.
Selanjutnya otot intercostal dan yang terakhir lumpuh adalah diafragma.
Penyembuhan terjadi dengan urutan terbalik. Kematian dapat dihindarkan dengan
memberikan napas buatan sampai otot-otot pernapasan berfungsi kembali (masa
kerja d-Tc kira-kira 30 menit) (Taylor, 2006).
Farmakokinetik
Semua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi dengan
kurang baik di usus dan diabsorbsi dengan baik melalui injeksi IM. Volume
distribusi dan klirens dapat dipengaruhi oleh penyakit hati, ginjal dan gangguan
kardiovaskular. Pada penurunan cardiac output, distribusi obat akan melemah dan
menurun, dengan perpanjangan paruh waktu, onset yang melambat dan efek yang
menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi menurun dan konsentrasi puncak
meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat. Pada pasien dengan edema, volume
distribusi meningkat, konsentrasi di plasma menurun dengan efek klinis yang juga
melemah. Banyak obat pelumpuh otot sangat tergantung dengan ekskresi ginjal
untuk eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium dan cisatracurium yang
tidak tergantung dengan fungsi ginjal. Umur juga mempengaruhi farmakokinetik
obat pelumpuh otot. Neonatus dan infant memiliki plasma klirens yang menurun
sehingga eliminasi dan paralisis akan memanjang. Sedangkan pada orang tua,
dimana cairan tubuh sudah berkurang, terjadi perubahan volume distribusi dan
plasma klirens. Biasanya ditemui sensitivitas yang meningkat dan efek yang
memanjang. Fungsi ginjal yang menurun dan aliran darah renal yang menurun
menyebabkan klirens yang menurun dengan efek pelumpuh otot yang memanjang
(FKUI, 2008).
Indikasi
Kegunaan klinis utama pelumpuh otot adalah sebagai adjuvant dalam anesthesia
untuk mendapatkan relaksasi otot rangka terutama pada dinding abdomen sehingga
manipulasi bedah mudah dilakukan. Hal tersebut menguntungkan karena risiko
depresi napas dan kardiovaskular akibat anestesia dikurangi. Selain itu masa
pemulihan pasca-anastesia dipersingkat (Taylor, 2006).
Obat golongan ini bekerja selektif di SSP dan terutama digunakan untuk mengurangi
rasa nyeri akibat spasme otot atau spastisitas yang terjadi pada gangguan
musculoskeletal dan neuromuscular. Mekanisme kerjanya mungkin akibat aktivitas
depresi SSP (FKUI, 2008).
Obat yang tersedia sekarang hanya dapat mengurangi nyeri akibat spame otot, tetapi
kurang efektif untuk memperbaiki fungsi otot yang terganggu. Dalam kelompok ini
dikenal baclofen, tizanidine, siklobenzaprin, mefenesin, klorzoksazon,
metokarbamol, karisoprodol, diazepam, dll.
Obat-obat penghambat ganglion yang bekerja pada reseptor nikotinik juga ada 2
golongan yaitu yang merangsang lalu menghambat dan yang langsung menghambat.
Nikotin dan TMA (Tetrametilamonium) merupakan prototip golongan pertama,
sedangkan heksametonium dan trimetafan adalah prototip golongan kedua (Katzung,
2004).
Obat-obat ganglion ini bekerja seperti ACh pada reseptor nikotinik ganglia (NN) dan
menimbulkan EPSP awal yang mencapai ambang rangsang sehingga terjadi
perangsangan ganglion. EPSP (depolarisasi) yang persisten kemudian menimbulkan
hambatan ganglion (desensitisasi kolinoseptor) (FKUI, 2008).
Farmakodinamik
Perubahan dalam tubuh setelah pemberian nikotin sangat rumit dan sering tidak
dapat diramalkan. Hal ini dikarnakan kerja nikotin yang sangat luas terhadap
ganglion simpatis maupun parasimpatis. Perangsangan ganglion terjadi dengan dosis
kecil, timbul EPSP awal yang mencapai ambang rangsang dan menimbulkan
potensial aksi, kemudian dengan dosis yang lebih besar terjadi EPSP (depolarisasi)
yang persisten, yang menimbulkan desensitisasi reseptor sehingga terjadi
penghambatan ganglion (FKUI, 2008).
Nikotin adalah suatu perangsang SSP yang kuat yang akan menimbulkan tremor
serta konvulsi pada dosis besar. Perangsangan respirasi sangat jelas dengan nikotin,
dosis besar langsung pada medulla oblongata , diikuti dengan depresi, kematian
akibat paralisis pusat pernapasan dan paralisis otot-otot pernapasan (perifer) (FKUI,
2008).
Farmakokinetik
Nikotin mengalami metabolism terutama di hati, tetapi bisa juga di paru dan ginjal.
Nikotin yang diinhalasi dimetabolisme dalam jumlah yang berarti di paru-paru.
Metabolit utamanya adalah kotinin. Masa paruh setelah inhalasi atau pemberian
parenteral kira-kira 2 jam. Kecepatan ekskresi melalui urin tergantung dari pH urin
(berkurang pada pH alkali dan meningkat pada pH asam). Nikotin diekskresi melalui
air susu. Kadarnya dalam air susu pada perokok berat bisa mencapai 0,5 mg/L
Berbeda dengan penghambatan oleh nikotin dan TMA, efek penghambatan obat-
obat golongan ini tidak didahului oleh perangsangan. Hambatan ini terjadi secara
kompetitif dengan menduduki reseptor asetilkolin. Penglepasan asetilkolin dari
ujung serat prasinaps tidak diganggu. Dalam golongan ini termasuk heksametonium
(C6), pentolinium (C5), klorisondamin, dll (FKUI, 2008).
Farmakodinamik
Kerja C6 dan obat-obat lain dalam golongan ini pada alat tubuh hampir semuanya
dapat dijelaskan dengan penghambatan pada ganglion simpatis dan parasimpatis /
hasil penghambatannya bergantung pada tonus otonom semula. Tonus yang
dominan akan dihambat lebih jelas. Perubahan denyut jantung setelah pemberian
penghambat ganglion tergantung tonus semula. Umumnya, terjadi takikardi ringan
karena jantung didominasi tonus parasimpatis. Tetapi brakikardia dapat terjadi bila
sebelumnya denyut jantung tinggi (FKUI, 2008).
Sekresi lambung jelas berkurang sesudah pengobatan dengan C6. Begitu juga sekresi
pancreas dan air liur. Tonus dan peristalsis lambung, usus kecil serta kolon dihambat
sehingga keinginan untuk defekasi tidak ada. Konstipasi merupakan efek samping
yang sangat mengganggu pada pengobatan dengan obat golongan ini. Hambatan
ganglion parasimpatis juga mengurangi tonus kandung kemih dan menambah
kapasitasnya sehingga terjadi retensi urin dan kesukaran berkemih (FKUI, 2008).
2.2.2. OBAT SUSUNAN SARAF PUSAT
8. ANESTETIK UMUM
PENDAHULUAN
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah
suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi
akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang.
Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang
mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat
dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena.
Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah
menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran,
metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena,
yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis,
dan beberapa obat khusus seperti ketamin (Munaf, 2008).
Anestesi injeksi yang baik memiliki sifat-sifat tidak mengiritasi jaringan, tidak
menimbulkan rasa nyeri pada saat diinjeksi, asorbsinya cepat, waktu induksi, durasi
dan masa pulih dari anestesia berjalan mulus, tidak ada tremor otot, memiliki indeks
terapuetik yang tinggi, tidak bersifat toksik, minimalisasi efek samping pada organ
tubuh seperti saluran pernafasan dan kardiovaskuler, cepat dimetabolisme, tidak
bersifat akumulatif, dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti relaksan otot,
analgesik, dan sudah diketahui antidotnya. Untuk mendapatkan efek anestesia yang
diinginkan dengan efek samping seminimal mungkin, anestesi dapat digabungkan
atau dikombinasikan antara beberapa anestesi atau dengan zat lain sebagai
preanestesi dalam sebuah teknik yang disebut balanced anesthesia (McKelvey dan
Hollingshead, 2003).
Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini
menggunakan obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan
menggabungkan berbagai macam obat (Muhiman, 2002).
TAHAP-TAHAP ANESTESI
Ditandai dengan pernapasan perut lebih nyata dari pada pernapasan dada karena otot
intercostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil lebih lebar tapi
belum maksimal. Terbagi dalam 3 bagian yaitu;
Plane I, yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota
gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata
bergerak-gerak, palpebra, konjungtiva dan kornea terdepresi.
Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro
medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut.
Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke
tengah dan otot perut relaksasi.
Ditandai pernapasan perut sempurna karena otot intercostal lumpuh total, tekanan
darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang (Munaf, 2008).
Dimulai dengan
keadaan sadar dan diakhiri
dengan hilangnya
1 kesadaran. Sulit untuk
Analgesia bicara; indra penciuman
dan rasa nyeri hilang.
Mimpi serta halusinasi
pendengaran dan
penglihatan mungkin
terjadi. Tahap ini dikenal
juga sebagai tahap induksi
Terjadi kehilangan
kesadaran akibat
2 Eksitasi
penekananan korteks
atau
serebri. Kekacauan mental,
delirium
eksitasi, atau delirium dapat
terjadi. Waktu induksi
singkat.
Menurut Omoigui (2012), beberapa obat yang paling umum digunakan untuk
memberikan anestesi umum adalah :
d. Agen anestesi volatil (mudah menguap), terhirup dalam campuran gas yang
mengandung oksigen. Kadang-kadang, untuk menghindari memulai jalur intravena
(IV) pada bayi dan anak-anak, agen volatile diberikan melalui masker untuk induksi
anestesi umum.
e. Obat lain termasuk agen antiemetic (untuk melindungi terhadap mual dan
muntah), relaksan otot, obat-obatan untuk mengontrol tekanan darah atau heart rate,
dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID).
A. HIPNOTIK SEDATIF
PENDAHULUAN
Sedatif dan hipnotik adalah senyawa yang dapat menekan sistem saraf pusat
sehingga menimbulkan efek sedasi lemah sampai tidur pulas. Sedatif adalah
senyawa yang menimbulkan sedasi, yaitu suatu keadaan terjadinya penurunan
kepekaan terhadap rangsangan dari luar karena ada penekanan sistem saraf pusat
yang ringan. Dalam dosis besar, sedatif berfungsi sebagai hipnotik, yaitu dapat
menyebabkan tidur pulas. Sedatif digunakan untuk menekan kecemasan yang
diakibatkan oleh ketegangan emosi dan tekanan kronik yang disebabkan oleh
penyakit atau faktor sosiologis, untuk menunjang pengobatan hipertensi, untuk
mengontrol kejang dan untuk menunjang efek anestesi sistemik. Sedatif
mengadakan potensial dengan obat analgesik dan obat penekan sistem saraf pusat
yang lain (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Benzodiazepin
Barbiturat
Benzodiazepine
Barbiturat
Selama beberapa waktu barbiturat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik-
sedatif. Namun sekarang selain untuk penggunaan yang spesifik, golongan obat ini
telah digantikan oleh benzodiazepine yang lebih aman. Berdasarkan masa kerjanya,
turunan barbiturat dibagi menjadi 4, yaitu:
Turunan barbiturat dengan masa kerja sangat pendek (< 0,5 jam)
Obat pada golongan ini mempunyai efek yang hampir sama dengan barbiturat, yaitu
merupakan depresan SSP, dapat menghasilkan efek hipnotik yang nyata dengan atau
tanpa efek analgetik. Pengaruh obat golongan ini terhadap tingkatan tidur
menyerupai barbiturate, indeks terapinya terbatas, dan pada keracunan akut dapat
menyebabkan depresi napas dan hipotensi, tetapi dapat diatasi seperti halnya
keracunan yang disebabkan barbiturat. Penggunaan kronik obat golongan ini dapat
menyebabkan toleransi dan ketergantungan fisik. Yang termasuk obat golongan ini
adalah, paraldehid, kloral hidrat, etklorvinol, glutetimid, metiprilon, etinamat
(Siswandono dan Soekardjo, 2000).
B. ALKOHOL
PENDAHULUAN
Alkohol yang dimaksud disini adalah etanol atau etil alkohol. Alkohol adalah salah
satu dari sekelompok senyawa organik yang dibentuk dari hidrokarbon-hidrokarbon
oleh pertukaran satu atau lebih gugus hidroksil dengan atom-atom hidrogen dalam
jumlah yang sama.
Alkohol berefek pada berbagai system organ system tubuh, seperti saluran cerna,
kardiovaskuler, dan SSP. Perkembangan embrio dan fetus juga dipengaruhi oleh
konsumsi alkohol. Minuman beralkohol tidak hanya menyebabkan mabuk, akan
tetapi pada tingkat tertentu dapat menyebabkan kematian. Pada tingkat kandungan
0,05-0,15% etanol dalam darah peminum akan mengalami kehilangan koordinasi,
pada tingkat 0,15-0,20% etanol menyebabkan keracunan, pada tingkat 0,30-0,40%
peminum hilang kesadaran dan pada tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu 0,50 % dapat
menyebabkan kematian (Chandrasoma dan Taylor, 2005).
FARMAKOKINETIK
Setelah pemberian oral, etanol diabsorbsi dengan cepat dari lambung dan usus halus
ke dalam aliran darah dan terdistribusi ke dalam cairan tubuh total. Tingkat absorbsi
paling tinggi pada saat lambung kosong. Adanya lemak di dalam lambung
menurunkan tingkat absorbsi alcohol. Setelah minum alkohol dalam keadaan puasa,
kadar puncak alkohol di dalam darah dicapai dalam waktu 30 menit. Distribusinya
berjalan cepat, dengan kadar obat dalam jaringan mendekati kadar di dalam darah.
Volume distribusi dari etanol mendekati volume cairan tubuh total (0,5-0,7 L/Kg.
Alkohol didistribusikan di dalam tubuh (terutama dalam jaringan adiposa),
menyebabkan efek dilusi. Hal ini berkaitan dengan berat badan dan menerangkan
mengapa orang dengan obesitas memiliki kadar alkohol yang lebih rendah dari pada
orang yang kurus untuk jumlah alkohol yang sama (Chandrasoma dan Taylor, 2005).
Ekskresi alkohol di urin dan udara yang dihembuskan biasanya sedikit, tetapi
jumlahnya yang konstan berhubungan dengan konsentrasi alkohol dalam darah
(Blood Alcohol Concentration/BAC). Hal ini merupakan prinsip yang mendasari
penggunaan pemeriksaan urin dan pernafasan pada forensik selain pemeriksaan
dengan menggunakan darah. Pada umumnya orang dewasa dapat memetabolisme
alkohol per-jam sebanyak 7-10 g (150-220 mmol), ini ekuivalen dengan bir sekitar
10 oz, anggur 3,5 oz, atau minuman keras 1 oz yang disuling dengan kadar murni 80
(Chandrasoma dan Taylor, 2005).
FARMAKODINAMIK
Konsumsi etanol akut mempengaruhi SSP, jantung dan otot polos. Alkohol dalam
dosis besar menciptakan efek metabolik bertingkat, menyebabkan kerusakan pada
hati dan sistem pencernaan. Minum alkohol akan meningkatkan sekresi lambung dan
pankreas dan merubah sawar mukosa, dengan demikian akan meningkatkan risiko
terjadinya gastritis dan pankreatitis. Perdarahan gastrointestinal akut sering
disebabkan oleh gastritis karena alkohol. Efek akut pada lambung terutama berkaitan
dengan efek toksik etanol pada mukosa membran dan kaitannya dengan peningkatan
produksi asam lambung secara relatif kecil (Katzung, 2004).
10. PSIKOTROPIK
Psikotropik atau Psikofarmaka adalah obat – obat yang berkhasiat terhadap
susunan saraf sentral dengan mempengaruhi fungsi psikis dan proses – proses
mental. (Kimin, 2004)
Psikofarmaka dibagi dalam 3 kelompok :
1. Obat yang menekan fungsi psikis terhadap susunan saraf pusat, dibagi 2 :
a. Neuroleptika, yaitu obat yang bekerja sebagai anti psikotis dan sedativa
yang dikenal dengan Mayor Tranquilizer.
Contoh Mayor Tranquilizer adalah Flufenazin Hidroklorida (Anatensol),
Haloperidol (Haldol, Serenace), dan Klorpromazin Hidroklorida(Largactil,
Promactil).
b. Ataraktika / anksiolitika, yaitu obat yangn bekerja sedativa, relaksasi otot
dan anti konvulsi yang digunakan pada gangguan akibat gelisah / cemas,
takut, stress dan gangguan tidur, dikenal dengan Minor Tranquilizer.
Contoh Minor Tranquilizer adalah Klordiazepoksida Hidroklorida /
Klopoksida / Meta amino diazepoksida (Cetabrium, Tensinyl), Lorazepam
(Ativan, Renaquil), Diazepam (Valium, Stesolid, Trankinon, Mentalium),
Clobazam (Frisium), dan Bromazepam (Lexotan).
2. Obat yang menstimulsi fungsi psikis terhadap susunan saraf pusat, dibagi 2 :
a. Anti Depresiva, dibagi menjadi thimoleptika yaitu obat yang dapat
melawan melankolia dan memperbaiki suasana jiwa serta thimeretika yaitu
menghilangkan inaktivitas fisik dan mental tanpa memperbaiki suasana
jiwa. Secara umum anti depresiva adalah obat yang dapat memperbaiki
suasana jiwa dan dapat menghilangkan gejala – gejala murung dan putus
asa. Obat ini terutama digunakan pada keadaan depresi, panik dan fobia.
Contoh Anti Depresiva adalah Meprotilin (Ludiomil), Amitriptilin
Hidroklorida (Trilin), Imipramina Hidroklorida (Tofranil), Mianserin
Hidroklorida (Tolvon), dan Fluoxetina Hidroklorida (Kalxetin, Prozac).
b. Psikostimulansia, yaitu obat yang dapat mempertinggi inisiatif,
kewaspadaan dan prestasi fisik dan mental dimana rasa letih dan kantuk
ditangguhkan, memberikan rasa nyaman (euforia) dan kadang perasaan
tidak nyaman tapi bukan depresi (disforia).
3. Obat yang mengacaukan fungsi mental tertentu seperti zat – zat halusinasi, pikiran
dan impian / khayal. (Kimin, 2004)
Analgesic opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.
Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, senyawa sintetik, derivate
semisintetik alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai
morfin. Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid.
RESEPTOR OPIOID. Reseptor opioid memiliki tiga jenis utama, yaitu mu (µ), delta
(δ), dan kappa(κ). Reseptor tersebut berpasangan dengan protein G. Dan memiliki
subtype : mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1 , kappa2 , dan kappa3.
Reseptor
Obat
mu (µ) delta (δ) kappa(κ)
Peptida opioid
Enkefalin Agonis Agonis
Beta endorphin Agonis Agonis
Dinorfin Agonis lemah
Agonis
Kodein Agonis lemah Agonis lemah
Morfin Agonis Agonis lemah Agonis lemah
Metadon Agonis
Meperidin Agonis
Fentanil Agonis
Agonis- antagonis
Buprenorfin Agonis parsial
Antagonis / Agonis
Pentazosin Agonis
parsial
Nalbufin Antagonis Agonis
Antagonis
Nalokson Antagonis Antagonis Antagonis
2.2. FARMAKODINAMIK
SUSUNAN SISTEM SARAF PUSAT. Narcosis. Efek morfin terhadap SSP berupa
analgesia dan necrosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum
pasien tidur dan seringkali terjadi tanpa disertai tidur. Pada dosis kecil (5-10 mg)
dapat menimbulkan euphoria pada pasien yang gelisah, nyeri, dan sedih. Dosis yang
sama tersebut pada orang normal dapat menimbulkan disforia. Morfin menimbulkan
rasa kantuk, susah berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang
dan semacamnya.
Analgesia. Efek analgesia timbul akibat kerja opioid pada reseptor mu. Reseptor
delta dan kappa dapat pula ikut berperan analgesi terutama pada tingkat spinal.
Morfin juga bekerja pada delta dan kappa, namun belum diketahui besarnya peran
kerja morfin pada kedua reseptor tersebut untuk menimbulkan efek analgesia.
Eksitasi. Morfin dan opioid lain seringkali dapat menimbulkan mual dan muntah,
akan tetapi jarang terjadi delirium. Factor yang dapat mengubah eksitasi morfin
adalah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex SSP.
Miosis. Biasa terjadi pada agonis opioid yang bekerja pada reseptor delta dan kappa.
Hal ini terjadi karena adanya rangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotor.
Miosis ini dapat dilawan oleh atrofin dan skopolamin.morfin dalam dosis tinggi
dapat memperoleh tingginya daya akomodasi dan penurunan tekanan intraokuler.
Depresi napas. Pada dosis kecil morfin sudah dapat menimbulkan depresi napas.
Sedangkan pada dosis toksik dapat menimbulkan frekuensi napas 3-4 kali/ menit
dan kematian. Morfin dan analgesic opioid dapat pula untuk menghambat reflex
batuk karena reflex batuk berjalan sejajar dengan depresi napas.
SALURAN CERNA. Morfin dapat berefek langsung pada saluran cerna, bukan
melalui efek SSP. Pada lambung morfin dapatmenghambat sekresi HCL walaupun
efek ini lemah. Pada usus halus, morfin dapat mengurangi sekresi empedu dan
pancreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia,
morfin mengurangi kontraksi propulsive, meninggikan tonus dan spasme periodic
usus halus. Lebih jelasnya terlihat pada duodenum untuk efek morfin. Pada usus
besar, morfin dapat mengurangi dan menghilangkan gerakan propulsi usus besar,
meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar. Selain itu, mofrin juga
dapat menyebabkan peninggian tekanan pada ductus koledokus.
NSAID
Asam eterikoksib.
mefenamat - Generasi 2 :
lumirakoksib
3. PEMBAHASAN OBAT
3.1. SALISILAT, SALISILAMID & DIFLUSINAL
SALISILAT
Asam asetil salisilat lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesic
antipiretik dan antiinflamasi yang luas digunakan dan digolongkan obat bebas.
Selain sebagai prototip, obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis.
Asam salisilat sangat iritatif sehingga hanya digunakan sebagai obat luar. Derivatnya
yang dipakai sebagai sistemik adalah ester salisilat dan lainnya.
FARMAKODINAMIK
Penggunaan dosis terapi dapat bekerja efektif sebagai antipiretik. Penggunaan
aspirin sebagai anti inflamasi terutama adalah untuk pengobatan rheumatoid
arthritis, yaitu suatu penyakit kronis sistemik yang melibatkan banyak organ, dan
dianggap sebagai penyakit auto imun. Untuk memperoleh anti-inflamasi, yang baik
kadar plasma perlu dipertahankan antara 250-300 µg/ mL. Aspirin mampu
mereduksi proses inflamasi di dalam sendi dan jaringan sehingga mengurangi gejala
dan memperbaiki mobilitas penderita. Meskipun demikian, obat ini tidak mampu
menghambat progresivitas cidera jaringan patologis . Jika dengan aspirin saja belum
efektif, maka dapat diganti dengan AINS lain, kortikosteroid, atau obat yang bersifat
diseasemodifying drug. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika akan
menggunakan kombinasi AINS dengan obat lain untuk rheumatoid arthritis
(misalnya AINS dengan methotrexate), maka sebaiknya digunakan AINS selain
aspirin.
FARMAKOKINETIK
Pada pemberian oral, asam salisilat dapat diabsorbsi dengan cepat dalam bentuk utuh
di lambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas. Kadar tertinggi dicapai
kira-kira 2 jam sesudah pemberian. Kecepatan absorbs tergantung dari kecepatan
disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan waktu pengosongan
lambung. Pemberian rectal tidak dianjurkan karena absorbs berlangsung dengan
lambat. Asam salisilat menyebar ke seluruh jaringan tubuh dan cairan transseluler.
Obat ini dapat menembus sawar darah otak. Sekitar 80 % sampai 90 % salisilat
plasma terikat dengan albumin. Salisilat diekskresi dalam bentuk metabolitnya
terutama melalui ginjal, sebagian kecil melalui keringat dan empedu.
SEDIAAN
Aspirin (asam asetil salisilat) dan natrium salisilat merupakan sediaan yang paling
banyak digunakan. Aspirin tersedia dalam bentuk tablet 100 mg untuk anak dan 500
mg untuk dewasa. Metal-salisilat hanya digunakan sebagai obat luar dalam salep
atau linimen dan dimaksud sebagai counter irritant bagi kulit.
SALISILAMID
Obat ini memperlihatkan efek analgesic dan antipiretik mirip asetosal. Efek
analgesic antipiretik obat ini lemah dibandingkan salisilat. Dosis analgesic
antipiretik untuk dewasa 3-4 kali 300-600 mg sehari, untuk anak 65 mg/kgBB/ hari
diberikan 6 kali perhari.
DIFLUSINISAL
Obat ini merupakan derivate difluorofenildari asam salisilat. Bersifat analgesic dan
antiinflamasi tetapi tidak menimbulkan efek antipiretik. Indikasi untuk inflamasi
ringan-sedang dengan dosis awal 500 mg disusul 250-500 mg tiap 8-12 jam.
3.1. KESIMPULAN
Obat otonom adalah obat yang bekerja pada bagian susunan saraf otonom. System saraf
otonom membawa impuls saraf dari susunan saraf pusat ke organ efektor melalui 2 jenis
saraf eferen yaitu saraf praganglion dan saraf pascaganglion. Serat eferen otonom terbagi
dalam system simpatis dan parasimpatis. System simpatis dan parasimpatis memiliki
fungsi yang saling berlawanan (antagonis). Cara kerja obat otonom dapat dengan cara
menghambat pada sintesis atau penglepasan transmitter, menyebabkan pelepasan
transmitor, berikatan dengan reseptor dan menghambat destruksi transmitter.
Obat susunan saraf pusat adalah obat yang bekerja pada system saraf pusat. Obat yang
bekerja pada system saraf pusat memiliki efek yang sangat luas baik dalam hal
menghambat atau merangsang secara spesifik atau umum. Obat yang bekerja pada susunan
saraf pusat berdasarkan efek farmakologinya dibagi atas dua kelompok, yaitu
menstimulasi secara langsung maupun tidak langsung terhadap aktivitas otak, sumsum
tulang belakang beserta sarafnya dan menghambat secara langsung maupun tidak langsung
terhadap proses-proses tertentu pada aktivitas otak, sumsum tulang belakang beserta
sarafnya. Adapun bagian dari obat susunan saraf pusat meliputi anastetik umum,
psikotropik, antilepsi, antikonvulsi, obat penyakit Parkinson, analgesic opioid dan
antagonis, perangsang susunan saraf pusat dan analgetik-antipiretik analgesic
antiinflamasi non steroid dan obat gangguan sendi lainnya.
3.2. SARAN
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang
lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA