Anda di halaman 1dari 80

TUGAS FARMAKOLOGI

“OBAT OTONOM DAN SSP”

DISUSUN OLEH:
ANISA WIDIA SUDARMAN 6130015003
FERNANDO PRASETYA E.H 6130015006
RUSDIANA SILABAN 6130015010
MOHAMMAD QOIMAM B.Z 6130015051

Dosen Pembimbing:
Dr. Handayani, dr, M.Kes

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Pada sistem saraf
pusat, rangsang seperti sakit, panas, rasa, cahaya, dan suara mula-mula diterima oleh reseptor,
kemudian dilanjutkan ke otak dan sumsum tulang belakang. Rasa sakit disebabkan oleh
perangsangan rasa sakit diotak besar. Sedangkan analgetik narkotik menekan reaksi
emosional yang ditimbulkan rasa sakit tersebut. Sistem saraf pusat dapat ditekan seluruhnya
oleh penekan saraf pusat yang tidak spesifik, misalnya sedatif hipnotik (Taylor, 2006).

Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat memperlihatkan efek yang sangat luas
(merangsang atau menghambat secara spesifik atau secara umum). Umumnya semua obat
yang bekerja pada SSP menimbulkan efek dengan mengubah sejumlah tahapan dalam
hantaran kimia sinap (tergantung kerja transmitter). Obat yang bekerja terhadap susunan saraf
pusat berdasarkan efek farmakodinamiknya dibagi atas dua golongan besar yaitu pertama,
merangsang atau menstimulasi secara langsung maupun tidak langsung aktivitas otak,
sumsum tulang belakang beserta syarafnya, kedua, menghambat atau mendepresi, yang
secara langsung maupun tidak lansung proses-proses tertentu pada aktivitas otak, sumsum
tulang belakang dan saraf-sarafnya (Katzung, 2002).

Stimulan sistem saraf pusat (SSP) adalah obat yang dapat merangsang serebrum medula dan
sumsum tulang belakang. Stimulasi daerah korteks otak-depan oleh senyawa stimulan SSP
akan meningkatkan kewaspadaan, pengurangan kelelahan pikiran dan semangat bertambah.
Contoh senyawa stimulan SSP yaitu kafein dan amfetamin (Taylor, 2006).

Obat-obat otonom yaitu obat yag bekerja pada berbagai tahap transmisi dalam system saraf
otonom, mulai dari sel saraf sampai sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ
otonom, tetapi organ otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil
(FKUI, 2008).

1.2. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang disebut dengan dengan susunan saraf otonom dan transmisi neurohormonal?
2. Apa saja obat agonis dan antagonis kolinergik?
3. Apa saja obat adrenergic?
4. Apa saja obat pelumpuhotot dan pelemas otot?
5. Apa saja obat ganglion?
6. Apa saja obat anestesik umum?
7. Apa saja obat hipnotik- sedatif dan alkohol?
8. Apa saja obat psikotropik?
9. Apa saja obat antiepilepsi dan antikonvulsi?
10. Apa saja obat penyakit Parkinson?
11. Apa saja obat analgesic opioid dan antagonis?
12. Apa saja obat analgsik-antipiretik analgesic anti-inflamasi nonsteroid dan obat
gangguan sendi lainnya?
13. Apa saja obat perangsang susunan saraf pusat?

1.3. TUJUAN

1. Mengetahui susunan saraf otonom dan transmisi neurohormonal

2. Mengetahui obat agonis dan antagonis kolinergik

3. Mengetahui obat adrenergic

4. Mengetahui pelumpuhotot dan pelemas otot

5. Mengetahui obat ganglion

6. Mengetahui obat anestesik umum

7. Mengetahui obat hipnotik- sedatif dan alcohol

8. Mengetahui obat psikotropik

9. Mengetahui obat antiepilepsi dan antikonvulsi

10. Mengetahui obat penyakit Parkinson

11. Mengetahui obat analgesic opioid dan antagonis

12. Mengetahui obat analgsik-antipiretik analgesic anti-inflamasi nonsteroid dan obat


gangguan sendi lainnya

13. Mengetahui obat perangsang susunan saraf pusat


BAB II

2.1. TINJAUAN PUSTAKA

1. SISTEM SARAF
1.1. Pengertian
Sistem saraf merupakan serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan
serta terdiri terutama dari jaringan saraf (Sloane, 2003). Sistem saraf merupakan salah satu
sistem yang berfungsi untuk memantau dan merespon perubahan yg terjadi di dalam dan
diluar tubuh atau lingkungan. Sistem saraf juga bertanggung jawab sebagai sistem
persepsi, perilaku dan daya ingat, serta merangsang pergerakan tubuh (Farley et all, 2014).
Kemampuan untuk dapat memahami, mempelajari, dan merespon suatu rangsangan
merupakan hasil kerja terintegrasi sistem persarafan yang mencapai puncaknya dalam
bentuk kepribadian dan tingkah laku individu (Batticaca, 2008).

1.2. Fungsi Sistem Saraf


Saraf sebagai sistem koordinasi atau pengatur seluruh aktifitas tubuh manusia
mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai alat komunikasi, pengendali atau pengatur
kerja dan pusat pengendali tanggapan.
a. Saraf sebagai alat komunikasi antara tubuh dan dunia di luar tubuh. Hal ini
dilakukan oleh alat indera yang meliputi mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit.
Karena ada indera, dengan mudah kita dapat mengetahui perubahan yang terjadi di
luar tubuh kita.
b. Saraf sebagai pengendali atau pengatur kerja organ tubuh sehingga dapat bekerja
serasi sesuai dengan fungsi masing-masing. Saraf sebagai pusat pengendali
tanggapan atau reaksi tubuh terhadap perubahan keadaan di sekitarnya. Karena
saraf sebagai pengendali kerja alat tubuh maka jaringan saraf terdapat pada seluruh
alat tubuh (Syaifuddin, 2011).

1.3. Klasifikasi
Susunan saraf terdiri dari susunan saraf sentral dan susunan saraf perifer. Susunan
saraf sentral terdiri dari otak (otak besar, otak kecil, dan batang otak) dan medula spinalis.
Susunan saraf perifer terdiri dari saraf somatik dan saraf otonom (saraf simpatis dan saraf
parasimpatis).
1.3.1 Susunan Saraf Sentral
Susunan saraf sentral terdiri dari:
1) Otak
Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh
manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Otak
mengandung hampir 98% jaringan saraf tubuh (Batticaca, 2008). Otak dibungkus
oleh tiga selaput otak (meningen) dan dilindungi oleh tulang tengkorak. Selaput
otak terdiri dari tiga lapis yaitu durameter (lapisan paling luar yang menutupi otak
dan medula spinalis, serabut berwarna abu-abu yang bersifat liat, tebal dan tidak
elastis), araknoid (membran bagian tengah yang tipis dan lembut yang menyerupai
sarang laba-laba, berwarna putih karena tidak tidak dialiri aliran darah), dan
piameter (membran yang paling dalam berupa dinding tipis dan transparan yang
menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak) (Batticaca, 2008).
2) Serebrum
Sereberum atau otak besar mempunyai dua belahan yaitu hemisfer kiri dan
hemisfer kanan yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut korpus
kollosum. Serebrum(telensefalon) terdiri dari korteks serebri, basal ganglia dan
rheniensefalon.
3) Korteks Serebri
Korteks serebri adalah lapisan permukaan hemisfer yang disusun oleh substansia
grisea. Beberapa daerah tertentu dari korteks serebri telah diketahui memiliki
fungsi spesifik. Brodmann (1909) membagi korteks serebri menjadi 47 area
berdasarkan struktur selular. Bagian-bagian dari korteks serebri menurut
Brodmann:
1. Lobus Frontalis
Area 4 (area motorik primer) sebagian besar girus presentralis dan bagian
anterior lobus parasentralis); area 6 bagian sirkuit traktus piramidalis (area
premotorik) mengatur gerakan motorik dan premotorik, area 8 mengatur
gerakan mata dan perubahan pupil; dan area 9, 10, 11, 12 (area asosiasi
frontalis). Lobus frontalis terletak di depan serebrum, bagian belakang dibatasi
oleh sulkus sentralis rolandi.
2. Lobus Perietalis
Area 3, 1, 2 adalah area sensorik primer (area postsentral) meliputi girus
sentralis dan meluas ke arah anterior sampai mencapai dasar sulkus sentralis dan
area 5, 7 (area asosiasi somatosensorik) meliputi sebagian permukaan medial
hemisfer serebri.
3. Lobus Oksipitalis
Area 17 (korteks visual primer) permukaan medial lobus oksipitalis sepanjang
bibir superior dan inferior sulkus kalkanius; area 18, 19 (area asosiasi visual)
sejajar dengan area 17 meluas sampai meliputi permukaan lateral lobus
oksipitalis.
4. Lobus Temporalis
Area 41 (korteks auditori primer) meliputi girus temporalis superior meluas
sampai ke permukaan lateral girus temporalis; area 42 (area asosiasi auditorik)
korteks area sedikit meluas sampai pada permukaan girus temporalis superior;
dan area 38, 40, 20, 21, 22 (area asosiasi) permukaan lateral dibagi menjadi girus
temporalis superior, girus temporalis media dan girus temporalis inferior. Pada
bagian basal terdapat girus fusiformis.
5. Area Broka
Area broka (area bicara motoris) terletak di atas sulkus lateralis, mengatur
gerakan berbicara.
6. Area Visualis
Area visualis terdapat pada polus posterior dan aspek medial hemisfer serebri di
daerah sulkus kalkaneus, merupakan daerah menerima visual. Gangguan dalam
ingatan untuk peristiwa yang belum lama.
7. Insula Reili
Insula reili yaitu bagian serebrum yang membentuk dasar fisura silvi yang
terdapat di antara lobus frontalis, lobus parietalis dan lobus oksipitalis. Bagian
otak ini ditutupi oleh girus temporalis dan girus frontalis inferior.
8. Girus Singuli
Girus singuli yaitu bagian medial hemisfer terletak di atas korpus kolosum.

1.3.2. Susunan Saraf Otonom


Saraf yang mempersarafi alat-alat dalam tubuh seperti kelenjar, pembuluh darah,
paru, lambung, usus dan ginjal. Ada dua jenis saraf otonom yang fungsinya saling
bertentangan, kedua susunan saraf ini disebut saraf simpatis dan saraf
parasimpatis.
1) Saraf Simpatis
Saraf simpatis terletak di dalam kornu lateralis medula spinalis servikal VIII
sampai lumbal I. Sistem saraf simpatis berfungsi membantu proses kedaruratan.
Stres fisik maupun emosional akan menyebabkan peningkatan impuls simpatis.
Tubuh siap untuk berespon fight or flight jika ada ancaman. Pelepasan simpatis
yang meningkat sama seperti ketika tubuh disuntikkan adrenalin. Oleh karena
itu, stadium sistem saraf adrenergik kadang-kadang dipakai jika menunjukkan
kondisi seperti pada sistem saraf simpatis (Batticaca, 2008).
2) Saraf Parasimpatis
Fungsi saraf parasimpatis adalah sebagai pengontrol dominan untuk
kebanyakan efektor visceral dalam waktu lama. Selama keadaan diam, kondisi
tanpa stres, impuls dari serabut-serabut parasimpatis (kolenergik) menonjol.
Serabut-serabut sistem parasimpatis terletak di dua area, yaitu batang otak dan
segmen spinal di bawah L2. Karena lokasi serabut-serabut tersebut, saraf
parasimpatis menghubungkan area kraniosakral, sedangkan saraf simpatis
menghubungkan area torakalumbal dari sistem saraf autonom. Parasimpatis
kranial muncul dari mesenfalon dan medula oblongata. Serabut dari sel-sel pada
mesenfalon berjalan dengan saraf okulomotorius ketiga menuju ganglia siliaris,
yang memiliki serabut postganglion yang berhubungan dengan sistem simpatis
lain yang mengontrol bagian posisi yang berlawanan dengan mempertahankan
kesimbangan antara keduanya pada satu waktu (Batticaca, 2008).
2.2. PEMBAHASAN

2.2.1. OBAT OTONOM

1. SUSUNAN SARAF OTONOM DAN TRANSMISI NEUROHORMONAL

Pendahuluan
Sistem saraf motorik secara garis besar dibagi atas sistem otonom dan somatik. Sistem
saraf otonom sesuai dengan namanya bersifat otonom (independen) dimana aktifitasnya
tidak dibawah kontrol kesadaran secara langsung. Sistem saraf otonom (SSO) terutama
berfungsi dalam pengaturan fungsi organ dalam seperti curah jatung, aliran darah ke
berbagai organ, sekresi dan motilitas gastrointestinal, kelenjar keringat dan temperatur
tubuh. Aktifasi SSO secara prinsip terjadi dipusat di hipothalamus, batang otak dan
spinalis. Impuls akan diteruskan melalui sistem simpatis dan parasimpatis. (Indra,
2012)

Anatomi
Sistem Saraf otonom terdiri dari saraf preganglion, ganglion dan saraf
pascaganglion yang mempersarafi sel efektor. Secara garis besar dibagai atas sistem
simpatis (thorakolumbal) dan parasimpatis (kraniosakral) (gambar 1). Keduanya
berasal dari nukleus yang berada dalam sistem saraf pusat. Serat preganglion simpatis
meninggalkan sistem saraf pusat melalui nervus spinalis thorakal dan lumbal, sehingga
dinamakan sistem thorakolumbal dan serat preganglion parasimptis meninggalkan
sistem saraf pusat melalui saraf kranial (khususnya N III, VII, IX dan N X) dan nervus
sakral, sehingga dinamakan sistem kraniokaudal. Lingkaran refleks saraf otonom terdiri
dari serat eferen yang sentripetal disalurkan melalui N. vagus, pelvikus, splanknikus
dan saraf otonom lainnya. Badan sel serat- serat ini terletak di ganglia dalam kolumna
dorsalis dan di ganglia sensorik dari saraf kranial tertentu. (Indra,2012)
Gambar 1 Skema diagram Susunan saraf pusat

Fisiologi
Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem simpatis dan parasimpatis memperlihatkan
fungsi yang antagonistik. Bila yang satu menghambat suatu fungsi maka yang lain
memacu fungsi tersebut. Contoh yang jelas ialah midriasis terjadi dibawah pengaruh
saraf simpatis dan miosis dibawah pengaruh parasimpatis.Organ tubuh umumnya
dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis, dan tonus yang terjadi merupakan hasil
perimbangan kedua sistem tersebut. Inhibisi salah satu sistem oleh obat maupun akibat
denervasi menyebabkan aktifitas organ tersebut didominasi oleh sistem yang lain.
Antagonisme ini tidak terjadi pada semua organ, kadang kadang efeknya sama,
misalnya untuk ereksi. Sekresi liur dirangsang baik oleh saraf simpatis maupun
parasimpatis, tetapi sekret yang dihasilkan berbeda kualitasnya pada perangsangan
simpatis liur kental, sedangkan pada perangsangan parasimpatis liur lebih encer.
Fungsi dua sistem tersebut dapat juga saling melengkapi, misalnya pada fungsi seksual,
ereksi merupakan fungsi parasimpatis sedangkan ejakulasi efek simpatis. Secara umum
dapat dikatakan bahwa sistem parasimpatis berperan dalam fungsi pertahanan diri yang
dikenal dengan fight or flight reaction. (Indra,2012)
Sistem parasimpatis fungsinya lebih terlokalisir, tidak difus seperti sistem simpatis,
dengan fungsi utama menjaga dan memelihara sewaktu aktifitas organisme minimal.
Sistem ini mempertahankan denyut jantung dan tekanan darah pada fungsi basal,
menstimulasi sistem pencernaan berupa peningkatan motilitas dan sekresi getah
pencernaan, meningkatkan absorbsi makanan, memproteksi retina terhadap cahaya
berlebihan, mengosongkan rektum dan kandung kemih. Dengan demikian saraf
parasimpatis tidak perlu bekerja secara serentak. (Indra,2012)

Transmisi Neurohumoral
Impuls saraf dari susunan saraf pusat (SSP) hanya dapat diteruskan ke ganglion dan
sel efektor melalui pelepasan suatu zat kimia yang khas yang disebut transmitor
neurohumoral atau disingkat transmitor. Pada dosis terapi, tidak banyak obat yang
dapat mempengaruhi konduksi akson, tetapi banyak sekali zat yang dapat mengubah
transmisi neurohumoral. Konduksi saraf hanya dapat dipengaruhi oleh anestetik lokal
dosis terapi yang diinfiltrasikan dalam kadar yang relatif tinggi di sekitar serabut saraf,
dan oleh beberap zat lain seperti tetradoksin. (Indra,2012)
Pada akson, potensial membran istirahat sekitar -70 mV. Potensial negatif ini

disebabkan oleh kadar ion K+ didalam sel saraf 40 kali lebih besar daripada kadarnya

diluar sel, sedangkan ion Na+ dan Cl+ jauh lebih banyak di luar sel. Dalam keadaan

potensial istirahat ini, ion Na+ tidak dapat memasuki sel. Bila ada depolarisasi yang

mencapai ambang rangsang, maka permeabilitas terhadap ion Na+ sangat meningkat

sehingga ion Na+ masuk ke dalam aksoplasma dan menyebabkan potensial yang
negatif tadi menuju netral dan bahkan menjadi positif . Hal ini diikuti dengan
repolarisasi, yaitu kembalinya potensial istirahat dengan terhentinya pemasukan ion

Na+ dan keluarnya ion K+. Perubahan potensial tersebut disebut potensial aksi
(impuls) saraf (nerve action potential, NAP). Gambar 2
Gambar 2 Perubahan potensial pada neuron

NAP akan berjalan sepanjang akson sampai di ujung saraf, di sinaps akan
menyebabkan pelepasan transmitor. Transmitor akan melintasi celah sinaps selebar
100-500 Angstrom ke membran pasca sinaps. Transmitor ini disintesis dan disimpan
di ujung akson dalam organel yang disebut gelembung (vesikel) sinaps. (Indra,2012)
Transmitor yang dilepaskan dari ujung saraf preganglion ialah asetilkolin (ACh),
(lihat gambar 3). ACh berdifusi sepanjang celah sinaps dan mencapai membran
pasca sinaps; disini ACh bergabung dengan reseptornya dan mengakibatkan
terjadinya depolarisasi membran saraf pasca ganglion yang disebut potensial
perangsangan pasca sinaps (excitatory postsynaptic potential, (Indra,2012)

EPSP). Depolarisasi terjadi akibat peningkatan permeabilitas ion Na+ dan K+


sekaligus. EPSP akan merangsang terjadinya NAP di saraf pasca ganglion yang
sesampainya di sinaps saraf-efektor akan menyebabkan penglepasan ttransmitor lagi
untuk meneruskan sinyal ke sel efektor. Pada sinaps saraf-efektor ini dilepaskan
transmitor ACh pada saraf pascaganglion parasimpatis dan norepinefrin (NE) pada
saraf pascaganglion simpatis. Reaksi sel efektor dapat berupa perangsangan atau
penghambatan tergantung jenis transmitor dan jenis reseptornya. Suatu transmisi
neurohumoral tidak selalu menyebabkan depolarisasi tetapi juga dapat
menyebabkan hiperpolarisasi. (Indra,2012)
Hiperpolarisasi pada membran saraf pasca ganglion disebut potensial inhibisi pasca
sinaps (inhibitory postsynaptic potential. JPSP) dan menyebabkan hambatan organ
pascasinaps. Bila transmitor tidak diinaktifkan maka transmisi sinaptik akan terus
berlangsung pada membran pasca sinaps dengan akibat terjadinya perangsangan
yang berlebihan atau bahkan disusul dengan blokade. Karena itu perlu ada
mekanisme untuk menghentikannya. Pada sinaps kolinergik terdapat
asetilkolinesterase, suatu enzim penghidrolisis ACh yang kerjanya cepat sekali.
Pada sinaps adrenergik, NE terutama diambil kembali (reuptake) oleh ujung saraf
adrenergik. Ambilan kembali NE ini selain untuk menghentikan transmisi sinaps
juga berfungsi untuk menghemat NE. (Indra,2012)
Saraf yang mensistesis dan melepaskan ACh disebut saraf kolinergik, yakni saraf
praganglion simpatis dan parasimpatis, saraf pasca ganglion parasimpatis dan saraf
Keempat tahap transmisi neurohumoral yaitu sintesis, penyimpanan, pelepasan,
ikatan dengan reseptor dan eliminasi transmitor merupakan dasar untuk pengertian
kerja obat otonom. Obat yang bekerja pada saraf otonom mempengaruhi salah satu
tahap transmisi neurohumoral tersebut, yaitu pada transmisi adrenergik atau
transmisi kolinergik tanpa membedakan apakah saraf tersebut termasuk sistem
simpatis, parasimpatis atau somatik. (Indra,2012)

Transmisi Kolinergik
Sintesis Asetilkolin

Otto Loewi (1921) dari Universitas Graz, Austria pertamakali membuktikan adanya
zat neurotransmiter bila N. Vagus dirangsang, yang dinamakannya vagussstoff.
Setelah diteliti ternyata zat vagus tersebut adalah asetilkolin (ACh). Terdapat dua
jenis enzim yang berhubungan dengan Ach yaitu kolinasetilase dan kolinesterase.
Kolinasetilase (koliasetiltransferase, ChAT) mengkatalisis sintesis ACh, pada
tahap pemindahan gugus asetil dari asetilkoenzim-A ke molekul kolin. Reaksi ini
merupakan langkah terakhir dalam sintesis ACh, yang terjadi dalam sitoplasma
ujung saraf yang kemudian ditransportasi ke dalam gelembung sinaps tempat ACh
disimpan dalam kadar tinggi (gambar 3). (Indra,2012)

Gambar 3 Ilustrasi pembentukan asetilkolin

Kolinasetilase disintesis dalam perikarion sel saraf dan ditransportasi sepanjang


akson ke ujung sarat Asetil KoA disintesis di mitokondria ujung saraf sedangkan
kolin diambil secara aktif ke dalam ujung saraf. Proses ambilan kolin ke dalam saraf
ini tergantung Na ekstra sel dan dihambat oleh hemikolonium. (Indra,2012)
Kolinesterase. Asetilkolin sebagai transmitor harus tidak diaktifkan dalam waktu
cepat. Kecepatan inaktifasi tergantung dari macamnya sinaps (sambungan saraf-otot
atau saraf-efektor) dan macam neuron. Pada sambungan saraf otot, ACh dirusak
secara kilat, dalam waktu kurang dari 1 milidetik. Kolinesterase yang tersebar di
berbagai jaringan dan cairan tubuh, menghidrolisis Ach menjadi kolin dan asam
asetat. Kekuatan kolin sebagai transmitor hanya 1/100.000 kali Ach. Ada 2 macam
kolinesterase, yaitu asetilkolinesterase (AchE) dan butirilkolinesterase (BuChE).
Asetilkolinesterase (juga dikenal sebagai kolinesterase yang spesifik atau
kolinesterase yang sejati) terutama terdapat di tempat transmisi kolinergik pada
membran pra maupun pascasinaps, dan merupakan kolinesterase yang terutama
memecah Ach. Butirilkolinesterase (pseudokolinesterase atau serum esterase)
terutama memecah butirilkolin dan banyak terdapat dalam plasma dan hati ; fungsi
fisiologinya belum diketahui. Enzim ini berperan dalam eliminasi suksinilkolin.
Transmisi kolinergik praktis dihentikan oleh enzim AchE sehingga penghambatan
enzim ini akan menyebabkan aktifitas kolinergik yang berlebihan dan perangsangan
reseptor kolinergik secara terus-menerus akibat penumpukan Ach yang tidak
dihidrolisis. Kelompok zat yang menghambat AchE dikenal sebagai
antikolinesterase (anti-AchE). Hampir semua efek farmakologi anti-AchE adalah
akibat penghambatan enzim AchE, dan bukan BuChE. Dalam urutan kekuatan yang
meningkat kita kenal fisostigmin, prostigmin, diisopropilfluorofosfat (DFB) dan
berbagai insektisida organofosfat. (Indra,2012)

Penyimpanan dan Pelepasan Asetilkolin Pada tahun 1950 Fall dan Kastz
menemukan ACh dilepaskan dari ujung saraf somatik dalam satuan-satuan yang
jumlahnya konstan (kuanta). Ach dalam jumlah tersebut hanya menimbulkan
perubahan potensial kira-kira 0,5 mV. Potensial miniatur lempeng saraf (miniatur
end-plate potential, mepp) yang tidak cukup untuk menimbulkan potensial aksi ini,
ditingkatkan dengan pemberian neostigmin dan diblok oleh d-tubokurarin. Suatu
potensial aksi yang mencapai ujung saraf akan menyebabkan penglepasan ACh
secara eksplosif sebanyak 100 atau lebih kuanta (atau vesikel). Urutan kejadiannya
diduga sebagai berikut : depolarisasi ujung saraf diikuti influks ion Ca yang akan
berikatan dengan gugus bermuatan negatif di membran aksoplasmik bagian dalam.
Hal ini menyebabkan terjadinya fusi membran akson dengan membran vesikel,
diikuti penglepasan Ach dari dalam vesikel (proses eksositosis). Penglepasan ini
dihambat oleh ion Mg yang berlebihan. (Indra,2012)

Transmisi Adrenergik
Sintesis katekolamin

Sintesis katekolamin terlihat dalam gambar


5. Proses sintesis ini terjadi di ujung saraf adrenergik. Enzim-enzim yang berperan
disintesis dalam badan sel neuron adrenergik dan ditransport sepanjang akson ke
ujung saraf. Hidroksilasi tirosin merupakan tahap penentu (rate-limiting step)
dalam biosintesis katekolamin. Disamping itu, enzim tirosin hidroksilase ini
dihambat oleh senyawa katekolamin (umpan balik negatif). Epinefrin paling
banyak ditemukan dalam kelenjar adrenal sedang NE disintesis dalam saraf
pascaganglion simpatis. Tahap sintesis sampai terbentuk dopamin terjadi di
sitoplasma. Dopamin ditransfer aktif ke dalam vesikel dan di situ diubah menjadi
NE. Hanya di medulla adrenal terdapat enzim N-metiltransferase yang mengubah
NE menjadi epinefrin di sitoplasma. Seluruh isi vesikel ini dilepaskan pada
perangsangan saraf dengan proses eksositosis. (Indra,2012)
Gambar 4 Ilustrasi pembentukan Norepinefrin di ujung saraf adrenergil

Cara Kerja Obat Otonom


Obat otonom mempengaruhi transmisi neurohumoral dengan cara menghambat atau
mengintensifkannya. Terdapat beberapa kemungkinan pengaruh obat pada transmisi
sistem kolinergik maupun adrenergik, yaitu : (Indra,2012)
1. Hambatan pada sintesis atau penglepasan transmitor
2. Menyebabkan penglepasan transmitor
3. Ikatan dengan reseptor
4. Hambatan destruksi transmitor

1. Hambatan Pada Sintesis Atau Penglepasan Transmitor


Kolinergik. Hemikolinium menghambat ambilan kolin ke dalam ujung saraf dan
dengan demikian mengurangi sintesis ACh. Toksin botulinum menghambat
pelepasan Ach disemua saraf kolinergik sehingga dapat menyebabkan kematian.
(Indra,2012)
Adrenergik. Metiltirosin memblok sintesis NE dengan menghambat
tirosinhidroksilase, enzim yang mengkatalisis tahap penentu pada sintesis NE.
Sebaliknya metildopa, penghambat dopa dekarboksilase, seperti dopa sendiri
didekarboksilasi dan dihidroksilasi menjadi a-metil NE. Guanetidin dan bretilium
juga mengganggu penglepasan dan penyimpanan NE. (Indra,2012)

2. Menyebabkan Penglepasan Transmitor Kolinergik. Racun laba-laba black


widow menyebabkan penglepasan Ach (eksositosis) yang berlebihan, disusul
dengan blokade penglepasan ini. Adrenergik. Banyak obat dapat
meningkatkan pelepasan NE. Tergantung kecepatan dan lamanya penglepasan, efek
yang terlihat dapat berlawanan. Tiramin, efedrin amfetamin dan obat sejenis
menyebabkan penglepasan NE yang relatif cepat dan singkat sehingga
menghasilkan efek hambatan transport aktif NE ke dalam vesikel, menyebabkan
penglepasan NE secara lambat dari dalam vesikel ke aksoplasma sehingga NE
dipecah oleh MAO. Akibatnya terjadi blokade adrenergik akibat pengosongan
depot NE diujung saraf. (Indra,2012)

3. Ikatan dengan Reseptor


Obat yang menduduki reseptor dan dapat menimbulkan efek yang mirip dengan
efek transmitor disebut agonis. Obat yang hanya menduduki reseptor tanpa
menimbulkan efek langsung, tetapi efek akibat hilangnya efek transmitor (karena
tergesernya transmitor dari reseptor) disebut antagonis atau bloker. (Indra,2012)

4. Hambatan Destruksi Transmitor Kolinergik.Antikolinesterase merupakan


kelompok besar zat yang menghambat destruksi ACh karena menghambat AchE,
dengan akibat perangsangan berlebihan di reseptor muskarini oleh Ach dan
terjadinya perangsangan disusul blokade di reseptor nikotinik. (Indra,2012)
Adrenergik. Ambilan kembali NE setelah pelepasannya di ujung saraf merupakan
mekanisme utama penghentian adrenergik. Hambatan proses ini oleh kokain dan
imipramin mendasari peningkatan respons terhadap perangsangan simpatis oleh
obat tersebut. Penghambat COMT misalnya pirogalol hanya sedikit meningkatkan
respons katekolamin, sedangkan penghambat MAO misalnya tranisipromin, hanya
meningkatkan efek tiramin tetapi tidak meningkatkan efek katekolamin.
(Indra,2012)

2. KOLINERGIK
a. Devinisi Kolinergik

Senyawa kolinergik adalah senyawa yang secara langsung atau tidak langsung dapat
menimbulkan efek seperti yang ditunjukan oleh asetil kolin, suatu senyawa
normal,bubuh yang disintetis pada jaringan saraf, sinapsis kolinergik dan dinding
usus. Ada dua tipe efek yang dihasilkan yaitu efek muskarinik dan nikotinik.
(Kimin, 2004)
Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat
menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena
melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama
SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya,
singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang, timbullah sejumlah efek
yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting
seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi
kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, dan lain-lain,
memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi,
dan penurunan tekanan darah, memperlambat pernafasan, antara lain dengan
menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata
dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat
lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek
memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka,
menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya. (Kimin, 2004)
Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron
postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan Saraf
Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap
perangsangan, reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni: (Kimin, 2004)

b. Golongan obat kolinergik

Kolinergika dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja langsung
dan zat-zat dengan kerja tak langsung. Kolinergika yang bekerja secara langsung
meliputi karbachol, pilokarpin, muskarin, dan arekolin (alkaloid dari pinang, Areca
catechu). Zat-zat ini bekerja secara langsung terhadap organ-organ ujung dengan
kerja utama yang mirip efek muskarin dari ACh. Semuanya adalah zat-zat amonium
kwaterner yang bersifat hidrofil dan sukar larut memasuki SSP, kecuali arekolin.
(Kimin, 2004)
Sedangkan kolinergika yang bekerja secara tak langsung meliputi zat-zat
antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin, dan piridogstimin. Obat-obat ini
merintangi penguraian ACh secara reversibel, yakni hanya untuk sementara. Setelah
zat-zat tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase, ACh segera akan dirombak lagi.
Disamping itu, ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara irreversibel, misalnya
parathion dan organofosfat lainnya. Kerjanya panjang, karena bertahan sampai
enzim baru terbentuk lagi. Zat ini banyak digunakan sebagai insektisid beracun kuat
di bidang pertanian (parathion) dan sebagai obat kutu rambut (malathion). Gas saraf
yang digunakan sebagai senjata perang termasuk pula kelompok organofosfat ini,
misalnya Sarin, Soman, dan sebagainya. (Kimin, 2004)
a. Senyawa Kolinergik dengan efek langsung
Senyawa kolinergik dengan efek langsung (Kolinomimetik,
Parasimpatomimetik) adalah obat yang mempunyai struktur kimia, jarak antara
gugus-gugus polr dan distribusi muatan serta dengan asetil kolin sehingga dapat
menimbulkan efek pada transmiter kimia asetikolin.
1) Mekanisme kerja kolinomimetik
Kolinomimetik memiliki struktur mirip dengan asetikolin sehingga dapat
membentuk komplek dengan reseptor asetikolin. Reseptor tersebut terletk
pada membran yan peka. Asetikolin dan kolinomimetik dapat mempengaruhi
dan mengikat keselektifan permeabilitas membran terhadap kation. (Kimin,
2004)
Contoh senyawa kolinergik :
a) Asetilkolin : aktif terhadap nikotinik dan muskarinik cepat
terhidrolisis. Larutan 1 % (dibuat baru) topikal pada interior chamber
mata : 0,5-2 ml.
b) Metacholin : dihidrolisis lebih lambat karena efek halangan sterik oleh
gugus β -metil aktif terhadap muskarinik (jarang digunakan). Dosis : SC
10 mg, setelah 20 menit dapat diberikan 25 mg.
c) Carbachol : dihidrolisis lambat (karena gugus karbamat). Digunakan
pada glaukoma untuk menurunkan tekanan intraokuler. Larutan 1 %
topikal pada kongjutiva mata 1 tetes 2-3 dd.
d) Betanechol: Efek lebih lama (karena halangan sterik & karbamat).
Digunakan untuk stimulasi saluran cerna dan saluran urin pasca operasi.
Dosis oral : 10-30 mg 3 dd dan SC : 2,5 mg 3 dd.
2) Hubungan Struktur dan aktfitas
a) Perubahan gugus amonium kuarterner Salah satu metil dapat
digantikan dengan gugus yang lebih besar tetapi modifikasi seperti itu
dapat menurunkan aktivitas secara drastis Contoh : analog dimetiletil
aktivitas hanya 25% dibanding Ach Substitusi dengan gugus yang lebih
besar atau terhadap lebih dari satu metil dapat meniadakan aktivitas.
Muatan juga penting untuk aktivitas, contoh: isoster karbon tak
bermuatan (3,3-dimetilbutilasetat) hanya punya aktivitas 0,003% tetapi
amin tersier (pilokarpin, arecolin) aktif karena pada pH fisiologis,
amina-amina ini terprotonasi sehingga bermuatan. (Kimin, 2004)
b) Perubahan rantai etilen Bagian molekul ini menjamin jarak yang tepat
antara gugus amonium dengan gugug ester penting untuk pengikatan
yang efektif dengan reseptor.Peningkatan panjang rantai menghasilkan
penurunan aktivitas yang bermakna. Percabangan rantai hanya
memungkinkan untuk substituen metil. Substitusi dengan β-metil
(metacholin)
menunjukkan aktivitas muskarinik, substitusi dengan α-metil
menunjukkan aktivitas nikotinik.

c) Perubahan gugus ester Ester aromatis yang besar menunjukkan efek


antagonis. Penggantian yang paling bermanfaat adalah dengan gugus
karbamat (Carbachol) dapat membuat menjadi sangat aktif karena
mengurangi hidrolisis.
d) Pembentukan analog siklis Analog siklik ACh dengan aktivitas
muskarinik meliputi berbagai senyawa bahan alam, seperti muscarine,
pilocarpine, dan arecoline. Dioxolane juga menunjukkan aktivitas kuat
sebagai agonis muskarinik. 2.
e) Aktifitas akan meningkat secara tetap dengan peningkatan jumlah
atom yang terikat pada gugus onium (-N+(CH3)3)sampai R=5, bila R
lebih besar dari 5 aktifitasnya akan menurun secara tetap pula.
f) Gugus onium (N-kation) sangat penting untuk aktifitas kolinergik.
Penggantian atom N dengan gugus elektronegatifan yang lain (P, S,As )
dan penggantian gugus metil dan gugus alkil yang lebih tinggi akan
menurunkan aktifitas
b. Senyawa Kolinergik dengan Efek Tidak Langsung
Senyawa kolinergik dengan efek tidak langsung Senyawa kolinergik dengan
efek tidak langsung (antikolinesterase) bekerja menghambat enzim
kolinesterase dengan cara mencegah enzim sehingga tidak menghidrolisis
asetilkolin. Akibatnya asetilkolin akan terkumpul pada tempat transmisi
kolinergik dan bekerja pada perifer, sinapsis ganglionik dan penghubung saraf
otot rangka. Mekanisme kerjanya : bekerja sebagai penghambat enzim
kolinesterase dengan cara berinteraksi membentuk kompleks dengan enzim
tersebut, melalui berbagai ikatan kimia termasuk ikatan elektrostatik, ikatan
hidrogen dan ikatan kovalen.
Turunan karbamat Studi hubungan struktur dan aktivitas turunan karbamat
menunjukan bahwa gugus yang berperan untuk aktivitas antikolinesterase
adalah gugus amino yang tersubstitusi dan gugus N,N-dimetil karbamat.
Contoh : Fisostigmin salisilat

c. Penggunaan kolinergik
Kolinergik terutama digunakan pada : (Kimin, 2004)
1) Glaukoma, yaitu suatu penyakit mata dengan ciri tekanan intra okuler
meningkat dengan akibat kerusakan mata dan dapat menyebabkan kebutaan.
Obat ini bekerja dengan jalan midriasis seperti pilokarpin, karbakol dan
fluostigmin.
2) Myastenia gravis, yaitu suatu penyakit terganggunya penerusan impuls di pelat
ujung motoris dengan gejala berupa kelemahan otot-otot tubuh hingga
kelumpuhan. Contohnya neostigmin dan piridostigmin.
3) Atonia, yaitu kelemahan otot polos pada saluran cerna atau kandung kemih
setelah operasi besar yang menyebabkan stres bagi tubuh. Akibatnya timbul
aktivitas saraf adrenergik dengan efek obstipasi, sukar buang air kecil atau
lumpuhnya gerakan peristaltik dengan tertutupnya usus (ielus paralitikus).
Contohnya prostigmin (neostigmin).
2.2. Antikolinergika
1. Devinisi antikolinergik
Antikolinergik (disebut juga obat penyekat kolinergik atau obat Antagonis
kolinergik) mengikat koffloseptor tetapi tidak memicu efek intraselular diperantarai
oleh reseptor seperti lazimnya yang paling bermanfaat dari obat golongan ini adalah
menyekat sinaps muskarinik pada saraf parasimpatis secara selektif. Oleh karena itu,
efek persarafan parasimpatis menjadi terganggu, dan kerja pacu simpatis muncul
tanpa imbangan. Kelompok kedua obat ini, penyekat ganglioník nampaknya lebib
menyekat reseptor nikotinik pada ganglia simpatis dan parasímpatis. Keluarga ketiga
senyawa ini, obat penyekat neumuscular mengganggu transmisi impuls eferon yang
menuju otot rangka.
Antikolinergik juga disebut antimuskaranik, parasimpatolitik, kolinolitik, atroponik,
dan pemblok parasimpatetik
Antikolinergik menghambat efek asetilkolin pada saraf postganglionik kolinergik
danotot polos, menghasilkan efek efek sebagai berikut:
a. Anti spasmodik, yaitu menurunkan tonus dan pergerakan sauran cerna dan
saluran urogenital.
b. Antisekresi, mengurangi sekresi air liur, keringat dan asam lambung.
c. Anti parkison, parkison adalah suatu ppenyakit yang disebabkan oleh adanya
ketidak seimbangan kadar dopain fan asetil kolin di otak.
d. Mifriatik atau dilatasi pupil mata sikloplegik atau paralisis struktur siliari
mata, yang menyebabkan paralisis akomodasi pengihatan dekat.
Efek samping antikolinergik antara lain adalah mulut kering, anhidrosis, mata
kabur. Takikardia, disuria dan retensi urin akut. Pada orag dapat menyebabkan
glau koma, konstipasi, dan kesulitan akomodasi penglihatan.
2. Golongan obat antikolinergik
Berdasarkan efek yang ditimbulkan senyawa antikolinergik dibagi menjadi empat
kelompok yaitu: (Kimin, 2004)
a. Obat antispasmodik
Obat antispanmodik (spasmolitik umum) adalah senyawa yang dapat
menurunkan tonus dan pergerakan sauran cerna dan urogenial. Obat
antispasmodik digunakan sebagai penunjang pengobatan tukak lambung da
usus, serta untuk eringankan spasme viseral.
Antikolinergik yang digunakan sebagai obat anti spasmodik obat antispasmodik
dibagi enjadi tiga kelompok yaitu alkoloida salonacea dan turunanya, senyawa
amonium kuartener siteti dan senyawa amin tersier sintetik.
b. Senyawa antisekresi
Efek antisekrsi dapat dihasilkan oleh senyawa antikolinergik dan digunakan
sebagai obat tambahan pada pengobatan tukak lambung dan usus serta untuk
meringankan spasme viseral.
Contoh: klidinium klorida, fentonium bromida, isopropamid iodida, metalin
bromida, dan propentelin bromida.
c. Obat anti parkinson
Obat anti-parkinson adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan gejala
penyakit parkinson. Pada individu normal ada keseimbangan antara kadar
dopamin dan asetilkolin diotak. Adanya ketidak seimbangan kadar kedua
senyawa diatas, terutama kekurangan dopamin disriatum otak dapat
menyebabkan penyakit parkinson.
Berdasarkan mekanisme kerjanya obat anti parkinson dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu senyawa antikolinergik pusat, senyawa yang mempengaruhi
kadar dopamin diotak dan senyawa yang menurunkan metabolisme dopamin.
d. Midriatik
Antikolinergik kuat digunakan seeccara setempat pada mata karna
menimbulkan efek midriasis (dilatasi pupil) dan siklopelgia (paralisis
akomodasi). Midriatik dan efek sikloplegik digunakan untuk membantu
pembiasan dan pemeriksaaan bagian dalam mata, membantu prosedur
diagnostik sebelum, selama dan sesudah oprasi intrakular serta untuk untuk
pengobatan glaukoma sekunder.
Contoh : atropin sufat, hematropin HBr, hisin metil bromida, dan tropikamid.
3. Hubungan Struktur Dan Aktifitas
Struktur umum CR2X-CO-O-(CH2)n- N
a. Strruktur antikolinergik sangat mirip dengan senyawa kolinergik. Perbedaan
utama adalah adanya gugus besar yang terikat pada gugus alkil yang dapat
meningkatkan kekuatan ikatan dengan permukaan resptor.
b. Pemasukan subtituen pada cincin aromatik (gugus fenil) hanya sedikit
menunjang aktivitas.
c. X dapat berupa gugus H, OH, CH3, CONH2-adanya gugus OH meningkatkan
aktivitas antikolnergik karna dapat menunjang kekuatan intraksi obat resptor
melalui ikatan hidrogen.
d. N berupa amonium kuarterner atau amin tersier yang terprotonasi pada pH
fisologis atau bio fisa, membentuk gaya tarik menari elekstrostatik.
Contoh Obat di Pasaran (Kimin, 2004)
Tablet, Sirup (Theophylline/Teofilin)
Nama Obat Generik : Theophylline / Teofilin
Nama Obat Bermerek : Bronsolvan
KOMPOSISI
Tiap tablet Bronsolvan mengandung Theophylline (Teofilin) 150 mg.
Tiap 15 ml sirup Bronsolvan mengandung Theophylline (Teofilin) 150 mg.
FARMAKOLOGI (CARA KERJA OBAT)
Teofilin merupakan turunan metilxantin yang mempunyai efek antara lain
merangsang susunan saraf pusat dan melemaskan otot polos, terutama bronkus.
(Kimin, 2004)

Baca Juga Dosis Obat Lainnya :

1. Dosis Obat BUSCOPAN Tablet (Hyoscine-N-butylbromide)

2. Dosis Obat BURNAZIN Krim (Silver Suphadiazine)

3. Dosis Obat CALOMA PLUS

4. Dosis Obat CANDISTIN (Nystatin)

5. Dosis Obat CAPTOPRIL (Captopril)

6. Dosis Obat CATAFLAM (Diclofenac Potassium) (Kimin, 2004)

INDIKASI
Indikasi Bronsolvan adalah untuk meringankan dan mengatasi serangan asma
bronkial.

KONTRAINDIKASI

· Hipersensitivitas atau alergi terhadap komponen obat.

· Penderita tukak lambung.

PERINGATAN DAN PERHATIAN

· Hati-hati pemberian Bronsolvan pada hipoksemia, hipertensi, atau penderita yang


mempunyai riwayat tukak lambung.

· Bronsolvan dapat mengiritasi saluran gastrointestinal.

· Hati-hati pemberian Bronsolvan pada wanita hamil, menyusui, dan anak-anak.


· Pemberian Bronsolvan jangan melampaui dosis yang dianjurkan dan bila dalam 1
jam gejala- gejalanya masih tetap atau bertambah buruk, agar menghubungi
puskesmas atau rumah sakit terdekat.

· Hati-hati pemberian Bronsolvan pada penderita kerusakan fungsi hati, penderita di


atas 55 tahun terutama pria dan pada penyakit paru-paru kronik. (Kimin, 2004)

EFEK SAMPING
Efek samping Bronsolvan yang dapat timbul adalah sebagai berikut :

· Gastrointestinal : mual, muntah, diare.

· Susunan saraf pusat : sakit kepala, insomnia.

· Kardiovaskular : palpitasi, takikardia, aritmia ventrikuler.

· Pernapasan : takipnea

· Ruam kulit, hiperglikemia

INTERAKSI OBAT

· Bronsolvan jangan diberikan bersamaan dengan preparat xantin yang lain.

· Simetidin, eritromisin, troleandomisin dan kontrasepsi oral dapat meningkatkan


kadar teofilin serum.

· Rifampisin menurunkan kadar teofilin serum. (Kimin, 2004)

DOSIS DAN CARA PEMBERIAN


Dewasa : 1 tablet Bronsolvan atau 15 ml sirup Bronsolvan, 3 kali sehari.
Anak-anak 6-12 tahun : ½ tablet atau 7,5 ml sirup Bronsolvan, 3 kali sehari.
Atau sesuai petunjuk dokter. (Kimin, 2004)

KEMASAN
Tablet, Dus, Isi 10 Strip x 10 tablet.
Sirup, Botol, isi 100 ml. (Kimin, 2004)
KETERANGAN
Kocok terlebih dahulu.
Simpan di bawah suhu 30 C. Simpan dalam keadaan tertutup rapat. (Kimin, 2004)

3. ADRENERGIK
1. Definisi Adrenergik
Adrenergik dapat dibagi dalam dua kelompok menurut titik kerjanya di sel – sel
efektor dari organ – ujung, yakni reseptor-alfa dan reseptor-beta. Perbedaan
antara kedua jenis reseptor didasarkan atas kepekaannya bagi adrenalin,
noradrenalin ( NA ), dan isoprenalin. Reseptor-alfa lebih peka bagi NA,
sedangkan reseptor-beta lebih sensitive bagi isoprenalin.
Diferensiasi lebih lanjut dapat dilakukan menurut efek fisiologisnya yaitu
dalam alfa-1 dan alfa-2 serta beta-1 dan beta-2.Pada umumnya stimulasi dari
masing-masing reseptor itu menghasilkan efek-efek sebagai berikut :
(Ganiswarna, 1998)
Alfa-1 : menimbulkan vasokonstriksi dari otot polos dan menstimulasi
sel-sel kelenjar dengan bertambahnya antara lain sekresi liur dan keringat.
Alfa-2 : menghambat pelepasan NA pada saraf-saraf adrenegis dengan
turunnya tekanan darah. Mungkin pelepasan ACh di saraf kolinergis dalam
usus pun terhambat sehingga antara lain menurunnya peristaltic.
Beta-1 : memperkuat daya dan frekuensi kontraksi jantung (efek inotrop
dan kronotop).
Beta-2 : bronchodilatasi dan stimulasi metabolisme glikogen dan lemak.
Lokasi reseptor ini umumnya adalah sebagai berikut :
alfa-1 dan beta-1 : postsinaptis artinya lewat sinaps di organ efektor
alfa-2 dan beta-2 : presinaptis dan ekstrasi-naptis yaitu dimuka sinaps
atau diluarnya antara lain dikulit otak,rahim,dan pelat-pelat darah. Reseptor-
a1 juga terdapat presinaptis (Ganiswarna, 1998).

Contoh Obat Adrenergik antara lain :


Epinefrin Fenilefrin
Norepinefrin Mefentermin
Isoproterenol Metaraminol
Dopamin Fenilpropanolamin
Dobutamin Hidroksiamfetamin
Amfetamin Etilnorepineprin
Metamfenamin
Efedrin
Metoksamin

EPINEFRIN
Epinefrin merupakan prototype obat kelompok adrenergic. Zat ini dihasilkan juga
oleh anak-ginjal dan berperan pada metabolisme hidrat-arang dan lemak. Adrenalin
memiliki semua khasiat adrenergis alfa dan beta, tetapi efek betanya relative lebih
kuat ( stimulasi jantung dan bronchodilatasi ). (Ganiswarna, 1998)
a. Mekanisme Kerja

Farmakodinamika
Pada umumnya pemberian epinefrin menimbulkan efek mirip stimulasi saraf
adrenergic. Ada beberapa perbedaan karena neurotransmitter pada saraf adrenergic
adalah NE. Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos
pembuluh darah dan otot polos lain.
Jantung, epinefrin mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung
dan jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positif
epinefrin pada jantung.
Epinefrin mempercepat depolarisasi fase 4, yakni depolarisasi lambat sewaktu
diastole, dari nodus sino-atrial ( SA ) dan sel otomatik lainnya, dengan demikian
mempercepat firing rate pacu jantung dan merangsang pembentukan focus ektopik
dalam ventrikel. Dalam nodus SA, epinefrin juga menyebabkan perpindahan pacu
jantung ke sel yang mempunyai firing rate lebih cepat. (Ganiswarna, 1998)
Epinefrin mempercepat konduksi sepanjang jaringan konduksi, mulai dari atrium ke
nodus atrioventrikular ( AV ). Epinefrin juga mengurangi blok AV yang terjadi
akibat penyakit, obat atau aktivitas vagal. Selain itu epinefrin memperpendek
periode refrakter nodus AV dan berbagai bagian jantung lainnya. Epinefrin
memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi. Dalam mempercepat denyut
jantung dalam kisaran fisiologis, epinefrin memperpendek waktu sistolik tanpa
mengurangi waktu diastolic. Akibatnya curah jantung bertambah tetapi kerja jantung
dan pemakaian oksigen sangat bertambah sehingga efisiensi jantung ( kerja
dibandingkan dengan pemakaian oksigen ) berkurang. Dosis epinefrin yang berlebih
disamping menyebabkan tekanan darah naik sangat tinggi juga menimbulkan
kontraksi ventrikel premature diikuti takikardia ventrikel dan akhirnya fibrilasi
ventrikel.
Pembuluh darah, efek vascular epinefrin terutama pada arteriol kecil dan
sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah
kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi karena dalam organ – organ
tersebut reseptor α dominan. Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi oleh
epinefrin dosis rendah, akibat aktivasi reseptor β2 yang mempunyai afinitas lebih
besar pada epinefrin dibandingkan dengan reseptor α. Epinefrin dosis tinggi bereaksi
dengan kedua jenis reseptor tersebut. Dominasi reseptor α di pembuluh darah
menyebabkan peningkatan resistensi perifer yang berakibat peningkatan tekanan
darah. Pada waktu kadar epinefrin menurun, efek terhadap reseptor α yang kurang
sensitive lebih dulu menghilang. Efek epinefrin terhadap reseptor β2 masih ada pada
kadar yang rendah ini. Dan menyebabkan hipotensi sekunder pada pemberian
epinefrin secara sistemik. Jika sebelum epinefrin telah diberikan suatu penghambat
reseptor α, maka pemberian epinefrin hanya menimbulkan vasodilatasi dan
penurunan tekanan darah. Gejala ini disebut epinefrin reversal yaitu suatu kenaikan
tekanan darah yang tidak begitu jelas mungkin timbul sebelum penurunan tekanan
darah ini, kenaikan yang selintas ini akibat stimulsai jantung oleh epinefrin.
(Ganiswarna, 1998)
Pada manusia pemberian epinefrin dalam dosis terapi yang menimbulkan kenaikan
tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan
peningkatan aliran darah otak. (Ganiswarna, 1998)
Epinefrin dalam dosis yang tidak banyak mempengaruhi tekanan darah,
meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dan mengurangi aliran darah ginjal
sebanyak 40%. Ekskresi Na, K dan Cl berkurang volume urin mungkin bertambah,
berkurang atau tidak berubah. Tekanan darah arteri maupun vena paru meningkat
oleh epinefrin meskipun terjadi konstriksi pembuluh darah paru, redistribusi darah
yang berasal dari sirkulasi sistemik akibat konstriksi vena – vena besar juga berperan
penting dalam menimbulkan kenaikan tekanan darah paru. Dosis epinefrin yang
berlebih dapat menimbulkan kematian karena adema paru. (Ganiswarna, 1998)
Pernapasan, epinefrin mempengaruhi pernapasan terutama dengan cara
merelaksasi otot bronkus melalui reseptor β2. efek bronkodilatasi ini jelas sekali bila
sudah ada kontraksi otot polos bronkus karena asma bronchial, histamine, ester
kolin, pilokarpin, bradikinin, zat penyebab anafilaksis yang bereaksi lambat dan lain
– lain. Disini epinefrin bekerja sebagai antagonis fisiologik. Pada asma, epinefrin
juga menghambat penglepasan mediator inflamasi dari sel – sel mast melalui
reseptor β2, serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti mukosa melalui reseptor
α1.
Proses Metabolik, epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan otot
rangka melalui reseptor β2, glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian
glukosa-6-fosfat. Hati mempunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak,
sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas asam laktat. Epinefrin
juga menyebabkan penghambatan sekresi insulin akibat dominasi aktivasi reseptor
α2 yang menghambat, terhadap aktivasi reseptor β2 yang menstimulasi sekresi
insulin. Sekresi glucagon ditingkatkan melalui reseptor β pada sel α pancreas. Selain
itu epinefrin mengurangi ambilan glukosa oleh jaringan perifer, sebagian akibat
efeknya pada sekresi insulin, tapi juga akibat efek langsung pada otot rangka.
Akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa dan laktat dalam darah dan penurunan
kadar glikogen dalam hati dan otot rangka. (Ganiswarna, 1998)
Epinefrin melalui aktivasi reseptor β meningkatkan aktivasi lipase trigliserida dalam
jaringan lemak, sehingga mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak
bebas dan gliserol. Akibatnya kadar asam lemak bebas dalam darah meningkat. Efek
kalorigenik epinefrin terlihat sebagai peningkatan pemakaian oksigen sebanyak 20
sampai 30% pada pemberian dosis terapi. Efek ini terutama disebabkan oleh
peningkatan katabolisme lemak, yang menyediakan lebih banyak substrat untuk
oksidasi.
Efek utamanya terhadap organ dan proses – proses tubuh penting dapat diikhtisarkan
sebagai berikut : (Ganiswarna, 1998)
Jantung : daya kontraksi diperkuat ( inotrop positif ), frekuensi ditingkatkan (
chronotrop positif ), sering kali ritmenya di ubah.
Pembuluh : vasokontriksi dengan naiknya tekanan darah.
Pernapasan : bronchodilatasi kuat terutama bila ada konstriksi seperti pada
asma atau akibat obat.
Metabolisme ditingkatkan dengan naiknya konsumsi O2 dengan ca 25%,
berdasarkan stimulasi pembakaran glikogen ( glycogenolysis ) dan lipolysis. Sekresi
insulin di hambat, kadar glukosa dan asam lemak darah ditingkatkan.

Farmakokinetik

Absorbsi, pada pemberian oral, epinefrin tidak mencapai dosis terapi karena
sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada
dinding usus dan hati. Pada penyuntikan SK, absorbsi lambat karena vasokontriksi
local, dapat dipercepat dengan memijat tempat suntikan. Absorbsi yang lebih cepat
terjadi dengan penyuntikan IM. Pada pemberian local secara inhalasi, efeknya
terbatas terutama pada saluran napas, tetapi efek sistemik dapat terjadi, terutama bila
digunakan dosis besar. (Ganiswarna, 1998)
Biotransformasi dan ekskresi, epinefrin stabil dalam darah. Degradasi
epinefrin terutama terjadi dalam hati terutama yang banyak mengandung enzim
COMT dan MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak zat ini. Sebagian besar
epinefrin mengalami biotransformasi, mula – mula oleh COMT dan MAO,
kemudian terjadi oksidasi, reduksi dan atau konyugasi, menjadi metanefrin, asam 3-
metoksi-4-hidroksimandelat, 3-metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk
konyugasi glukuronat dan sulfat. Metabolit – metabolit ini bersama epinefrin yang
tidak diubah dikeluarkan dalam urin. Pada orang normal, jumlah epinefrin yang utuh
dalam urin hanya sedikit. Pada pasien feokromositoma, urin mengandung epinefrin
dan NE utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya. (Ganiswarna, 1998)

b. Indikasi
Terutama sebagai analepticum, yakni obat stimulan jantung yang aktif sekali pada
keadaan darurat, seperti kolaps, shock anafilaktis, atau jantung berhenti. Obat ini
sangat efektif pada serangan asma akut, tetapi harus sebagai injeksi karena per oral
diuraikan oleh getah lambung. (Ganiswarna, 1998)

c. Kontraindikasi
Epinefrin dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat β-bloker nonselektif,
karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor α1 pembuluh darah dapat
menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak. (Ganiswarna, 1998)

d. Efek samping
Pemberian epinefrin dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala
berdenyut, tremor, dan palpitasi. Gejala – gejala ini mereda dengan cepat setelah
istrahat. Pasien hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap efek – efek tersebut
maupun terhadap efek pada system kardiovaskular. Pada pasien psikoneuretik
epinefrin memperberat gejala – gejalanya. (Ganiswarna, 1998)

NOREPINEFRIN
Norepinefrin adalah derivate tanpa gugus-metil pada atom-N. neurohormon ini
khususnya berkhasiat langsung terhadap reseptor α dengan efek fasokontriksi dan
naiknya tensi. Efek betanya hanya ringan kecuali kerja jantungnya ( β1 ). Bentuk-
dekstronya, seperti epinefrin, tidak digunakan karena ca 50 kali kurang aktif. Karena
efek sampingnya bersifat lebih ringan dan lebih jarang terjadi, maka norepinefrin
lebih disukai penggunaannya pada shok dan sebagainya. Atau sebagai obat
tambahan pada injeksi anastetika local. (Ganiswarna, 1998)

a. Mekanisme Kerja
Farmakodinamika
NE bekerja terutama pada reseptor α, tetapi efeknya masih sedikit lebih lemah bila
dibandingkan dengan epinefrin. NE mempunyai efek β1 pada jantung yang
sebanding dengan epinefrin, tetapi hampir tidak memperlihatkan efek β2.
(Ganiswarna, 1998)
Infus NE pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan diastolic, tekanan
sistolik, dan biasnya juga tekanan nadi. Resistensi perifer meningkat sehingga aliran
darah melalui ginjal, hati dan juga otot rangka juga berkurang. Filtrasi glomerulus
menurun hanya bila aliran darah ginjal sangat berkurang. Reflex vagal
memperlambat denyut jantung, mengatasi efek langsung NE yang mempercepatnya.
Perpanjangan waktu pengisian jantung akibat perlambatan denyut jantung ini,
disertai venokonstriksi dan peningkatan kerja jantung akibat efek langsung NE pada
pembuluh darah dan jantung, mengakibatkan peningkatan curah sekuncup. Tetapi
curah jantung tidak berubah atau bahkan berkurang. Aliran darah koroner
meningkat, mungkin karena dilatasi pembuluh darah koroner tidak lewat persarafan
otonom tetapi dilepasnya mediator lain, antara lain adenosin, akibat peningkatan
kerja jantung dan karena peningkatan tekanan darah. Berlainan dengan epinefrin,
NE dalam dosis kecil tidak menimbulkan vasodilatasi maupun penurunan tekanan
darah, karena NE boleh dikatakan tidak mempunyai efek terhadap reseptor β2 pada
pembuluh darah. (Ganiswarna, 1998)
otot rangka. Efek metabolic NE mirip epinefrin tetapi hanya timbul pada dosis yang
lebih besar. (Ganiswarna, 1998)
b. Indikasi
Pengobatan pada pasien shock atau sebagai obat tambahan pada injeksi pada
anastetika local. (Ganiswarna, 1998)
c. Kontraindikasi
Obat ini dikontraindikasikan pada anesthesia dengan obat – obat yang menyebabkan
sensitisasi jantung karena dapat timbul aritmia. Juga dikontraindikasikan pada
wanita hamil karena menimbulkan kontraksi uterus hamil. (Ganiswarna, 1998)
d. Efek Samping
Efek samping NE serupa dengan efek samping epinefrin, tetapi NE menimbulkan
peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi. Efek samping yang paling umum
berupa rasa kuatir, sukar bernafas, denyut jantung yang lambat tetapi kuat, dan nyeri
kepala selintas. Dosis berlebih atau dosis biasa pada pasien yang hiper-reaktif (
misalnya pasien hipertiroid ) menyebabkan hipertensi berat dengan nyeri kepala
yang hebat, fotofobia, nyeri dada, pucat, berkeringat banyak, dan muntah.
(Ganiswarna, 1998)

ISOPROTERENOL
Obat ini juga dikenal sebagai isopropilnorepinefrin, isopropilarterenol dan
isoprenalin, merupakan amin simpatomimetik yang kerjanya paling kuat pada semua
reseptor β, dan hampir tidak bekerja pada reseptor α. (Ganiswarna, 1998)
a. Mekanisme Kerja
Farmakodinamika
Isoproterenol tersedia dalam bentuk campuran resemik. Infus isoproterenol pada
manusia menurunkan resistensi perifer, terutama pada otot rangka, tetapi juga pada
ginjal dan mesenterium, sehingga tekanan diastolic menurun. Curah jantung
meningkat karena efek inotropik dan kronotropik positif langsung dari obat.pada
dosis isoproterenol yang biasa diberikan pada manusia, peningkatan curah jantung
umumnya cukup besar untuk mempertahankan atau meningkatkan tekanan sistolik,
tetapi tekanan rata – rata menurun. Efek isoproterenol terhadap jantung
menimbulkan palpitasi, takikardia, sinus dan aritmia yang lebih serius. (Ganiswarna,
1998)
Isoproterenol melalui aktivasi reseptor β2, menimbulkan relaksasi hampir semua
jenis otot polos. Efek ini jelas terlihat bila tonus otot tinggi, dan paling jelas pada
otot polos bronkus dan saluran cerna. Isoproterenol mencegah atau mengurangi
bronkokonstriksi. Pada asma, selain menimbulkan bronkodilatasi, isoprotorenol juga
menghambat penglepasan histamine dan mediator – mediator inflamasi
lainnya.akibat reaksi antigen-antibodi, efek ini juga dimiliki oleh β2-agonis yang
selektif. Efek hiperglikemik isoproterenol lebih lemah dibandingkan dengan
epinefrin, antara lain karena obat ini menyebabkan sekresi insulin melalui aktivasi
reseptor β2 pada sel – sel beta pancreas tanpa diimbangi dengan efek terhadap
reseptor α yang menghambat sekresi insulin. Isoproterenol lebih kuat dari epinefrin
dalam menimbulkan efek penglepasan asam lemak bebas dan efek kalorigenik.
(Ganiswarna, 1998)
b. Indikasi
Digunakan pada kejang bronchi ( asma ) dan sebagai stimulant sirkulasi darah.
c. Kontraindikasi
Pasien dengan penyakit arteri koroner menyebabkan aritmia dan serangan angina.
d. Efek samping
Efek samping yang umum berupa palpitasi, takikardi, nyeri kepala dan muka merah.
Kadang – kadang terjadi aritmia dan serangan angina, terutama pada pasien dengan
penyakit arteri koroner. Inhalasi isoproterenol dosis berlebih dapat menimbulkan
aritmia ventrikel yang fatal. (Ganiswarna, 1998)

DOPAMIN
a. Mekanisme Kerja
Farmakodinamik
Precursor NE ini mempunyai kerja langsung pada reseptor dopaminergik dan
adrenergic, dan juga melepaskan NE endogen. Pada kadar rendah, dopamin bekerja
pada reseptor dopaminergik D1 pembuluh darah, terutama di ginjal, mesenterium
dan pembuluh darah koroner. Stimulasi reseptor D1 menyebabkan vasodilatasi
melalui aktivasi adenilsiklase. Infus dopamin dosis rendah akan meningkatkan aliran
darah ginjal, laju filtrasi glomerulus dan ekskresi Na+ . Pada dosis yang sedikit lebih
tinggi, dopamin meningkatkan kontraktilitas miokard melalui aktivasi adrenoseptor
β1. Dopamin juga melepaskan NE endogen yang menambah efeknya pada jantung.
Pada dosis rendah sampai sedang, resistensi perifer total tidak berubah. Hal ini
karena dopamin mengurangi resistensi arterial di ginjal dan mesenterium dengan
hanya sedikit peningkatan di tempat – tempat lain.dengan demikian dopamin
meningkatkan tekanan sistolik dan tekanan sistolik dan tekanan nadi tanda
mengubah tekanan diastolic ( atau sedikit meningkat ). Akibatnya dopamin terutama
berguna untuk keadaan curah jantung rendah disertai dengan gangguan fungsi ginjal,
misalnya syok kardiogenik dan gagal jantung yang berat. Pada kadar yang tinggi
dopamin menyebabkan vasokontriksi akibat aktivasi reseptor α1 pembuluh darah.
Karena itu bila dopamin di gunakan untuk syok yang mengancam jiwa, tekanan
darah dan fungsi ginjal harus dimonitor. Reseptor dopamin juga terdapat dalam otak,
tetapi dopamin yang di berikan IV, tidak menimbulkan efek sentral karena obat ini
sukar melewati sawar darah-otak. (Ganiswarna, 1998)
Fenoldopam merupakan agonis reseptor D1 perifer dan mengikat reseptor α2 dengan
afinitas sedang, afinitas terhadap reseptor D2, α1 dan β tidak berarti. Obat ini
merupakan vasodilator kerja cepat untuk mengontrol hipertensi berat ( misalnya
hipertensi maligna dengan kerusakan organ ) di rumah sakit untuk jangka pendek,
tidak lebih dari 48 jam. Fenoldopam mendilatasi berbagai pembuluh darah, termasuk
arteri koroner, arteriol aferen dan eferen ginjal dan arteri mesenteric. Masa paruh
eliminasi fenoldopam intravena, setelah penghentian 2-jam infuse ialah 10 menit.
Efek samping akibat vasodilatasi berupa sakit kepala, muka merah, pusing,
takikardia atau bradikardia. (Ganiswarna, 1998)
Dopeksamin merupakan analog dopamin dengan aktivitas intrinsic pada reseptor D1,
D2 dan β2, juga menghambat ambilan katekolamin. Obat ini agaknya
memperlihatkan efek hemodinamik yang menguntungkan pada pasien gagal jantung
berat, sepsis dan syok. Pada pasien dengan curah jantung rendah, infus dopeksamin
meningkatkan curah sekuncup dan menurunkan resistensi vascular sistemik.
(Ganiswarna, 1998)
b. Indikasi
Pengobatan pada pasien syok dan hipovolemia.
c. Kontraindikasi
Dopamin harus dihindarkan pada pasien yang sedang diobati dengan penghambat
MAO.
d. Efek Samping
Dosis belebih dapat menimbulkan efek adrenergic yang berlebihan. Selama infuse
dopamine dapat terjadi mual, muntah, takikardia, aritmia, nyeri dada, nyeri kepala,
hipertensi dan peningkatan tekanan diastolic. (Ganiswarna, 1998)

DOBUTAMIN
a. Mekanisme Kerja
Farmakodinamika
Struktur senyawa dobutamin mirip dopamin, tetapi dengan substitusi aromatic yang
besar pada gugus amino. Dobutamin merupakan campuran resemik dari kedua
isomer / dan d. Isomer / adalah α1-agonis yang poten sedangkan isomer d α1-bloker
yang poten. Sifat agonis isomer / dominan, sehingga terjadi vasokontriksi yang
lemah melalui aktivasi reseptor α1. Isomer d 10 kali lebih poten sebagai agonis
reseptor β daripada isomer / dan lebih selektif untuk reseptor β1 daripada β-
2. (Ganiswarna, 1998)
Dobutamin menimbulkan efek inotropik yang lebih kuat daripada efek kronotropik
dibandingkan isoproterenol. Hal ini disebabkan karena resistensi perifer yang
relative tidak berubah ( akibat vasokontriksi melalui reseptor α1 diimbangi oleh
vasodilatasi melalui reseptor β2 ), sehingga tidak menimbulkan reflex takikardi, atau
karena reseptor α1 di jantung menambah efek inotropik obat ini. Pada dosis yang
menimbulkan efek inotropik yang sebanding, efek dobutamin dalam meningkatkan
automatisitas nodus SA kurang dibanding isoproterenol, tetapi peningkatan
konduksi AV dan intraventrikular oleh ke-2 obat ini sebanding. Dengan demikian,
infuse dobutamin akan meningkatkan kontraktilitas jantung dan curah jantung,
hanya sedikit meningkatkan denyut jantung, sedangkan resistensi perifer relative
tidak berubah. (Ganiswarna, 1998)
Farmakokinetik
Norepinefrin, isoproterenol dopamine dan dobutamin sebagai katekolamin tidak
efektif pada pemberian oral. NE tidak diabsorpsi dengan baik pada pemberian SK.
Isoproterenol diabsorpsi dengan baik pada pemberian parenteral atau sebagai aerosol
atau sublingual sehingga tidak dianjurkan. Obat ini merupakan substrat yang baik
untuk COMT tetapi bukan substrat yang baik unuk MAO, sehingga kerjanya sedikit
lebih panjang daripada epinefrin. Isoproterenol diambil oleh ujung saraf adrenergic
tetapi tidak sebaik epinefrin dan NE. Nonkatekolamin yang digunakan dalam klinik
pada umumnya efektif pada pemberian oral dan kerjanya lama, karena obat – obat
ini resisten terhadap COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan
hati sehingga efektif per oral. (Ganiswarna, 1998)
b. Indikasi
Pengobatan pada jantung
c. Kontraindikasi
Pasien dengan fibrilasi atrium sebaiknya dihindarkan karena obat ini mempercepat
konduksi AV.
d. Efek samping
Tekanan darah dan denyut jantung dapat sangat meningkat selama pemberian
dobutamin. (Ganiswarna, 1998)
ANTAGONIS CAMPURAN – LABETALOL
Pertimbangan Klinis
Labetalol memblok reseptor α1-, β1- dan β2-. Perbandingan dari rasio blokade α
dengan blokade β telah diperkirakan untuk mendekati 1:7 mengikuti pemberian
intravena. Blokade campuran ini menurunkan tahan perifer vaskuler dan tekanan
darah arteri. Laju nadi dan curah jantung biasanya sedikit menurun atau tidak
berubah. Jadi, labetalol menurunkan tekanan darah tanpa reflek takikardi karena
kombinasinya dengan efek α- dan β-. Efek tertinggi biasanya terjadi dalam 5 menit
setelah dosis intravena. Gagal jantung kiri, paradoksikal hipertensi, dan
bronkospasme telah dilaporkan. (Ganiswarna, 1998)

Dosis dan Sediaan


Dosis awal yang direkomendasikan dari labetalol adalah 0,1 – 0,25 mg/kg diberikan
secara intravena lebih dari 2 menit. Dua kali jumlah ini dapat diberikan dengan
interval 10 menit sampai tekanan darah yang diinginkan telah dicapai. Labetalol
dapat juga diberikan sebagai infus berkesinambungan yang lambat (200mg dalam
250 mL D5W) dengan kecepatan rata-rata 2 mg/menit. Bagaimanapun, karena waktu
paruh yang panjang (>5 jam), infus yang berkepanjangan tidak disarankan. Labetalol
(5 mg/mL) tersedia dalam 20 dan 40 mL. Kemasan dosis ganda dan di 4 dan 8 mL
dosis tunggal dalam jarum. (Ganiswarna, 1998)
β BLOKER
dikloroisoproterenol adalah β bloker yang pertama ditemukan tetapi tidak digunakan
karena obat ini juga merupakan agonis parsial yang kuat. Propranolol, yang
ditemukan kemudian menjadi prototipe golongan obat ini. (Ganiswarna, 1998)
β bloker mempunyai bermacam tingkatan dari selektifitas untuk reseptor β1. Mereka
yang lebih ke reseptor β1 mempunyai pengaruh yang lebih sedikitpada
bronkopulmonal dan reseptor vaskular β2 (tabel 12-4). Secara teoritis, β1bloker yang
selektif akan mempunyai kemampuan efek inhibisi yang lebih sedikit terhadap
reseptor β2. Sehingga obat ini lebih dipilih untuk pasien dengan penyakit paru
obstruksi kronik tau penyakit perifer vaskular. Pasien dengan penyakit perifer
vaskular dapat secara potensial menurunkan aliran darah jika reseptor β2, yang
mendilatasi arteriol, diblok. (Ganiswarna, 1998)
β-bloker juga diklasifikasikan oleh jumlah dari aktifitas intrinsik simpatomimetik
(ISA) yang dimiliki. Banyak dari β-bloker mempunyai bebrapa peningkatan aktifitas
agonis; walaupun merekatidak akan memproduksi efek yang sama seperti agonis
yang sepenuhnya, seperti epinefrin. β-bloker dengan ISA tidak memiliki keuntungan
seperti β-bloker tanpa ISA dalam mengobat pasien yang mempunyai penyakit
kardiovaskular. (Ganiswarna, 1998)
β-bloker dapat diklasifikasikan lebihlanjut seperti yang dieliminasi pada
metabolisme hepatis (seperti atenolol dan metopronol), yang dikeskresikan diginjal
tidak mengalami perubahan (seperti atenolol), atau mereka yang dihidrolisa pada
pembuluh darah (seperti esmolol). (Ganiswarna, 1998)
Berdasarkan sifat-sifat ini, β-bloker dibagi menjadi 3 golongan: (Ganiswarna, 1998)
1. β-bloker yang mudah larut dalam lemak (propranolol, alprenolol, oksprenolol,
labetalol, dan metoprolol) semuanya diabsorpsi secara baik disaluran cerna, tetapi
bioavaibilitasnya rendah karena mengalami metabolisme lintas pertama yang
ekstensif dihati.
2. β-bloker yang mudah larut dalam air (astenolol, nadolol dan atenolol) tidak
mengalami metabolism, sehingga hampir seluruhnya siekskresikan utuh melalui
ginjal dan mempunyai waktu paruh yang panjang (> 6 jam).
3. β-bloker yang kelarutannya terletak diantara keduanya (timolol, bisoprolol,
asetabutol dan pindolol) diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna, tetapi mengalami
metabolisme lintas pertama yang berbeda derajatnya.2
ESMOLOL
Pertimbangan Klinis
adalah antagonis β1selektif dengan masa kerja pendek yang mengurangi laju nadi
dan, untuk mengurangi tekanan darah yang berlebih. Obat ini telah sukses digunakan
untuk mencegah takikardi dan hipotensi pada rangsangan peripoertif, seperti
intubasi, rangsangan pembedahan, dan EMERGENCE. Sebagai contohnya, esmolo
(1 mg/kg) menyebabkan peningkatan pada tekanan darah dan laju nadi yang
biasanya diikuti dengan terapi elektrokonvulsi, tanpa mempengaruhi lamanya
kejang. Esmolol sama efektifnya seperti propanolol dalam mengkontrol nadi
ventrikuler dari pasien dengan atrial fibrilasi atau flutter. Walaupun esmolol
dipertimbangkan menjadi kardioselektif, pada dosis tinggi dia menginhibisi reseptor
β2 pada bronkus dan otot polos vaskular. (Ganiswarna, 1998)
Masa kerja yang pendek dari esmolol adalah karena redistribusi yang cepat (waktu
paruh distribusi adalah 2 menit) dan hidrolisis oleh sel darah merah esterase (waktu
paruh eliminasi adalah 9 menit). Efek samping dapat dibalik dalam semenit dengan
menghentikan infus. Sama seperti semua antagonis β1, esmolol sebaiknya
menghindari pasien dengan sinus bradikardi, blok jantung lebih besar dari derajat 1,
syok kardiogenik, atau bahkan gagal jantung. Tabel 12-4. Farmakologi dari β-bloker
ISA,Intrinsic sympathomimetic activity;+,efek ringan;0,tidak ada efek. Dosis dan
Sediaan Esmolol diberikan sebagai bolus (0,2-0,5 mg/kg) untuk terapi jangka
pendek, seperti merangsang respon kardiovaskular untuk laringoskopi dan intubasi.
Pengobatan jangka panjang biasanya dimulai dengan dosis awal 0,5 mg/kg
dimasukkan lebih dari 1 menit, diikuti dengan infus berkelanjutan 50 µg/kg/menit
untuk mempertahankan efek terapeutik. Bila ini gagal untuk menghasilkan respon
yang diinginkan dalam 5 menit, dosis awalnya dapat diulang dan infusnya
ditingkatkan dengan perhitungan 50 µg/kg/menit setiap 5 menit sampai maksimum
dari 200 µg/kg/menit. (Ganiswarna, 1998)
Esmolol tersedia dalam vial dengan dosisi ganda untuk bolus. Pemberian
mengandung 10 ml obat (10 mg/mL). ampul untuk infus berkelanjutan (2,5 g dalam
10 mL) juga tersedia tetapi harus diencerkan untuk pemberian dengan konsentrasi
10 mg/mL. (Ganiswarna, 1998)

PROPANOLOL
Pertimbangan Klinis
Propanolol secara nonselektif memblok reseptor β1 dan β2. Tekanan pembuluh
darah arteri diturunkan dengan beberapa mekanisme, termasuk menurunkan
kontraktilitas otot jantung, menurunkan laju nadi, dan menghilangkan pelepasan
rennin, curah jantung dan kebutuhan oksigen oto jantung juga dikurangi. Iskemik
berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan laju nadi. IMPEDANCE dari
ejeksi ventrikuler adalah menguntungkan pada pasien dengan obstruksi
kardiomiopati dan aneurisma aorta. Propanolol memperlambat konduksi
atrioventrikuler dan menstabilisasi membran miokard, walaupun efek yang terjadi
tidak begitu signifikan pada dosis klinis. Propanolol biasanya efektif terutama dlaam
memperlambat respon ventrikuler kepada supraventrikuler takikardi, dan biasanya
mengontrol takikardi ventrikuler yang berulanhg atau fibrilasi yang disebabkan oleh
iskemik miokard. Propanolol memblok efek adrenergik β dari tirotoksikosis dan
pheokromasitoma. (Ganiswarna, 1998)
Efek samping dari propanolol termasuk bronkospasme (antangonisme β2), gagal
jantung kongestif, bardikardi, dan blok jantung atrioventrikuler (antagonisme β1).
Propanolol mungkin memburuk depresi miokard dari anestesi inhalasi (cth: halotan)
atau tidak menutupi karakteristik negatif inotropik dari rangsangan jantung tidak
langsung (cth: isoflurane). Pemberian terus-menerus dari propanolol dan verapamil
(sebuah bloker kalsium chanel) dapat secara sinergi menekan laju nadi,
kontraktilitas, dan induksi nodus atrioventrikuler. (Ganiswarna, 1998)
Memberhentikan terapi β-bloker untuk 24-48 jam dapat memacu gejala putus obat
yang ditandai dengan hipertensi (hipertensi yang berulang), takikardi, dan angina
pektoris. Efek ini timbul sebagai sebab dari peningkatan jumlah reseptor adrenergik
β (up-regulasi). Propanolol mengikat protein secara ekstensif dan dibuang dari
metabolisme hati. Waktu paruh eliminasinya dari 100 menit cukup lama
dibandingkan esmolol. Dosis dan Sediaan Dosis individu membutuhkan propanolol
yan bergantung kepada tonus dasar simpatetik. Secara umum, propanolol dititrasi
sesuai efek yang diinginkan, dimulai dengan 0,5 mg dan meningkat dengan
penambahan 0,5 mg setiap 3-5 menit. Dosis total jarang melebihi 0,15 mg/kg.
Propanolol tersedia dalam ampul 1 mL berisi 1 mg. (Ganiswarna, 1998)
6. PELUMPUH OTOT DAN PELEMAS OTOT

Berdasarkan tempat hambatannya, pelemas otot dibagi menjadi 3 golongan,


yaitu :

 Penghambat transmisi neuromuscular


 Pelemas otot yang bekerja sentral
 Pelemas otot lainnya

A. Penghambat transmisi neuromuscular

Obat dalam golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga


menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat
ini dibagi menjadi 2 golongan :

 Obat penghambat kompetitif yang menstabilkan membrane

Contoh : d-tubokurarin

 Obat penghambat secara depolarisasi persisten

Contoh : suksinilkolin

 Farmakodinamik

ACh yang dilepaskan dari ujung saraf motorik akan berinteraksi dengan NM
(reseptor nikotinik otot) di endplate (lempeng akhir saraf) pada membrane sel otot
rangka dan menyebabkan depolarisasi local (endplate potential, EPP) yang bila
melewati Et (ambang rangsang) akan menghasilkan potensial aksi otot (MAP
(muscle action potential). Selanjutnya MAP akan menimbulkan kontraksi otot. d-
tubokurarin (d-Tc) dan penghambat kompetitif lainnya mempunyai cara kerja yang
sama yaitu menduduki reseptor nikotinik otot (NM), sehingga menghalangi
interaksinya dengan ACh. Akibatnya EPP menurun, EPP yang menurun sampai
kurang dari 70% tidak mencapai Et sehingga tidak menghasilkan MAP dan kontraksi
otot tidak terjadi. Tetapi stimulasi listrik langsung pada ototnya dapat menimbulkan
kontraksi. Impuls dalam akson tidak terganggu (FKUI, 2008).
Kurare adalah nama generik dari bermacam-macam racun panah yang digunakan
oleh orang Indian di Amerika Selatan untuk berburu. Kurare berasal dari beberapa
tumbuhan, yaitu Strychnos dan Chondrodendron, terutama C.Tomentosum. Bahan
aktifnya terdiri dari beberapa alkaloid, diantaranya d-tubokurarin. Kurare
menyebabkan kelumpuhan dengan urutan tertentu. Pertama, otot rangka yang kecil
dan bergerak cepat seperti otot ekstrinsik mata, jari kaki dan tangan. Kemudian
disusul oleh otot yang lebih besar seperti otot-otot tangan, tungkai, leher, dan badan.
Selanjutnya otot intercostal dan yang terakhir lumpuh adalah diafragma.
Penyembuhan terjadi dengan urutan terbalik. Kematian dapat dihindarkan dengan
memberikan napas buatan sampai otot-otot pernapasan berfungsi kembali (masa
kerja d-Tc kira-kira 30 menit) (Taylor, 2006).

Seluruh pelumpuh otot merupakan senyawa ammonium kuaterner, maka tidak


menimbulkan efek sentral karena tidak dapat menembus sawar darah-otak. d-Tc
tidak menimbulkan efek langsung terhadap jantung maupun pembuluh darah.
Hipotensi timbul karena vasodilatasi perifer akibat pengelepasan histamine dan
penghambatan ganglion, dan ini terjadi pada pemberian IV yang cepat dengan dosis
yang besar (FKUI, 2008).

 Farmakokinetik

Semua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi dengan
kurang baik di usus dan diabsorbsi dengan baik melalui injeksi IM. Volume
distribusi dan klirens dapat dipengaruhi oleh penyakit hati, ginjal dan gangguan
kardiovaskular. Pada penurunan cardiac output, distribusi obat akan melemah dan
menurun, dengan perpanjangan paruh waktu, onset yang melambat dan efek yang
menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi menurun dan konsentrasi puncak
meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat. Pada pasien dengan edema, volume
distribusi meningkat, konsentrasi di plasma menurun dengan efek klinis yang juga
melemah. Banyak obat pelumpuh otot sangat tergantung dengan ekskresi ginjal
untuk eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium dan cisatracurium yang
tidak tergantung dengan fungsi ginjal. Umur juga mempengaruhi farmakokinetik
obat pelumpuh otot. Neonatus dan infant memiliki plasma klirens yang menurun
sehingga eliminasi dan paralisis akan memanjang. Sedangkan pada orang tua,
dimana cairan tubuh sudah berkurang, terjadi perubahan volume distribusi dan
plasma klirens. Biasanya ditemui sensitivitas yang meningkat dan efek yang
memanjang. Fungsi ginjal yang menurun dan aliran darah renal yang menurun
menyebabkan klirens yang menurun dengan efek pelumpuh otot yang memanjang
(FKUI, 2008).

 Indikasi

Kegunaan klinis utama pelumpuh otot adalah sebagai adjuvant dalam anesthesia
untuk mendapatkan relaksasi otot rangka terutama pada dinding abdomen sehingga
manipulasi bedah mudah dilakukan. Hal tersebut menguntungkan karena risiko
depresi napas dan kardiovaskular akibat anestesia dikurangi. Selain itu masa
pemulihan pasca-anastesia dipersingkat (Taylor, 2006).

B. Pelemas otot yang bekerja sentral

Obat golongan ini bekerja selektif di SSP dan terutama digunakan untuk mengurangi
rasa nyeri akibat spasme otot atau spastisitas yang terjadi pada gangguan
musculoskeletal dan neuromuscular. Mekanisme kerjanya mungkin akibat aktivitas
depresi SSP (FKUI, 2008).

Obat yang tersedia sekarang hanya dapat mengurangi nyeri akibat spame otot, tetapi
kurang efektif untuk memperbaiki fungsi otot yang terganggu. Dalam kelompok ini
dikenal baclofen, tizanidine, siklobenzaprin, mefenesin, klorzoksazon,
metokarbamol, karisoprodol, diazepam, dll.

C. Pelemas otot lainnya

Contohnya adalah dantrolen. Dantrolen merupakan penghambat excitation


contraction coupling. Mekanisme kerjanya, dantrolen menyebabkan relaksasi otot
rangka dengan cara menghambat penglepasan ion Ca dari reticulum sarkoplasmik.
Kekuatan kontraksi otot menurun paling banyak 75-80%.. dalam dosis terapi, obat
ini tidak mempengaruhi saraf, otot jantung, maupun otot polos, dan juga tidak
mempengaruhi kerja GABA-ergik (Taylor, 2006).
7. OBAT GANGLION

Obat-obat yang menstimulus kolinoseptor di ganglion otonom dapat dibagi menjadi


2 golongan. Golongan pertama terdiri dari obat-obat dengan spesifitas nikotinik,
termasuk nikotin sendiri. Efek perangsangnya terjadi cepat, diblok oleh
heksametonium, dan mirip EPSP awal (initial excitatory postsynaptic potential).
Golongan kedua terdiri dari muskarin dan metakolin. Efek perangsangnya timbul
lambat, diblok oleh atropine, dan mirip EPSP lambat (Katzung, 2004).

Obat-obat penghambat ganglion yang bekerja pada reseptor nikotinik juga ada 2
golongan yaitu yang merangsang lalu menghambat dan yang langsung menghambat.
Nikotin dan TMA (Tetrametilamonium) merupakan prototip golongan pertama,
sedangkan heksametonium dan trimetafan adalah prototip golongan kedua (Katzung,
2004).

A. Obat yang merangsang kemudian menghambat ganglion (Nikotin)

Obat-obat ganglion ini bekerja seperti ACh pada reseptor nikotinik ganglia (NN) dan
menimbulkan EPSP awal yang mencapai ambang rangsang sehingga terjadi
perangsangan ganglion. EPSP (depolarisasi) yang persisten kemudian menimbulkan
hambatan ganglion (desensitisasi kolinoseptor) (FKUI, 2008).

 Farmakodinamik

Perubahan dalam tubuh setelah pemberian nikotin sangat rumit dan sering tidak
dapat diramalkan. Hal ini dikarnakan kerja nikotin yang sangat luas terhadap
ganglion simpatis maupun parasimpatis. Perangsangan ganglion terjadi dengan dosis
kecil, timbul EPSP awal yang mencapai ambang rangsang dan menimbulkan
potensial aksi, kemudian dengan dosis yang lebih besar terjadi EPSP (depolarisasi)
yang persisten, yang menimbulkan desensitisasi reseptor sehingga terjadi
penghambatan ganglion (FKUI, 2008).

Nikotin adalah suatu perangsang SSP yang kuat yang akan menimbulkan tremor
serta konvulsi pada dosis besar. Perangsangan respirasi sangat jelas dengan nikotin,
dosis besar langsung pada medulla oblongata , diikuti dengan depresi, kematian
akibat paralisis pusat pernapasan dan paralisis otot-otot pernapasan (perifer) (FKUI,
2008).

 Farmakokinetik

Nikotin mengalami metabolism terutama di hati, tetapi bisa juga di paru dan ginjal.
Nikotin yang diinhalasi dimetabolisme dalam jumlah yang berarti di paru-paru.
Metabolit utamanya adalah kotinin. Masa paruh setelah inhalasi atau pemberian
parenteral kira-kira 2 jam. Kecepatan ekskresi melalui urin tergantung dari pH urin
(berkurang pada pH alkali dan meningkat pada pH asam). Nikotin diekskresi melalui
air susu. Kadarnya dalam air susu pada perokok berat bisa mencapai 0,5 mg/L

B. Obat yang langsung menghambat ganglion

Berbeda dengan penghambatan oleh nikotin dan TMA, efek penghambatan obat-
obat golongan ini tidak didahului oleh perangsangan. Hambatan ini terjadi secara
kompetitif dengan menduduki reseptor asetilkolin. Penglepasan asetilkolin dari
ujung serat prasinaps tidak diganggu. Dalam golongan ini termasuk heksametonium
(C6), pentolinium (C5), klorisondamin, dll (FKUI, 2008).

 Farmakodinamik

Kerja C6 dan obat-obat lain dalam golongan ini pada alat tubuh hampir semuanya
dapat dijelaskan dengan penghambatan pada ganglion simpatis dan parasimpatis /
hasil penghambatannya bergantung pada tonus otonom semula. Tonus yang
dominan akan dihambat lebih jelas. Perubahan denyut jantung setelah pemberian
penghambat ganglion tergantung tonus semula. Umumnya, terjadi takikardi ringan
karena jantung didominasi tonus parasimpatis. Tetapi brakikardia dapat terjadi bila
sebelumnya denyut jantung tinggi (FKUI, 2008).

Sekresi lambung jelas berkurang sesudah pengobatan dengan C6. Begitu juga sekresi
pancreas dan air liur. Tonus dan peristalsis lambung, usus kecil serta kolon dihambat
sehingga keinginan untuk defekasi tidak ada. Konstipasi merupakan efek samping
yang sangat mengganggu pada pengobatan dengan obat golongan ini. Hambatan
ganglion parasimpatis juga mengurangi tonus kandung kemih dan menambah
kapasitasnya sehingga terjadi retensi urin dan kesukaran berkemih (FKUI, 2008).
2.2.2. OBAT SUSUNAN SARAF PUSAT

8. ANESTETIK UMUM

 PENDAHULUAN

Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah
suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi
akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang.
Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang
mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat
dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena.
Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah
menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran,
metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena,
yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis,
dan beberapa obat khusus seperti ketamin (Munaf, 2008).

Anestesi injeksi yang baik memiliki sifat-sifat tidak mengiritasi jaringan, tidak
menimbulkan rasa nyeri pada saat diinjeksi, asorbsinya cepat, waktu induksi, durasi
dan masa pulih dari anestesia berjalan mulus, tidak ada tremor otot, memiliki indeks
terapuetik yang tinggi, tidak bersifat toksik, minimalisasi efek samping pada organ
tubuh seperti saluran pernafasan dan kardiovaskuler, cepat dimetabolisme, tidak
bersifat akumulatif, dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti relaksan otot,
analgesik, dan sudah diketahui antidotnya. Untuk mendapatkan efek anestesia yang
diinginkan dengan efek samping seminimal mungkin, anestesi dapat digabungkan
atau dikombinasikan antara beberapa anestesi atau dengan zat lain sebagai
preanestesi dalam sebuah teknik yang disebut balanced anesthesia (McKelvey dan
Hollingshead, 2003).

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai hilangnya


kesadaran yang bersifat reversibel. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias
anestesia, yaitu (Muhiman, 2002) :
 Hipnotik (tidur)
 Analgesia (bebas dari nyeri)
 Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)

Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini
menggunakan obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan
menggabungkan berbagai macam obat (Muhiman, 2002).

 TAHAP-TAHAP ANESTESI

Stadium anestesi dibagi 4 yaitu;

 Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter),

Dimulai dengan induksi anestesi dan berakhir dengan hilangnya kesadaran


(hilangnya reflex kelopak mata). Ambang persepsi sakit selama tahap ini tidak
diturunkan. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi
pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.

 Stadium II (stadium eksitasi involunter),

Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada


stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan
teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, midriasis, otot rangka mulai melemas,
inkontinensia urin, muntah, hipertensi, dan takikardia.

 Stadium III (pembedahan/operasi),

Ditandai dengan pernapasan perut lebih nyata dari pada pernapasan dada karena otot
intercostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil lebih lebar tapi
belum maksimal. Terbagi dalam 3 bagian yaitu;

 Plane I, yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota
gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata
bergerak-gerak, palpebra, konjungtiva dan kornea terdepresi.

 Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro
medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut.
 Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke
tengah dan otot perut relaksasi.

 Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),

Ditandai pernapasan perut sempurna karena otot intercostal lumpuh total, tekanan
darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang (Munaf, 2008).

TAHAP NAMA KETERANGAN

Dimulai dengan
keadaan sadar dan diakhiri
dengan hilangnya
1 kesadaran. Sulit untuk
Analgesia bicara; indra penciuman
dan rasa nyeri hilang.
Mimpi serta halusinasi
pendengaran dan
penglihatan mungkin
terjadi. Tahap ini dikenal
juga sebagai tahap induksi

Terjadi kehilangan
kesadaran akibat
2 Eksitasi
penekananan korteks
atau
serebri. Kekacauan mental,
delirium
eksitasi, atau delirium dapat
terjadi. Waktu induksi
singkat.

3 Surgical Prosedur pembedahan


biasanya dilakukan pada
tahap ini

Tahap toksik dari


anestesi. Pernapasan hilang
4 Paralisis
dan terjadi kolaps sirkular.
medular
Perlu diberikan bantuan
ventilasi.

Tabel : Tahap Anestesi

Sumber: E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.

 OBAT-OBATAN DALAM ANESTESI UMUM

Menurut Omoigui (2012), beberapa obat yang paling umum digunakan untuk
memberikan anestesi umum adalah :

a. Propofol, menghasilkan ketidaksadaran (induksi anestesi umum). Dalam dosis


kecil, dapat digunakan untuk memberika nsedasi.

b. Benzodiazepin, mengurangi kecemasan tepat sebelum operasi. Beberapa obat-


obatan yang mengurangi kecemasan juga dapat membantu menahan terjadinya
ingatan dari sebuah kejadian.

c. Narkotika, mencegah atau mengobati rasa sakit.

d. Agen anestesi volatil (mudah menguap), terhirup dalam campuran gas yang
mengandung oksigen. Kadang-kadang, untuk menghindari memulai jalur intravena
(IV) pada bayi dan anak-anak, agen volatile diberikan melalui masker untuk induksi
anestesi umum.

e. Obat lain termasuk agen antiemetic (untuk melindungi terhadap mual dan
muntah), relaksan otot, obat-obatan untuk mengontrol tekanan darah atau heart rate,
dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID).

9. HIPNOTIK SEDATIF DAN ALKOHOL

A. HIPNOTIK SEDATIF

 PENDAHULUAN
Sedatif dan hipnotik adalah senyawa yang dapat menekan sistem saraf pusat
sehingga menimbulkan efek sedasi lemah sampai tidur pulas. Sedatif adalah
senyawa yang menimbulkan sedasi, yaitu suatu keadaan terjadinya penurunan
kepekaan terhadap rangsangan dari luar karena ada penekanan sistem saraf pusat
yang ringan. Dalam dosis besar, sedatif berfungsi sebagai hipnotik, yaitu dapat
menyebabkan tidur pulas. Sedatif digunakan untuk menekan kecemasan yang
diakibatkan oleh ketegangan emosi dan tekanan kronik yang disebabkan oleh
penyakit atau faktor sosiologis, untuk menunjang pengobatan hipertensi, untuk
mengontrol kejang dan untuk menunjang efek anestesi sistemik. Sedatif
mengadakan potensial dengan obat analgesik dan obat penekan sistem saraf pusat
yang lain (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Sedatif-hipnotik berkhasiat menekan SSPbila digunakan dalam dosis yang


meningkat, suatu sedatif, misalnya fenobarbital akan menimbulkan efek berturut-
turut peredaan, tidur, dan pembiusan total (anestesi). Sedangkan pada dosis yang
lebih besar lagi dapat menyebabkan koma depresi pernapasan dan kematian. Bila
diberikan berulang kali dalam jangka waktu yang lama, senyawa ini lazimnya akan
menimbulkan ketagihan dan ketergantungan. Hipnotika atau obat tidur adalah zat-
zat yang dalam dosis terapeutik diperuntukkan untuk mempermudah atau
menyebabkan tidur. Hipnotika menimbulkan rasa kantuk, mempercepat tidur, dan
sepanjang malam mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur alamiah.
Secara ideal obat tidur tidak memiliki aktivitas sisa pada keesokan harinya (Tjay,
2002).

Hipnotik digunakan untuk pengobatan gangguan tidur, seperti insomnia. Efek


samping yang umum golongan sedatif-hipnotik adalah mengantuk dan perasan tidak
enak waktu bangun. Kelebihan dosis dapat menimbulkan koma dan kematian karena
terjadi depresi pusat medula yang vital di otak. Pengobatan jangka panjang
menyebabkan toleransi dan ketergantungan fisik (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

 KLASIFIKASI HIPNOTIK DAN SEDATIF

Obat-obatan sedatif hipnotik diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu :

 Benzodiazepin
 Barbiturat

 Golongan obat nonbarbiturat – nonbenzodiazepin

 Benzodiazepine

Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi sekaligus,


yaitu anxiolisis, sedasi, antikonvulsi, relaksasi otot melalui medulla spinalis, dan
amnesia retrograde. Obat ini kini pada umumnya dianggap sebagai obat tidur
pilihan pertama karena toksisitas dan efek sampingnya yang relative paling ringan.
Obat ini juga menimbulkan lebih sedikit interaksi dengan obat lain, lebih ringan
menekan pernapasan dan kecendrungan penyalahgunaan yang lebih sedikit, dan
tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Golongan benzodiazepine diantaranya,
temazepam, nitrazepam, flurazepam, flunitrazepam, diazepam, dan midazolam
(Tjay,2002).

Kerja benzodiazepan terutama interaksinya dengan reseptor penghambat


neurotransmiter yang diaktifkan oleh GABA (Gamma Aminobutyric Acid). Efek
farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi GABA sebagai neuro transmiter
penghambat di otak dan blockade dari pelepasanmuatan listrik. GABA adalah salah
satu neurotransmitter-inhibisi otak yang juga berperan pada timbulnyaserangan
epilepsi. Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA, melainkan
meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter penghambat
sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi sinaptik membrane sel dan
mendorongpost sinaptik membrane sel tidak dapat dieksitasi (Tjay, 2002).

 Barbiturat

Selama beberapa waktu barbiturat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik-
sedatif. Namun sekarang selain untuk penggunaan yang spesifik, golongan obat ini
telah digantikan oleh benzodiazepine yang lebih aman. Berdasarkan masa kerjanya,
turunan barbiturat dibagi menjadi 4, yaitu:

 Turunan barbiturat dengan masa kerja panjang (6 jam atau lebih)

Contohnya : barbiturat, metarbital, fenobarbital

 Turunan barbiturat dengan masa kerja sedang (3 - 6 jam)


Contohnya : alobarbital, amobarbital, aprobarbital, dan butabarbital yang berguna
untuk mempertahankan tidur dalam jangka waktu yang panjang

 Turunan barbiturat dengan masa kerja pendek (0,5 – 3 jam)

Contohnya : sekobarbital, dan penobarbital, yang digunakan untuk menimbulkan


tidur untuk orang yang sulit jatuh tidur

 Turunan barbiturat dengan masa kerja sangat pendek (< 0,5 jam)

Contohnya : thiopental yang digunakan untuk anestesi umum

Barbiturat harus dibatasi penggunaannya hanya untuk jangka waktu pendek (2


minggu / kurang) karena mempunyai efek samping. Barbiturat bekerja pada seluruh
SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis nonanestesi terutama
menekap respon pasca sinaps. Penghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA-
nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui
GABA sebagai mediator. Barbiturate memperlihatkan efek yang berbeda pada
eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik, kapasitas barbiturat membantu kerja GABA
sebagian menyerupai kerja benzodiazepin, namun pada dosis yang lebih tinggi
bersifat sebagai agonis GABA-nergik, sefingga pada dosis tinggi barbiturat dapat
menimbulkan depresi SSP yang berat (Tjay, 2002).

 Golongan obat nonbarbiturat – nonbenzodiazepin

Obat pada golongan ini mempunyai efek yang hampir sama dengan barbiturat, yaitu
merupakan depresan SSP, dapat menghasilkan efek hipnotik yang nyata dengan atau
tanpa efek analgetik. Pengaruh obat golongan ini terhadap tingkatan tidur
menyerupai barbiturate, indeks terapinya terbatas, dan pada keracunan akut dapat
menyebabkan depresi napas dan hipotensi, tetapi dapat diatasi seperti halnya
keracunan yang disebabkan barbiturat. Penggunaan kronik obat golongan ini dapat
menyebabkan toleransi dan ketergantungan fisik. Yang termasuk obat golongan ini
adalah, paraldehid, kloral hidrat, etklorvinol, glutetimid, metiprilon, etinamat
(Siswandono dan Soekardjo, 2000).

B. ALKOHOL
 PENDAHULUAN

Alkohol yang dimaksud disini adalah etanol atau etil alkohol. Alkohol adalah salah
satu dari sekelompok senyawa organik yang dibentuk dari hidrokarbon-hidrokarbon
oleh pertukaran satu atau lebih gugus hidroksil dengan atom-atom hidrogen dalam
jumlah yang sama.

Alkohol berefek pada berbagai system organ system tubuh, seperti saluran cerna,
kardiovaskuler, dan SSP. Perkembangan embrio dan fetus juga dipengaruhi oleh
konsumsi alkohol. Minuman beralkohol tidak hanya menyebabkan mabuk, akan
tetapi pada tingkat tertentu dapat menyebabkan kematian. Pada tingkat kandungan
0,05-0,15% etanol dalam darah peminum akan mengalami kehilangan koordinasi,
pada tingkat 0,15-0,20% etanol menyebabkan keracunan, pada tingkat 0,30-0,40%
peminum hilang kesadaran dan pada tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu 0,50 % dapat
menyebabkan kematian (Chandrasoma dan Taylor, 2005).

 FARMAKOKINETIK

Setelah pemberian oral, etanol diabsorbsi dengan cepat dari lambung dan usus halus
ke dalam aliran darah dan terdistribusi ke dalam cairan tubuh total. Tingkat absorbsi
paling tinggi pada saat lambung kosong. Adanya lemak di dalam lambung
menurunkan tingkat absorbsi alcohol. Setelah minum alkohol dalam keadaan puasa,
kadar puncak alkohol di dalam darah dicapai dalam waktu 30 menit. Distribusinya
berjalan cepat, dengan kadar obat dalam jaringan mendekati kadar di dalam darah.
Volume distribusi dari etanol mendekati volume cairan tubuh total (0,5-0,7 L/Kg.
Alkohol didistribusikan di dalam tubuh (terutama dalam jaringan adiposa),
menyebabkan efek dilusi. Hal ini berkaitan dengan berat badan dan menerangkan
mengapa orang dengan obesitas memiliki kadar alkohol yang lebih rendah dari pada
orang yang kurus untuk jumlah alkohol yang sama (Chandrasoma dan Taylor, 2005).

Ekskresi alkohol di urin dan udara yang dihembuskan biasanya sedikit, tetapi
jumlahnya yang konstan berhubungan dengan konsentrasi alkohol dalam darah
(Blood Alcohol Concentration/BAC). Hal ini merupakan prinsip yang mendasari
penggunaan pemeriksaan urin dan pernafasan pada forensik selain pemeriksaan
dengan menggunakan darah. Pada umumnya orang dewasa dapat memetabolisme
alkohol per-jam sebanyak 7-10 g (150-220 mmol), ini ekuivalen dengan bir sekitar
10 oz, anggur 3,5 oz, atau minuman keras 1 oz yang disuling dengan kadar murni 80
(Chandrasoma dan Taylor, 2005).

 FARMAKODINAMIK

Konsumsi etanol akut mempengaruhi SSP, jantung dan otot polos. Alkohol dalam
dosis besar menciptakan efek metabolik bertingkat, menyebabkan kerusakan pada
hati dan sistem pencernaan. Minum alkohol akan meningkatkan sekresi lambung dan
pankreas dan merubah sawar mukosa, dengan demikian akan meningkatkan risiko
terjadinya gastritis dan pankreatitis. Perdarahan gastrointestinal akut sering
disebabkan oleh gastritis karena alkohol. Efek akut pada lambung terutama berkaitan
dengan efek toksik etanol pada mukosa membran dan kaitannya dengan peningkatan
produksi asam lambung secara relatif kecil (Katzung, 2004).

10. PSIKOTROPIK
Psikotropik atau Psikofarmaka adalah obat – obat yang berkhasiat terhadap
susunan saraf sentral dengan mempengaruhi fungsi psikis dan proses – proses
mental. (Kimin, 2004)
Psikofarmaka dibagi dalam 3 kelompok :
1. Obat yang menekan fungsi psikis terhadap susunan saraf pusat, dibagi 2 :
a. Neuroleptika, yaitu obat yang bekerja sebagai anti psikotis dan sedativa
yang dikenal dengan Mayor Tranquilizer.
Contoh Mayor Tranquilizer adalah Flufenazin Hidroklorida (Anatensol),
Haloperidol (Haldol, Serenace), dan Klorpromazin Hidroklorida(Largactil,
Promactil).
b. Ataraktika / anksiolitika, yaitu obat yangn bekerja sedativa, relaksasi otot
dan anti konvulsi yang digunakan pada gangguan akibat gelisah / cemas,
takut, stress dan gangguan tidur, dikenal dengan Minor Tranquilizer.
Contoh Minor Tranquilizer adalah Klordiazepoksida Hidroklorida /
Klopoksida / Meta amino diazepoksida (Cetabrium, Tensinyl), Lorazepam
(Ativan, Renaquil), Diazepam (Valium, Stesolid, Trankinon, Mentalium),
Clobazam (Frisium), dan Bromazepam (Lexotan).
2. Obat yang menstimulsi fungsi psikis terhadap susunan saraf pusat, dibagi 2 :
a. Anti Depresiva, dibagi menjadi thimoleptika yaitu obat yang dapat
melawan melankolia dan memperbaiki suasana jiwa serta thimeretika yaitu
menghilangkan inaktivitas fisik dan mental tanpa memperbaiki suasana
jiwa. Secara umum anti depresiva adalah obat yang dapat memperbaiki
suasana jiwa dan dapat menghilangkan gejala – gejala murung dan putus
asa. Obat ini terutama digunakan pada keadaan depresi, panik dan fobia.
Contoh Anti Depresiva adalah Meprotilin (Ludiomil), Amitriptilin
Hidroklorida (Trilin), Imipramina Hidroklorida (Tofranil), Mianserin
Hidroklorida (Tolvon), dan Fluoxetina Hidroklorida (Kalxetin, Prozac).
b. Psikostimulansia, yaitu obat yang dapat mempertinggi inisiatif,
kewaspadaan dan prestasi fisik dan mental dimana rasa letih dan kantuk
ditangguhkan, memberikan rasa nyaman (euforia) dan kadang perasaan
tidak nyaman tapi bukan depresi (disforia).
3. Obat yang mengacaukan fungsi mental tertentu seperti zat – zat halusinasi, pikiran
dan impian / khayal. (Kimin, 2004)

11. ANTIEPILEPSI DAN ANTIKONVULSI


a) Definisi
Antikonvulsan adalah sebuah obat yang mencegah atau mengurangi kejang-
kejang atau konvulsan atau Obat yang dapat menghentikan penyakit ayan, yaitu
suatu penyakit gangguan syaraf yang ditimbul secara tiba-tiba dan berkala,
adakalanya disertai perubahan-perubahan kesadaran. Digunakan terutama untuk
mencegah dan mengobati epilepsi. Golongan obat ini lebih tepat dinamakan Anti
Epilepsi, sebab obat ini jarang digunabkan untuk gejala konvulsi penyakit lain.
Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit
susunan saraf pusat yang timbul spontan dengan episode singkat (disebut Bangkitan
atau Seizure), dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang.
Bangkitan ini biasanya disertai kejang (Konvulsi), hiperaktifitas otonomik,
gangguan sensorik atau psikis dan selalu disertai gambaran letupan EEG obsormal
dan eksesif. Berdasarkan gambaran EEG, apilepsi dapat dinamakan disritmia
serebral yang bersifat paroksimal. Jenis – Jenis Epilepsi yaitu:
 Grand mal (tonik-tonik umum ) Timbul serangan-serangan yang dimulai
dengan kejang-kejang otot hebat dengan pergerakan kaki tangan tak sadar
yang disertai jeritan, mulut berbusa,mata membeliak dan disusul dengan
pingsan dan sadar kembali.
 Petit mal Serangannya hanya singkat sekali tanpa disertai kejang.
 Psikomotor (serangan parsial kompleks) Kesadaran terganggu hanya
sebagian tanoa hilangnya ingatan dengan memperlihatkan perilaku otomatis
seperti gerakan menelan atau berjalan dalam lingkaran.
b) Sifat obat konvulsan
 Hablur kecil atau serbuk hablur putih berkilat tidak berbau, tidak berasa, dapat
terjadi polimorfisma.
 Stabil diudara; ph larutan jenuh lbh kurang 5. sangat sukar larut dalam air, larut
dalam etanol, eter, dan dalam larutan alkali hidroksida, alkali karbonat. agak
sukar larut dalam kloroform(FI 4).
c) Mekanisme Kerja Antiepilepsi (Anti Konvulsi)
Terdapat dua mekanisme antikonvulsi yang penting, yaitu :
1. Dengan mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron
epileptik dalam fokus epilepsi.
2. Dengan mencegah terjasinya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat
pengaruh dari fokus epilepsi.
Bagian terbesar antiepilepsi yang dikenal termasuk dalam golongan kedua
diatas.
d) Penggunaan Antiepilepsi (Anti Konvulsi)
Antiepilepsi umunya memiliki lebar terapi yang sempit, seperti Fenitoin, harus
dengan teratur dan kontinu, agar kadar obat dalam darah terpelihara sekonstan
mungkin. Umumnya pengobatan dilakukan dengan dosis rendah dulu kemudian
dinaikan secara berangsur sampai efek maksimal tercapai dan kadar plasma
menjadi tetap. Jangka waktu terapi umumnya bertahun-tahun bahkan bisa
seumur hidup. Bila dalam 2-3 tahun tidak terjadi serangan maka dosis dapat
diturunkan berangsur sehingga pengobatan dapat dihentikan sama sekali.
e) Penggolongan Antiepilepsi
Kebanyakan obat epilepsi bersifat antikonvulsif, yaitu dapat meredakan
konvulsi, dan sedatif (meredakan). Obat-obat ini dapat dibagi dalam beberapa
kelompok sebagai berikut :
1. Barbital-barbital, misalnya Fenobarbital, Mefobarbital, dan Heptobarbital.
Obat tidur ini bersifat mnenginduksi enzim, hingga biotransformasi
enzimatisnya dipercepat, juga penguraian zat-zat lain, antara lain penguraian
vitamin D sehingga menyebabkan rachitis, khususnya pada anak kecil.
2. Hidantoin-hidantoin, misalnya Fenitoin,strukturnya mirip fenobarbital tetapi
dengan cincin “lima hidantoin”.
3. Suksinimida-suksinimida, misalnya Metilfenilsuksinimida dan
Etosuksinimida.Obat ini terutama digunakan pada serangan psikomotor.
4. Oksazolidin-oksazolidin, misalnya Etadion dan Trimetadion, tetapi jarang
digunakan mengingat efek sampingnya berbahaya terhadap hati dan limpa.
5. Serba-serbi, misalnya Diazapam dan turunannya, Karbamazepin,
Asetazolamid, dan Asam Valproat.
f) Contoh sediaan obat
1. Fenitoin (Ditalin, Dilantin)
Zat hipnotik ini terutama efektif pada grand mal dan serangan psikomotor, tidak
untuk serangan-serangan kecil karena dapat memprofokasi serangan.
DS : oral 1-2x sehari @ 100-300 mg.
Indikasi : semua jenis epilepsi,kecuali petit mal, status
epileptikus
Kontra indikasi : gangguan hati, wanita hamil dan menyusui
Efek samping : gangguan saluran cerna, pusing nyeri kepala tremor, insomnia.
2. Penobarbital
Zat hipnotik ini terutama digunakan pada serangan epilepsi Grand mal / besar,
biasanya dalam kombinasi dengan kafein atau efedrin guna melawan efek
hipnotisnya.
DS : oral 3 x sehari@ 25 – 75 mg maksimal 400 mg (dalam
2 dosis).
Indikasi : semua jenis epilepsi kecuali petit mal, status epileptikus
Kontra indikasi : depresi pernafasan berat, porifiria
Efek samping : mengantuk, depresi mental
3. Karbamazepin
Indikasi : epilepsi semua jenis kecuali petit mal neuralgia
trigeminus
Kontra indikasi : gangguan hati dan ginjal, riwayat depresi sumsum
tulang
Efek samping : mual, muntah, pusing, mengantuk, ataksia, bingung
4. Klobazam
Indikasi : terapi tambahan pada epilepsy penggunaan jangka
pendek ansietas.
Kontra indikasi : depresi pernafasan
Efek samping : mengantuk, pandangan kabur, bingung, amnesia,
ketergantungan kadang-kadang nyeri kepala, vertigo, hipotensi.
5. Diazepam (valium)
Selain bersifat sebagai anksiolitika, relaksan otot, hipnotik, juga berkhasiat
antikonvulsi. Maka digunakan sebagai obat status epileptikus dalam bentuk
injeksi.
DS : oral 2 – 3 x sehari @ 2 – 5 mg
Indikasi : status epileptikus, konvulsi akibat keracunan
Kontra indikasi : depresi pernafasan
Efek samping : mengantuk, pandangan kabur, bingung, antaksia, amnesia,
ketergantungan, kadang nyeri kepala.
6. Primidon (Mysolin)
Strukturnya mirip dengan fenobarbital dan di dalam hati akan dibiotrasformasi
menjado fenobarbital, tetapi kurang sedatif dan sangat efektif terhadap serangan
grand mal dan psikomotor.
DS : Dimulai 4 x sehari @ 500 mg, hari ke 4 250 mg dan hari ke 11 25 mg
7. Karbamazepin (Tegretol)
Senyawa trisiklik ini mirip imipramin, Digunakan pada epilepsi grand mal dan
psikomotor dengan efektifitasnya sama dengan fenitoin tetapi efek sampingnya
lebih ringan.
DS : Diminum dengan dosis rendah dan dinaikan berangsur-angsur sampai
2-3 x sehari @ 200-400 mg

12. OBAT PENYAKIT PARKINSON


a) Definisi
Obat anti Parkinson adalah obat-obatan yang dapat mengurangi efek penyakit
Parkinson. (Rizky, 2013)
Penyakit parkinson/penyakit gemetaran yang ditandai dengan gejala tremor,
kaku otot atau kekakuan anggota gerak, gangguan gaya berjalan (setapak demi
setapak) bahkan dapat terjadi gangguan persepsi dan daya ingat merupakan
penyakit yang tejadi akibat proses degenerasi yang progresif dari sel-sel otak
(substansia nigra) sehingga menyebabkan terjadinya defisiensi neurotransmiter
yaitu dopamin. (Rizky, 2013)
b) Penggolongan obat anti Parkinson
1. Obat Dopaminergik sentral.
a. Levodopa.
b. Bromokriptin.
c. Carbidopa
2. Obat antikolinergik sentral; Triheksifenidil
3. Penghambat MAO ; Selegiline
4. Penghambat DOPA Decarboxylase; Bensarizide
Bensarizide biasa digunakan sebagai obat kombinasi dengan Levodopa. Yang
berfungsi untuk mencegah Levodopa berubah menjadi Dopamin sehingga tidak
bisa masuk ke dalam otak.
5. Obat Dopamino-antikolinergik; Pramipexole; Obat parkinson Pramipexole
digunakan untuk mengurangi gejala dari Parkinson seperti tremor, kekakuan
dan gerak yang lambat yang disebabkan oleh Parkinson. (Rizky, 2013)
6. Penghambat catechol-O-methyltransferase; Entacapone yang biasa
dikombinasi dengan Levodopa/Carbidopa dengan atau tidak. (Rizky, 2013)
c) Teknik pengobatan
Pengobatan dasar untuk Parkinson adalah Levodopa-Karbidopa. Penambahan
Karbidopa dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas Llevodopa di dalam
otak dan untuk mengurangi efek Levodopa yang tidak diinginkan di luar otak.
(Rizky, 2013)
Kini ada kombinasi tiga obat selain Levodopa dan Karbidopa juga
ditambahkan Entacapone. Dimana fungsi Entacapone membantu kerja kedua obat
tersebut dengan memperlancar masuknya kedua obat tersebut ke otak.
Di dalam otak Levodopa dirubah menjadi Dopamin. Obat ini
mengurangi tremor dan kekakuan otot dan memperbaiki gerakan.
Penderita Parkinson ringan bisa kembali menjalani aktivitasnya secara
normal dan penderita yang sebelumnya terbaring di tempat tidur menjadi kembali
mandiri.
Tidak satupun dari obat-obat tersebut yang menyembuhkan penyakit
atau menghentikan perkembangannya, tetapi obat-obat tersebut menyebabkan
penderita lebih mudah melakukan suatu gerakan dan memperpanjang harapan
hidup penderita.
Mengkonsumsi Levodopa selama bertahun-tahun bisa menyebabkan
timbulnya gerakan lidah dan bibir yang tidak dikehendaki, wajah menyeringai,
kepala mengangguk-angguk dan lengan serta tungkai berputar-putar.
Beberapa ahli percaya bahwa menambahkan atau mengganti Levodopa
dengan Bromokriptin selama tahun-tahun pertama pengobatan bisa menunda
munculnya gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki.
Kini obat antidepresan yang digunakan untuk parkinson hanya
Pramipexole, itupun hanya untuk mengurangi gejala yang disebabkan Parkinson.
Untuk golongan obat antidepresi golongan MAO-inhibitor (monoamine oxidase
inhibitor) tidak digunakan lagi.
Untuk mempertahankan mobilitasnya, penderita dianjurkan untuk tetap
melakukan kegiatan sehari-harinya sebanyak mungkin dan mengikuti program
latihan secara rutin. Terapi fisik dan pemakaian alat bantu mekanik (misalnya
kursi roda) bisa membantu penderita tetap mandiri.
Makanan kaya serat bisa membantu mengatasi sembelit akibat
kurangnya aktivitas, dehidrasi dan beberapa obat. Makanan tambahan dan
pelunak tinja bisa membantu memperlancar buang air besar.
Pemberian makanan harus benar-benar diperhatikan karena kekakuan
otot bisa menyebabkan penderita mengalami kesulitan menelan sehingga bisa
mengalami kekurangan gizi (malnutrisi).
Untuk pemilihan obat anti Parkinson yang tepat ada baiknya anda harus
periksakan diri dan konsultasi ke dokter.

13. ANALGESIK OPIOID DAN ANTAGONIS


1. PENDAHULUAN

Analgesic opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.
Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, senyawa sintetik, derivate
semisintetik alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai
morfin. Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid.

PEPTIDA OPIOID ENDOGEN. Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui


kerjanya di daerah otak yang mengandung peptide yang memiliki sifat farmakologik
menyerupai opioid. Telah diidentifikasi tiga jenis peptide opioid: enkefalin,
endorphin, dan dinorfin. Peptide opioid yang didistribusi paling luas dan memiliki
aktivitas analgesic, adalah peptide metionin-enkefalin (met-enkefalin) dan leusin-
enkefalin. Salah satu atau kedua peptide tersebut terdapat didalam ketiga protein
precursor utama.

RESEPTOR OPIOID. Reseptor opioid memiliki tiga jenis utama, yaitu mu (µ), delta
(δ), dan kappa(κ). Reseptor tersebut berpasangan dengan protein G. Dan memiliki
subtype : mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1 , kappa2 , dan kappa3.

Tabel 13-1. KERJA OPIOID PADA RESEPTOR OPIOID

Reseptor
Obat
mu (µ) delta (δ) kappa(κ)
Peptida opioid
Enkefalin Agonis Agonis
Beta endorphin Agonis Agonis
Dinorfin Agonis lemah
Agonis
Kodein Agonis lemah Agonis lemah
Morfin Agonis Agonis lemah Agonis lemah
Metadon Agonis
Meperidin Agonis
Fentanil Agonis
Agonis- antagonis
Buprenorfin Agonis parsial
Antagonis / Agonis
Pentazosin Agonis
parsial
Nalbufin Antagonis Agonis
Antagonis
Nalokson Antagonis Antagonis Antagonis

KLASIFIKASI OBAT GOLONGAN OPIOID. Berdasarkan kerja pada reseptor,


obat golongan opioid dibagi menjadi:

1. Agonis penuh (kuat)


2. Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)
3. Campuran agonis dan antagonis
4. Antagonis.
Tabel 13-2. KLASIFIKASI OBAT GOLONGAN OPIOID
Struktur dasar Agonis kuat Agonis lemah Campuran Antagonis
sampai agonis-
sedang antagonis
Fenantren Morfin Kodein Nalbufin Nalorfin
Hidromorfon Oksikodon Buprenorfin Nalokson
Oksimorfon Hidrokodon Naltrekson
Fenilheptilamin Metadon Propoksifen
Fenilpiperidin Meperidin Difenoksilat
Fentanil
Morfinan Levorfanol Butorfanol
Benzomorfan Pentazosin

2. MORFIN DAN ALKALOID OPIUM

2.1. ASAL, KIMIA, DAN SAR

Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah


dikeringkan.Alkaloid opium secara kimia dalam dua golongan, yaitu :

1. Golongan fenantren : morfin dan kodein.


2. Golongan benzilisokinolin : noskapin dan papaferin.

Gambar 13.1. Morfin (R1 = R2 = H)

2.2. FARMAKODINAMIK
SUSUNAN SISTEM SARAF PUSAT. Narcosis. Efek morfin terhadap SSP berupa
analgesia dan necrosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum
pasien tidur dan seringkali terjadi tanpa disertai tidur. Pada dosis kecil (5-10 mg)
dapat menimbulkan euphoria pada pasien yang gelisah, nyeri, dan sedih. Dosis yang
sama tersebut pada orang normal dapat menimbulkan disforia. Morfin menimbulkan
rasa kantuk, susah berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang
dan semacamnya.

Analgesia. Efek analgesia timbul akibat kerja opioid pada reseptor mu. Reseptor
delta dan kappa dapat pula ikut berperan analgesi terutama pada tingkat spinal.
Morfin juga bekerja pada delta dan kappa, namun belum diketahui besarnya peran
kerja morfin pada kedua reseptor tersebut untuk menimbulkan efek analgesia.

Eksitasi. Morfin dan opioid lain seringkali dapat menimbulkan mual dan muntah,
akan tetapi jarang terjadi delirium. Factor yang dapat mengubah eksitasi morfin
adalah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex SSP.

Miosis. Biasa terjadi pada agonis opioid yang bekerja pada reseptor delta dan kappa.
Hal ini terjadi karena adanya rangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotor.
Miosis ini dapat dilawan oleh atrofin dan skopolamin.morfin dalam dosis tinggi
dapat memperoleh tingginya daya akomodasi dan penurunan tekanan intraokuler.

Depresi napas. Pada dosis kecil morfin sudah dapat menimbulkan depresi napas.
Sedangkan pada dosis toksik dapat menimbulkan frekuensi napas 3-4 kali/ menit
dan kematian. Morfin dan analgesic opioid dapat pula untuk menghambat reflex
batuk karena reflex batuk berjalan sejajar dengan depresi napas.

SALURAN CERNA. Morfin dapat berefek langsung pada saluran cerna, bukan
melalui efek SSP. Pada lambung morfin dapatmenghambat sekresi HCL walaupun
efek ini lemah. Pada usus halus, morfin dapat mengurangi sekresi empedu dan
pancreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia,
morfin mengurangi kontraksi propulsive, meninggikan tonus dan spasme periodic
usus halus. Lebih jelasnya terlihat pada duodenum untuk efek morfin. Pada usus
besar, morfin dapat mengurangi dan menghilangkan gerakan propulsi usus besar,
meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar. Selain itu, mofrin juga
dapat menyebabkan peninggian tekanan pada ductus koledokus.

SISTEM KARDIOVASKULER. Pada pemberian morfin dengan dosis terapi tidak


akan mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung.
Tekanan darah dapat menurun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi
morfin. Efek morfin terhadap miokardium manusia tidak berarti : frekuensi jantung
tidak dipengaruhi atau hanya menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah
jantung tidak konstan. Gambaran EKG tidak berubah.

2.8. SEDIAAN DAN POSOLOGI


Sediaan yang mengandung campuran alkaloid dalam bentuk kasar dan beraneka
ragam dan masih dipakai. Misalnya pulvus opii mengandung 10 % morfin dan
kurang dari 0,5 % kodein. Pulvus doveri mengandung 10 % pulvus opii, maka 150
mg pulvus doveri mengandung 1,5 mg morfin.
Sediaan yang mengandung alkaloid murni dapat digunakan untuk pemberian oral
maupun parenteral. Yang biasa digunakan adalah garam HCL, garam sulfat atau
fosfat alkaloid morfin dengan kadar 10 mg/mL.efektivitas morfin peroral hanya 1/6-
1/5 kali efektivitas morfin subkutaan. Pemberian 60 mg morfin per oral member efek
analgesic sedikit lebih lemah dan masa kerja lebih panjang pada pemberian 8 mg
morfin IM.
Kodein tersedia dalam bentuk basa bebas atau dalam bentuk garam HCL atau fosfat.
Satu tablet mengandung 10, 15, atau 30 mg kodein. Dosis tunggal 32 mg kodein per
oral dapat menimbulkan analgetik sama besar dengan efek 600 mg asetosal.
3. MEPERIDIN DAN DERIVAT FENILPIPERIDIN LAIN
3.1. KIMIA
Meperidin juga dikenal sebagai petidin, secara kimia adalah etil-1-metil-4-
fenilpiperidin-4-karboksilat.
3.2. FARMAKODINAMIK
SUSUNAN SARAF PUSAT. Seperti morfi, meperidin menimbulkan analgesia,
sedasi, euphoria, depresi nafas, dan efek sentral lain.
Analgesia. Efek analgetik meperidin serupa dengan efek analgetik morfin. Efek
analgetik meperidin muali timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai
puncak dalam 2 jam. Efek meperidin lebih cepat pada pemberian subcutan dan IM.
Sedasi, euphoria dan eksitasi. Sama halnya seperti efek pada morfin dapat
menimbulkan efek sedasi, euphoria, dan eksitasi. Tetapi, pada pemberian dosis
toksik meperidin berbeda halnya dengan morfin, kadang dapat menimbulkan
perangsangan SSP seperti tremor, kedutan otot, dan konvulsi.
Efek neural lain. Pemberian meperidin secara sistemik dapat menimbulkan anastesi
kornea yang mengakibatkan hilangnya reflex kornea. Meperidin tidak berefek
antikonvulsi. Meperidin menyebabkan penglepasan ADH. Meperidin merangsang
CTZ, sehingga menimbulkan mual dan muntah.
SISTEM KARDIOVASKULER. Pada penggunaan dosis terapi tidak memberikan
efek pada karidovaskuler. Pasien berobat jalan dapat mengalami sikop akan tetapi
kondisi ini cepat hilang jika pasien berbaring.
3.3. FARMAKOKINETIK
Pada pemberian apapun meperidin mengalami absorbs secara baik. Akan tetapi pada
pemberian IM kecepatan absorbs tidak teratur. Kadar puncak dalam plasma biasanya
dicapai dalam 45 menit dan kadar dicapai bervariasi tiap individu. Pada pemberian
oral, sekitar 50 % obat mengalami metabolism lintas pertama dan kadar maksimal
plasma tercapai dalam 1-2 jam. Sedangkan pada pemberian IV, kadar plasma
menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung
dengan lambat. Sekitar 60 % meperidin terikat dengan protein plasma. Pada
manusia, meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian
sebagian mengalami konyugasi. Masa paruh meperidin berkisar 3 jam. Pada pasien
sirosis, bioavaibilitas meningkat sampai 80 % dan masa paruh akan memanjang.
Meperidin bentuk utuh sangat sedikit ditemukan pada urin.
3.4. INDIKASI
Meperidin digunakan untuk menimbulkan analgesia. Meperidin juga digunakan
untuk menimbulkan analgesia obstetric dan sebagai obat praanastetik. Obat ini
kurang menyebabkan depresi nafas pada janin. Tetapi sebagai medikasi praanastetik
masih dipertanyakan perlunya suatu analgesic opioid pada pasien yang tidak
menderita nyeri.
3.5. EFEK SAMPING, KONTRAINDIKASI, DAN INTOSIKASI
Efek samping obat ini berupa keringat, pusing, euphoria, mulut kering, mual,
muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop, dan
sedasi. Reaksi ini lebih sering terjadi pada pasien rawat jalan.
Kontraindikasi penggunaan meperidin menyerupai kontraindikasi pada morfin dan
opioid lain. Penggunaan obat ini harus lebih hati-hati pada orang yang memiliki
gangguan hepar. Bila terjadi gejala perangsangan pada meperidin, obat ini diganti
dengan obat opioid lain.
3.6. ADIKSI DAN TOLERANSI
Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih lambat dibandingkan morfin.
Hal ini terjadi bila interval pemberian lebih dari 3-4 jam. Toleransi tidak terjadi
terhadap efek stimulasi dan efek mirip atropine.
3.7. SEDIAAN DAN POSOLOGI
Meperidin HCL tersedia dalam bentuk tablet dengan dosis 50 mg dan 100 mg serta
ampul 50 mg/mL. meperidin lazim diberikan per oral dan IM. Alfaprodin HCL,
tersedia dalam bentuk ampul 1 mL dan vial 10 mL dengan kadar 60 mg/mL.
Difenoksilat, tersedia dalam bentuk tablet 2,5 mg. Fentanil dan derivatnya, bekerja
sebagai agonis reseptor mu. Fentanil banyak digunakan untuk anastetik. Fenatanil
dapat menimbulkan efek mual, muntah dan gatal. Fentanil dan derivatnya biasa
digunakan secara IV, meskipun juga sering digunakan secara epidural dan intratekal
untuk nyeri pasca bedah atau nyeri kronik.

14. ANALGESIK-ANTIPIRETIK, ANALGESIK ANTI-INFLAMASI NON


STEROID, DAN OBAT GANGGUAN SENDI LAINNYA.

Obat analgetik antipiretik serta obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) merupakan


salah satu kelompok obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep
dokter. Obat ini memiliki efek terapi yang sama akan tetapi secara kimia obat ini
heterogen. Adapun gambar 14-1 dibawah ini mengenai klasifikasi obat analgetik anti
inflamasi non steroid (Obat AINS).

NSAID

AINS COX nonselektif AINS COX-2-preferential AINS COX-2-selektif

 Aspirin  Nimesulid - Generasi 1:


 Indometasin  Meloksikam Solekoksib,
 Piroksikam  Nabumeton rofekoksib,

 Ibuprofen  Diklofenak valdekoksib,

 Naproksen  etodolak parekoksib,

 Asam eterikoksib.

mefenamat - Generasi 2 :
lumirakoksib

2. SIFAT DASAR OBAT ANTI-INFLAMASI NON STEROID


2.1. MEKANISME KERJA
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam
arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase
dengan kekuatan dan selektivitas yang berbeda-beda. Enzim siklooksigenase
terdapat dalam dua isoform disebut COX-1 dan COX-2. Secara garis besar COX-1
esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal diberbagai
jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Sedangkan COX-2
mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskuler dan pada proses
perbaikan jaringan. Trombosit A2, yang disintesis trombosit oleh COX-1,
menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos.
Sebaliknya, PGI2 yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan
efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan
efek antiproliferatif.
Aspirin 166 kali menghambat COX-1 daripada COX-2. Penghambat COX-2
dikembangkan dalam mencari penghambat COX untuk pengobatan antiinflamasi
dan nyeri kurang menyebabkan toksisitas saluran cerna dan perdarahan.
Antiinflamasi nonsteroid yang tidak selektif dinamakan AINS tradisional (AINSt).
Khusus paracetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya
rendah kadar peroksid yaitu di hipotalamus. Paracetamol diduga menghambat
isoenzim COX-3, suatu variant dari COX-1.

2.2. EFEK FARMAKODINAMIK


Semua obat mirip-aspirin bersifat antipiretik, analgesi, dan anti-inflamasi. Tiap obat
tersebut memiliki perbedaan aktivitas, misalnya : paracetamol (asetaminofen)
bersifat antipiretik dan analgesi tetapi sifat antiinflamasinya lemah sekali.
Sebagai analgesic, obat mirip aspirin hanya efektif terhadap nyeri dengan eksistensi
rendah sampai sedang. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek analgesic
opiate. Tetapi obat aspirin tidak menimbulkan efek ketagihan. Obat ini hanya
mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri, tidak mempengaruhi sensorik lain.
Sebagai antipiretik, dalam keadaan demam obat ini dapat menurunkan suhu badan.
Walaupun kebanyakan obat ini memperlihatkan efek antipiretik in vitro, tidak
semuanya berguna sebagai antipiretik karena sifat toksik bila digunakan dengan
rutin dan jangka waktu lama.
Kebanyakan obat ini juga berfungsi sebagai anti-inflamasi, akan tetapi obat ini hanya
meringankankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya
secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah kerusakan
jaringan pada kelainan musculoskeletal.

2.3. EFEK SAMPING


Efek samping yag paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak
peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran
cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing obat. Dua mekanisme
terjadinya iritasi lambung adalah: (1) iritasi yang bersifat lokal yang menimbulkan
difusi kembali asam lambung ke mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan; (2)
iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui hambatan biosintesis
PGE2 dan PGI2. Kedua prostaglandin ini banyak ditemukan di mukosa lambung
dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mukus
usus halus yang bersifat sitoprotektif. Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian
parenteral.
Efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan
biosintesis tromboksan A2 dengan akibat perpanjangan waktu perdarahan. Efek ini
dimanfaatkan untuk terapi profilaksis trombo-emboli. Obat yang digunakan sebagai
terapi profilaksis trombo-emboli dari golongan ini adalah aspirin.
Penghambatan biosintesis prostaglandin di ginjal, terutama PGE2, berperan dalam
gangguan homeostasis ginjal. Pada orang normal tidak banyak mempengaruhi fungsi
ginjal.
Pada beberapa orang dapat terjadi reaksi hipersensitivitas. Mekanisme ini bukan
suatu reaksi imunologik tetapi akibat tergesernya metabolisme asam arakhidonat ke
arah jalur lipoksigenase yang menghasilkan leukotrien. Kelebihan leukotrien inilah
yang mendasari terjadinya gejala tersebut.

3. PEMBAHASAN OBAT
3.1. SALISILAT, SALISILAMID & DIFLUSINAL
SALISILAT
Asam asetil salisilat lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesic
antipiretik dan antiinflamasi yang luas digunakan dan digolongkan obat bebas.
Selain sebagai prototip, obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis.
Asam salisilat sangat iritatif sehingga hanya digunakan sebagai obat luar. Derivatnya
yang dipakai sebagai sistemik adalah ester salisilat dan lainnya.
FARMAKODINAMIK
Penggunaan dosis terapi dapat bekerja efektif sebagai antipiretik. Penggunaan
aspirin sebagai anti inflamasi terutama adalah untuk pengobatan rheumatoid
arthritis, yaitu suatu penyakit kronis sistemik yang melibatkan banyak organ, dan
dianggap sebagai penyakit auto imun. Untuk memperoleh anti-inflamasi, yang baik
kadar plasma perlu dipertahankan antara 250-300 µg/ mL. Aspirin mampu
mereduksi proses inflamasi di dalam sendi dan jaringan sehingga mengurangi gejala
dan memperbaiki mobilitas penderita. Meskipun demikian, obat ini tidak mampu
menghambat progresivitas cidera jaringan patologis . Jika dengan aspirin saja belum
efektif, maka dapat diganti dengan AINS lain, kortikosteroid, atau obat yang bersifat
diseasemodifying drug. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika akan
menggunakan kombinasi AINS dengan obat lain untuk rheumatoid arthritis
(misalnya AINS dengan methotrexate), maka sebaiknya digunakan AINS selain
aspirin.
FARMAKOKINETIK
Pada pemberian oral, asam salisilat dapat diabsorbsi dengan cepat dalam bentuk utuh
di lambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas. Kadar tertinggi dicapai
kira-kira 2 jam sesudah pemberian. Kecepatan absorbs tergantung dari kecepatan
disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan waktu pengosongan
lambung. Pemberian rectal tidak dianjurkan karena absorbs berlangsung dengan
lambat. Asam salisilat menyebar ke seluruh jaringan tubuh dan cairan transseluler.
Obat ini dapat menembus sawar darah otak. Sekitar 80 % sampai 90 % salisilat
plasma terikat dengan albumin. Salisilat diekskresi dalam bentuk metabolitnya
terutama melalui ginjal, sebagian kecil melalui keringat dan empedu.
SEDIAAN
Aspirin (asam asetil salisilat) dan natrium salisilat merupakan sediaan yang paling
banyak digunakan. Aspirin tersedia dalam bentuk tablet 100 mg untuk anak dan 500
mg untuk dewasa. Metal-salisilat hanya digunakan sebagai obat luar dalam salep
atau linimen dan dimaksud sebagai counter irritant bagi kulit.
SALISILAMID
Obat ini memperlihatkan efek analgesic dan antipiretik mirip asetosal. Efek
analgesic antipiretik obat ini lemah dibandingkan salisilat. Dosis analgesic
antipiretik untuk dewasa 3-4 kali 300-600 mg sehari, untuk anak 65 mg/kgBB/ hari
diberikan 6 kali perhari.
DIFLUSINISAL
Obat ini merupakan derivate difluorofenildari asam salisilat. Bersifat analgesic dan
antiinflamasi tetapi tidak menimbulkan efek antipiretik. Indikasi untuk inflamasi
ringan-sedang dengan dosis awal 500 mg disusul 250-500 mg tiap 8-12 jam.

3.2. PIRAZOLON DAN DERIVAT


INDIKASI. Obat ini memiliki indikasi untuk analgesi-antipiretik karena efek
antiinflamasinya lemah. Sedangkan antipirin dan aminopirin tidak dianjurkan
digunakan lagi karena lebih toksik daripada dipiron. Dosis untuk dipiron adalah 3
kali 0,3-1 gram sehari. Dipiron tersedia dalam bentuk tablet 500 mg dan larutan obat
suntik yang mengandung 500 mg/mL.
EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI. Semua derivate pirazolon dapat
menimbulkan agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia. Pada
pemakaian dipiron jangka panjang perlu diperhatikan karena dapat menimbulkan
hemolisis, edema, tremor, mual dan muntah, perdarahan lambung dan anuria.
FENILBUTAZON DAN OKSIFENBUTAZON
Dengan adanya AINS yang lebih aman, obat ini sudah tidak lagi dianjurkan lagi
sebagai antiinflamasi kecuali jika obat lain tidak efektif.

3.3. ANALGESIK ANTI-INFLAMASI NON STEROID LAINNYA


ASAM MEFENAMAT
Asam mefenamat digunakan sebagai analgetika dan anti-inflamasi, asam mefenamat
kurang efektif dibandingkan dengan aspirin. Meklofenamat digunakan sebagai obat
anti-inflamasi pada reumatoid dan osteoartritis. Asam mefenamat dan meklofenamat
merupakan golongan antranilat. Asam mefenamat terikat kuat pada pada protein
plasma. Dengan demikian interaksi dengan oabt antikoagulan harus diperhatikan.
Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia, diare sampai
diare berdarah dan gejala iritasi terhadap mukosa lambung. Dosis asam mefenamat
adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari. Sedangakan dosis meklofenamat untuk terapi
penyakit sendi adalah 240-400 mg sehari. Karena efek toksisnya di Amerika Serikat
obat ini tidak dianjurkan kepada anak dibawah 14 tahun dan ibu hamil dan
pemberian tidak melebihi 7 hari.
DIKLOFENAK
Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat. Absorpsi obat ini melalui saluran
cerna berlangsung lengkap dan cepat. Obat ini terikat pada protein plasma 99% dan
mengalami efek metabolisma lintas pertama (first-pass) sebesar 40-50%. Walaupun
waktu paruh singkat 1-3 jam, dilklofenakl diakumulasi di cairan sinoval yang
menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut.
Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama
seperti semua AINS, pemakaian obat ini harus berhati-hati pada pasien tukak
lambung. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis orang dewasa 100-
150 mg sehari terbagi dua atau tiga dosis.
IBU PROFEN
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan pertama kali
dibanyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya efek anti-inflamasi yang
tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama seperti aspirin, sedangkan efek anti-
inflamasinya terlihat pada dosis 1200-2400 mg sehari. Absorpsi ibuprofen cepat
melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai dicapai setelah 1-2
jam. 90% ibuprofen terikat dalam protein plasma, ekskresinya berlangsung cepat dan
lengkap.
Pemberian bersama warfarin harus waspada dan pada obat anti hipertensi karena
dapat mengurangi efek antihipertensi, efek ini mungkin akibat hambatan biosintesis
prostaglandin ginjal. Efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan
dengan aspirin. Ibuprofen tidak dianjurkan diminum wanita hamil dan menyusui.
Ibuprofen dijual sebagai obat generik bebas dibeberapa negara yaitu inggris dan
amerika karena tidak menimbulkan efek samping serius pada dosis analgesik dan
relatif lama dikenal.
INDOMETASIN
Merupakan derivat indol-asam asetat. Obat ini sudah dikenal sejak 1963 untuk
pengobatan artritis reumatoid dan sejenisnya. Walaupun obat ini efektif tetapi karena
toksik maka penggunaan obat ini dibatasi. Indometasin memiliki efek anti-inflamasi
sebanding dengan aspirin, serta memiliki efek analgesik perifer maupun sentral. In
vitro indometasin menghambat enzim siklooksigenase, seperti kolkisin.
Absorpsi pada pemberian oral cukup baik 92-99%. Indometasin terikat pada protein
plasma dan metabolisme terjadi di hati. Di ekskresi melalui urin dan empedu, waktu
paruh 2- 4 jam. Efek samping pada dosis terapi yaitu pada saluran cerna berupa nyeri
abdomen, diare, perdarahan lambung dan pankreatis. Sakit kepala hebat dialami oleh
kira-kira 20-25% pasien dan disertai pusing. Hiperkalemia dapat terjadi akibat
penghambatan yang kuat terhadap biosintesis prostaglandin di ginjal.
Karena toksisitasnya tidak dianjurka pada anak, wanita hamil, gangguan psikiatrik
dan pada gangguan lambung. Penggunaanya hanya bila AINS lain kurang berhasil.
Dosis lazim indometasin yaitu 2-4 kali 25 mg sehari, untuk mengurangi reumatik di
malam hari 50-100 mg sebelum tidur.
PIROKSIKAM DAN MELOKSIKAM
Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam, derivat
asam enolat. Waktu paruh dalam plasma 45 jam sehingga diberikan sekali sehari.
Absorpsi berlangsung cepat di lambung, terikat 99% pada protein plasma. Frekuensi
kejadian efek samping dengan piroksikam mencapai 11-46% dan 4-12%. Efek
samping adalah gangguan saluran cerna, dan efek lainnya adalah pusing, tinitus,
nyeri kepala dan eritema kulit. Piroksikam tidak dianjurkan pada wanita hamil,
pasien tukak lambung dan yang sedang minum antikoagulan. Dosis 10-20 mg sehari.
Meloksikam cenderung menghambat COXS-2 dari pada COXS-1. Efek samping
meloksikam terhadap saluran cerna kurang dari piroksikam.

3.4. OBAT PIRAI


Ada dua kelompok obat penyakit pirai, yaitu obat yang menghentikan proses
inflamasi akut misalnya kolkisin, fenilbutazon, oksifentabutazon, dan indometasin;
dan obat yang mempengaruhi kadar asam urat misalnya probenesid, alopurinol, dan
sulfinpirazon. Untuk keadaan akut digunakan obat AINS.
KOLKISIN
Obat ini suatu antiinflamasi yang unik untuk penyakit pirai. Obat ini merupakan
alkaloid Colchicum autumnale, sejenis bunga leli.
FARMAKODINAMIK
Antiradang kolkisin efektif untuk pirai. Pada penyakit pirai, kolkisin tidak
meningkatkan ekskresi, sintesis, atau kadar asam urat dalam darah. Obat ini
berikatan dengan protein mikrotubular dan menyebabkan depolimerisasi dan
menghilangnya mikrotubul fibrilar granulosit dan sel bergerak lainnya. Hal ini
menyebabkan penghambatan migrasi granulosit ke tempat radang sehingga
pelepasan mediator inflamasi juga dihambat dan respons inflamasi ditekan. Hal ini
berarti kolkisin mencegah pelepasan glikoprotein dari leukosit yang pada pasien
gout menyebabkan nyeri dan radang sendi.
FARMAKOKINETIK
Absorbs melalui saluran cerna baik. Obat ini didistribusi luas dalam jaringan tubuh.
Kadar tinggi didapat di ginjal, hati, limpa, dan saluran cerna. Sebagian besar
diekskresi dalam bentuk utuh melalui feses, 10-20 % diekskresikan melalui urin.
Kolkisin dapat ditemukan dalam leukosit dan urin sedikitnya untuk 9 hari setelah
suntikan IV.
ALOPURINOL
Alopurinol efektif untuk mengobati penyakit pirai karena dapat menurunkan kadar
asam urat terutama untuk pirai kronik dengan insufisiensi ginjal dan batu urat dalam
ginjal. Berbeda dengan probenesid, efek alopurinol tidak dilawan oleh salisilat, tidak
berkurang pada insufisiensi ginjal dan batu urat dalam ginjal. Obat ini bekerja
dengan menghambat xantine oksidase, enzim yang mengubah hipoxantine menjadi
xantine dan selanjutnya menjadi asam urat.
Efek samping yang sering terjadi ialah reaksi kulit. Reaksi alergi dapat berupa
demam, menggigil, leucopenia, artralgia, dan lainnya. Dosis untuk penyakit pirai
ringan 200-400 mg sehari, 400-600 mg untuk penyakit yang lebih berat. Untuk anak
6-10 tahun: 300 mg sehari dan anak dibawah 6 tahun: 150 mg sehari.

3.5. ANTIREUMATIK PEMODIFIKASI PENYAKIT (APP)


METOTREKSAT
Dianggap APP terpilih saat ini. Dosis sebagai APP, 15-25 mg per minggu dan dapat
ditingkatkan sampai 30-35 mg per minggu bila perlu. Efek samping umum ialah
mual dan ulkus mukosa saluran cerna. Suatu reaksi paru dengan sesak napas akut
dan reaksi pseudolimfomatosa dilaporkan dapat terjadi.
AZATIOPRIN
Zat aktifnya 6-tioguanin menghambat sintesis asam inosinat, fungsi sel β dan sel T,
produksi immunoglobulin dan reaksi interleukin-2. Pada RA diberikan dengan dosis
2 mg/Kg/BB/hari. Efek samping berupa supresi sumsum tulang, saluran cerna, dan
penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi.

15. PERANGSANG SUSUNAN SARAF PUSAT


1. PENDAHULUAN
Perangsangan SSP oleh obat pada umumnya melalui dua mekanisme, yaitu (1)
mengadakan blockade pada penghambatan (2) meninggikan perangsangan
sinaps.dalam SSP dikenal system penghambatan pascasinaps dan penghambatan
prasinaps.
Ada beberapa mekanisme faalan yang dapat merangsang napas, yaitu (1)
perangsangan langsung pada pusat napas baik oleh obat atau karena adanya
perubahan pH darah; (2) perangsangan dari impuls sensorik yang berasal dari
kemoreseptor di badan karotis; (3)perangsangan dari impuls aferen terhadap pusat
napas misalnya impuls yang datang dari tendo dan sendi; dan (4) pengaturan dari
pusat yang lebih tinggi.
Belum ada obat yang selektif untuk merangsang pusat vasomotor. Bagian ini dapat
terangsang bila ada rangsangan pada medulla oblongata oleh obat perangsang napas
dan analeptic. Beberapa obat secara selektif dapat merangsang pusat muntah melalui
CTZ di medulla oblongata, misalnya apormorfin.
2. STRIKNIN
Striknin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, tanaman yang banyak
tumbuh di India. Striknin merupakan penyebab keracunan tidak disengaja pada anak.
Obat ini bekerja dengan cara mengadakan antagonism kompetitif terhadap
transmitter penghambat yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps. Toksin
tetanus juga memblokade penghambatan pascasinaps, tetapi dengan cara mencegah
pelepasan glisin dari interneuron penghambat. Glisin juga bertindak sebagai
neurotransmitter penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat lebih tinggi di
SSP.
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan
konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Gambaran konvulsi pada obat ini
berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat
khas lainnya dari kejang striknin adalah kontraksi ekstensor yang simetris yang
diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu penglihatan, pendengaran dan perabaan.
Obat ini juga dapat merangsang medulla spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek
striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medulla spinalis dan konvulsinya
disebut konvulsi spinal.
Medulla oblongata hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang menimbulkan
hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin mudah di serap pada saluran cerna dan
tempat suntikan, segera meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di
SSP tidak terlalu tinggi daripada di jaringan. Obat ini segera di metabolism oleh
enzim mikrosom sel hati dan ekskresi melalui urin. Pada gejala awal keracunan
striknin dapat berupa kaku otot muka dan leher.
3. TOKSIN TETANUS
Hasil metabolism Clostridium tetani ialah 3 macam toksin : tetanospasmin yang
bersifat neurotoksik, non convulsive neurotoxin, dan tetanolisin yang bersifat
kardiotoksik dan menyebabkan hemolisis.
4. PIKROTOKSIN
Pikrotoksin didapat di tanaman Anamirta cocculus, suatu tumbuhan menajlar di
Malabar dan India Timur yang dahulu digunakan untuk meracuni ikan. Zat ini
merupakan bahan netral yang tidak mengandung nitrogen, mempunyai rumus
empiris C30H34O13. Dapat dipecah menjadi pikrotoksinin dan pikrotin. Pikrotoksinin
merupakan perangsang SSP yang kuat dan bekerja pada semua bagian SSP.
5. PENTILENTETRAZOL
Obat ini di Amerika dikenal dengan nama dagang Metrazol dan di Eropa Kardiazol.
Kejang oleh obat ini mirip hasil perangsangan listrik pada otak dengan intensitas
sebesar ambang rangsang, juga mirip sekali dengan serangan klinik epilepsy petit
mal pada manusia. Dengan dosis yang lebih tinggi umumnya akan terjadi klonik
yang ansinkron.
Mekanisme kerja obat ini menghambat system GABA-ergik, dengan demikian akan
meningkatkan eksitabilitas SSP; adanya efek perangsangan secara langsung masih
belum dapat disingkirkan. Sebagai analeptic pentilentetrazol tidak sekuat pirotoksin.
Obat ini dapat diabsorbsi dari berbagai tempat pemberian. Distribusi merata ke
semua jaringan dan cepat di inaktivasi oleh hati. Sebagian besar (75%) di urin dalam
bentuk tidak aktif.
Obat ini merupakan Kristal putih yang mudah larut dalam air, diperdagangkan dalam
bentuk tablet 100 mg, ampul 3 mL dan vial berisi larutan 10 %.
6. XANTIN
Derivat xantin terdiri dari kafein, teofilin dan teobromin ialah alkaloid yang terdapat
pada tumbuhan. Ketiganya merupakan derivate xantin yang mengandung gugus
metal. Xantin sendiri ialah dioksipurin yang mempunyai struktur mirip dengan asam
urat.
FARMAKODINAMIK
Derivate xantin tersebut ketiganya memiliki efek farmakologi yang sama yang
bermanfaat secara klinis. Obat-obat ini mengakibatkan relaksasi otot polos, terutama
otot bronkus, merangsang SSP, otot jantung, dan meningkatkan dieresis. Teobromin
tidak bermanfaat secara klinis karena efek farmakologisnya rendah.
Teofilin dan kafein merupakan perangsang SSP yang kuat, teobromin dapat
dikatakan tidak aktif. Teofilin menyebabkan perangsangan SSP yang lebih dalam
dan berbahaya disbanding kafein. Efek pada pemberian kafein 85-250 mg (1-3
cangkir kopi) dapat menimbulkan orang tidak begitu mengantuk, tidak begitu lelah,
dan daya pikirnya lebih cepat dan lebih jernih akan tetapi kemampuannya berkurang
dalam pekerjaan. Pada pemberian teofilin 250 mg dapat menimbulkan efek pada
pengobatan asma bronchial.
Metilxantin dosis rendah dapat mengakibatkan perangsangan SSP yang sedang
mengalami depresi. Misalnya, dosis 0,5 mg/kgBB kafein sudah cukup untuk
merangsang napas pada individu yang mendapat morfin 10 mg.
Metilxantin dapat merangsang pusat napas. Efek ini terutama dapat terlihat pada
keadaan patologis tertentu, misalnya pernapasan Cheyne Stokes, pada apnea bayi
premature atau depresi napas oleh obat opioid. Rupanya metilxantin dapat
meningkatkan kepekaan pusat napas terhadap perangsangan CO2. Kafein dan
teofilin dapat menimbulkan mual dan muntah mungkin melalui efek central maupun
perifer. Muntah akibat teofilin terjadi bila kadarnya dalam plasma melebihi 15
µg/mL.
Pada orang normal kadar terapi teofilin antara 10-20 µg/mL akan menyebabkan
kenaikan moderat frekuensi denyut jantung. Indeks waktu perangsangan dan waktu
kontraksi isovolumetrik ventrikel kiri akan turun sejalan dengan meningkatnya
kekuatan kontraksi dan penurunan beban hulu jantung (preload).
Kadar rendah kafein dalam plasma dapat menurunkan denyut jantung yang mungkin
disebabkan oleh perangsangan nervus vagus di medulla oblongata. Sebaliknya,
kadar kafein dan teofilin yang lebih tinggi menyebabkan takikardi, bahkan pada
individu yang sensitive mungkin menyebabkan aritmia, misalnya kontraksi ventrikel
yang premature. Aritmia ini dapat dialami oleh orang yang minum kafein berlebihan.
Pemberian kafein sebesar 4-8 mg/kgBB pada orang sehat ataupun orang yang gemuk
akan menyebabkan peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma dan juga
meninggikan metabolism basal.
Adapun efek terpenting xantin adalah relaksasi otot polos bronkus, terutama bila otot
bronkus dalam keadaan konstriksi secara eksperimental akibat histamine atau secara
klinis pada pasien asma bronchial. Dalam hal ini teofilin paling efektif menyebabkan
peningkatan kapasitas vital. Sebagai bronkodilator, teofilin bermanfaat bagi
pengobatan asma bronchial.
FARMAKOKINETIK
Metilxantin cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal dan parenteral. Sediaan
bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorbsi secara cepat dan lengkap. Pada
umunya adanya makanan dalam lambung dapat memperlambat kecepatan absorbs
teofilin tetapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorbsi.
Metilxantin didistribusikan ke seluruh tubuh melalui plasenta dan masuk ke air susu
ibu. Volume distribusi kafein dan teofilin ialah antara 400 dan 600 mL/kg sedangkan
pada bayi premature nilainya lebih tinggi. Dalam kadar terapi ikatan teofilin dan
protein kira-kira 60 % tetapi pada bayi baru lahir dan pada pasien sirosis hati ikatan
protein lebih rendah (40%).
Eliminasi metilxantin terutama melalui metabolism dalam hati. Sebagian besar
diekskresi bersama urin dalam bentuk asam metilurat atau metilxantin. Waktu paruh
plasma kafein antara 3-7 jam, nilai ini akan menjadi dua kali lipat pada wanita hamil
tua atau wanita yang menggunakan pil kontrasepsi jangka panjang. Sedangkan
waktu paruh plasma teofilin pada orang dewasa 8-9 jam dan pada anak muda kira-
kira 3,5 jam.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. KESIMPULAN
Obat otonom adalah obat yang bekerja pada bagian susunan saraf otonom. System saraf
otonom membawa impuls saraf dari susunan saraf pusat ke organ efektor melalui 2 jenis
saraf eferen yaitu saraf praganglion dan saraf pascaganglion. Serat eferen otonom terbagi
dalam system simpatis dan parasimpatis. System simpatis dan parasimpatis memiliki
fungsi yang saling berlawanan (antagonis). Cara kerja obat otonom dapat dengan cara
menghambat pada sintesis atau penglepasan transmitter, menyebabkan pelepasan
transmitor, berikatan dengan reseptor dan menghambat destruksi transmitter.
Obat susunan saraf pusat adalah obat yang bekerja pada system saraf pusat. Obat yang
bekerja pada system saraf pusat memiliki efek yang sangat luas baik dalam hal
menghambat atau merangsang secara spesifik atau umum. Obat yang bekerja pada susunan
saraf pusat berdasarkan efek farmakologinya dibagi atas dua kelompok, yaitu
menstimulasi secara langsung maupun tidak langsung terhadap aktivitas otak, sumsum
tulang belakang beserta sarafnya dan menghambat secara langsung maupun tidak langsung
terhadap proses-proses tertentu pada aktivitas otak, sumsum tulang belakang beserta
sarafnya. Adapun bagian dari obat susunan saraf pusat meliputi anastetik umum,
psikotropik, antilepsi, antikonvulsi, obat penyakit Parkinson, analgesic opioid dan
antagonis, perangsang susunan saraf pusat dan analgetik-antipiretik analgesic
antiinflamasi non steroid dan obat gangguan sendi lainnya.

3.2. SARAN
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang
lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
2. Chandrasoma, Parakrama, and Clive R. Taylor. "Part A. General Pathology, Section II.
The Host Response to Injury, Chapter 3. The Acute Inflammatory Response, sub-section
Cardinal Clinical Signs." Concise Pathology (3rd edition (Computer file) ed.) (2005).
3. Collin VJ, Autonomic Nervous System, in Physiology And Pharmacology of
Anesthesia, William & Wilkins, Pensylvania. 1996 : 281-301.
4. Darmansyah I, Arini setiawati, Sulistia gan, Susunan saraf Otonom dan transmisi
Neurohumoral, Dalam : Farmakologi dan Terapi, FKUT : Jakarta. 1994 : 23-38.
5. E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.
6. Farley A et al. 2014. Nervous System. Part 1 vol 28 no 31.
7. Farmakologi, Departemen, and F. K. U. I. Terapeutik. "Farmakologi dan Terapi Edisi 5
(Cetak Ulang Dengan Perbaikan, 2008)." Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FK-UI, hal (2007).
8. Ganiswarna, 1998. ” Farmakologi dan Terapi ”, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta
9. Hoffman BB, Taylor P, The Autonomic and Somatic Motor Nervous Systems, in
Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Theapeutics, Tenth edition,
Hartman JG, et al. (ed), New York : McGraw-Hill. 2001 : 115-4.
10. Hoffman BB. Adrenoceptor-activating & other sympathomimetic drugs. In : katzung BG,
editor. Basic & Clinical pharmacology. 9th ed. Ch 10. New York : McGraw-Hill :
2004.p.122-41.
11. Katzung BG, introduction to Autonomic Pharmacology, in Basic and Clinical
Pharmacology, seventh edition, Katzung (ed), Appleton & Lange, Connecticut. 2002 :
73-89.
12. Katzung, Bertram G., Susan B. Masters, and Anthony J. Trevor, eds. Basic & clinical
pharmacology. Vol. 8. New York, NY, USA:: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2004.
13. Kee, Hayes. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC
14. Kimin, Sjukri, dkk. 2004. FARMAKOLOGI Jilid I. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
15. McKelvey, Diane, K. Wayne Hollingshead, and K. Diane McKelvey. Veterinary
anesthesia and analgesia. No. SF911. M39 2003. 2003.
16. Morgan G. Edward,Jr, MD; Clinical Anesthesiolgy; 4th ed. New york: The Mc GrawHill,
2006: chapter 12.
17. Moss J, Renz CL, The Autonomic Nervous System., In. Anesthesia, Miller et al (ed),
fifth edition, Churchill Livingstone : Philadelphia. 2000 : 523-70.
18. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S. Anestesiologi. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002.p.34-98.
19. Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC
20. Mycek, J, Mery, dkk, 2000. ”Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2”, Widya Medika :
Jakarta.
21. Omoigui S. Obat-obatan Anestesia. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2012
22. Parenteau AR, Maktabi MA, Basic Physiology and Pharmacology of the Autonomic
Nervous System, In Principles anda Practice of Anesthesiology, 2nd Edition, Craven L
et al (ed), Mosby-Year book, mc : Phiadeiphia. 1998 : 721-52.
23. Rizky, Amanda, dkk. 2013. Makalah Kimia Farmasi I Obat Susunan Saraf Pusat.
Pangkalpinang: Potekkes Kemenkes RI.
24. Siswandono, Soekardjo B, 2000, Kimia Medisinal, Surabaya: Airlangga University Press.
25. Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk pemula. Editor Edisi Bahasa Indonesia,
Palupi Widyastuti. Jakarta: EGC, 213-214.
26. Soekoharjo, S, B. 2000. Kimia Medisinal. Airlangga : Surabaya
27. Stoelting K. Robert, MD; Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice, 4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006: chapter 12.
28. Stoelting RK, Miller RD, Autonomic Nervous System, in Basic of Anesthesia, fourth
edition, Churchill Livingstone : Pensylvania. 2000 : 34-45.
29. Syaifuddin, H. 2011. Anatomi Fisoilogi: Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk
Keperawatan dan Kebidanan Edisi 4. Jakarta: EGC.
30. Tan Hoan Tjay, Kirana R, 2001, ”Obat-Obat Penting, Khasiat dan Penggunaan ”, DirJen
POM RI : Jakarta.
31. Taylor P. Agents acting at the neuromuscular junction and autonomic ganglia. In: Brunton
LL. Lazo JS, Parker KL, eds, Goodman and Gillman’s The Pharmacological Basic of
Therapeutics, 11 ed. CH 9. New York : McGraw-Hill: 2006.
32. Tjay, T. H. dan Rahardja. K. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima Cetakan Kedua.
Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
33. Universitas Sumatera Utara
34. Westerveld Gj et al. Anti-oxidant actions of oxymethazoline and xylomethazoline. Eur J
phermacol 1995; 291 : 27-31. Geref in NTvG 1997, Nr 41 p 1999.
35. Westfall TC, Westfall DP. Adrenergic agonists and antagonists. In : Brunton LL, Lazo JS,
Parker KL, editor. Goodman & Gilman’s the pharmacological Basis of Theraupetics. 11 th
ed. Ch 10. New York : McGraw-Hill : 2006.p.237-63.

Anda mungkin juga menyukai