Anda di halaman 1dari 28

OBAT ADRENERGIK DAN ANTI ADRENERGIK

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu
Tugas mata kuliah Farmakologi Umum Veteriner

Oleh :

MUHAMMAD FAUZIH ASJIKIN


O111 13 508

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.

Puji syukur mari senantiasa kita panjatkan kepada Allah swt. atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul Obat Adrenergik dan Anti Adrenergik walaupun dalam bentuk yang
sederhana. Salawat dan salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan Nabi
Muhammad Saw.
Dalam pengerjaan makalah ini tak lepas dari berbagai hambatan, maka dari
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini. Semoga kita semua senantiasa diberikan berkah
dan rahmat oleh-Nya.
Penulis memohon maaf dan memohon kesediaan para pembaca untuk
memberikan masukan yang bersifat membangun demi perbaikan makalah ini
kedepannya, semoga kelak makalah ini dapat dijadikan referensi bagi yang
membutuhkan.
Sekian dan Terima Kasih.

Wassalamu alaikum wr. wb.

Makassar, 15-16 Maret 2015

Muhammad Fauzih Asjikin,

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

....................................................................................

KATA PENGANTAR ....................................................................................

ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................

iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................

1.1. Latar Belakang ....................................................................................

1.2. Tujuan Makalah ..................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................

2.1. Pengantar ...........................................................................................

2.2. Definisi dan Fungsi .............................................................................

2.3. Farmakokinetik ................................................................................... 10


2.4. Farmakodinamik ................................................................................. 16
2.5. Indikasi ............................................................................................. 21
2.6. Kontraindikasi .................................................................................... 21
2.7. Efek samping .................................................................................... 22
BAB III SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 23
3.1. Simpulan ........................................................................................... 23
3.2. Saran .................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 25

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia yang dapat
mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang
sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu ini dibatasi
tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan,
diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa
penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit (Setiawati,
et.al. 2001).
Dahulu farmakologi mencakup pengetahuan tentang sejarah, sumber,
sifat kimia dan fisik, komposisi, efekfisiologi dan biokimia, mekanisme
kerja, absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi dan penggunaan obat.
Namun dengan berkembangnya pengetahuan, beberapa bidang ilmu tersebut
telah berkembang menjadi cabang ilmu tersendiri (Setiawati, et.al. 2001).
Farmakognosi ialah cabang ilmu farmakologi yang mempelajari sifatsifat tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat. Cabang ilmu
ini tidak lagi dipelajari di lakultas kedokteran, tetapi merupakan salah satu
mata pelajaran penting di fakultas farmasi. Mungkin saja ilmu ini menjadi
penting lagi bagi kita kelak, kalau program tanaman obat keluarga semakin
populer (Setiawati, et.al. 2001).
Farmasi

ialah

ilmu

yang

mempelajari

cara

membuat,

memformulasikan, menyimpan, dan menyediakan obat. Dalam batas


tertentu pengetahuan ini diberikan kepada mahasiswa kedokteran, karena
ada kalanya seorang dokter perlu memberikan obat racikan (Setiawati, et.al.
2001).
Dalam ilmu farmakologi terdiri atas beberapa jenis obat-obatan yang
berperan penting terhadap tubuh, baik reseptor maupun penghambatnya.
Salah satu dari jenis obat itu ialah golongan adrenergik dan anti adrenergik,

dimana golongan ini berperan penting terhadap pengaruh sistem saraf


otonom baik untuk stimulan saraf adrenergik maupun pengahmbatnya.
Maka dari itu penulis akan membahas dalam makalah ini secara umum
mengenai obat-obatan adrenergik dan anti adrenergik.

1.2. Tujuan Makalah


Adapun tujuan dapat dicapai dari pendahuluan diatas yaitu :
1.2.1.

Untuk mengetahui apa itu obat adrenergik

1.2.2.

Untuk mengetahui apa itu obat anti adrenergik

1.2.3.

Untuk memahami pula mekanisme dari tiap golongan obat


adrenergik dan anti adrenergik, baik secara farmakokinetiknya dan
farmakodinamiknya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengantar
Bagian motor (eferen) dari sistem saraf dibagi dalam dua subbagian
besar yaitu otonom dan somatik. sistem saraf otonom (SSO; Autonomic
Nervous System, ANS) sifatnya independen di mana aktivitasnya tidak
dipengaruhi kontrol kesadaran. SSO terutama berkaitan dengan dengan
fungsi viseral (seperti curah jantung, aliran darah ke berbagai organ, sistem
pencernaan, dsb.) yang penting bagi kehidupan. Sistem saraf somatik adalah
nonotonom dan berkaitan dengan fungsi yang dipengaruhi oleh kesadaran,
seperti gerakan, pernapasan, dan postur. Kedua sistem mendapat masukan
aferen penting (sensoris) yang menyebabkan sensasi dan memodifikasi
keluaran motor melalui lengkung refleks dengan berbagai ukuran dan
kompleksitas (Katzung, 2001).
Sistem Saraf mempunyai beberapa sifat yang sama dengan sistem
endokrin, yang merupakan sistem utama lain untuk mengontrol fungsi
tubuh. Termasuk di dalamnya adalah integrasi tingkat tinggi di dalam otak,
kemampuan mempengaruhi proses yang terjadi di dalam tubuh di area yang
jauh, dan penggunaan umpan balik negatif secara luas. Kedua sistem
tersebut menggunakan bahan kimia sebagai transmitter dari informasinya.
Di dalam sistem saraf transmitter kimia berada di antara sel saraf dan antara
sel saraf dan sel-sel efektor mereka. Transmisi kimia terjadi melalui rilis
sejumlah kecil substansi transmitter dari terminal saraf ke dalam celah
simpatik. Transmitter kemudian melewati celah secara difusi dan
mengaktifkan atau menghambat sel pascasinaps dengan cara berikatan
dengan molekul reseptor khusus (Katzung, 2001).
Dengan menggunakan obat-obat yang menyerupai atau menghambat
kerja dari transmitter kimia, kita bisa secara selektif memodifikasi fungsi
otonomik. Fungsi ini melibatkan berbagai macam jaringan efektor, termasuk

otot jantung, otot polos, endotelium pembuluh darah, kelenjar eksokrin, dan
ujung saraf prasinaptik. Obat otonom sangat berguna dalam beberapa
keadaan klinis. Sebaliknya, sejumlah besar obat yang digunakan untuk
tujuan lain mempunyai efek yang tidak diinginkan pada fungsi otonomik
(Katzung, 2001).
Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang
ditimbulkannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek
neurotransmitor norepinefrin dan epinefrin (yang disebut juga nor adrenalin
dan adrenalin) dari susunan sarat simpatls. Golongan obat ini disebut juga
obat simpatik atau simpatomimetik, tetapi nama inl kurang tepat karena
aktivitas susunan saraf simpatis ada yang diperantarai oleh transmitor
asetilkolin (Setiawati, 1995).
Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 :
perifer

(1) perangsangan

terhadap 0101 polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan

terhadap kelenjar liur dan keringat; (2) penghambatan perifer terhadap


otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah

otot rangka; (3)

perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan


kekuatan kontraksl:
pernapasan,

(4) perangsangan SSP, misalnya perangsangan

peningkatan

kewaspadaan,

aktivitas

pengurangan nafsu makan; (5) efek metabolik,

psikomotor.

dan

misalnya peningkatan

glikogenolisis di hati dan l.ipolisis dan penglepasan asam lemak bebas dari
jaringan lemak: (6) efek endokrin,

misalnya mempengaruhi sekresi

insulin. renin dan hormon hipofisis; dan (7) etek prasinaptik,

dengan

akibat hambatan atau peningkatan penglepasan neurotransmitor NE dan


ACh (secara f isilologis. efek hambatan leblh penting) (Setiawati, 1995).
Penghambat adrenergik, adrenolitik, atau anti adrenergik ialah
golongan obat yang menghambat perangsangan adrenergik. Berdasarkan
tempat kerjanya, golongan obat ini dibagi atas antagonis adrenoseptor dan
penghambat saraf adrenergik (Setiawati dan Gan, 1995).
Antagonis adrenoseptor atau adrenoseptor bloker ialah obat yang
menduduki adrenoseptor sehingga menghalanginya untuk berinteraksi

dengan obat adrenergik, dan dengan demikian menghalangi kerja obat


adrenergik pada

sel efektornya. Ini berarti

adrenoseptor

bloker

mengurangi respons sel efektor adrenergic terhadap perangsangan saraf


adrenergik maupun terhadap obat adrenergik eksogen. Untuk masingmasing adrenoseptor dan ada penghambatnya yang selektif. Antagonis
adrenoseptor atau - bloker
menduduki reseptor . Sebaliknya,

memblok hanya reseptor dan tidak


antagonis adrenoseptor atau

bloker memblok hanya reseptor dan tidak mempengaruhi reseptor


(Setiawati dan Gan, 1995).
Penghambat saraf adrenergic ialah obat yang mengurangi respons
sel efektor terhadap perangsangan sarat adrenergik, tetapi tidak terhadap
obat adrenergik

eksogen. Obat golongan ini bekerja pada ujung saraf

adrenergic, mengganggu penglepasan dan/atau penyimpanan norepinefrin


(NE) (Setiawati dan Gan, 1995).

2.2. Definisi dan Fungsi


2.2.1. Adrenergik
Adrenergik atau biasa disebut dengan obat simpatomimetik
merupakan golongan obat yang memberikan perangsangan terhadap
saraf adrenergik atau biasa menimbulkan (sebagian) efek yang sama
terhadap stimulan susunan saraf simpatikus dan melepaskan
noradrenalin (NA) pada ujung sarafnya.
Obat adrenergik mempengaruhi reseptor yang dipacu oleh
norepinefrin atau epinefrin. Beberapa obat adrenergik bekerja
langsung terhadap reseptor adrenergik (adrenoseptor) dengan
mengaktifkannya dan disebut simpatomimetik. Obat lainnya, yang
akan dibahas dalam makalah ini, menyekat kerja neurotransmitter
pada reseptor, sementara obat lainnya lagi mempengaruhi fungsi
adrenergik dengan mengganggu pelepasan norepinefrin dari neuron
adrenergik (Mycek, et.all. 2001).

Obat adrenergik dapat digolongkan menjadi dua yaitu


berdasarkan mekanisme kerja dan efek farmakologinya. Menurut
mekanisme kerja dapat dibagi menjadi :

Adenergik yang berefek langsung


Golongan

ini

bekerja

secara

langsung,

membentuk

kompleks dengan reseptor khas. Contohnya epinefrin.

Adrenergik yang berefek tidak langsung


Adrenergik ini bekerja dengan melepaskan katekolamin,
terutama norepenefrin, dari granul-granul penyimpanan diujung
saraf simpatetik atau menghambat pemasukan norepinefrin pada
membran saraf. Contoh : amfetamin, etilamfetamin.

Adrenergik yang berefek campuran


Adrenergik

ini

dapat

menimbulkan

efek

melalui

pengaktifan adrenoreseptor dan melepaskan katekolamin dari


tempat penyimpanan atau menghambat pemasukan katekolamin.
Contoh : efedrin, fenilpropanolamin.

Berdasarkan

efek

farmakologis

atau

penggunaan

terapi, obat adrenergik dibagi menjadi lima golongan :


1. Vasopresor, digunakan untuk pengobatan syok, dengan cara
mengembangkan jaringan perfusi. Contoh : dobutamin HCl,
dopamine HCl, isoproterenol HCl, fenilefrin HCl.
2. Bronkodilator, menyebabkan relaksasi otot polos bronkiola,
dan digunakan sebagai penunjang pada pengobatan asma,
bronchitis, emfisema dan gangguan pada paru-paru. Contoh :
salbutamol sulfat, terbutalin sulfat, klenbuterol, metaproterenol
sulfat, fenoterol HBr, prokaterol HCl, efedrin HCl, epinefrin.
3. Dekongestan hidung, digunakan untuk mengurangi aliran
darah

pada

daerah yang bengkak karena menyebabkan

vasokonstriksi arteriola pada mukosa hidung. Contoh : efedrin


HCl, epinefrin, nafazolin HCl.

4. Midriatik, menyebabkan midriasis dengan cara menimbulkan


kontraksi otot pelebaran iris mata.
5. Dekongestan

mata,

menimbulkan

efek

vasokonstriksi,

midriasis dan menurunkan tekanan dalam mata. Digunakan


untuk mengontrol pendarahan selama operasi mata, pengobatan
glaucoma tiper tertentu, pengobatan beberapa penyakit mata dan
untuk penjernih mata. Contoh : divefrin HCl, efedrin sulfat,
epinefrin HCl, fenilefrin HCl, nafazolin HCl.

2.2.2. Anti Adrenergik


Anti adrenergik atau biasa disebut dengan penghambat
adrenergik

ialah golongan obat yang menghambat perangsangan

adrenergik. Berdasarkan tempat kerjanya, golongan obat ini dibagi


atas antagonis adrenoreseptor dan penghambat saraf adrenergik
(Setiawati dan Gan, 1995).
Antagonis adrenergik (disebut pula bloker, penyekat)
mengikat adrenoreseptor tetapi tidak menimbulkan efek intraseluler
yang diperantarai reseptor seperti lazimnya. obat-obat penyekat ini
bekerja secara reversible dan irreversible yang melekat pada
reseptor, sehingga mencegah aktivasi reseptor oleh katekolamin
endogen. Seperti halnya agonis, maka antagonis adrenergik
diklasifikasina sesuai dengan afinitas relatifnya terhadap reseptor
alfa atau beta pada sistem saraf tepi (Mycek, et.all. 2001).
Antagonis adrenoseptor alfa (-Bloker) terbagi atas tiga
yakni (Setiawati dan Gan, 1995):
a. -Bloker Nonselektif
Ada 3 kelompok : (1) derivat haloalkilamin; (2) derivat
imidazolin; dan (3) alkaloid ergot.
1. Derivat haloalkilamin
Obat
farmakodinamik

golongan
yang

ini

serupa.

memperlihatkan

efek

Sebagai

ialah

contoh

dibenamin,

yang

fenoksibenzamin,

ditemukan
yang

pertama

potensinya

6-10

kali;
kali

dan
potensi

dibenamin serta diabsorpsi lebih baik pada pemberian oral.

2. Derivat imidazolin
Fentolamin
nonselektif

yang

dan

tolazolin

kompetitif.

adalah

Efeknya

-Bloker

pada

sistem

kardiovaskular mirip sekali dengan fenoksibenzamin. Obatobat ini juga menghambat reseptor serotonin, melepaskan
histamin dari sel mast, merangsang reseptor muskarinik di
saluran cerna, merangsang sekresi asam lambung, saliva, air
mata dan keringat.

3. Alkaloid ergot
Terdapat 3 jenis alkaloid ergot alam yakni
ergonovin, ergotamin, dan ergotoksin. Jenis ergonovin, yang
tidak

mempunyai

menunjukkan

efek

rantai

samping

polipeptida,

tidak

penghambatan

adrenergik.

Jenis

ergotamin dan ergotoksin, yang mempunyai rantai samping


polipeptida (alkaloid ergot peptida), menunjukkan efek
penghambatan reseptor adrenergik . Di antara alkaloid ergot
alam, ergotoksin menunjukkan efek blokade adrenoseptor
paling kuat. Ergotoksin ternyata merupakan campuran 3
alkaloid, yakni ergokornin, ergokristin, dan ergokriptin, yang
mempunyai efek farmakologik yang mirip satu sama lain.
Dihidrogenasi

inti

asam

lisergat

memperkuat

efek

penghambatan adrenoseptor dan memperlemah efek


perangsangan otot polos melalui reseptor triptaminergik.
Penggunaan utama alkaloid ergot adalah untuk
stimulasi

kontraksi

uterus

mengurangi nyeri migren.

setelah

partus

dan

untuk

b. 1-Bloker Selektif
Dalam golongan ini termasuk derivat kuinazolin dan
beberapa obat lain, misalnya indoramin dan urapidil, yang masih
belum mapan statusnya sehingga tidak akan dibahas di sini.
Derivat kuinazolin, dalam kelompok ini termasuk
prazosin sebagai prototipe, terazosin, doksazosin, trimazosin dan
bunazosin. Semuanya merupakan antagonis kompetitif pada
reseptor 1 yang sangat selektif dan sangat poten. Rasio
selektivitasnya (afinitas terhadap reseptor 1 dibanding reseptor
2) sekitar 300 untuk prazosin dan > 600 untuk doxazosin.
c. 2-Bloker Selektif.
Sebagai 2 bloker yang selektif hanya dikenal
yohimbin,

yang

ditemukan

dalam

kulit

batang

pohon

Pausinystalia yohimbe dan dalam akar Rauwolfia. Struktur


kimianya mirip reserpin.
Yohimbin juga merupakan antagonis serotonin.
Obat

ini

banyak

di

pakai

untuk

impotensi

meskipun

efektivitasnya tidak jelas terbukti. Obat ini meningkatkan


aktivitas seksual pada tikus jantan, dan mungkin berguna bagi
beberapa penderita dengan impotensi psikogenik.
Antagonis

adrenoseptor

(-Bloker),

dikloroisoproterenol adalah -Bloker yang pertama ditemukan tetapi


tidak digunakan karena obat ini juga merupakan agonis parsial yang
cukup kuat. Propranolol, yang ditemukan kemudian, menjadi
prototipe golongan obat ini. Sampai sekarang, semua -Bloker baru
dibandingkan dengan propranolol (Setiawati dan Gan, 1995).
Penghambat Saraf Adrenergik, menghambat aktifitas
saraf adrenergik berdasarkan gangguan sintesis, atau penyimpanan
dan penglepasan neurotransmitor diujung saraf adrenergik. Dalam

10

kelompok ini termasuk guanetidin, guanadrel, reserpin, dan


metirosin (Setiawati dan Gan, 1995).

2.3. Farmakokinetik
2.3.1. Absorpsi
Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat dari
tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses
tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat
yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah
bioavabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen
terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk
utuh/aktif. Ini terjadi karena, untuk obat-obat tertentu, tidak semua
yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi
sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus
pada pemberian oral dan/atau dihati pada lintasan pertamanya
melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme
atau eleminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination)
atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavabilitas
oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin
hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan
kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat
sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini
dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral
(misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal, atau
memberikannya bersama makanan (Setiawati, et.all. 1995).
Contoh obat pada golongan adrenergik yaitu, Epinefrin.
Pada pemberian oral, epi tidak mencapai dosis terapi karena
sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak
terdapat pada dinding usus dan hati. Pada penyuntikan SK, absorpsi
yang lambat terjadi karena vasokontriksi lokal, dapat dipercepat
dengan memijat tempat suntikan. Absorpsi yang lebih cepat terjadi

11

dengan penyuntikan IM. Pada pemberian lokal secara inhalasi,


efeknya terbatas terutama pada saluran napas, tetapi efek sistemik
dapat terjadi, terutama bila digunakan dosis besar (Setiawati, 1995).
Contoh obat pada golongan anti adrenergik yaitu, absorpsi
dari derivat haloalkilamin misalnya fenoksibenzamin dari saluran
cerna hanya 20-30%. Waktu paruhnya kurang dari 24 jam, tetapi
lama kerjanya bergantung juga pada kecepatan sintesis reseptor alfa.
Diperlukan waktu berhari-hari sebelum jumlah reseptor alfa pada
permukaan sel target kembali normal. Fenoksibenzamin tersedia
dalam bentuk kapsul 10 mg untuk pemberian oral (Setiawati dan
Gan, 1995).
Kemudian contoh lain dari derivat kuinazolin bagian dari
1-bloker selektif, absorpsinya yaitu semua derivat kuinazolin
diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral, terikat kuat pada
protein plasma (terutama 1-glikoprotein) (Setiawati dan Gan, 1995).

2.3.2. Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan ke seluruh
tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah,
distribusi

obat

juga

ditentukan

oleh sifat fisikokimianya.

Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di


dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah
penyerapan. yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya
jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua
jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak
sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan
lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu
yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi cepat
karena celah antarsel endotel kapiler

mampu

melewatkan semua

molekul obat bebas, Kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam
lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalarn sel,

12

sedangkan

obat

yang tidak larut

dalam lemak

akan

sulit

menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terutama


di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada
protein plasma, hanya obat bebas yang dapatberdifusi
mencapai keseimbangan.

Derajat ikatan

obat

dengan

dan
protein

plasma ditemukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat,


dan kadar proteinnya
akan berkurang

sendiri. Pengikatan

obat oleh protein

pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi

protein (Setiawati, et.all. 1995).


Obat dapat terakumulasi dalam sel jaringan karena
ditransport
dengan

secara

aktif,

komponen

atau lebih sering karena ikatannya

intrasel yaitu protein,

nukleoprotein. Misalnya, pada penggunaan

fosfolipid, atau

kronik, kuinakrin akan

rnenumpuk dalam sel hati. Jaringan lemak dapat berlaku sebagai


reservoir yang penting
Protein

untuk obat larut lemak, misalnya tiopental.

plasma juga merupakan reservoir obat, Obat yang bersifat

asam terutama terikat pada albumin plasma, sedangkan


bersifat basa

obat yang

pada asam 1-glikoprotein. Tulang dapat menjadi

reservoar untuk logam berat misalnya timbal (Pb) atau rodium.


Cairan transeluler

misalnya asam lambung, berlaku sebagai

reservoar

obat

untuk

yang

bersitat

basa lemah

akibat

perbedaan pH yang besar antara darah dan cairan lambung.


Saluran cerna Juga berlaku sebagai

reservoir untuk obat oral

yang diabsorpsi secara lambat, misalnya obat dalam sediaan lepas


lambat. Obat yang terakumulasi ini berada dalam keseimbangan
dengan obat dalam plasma dan akan dilepaskan sewaktu kadar
plasma

menurun, maka

adanya

reservoar

ini dapat

memperpanjang kerja obat (Setiawati, et.all. 1995).


Redistribusi
lain merupakan

obat dari

tempat kerjanya

ke jaringan

salah satu faktor yang dapat manghentikan

kerja obat. Fenomen ini hanya terjadi pada obat yang sangat larut

13

lemak, misalnya tiopental. Karena aliran darah ke otak sangat


tinggi. maka setelah disuntikkan IV, obat ini segera mencapai
kadar maksimal

dalam

otak.

Tetapi karena

kadar dalam

plasma dengan cepat menurun akibat difusi ke jaringan


maka

tiopental

dalam

kembali ke dalam

otak juga secara

cepat

lain,

berdifusi

plasma untuk selanjutnya diredistribusi

ke

jaringan lain (Setiawati, et.all. 1995).


Distribusi dari sirkulasi ke SSP sulit terjadi karena obat
harus menembus sawar khusus yang dikenal sebaqai sawar darah
otak. Endolel kapiler otak tidak mempunyai

celah antarsel

maupun vesikel pinositotik, tetapi mempunyai banyak taut cekat


(light junction). Di samping itu, terdapat sel glia yang mengelilingi
kapiler otak ini. Dengan demikian, obat tidak hanya
melintasi

endotel

perikapiler

untuk

kapiler

tetapi juga

mencapai cairan

membran

harus
sel gila

lnterstitial jaringan

otak.

Karena itu, kemarnpuan obat untuk menembus sawar darah otak


hanya ditentukan
bentuk non-Ion
hampir
kuaterner

oleh, dan sebanding


dalam

seluruhnya

lemak.

dengan. kela- rutan

Obat yang seluruhnya

dalam bentuk ion,

misalnya

atau

amonium

atau penisilin, dalam keadaan normal tidak dapat

masuk ke otak dari darah. Penisilin dosis besar sekali dapat masuk
ke otak, tetapi penisilin
otak bila terdapat

radang

dosis terapi hanya


selaput

meningkat di tempat radang, Eliminasi


ke darah terjadi rnelaluli

dapat masuk ke

otak, karena permeabilitas


obat dari otak kembali

cara, yakni (1) secara transport aktif

melalui epitel pleksus koroid dari cairan serebrospinal (CSS) ke


kapilar darah untuk ion-Ion organik, misalnya penisilin;

(2)

secara difusi pasif lewat sawar darah otak dan sawar darah- CSS
di pleksus koroid untuk obat yang larut lemak; dan (3) Ikut
bersama aliran CSS melalul vili araknoid ke sinus vena untuk

14

semua obat dan metabolit

endogen,

larut lemak maupun tidak,

ukuran kecil maupun besar (Setiawati, et.all. 1995).


Sawar

uri yang memisahkan

darah ibu dan darah

Janin terdiri dari sel epitel vili dan sel endotel kapiler janin;

jadi,

tidak berbeda dengan sawar saluran cerna. Karena itu, semua


obat

oral

yang dicerna

Distribusi obat dalam


dengan

darah Ibu

ibu akan masuk


tubuh

dalam

janin
waktu

ke sirkulasi

Janin.

mencapai keseimbangan
paling

cepat 40 menit

(Setiawati, et.all. 1995).

2.3.3. Metabolisme
Biotransformasi
perubahan

struktur

atau

metabolism

obat

ialah

proses

kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan

dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah


menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang
larut dalam lemak sehingga

lebih mudah diekskresi

melalui

ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga


biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri

kerja obat.

Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau
lebih toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru
diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan
mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau dieksresikan
sehingga kerjanya berakhir (Setiawati, et.all. 1995).
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat
dibedakan berdasarkan letaknya di dalam sel, yakni enzim mikrosom
yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi
in vitro membentuk mikrosom), dan enzim nonmikrosom. Kedua
macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati,
tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel
saluran cerna, dan plasma. Dilumen saluran cerna juga terdapat
enzim nonmikrosom yang dihasilkan oleh flora usus. Enzim

15

mikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi lainnya, beberapa reaksi


oksidasi, serta reaksi reduksi dan hidrolisis (Setiawati, et.all. 1995).
Sebagian besar biotransformasi obat dikatalisis oleh enzim
mikrosom hati, demikian juga biotransformasi asam lemak, hormon
steroid, dan bilirubin. Untuk itu obat harus larut lemak agar dapat
melintasi membran, masuk ke dalam retikulum endoplasma, dan
berikatan dengan enzim mikrosom (Setiawati, et.all. 1995).
Contoh metabolisme obat adrenergik yakni, epinefrin. Epi
stabil dalam darah. Degradasi Epi terutama terjadi dalam hati yang
banyak mengandung kedua enzim COMT dan MAO, tetapi jaringan
lain juga dapat merusak zat ini. Sebagian besar Epi mengalami
biotransformasi, mula-mula oleh COMT dan MAO, kemudian terjadi
oksidasi, reduksi dan/atau konjugasi, menjadi metanefrin, asam 3metoksi-4-hidroksimandelat,

3-metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol,

dan bentuk konjugasi glukuronat dan sulfat. Metabolit-metabolit ini


bersama Epi yang tidak diubah dikeluarkan dalam urin. Pada orang
normal, jumlah Epi yang utuh dalam urin hanya sedikit. Pada
penderita feokromositoma, urin mengandung Epi dan NE utuh dalam
jumlah besar bersama metabolitnya (Setiawati, et.all. 1995).
Contoh metabolisme obat anti adrenergik yakni, reserpin
dari golongan bloker saraf adrenergik. Reserpin dimetabolisme
seluruhnya, tidak ada bentuk utuh yang disekresi dalam urin. Obat
ini tersedia dalam bentuk tablet 0,1 mg dan 0,25 mg. Kemudian
Guanetidin, sekitar 50% mengalami metabolisme dan sisanya
diekresikan utuh dalam urin. Karena waktu paruhnya yang panjang,
guanetidin dapat diberikan sekali sehari, dan keadaan steady state
dicapai dalam waktu minimal 2 minggu (Setiawati dan Gan, 1995).

2.3.4. Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ
ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam

16

bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat dari
pada obat larut lemak, kecuali pada ekresi melalui paru (Setiawati,
et.all. 1995).
Salah satu organ yaitu ginjal, merupakan organ ekresi yang
terpenting. Ekskresi di sini merupakan resultante dari 3 proses, yakni
filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan
reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal (Setiawati, et.all.
1995).
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata,
air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali
sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat
digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat
tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam
toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik (Setiawati, et.all.
1995).

2.4. Farmakodinamik
2.4.1. Interaksi Obat dengan tubuh
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang
bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja, atau sistem fisiologik
yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau
antagonistik. Interaksi farmakodinamik merupakan sebagian besar
dari interaksi obat yang penting dalam klinik. Berbeda dengan
interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali dapat
di ekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang
berinteraksi, karena penggolongan obat memang berdasarkan
persamaan efek farmakodinamiknya. Di samping itu, kebanyakan
interaksi farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya, karena itu
dapat dihindarkan bila dokter mengetahui mekanisme kerja obat
yang bersangkutan dan menggunakan logikanya (Setiawati, 1995).

17

Interaksi pada reseptor, interaksi pada sistem reseptor


yang sama biasanya merupakan antagonisme antara agonis dan
antagonis/bloker dari reseptor yang bersangkutan. Beberapa contoh
agonis dan antagonis untuk reseptor tertentu misalnya reseptor
adrenergik 1 dengan agonis (adrenergik) norepinefrin, epinefrin,
fenilefrin, dan fenilpropanolamin. Adapun antagonisnya (anti
adrenergik) yakni fenoksibenzamin, fentolamin, prazosin, fenotiazin,
dan antidepresi trisiklik (Setiawati, 1995).
Interaksi fisiologik, interaksi pada sistem fisiologik yang
sama dapat menghasilkan peningkatan atau penurunan respons
(potensial atau antagonisme) (Setiawati, 1995). Misalnya obat
antihipertensi mengalami penurunan respons akibat interaksi pada
sistem fisiologik yang sama dengan obat simpatomimetik.
Perubahan dalam kesetimbangan cairan dan elektrolit,
perubahan ini dapat mengubah efek obat, terutama yang bekerja
pada jantung, transmisi neuromuskular dan ginjal (Setiawati, 1995).
Contoh obatnya yaitu obat A : antihipertensi (misalnya guanetidin,
diuretik, -bloker) dan obat B : fenilbutazon, oksifenbutazon,
indometasin. Retensi air dan garam oleh obat B akan mengurangi
bahkan mengubah efek dari obat A.
Gangguan mekanisme ambilan amin di ujung saraf
adrenergik, penghambat saraf adrenergik (guanetidin, bretilium,
betanidin, debrisokuin, dan guanadrel) diambil oleh ujung saraf
adrenergik dengan mekanisme transport aktif untuk noreepinefrin.
Mekanisme ambilan ini, yang diperlukan agar obat tersebut dapat
bekerja (sebagai antihipertensi), dapat dihambat secara kompetitif
oleh amin simpatomimetik misalnya yang terdapat dalam obat flu
(fenilefrin, fenilpropanolamin, efedrin. Pseudoefedrin) atau obat
yang menekan napsu makan (amfetamin, mazindol), antidepresi
trisiklik (amitriptilin, imipramin, desipramin, maprotilin), kokain dan
fenotiazin

(klorpromazin).

Dengan

demikian,

obat

ini

18

mengantagonisasi efek hipotensif penghambat saraf adrenergik


(Setiawati, 1995).

2.4.2. Mekanisme Obat


2.4.2.1. Misalnya epinefrin dari golongan adrenergik
Epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan
otot rangka melalui reseptor 2; glikogen diubah menjadi
glukosa-1-fosfat dan kemudian glukosa-6-fosfat. Hati
mempunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak,
sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot rangka
melepas asam laktat. Epi juga menyebabkan penghambatan
sekresi insulin akibat dominasi aktivasi reseptor 2 yang
menghambat,

terhadap

aktivasi

reseptor

yang

menstimulasi sekresi insulin. Selain itu Epi menyebabkan


berkurangnya ambilan (uptake) glukosa oleh jaringan
perifer, sebagian akibat efeknya pada sekresi insulin.
Akibatnya, terjadi peningkatan kadar glukosa dan laktat
dalam darah, dan penurunan kadar glikogen dalam hati dan
otot rangka (Setiawati, 1995).
Epi melalui aktivasi reseptor 3 meningkatkan
aktivitas lipase trigliserida dalam jaringan lemak, sehingga
mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak
bebas dan gliserol. Akibatnya, kadar asam lemak bebas
dalam darah meningkat (Setiawati, 1995).
Efek kalorigenik Epi terlihat sebagai peningkatan
pemakaian oksigen sebanyak 20-30% pada pemberian dosis
terapi. Efek ini terutama disebabkan oleh peningkatan
katabolisme lemak, yang menyediakan lebih banyak
substrat untuk oksidasi (Setiawati, 1995).
Suhu badan sedikit meningkat, hal ini antara lain
disebabkan vasokontriksi di kulit (Setiawati, 1995).

19

2.4.2.2. Misalnya Reserpin dari golongan anti adrenergik


(penghambat saraf adrenergik)
Reserpin mengosongkan katekolamin dan 5-HT di
berbagai organ termasuk medula adrenal dan otak. Deplesi
di medula adrenal lebih lambat dan kurang lengkap
dibandingkan dengan di jaringaan lain (Setiawati dan Gan,
1995).
Reserpin terikat dengan kuat pada membran vesikel
dalam ujung saraf adrenergik perifer maupun sentral. Ikatan
ini menyebabkan hambatan mekanisme transport aktif NE
dan amin lain dari sitoplasma ke dalam vesikel adrenergik.
Hambatan ini tidak berdasarkan kompetisi pada sistem
transport maupun pergerseran dalam vesikel karena jumlah
molekul reserpin terlalu kecil untuk itu. Selain itu,
hambatan ini bersifat irreversible sehingga kembalinya
kadar NE di ujung saraf tergantung dari sintesis dan tranport
vesikel baru dari badan saraf, dan ini memerlukan waktu
berhari-hari

sampai

berminggu-minggu

setelah

obat

dihentikan (Setiawati dan Gan, 1995).


Karena kerja reserpin irreversible, maka kembalinya
kadar katekolamin jaringan berlangsung lambat. Akibatnya,
dosis berulang menimbulkan efek kumulatif meskipun
diberikan dengan interval 1 minggu atau lebih (Setiawati
dan Gan, 1995).
Berbeda dengan guanetidin, reserpin dosis biasa
tidak menimbulkan efek simpatomimetik sebelum terjadi
hambatan

karena

sebagian

besar

katekolamin

yang

dilepaskan telah dirusak oleh MAO intraneural (Setiawati


dan Gan, 1995).
Pemberian

kronik

reserpin

menimbulkan

supersensitivitas terhadap katekolamin akibat pengosongan

20

kronik katekolamin diberbagai jaringan (Setiawati dan Gan,


1995).

2.4.3. Durasi & Waktu Paruh


Dalam pengobatan durasi tiap obat berbeda-beda sesuai
dengan interaksi obat dengan berbagai faktor yang ada, misalnya
faktor interaksi obat dengan reseptornya atau dengan interaksi
fisiologisnya. Semakin baik interaksi yang terjadi maka semakin
cepat pula durasi atau waktu yang dibutuhkan suatu obat untuk
bereaksi didalam tubuh. Tiap obat sendiri dari golongan manapun
memiliki tingkat afinitas yang berbeda-beda, maka dari itu juga
tergantung dari tiap individu itu menerima proses dari suatu obat.

2.4.4. Efek Terapi


Untuk

Adrenergik,

misalnya

Epinefrin.

Epinefrin

merupakan obat utama yang digunakan untuk pengobatan gawat


setiap kondisi saluran napas yang ditandai oleh bronkokontriksi
dengan kesulitan bernapas. Oleh karena itu, pada pengobatan asma
akut dan syok anafilaktik, epinefrin merupakan obat pilihan yang
dalam beberapa menit setelah suntikan subkutan mampu dengan
jelas sekali memperbaiki kesulitan bernapas. Pemberian ini boleh
diulangi setelah beberapa jam. Namun agonis 2 selektif seperti
terbutalin, nampaknya lebih unggul untuk pengobatan asma kronik
karena masa kerjanya panjang dan efek pacu jantung minimal
(Mycek, et.all. 2001).
Untuk Anti Adrenergik, misalnya reserpin. Satu-satunya
penggunaan terapi reserpin adalah untuk pengobatan hipertensi.
Reserpin dosis rendah dalam kombinasi dengan diuretik merupakan
antihipertensi yang efektif, ditoleransi dengan baik, dengan harga
yang sangat murah (Setiawati dan Gan, 1995).

21

2.5. Indikasi
Untuk Adrenergik, salah satu contohnya yaitu manfaat Epi dalam
klinik berdasarkan efeknya terhadap pembuluh darah, jantung dan otot polos
bronkus. Penggunaan paling sering ialah untuk menghilangkan sesak nafas
akibat bronkokontriksi, untuk mengatasi reaksi hipersensitivitasnya terhadap
obat maupun alergen lainnya, dan untuk memperpanjang masa kerja
anestetik lokal. Epi juga dapat digunakan untuk merangsang jantung pada
waktu henti jantung oleh berbagai sebab. Secara lokal obat ini digunakan
untuk menghentikan perdarahan kapiler (Setiawati, 1995).
Untuk Anti Adrenergik, salah satunya yaitu Fenoksibenzamin.
Penggunaan

utama

fenoksibenzamin

adalah

untuk

pengobatan

feokromositoma, yakni tumor anak ginjal yang melepaskan sejumlah besar


NE dan Epi ke dalam sirkulasi dan menimbulkan hipertensi yang episodik
dan berat. Fenoksibenzamin diberikan pada penderita yang tidak dapat di
operasi dan yang dalam persiapan untuk operasi. Obat ini mengendalikan
episode hipertensi berat dan mengurangi efek buruk NE dan Epi lainnya,
misalnya berkurangnya volume plasma dan kerusakan miokard (Setiawati
dan Gan, 1995).

2.6. Kontraindikasi
Untuk Adrenergik, salah satu contohnya ialah Epinefrin. Epi
dikontraindikasikan pada penderita yang mendapat -bloker nonselektif,
karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor pembuluh darah
dapat menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak (Setiawati,
1995).
Untuk Anti Adrenergik, salah satu contohnya ialah Reserpin.
Depresi biasanya muncul dengan sangat perlahan dalam waktu bermingguminggu sampai berbulan-bulan sehingga mungkin tidak dihubungkan
dengan pemberian reserpin. Reserpin harus dihentikan begitu muncul gejala
depresi dan obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan riwayat
depresi. Pemberian kronik reserpin menimbulkan supersensitivitas terhadap

22

katekolamin akibat pengosongan kronik katekolamin di berbagai jaringan.


(Nurmagfirah, 2013).

2.7. Efek Samping


Untuk Adrenergik, salah satu obat golongan adrenergik yang
memiliki efek samping yakni, Epinefrin. Pemberian Epi dapat menimbulkan
gejala seperti perasaan takut, khawatir, gelisah, tegang, nyeri kepala
berdenyut, tremor, rasa lemah, pusing, pucat, sukar bernapas, dan palpitasi.
Gejala-gejala ini mereda dengan cepat setelah istrahat. Penderita hipertiroid
dan hipertensi lebih peka terhadap efek-efek tersebut diatas maupun
terhadap efek pada sistem kardiovaskular (Setiawati, 1995).
Untuk Anti Adrenergik, salah satu obat golongan anti adrenergik
yang memiliki efek samping yakni, Reserpin. Efek samping yang paling
sering adalah sedasi dan tidak mampu berkonsentrasi atau melakukan tugas
yang kompleks. Kadang-kadang terjadi depresi psikotik sampai akhirnya
bunuh diri. Reserpin harus dihentikan ketika muncul gejala depresi. Efek
samping lain adalah hidung tersumbat dan eksaserbasi ulkus peptikum, yang
terakhir ini jarang terjadi pada dosis rendah (Setiawati dan Gan, 1995).

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

3.1. Simpulan
Sistem Saraf mempunyai beberapa sifat yang sama dengan sistem
endokrin, yang merupakan sistem utama lain untuk mengontrol fungsi
tubuh. Termasuk di dalamnya adalah integrasi tingkat tinggi di dalam otak,
kemampuan mempengaruhi proses yang terjadi di dalam tubuh di area yang
jauh, dan penggunaan umpan balik negatif secara luas. Kedua sistem
tersebut menggunakan bahan kimia sebagai transmitter dari informasinya.
Di dalam sistem saraf transmitter kimia berada di antara sel saraf dan antara
sel saraf dan sel-sel efektor mereka. Dengan menggunakan obat-obat yang
menyerupai atau menghambat kerja dari transmitter kimia, kita bisa secara
selektif memodifikasi fungsi otonomik. Fungsi ini melibatkan berbagai
macam jaringan efektor, termasuk otot jantung, otot polos, endotelium
pembuluh darah, kelenjar eksokrin, dan ujung saraf prasinaptik. Obat
otonom sangat berguna dalam beberapa keadaan klinis. Sebaliknya,
sejumlah besar obat yang digunakan untuk tujuan lain mempunyai efek
yang tidak diinginkan pada fungsi otonomik. Obat adrenergik adalah obat
yang ditimbulkannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek
neurotransmitor norepinefrin dan epinefrin (yang disebut juga nor adrenalin
dan adrenalin) dari susunan sarat simpatls. Golongan obat ini disebut juga
obat simpatik atau simpatomimetik, tetapi nama inl kurang tepat karena
aktivitas susunan saraf simpatis ada yang diperantarai oleh transmitor
asetilkolin. Penghambat adrenergik, adrenolitik, atau anti adrenergik ialah
golongan obat yang menghambat perangsangan adrenergik. Berdasarkan
tempat kerjanya, golongan obat ini dibagi atas antagonis adrenoseptor dan
penghambat saraf adrenergik.

24

Obat adrenergik dan anti adrenergik merupakan obat yang berfungsi


memberikan stimulan pada sistem saraf otonom dan menghambatnya pula.
Masing-masing memiliki fase farmakokinetik dan farmakodinamik yang
berbeda-beda sesuai dengan mekanisme kerjanya.
3.2. Saran
Adapun saran yang diajukan yakni :
3.2.1. Agar kiranya diberikan masukan berupa saran dan kritikan untuk
perbaikan makalah ini kedepannya.
3.2.2. Semoga dapat dijadikan referensi mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Katzung, Bertram G. 2001. Farmakologi : Dasar dan Klinik Edisi Pertama-.


Jakarta : Salemba Medika.
Mycek, Mary J, et.all. 2001. Farmakologi : Ulasan Bergambar -Ed. 2-. Jakarta :
Widya Medika.
Nurmagfirah, Nima. 2013. Bloker saraf adrenergik. Makassar :
http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/32674987/BLOKER
_SARAF_ADRENERGIK.docx?AWSAccessKeyId=AKIAJ56TQJRTW
SMTNPEA&Expires=1426003124&Signature=aJRI3iiBNdDqFtylm%2
Be223xByDs%3D (Diunduh pada tanggal 10 Maret 2015).
Setiawati, Arini., et.all. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4 (Dengan
Perbaikan) 1.Pengantar Farmakologi. Jakarta : Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Setiawati, Arini. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4 (Dengan Perbaikan)
5.Adrenergik. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Setiawati, Arini dan Sulistia Gan. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4
(Dengan Perbaikan) 6.Penghambat Adrenergik. Jakarta : Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Setiawati, Arini. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4 (Dengan Perbaikan)
54.Interaksi Obat. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai