Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN

PENYAKIT KEJANG DEMAM DAN SEPSIS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak dengan dosen

Pembimbing Ibu Tina Shina Parulian S.,M.Kep,Ns,Sp.Kep.An

Oleh :

Charles Ananta Adi 30140116001

Ida Royani Br Sitohang 30140116012

Rani Agustina Br Barus 30140116023

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS

Jalan Parahyangan Kav. 8 Blok B/1, Kota Baru Parahyangan

2017
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha ESA, karena
atas rahmat dan pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah
Keperawatan Anak yang berjudul “ Asuhan Keperawatan pada anak dengan
penyakit Kejang Demam dan Sepsis”. Dalam penulisan makalah ini, penulis juga
tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah
Keperawatan Anak yaitu Ibu Tina Shina Parulian S.,M.Kep,Ns,Sp.Kep.An

Semoga makalah ini bisa menjadi manfaat bagi dan menjadikan referensi bagi
kita, sehingga lebih profesional dalam menjalankan tugas sebagai tenaga kerja
kesehatan. Karya tulis ini juga sebagai syarat untuk memenuhi mata kuliah
Keperawatan anak. Ditunjukan kepada mahasiswa-mahasiswi STIKes Santo
Borromeus serta masyarakat umum terutama tenaga kesehatan dan semua yang
membaca makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.


Untuk itu, penulis mengaharapkan adanya kritikan dan saran yang membangun guna
kesempurnaan makalah ini. Selanjutnya penulis berharap dapat menambah wawasan
teman-teman dengan adanya materi ini, akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Bandung, Maret 2018

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Masalah

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 KEJANG DEMAM

2.1.1 Pengertian

2.1.2 Anatomi Fisiologi

2.1.3 Etiologi

2.1.4 Patofisiologi

2.1.5 Prognosis

2.1.6 Klasifikasi

2.1.7 Gambaran Klinik

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

2.1.9 Komplikasi

2.1.10 Penatalaksanaan

2.2.11 Masalah Keperawatan

2.2.12 Patoflow

2.2 SEPSIS

2.2.1 Pengertian

2.2.2 Anatomi Fisiologi

2.2.3 Etilogi
2.2.4 Epidemiologi

2.2.5 Patofisiologi

2.2.6 Kriteria Diagnosis

2.2.7 Manifestasi Keperawatan

2.2.8 Komplikasi

2.2.9 Penatalaksanaan

2.2.10 Patoflow

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Asuhan Keperawatan pada bayi dan anak dengan penyakit kejang demam.

3.2 Asuhan Keperawatan pada bayi dan anak dengan penyakit sepsis

BAB VI PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan hal yang penting artinya bagi sebuah keluarga. Selain
sebagai penurus keturunan, anak pada akhirnya juga sebagai generasi penerus
bangsa, oleh karena itu tidak satupun orang tua yang menginginkan anaknya jatuh
sakit, lebih-lebih bila anaknya mengalami kejang demam.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering
dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi kerena adanya kenaikan suhu tubuh
(suhu tubuh rektal di atas 38 ̊C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul
infeksi saluran pencernaan.
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan
sampai 4 tahun. Hampir 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah
menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada anak laki laki
daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan
maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki tersebut. Untuk itu tenaga
perawat/para medis dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi keadaan tersebut
serta mampu memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga dan penderita, yang
meliputi aspek promotif, kuratif, dan rehabilitatif secara terpadu dan
berkesinambungan serta memandang klien sebagai satu kesatuan yang utuh secara
bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada kejang demam adalah:
mencegah/mengendalikan aktivitas kejang, melindungi pasien dari trauma,
mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri yang positif, memberikan
informasi kepada keluarga tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan
penangannya.
Sepsis adalah systemic inflammation respons syndrome (SIRS) yang disertai
dugaan atau bukti ditemukannya infeksi di dalam darah. Kondisi patologis pada
keadaan sepsis (sepsis berat atau syok sepsis) dapat mempengaruhi pada hampir
setiap komponen sel sirkulasi mikro, termasuk sel endotel, sel otot polos, leukosit,
eritrosit, dan jaringan. Jika tidak dikoreksi secara tepat, suplai aliran darah mikro
yang jelek dapat menyebabkan distress respirasi pada jaringan dan sel dan lebih
lanjut lagi menyebabkan disfungsi sirkulasi mikro yang hasil akhirnya adalah
kegagalan organ. Sirkulasi mikro menjamin ketersediaan oksigen untuk tiap sel dan
jaringan, menjadi penentu organ berfungsi baik, atau tidak. Disfungsi sirkulasi mikro
yang terjadi selama beberapa waktu dapat menjadi penggerak utama kondisi
patologis sepsis yang berakibat pada kegagalan organ yang kemudian dapat terjadi
kegagalan multiorgan. (Trzeciak, 2005: Sareharto, 2007)

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kejang demam dan sepsis?
2. Apa etiologi dari kejang demam dan sepsis?
3. Bagaimana patofisiologi dari kejang demam dan sepsis?
4. Bagimana prognosis dari kejang demam dan sepsis?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang dari kejang demam dan sepsis?
6. Apa saja komplikasi dari kejang demam dan sepsis?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada kejang demam dan sepsis?
8. Apa saja masalah keperawatan pada kejang demam dan sepsis

C. Tujuan Rumusan Masalah


1. Mengetahui pengertian dari kejang deman dan sepsis.
2. Untuk mengetahui etiologi dari kejang deman dan sepsis.
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari kejang deman dan sepsis.
4. Untuk mengetahui bagaimana prognosis dari deman dan sepsis
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari deman dan sepsis
6. Untuk mengetahui komplikasi dari deman dan sepsis
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan untuk kejang deman dan sepsis.
8. Untuk mengetahui masalah keperawatan dari kejang deman dan sepsis.
BAB II
TINJAUAN TEORI

KEJANG DEMAM

PENGERTIAN

Kejang demam

Yang dimaksud dengan kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan
kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal dia atas 38°C) yang
disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam merupakan kelainan
neurologis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan anak
umur 6 bulan dampai 4 tahun. Hampir 3% dari anak yang berumur dibawa 5 tahun
pernah menderita kejang demam. Pada percobaan binatang, suhu yang tinggi dapat
menyebabkan terjaditerjadinya bangkitan kejang.

Kejang pada anak

Penyebab kejang pada anak dapat karena infeksi, kerusakan jaringan otak
dan faktor lain yang dapat menyebabkan gangguan pada fungsi otak. Keadaan
tersebut dapat dijumpai pada:

1. Kejang demam
2. Epilepsi
3. Meningitis purulenta
4. Meningitis tuberkulosa
5. Hidrosefalus
6. Cerebral palsy
7. Hemiplegia infantil akut
8. Spina bifida
ANFATOMI FISIOLOGI

Anfis Persyarafan

(menurut setiadi 2007)

Sistem saraf pusat, meliputi otak yaitu suatu alat tubuh yang sangat penting
karena pusat komputer dari semua alat tubuh. Bagian dari saraf sentral yang terletak
didalam rongga tengkorak (kranium) yang di bungkus oleh selaput otak yang kuat.
Berat otak orang dewasa 1400gram.

1. Struktur sel saraf (neuron)


 Setiap neuron terdiri dari satu
badan sel yang di dalamnya
terdapat sitoplasma dan inti sel.
Dari badan sel keluar dua
macam serabut saraf, yaitu
dendrit dan akson (neurit).
(Struktur dan fungsi sel saraf penyusun
jaringan saraf pada sistem koordinasi)
 Dendrit berfungsi menangkap dan mengirimkan impuls ke badan sel saraf,
sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke jaringan
lain. Akson biasanya sangat panjang. Sebaliknya, dendrit pendek.
2. Jenis sel saraf
Terdapat 5 (lima) jenis sel saraf berdasarkan
bentuk,yaitu:
1) Unipolar neuron
2) Bipolar neuron
3) Interneuron
4) Pyramidal cell
5) Motor neuron
Sistem saraf Pada Manusia (Human Nervous System)
3. Terdapat 3 (tiga) jenis sel saraf berdasarkan fungsi, yaitu:
1) Sel Saraf Sensorik (saraf Aferen)
Berfungsi menghantarkan rangsangan dari reseptor (penerima rangsangan)
ke sumsum tulang belakang.
2) Sel Saraf Motorik (saraf Eferen)
Berfungsi menghantarkan impuls motorik dari susunan saraf pusat ke
efektor.
3) Sel Saraf Penghubung/ intermediet/ asosiasi
Merupakan penghubung sel saraf yang satu dengan sel saraf yang lain
4. Sistem saraf
Berdasarkan letak kerjanya Sistem Saraf terdiri atas 3 bagian yaitu :
1) Sistem Saraf Pusat
 Otak
 Sumsum Tulang Belakang
2) Sistem Saraf Perifer/ tepi
 12 pasang saraf serabut otak (saraf cranial)
 31 pasang saraf sumsum tulang belakang (saraf spinal)
3) Sistem Saraf Autonom/ saraf tak sadar
 Susunan saraf simpatik
 Susunan saraf parasimpatik
5. OTAK
Otak terbagi menjadi 3 bagian yaitu :
1) Otak besar (Cerebrum)
2) Diencephalon
3) Otak kecil (Cerebellum)
4) Otak tengah (Mesencephalon)

(anatomi
fisiologi sistem
syaraf)
6. Anatomi otak
1) Otak besar
(Serebrum)
Berfungsi untuk untuk
pengaturan semua
aktivitas mental yaitu
berkaitan dengan
kepandaian
(intelegensi), ingatan
(insan beyninin intel islemciler kiyasla vasat)
(memori), kesadaran, dan pertimbangan. Otak besar terletak di bagian
depan otak. Terdiri atas :
 Bagian belakang (oksipital) →pusat penglihatan.
 Bagian samping (temporal) →pusat pendengaran.
 Bagian tengah (parietal) →pusat pengatur kulit dan otot terhadap
panas, dingin, sentuhan, tekanan.
 Antara bagian tengah dan belakang →pusat perkembangan kecerdasan,
ingatan, kemauan, dan sikap.
2) Otak kecil (Cerebellum)
 Berfungsi untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan gerakan-
gerakan otot tubuh serta menyeimbangkan tubuh.
 Letak otak kecil terdapat tepat di atas batang otak.
3) Otak Tengah (Mesensefalon)
 Terletak di depan otak kecil dan jembatan varol (menghubungkan otak
kecil bagian kiri dan kanan, juga menghubungkan otak besar dan
sumsum tulang belakang).
 Di depan otak tengah (diencephalon)
 Talamus (Pusat pengatur sensoris)
 Hipotalamus (Pusat pengatur suhu, Mengatur selera makan,
Keseimbangan cairan tubuh). Bagian atas ada lobus optikus (pusat
refleks mata).
7. Pelindung otak
 Tengkorak.
 Ruas-ruas tulang belakang.
 Tiga lapisan selaput otak (Meningen).
1) DURAMETER : Bersatu dengan tengkorak (melekat pada tulang)
2) ARACHNOID : Bantalan untuk melindungi otak dari bahaya kerusakan
mekanik, berisi cairan serobrospinal (cairan limfa)
3) PIAMETER : Penuh dengan pembuluh darah, di permukaan otak, suplai
oksigen dan nutrisi, mengangkut sisa metabolisme.
8. Cranium

( Anfis neurovaskuler )
9. MEDULLA OBLONGATA.
 Banyak mengandung ganglion otak.
 Pusat pengatur gerak refleks fisiologis (denyut jantung, pernafasan, pelebaran
dan penyempitan pembuluh darah, bersin, batuk)
10. MEDULLA SPINALIS
 Fungsi :
1) Penghubung impuls dari dan ke otak.
2) Memungkinkan jalan terpendek pada gerak refleks.
 Di bagian dalam ada (1) akar dorsal yang mengandung neuron sensorik. (2)
akar ventral yang mengandung neuron motorik.
 Pada bagian putih terdapat serabut saraf asosiasi.
11. Sumsum Tulang Belakang

(dio’s search : gambar sum-sum tulang belakang)


12. Saraf Tepi (Saraf Perifer)
Sistem saraf perifer dibagi menjadi 2 yaitu :
 12 pasang saraf serabut otak (saraf cranial)
 3 pasang saraf sensori.
 5 pasang saraf motori.
 4 pasang saraf gabungan.
 31 pasang saraf sumsum tulang belakang (saraf spinal).
 8 pasang → saraf leher (servikal).
 12 pasang → saraf punggung (Torakal).
 5 pasang → saraf pinggang (Lumbal).
 5 pasang → saraf pinggul (Sakral)
 1 pasang → saraf ekor (Koksigial).
13. Nervus cranialis
Nervus cranialis terbagi menjadi 12 nervus, diantaranya :
1) Nervus olfaktorius, mensarafi indera penciuman
2) Nervus optikus, mensarafi indera penglihatan, tajam penglihatan
3) Nervus okulomotorius, mensarafi gerakan bola mata dari dalam keluar
4) Nervus trochlearis, mensarafi gerakan bola mata ke bawah dan samping
kanan kiri
5) Nervus trigeminus, mensarafi kulit wajah, reflek kornea, kepekaan lidah dan
gigi
6) Nervus abdusen, mensarafi gerakan bola mata ke samping
7) Nervus facialis, mensarafi otot wajah, lidah (pengecapan)
8) Nervus auditorius, mensarafi indera pendengaran, menjaga keseimbangan
9) Nervus glosofaringeus, mensarafi gerakan lidah, menelan
10) Nervus vagus, mensarafi faringe laring, gerakan pita suara, menelan
11) Nervus accecorius, mensarafi gerakan kepala dan bahu
12) Nervus hipoglosus, mensarafi gerakan lidah

(Nervus Kranial, Fungsi, Serta Cara Pemeriksaannya)

ETIOLOGI

Hingga kini belum diketahui secara pasti demam kejang disebabkan infeksi
saluran nafas atas, otitis fedia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih, kejang
tidak selalu tmbul pada suhu tinggi dapat menyebabkan kejang. (Mansjoer Arief,
2000)

Sebesar 10%-20% tidak dapat ditemukan etiologinya dan sebaliknya tidak


jarang ditemukan lebih dari satu penyebab kejang pada neonatus.

1) Gangguan Vaskuler
Perdarahan berupa petekia akibat anaksia dan asfiksia yang terjadi intrasebral
atau antraventrikel, sedangkan perdarahan akibat trauma langsung yaitu
berupa perdarahan di subaraknoidal atau subdural, terjadi trombosis, adanya
penyakit perdarahan seperti defisiensi vitamin K, Sindrom hiperviskositas
disebabkan oleh meningginya jumlah eritrosit dan dapat diketahui dari
peninggian kadar hematokritejala klinisnya antara lain pletora, sianosis,
letargi dan kejang.
2) Gangguan Metabolisme
Meliputi hipokalsemia, hipomagnesia, hipoglikemia, defisiensi dan
ketergantungan akan piridoksin, aminoasiduria, hiponatremia, hipernatremia,
hiperbilirubinemia.
3) Infeksi
Kejang demam disebabkan oleh infeksi meliputi: Meningitis sapsis,
ensefalitis, toksoplasma kongenital, penyakit-penyakit cytomegalic inclusion.
4) Kelainan Kongenital
Meliputi: Porensetali, hidransefali, agnesis (sebagian dari otak).
5) Lain-lain
Disebabkan oleh Narcotic with drawal, neoplasma.

(dr. Rusepto,2005:1141)

PATOFISIOLOGI

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan


energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang
terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dengan perantaraan fungsi
pura pura dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sumber energi otak adalah
glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi
oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar
yaitu ion. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah
oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion klorida (CL). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel, maka
terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini di perlukan energi dan bantuan
enzim Na– K ATP– ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :

1. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraselular.


2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologis dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1̊c akan mengakibatkan metabolisme


basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak
berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan
dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat
mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
dapat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tersebut
dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya
dengan bantuan bahan yang disebut “Neurotransmitter“ dan terjadi kejang.

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi
rendahnya ambang kejang, seseorang anak akan menderita kejang pada kenaikan
suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi
pada suhu 38oC sedang anak dengan ambang kejang tinggi kejang baru terjadi bila
suhu mencapai 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa
berulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang
yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu memperhatikan pada tingkat
suhu berapa pasien menderita kejang. Kejang demam yang berlangsung singkat
pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang
yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit ) biasanya disertai abnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi
hipoksia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik,
hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot, dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah
faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya
kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
menyababkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul
edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.

Kerusan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan


kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang“ dikemudian hari sehingga
terjadi serangan epilepsi yang spontan. Karena itu kejang demam yang berlangsung
lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.

PROGNOSIS

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat prognosisnya baik dan tidak
perlu menyebabkan kematian. Angka kejadian epilepsi berbeda-beda tergantung dari
cara penelitiannya ; misalnya Lumbantobing (1975) mendapatkan 6%, sedangkan
Livingstone ( 1954 ) dari golongan kejang demam sederhana mendapatkan 2,9%
yang menjadi epilepsi, dan golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam ternyata
97% menjadi epilepsi.

Risiko yang dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam
tergantung dari faktor:

1. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.


2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita
kejang demam.
3. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.

Bila terdapat paling sedikit 2 atau 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian
hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila
hanya terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut diatas, serangan kejang tanpa
demam hanya 2% - 3% saja.

Hemiparesis biasanya terjadi pada pasien yang mengalami kejang lama


(berlangsung lebih dari 30 menit) baik bersifat umum atau fokal. Kelumpuhannya
sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid,
tetapi setelah 2 minggu timbul spastis.

Dari suatu penelitian terhadap 431 pasien dengan kejang demam sederhana,
tidak terdapat kelainan pada IQ, tetapi pada pasien kejang demam yang sebelumnya
telah terdapat gangguan perkembangan atau kelainan neurologis akan didapat IQ
yang lebih rendah dibanding dengan saudaranya. Jika kejang demam diikuti dengan
berulangnya kejang tanpa demam, retardasi mental akan terjadi 5 kali lebih besar.

KLASIFIKASI

A. Kejang demam dikelompokan menjad dua: kejang demam sederhana (simple


febrile seizure), kejang demam komplek (complec febrile seizure).
1. Kejang Demam Sederhana
Umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun, kejang demam
yang berlangsung singkat, kejang berlangsung kurang dari 15 menit, sifat
bangkitan dapat berbentuk tonik, klonik, tonik dan klonik, umumnya akan
berhenti sendiri, tanpa gerakan fokal atau berulang dalam waktu 24 jam.
2. Kejang Demam Kompleks
Kejang demam dengan ciri:
 Kejang lama lebih dari 15 menit,
 Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang
parsial,
 Berulang atau lebih dari 1 kali dari 24 jam.

Kejang berulang adalah kejang 2 kali/ lebih dalam 1 hari diantara 2


bangkitan kejang anak sadar.

B. Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan
tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagianyaitu:
1. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan
rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan
komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa
pergerakan tonik satu ekstremitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi
tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk
kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap
epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi
selaput otak atau kernikterus.
2. Kejang Klonik
Kejang klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
permulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis
kejang klonik fokal berlangsung 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak
disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik.
Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma
fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopi metabolik.
3. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah ekstensi dan fleki lengan atau
keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan
tersebut menyerupai reklek moro. Kejang ini merupakan pertanda
kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada
kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik (Lumbang Tebing, 1997).

GAMBARAN KLINIK

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan


dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi
diluar susunan saraf pusat; misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis,
furunkulosis dan lain – lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama
sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-
klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu
kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya
kelainan saraf.

Menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul pertanyaan sifat


kejang atau gejala manakah yang mengakibatkan anak menderita epilepsi. Untuk
Livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:

1. Kejang demam sederhana (simple fibrile convulsion)


2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi triggered off fever)

Di subbagian Anak FKUI-RSCM Jakarta, kriteria Livingstone tersebut


setelah dimodifikasi dipakai sebagai pedoman untuk memuat diagnosis kejang
demam sederhana, yaitu:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.

Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari 7 kriteria
tersebut ( modifikasi Livingston ) digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh
demam. Kejang kelompok kedua ini mempunyai suatu dasar kelainan yang
menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya merupakan faktor
pencetus saja.

Telah diketahui bahwa kejang demam adalah kejang yang terjadi pada saat
anak menderita suhu tinggi, dapat sampai hiperpireksia. Kejang demam dapat
disebabkan karena adanya infeksi ekstrakranial misalnya OMA. Berbeda dengan
meningitis atau ensefalitis, tumor otak mempunyai kelainan pada otak sendiri. Perlu
diingat bahwa kejang demam hanya terjadi pada anak usia tertentu. Tetapi epilepsi
yang diprovokasi oleh demam juga menyebabkan kejang, oleh karena itu anamnesis
yang teliti sangat diperlukan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan cairan serebrospinal


2. Elektroesenfalografi (CEG) tetapi kurang mempunyai nilai prognostik, tidak
dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana
3. Pemeriksaan lab rutin, untuk mengetahui sumber infeksi.(Mansjoer Arief, 2000)

KOMPLIKASI

1. Terdapat gangguan perkembangan atau kelainan neurologis.


2. Akan didapat IQ yang lebih rendah dibanding dengan saudaranya.
3. Lebih besar mengalami epilepsi. (M.Rudholph. A.,2006 : 161)
PENATALAKSANAAN

Medik

Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu:

1) Memberantas kejang secepat mungkin


2) Pengobatan penunjang
3) Memberikan pengobatan rumat, dan
4) Mencari dan mengobati penyebab.

1. Memberantas kejang secepat mungkin

Bila pasien datang dalam keadaan status konvulsivus, obat pilihan utama
adalah diazepam yang diberikan secar intravena ini tidak perlu dipersoalkan lagi
karena keberhasilan untuk menekan kejang sekitar 80%-90%. Efek terapeutik sangat
cepat, yaitu kira-kira 30 detik sampai 5 menit dan efek toksis yang serius hampir
tidak dijumpai apabila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg per
suntikan. Dosis sesuai dengan berat badan; kurang dari 10 kg 0,5-0,7 mg/kgBB
dengan minimal dalam spuid 7,5 mg, dan diatas 20 kg 0,5 mg/kgBB. Biasanya dosis
rata-rata yang dipakai 0,3 mg/kgBB/kali dengan maksimum 5 mg pada anak
berumur kurang dari 5 tahun, dan 10 mg pada anak yang lebih besar.

Setelah suntikan pertama secara intravena ditunggu 15 menit, bila masih


terdapat kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga intravena.
Setelah 15 menit suntikan kedua masih kejang, diberikan suntikan ketiga dengan
dosis sama akan tetapi pemberiannya secara intramuskular; diharapkan kejang akan
berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4%
secara intravena.

Akibat samping diazepam adalah mengantuk, hipotensi, penekanan pusat


pernapasan laringospasme dan henti jantung. Penekanan pusat pernapasan dan
hipotensi terutama terjadi bila sebelumnya anak telah mendapat fenobarbital.
Diazepam diberikan langsung tanpa larutan pelarut harus perlahan-lahan kira-kira 1
ml/menit dan pada bayi 1 mg diberikan dalam 1 menit.

Pemberian diazepam intravena pada anak yang kejang seringkali


menyulitkan; cara pemberian yang mudah, sederhan dan efektif adalah melalui
rektum. Diazepam ini dapat diberikan oleh siapa saja yang mengetahui dosisnya.
Dosis sesuai dengan berat badan ialah berat kurang dari 10 kg 5 mg; berat lebih dari
10 kg 10 mg. Rata – rata pemakaian 0,4-0,6 mg/kgBB. Kemasan biasanya 5 mg dan
10 mg dalam rektiol. Bila kejang tidak berhenti dengan dosis pertama, dapat
diberikan lagi setelah 15 menit; jika tidak berhenti diberikan lagi secara intravena
dengan dosis 0,3 mg/kgBB.

Cara memberikan dengan rektiol; rektiol sebelumnya diolesi vaselin/minyak


pada ujungnya kemudian dimaksukkan ke dalam rektum sepanjang 3-5 cm ( pasien
dengan sikap miring ) dipijit hingga kosong dan setelah ditarik lubang anus ditutup
dengan merapatkan kedua muskulus gluteus.

Jika tidak ada diazepam, dapat diberikan fenobarbital secar intramuskular


dengan dosis awal pada bayi baru lahir 30 mg/kg/kali; bayi berumur 1 bulan sampai
1 tahun 50 mg/kg/kali, dan umur 1 tahun keatas 75 mg/kg/kali. Bila kejang tidak
berhenti setelah ditunggu 15 menit dapat diulang lagi suntikan fenobarbital tersebut
dengan dosis untuk neonatus 15 mg; anak 1 bulan 30 mg dan anak diatas 1 tahun 50
mg secara intamuskular. Jika ada fenobarbital yang dapat diberikan secara intravena,
dosis yang diperlukan 5 mg/kgBB dengan kecepatan 30 mg per menit.

Obat pilihan pertama untuk menanggulangi kejang status konvulsivus yang


dipilih para ahli adalah difenilhidantoin karena tidak mengganggu kesadaran dan
tidak menekan pusat pernapasan; tetapi mengganggu frekuensi dan irama jantung .
Dosisnya ialah 18 mg/kgBB dengan infus dengan kecepatan tidak melebihi 50
mg/menit.

Dengan dosis tersebut kadar terapeutik dalam darah akan menetap dalam 24
jam. Bila kejang tidak dapat dihentikan dengan obat-obat tersebut diatas maka
sebaiknya pasien dirawat diruang ICU untuk diberikan anastesia umum dengan
tiopental yang diberikan oleh seorang ahli anestesia.

2. Pengobatan Penunjang
Sebelum memberatas kejang tidak boleh dilupakan perlunya pengobatan
penunjang.
a. Semua pakaian ketat dibuka.
b. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung.
c. Usahakan jalan napas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen; bila perlu
dilakukan intubasi atau trakeostomi.
d. Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.

Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi
jantung diawasi secara ketat. Cairan intravena sebaiknya diberikan dengan
monitoring untuk kelainan metabolik dan elektrolit. Bila terdapat tekanan
intrakranial yang meninggi jangan diberikan cairan dengan kadar natrium yang
terlalu tinggi. Jika suhu meningkat sampai hiperpireksia dilakukan hibernasi dengan
kompres alkohol dan es. Obat untuk hibernasi adalah klorpromazin 2-4
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis; prometazon 4-6 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3
dosis secara suntikan.

Untuk mencegah edema otak diberikan kortikosteroid dengan dosis 20-30


mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya glukokortikoid misalnya
deksametazon 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.

3. Pengobatan Rumat

Setelah kejang diatasi harus disusul pengobatan rumat. Daya kerja diazepam
sangat singkat, yaitu berkiras antara 45-60 menit setelah disuntikkan; oleh karena itu
harus diberikan obat antiepileptik dengan daya kerja lebih lama misalnya
fenobarbital atau defenilhidantoin. Fenobalbital diberikan langsung setelah kejang
berhenti dengan diazepam. Dosis awal pada neonatus 30 mg; umur 1 bulan sampai 1
tahun 50 mg dan umur 1 tahun keatas 75 mg dan cara memberikannya
intramuskular. Sesudah itu fenobarbital diberikan sebagai dosis rumat. Karena
metabolisme di dalam tubuh perlahan, pada anak cukup diberikan dalam 2 dosis
sehari dan kadar maksimal dalam darah terdapat setelah 4 jam. Untuk mencapai
kadar terapeutik secepat mungkin diperlukan dosis yang lebih tinggi daripada
biasanya. Dengan dosis ganda 8-10 mg/kgBB/hari, kadar 10-20 mikrogram/ml ialah
kadar efektif dalam darah tercapai dalam 48-72 jam. Di sub-bagian anak RSCM
fenobarbital sebagai dosis “maintenance” diberikan setelah dosis awal sebanyak 8-
10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis untuk hari pertama dan kedua. Selama
keadaan belum memungkinkan antikonvulsan diberikan secara suntikan dan bila
telah membaik diteruskan secara oral. Lanjutan pengobatan rumat tergantung
daripada keadaan pasien.
Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu:

a. Pengobatan profilaksis intermiten


b. Pengobatan profilaksis jangka panjang
A. Profilaksis intermiten
Untuk mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari, pasien
yang menderita kejang demam sederhana diberikan obat campuran
antikonvulsan dan antiparatika, yang harus diberikan pada anak bila
menderita demam lagi. Antikonvulsan yang diberikan adalah fenobarbital
dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari yang mempunya akibat samping paling
sedikit jika dibandingkan dengan obat antikonvulsan lainnya. Obat
antiperitika yang diapakai misalnya aspirin, dosis yang diberikan 60
mg/tahun/kali, sehari diberikan 3 kali. Untuk bayi dibawah umur 6 bulan
diberikan 10 mg/bulan/kali, sehari diberikan 3 kali. Kadar maksimal dalam
darah tercapai dalam 2 jam pemberian per oral (pemberian obat antipiretik
dan antikonvulsan ini walaupun dapat mencegah kejang dianggap kurang
berhasil, karena untuk keberhasilan yang lebih besar diperlukan fenobarbital
dengan dosis yang lebih tinggi, yaitu 10-15 mg/kgBB/hari, tetapi dosis
tersebut mempunyai akibat samping berupa mengantuk, penekanan terhadap
pusat pernapasan dan sebagainya).

B. Profilaksis jangka panjang


Profilaksis jangka panjang berguna untuk menjamin terdapatnya dosis
terapeutik yang stabil dan cukup di dalam darah pasien untuk mencegah
terulangnya kejang dikemudian hari. Ini diberikan dalam keadaan:
1. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam
2. Yang telah disepakati pada konsensum bersama (1980) ialah pada semua
kejang demam yang mempunyai ciri :
a. Terdapatnya gangguan perkembangan saraf seperti serebral palsi
retardasi perkembangan dan mikrosefali.
b. Bila kejang berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat fokal atau
diikuti kelainan saraf yang sementara atau menetap.
c. Bila terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik
pada orang tua atau saudara kandung.
d. Pada kasus tertentu yang dianggap perlu yaitu bila kadang – kadang
terdapat kejang berulang atau kejang pada bayi berumur di bawah
12 bulan.

Obat yang diguanakan untuk profilaksis jangka panjang ialah:

 Fenobarbital
Dosis 4-5 mg/kgBB/hari. Akibat samping fenobarbital jangka
panjang ialah perubahan sifat anak menjadi hiperaktif, perubahan pola
tidur (suka tidur saja) dan kadang – kadang gangguan kognitif atau
fungsi luhur.
 Sodium valproat/asam valproat (epilin, depakene )
Obat ini dapat menurunkan frekuensi kejang (terulangnya
kejang) dengan memuaskan. Obat ini lebih baik dari fenobarbital dan
dosis yang dibutuhkan 20-30 mg/kgBB/hari menjadi 3 dosis. Hanya
obat ini lebih mahal daripada fenobarbital dan dapat timbul gejala
toksik berupa mual, kerusakan hepar dan pankreatitis.
 Feniton (Dilantin)
Fenitoin diberikan pada anak yang sebelumnya sudah
menunjukkan gangguan sifat berupa hiperaktif sebagai pengganti
fenobarbital. Hasilnya kurang memuaskan. Pemberian antikonvulsan
pada provilaksis jangka panjang ini dilanjutkan sekurang-kurangnya 3
tahun seperti mengobati epilepsi. Untuk menghentikan antikonvulsan
ini harus perlahan-lahan dengan jalan mengurangi dosis selama 3 atau
6 bulan.
4. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab kejang demam sederhana maupun epilepsi yang diprovokasikan
oleh demam biasanya adalah infeksi raspiratorius bagian atas dan otitis media
akut. Pemberian antibiotik yang adekuat perlu untuk mengobati penyakit tersebut.
Secara akademis pasien kejang demam yang datang untuk pertama kali
sebaliknya dilakukan pungsi lumbal untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
faktor infeksi didalam otak misalnya meningitis. Pada pasien yang diketahui
kejang lama pemeriksaan lebih intensif seperti pungsi lumbal, darah lengkap, gula
darah, kalium, magnesium, kalsium, natrium dan faal hati. Bila perlu rontgen foto
tengkorak, EEG, ensefalografi dan lain-lain.
Cara memberantas kejang

1. Segera berikan diazepam intravena; dosis rata-rata 0,3 mg/kgBB atau


diazepam rektal dosis berat badan kurang dari 10 kg, 5mg; lebih dari 10 kg,
10 mg. Jika kejang tidak berhenti tunggu 15 menit dapat diulang dengan dosis
dan cara sama. Setelah dosis berhenti maka diberikan dosis awal fenobarbital
sebagai berikut:
 Neonatus : 30 mg intramuskular
 1 bulan – 1 tahun : 50 mg intaramuskular dan
 Lebih dari 1 tahun : 75 mg intramuskular

Pengobatan rumat : 4 jam kemudian ( setelah berhenti kejang ) hari ke-1 +


ke-2, fenobarbital 9-10 mg/kgBB, dibagi dalam 2 dosis. Hari berikutnya
fenobarbital 4-5 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis.

2. Bila diazepam tidak tersedia, langsung dipakai fenobarbital dengan dosis awal
dan selanjutnya diteruskan dengan pengobatan rumat.

MASALAH KEPERAWATAN

Masalah yang perlu diperhatikan pada pasien kejang demam ialah risiko
terjadi kerusakan sel otak akibat kejang, suhu yang meningkat diatas suhu normal,
risiko terjadinya bahaya/komplikasi, gangguan rasa aman dan nyaman, kurangnya
pengetahuan orangtua mengenai penyakit

1. Risiko terjadi kerusakan sel otak akibat kejang


Setiap kejang menyebabkan kontriksi pembuluh darah sehingga aliran
darah tidak lancar dan mengakibatkan peredaran O2 juga terganggu.
Kekurangan O2 (anoksia) pada otak akan mengakibatkan kerusakan sel otak
dan dapat terjadi kelumpuhan sampai retardasi mental bila kerusaknnya berat.
Jika kejang hanya sebentar tidak banyak menimbulkan kerusakan, tetapi jika
kejang berlangsung lebih dari 15 menit biasanya berakhir dengan apnea yang
akan menimbulkan kerusakan otak yang makin berat ( pada keadaan demam,
kenaikan suhu 1 derajat C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10-15%, kebutuhan O2 akan meningkat 20%. Pada kejang demam yang
berlangsung lama kebutuhan O2 lebih banyak karena selain diperlukan untuk
metabolisme basal diperlukan juga untuk kontrasi otot-otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan
metabolisme anaerobik, disertai hipotensi arterial dan kelainan denyut jantung
yang mnyebabkan metabolisme otak meningkat dan mengakibatkan kerusakan
neuron otak selama berlangsungnya kejang. Oleh karena itu, kejang harus
segera dihentikan dan apnea dihindarkan.

Tindakan pada saat kejang:

 Baringkan pasien ditempat yang rata, kepala dimiringkan dan pasangkan


sundip lidah yang telah dibungkus kasa atau bila ada guedel lebih baik.
 Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasien; lepaskan pakaian yang
mengganggu pernapasan (mis, ikat pinggang, gurita dan lain sebagainya).
 Isap lendir sampai bersih, berikan O2 boleh sampai 4 L/mnt. Jika pasien
jatuh apnea lakukan tindakan pertolongan ( lihat pada tenatus).
 Bila suhu tinggi berikan kompres dingin secara intensif.
 Setelah pasien bangun dan sadar berikan minum hangat.
 Jika dengan tindakan ini kejang tidak segera berhenti, hubungi dokter
apakah perlu pemberian obat penenang.
2. Suhu yang meningkat di atas suhu normal
Masing-masing pasien mempunyai ambang kejang yang berbeda, tidak
selalu dalam keadaan hiperpireksia tetapi yang jelas bahwa pada kejang
demam selalu didahului kenaikan suhu sebelum bangkitan kejang terjadi. Pada
anak dengan ambang kejang rendah, bila suhu naik 38oC atau lebih sedikit saja
sudah timbul kejang. Oleh karena itu, jika sudah diketahui suhu naik diatas
normal anak akan menderita kejang maka setelah diketahui suhu mulai naik
harus segera diberikan obat antipiretik (pemberian antipiretik dan petunjuk
bahwa anak menderita kejang demam didapat setelah berobat ke dokter dan
biasanya kejang sudah lebih dari 1 kali). Obat antipiretik untuk pasien kejang
demam biasanya telah bersama-sama dengan antikonvulsan. Perlu diingat
bahwa pada pasien yang akan mengalami kenaikan suhu karena adanya infeksi
apakah faringitis, OMA atau infeksi lainnya, maka disamping obat antipiretik
juga harus ada antibiotik. Jika belum ada antibiotika tersebut pasien harus
dibawa berobat karena tanpa antibiotik demam akan turun hanya sebentar
kemudian naik lagi. Disamping obat-obat tersebut pasien diberi banyak minum
dan jika suhu tinggi sekali kompres dingin secara intensif.
Karena demam dapat menimbulkan kejang, maka jika pasien akan
mendapatkan imunisasi tidak boleh diberikan pertusis (P); pasien hanya diberi
DT saja, dianjurkan agar setelah suntik pasien segera diberi antipiretik, tidak
usah menunggu pasien mulai demam.
3. Risiko terjadinya bahaya/komplikasi
Seperti pasien lain yang kejang, akibatnya dapat terjadi perlukaan
misalnya lidah tergigit atau akibat gesekan dengan gigi; akibat terkena benda
tajam atau keras yang ada disekitar anak, serta dapat juga terjatuh. Oleh karena
itu, setiap anak mendapat serangan kejang harus ada yang mendampinginya.
Selain bahaya akibat kejang, risiko komplikasi dapat terjadi akibat
pemberian obat antikonvulsan ( dapat terjadi di rumah sakit ); misalnya karena
kejang tidak segera berhenti padahal telah mendapat fenobarbital kemudian
diberi diazepam maka dapat berakibat ipnea. Begitu pula jika memberikan
diazepam secara intavena terlalu cepat juga dapat menyebabkan depresi pusat
pernapasan. Oleh karena itu, bila memberikan diazepam IV harus pelan sekali
1 ml selama 1 menit. Jika keadaan memungkinkan dapat digunakan mikrodrip
untuk pemberian diazepam pada bayi.
Untuk mengurangi risiko tersebut setiap pemberian diazepam atau obat
antikonvulsan lainnya harus hati-hati. Antikonvulsan apapun yang diberikan,
pasien harus tetap diobservasi sejak pemberian sampai beberapa jam
kemudian. Catatlah dengan cermat jenis obat yang diberikan dan jam berapa
agar tidak terjadi pemberian antikonvulsan terlalu dekat waktunya dengan obat
yang sama atau yang seharusnya tidak boleh diberikan. Komplikasi yang dapat
terjadi pada pasien kejang demam jika tidak diobati secara benar dapat
menjadi retardasi mental akibat kerusakan otak yang parah. Dapat juga
berkembang menjadi epilepsi.
4. Gangguan rasa aman dan nyaman
Gangguan ini juga terjadi seperti pasien lain sebagai akibat
penyakitnya sendiri dan tindakan-tindakan pertolongan selama kejang atau
pengobatan jika dirumah sakit misalnya pungsi lumbal, pemasangan infus,
pengisapan lendir dan sebagainya. Walaupun pasien ketika kejang tidak sadar
perlakuan lemah-lembut dan kasih sayang perlu dilaksanakan (misalnya pada
waktu mengisap lendir harus dengan hati-hati sehingga tidak melukai selaput
lendir tenggorok).
5. Kurangnya pengetahuan orangtua mengenai penyakit
Pasien kejang demam tidak dirawat di rumah sakit; kecuali apabila ia
menderita komplikasi atau dalam keadaan status konvulsivus. Jika pasien telah
di diagnosis kejang demam, orangtuanya perlu dijelaskan mengapa anak dapat
kejang terutama yang berhubungan dengan kenaikan suhu tubuh. Kenaikan
suhu tubuh tersebut disebabkan oleh infeksi. Orangtua perlu diajari cara
menolong pada saat anak kejang ( tidak boleh panik) dan yang paling penting
adalah mencegah jangan sampai timbul kejang.

Yang perlu dijelaskan ialah:

a. Harus tersedia termometer untuk memantau/mengontrol suhu tubuh anak.


b. Harus selalu tersedia obat penurun panas yang didapatkan atas resep
dokter yang telah mengandung anti konvunsan. Jika obat hampir habis
misalnya masih sisa 2 bungkus supaya datang berobat untuk mendapat
obat persediaan. Orang tua harus memahami hal ini untuk keperluan
anaknya.
c. Agar anak segera diberikan obat antipiretik bila orang tua mengetahui
anak mulai demam (jangan menunggu suhu meningkat lagi) dan
pemberian obat diteruskan sampai suhu sudah turun selama 24 jam
berikutnya. Jika demam masih naik turun agar dibawa berobat
kedokter/puskesmas, untuk mendapatkan antibiotik.
d. Jika terjadi kejang, anak harus diberikan ditempat yang rata, kepalanya
dimiringkan. Buka bajunya dan pasangkan gagang sendok yang telah
dibungkus kain/sapu tanggan yang bersih dalam mulutnya(jelaskan apa
tujuannya). Pada keluarga yang mengerti dapat diberikan resep untuk
membeli sudip lidah karena dapat dipakai bila perlu. Setelah kejang
berhenti dan pasien bangun dan sadar kembali suru minum obatnya dan
tunggu pasien sampai keadaannya betul betul tenang. Jika suhu pada
waktu kejang tersebut tinggi sekali supaya dikompres dingin. Beberapa
keluarga selalu sedia alkohol untuk kompres menurunkan suhu agar lebih
efektif anjurkan supaya dicampur dengan es. Pasien supaya diberi banyak
minum.
e. Apabila terjadi kejang berulang atau kejang terlalu lama walaupun
diberikan obat, segera bawa pasien tersebut kerumah sakit karena hanya
rumah sakit yang dapat memberikan pertolongan pada pasien yang
menderita status konvulsivus.
f. Apabila orang tua telah diberikan obat persediaan diazepam rektal,
berikan petunjuk cara memberikan, yaitu ujung rektiol yang akan yang
akan dimasukkan ke dalam anus dioles menggunakan minyak sayur atau
vaselin kemudian dimasukkan ke dalam anus sambil dipencet sampe habis
(tetapi dengan pelan-pelan memencetnya) setelah kosong dan masih
dipencet rektiol dicabut kemudia anus dirapatkan (jika tidak sambil masih
dipencet rektiol dicabut disebagian isinya akan ikut terisap kembali). Bila
mungkin sikap pasien dibaringkan miring.
g. Beritahukan orang tua jika anak akan mendapat imunisasi agar
memberiitahukan kepada dokter/petugas imunisasi bahwa anaknya
penderita kejang demam (agar tidak diberikan pertusis).
Walaupun kejang sudah lama tidak terjadi orang tua supaya tidak
menghentikan terapi sendiri (pernah terjadi anak sudah lama tidak pernah datang
meminta obat antikonvulsan tetapi 2 tahun kemudian anak kejang lagi pada waktu
demam ringan saja). jelaskan bahwa pengobatan profilaksis ini berlangsung sampai
3 tahun kemudian secara bertahap dosis dikurangi dalam waktu 3 sampe 6 bulan
PATOFLOW
Infeksi mikroorganisme, infeksi bakteri ISPA
Ketidakefektifan
Peningkatan sputum bersihan jalan
nafas

Toksik mikroorganisme menyebar secara hematogen dan limfogen

Kenaikan suhu tubuh di hipotalamus dan jaringan lain

Hipertermi

Pelepasan mediator kimia oleh neuron proses penyakit, perawatan


seperti prostlaglandin, epinefrin

Kurang Takut
Peningkatan potensi membran
pengetahuan

Peningkatan atau masukan ion natrium,


ion kalium kedalam sel neuron dengan cepat

Kejang

Fase depolarisasi neuron dan otot dengan cepat

Penurunan respon Spasma otot mulut, lidah.


rangsangan dari luar bronkus

Risiko cedera
(Sujono Sukarmin, 2009)
SEPSIS
PENGERTIAN
Leecarlo M.Lumban Gaol, Akhmad Makhmudi

Secara tradisional diartikan sebagai ditemukannya keadaan klinis pada tanda-


tanda vital, homeostasis dan metabolisme, yang terjadi sebagai respon terhadap
kehadiran kuman-kuman gram negatif atau positif yang patogendi dalam aliran
darah penderitanya, atau dengan kata lain, sepsis adalah kecurigaan atau terbukti
adanya suatu infeksi ditambah dengan dua atau lebih gejala SIRS (Systemic
Inflammatory Response Syndrome), seperti:

1) Peningkatan suhu diatas 38oC atau kurang dari 36oC


2) Takikardia (detak jantung lebih dari 90 kali per menit)
3) Takipneu (pernapasan lebih dari 20 kali per menit atau PaCO2 kurang dari 32
mmHg)
4) Leukositosis (jumlah sel darah putih lebih dari 12.000/mm3) atau Leukopenia
(jumlah sel darah putih kurang dari 4.000/mm3)
Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis dengan disfungsi organ (seperti
hipotensi, hipoksemia, oliguria, asidosis metabolik, dan trombositopenia. Adapun
syok septik didefinisikan sebagai sepsis berat dengan hipotensi (sistolik di bawah 90
mmHg atau penurunan lebih atau sama dengan 40 mmHg dari batas normal sesuai
usia tanpa ditemukan adanya penyebab lain, meskipun sudah dilakukan resusitasi
cairan yang adekuat.

ANATOMI FISIOLOGI

Gambar 1. Darah
Darah adalah jaringan cair dan terdiri atas dua bagian, bagian cair yang
disebut plasma dan bagian padat yang disebut sel-sel darah. (Pearce
Evelyn,2008 : 133). Sel-sel darah, ada tiga macam yaitu:
a. E r i t r o s i t ( s e l d a r a h m e r a h )
Eritrosit merupakan cakram bikonkaf yang tidak berhenti, ukurannya
kira-kira 8 m, tidak dapat bergerak, banyaknya kira-kira 5 juta dalam mm3.
Fungsi dari eritrosit adalah mengikat CO2 dari jaringan tubuh untuk
dikeluarkan melalui paru-paru. Eritrosit dibuat dalam sumsum tulang, limpa
dan hati, yang kemudian akan beredar keseluruh tubuh selama 14-15 hari,
setelah itu akan mati. Eritrosit berwarna kuning kemerahan karena didalamnya
mengandung suatu zat yang disebut hemoglobin. Warna ini akan bertambah
merah jika didalamnya banyak mengandung O2.
Hemoglobin adalah protein yang terdapat pada sel darah merah.
Berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru dan dalam peredaran
darah untuk dibawa kejaringan dan membawa karbon dioksida dan jaringan
tubuh ke Paru-Paru. Hemoglobin mengandung kira-kira 95% Besi (Fe) dan
berfungsi membawa oksigen dengan cara mengikat oksigen menjadi
oksihemoglobin dan diedarkan keseluruh tubuh untuk kebutuhan metabolisme.
Disamping oksigen, hemoglobin juga membawa karbondioksida dan dengan
karbon monoksida membentuk ikatan karbon Monoksihemoglobin (HbCO),
juga berperan dalam keseimbangan ph darah.
Sintesis hemoglobin terjadi selama proses eritropoisis, pematangan sel
darah merah akan mempengaruhi fungsi hemoglobin. Prose pembentukan sel
darah merah (Eritropoeisis) pada orang dewasa terjadi di sumsum tulang
seperti pada tulang tengkorak, vetebra, pelvis, sternum, iga, dan epifis tulang-
tulang panjang. Pada usia 0-3 bulan intrauterine terjadi pada yolk sac, pada
usia 3-6 bulan intrauterine terjadi pada hati dan limpa. Dalam proses
pembentukan sel darah merah membutuhkan bahan zat besi, vitamin B12,
asam folat, vitamin B6 ( piridoksin ), protein dan faktor lain. Kekurangan
salah satu unsur di atas akan mengakibatkan penurunan produksi sel darah
sehingga mengakibatkan anemia yang ditandai dengan Kadar hemoglobin
yang rendah/kurang dari normal.
b. Leukosit (sel darah putih)
Sel darah yang bentuknya dapat berubah-ubah dan bergerak dengan
perantara kaki palsu (pseudopodia) mempunyai bermacam-macam inti sel
sehingga dapat dibedakan berdasar inti sel Leukosit berwarna bening (tidak
berwarna), banyaknya kira-kira 4000-11000 mm3.
Leukosit berfungsi sebagai serdadu tubuh , yaitu membunuh dan
memakan bibit penyakit atau bakteri yang masuk kedalam tubuh jaringan RES
(Retikulo Endotel Sistem). Fungsi yang lain yaitu sebagai pengangkut dimana
leukosit mengangkat dan membawa zat lemak dari dinding usus melalui limpa
ke pembuluh darah. Sel leukosit selain didalam pembuluh darah juga terdapat
di seluruh jaringan tubuh manusia. Pada kebanyakan penyakit disebabkan
karena kemasukan kuman atau infeksi maka jumlah leukosit yang ada dalam
darah akan meningkat.
c. Plasma darah
Bagian darah encer tanpa sel-sel darah warna bening kekuningan
hampir 90% plasma darah terdiri dari :
1) Fibrinogen yang berguna dalam proses pembekuan darah.
2) Garam – garam mineral (garam kalsium, kalium, natrium, danlain-lain
yang berguna dalam metabolisme dan juga mengadakan osmotik).
3) Protein darah ( albumin dan globulin) meningkatkan viskositas darah
dan juga menimbulkan tekanan osmotik untuk memelihara
keseimbangan cairan dalam tubuh.
4) Zat makanan ( zat amino, glukosa lemak, mineral, dan vitamin).
5) Hormon yaitu suatu zat yang dihasilkan dari kelenjar tubuh.
(Pearce Evelyn, 2008 : 121-167).

Fisiologi Darah

Menurut Syaifuddin (2005) fungsi darah terdiri atas :

Sebagai alat pengangkut, yaitu:

a. Mengambil O2/zat pembakar dari paru-paru untuk diedarkan keseluruh


jaringan tubuh.
b. Mengangkut CO2 dari jaringan untuk dikeluarkan melalui paru-paru.
c. Mengambil zat – zat makanan dari usus halus untuk diedarkan dan dibagikan
ke seluruh jaringan tubuh.
d. Mengangkat /mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh untuk
dikeluarkan melalui kulit dan ginjal.

Sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan bibit penyakit dan racun yang akan
membinasakan tubuh dengan perantaraan leukosit, antibodi/zat-zat anti racun.

ETIOLOGI

Penyebabnya ada berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau
jamur. Sepsis pada bayi hampir selalu disebabkan oleh bakteri seperti Acinetobacter
sp, Enterobacter sp, Pseudomonas sp, Serratia sp, Escerichia Coli, Group B
streotcoccus, Listeria sp. (Maryunanani,2009)
EPIDEMIOLOGI

Setiap tahunnya di Amerika Serikat terdapat hampir 750.000 kasus sepsis dan
terus meningkat, terutama pada pasien pasien dengan gangguan sistem imun dan
pasien pasien yang menjalani operasi berisiko tinggi. Berdasarkan data dari rekam
medik RSCM tahun 2009, masih terdapat 19,32% dari 502 pasien anak yang dirawat
mengalami sepsis dengan angka mortalitas sebanyak 54%.
Sedangkan sepsis pada masa neonatus didefinisikan sebagai adanya infeksi
bakteri yang bersamaan dengan kultur darah yang positif dalam bulan pertama
kehidupan. Kondisi ini terjadi oleh karena adaya transmisi vertikal dari ibu ke bayi,
yang terjadi di dalam kandungan (in utero) melalui membran yang ruptur atau
adanya infeksi di jalan lahir, dan risiko infeksi ini berkisar antara 40-70%, dan
biasanya disebabkan oleh kuman Group B Streptococcal (GBS). Di Amerika
Serikat, Infeksi GBS pada neonatus ini mencapai 1600 kasus dan 80 kematian setiap
tahunnya, sayangnya masih kurang data tentang kasus sepsis pada neonatus di
indonesia. Sepsis pada neonatus secara garis besar terbagi atas dua macam, yaitu:
1) Sepsis Awitan Dini (early onset sepsis)
Terjadi pada minggu pertama kehidupan, ditandai dengan adanya tiga presentasi
klinis mayor, septikemia (bakteremia dan tanda-tanda klinis sepsis), pneumonia
(terjadi pada 40% kasus), dan meningitis (terjadi pada 30% kasus). Mortalitas
pada sepsis awitan awal ini berkisar antara 50% sampai 70% sampaai tahun
1970, dan menurun belakangan dengan rata-rata 5% sampai 20%.
2) Sepsis Awitan Lambat (late-onset sepsis)
Memiliki manifestasi antara 1 minggu sampai 12 minggu kehidupan. Kejadian
ini biasanya diakibatkan oleh transmisi vertikal dan juga nosokomial atau
paparan dari lingkungan. Mortalitas pada sepsis neonatus jenis ini berkisar 2%
sampai 6%.

PATOFISIOLOGI

Sepsis merupakan gabungan interaksi yang kompleks antara mikroorganism


yang menginfeksi dan sistem imun, reaksi radang dan respon sistem
koagulasi.sistem pertahanan induk dikategorikan berdasarkan dua pembagian, yaitu
respon imun inate dan adaptif.

Sistem imun inate

Sistem imun inate memiliki respons yang lebih cepat, karena memiliki
reseptor pengenalan patern, seperti TLR (toll-like receptors), yang berinteraksi pada
molekul yang terdapat pada mikroorganisme patogen. Contohnya, TLR-2,
mengenali peptidoglikan yang terdapat pada kuman gram positif, dan TLR-4,
mengenali lipopolisakarida terdapat pada kuman gram negatif.

Respons inflamasi terdapat terjadinya sepsis. Sepsis menyebabkan respons


inflamasi, dan menyebabkan kerusakan, baik langsung maupun tidak langsung pada
jaringan. Ikatan TLR (tool-like receptors) terhadap dinding mikroorganisme patogen
(gram negatif dan gram positif), mengaktivasi jalur transduksi sinyal intraseluler,
yang menyebabkan aktivasi dari sitosolik nuclear factor kB (NF-kB). NF-kB yang
telah aktif ini, bergerak dari sitoplasma ke nukleus sel, berkaitan dangan lokasi
inisiasi transkripsi dan meningkatkan transkripsi dan sitokin septi TNF-a,
interleukin-1ᴃ dan interleukin-10b yang merupakan sitokin proinflamatori yang aktif
pada sistem imun adaptif, tetapi juga menyebabkan kerusakan jaringan induk, baik
langsung maupun tidak langsung. Sepsis meningkatkan aktivitas inducible nitric
oxid synthase (iNOS), yang akan meningkatkan sistensis nitric oxide (NO), suatu
vasodilator poten. Kunci utama endotelium adalah permeabilitas yang selektif,
vasoregulasi, dengan memiliki permukaan antikoagulan. Namun, sitokin
meningkatkan aktivitas sel edotelial, dengan cara meningkatkan reseptor adhesi dan
merusak sel endotel secara langsung, dengan merangsang netrofil, monosit, makfag
dan trombosit, menempel pada sel endotel, sel-sel afektor ini, seperti protease,
oksidan, prostaglandin dan leukotrien, yang menyebabkan peningkatan dari
permeabilitas kapiler, vasodilatasi lanjut, dan perubahan keseimbangan prokogulan-
antikoagulan. Sitokin juga mengaktivasi kaskade koagulasi. (disadur dari russel jA,
dkk. N EngI J Med. 2006;355(16);1699-178).

Ikatan yang terjadi antara TLR terdapat epitope mikroorganisme,


menstimulasi sinyal intraseluler, meningkatkan transkripsi molekul proinflamatori,
seperti TNF-a (tumor Necrosis Factor-a ) dan IL-10 (interleukin-1ᴃ), sama kerjanya
seperti pada sitokin antiinflamatori, misal IL-10. Sitokin inflamatori ini
menyebabkan peningkatan kemampuan adhesi molekul pada sel-sel neutrofil dan
eosinofil.

Walaupun neutrofil aktif dapat membunuh bakteri, mereka juga dapat


menyebabkan keruksakan endotelium dengan melepaskan mediator-mediator yang
dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler, sehingga dapat terjadi edema oleh
kerena peningkatan aliran “kaya protein” ke dalam jaringan paru atau jaringan
lainnya, sebagai tambahan, sel-sel endotelial yang teraktivasi ini, melepaskan nitric
oxide(NO), suatu vasodilator poten, yang bertidak sebagai mediator pada syok
septik.

Sistem Imun adaptif

Mikroorganisme menstimulasi sistem imun humoral yang spesifik dan


respon imun adaptif, memperkuat sistem imun inate. Sel B-limfosit, melepaskan
immunoglobulin yang mengikat mikroorganisme, memfasilitasi pengantaran
mikroorganisme ini oleh sel sel presenting-antigen ke sel-sel natiral killer dan
netrofil, yang nantinya akan membunuh mikroorganisme ini.

Subgrup sel T-limfosit, mengalami perubahan saat terjadinya sepsis.sel-sel


Helper T (CD4+), dapat dikategorikan sebagai sel-sel tipe-1 helper (Th-1) atau tipe-
2 helper (Th-2). Sel sel Th-1, secara umum menyekresi sitokin proinflamatori seperti
TNF-a dan interleukin-4 dan interleukin-10, tergantung dari organisme yang
menginfeksi, luasnya infeksi dan faktor-faktor lainnya.
Gangguan Keseimbangan Prokoagulan-Antikoagulan
Regulasi faktor faktor pada jaringan (tissue factors), dan mengaktivasi
terjadinya koagulasi. Fibrinogen dikonversi menjadi fibrin, yang menyebabkan
pembentukan trombus di mikrovaskuler dan memperparah terjadinya kerusakan sel.
Faktor-faktor anti koagulan, mengubah sistem koagulasi (seperti protein C,
protein S, antitrombin III, dan tissue factor pathway inhibitor). Trombin-α berikatan
dengan trombomodulin, sehingga mengaktifkan protein C yang telah aktif ini, akan
menginaktivasi faktor Va dan VIIIa, dan juga menghambat sintesis dari
plasminogen-activator inhibitor-1. Protein C yang telah aktif , menurunkan
apoptosis, adhesi dari leukosit dan produksi sitokin.
Sepsis menurunan kadar protein C, protein S, antitrombin III dan tissue factor
pathway inhibitor. Lipopolisakarida dan TNF-α, menurunkan sintesis
trombomodulin dan reseptor protein C endotelial, mengganggu aktivasi protein C
dan meningkatkan sintesis dari plasminogen activator inhibitor-1, yang mengganggu
terjadinya fibrinolisis.
Kunci utama pemahaman sepsis adalah dapat mengenali respon proinflamatori
dan prokoagulan, yang diperkuat oleh kejadian iskemia sekunder (syok) dan
hipoksia (kerusakan fungsi paru), melalui pelepasan faktor jaringan dan
plasminogen activator inhibitor-1.
KRITERIA DIAGNOSIS
Walaupun definisi sepsis telah diketahui pada dewasa, tidak banyak
penelitian dilakukan pada populasi anak dan neonatus sampai tahun 2002 sehingga
Goldstein dan kawan-kawan membuat suatu kriteria diagnosis.
Kelompok Usia Frekuensi Nadi Frekuensi Tekanan Jumlah Leukosit
(kali/menit) Nafas Sistolik (x103/mm)
(kali/menit) (mmHg)

Newborn ( 0 hari-1 >180 atau <100 >50 <65 >34


minggu)
Neonatus ( 1 minggu-1 >180 atau <100 >40 <75 >19,5 atau <5
bulan)
Infant ( 1 bulan-1 >180 atau <90 >34 <100 >17,5 atau <5
tahun)
Toddler/Presekolah (2- >140 >22 <94 >15,5 atu <6
5 tahun)
Anak usia sekolah (6- >130 >18 <105 >13,5 atau <4,5
12 tahun)
Remaja/Dewasa muda >110 >14 <117 >11 atau <4,5
(13 sampai <18 tahun)

Disaur dari: Speer Al, dkk. Pediatric Surgery 7th ed. Elsevier Saunders: 2012.p.141-
63.
Sepsis pada anak-anak berdasarkan kelompok usia, yang disebut dengan
kriteria:
1) Goldstein; newborn (0 hari sampai 1 minggu),
2) Neonatus (1 minggu sampai 1 bulan),
3) Infant (1 bulan sampai 1 tahun),
4) Toddler dan prasekolah (2 tahun sampai 5 tahun),
5) Anak usia sekolah (6 sampai 12 tahun) dan
6) Remaja dan dewasa muda (13 tahun samapi <18 tahun).

Adapun untuk bayi-bayi prematur tidak termasuk dalam kelompok-kelompok


ini, oleh karena penanganan mereka khusus dilakukan di unit pelayanan intensif
neonatal.

SYOK SEPTIK
Adalah syok yang ditandai dengan penurunan respons setelah pemberian cairan > 40
ml. /kg BB dalam 1 jam.
COLD SHOCK
Adalah syok yang ditandai dengan penurunan perfusi, perubahan status
mental,pengisian kembali kapiler > 2 detik, palsasi perifer berkurang,mottled, akral
dingin atau jumlah urin <1 ml/kgBB/jam/

MANIFESTASI KLINIS

1. Manifestasi Klinis
a. Tanda dan Gejala Umum
- Hipertermia (jarang) atau hipotermia (umum) atau bahkan normal.
- Aktivitas lemah atau tidak ada
- Tampak sakit
- Menyusu buruk/intoleransi pemberian susu.
b. Sistem Pernafasan
- Dispneu
- Takipneu
- Apneu
- Tampak tarikan otot pernafasan
- Merintik
- Mengorok
- Pernapasan cuping hidung
- Sianosis
c. Sistem Kardiovaskuler
- Hipotensi
- Kulit lembab dan dingin
- Pucat
- Takikardi
- Bradikardi
- Edema
- Henti jantung
d. Sistem Pencernaan
- Distensi abdomen
- Anoreksia
- Muntah
- Diare
- Menyusu buruk
- Peningkatan residu lambung setelah menyusu
- Darah samar pada feces
- Hepatomegali
e. Sistem Saraf Pusat
- Refleks moro abnormal
- Intabilitas
- Kejang
- Hiporefleksi
- Fontanel anterior menonjol
- Tremor
- Koma
- Pernafasan tidak teratur
- High-pitched cry
f. Hematologi
- Ikterus
- Petekie
- Purpura
- Prdarahan
- Splenomegali
- Pucat
- Ekimosis
KOMPLIKASI
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain meningitis yang dapat
menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan leukomalasia periventrikular. Komplikasi
acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan syok septik dapat dijumpai pada
pasien sepsis neonatorum. Komplikasi lain adalah berhubungan dengan penggunaan
aminoglikosida, seperti tuli dan toksisitas pada ginjal, komplikasi akibat gejala sisa
atau sekuele berupa defisit neurologis mulai dari gangguan perkembangan sampai
dengan retardasi mental bahkan sampai menimbulkan kematian (Depkes, 2007).
PENATALAKSANAAN SEPSIS

Pada tahun 2002, European of intensive caremedicine, International sepsis


forum, dan society of critical care medicine (SCCM), telah membuat satu konsensus
bersama penanganan sepsis, yang disebut dengan tThe surviving sepsis campaign
(ACCM) juga membuat pedoman praktis klinis untuk pempertahankan hemodinamik
pada pasien-pasien anak dan neonatus dengan sepsis. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa pedoman ini sangat berguna untuk menyematkan anak-anak
dan neonatus yang menderita sepsis.
Algoritma penanganan berdasarkan sensitivitas waktu dan terarah untuk perbaikan
hemodinamik bagi bayi dan anak

Mengenali tanda-tanda penurunan kesadaran dan gangguan perfusi.


IGD Mulai memberikan oksigen aliran yang tinggi. Memasang akses
intravena

0 menit Inisial resusitasi: Bolus 20 cc/kg cairan kristaloid isotonik atau


koloid sampai 60 cc/kg sampai ada perbaikan perfusi atau kecuali
sampai timbul hepatomegali.

5 menit Perbaikan hipoglikemia dan hipokalsemia.

Mulai pemberian antibiotik

Syok refrakter cairan: mulai pemberian inotropik IV/IO. Berikan


atropine/ketamin IV/IO/IM untuk menjaga aksesvena sentral dan Dosis dopamin
jalan udara jika dibutuhkan. samapi 10
15 menit mcg/kg/menit,
Revense cold shock dengan titrasi dopamin atau jika sudah resisten,
epinefrin 0,05
berikan titrasi epinefrin secara sentral.
sampai 0,3
Revense warm shock dengan titrasi norepinefrin secara sentral. mcg/kg.mnt

Catecholamine Resistent Shock: Mulai pemberian hidrokortison,


jika ada resiko terjadinya isufisiensi adrenal absolut.
60 menit

Monitor CVP di PICU, pertahankan normal MAP-CVP dan


Scvo>70
PICU

Cold Shock dengan tekanan Warm Shock dengan tekanan


Cold Shock dengan tekanan darah darah yang rendah: darah yang rendah:
yang normal:
1. Titrasi cairan epinefrin 1. Titrasi cairan dan
1. Tirasi cairan dan epinefrin 2. Jika Scvo2<70%, norepinefrin
Scvo2>70%, Hb>10 g/dl tambahkan dobutamin 2. Jika hipoensi, berikan
2. Jika Scvo2<70%, 3. Jika tetap hipotensi, vasopresor
tambahkan vasodilator tambahkan nonepinefrin. 3. Jika Scov2<70%,
berikan epinefrin dosis
rendah

Persistent cathecolamine resistant shock: atasi efusi pericardial dan


pneumotoraks dan tekanan intraabduminal>12mmHg.

Pantau cardiax index>3,3 dan <6,0 L/menit/m

Syock yang refrakter. ECMO


PATOFLOW

Penyakit yang diderita ibu

Bakteri dan virus

Melalui plasenta

Masuk ke neonatus

Masa antenatal Masa intranatal Pascanatal

Kuman dan virus dari ibu Kuman di vagina dan serviksi


Infeksi nosokomial dari
Melewati plasma lingkungan luar rahim
Naik mencapai kiroin
dan umbilikus dan amnion
Melalui alat alat: penghisap
lendir, selang endotrakea,
Masuk kedalam tubuh bayi Amnionitis dan korionitis infuse, selang nasagastrik,
botol minuman atau dot

Melalui sirkulasi darah janin Kuman melalui umbilikus

Masuk ke tubuh janin

SEPSIS

Sistem pencernaan, Anoriksia,


Sistem pernafasan, Ante, Intra, Postnatal,
Muntah, Diare, Menyusu buruk,
Hepatomegali, Peningkatan Dispneu, Takipneu, Hipertermi, Aktvitas
residu setelah menyusu Apneu, Tarikan otot lemah, Tampak sakit,
Pernafasan, Sianosis Menyusu buruk,
Peningkatan Leukosit
Darah
Gangguan sistem Pola Nafas Terganggu
Gastrointestinal
Masalah Kep: Infeksi yang b.d
penularan infeksi pada bayi
sebelum, selama, dan sesudah
kehamilan.
Masalah Kep.: Nutrisi
kurang dari
kebutuhan Masalah Kep.: Gangguan Pola
Nafas b.d apneu
b.d minum sedikit
BAB IV

KESIMPULAN

KESIMPULAN

Kejang demam merupakan jenis kejang yang sering terjadi, terbagi atas kejang
demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam merupakan suatu
kondisi yang patut diperhatikan, dan tatalaksana yang tepat dapat mengatasi kondisi
kejang dan mengatasi kausanya. Sebagian besar kejang demam tidak menyebabkan
penurunan IQ, epilepsi, ataupun kematian. Kejang demam dapat berulang yang
kadang menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada keluarga. Diperlukan
pemeriksaan sesuai indikasi dan tatalaksana menyeluruh. Edukasi orang tua penting
karena merupakan pilar pertama penanganan kejang demam sebelum dirujuk ke
rumah sakit.

Sepsis adalah systemic inflammation respons syndrome (SIRS) yang disertai


dugaan atau bukti ditemukannya infeksi di dalam darah. Kondisi patologis pada
keadaan sepsis (sepsis berat atau syok sepsis) dapat mempengaruhi pada hampir
setiap komponen sel sirkulasi mikro, termasuk sel endotel, sel otot polos, leukosit,
eritrosit, dan jaringan.

Disfungsi sirkulasi mikro yang terjadi selama beberapa waktu dapat menjadi
penggerak utama kondisi patologis sepsis yang berakibat pada kegagalan organ yang
kemudian dapat terjadi kegagalan multiorgan.

SARAN

Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan
saran sangat kami harapkan demi perkembangan dan kebaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.

Tucker Susan Martin, at al.,1999, Standar Perawatan Pasien, Proses Keperawatan,


Diagnosis dan evaluasi, EGC, Jakarta.

Dongoes, Marlynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

digilib.unimus.ac.id/.../jtptunimus-gdl-rizqianag0-5455-2-babii.pd (17/03/18 jam


19.30)

Ngastiyah.1997. Perawatan Anak Sakit.EGC.Jakarta.

Widagdo.2011.Masalah dan Tatalaksana Penyakit Infeksi Pada Anak. Cv sagung seto.

Jakarta.

https://www.google.co.id/amp/s/thefuturisticlovers.worspress.com/2011/04/23/asuhankep
erawatan-pada-pasien-kejang-demam/amp/ (12/03/2018 jam 13:00)

https://id.scribd.com (15/03/2018 jam 18:30)

https://www.newbornwhocc.org/2014_pdf/Neonatal%20sepsis%202014.pdf

Anda mungkin juga menyukai