Anda di halaman 1dari 30

TUGAS ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DENGAN EPILEPSI

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 3

NAMA KELOMPOK :

1. Yosy Hardian Ramadhan ( 202001171 )


2. Rahmah Dani Dwi Safitri (202001149)
3. Sintia anggun irmawati (202001158)
4. Resa Sinta Anggraini (202001139)
5. Adelia putri Ardhaneswari (202001143)
6. Riyas Pratiwi (202001167)
7. Fitri Rahmah Lailatul Intan (202001180
8. Elok Rahma Diesa (202001175)
9. Rinda Kirana W (202001154)
10. Garin Dwi Prabandari (202001162)

STIKES BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO


S1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2022 / 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada kelompok kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat
dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul asuhan
keperawatan epilepsy dengan tepat waktu.
Makalah keperawatan dasar ini disusun guna memenuhi tugas dosen/guru pada
Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca tentang asuhan keperawatan epilepsi.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu selaku guru


mata dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah asuhan
keperawatan epilepsy . Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak
yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Mojokerto ,23 september 2022


DAFTAR ISI
Cover …………………………………………………………………………….a
Kata Pengantar …………………………………………………………………b
Daftar isi ………………………………………………………………………...c
BAB I ( Pendahuluan )…………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………….
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………
1.3 Tujuan ………………………………………………………………………..
1.3.1 Tujuan Umum ………………………………………………………………
1.3.2 Tujuan Khusus………………………………………………………………
1.4 Manfaat ………………………………………………………………………
BAB II ( Tinjauan Pustaka )……………………………………………………..
2.1 Sistem Saraf …………………………………………………………………
2.2 sistem saraf pusat ……………………………………………………………
2.3 sistem saraf perifer ………………………………………………………….
BAB III ( Epilepsi )……………………………………………………………..
3.1 Definisi………………………………………………………………………
3.2 Etiologi ………………………………………………………………………
3.3 Patofisiologi………………………………………………………………….
3.4 Manifestasi Klinis …………………………………………………………...
3.5 Penatalaksanaan……………………………………………………………..
3.6 Pemberian Diagnostik………………………………………………………..
3.7 Komplikasi…………………………………………………………………...
3.8 Prognosis…………………………………………………………………….
3.9 status epilepticus ……………………………………………………………
BAB IV ( Asuhan Keperawatan )……………………………………………….
4.1 pengkajian …………………………………………………………………..
4.1.1 Annamnesa………………………………………………………………...
4.1.2 Pemeriksaan Fisik ( ROS )………………………………………………...
4.1.3 Pemeriksaan Penunjang …………………………………………………..
4.2 Diagnosa Keperawatan ……………………………………………………..
4.3 Intervensi keperawatan ……………………………………………………..
4.4 Evaluasi keperawatan ………………………………………………………

BAB V ( penutup & kesimpulan )………………………………………………


5.1 Kesimpulan ………………………………………………………………..
5.2 Saran ………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stress adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang tampak berbahaya atau sulit.
Stress membuat tubuh memproduksi hormon adrennaline yang berfungsi untuk
mempertahankan diri, karena stress merupkan bagian dari hidup manusia. Tidak
jarang pula bahwa stress adalah dampak dari suatu penyakit yang diderita
seseorang, dan penyakit yang sering kambuh, seperti kejang, epilepsi.
Sistem saraf adalah sistem organ pada manusia yang terdiri atas serabut saraf yang
tersusun atas sel-sel saraf yang saling terhubung dan esensial untuk persepsi
sensori indrawi, aktivitas motorik volunter dan involunter organ atau jaringan
tubuh, dan homeostasis berbagai proses fisiologi tubuh. Sistem saraf mrupakan
jaringan paling rumit dan paling penting karena terdiri dari jutaan sel saraf
(neuron) yang saling terhubung dan vital untuk perkembangan bahasa, pikiran dan
ingatan. Kelainan pada sistem saraf sangat banyak, dan yang sering terjadi dan
dikenal masyarakat adalah epilepsi.
Epilepsi dikenal sebagai salah satu penyakit tertua di Dunia (2000 tahun SM) dan
menempati urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan peredaran darah
otak (Harsono, 1996). Dengan tatalaksana yang baik sebagian besar penderita
dapat terbebaskan dari penyakitnya, namun masih ditemukan banyak kendala, di
Indonesia diantaranya kurangnya dokter spesialis saraf, kurangnya keterampilan
dokter dan tim medis dalam menangani dan menanggulangi penyakit ini.
Walaupun penyakit ini telah dikenal lama oleh masyarakat, namun masih saja
banyak istilah-istilah untuk penyakit ini karena beragamnya kebudayaan, seperti
sawan, ayan, sekalor, dll. Akan tetapi pengertian penyakit ini masih kurang
bahkan salah sehingga penderita masih saja digolongkan dalam penyakit gila,
kutukan, dan turunan sehingga penderita tidak diobati atau bahkan
disembunyikan. Akibatnya banyak penderita epilepsi yang tidak terdiagnosis dan
mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya.
Di Indonesia belum ada data epidermiologis yang pasti tetapi diperkirakan ada
900.000- 1.800.000 penderita, sedangkan penanggulangan penyakit ini belum
merupakan prioritas dalam sistem kesehatan Nasional. Oleh karena pentingnya
pengetahuan untuk mengobati dan mencegah terjadinya penyakit ini sejak dini
serta masih melekatnya faktor kebudayaan yang salah pada penderita epilepsi,
maka perlu dibahas asuhan keperawatan pada kasus epilepsi lebih dalam.
Gangguan ini sangat penting untuk dibahas karena sangat dekat sekali dengan
kehidupan sehari-hari. Gangguan ini tentu bisa merusak aspek psikologi dan
psikososial penderita dan diperlukan asuhan keperawatan yang holistik sebagai
sarana promotif, prevetif dan kuratif yang efektif sehingga dapat menurunkan
risiko gangguan sistem saraf.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi dari Epilepsi?
2. Apakah penyebab terjadinya Epilepsi?
3. Bagaimana patofisiologi terjadinya Epilepsi?
4. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan penyakit Epilepsi?

1.3 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan gangguan pada saraf “Epilepsi”.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui definisi dan klasifikasi tentang epilepsi
2. Mengetahui dan memahami tentang patofisiologi epilepsi.
3. Mengetahui dan memahami tentang komplikasi epilepsi.
4. Mengetahui dan memahami tentang manifestasi klinis epilepsi.
5. Mengetahui dan memahami tentang penatalaksanaan medis epilepsi
6. Mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan pada epilepsi

1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang ingin dicapai dengan adanya makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Mahasiswa
Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami definisi, patofisiologi,
manifestasi klinis, penatalaksanaan medis pada ganguan sistem saraf ‘Epilepsi’
serta dapat menerapkan asuhan keperawatan pada ganguan sistem saraf ‘Epilepsi’,
khususnya untuk mahasiswa keperawatan.
2. D
osen
Makalah ini dapat dijadikan tolok ukur sejauh mana mahasiswa mampu
mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen dan sebagai bahan pertimbangan
dosen dalam menilai mahasiswa.

3. Masyarakat umum
Masyarakat umum dapat mengambil manfaat dengan mengetahui definisi,
patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan medis dan asuhan keperawatan
pada ganguan sistem saraf ‘Epilepsi’.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Saraf


Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan
serta terdiri dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf, lingkungan
internal dan stimulus eksternal dipantau dan diatur.

Gambar 1. Sistem saraf

Dalam hal ini diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama:
1. Input sensorik, sistem saraf menerima sensasi atau stimulus melalui
reseptor, yang terletak di tubuh baik eksternal (reseptor somatik) maupun internal
(reseptor viseral).
2. Aktivitas integratif. Reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik
yang menjalar disepanjang saraf sampai ke otak dan medulla spinalis, yang
kemudian akan menginterpretasi dan mengintegrasi stimulus, sehingga respons
terhadap informasi bisa terjadi.
3. Output motorik. Impuls dari otak dan medulla spinalis memperoleh respins
yang sesuai dari otot dan kelenjar tubuh, yang disebut sebagai efektor.

Sistem saraf berfungsi untuk mengumpulkan dan memproses informasi,


memberikan reaksi terhadap berbagai rangsangan, dan mengatur kerja berbagai
sel. Sistem saraf terdiri dari sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer.

2.2 Sistem saraf Pusat


Sistem saraf pusat atau central nervous system (CNS) berfungsi untuk
menerima, memproses, menginterpretasikan, dan menyimpan informasi sensoris
yang datang, seperti informasi mengenai rasa, suara, bau, warna, tekanan pada
kulit, kondisi organ internal, dan lain-lain. Sistem saraf pusat juga mengirimkan
pesan untuk otot, kelenjar, dan organ internal. Secara konseptual, sistem saraf
pusat dapat dikatakan memiliki dua komponen, yaitu otak dan saraf tulang
belakan (spinal cord). Saraf tulang belakang bermula dari dasar otak, kemudian
menjulur di sepanjang bagian tengah punggung dan dilindungi oleh tulang
punggung. Saraf tulang belakang berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan otak dengan bagian-bagian lain dari tubuh yang terletak di
bawah leher.

Gambar 2. Sistem saraf pusat


2.3 Sistem Saraf Perifer
Sistem saraf prifer atau PNS berfungsi menangani pesan informasi yang
masuk dan keluar dari sistem saraf pusat. Sistem saraf perifer meliputi semua
bagian dari sistem sarf yang terletak di luar otak dan saraf tulang belakng, sampai
saraf-saraf ujung jari tangan dan jari kaki.
Sistem sarat tepi adalah sistem saraf yang berada pada paling ujung sistem saraf.
Sistem saraf tepi langsung berhubungan reseptor saraf. Sistem saraf tepi biasa
juga disebut dengan sistem saraf perifer. Kerja sistem saraf tepi ada dua macam,
ada yang bekerja dalam sistem sadar, dan ada pula diluar kesadaran otonom.
Sistem saraf tepi berada diluar sistem saraf pusat, dan tidak dilindungi oleh rangka
khusus, sehingga mudah mengalami kerusakan, seperti terpapar racun, luka akibat
benturan dan lani-lain. Tetapi kerusakan sistem saraf tepi biasanya mudah
mengalami regenerasi dan tidak terlalu berefek negatif dalam skala besar,
mengingat jumlah sel dalam sistem saraf tepi sangat banyak.
Sistem saraf tepi, berdasarkan tipenya dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Saraf Sensorik/Aferen
Berfungsi menghantarkan informasi dari reseptor sensorik menuju sistem saraf
pusat (penerimaan stimulus).

2. Saraf Motorik/Eferen

Berfungsi menghantarkan informasi dari sistem saraf pusat menuju otot/kelenjar


(dari sinilah terjadi gerak respon).

Dilihat dari letaknya, sistem saraf tepi bisa dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Saraf Kranial (sistem saraf yang berada dikepala, terdiri dari 12 pasang
saraf)
2. Saraf spinalis/ sumsum tulang belakang (terdiri dari 31 pasang saraf, yang
dilindungi oleh ruas-ruas tulang belakang).
Gambar 3. Sistem saraf perifer

Sedangkan, jika dilihat dari cara kerjanya, sistem saraf tepi dibedakan menjadi:
1. Saraf Simpatis (bekerja untuk merangsang/memacu kerja organ-organ
tubuh)
2. Saraf parasimpatis (bekerja menstabilkan kembali aktivitas organ-organ
tubuh).
BAB III
EPILEPSI

3.1 Definisi

Epilepsy adalah sindrom klinis yang ditandai dengan dua atau lebih bangkitan.
Sebagai besar timbul tanpa provokasi akibat kelainan abnormal primer diotak dan
bukan sekunder oleh sebab sistemik. Penyakit epilepsi telah dikenal lama di
masyarakat (terbukti dengan adanya istilah-istilah bahasa daerah untuk penyakit
tersebut seperti sawam, ayan, sekalor, dan celengan), tapi pengertian akan
penyakit tersebut masih kurang bahkan salah sehingga penderita digolongkan
dalam penyakit gila, kutukan dan turunan akibatnya penderita tidak diobati atau
bahkan disembunyikan. Harsono (2007) menambahkan bahwa hal tersebut
mengakibatnya banyak penderita epilepsi tidak terdiagnosis dan mendapat
pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya.

Harsono (2004) memaparkan bahwa masyarakat awam menganggap epilepsi atau


ayan merupakan penyakit akibat adanya gangguan di otak atau disebabkan oleh
kekuatan supranatural, dan tiap jenis serangan dikaitkan dengan nama roh atau
setan sehingga terapinya juga didasarkan atas kekuatan spriritual. Masyarakat juga
menganggap epilepsi sebagai penyakit yang memalukan atau menakutkan karena
dianggap menular melalui buih yang keluar dari mulut penderita yang terkena
serangan. Sedangkan menurut (kumala et al,1998) Epilepsi adalah kelompok
sindrom yang ditandai dengan gangguan otak sementara yang bersifat paroksimal
yang dimanefestasikan berupa gangguan atau penurunan kesadaran yang
episodic, fenomena motorik yang opnormal, gangguan psikis, sensorik, dan
system otonom, gejala-gejalanya disebabkan oleh aktifitas listrik otak. Manifestasi
serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut yaitu
gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang.
Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa
gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan
motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan
tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus
epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah
bermacam jenis epilepsi

Banyaknya masalah psikologis bagi penderita epilepsi yang disebabkan karena


tekanan internal maupun tekanan eksternal akan beresiko mengalami gangguan
keberfungsian dalam hidup, baik di sekolah, di tempat kerja maupun di tempat
umum lainnya. Hal ini disebabkan karena penderita epilepsi selalu merasa cemas
kalau serangan epilepsinya akan kumat ditambah lagi persepsi masyarakat yang
negatif terhadap penyakit epilepsi.

Terdapat dua klasifikasi epilepsi yaitu:

1. Epilepsi serangan parsial atau fokal


 Epilepsi parsial sederhana
Pada epilepsi ini hanya satu jari atau tangan yang bergetar, atau mulut dapat
tersentak tak terkontrol. Individu akan berbicara yang tidak dapat dipahami,
pusing, dan mengalami sinar, bunyi, atau rasa yang tidak umum atau tidak
nyaman.
 Epilepsi parsial kompleks
Pada epilepsi jenis ini melibatkan gangguan fungsional serebral pada tingkat yang
lebih tinggi, seperti proses ingatan dan proses berfikir, individu tetap tidak
bergerak atau bergerak secara otomatis tetapi tidak tepat dengan waktu dan
tempat, atau mengalami emosi berlebihan yaitu takut, marah, kegirangan, atau
peka rangsang.
2. Epilepsi umum
Kejang umum atau sawan tonik-klonik primer yang dulu dikenal sebagai epilepsi
grand-mal, awalnya dimulai dengan kehilangan kesadaran dan disusul dengan
gejala motorik secara bilateral, ini dapat berupa ekstensi tonik dari semua
ekstremitas selama beberapa menit, disusul oleh gerakan klonik yang sinkron dari
otot-otot tersebut. Beberapa penderita dapat menunjukkan komponen tonik saja
atau klonik saja atau klonik-tonik-klonik. Segera sesudah sawan berhenti
kesadaran belum pulih dan penderita tertidur. Kadang-kadang sebelum sawan ada
gejala prodromal berupa kecemasan yang tidak menentu atau rasa tidak nyaman.
Serangan tonik-klonik umum dapat terjadi pada segala usia, namun paling sering
terjadi pada umur 0-20 tahun. Serangan berlangsung selama 2-5 menit.
Pascaserangan, penderita tampak mengantuk sekali selama beberapa menit sampai
beberapa jam. Setelah sadar pernapasan kembali normal secara berangsur-angsur,
penderita mengalami amnesia parsial dan kadang-kadang ada keluhan nyeri
kepala. Penderita serangan tonik-klonik umum primer maka serangan epilepsi
biasanya muncul pada saat tidak tidur (Harsono, 2001).

3.2 Etiologi

Terdapat beberapa factor yang dapat menyebabkan epilepsy, yaitu

1. Factor fisiologis
2. Factor biokimiawi
3. Factor anatomis
4. Gabungan factor-faktor diatas
5. Penyakit yang pernah diterima (trauma lahir, trauma kapitis, radang otak,
tumor otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomaly kongenital otak,
degenerasi susunan saraf pusat, gangguan metabolism, gangguan elektrolit,
keracunan obat atau zat kimia, jaringan parut factor herediter).

Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik
dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya
West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome. Bila salah satu orang tua epilepsi
(epilepsyi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila
kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-
30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti
hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan
kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH,
kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan
epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami
perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa
haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat
mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi.
Tabel Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th) 1. Hipoksia dan iskemia
paranatal
2. Cedera lahir intrakranial
3. Infeksi akut
4. Gangguan metabolik
(hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi
piridoksin)
5. Malformasi kongenital
6. Gangguan genetic

Anak (2- 12 th) 1. Idiopatik


2. Infeksi akut
3. Trauma
4. Kejang demam
Remaja (12- 18 th) 1. Idiopatik
2. Trauma
3. Gejala putus obat dan alcohol
4. Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) 1. Trauma
2. Alkoholisme
3. Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) 1. Tumor otak
2. Penyakit serebrovaskular
3. Gangguan metabolik (uremia,
gagal hepatik, dll )
4. Alkoholisme

3.3 Patofisiologi
Adanya predisposisi yang memungkinkan gangguan pada sistem listrik dari sel-
sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel-sel tersebut
memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak
terkontrol (disritmia). Aktivitas serangan epilepsi dapat terjadi sesudah gangguan
pada otak dan sebagian ditentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada
mesenfalon, talamus, dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat
epiloptogenik, sedangkan lesi pada serebelum dan batang otak biasanya tidak
menimbulkan serangan epilepsi.
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia
tertentu. Beberapa diantaranya adalah ketidakstabilan membran sel saraf sehingga
sel lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun,
sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara berlebihan.
Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan abnormal
terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju ke arah epilepsi. Gerakan-
gerakan fisik yang tidak teratur disebut kejang. Akibat adanya disritmia muatan
listrik pada bagian otak tertentu ini mmemberikan manifestasi pada serangan awal
kejang sederhana sampai gerakan konvulsif memanjang dengan penurunan
kesadaran.
Status epilepsi menimbulkan kebutuhan metabolik besar dan dapat mempengaruhi
pernapasan.. terdapat beberapa kejadian henti napas pada puncak setiap kejang
yang menimbulkan kongesti vena dan hipoksia otak. Episode berulng anoksia dan
pembengkakan serebral dapat menimbulkan kerusakan otak janin yang tak
reversibel dan fatal. Faktor-faktor pencetus epilepsi meliputi gejala putus obat
antikonvulsan, demam, dan infeksi penyerta.
Secara patologi, fenomena biokimia sel saraf yang menandai epilepsi:
1. Ketidakstabilan membran sel saraf.
2. Neuron hypersensitif dengan ambang menurun.
3. Polarisasi abnormal.
4. Ketidakseimbangan ion.

3.4 Manifestasi klinis

Sebelum membicarakan gejala-gajala yang berhubungan dengan epilepsi, perlu


dibedakan anatara sawan epilepsi dan sindrom epileptik atau penyakit epilepsi.
Sawan epileptik menurut klasifikasi yang dirancang oleh international league
against epilepsy ( ILAE) 1981, dibagi atas tiga tipe :
1. Sawan parsial, yang berasal dari daerah tertentu dalam otak. Sawan ini
dibagi menjadi:
 Sawan parsial sederhana
 Sawan parsial kompleks
 Sawan umum sekunder
2. Sawan umum primer, yang sejak awal seluruh otak terlibat secara
bersamaan. Sawan ini dibagi menjadi :
 Sawan tonik-klonik
 Sawan lena
 Sawan mioklinik
 Sawan tonik saja
 Sawan klonik saja
 Sawan atonik.
3. Sawan yang tidak terklaisfikasikan.
Sawan parsial sederhana ditandai dengan kesadaran yang tetap baik dan dapat
berupa:
a. motorik fokal yang menjalar atau tapa menajalar
b. grakan versif, dengan kepala dan leher menengok ke satu sisi, atau
c. dapat pula sebagai gejala sensorik fokal menlar atau sensorik khusus
berupa halusinasi sederhana.
Pada sawan parsial kompleks didapat adanya gangguan kesadaran
dan gejala psikis atau gangguan fungsi lpuhur, umpamanya disfasia, deja-vu,
jarnalis-vu, keadaan seperti mimpi. Ilusi, halusinasi, sederhana atau kompleks.
Otomatisme bukan manifestasi khusus pada sawan parsial kompleks. Tapi dapat
terjadi karena sawan lena, dan pada pasca sawan tonik klonik. Penderita sering
menjadi bingung, disorientasi, selama beberapa menit pasca sawan parsial
kompleks ini.
Sawan parsial dapat beubah menjadi sawan jenis lain melalui beberapa
tingkatan, hal ini menunjukkan adanya penyebaran lepasan listrik ke berbagai
bagian otak. Suatu sawan parsial dapat dimulai sebagai sawan parsial sederhana
beruba menjadi sawan parsial kompleks dulu disusul oleh sawan umum tonik-
klonik sekuder. Sawan parsial merupakan yang paling sering gijumpai, dan lebih
dari 60% sawan kategori ini. Sawan ini dikenal sebagai epileps psikomotor.
Sawan umum tonik klonik primer yang dulu dikenal sebagai epilepsi
grand-mal. Awalnya dimulai dengan kehilangan kesadaran dan disusul dengan
gejala motorik secara bilateral, ini dapat berupa ekstensi tonik dari semua
ekstremitas selama beberapa menit. Disusul oleh gerakan-gerakan klonik

3.5 Penatalaksanaan

Prinsip terapi epilepsi

 Pemilihan obat. Disesuaikan dengan keadaan klinis, efek samping, interna


atas-OAE (obat anti epilepsi), dan harga obat.
 Strategi pengobatan. Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai
dosis, kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi/didapat hasil yag
optimal dan konsentrasi plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika bangkitan
tidak teratasi, secara bertahap ganti ke OAE lini kedua sebelum pemberian
politerapi.
 Konseling. Beritahukan pada keluarga dan pasien bahwa penggunaan
OAE jangka lama tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen
(meskipun penyebab dasara kejang dapat menimbulkan keadaan demikian) dan
pencegahan kejang 1-2 tahun dapat menurunkan kemungkinan bangkitan
berulang. Perubahan obat atau dosis harus sepengetahuan dokter.
 Tindak lanjut. Periksa pasien secara berkala, dan awasi adanya toksisitas
OAE. Pemeriksaan darah dan uji fungsi hati harus dilakukan secara periodik pada
beberapa OAE. Penting juga dilakukan evaluasi ulang fungsi neurologis secara
rutin.
 Penangan jangka panjag. Teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas
bangkitan sekura ng-kurangnya 1-2 tahun.
 Penghentian pengobatan. Dilakukan secara bertahap. Jika penghentian
pengobatan dilakukan secara tiba-tiba, pasien harus dalam pengawasan ketat
karena dapat mencetuskan bangkitanatau bahkan status epileptikus. Jika bangkitan
timbul selama atau sesudah penghentian pengobatan, OAE harus diberikan lagi
sekurang-kurangnya 1-2 tahun.
Untuk keberhasilan pengobata epilepsi, disamping etepatan diagnosa dan jenis
OAE, diperlukan juga kepatuhan, sikap dan pengetahuan penderita menghadapi
penyakit epilepsi.

Memulai pengobatan.
 Pengobatan OAE dapat dimulai bila terjadi kedua kali bangkitan dalam
selang waktu yang tidak lama (maksimum 1 tahun)
 Pada umumnya bangkitan tunggal tidak memerlukan terapi OAE, kecuali
bila terdapat kemungkinan berulang yang tinggi.
 Bangkitan parsial sederhana tipe sensorik/psikis biasanya tidak perlu
OAE, kecuali mengganggu penderita.

Obat-obat anti epilepsi.


1. Karbamezepin. Efektif untuk epilepsi parsial terutama epilepsi parsial
kompleks, epilepsi umum tonik-klonik, maupun kombinasi kedua jenis epilepsi
ini. Karbamazepin tidak efektif untuk epilepsi absens, epilepsi atonik.
 Mekanisme kerja : inhibisi kanal Na+ dan inhibisi Ca+ tipe L.
 Dosis dan pemberian : untuk menghindari efek samping, titrasi untuk
mencapai
kadar terapeutik harus dilakukan perlahan.
a. Dewasa: dimulai dari dosis 100-200 mg pada malam hari atau 2 dd 100
mg, kemudian setelah 3-7 hari ditingkatkan menjadi 2 dd 200 mg. setelah 1
minggu, kadar karmazepin darah diperiksa dan dosis dapat dinaikkan setiap
interval 3-7 hari untuk mencapai kadar 4-12 µg/L. kadar dalam darah sebaiknya
diperiksa setiap 4-6 minggu karena terdapat kemungkinan terjadiautoinduksi
metabolisme, sehingga dosis perlu ditingkatkan.
Dosis: rumatan untuk dewasa: 600-1600 mg/hari, maksimal 2400 mg/hari.
b. Anak-anak: dosis awal 5-10 mg/kg/hari. Pemberian: 2 kali sehari. Kadar
terapeutik : 4-12 µg/L
 Efek samping
a. Berkaitan dengan dosis : pusng, diplopia, mual, muntah, sedasi,
leukopenia ringan, hiponatremia, dan bradiaritmia (pada oang tua)
b. Idosinkratk : ruam (termasuk sindrom steven-john-son), agranulositis,
gagal hati, pankreatitis, dan lupus-like syndrome.
c. Kronis : ostopnia (mungkin dapat dicegah dengan pemberian vitamin D
dan kalsium).
d. Teratogenik
 Interaksi
a. Karbamezepin mengurangi efektifitas klonazepam, etosuksimid, primidon,
valproat, topiromat, fenitonin, fenobarbitalkontraseps oral, disopyramide,
rifampin, ketoconozale, meperidine, warfarin, tacrolimus, proteas inhibitor,
trazodone, and quinidine.
b. Kadar karmazepin diturunkka oleh fermobital dan fenitonin.
c. Kadar karmazepin ditingkatkan oleh eritromisin dan propoxyphne
hydrochloride
2. Fenitonin. Efektif untuk epilepsi parsial dan tonik klonik tidak efektif
untuk absens dan epilepsi mioklonik. Mekanisme kerjanya mirip dengna
karbamazepin.
 Dosis pemberian :
a. Dewasa : loading dose oral 2 dd 500 mg atau 3 dd 300 mg. Rumatan :
300-400 mg/hari dibagi 2.
b. Anak-anak. 4-5 mg/kg/hari, makslam 8 mg/kg.
Pemberian : biasanya 2 kali sehari, tetapi dapat juga 1 kali sehari.
Kadar terapeutik : 10-20 µg
 Efek samping :
Berkaitan dengan dosis : pusing, ataksia, diplopia, dan mual.
Idionsinkratik
Kronis : hiperplasi gusi, hisrutisme, ostpnea, dan pseudolimfoma.
Teratogenik.
3. Benzodiazepin:
a. Diazepam. jarang digunakan per oral, tetapi sering diguanakan secara
intravena atau per rektal untuk pengobatan status epileptikus. Apabila diberikan
secara intravena, onset kerjanya seitar 1-2 menit, tetapi masa kerjanya hanya 15-
20 menit.
Dosis dan pemberian :
Dewasa : 5-20 mg/hari
Anak-anak : 0,3-0,5 mg/kg/hari.
Efek samping : mengantuk kelemahan otot, depresi pernafasan, konfusi,
konstipasi, depresi, diplopia, disartria, nyeri kepala, hipotensi, mual,
inkontinensia, vertigo, dan pandangan kabur.
4. Klonazepam : merupakan terapi tambahan untuk epilepsi mioklonik atau
atonik. Dan kadang-kadang untuk epilepsi parsial. Waktu paruhnya 20-40 jam,
mungkin lebih ;pendek apabila diberikan bersama penginduksi enzim.
5. Fenorbital : fenorbital dapat diberikan pada epilepsi umu, tetapi bukan
merupakan obat pilihan pertama sebab efek sampingnya berupa penurunan fungsi
kognitif.
6. Valporat : dikenal dengan OAE spektrum luas, efektif untuk epilepsi tipe
lena, epilepsi mioklinik, epilepsi umum tonik maupun tonik-klonik.
Efek samping : berkaitan dengan dosis gangguan pencernaan, anoreksa, tremor,
dan trombositopeni. Idiosinkiratik. Kenaikan berat badan, kerontoka rambut dan
perubahan struktur kulit. Teratogenik.

3.6 Pemeriksaan Diagnostik


1. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi
pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif
serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang
tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun
kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau
perinatal dengan defisit neurologik yang jelas.
2. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan. Gambaran EEG menunjukkan cetusan polyspike-wave dan
fotosensitivitas
Typical recording of spike-wave type (generalized seizure)

3. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.


 Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
 Menilai fungsi hati dan ginjal
 Menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan
adanya infeksi).
 Pungsi lumbal untuk mengetahui apakah terjadi infeksi otak

3.7 Komplikasi
1. Kerusakan otak akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat
kejang berulang ulang.
2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas.
3. Komplikasi utama yang berkaitan dengan kejang umum.
4. Kejang disebabkan oleh kontak neuro serebral yang beraturan, cepat dan
tiba-tiba.

3.8 Prognosis
1. Prognosis umumnya baik, 70 – 80% pasien yang mengalami epilepsy akan
sembuh, dan kurang lebih separo pasien akan bisa lepas obat
2. 20 - 30% mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis à
pengobatan semakin sulit à 5 % di antaranya akan tergantung pada orang lain
dalam kehidupan sehari-hari

3. Pasien dg lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi mental, dan
gangguan psikiatri dan neurologik à prognosis jelek

4. Penderita epilepsi memiliki tingkat kematian yg lebih tinggi daripada


populasi umum.

3.9 Status Epileptikus


Pada keadaan status epileptikus, penderita mengalami serangan sawan yang
berkepanjangan tanpa diselingi oleh pulihnya kesadaran. Sawan tonik-klonik
adalah sawan yang paling sering mengalami status. Penyebab status ini karena
penderita tidak minum obat dengan teratur atau adanya kelainan sistemik
misalnya hipoglikemia. Bahaya status ini ialah terjadinya aritmia kordis,
kegagalan respirasi, edema paru, asidosis metabolik, dan hiperpireksia.
Urutan penatalaksanaan penderita dewasa denganstatus epileptikus sebagai
berikut:
1. 0-5 menit
Evaluasi fungsi kardiorespiratorik, anamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologik,
periksa kadar glukosa, BUN, elektrolit, PaO2, beri oksigen.
2. 6-9 menit
Pasang infus dengan dekstrosa 5%, beri 50 ml glukosa 40% intravena
3. 10-30 menit
Diazepam 10 mg intravena dan dapat diulang ½-1 jam kemudian bila masih ada
sawan, atau difenilhidantoin 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50
mg/menit intravena. Selama pemberian difenilhidantoin dilakukan pemantauan
EKG dan tekanan darah.
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN

4.1 Pengkajian
4.1.1 Anamnesa
 Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,
dan penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress
dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcoho (alcoholic)
 Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya
ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran
secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh
anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga
mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak
bicara.
 Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
 Riwayat penyakit dahulu:
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum, cedera kepala, infeksi system saraf,
gangguan metabolik, tumor otak, dll.
4.1.2 Pemeriksaan Fisik (ROS)
1. B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea,
aspirasi
2. B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis

3. B3 (brain): penurunan kesadaran

4. B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine. Pada


pemeriksaan sistem kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume output
urine, hal ini brhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung
ke ginjal.
5. B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi.
Pemenuhan nutrisi pada pasien epilepsi menurun karena anoreksia dan adanya
kejang.

6. B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan


anggota tubuh, mengeluh meriang. Pada fase akut saat kejang sering didapatkan
adanya penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga
mengganggu aktivitas perawatan diri.

4.1.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, ureum
dalam darah. Yang memudahkn timbulnya kejang ialah keadaan hipoglikemia,
hipokalemia, hiprnatremia, uremia dll. Penting juga diperiksa pH darah karena
alkalosis mungkin pula disertai kejang.

2. Pemeriksaan radiologis
Pada foto rontgen kepala dapat dilihat adanya kelainan-kelainan pada tengkorak.
Klasifikasi abnormal dapat dijumpai pada toksoplasmosis, penyakit inklusi
sitomegalik, sklerosis tuberosa, kraniofaringeoma, meningeoma,
oligodendroglioma.

3. Pemeriksaan Psikologis atau Psikiatris


Untuk diagnostik bila diperlukan dilakukan uji coba yang dapat menunjukkan
naik turunnya kesadaran, misalnya test Bourdon-Wiersma.

4.2 Diagnosa Keperawatan


1. Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kejang berulang,
ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang, serta penurunan
tingkat kesadaran.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah
di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons
pascakejang (postikal).
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kebingungan, malas bangun
sekunder respons pascakejang.
5. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan terhadap penyakit.
6. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan depresi akibat epilepsi.

4.3 Intervensi dan Rasional


Diagnosa 1 : Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kejang berulang,
ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang, serta penurunan
tingkat kesadaran.

Tujuan : dalam waktu 1x24 jam perawatan, klien bebas dari cedera yang
disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran.

Kriteria Hasil : klien dan keluarga mengetahui pelaksanaan kejang, menghindari


stimulus kejang, melakukan pengobatan teratur untuk menurunkan intensitas
kejang.
- Tidak ada cedera fisik
- Pasien dalam kondisi aman
- Tidak ada memar dan tidak jatuh

Intervensi dan Rasional


1. Jauhkan pasien dari benda benda tajam / membahayakan bagi pasien.
2. Segera letakkan sendok di mulut pasien yaitu diantara rahang pasien.
3. Kaji karakteristik kejang.
4. Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan
5. Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan
selama pasien kejang.
6. Kolaborasi dalam pemberian obat anti kejang (diazepam, lorazepam dll).   
Diagnosa 2: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan
lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam 1x24 jam, jalan nafas
menjadi efektif

Kriteria hasil :
- TTV normal ( TD: 110 /70 -120/80 ,RR : 16- 20 x/mnt, N : 60 -100x/mnt ,
S : 36,5 -37,50 C )
- Tidak ada sianosis
- Pasien tidak sesak nafas

Intervensi dan Rasional


1.    Anjurkan pasien untuk mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu/gigi
palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang
mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
1. Observasi TTV
2. Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala
selama serangan kejang.
3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/abdomen.
4. Masukkan spatel lidah atau gulugan benda lunak sesuai dengan indiksi.
5. Kolaborasi : pemberian O2   

4.4 Evaluasi
 Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar

 Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi

 Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak


menarik diri (minder)

 Pola napas normal, TTV dalam batas normal

 Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas


sehari- hari secara normal
 Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan
normal.

 Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang

 Status kesadaran pasien membaik

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Epilepsi adalah kelompok sindrom yang ditandai dengan gangguan otak
sementara yang bersifat paroksimal yang dimanefestasikan berupa gangguan atau
penurunan kesadaran yang episodic, fenomena motorik yang opnormal, gangguan
psikis, sensorik, dan system otonom, gejala-gejalanya disebabkan oleh aktifitas
listrik otak. Epilepsi dapat disebabkan oleh:
1. Factor fisiologis
2. Factor biokimiawi
3. Factor anatomis
4. Gabungan factor-faktor diatas
5. Penyakit yang pernah diterima

5.2 Saran
setelah disusun makalah ini, diharapkan mahasiswa dan masyarakat mengetahui
apa itu penyakit epilepsi dan bagaiman asuhan keperawatannya, karena melihat
bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit yang dipandang sebelah mata di
masyarakat sehingga berdampak buruk bagi penderitanya. Dengan mengetahui
tentang konsep keperawatn pada penyakit epilepsi, diharapkan dapat
meningkatkan kehidupan sosial bagi penderita.
DAFTAR PUSTAKA

Sloane, ethel. 2003. Anatomi dan fisiologi untuk pemula: Jakarta. EGC

Wade, Carole dan Travis carol. 2001. Psikologi edisi 9: Jakarta. Erlangga

Dewanto, George & Budi, Riyanto dkk. 2007. Diagnosis & Tata laksana penyakit
saraf: Jakarta. EGC

Harsono. 2007. Neurologi Edisi ke 2: Yogyakarta. Gadjah Mada University Press

Markam, Soemarmo. 2009. Penuntun Neurologi: Tangerang. Binarupa Aksara

Battica, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan gangguan System


Persarafan: Jakarta. Salemba Medika

Lynda Juall C. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta:


EGC.

Marilyn E. Doenges. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 3.


Jakarta: EGC.

Carpenito, Lynda Jual-Moyet. 2008. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10.
Jakarta : EGC.

Doengoes, M. E.,  Moorhouse, M. F., & Geissler, A.C. 2000. Rencana asuhan
keperawatan.  (Edisi 3). Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai