Anda di halaman 1dari 88

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK ANAK KASUS KRONIS DAN

KEGAWATDARURATAN

“Asuhan Keperawatan Kronik Anak dan Keluarga dengan Ganggaun pada Sistem
Neurologi (Hidrosefalus, Kejang Demam dan Cerebral Palsy)”

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak Anak Kasus Kronis Dan
Kegawatdaruratan

Dosen Pembimbing:

Praba Diyan Rachmawati, S.Kep.,Ns.,M.Kep

 Disusun Oleh:
Mariana Meilania Galis (132111123040)
Titien Mulyaningsih (132111123041)
Natasya Nadia Nandari (132111123051)
Guguk Sedyofiatno (132111123052)
Clara Felicia Regina F (132111123053)
Erna Dwi Nur'aini (132111123074)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Kronik Anak dan Keluarga dengan Ganggaun pada Sistem Neurologi
(Hidrosefalus, Kejang Demam dan Cerebral Palsy”. Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Keperawatan Anak Kasus Kronis dan Kegawatdaruratan.
Makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari beberapa pihak oleh karena itu,
pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Praba Diyan Rachmawati, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku dosen pembimbing.
2. Teman-teman kelompok 2 atas semangat dan kerja sama dalam menyelesaikan
makalah ini.
3. Teman-teman angkatan B25 kelas AJ2 atas motivasi yang diberikan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalan ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif. Kami berharap
makalah ini bermanfaat bagi pembaca terutama yang berkecimpung di dunia pendidikan.

Surabaya, September 2022

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
1.4 Manfaat Penulisan 3
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1. Konsep Penyakit Hidrosefalus
2.1.1. Definisi Penyakit
2.1.2. Anatomi dan Fisiologi Aliran CSS (Cairan Serebrospinal)
2.1.3. Etiologi
2.1.4. Manifestasi Klinis
2.1.5. Patofisiologi
2.1.6. Penatalaksanaan Keperawatan
2.1.7. Komplikasi
2.1.6. Konsep Asuhan Keperawatan
2.2. Konsep Penyakit Kejang Demam
2.2.1. Definisi Penyakit
2.2.2. Etiologi
2.2.3. Manifestasi Klinis
2.2.4. Patofisiologi
2.2.5. Pathway
2.2.6. Klasifikasi
2.2.7. Konsep Asuhan Keperawatan
2.3. Konsep Penyakit Cerebral Palsy
2.3.1. Definisi Penyakit
2.3.2. Etiologi
2.3.3. Manifestasi Klinis
2.3.4. Patofisiologi
2.3.5. Pathway
2.3.6. Klasifikasi
2.3.7. Konsep Asuhan Keperawatan
BAB III PEMBAHASAN KASUS
BAB IV PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sistem persarafan berfungsi sebagai pengatur berbagai aktivitas tubuh.Sistem
persarafan terdiri atas saraf pusat dan saraf perifer.Dalam pengkajian sistem
persarafan,pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan fungsi kesadaran,mental,dan
gerakan sensasi.Pengkajian terhadap riwayat cedera kepala,pembedahan pada
persarafan,pingsan,maupun stroke perlu ditanyakan. Gangguan persarafan dapat
menyebabkan gangguan dalam beraktivitas. Dalam rangka menegakkan diagnosis
penyakit saraf diperlukan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
mental dan laboratorium (penunjang). Pemeriksaan neurologis meliputi : pemeriksaan
kesadaran, rangsang selaput otak, saraf otak, sistem motorik, sistem sensorik refleks
dan pemeriksaan mental (fungsi luhur). 
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering terjadi pada
anak, 1 dari 25 anak akan mengalami satu kali kejang demam. Hal ini dikarenakan,
anak yang masih berusia dibawah 5 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit
disebabkan sistem kekebalan tubuh belum terbangun secara sempurna (Harjaningrum,
2011). Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai
mengakibatkan akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik
serebral yang berlebihan. Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron
secara tiba-tiba yang suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang
bersifat sementara. Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°c) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium.
Hydrocephalus telah dikenal sajak zaman Hipocrates, saat itu hydrocephalus
dikenal sebagai penyebab penyakit ayan. Di saat ini dengan teknologi yang semakin
berkembang maka mengakibatkan polusi didunia semakin meningkat pula yang pada
akhirnya menjadi factor penyebab suatu penyakit, yang mana kehamilan merupakan
keadaan yang sangat rentan terhadap penyakit yang dapat mempengaruhi janinnya,
salah satunya adalah Hydrocephalus. Saat ini secara umum insidennya dapat
dilaporkan sebesar tiga kasus per seribu kehamilan hidup menderita hydrocephalus.
Dan hydrocephalus merupakan penyakit yang sangat memerlukan pelayanan 
keperawatan yang khusus.
Hidrosefalus adalah suatu penyakit dengan ciri-ciri pembesaran pada sefal
atau kepala yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal (CSS) dengan
atau karena tekanan intrakranial yang meningkat sehingga terjadi pelebaran ruang
tempat mengalirnya cairan serebrospinal (CSS) (Ngastiah). Bila masalah ini tidak
segera ditanggulangi dapat mengakibatkan kematian dan dapat menurunkan angka
kelahiran di suatu wilayah atau negara tertentu sehingga pertumbuhan populasi di
suatu daerah menjadi kecil. Menurut penelitian WHO untuk wilayah ASEAN jumlah
penderita Hidrosefalus di beberapa negara adalah sebagai berikut, di Singapura pada
anak 0-9 th : 0,5%, Malaysia: anak 5-12 th 15%, India: anak 2-4 th 4%, di Indonesia
berdasarkan penelitian dari Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia terdapat
3%. Berdasarkan pencatatan dan pelaporan yang diperoleh dari catatan register dari
ruangan perawatan IKA 1 RSPAD Gatot Soebroto dari bulan oktober-desember tahun
2007 jumlah anak yang menderita dengan gangguan serebral berjumlah 159 anak dan
yang mengalami Hidrosefalus berjumlah 69 anak dengan persentase 43,39%.
Di Negara Indonesia, cerebral palsy termasuk jenis kelainan yang mendapat
perhatian khusus karena termasuk dari delapan jenis kecacatan yang di data oleh
pemerintah. Sejak tahun 2007 data penyandang disabilitas di Indonesia dikumpulkan
melalui Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar). Berdasarkan hasil survei Riskesdas (Riset
Kesehatan Dasar) yang diselenggarakan oleh kementrian kesehatan, prevalensi anak
dengan cerebral palsy di Indonesia adalah 0,09% dari jumlah anak berusia 24-59
bulan pada tahun 2013 (Buletin jendela data dan informasi, 2014). 
Keterbatasan yang dialami penderita cerebral palsy membuat anak tidak dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri dan harus mendapatkan bantuan dari orang lain
(Graham, et al., 2016). Keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki
hubungan paling dekat dan memiliki fungsi perawatan, sosialisasi pada anak,
dukungan emosi dan materi, sehingga memiliki kewajiban serta tanggung jawab
untuk membantu dan menyediakan kebutuhan antara anggotanya (Lestari, 2012). 

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya
yaitu Bagaimanakah asuhan keperawatan kronik anak dan keluarga dengan gangguan
pada sistem neurologi : Hidrosefalus, Kejang Demam dan Cerebral Palsy ?
3. Tujuan 
Untuk mengidentifikasi asuhan keperawatan kronik anak dan keluarga dengan
gangguan pada sistem neurologi : Hidrosefalus, Kejang Demam dan Cerebral Palsy.
4. Manfaat penelitian
1. Bagi Institusi
Diharapkan dapat menjadi bahan dalam pengembangan ilmu
keperawatan dan memberikan asuhan keperawatan anak dan keluarga dengan
kejang demam.
2. Bagi Peneliti
Diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan sebagai sarana
pengaplikasian dalam proses pembelajaran terutama pada kejang demam.
3. Bagi Klien dan Keluarga
Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan membantu dalam
mengatasi masalah kesehatan serta penanganan kejang demam terutama pada
anak dan keluarga.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Penyakit Hidrosefalus


1. Definisi Penyakit

Gambar 1 : gambar anatomi otak

Gambar 2 : gambar anatomi hidrosefalus

Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang
berarti kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan CSS yang secara aktif
dan berlebihan pada satu atau lebih ventrikel otak atau ruang subarachnoid
yang dapat menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak (Dwita, 2017). 
Hidrosefalus adalah akumulasi cairan serebrospinal dalam ventrikel
serebral, ruang subarachnoid, atau ruang subdural (Suriadi, 2010) Hidrosefalus
adalah suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan
serebrospinalis, disebabkan baik oleh produksi yang berlebihan maupun
gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai tekanan intrakanial yang
meninggi sehingga terjadi pelebaran ruangan-ruangan tempat aliran cairan
serebrospinalis (Darto Suharso,2009) 

Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan


bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan
intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel. Pelebaran
ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan
serebrospinal. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit
atau kerusakan otak. 

2. Anatomi dan Fisiologi Aliran CSS (Cairan Serebrospinal)

Gambar 3: anatomi dan fisiologis aliran cairan serebrospinal (CSS)

Cairan serebrospinalis mengelilingi ruang subaraknoid di sekitar otak


dan medulla spinalis. Cairan ini juga mengisi ventrikel dalam otak. 

1. Komposisi
Cairan Serebrospinalis menyerupai plasama darah dan cairan
intertisial tetapi tidak mengandung protein
2. Produksi 
Cairan serebrospinalis dihasilkan oleh
a. Pleksus Koroid yaitu jaringan kapilar berbentuk bunga kol
yang menonjol dari pia mater ke dalam dua ventrikel otak
b. Sekresi oleh sel-sel ependeimal yang mengitari pembuluh
darah serebral dan melapisi kanal sentral medulla spinalis.
3. Sirkulasi  Cairan Serebrospinalis adalah sebagai berikut : 
a. Cairan bergerak dari ventrikel lateral melalui foramen
interventricular (munro) menuju ventrikel ketiga otak, tempat
cairan semakin banyak karena ditambahkan oleh pleksus
kororid ventrikel ketiga.
b. Dari Ventrikel ketiga cairan mengalir  melalui akuaduktus
serebral(sylvius) menuju ventrikel keempat,tempat cairan
ditambahkan kembali dari pleksus koroid. 
c. Cairan mengalir melalui tiga lubang pada langit-langit
ventrikel keempat kemudian bersirkulasi melalui ruang
subaraknoid di sekitar otak dan medulla spinalis.
d. Cairan kemudian direabsobsi di vili araknodi(granulasi) ke
dalam sinus vena pada dura mater dan kembali ke aliran darah
tempat asal produksi cairan tersebut. 
e. Reabsorbsi  cairan serebrospinal berlangsung secepat
produksinya dan hanya menyisakan sekitar 125 ml pada
sirkulasi. Reabsorbsi normal berada di bawah kanan ringan 
(10 mmHg sampai 20 mmHg) tetapi jika ada hambatan saat
reabsorbsi berlangsung maka cairan akan bertambah dan
tekanan intracanal akan semakin besar. 
2. Fungsi cairan serebrospinalis adalah sebagai bantalan untuk
jaringan lunak otak dan medulla spinalis,juga berperan sebagai
media pertukaran nutrient dan pembuangan za tantara darah dan
otak serta medulla spinalis. Ruangan cairan serebrospinal (CSS)
terdiri dari sistem ventrikel, sisterna magna pada dasar otak dan
ruangan subaraknoid. Ruangan ini mulai terbentuk pada minggu
kelima masa embrio. Sistem ventrikel dan ruang subarachnoid
dihubungkan melalui foramen Magendi di median dan foramen
Luschka di sebelah lateral ventrikel IV. Sekitar 70% cairan
serebrospinal dihasilkan oleh pleksus koroidideus, dan sisanya di
hasilkan oleh pergerakan dari cairan transepidermal dari otak
menuju sistem ventrikel. Bagi anak- anak usia 4-13 tahun rata-rata
volume cairan liqour adalah 90 ml dan 150 ml pada orang dewasa.
Tingkat pembentukan adalah sekitar 0,35 ml /menit atau 500 ml /
hari. Sekitar 14% dari total volume tersebut mengalami absorbsi
setiap satu jam.
3. Etiologi 
Pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorpsi yang
normal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat
jarang terjadi, misalnya terlihat pelebaran ventrikel tanpa penyumbatan pada
adenomata pleksus koroidalis. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering
terdapat pada bayi dan anak yaitu kelainan bawaan, infeksi, neoplasma dan
perdarahan. 
a. Kelainan bawaan 
1. Stenosis Akuaduktus Sylvius- merupakan penyebab terbanyak.
60%-90% kasus hidrosefalus terjadi pada bayi dan anak-anak.
Umumnya terlihat sejak lahir atau progresif dengan cepat pada
bulan-bulan pertama setelah lahir. 
2. Spina bifida dan cranium bifida – berhubungan dengan
sindroma Arnord-Chiari akibat tertariknya medulla spinalis,
dengan medulla oblongata dan serebelum letaknya lebih rendah
dan menutupi foramen magnum sehingga terjadi penyumbatan
sebagian atau total. 
3. SindromDandy-Walker-atresiakongenitalforamenLuschka dan
Magendi dengan akibat hidrosefalus obstruktif dengan
pelebaran system ventrikel, terutama ventrikel IV yang dapat
sedemikian besarnya hingga merupakan suatu kista yang besar
di daerah fossa posterior.
4. Kista arachnoid - dapat terjadi congenital maupun didapat
akibat trauma sekunder suatu hematoma.
5. Anomali pembuluh darah – akibat aneurisma arterio-vena yang
mengenai arteria serebralis posterior dengan vena Galeni atau
sinus tranversus dengan akibat obstruksi akuaduktus.
b. InfeksiTimbul perlekatan menings sehingga terjadi obliterasi ruang
subarachnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis
purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik
eksudat purulen di akuaduktus Sylvius atau sisterna basalis.
Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu sampai
beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitisnya. Secara
patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan arakhnoid
sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Pada meningitis serosa
tuberkulosa, perlekatan meningen terutama terdapat di daerah
basal sekitar sisterna kiasmatika dan interpendunkularis,
sedangkan pada meningitis purulenta lokasinya lebih tersebar. 
1. CMV (Cytomegalovirus) Merupakan virus yang menginfeksi
lebih dari 50% orang dewasa Am erika pada saat mereka
berusia 40 tahun. Juga dikenal sebagai virus yang paling
sering ditularkan ke anak sebelum kelahiran.Virus ini ber
tanggung jawab untuk demam kelenjar.
2. Campak Jerman(rubella)Merupakan suatu penyakit menular
yang disebabkan oleh virusrubella.Virus ditularkan dari orang
keorang melalui udara yang ditularkan ketika orang terinfeksi
batuk atau bersin,virusjuga dapat ditemukan dalam air seni,
kotoran dan pada kulit. Ciri gejala dari beberapa rubella
merupakan suhu tubuh tinggi dan ruam merah muda.
3. MumpsMerupakan sebuah virus (jangka pendek) infeksi akut
dimana kelenjar ludah, terutama kelenjar parotis (yang
terbesar dari tiga kelenjar ludah utama) membengkak. d.
Sifilis Merupakan PMS (Penyakit Menular Seksual) yang
disebabkan oleh bakteri Treponemapallidum.
4. ToksoplasmosisMerupakan infeksi yang disebabkan oleh
parasit bersel- tunggal yaitu Toxoplasmagondii. (Ropper,
2005) 
c. NeoplasmaHidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi
di setiap tempat aliran CSS. Pada anak, kasus terbanyak yang
menyebabkan penyumbatan ventrikel IV dan akuaduktus Sylvius
bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum,
sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel III biasanya
disebabkan suatu kraniofaringioma. 
d. PerdarahanPerdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat
menyebabkan fibrosis leptomeningen pada daerah basal otak,
selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu
sendiri.(Allan H. Ropper, 2005). 
4. Manifestasi Klinis
Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada derajat
ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS (Darsono, 2005).  Tanda
– tanda awal : 

1. Mata juling
2. Sakit kepala
3. Lekas marah
4. Lesu
5. Menagis jika digendong dan diam bila berbaring
6. Mual muntah yang proyektil
7. Melihat kembar
8. Ataksia
9. Perkembangan yang berlansung lambat
10. Pupil edema
11. Respon pupil terhadap cahaya lambat dan tidak sama
12. Biasanya diikuti dengan perubahan tingkat kesadaran, opistotunus, dan
spatik pada ekstremitas bawah
13. Kesulitan dalam pemberian dan penelanan makanan
14. Gangguan kardiopulmonel (Darsono, 2005).

Tanda – Tanda Selanjutnya 

1. Nyeri kepala dan di ikuti muntah – muntah


2. Pupiledema
3. Strabismus 
4. Peningkatan tekanan darah 
5. Denyut nadi lambat 
6. Gangguan respirasi 
7. Kejang 
8. Letargi 
9. Muntah
10. Lekas marah
11. Lesu
12. Apatis 
13. Kebingungan
14. Sering kali inkoheren (Darsono, 2005).

Manifestasi klinis menurut dibedakan menjadi dua yaitu pada masa


bayi dan masa anak – anak (Suriadi (2010)

a. Bayi 
 Kepala menjadi makin besar dan akan terlihat pada umur 3 tahun. 
 Keterlambatan penutupan fontanela anterior 
 Vena pada kulit kepala dilatasi dan terlihat jelas pada saat bayi
menangis
 Terdapat bunyi creckedpod (tanda macewen) 
 Mata melihat kebawah (tanda setting sun) 
 Lemah 
 Kemampuan makan kurang 
 Perubahan kesadaran 
 Opishtotonus 
 Spatik pada ekktremitas bawah 
 Kesulitan bernafas, apnea, aspirasi dan tidak ada reflek muntah 
 Bayi tidak dapat melihat ke atas, “sunset eyes”
 Strabismus, nystagmus, atropi optic
 Bayi sulit mengangkat dan menahan kepalanya ke atas.
b. Anak-anak 
 Nyeri kepala
 Muntah
 Lethargi, lelah, apatis, perubahan personalitas
 Ketegangan dari sutura cranial dapat terlihat pada anak berumur 10
tahun 
 Penglihatan ganda, kontruksi penglihatan perifer
 Strabismus
 Perubahan pupil
5. Patofisiologi 
Pembentukan cairan serebrospinal terutama dibentuk di dalam sistem
ventrikel. Kebanyakan cairan tersebut dibentuk oleh pleksus koroidalis di
ventrikel lateral, yaitu kurang lebih sebanyak 80% dari total cairan
serebrospinalis. Kecepatan pembentukan cairan serebrospinalis lebih kurang
0,35- 0,40 ml/menit atau 500 ml/hari, kecepatan pembentukan cairan tersebut
sama pada orang dewasa maupun anak-anak. Dengan jalur aliran yang dimulai
dari ventrikel lateral menuju ke foramen monro kemudian ke ventrikel 3,
selanjutnya mengalir ke akuaduktus sylvii, lalu ke ventrikel 4 dan menuju ke
foramen luska dan magendi, hingga akhirnya ke ruang subarakhnoid dan
kanalis spinalis.Secara teoritis, terdapat tiga penyebab terjadinya hidrosefalus,
yaitu: 

a. Produksi likuor yang berlebihan.Kondisi ini merupakan penyebab


paling jarang dari kasus hidrosefalus, hampir semua keadaan ini
disebabkan oleh adanya tumor pleksus koroid (papiloma atau
karsinoma), namun ada pula yang terjadi akibat dari hipervitaminosis
vitamin A.
b. Gangguan aliran likuor yang merupakan awal kebanyakan kasus
hidrosefalus. Kondisi ini merupakan akibat dari obstruksi atau
tersumbatnya sirkulasi cairan serebrospinalis yang dapat terjadi di
ventrikel maupun vili arakhnoid. Secara umum terdapat tiga penyebab
terjadinya keadaan patologis
c. Malformasi yang menyebabkan penyempitan saluran likuor, misalnya
stenosis akuaduktus sylvii dan malformasi Arnold Chiari. 
d. Lesi massa yang menyebabkan kompresi intrnsik maupun ekstrinsik
saluran likuor, misalnya tumor intraventrikel, tumor para ventrikel,
kista arakhnoid, dan hematom. 
e. Proses inflamasi dan gangguan lainnya seperti mukopolisakaridosis,
termasuk reaksi ependimal, fibrosis leptomeningeal, dan obliterasi vili
arakhnoid. 
f. Gangguan penyerapan cairan serebrospinal. Suatu kondisi seperti
sindrom vena cava dan trombosis sinus dapat mempengaruhi
penyerapan cairan serebrospinal. Kondisi jenis ini termasuk
hidrosefalus tekanan normal atau pseudotumor serebri.

Dari penjelasan di atas maka hidrosefalus dapat diklasifikasikan dalam


beberapa sebutan diagnosis. Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi
ventrikel, sedangkan hidrosefalus eksterna menunjukkan adanya pelebaran
rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus komunikans
adalah keadaan di mana ada hubungan antara sistem ventrikel dengan rongga
subarakhnoid otak dan spinal, sedangkan hidrosefalus nonkomunikans yaitu
suatu keadaan dimana terdapat blok dalam sistem ventrikel atau salurannya ke
rongga subarakhnoid. Hidrosefalus obstruktif adalah jenis yang paling banyak
ditemui dimana aliran likuor mengalami obstruksi. 
6. Pemeriksaan Penunjang 
1. Pemeriksaan funduskopiEvaluasi funduskopi dapat mengungkapkan
papilledema bilateral ketika tekanan intrakranial meningkat. Pemeriksaan
mungkin normal, namun, dengan hidrosefalus akut dapat memberikan
penilaian palsu.
2. Foto polos kepala lateral – tampak kepala membesar dengan disproporsi
kraniofasial, tulang menipis dan sutura melebar. 
3. Pemeriksaan cairan serebrospinal – dilakukan pungsi ventrikel melalui
foramen frontanel mayor. Dapat menunjukkan tanda peradangan dan
perdarahan baru atau lama.
4. CT scan kepala - Meskipun tidak selalu mudah untuk mendeteksi
penyebab dengan modalitas ini, ukuran ventrikel ditentukan dengan
mudah. CT scan kepala dapat memberi gambaran hidrosefalus, edema
serebral, atau lesi massa seperti kista koloid dari ventrikel ketiga atau
thalamic atau pontine tumor.CT scan wajib bila ada kecurigaan proses
neurologi akut
5. Lingkaran kepalaDiagnosis hidrosefalus pada bayi dapat dicurigai, jika
penambahan lingkar kepala melampaui satu atau lebih garis- garis kisi
pada chart (jarak antara dua garis kisi 1 cm) dalam kurun waktu 2-4
minggu. Pada anak yang besar lingkaran kepala dapat normal hal ini
disebabkan oleh karena hidrosefalus terjadi setelah penutupan suturan
secara fungsional. Tetapi jika hidrosefalus telah ada sebelum penutupan
suturan kranialis maka penutupan sutura tidak akan terjadi secara
menyeluruh. 
6. VentrikulografiYaitu dengan memasukkan konras berupa O2 murni atau
kontras lainnya dengan alat tertentu menembus melalui fontanela anterior
langsung masuk ke dalam ventrikel. Setelah kontras masuk langsung
difoto, maka akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar.
Pada anak yang besar karena fontanela telah menutup untuk memasukkan
kontras dibuatkan lubang dengan bor pada kranium bagian frontal atau
oksipitalis. 
Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka. Dengan
USG diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel yang melebar.
Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus
ternyata tidak mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem
ventrikel hal ini disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan
anatomi sistem ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT
Scan.
(Suriadi, 2005) 
7. Penatalaksanaan Keperawatan
Upaya pencegahan progresi penyakit ke arah berbagai akibat penyakit
yang lebih buruk, pada penderita Hidrosefalus dapat dilakukan yaitu dengan
pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan pemantauan
kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang. Tindakan ini dilakukan pada
periode pasca operasi. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi shunt seperti infeksi, kegagalan mekanis, dan kegagalan fungsional
yang disebabkan oleh jumlah aliran yang tidak adekuat. Infeksi pada shunt
meningkatkan resiko akan kerusakan intelektual, lokulasi ventrikel dan bahkan
kematian. Kegagalan mekanis mencakup komplikasikomplikasi seperti: oklusi
aliran di dalam shunt (proksimal, katup atau bagian distal), diskoneksi atau
putusnya shunt, migrasi dari tempat semula, tempat pemasangan yang tidak
tepat. Kegagalan fungsional dapat berupa drainase yang berlebihan atau malah
kurang lancarnya drainase. Drainase yang terlalu banyak dapat menimbulkan
komplikasi lanjut seperti terjadinya efusi subdural, kraniosinostosis, lokulasi
ventrikel, hipotensi ortostatik. 
(Suryadi & Darsono, 2016) 
8. Komplikasi 
1. Peningkatan tekanan dalam otak intra cranial
2. Kerusakan otak 
3. Penurunan IQ 
4. Keterlambatan perkembangan kognitif, psikososial dan fisik 
5. Infeksi 

(wong, 2008) 

9. Konsep Asuhan Keperawatan 


A. Pengkajian
a. Anamnesis
1. Identitas Pasien Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, umur,jenis
kelamin,anak-ke, BB/TB, alamat.
2. Keluhan Utama: Hal yang sering menjadi alasan klien untuk
meminta pertolongan kesehatan bergantung seberapa jauh dampak
dari hidrosefalus pada peningkatan tekanan intracranial, meliputi
muntah, gelisah nyeri kepala, letargi, lelah apatis, penglihatan
ganda, perubahan pupil, dan kontriksi penglihatan perifer.
3. Riwayat Kesehatan
 Riwayat Penyakit Sekarang 
Adanya riwayat infeksi (biasanya riwayat infeksi pada
selaput otak dan meningens) sebelumnya. Pengkajian yang
didapat meliputi seorang anak mengalami pembesaran kepala,
tingkat kesadaran menurun (GCS <15), kejang, muntah, sakit
kepala, wajahnya tanpak kecil cecara disproposional, anak
menjadi lemah, kelemahan fisik umum, akumulasi secret pada
saluran nafas, dan adanya liquor dari hidung. Adanya
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran akibat
adanya perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan
prilaku juga umum terjadi. 
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya
riwayat hidrosefalus sebelumnya, riwayat adanyanya
neoplasma otak, kelainan bawaan pada otak dan riwayat
infeksi.
 Riwayat perkembangan
Kelahiran premature. lahir dengan pertolongan, pada
waktu lahir menangis keras atau tidak. Riwayat penyakit
keluarga, mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang
menderita stenosis akuaduktal yang sangat berhubungan
dengan penyakit keluarga/keturunan yang terpaut seks.
 Pengkajian psikososiospritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien
dan keluarga (orang tua) untuk menilai respon terhadap
penyakit yang diderita dan perubahan peran dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengruhnya dalam kehidupan
sehari-hari. Baik dalam keluarga maupun masyarakata. Apakah
ada dampak yang timbul pada klien dan orang tua, yaitu timbul
seperti ketakutan akan kecatatan, rasa cemas, rasa ketidak
mampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal.Perawat
juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis
dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada
gaya hidup individu. Perspektif perawatan dalam mengkaji
terdiri atas dua masalah: keterbatasan yang diakibatkan oleh
deficit neurologis dalam hubungan dengan peran sosial klien
dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada
gangguan neurologis didalam system dukungan individu. 
b. Pemeriksaan Fisik 
 Keadaan umum: Pada keadaan hidrosefalus umumnya
mengalami penurunan kesadaran (GCS <15) dan terjadi
perubahan pada tanda-tanda vital.
 B1(breathing)
Perubahan pada system pernafasan berhubungan dengan
inaktivitas. Pada beberapa keadaan hasil dari pemeriksaan fisik
dari system ini akan didapatka hal-hal sebagai berikut: 
Inspeksi umum: apakah didapatkan klien batuk, peningkatan
produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot batu nafas, dan
peningkatan frekuensi pernafasan. Terdapat retraksi
klavikula/dada, mengembangan paru tidak simetris. Ekspansi
dada: dinilai penuh/tidak penuh, dan kesimetrisannya. Pada
observasi ekspansi dada juga perlu dinilai retraksi dada dari
otot-otot interkostal, substernal pernafasan abdomen dan
respirasi paraddoks(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola nafas
ini terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu menggerakkan
dinding dada. 
Palpasi : Taktil primitus biasanya seimbang kanan an kiri 
Perkusi : Resonan pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : Bunyi nafas tambahan, seperti nafas berbunyi
stridor, ronkhi pada klien dengan adanya peningkatan produksi
secret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering
didapatkan pada klien hidrosefalus dengan penurunan tingkat
kesadaran. 
 B2 (Blood)
Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan
homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan
oksigen perifer. Nadi brakikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat
merupakan tanda penurunan hemoglobin dalam darah.
Hipotensi menunjukan adanya perubaha perfusi jaringan dan
tanda-tanda awal dari suatu syok.
 B3 (Brain)
Kepala terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan
tubuh. Hal ini diidentifikasi dengan mengukur lingkar kepala
suboksipito bregmatikus dibanding dengan lingkar dada dan
angka normal pada usia yang sama. Selain itu pengukuuran
berkala lingkar kepala, yaitu untuk melihat pembesaran kepala
yang progresif dan lebih cepat dari normal. Ubun- ubun besar
melebar atau tidak menutup pada waktunya, teraba tegang atau
menonjol, dahi tampak melebar atau kulit kepala tampak
menipis, tegang dan mengkilat dengan pelebaran vena kulit
kepala. 
 Pengkajian tingkat kesadaran
Gejala khas pada hidrosefalus tahap lanjut adalah
adanya dimensia. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien
hidrosefalus biasanya berkisar pada tingkat latergi, stupor,
semikomatosa sampai koma.
 Pengkajian fungi serebral, meliputi:Obresvasi penampilan,
tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah dan aktivitas
motorik klien. Pada klien hidrosefalus tahap lanjut biasanya
status mental klien mengalami perubahan. Pada bayi dan anak-
anak pemeriksaan status mental tidak dilakukan.
 Pengkajin saraf cranial, meliputi: 
Saraf I (Olfaktori) 
Saraf II (Optikus)
Saraf III, IV dan VI (Okulomotoris, Troklearis, Abducens) 
Saraf V (Trigeminius) 
Saraf VII(facialis) 
Saraf VIII (Akustikus) 
Saraf IX dan X( Glosofaringeus dan Vagus) 
Saraf XI (Aksesorius) 
Saraf XII (Hipoglosus)
 Pengkajian system motorik
Tonus otot
Kekuatan otot 
Keseimbangan dan koordinasi
 Pengkajian Refleks
Pemeriksaan reflex profunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat reflex pada rrespon
normal. Pada tahap lanjut, hidrosefalus yang mengganggu pusat
refleks, maka akan didapatkan perubahan dari derajat refleks.
Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis
sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari
refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan
refleks patologis. 
 Pengkajian system sensorik
Kehilangan sensori karena hidrosefalus dapat berupa
kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan
kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi
dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.
 B4 (Bledder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan
karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Peningkatan
jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunya perfungsi pada ginjal. Pada hidrosefalus tahap
lanjut klien mungkin mengalami inkontensia urin karena
konfusi, ketidak mampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan
ketidak mampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan system perkemihan
karena kerusakan control motorik dan postural. Kadang-
kadang control sfingter urinarius eksternal hilang atau steril.
Inkontensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
 B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu
makan menurun, serta mual dan muntah pada fase akut. Mual
sampai muntah akibat peningkatan produksi asam lambung
sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltic
usus. Adanya kontensia alvi yang berlanjut menunjukkan
kerusakann neurologis luas.
 B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan fisik
umum, pada bayi disebabkan pembesaran kepala sehingga
menggangu mobilitas fisik secara umum. Kaji warna kulit,
suhu, kelembapan, dan turgon kulit. Adanya perubahan warna
kulit; warna kebiruaan menunjukkan adanya sianosis (ujung
kuku, ekstermitas,telingga, hidung, bibir dan membrane
mukosa). Pucat pada wajah dan membrane mukosa dapat
berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobinatau syok.
Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya damam
atau infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan
dekubitus. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensori atau paralisis/hemiplegia,
mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan
istirahat.
c. Analisa data
Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,
dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam
kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan
dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh
diri sendiri maupun orang lain (Gunawan dan Sukarna, 2016 dikutip
dari Meda Susheta, 2020).

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
2. Penurunan kesadaran
3. Resiko infeksi
4. Gangguan mobilisasi fisik b.d gangguan neuromuscular
5. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d perubahan
kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme
6. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d penumpukan sputum,
peningkatan sekresi secret dan penurunan volume batuk sekunder
akibat ketidak mampuan batuk/batuk produktif
7. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
pembesaran kepala
(Diagnosis Keperaawatan NANDA)
C. Intervensi Keperawatan

N Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional 


o Keperawatan

1. Resiko  Pasien a. Periksa a. Asupan cairan


ketidakefektifan mengidentifika keseimbanga yang cukup
perfusi jaringan si faktor-faktor n cairan yang menjaga
otak (serebral)  yang optimal. tekanan
meningkatkan Berikan pengisian yang
sirkulasi. cairan IV adekuat dan
 Pasien sesuai mengoptimalka
mengidentifika pesanan n curah jantung
si perubahan b. Perhatikan yang
gaya hidup keluaran urin dibutuhkan
yang c. Pertahankan untuk perfusi
diperlukan. curah jantung jaringan.
 Pasien yang optimal b. Mengurangi
menunjukkan d. Pertimbangka perfusi ginjal
toleransi n kebutuhan dapat terjadi
terhadap untuk karena oklusi
aktivitas. embolektomi vaskular.
 Pasien tidak potensial, Pertahankan
menunjukkan heparinisasi, curah jantung
pemburukan / terapi yang optimal.
pengulangan vasodilator, c. Hal ini
defisit lebih terapi memastikan
lanjut. trombolitik, perfusi organ
 Pasien dan vital yang
melakukan penyelamatan memadai.
perilaku atau cairan. Pertimbangkan
tindakan untuk kebutuhan
memperbaiki untuk
perfusi embolektomi
jaringan. potensial,
heparinisasi,
terapi
vasodilator,
terapi
trombolitik,
dan
penyelamatan
cairan
d. Ini
memudahkan
perfusi saat
gangguan
aliran darah
terjadi atau saat
perfusi telah
turun ke tingkat
yang serius
sehingga
menyebabkan
kerusakan
iskemik.
Ketidakseimbanga  Adanya a. Pastikan a. Pakar
n nutrisi kurang peningkatan berat badan seperti ahli
dari kebutuhan berat badan sehat untuk gizi dapat
tubuh b.d kurang  Tidak ada usia dan menentuka
asupan makan  tanda – tanda tinggi badan. n
malnutrisi Rujuk ke ahli keseimban
 Menunjukkan diet untuk gan
peningkatan mendapatkan nitrogen
fungsi asesmen gizi sebagai
pengecapan lengkap dan ukuran
dan menelan  metode untuk status gizi
 Tidak terjadi mendapatkan pasien.
penurunan dukungan Keseimban
berat badan nutrisi. gan
yang berarti  b. Tetapkan nitrogen
tujuan jangka negatif
pendek dan dapat
jangka berarti
panjang yang kekurangan
sesuai. protein.
c. Berikan Ahli gizi
lingkungan juga dapat
yang menentuka
menyenangka n
n. kebutuhan
d. Berikan nutrisi
kebersihan spesifik
mulut dan pasien
gigi yang untuk
baik. mendapatk
an asupan
  gizi yang
cukup.
b. Pasien
mungkin
kehilangan
perhatian
dalam
mengatasi
dilema ini
tanpa
tujuan
jangka
pendek
yang
realistis.
c. Suasana
yang
menyenang
kan
membantu
mengurang
i stres dan
lebih
memberi
makan.
d. Kebersihan
mulut
memiliki
efek positif
pada nafsu
makan dan
pada selera
makanan.
Gigi palsu
harus
bersih, pas
nyaman,
dan masuk
ke mulut
pasien
untuk
mendorong
makan.

D. Implementasi Keperawatan 
Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari
rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Oleh
karena itu, jika intervensi keperawatan yang telah dibuat dalam
perencanaan dilaksanakan atau diaplikasikan pada pasien, maka tindakan
tersebut disebut implementasi keperawatan (Februanti, 2019 dikutip dari
Meda Susheta, 2020).

E. Evaluasi Keperawatan 
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
peningkatan sirkulasi otak 
 Mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan
sirkulasi.
 Menunjukkan toleransi terhadap aktivitas.
 Tidak menunjukkan pemburukan / pengulangan defisit lebih
lanjut.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang
asupan makan 
 BB Meningkat
 Tidak mengalami malnutrisi
 Ada peningkatan fungsi pengecapan dan menelan 

2. Konsep Penyakit Kejang Demam 


1. Definisi Penyakit Kejang Demam
Kejang demam merupakankelainan neurologis yang paling sering terjadi
pada anak, 1 dari 25 anak akan mengalami satu kali kejang demam. Hal ini
dikarenakan, anak yang masih berusia dibawah 5 tahun sangat rentan terhadap
berbagai penyakit disebabkan sistem kekebalan tubuh belum terbangun secara
sempurna (Harjaningrum, 2011).
Kejang yang berlangsung lama biasanya disertai apneu (henti nafas) yang
dapat mengakibatkan terjadinya hipoksia (berkurangnya kadar oksigen
jaringan) sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak
yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Apabila anak sering kejang,
akan semakin banyak sel otak yang rusak dan mempunyai risiko menyebabkan
keterlambatan perkembangan, retardasi mental, kelumpuhan dan juga 2-10%
dapat berkembang menjadi epilepsi (Mohammadi, 2010).
WHO memperkirakan pada tahun 2005 terdapat lebih dari 21,65 juta
penderita kejang demam dan lebih dari 216 ribu diantaranya meninggal. Selain
itu di Kuwait dari 400 anak berusia 1 bulan-13 tahun dengan riwayat kejang,
yang mengalami kejang demam sekitar 77% (WHO, 2005). Angka kejadian
kejang demam di Indonesia sendiri mencapai 2-4% tahun 2008 dengan 80%
disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan. Angka kejadian di wilayah Jawa
Tengah sekitar2-5% pada anak usia 6 bulan-5 tahun disetiap tahunnya. 25-
50% kejang demam akan mengalami bangkitan kejang demam berulang
(Gunawan, 2008)
2. Etiologi 
Kejang pada neonatus dan anak bukanlah suatu penyakit, namun
merupakan suatu gejala penting akan adanya penyakit lain sebagai penyebab
kejang atau adanya kelainan susunan saraf pusat. Penyebab utama kejang
adalah kelainan bawaan di otak sedangkan penyebab sekundernya adalah
gangguan metabolik atau penyakit lain seperti penyakit infeksi. Negara
berkembang, kejang pada neonatus dan anak sering disebabkan oleh tetanus
neonatus, sepsis, meningitis, ensefalitis, perdarahan otak dan cacat bawaan.
Penyebab kejang pada neontaus, baik primer maupun sekunder
umumnya berkaitan erat dengan kondisi bayi didalam kandungan dan saat
proses persalinan serta masamasa bayi baru lahir. Penyebab kejang demam
dikarena infeksi virus dan bakteri (Dewi, 2014). Penyebab terjadinya kejang
demam antara lain obat-obatan, ketidakseimbangan kimiawi seperti
hiperkalemia, hipoglikemia, asidosis, demam, patologis otak dan eklamsia (ibu
yang mengalami hipertensi prenatal, toksimea gravidarum) Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) (2013).
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai patologis termasuk tumor otak,
truma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan  elektrolit
dan gejala putus alcohol dan gangguan metabolik, uremia, overhidrasi, toksik
subkutan, sabagian kejang merupakan idiopatuk.
1. Intrakranial
a. Asfiksia : Ensefalitis, hipoksia iskemik
b. Trauma (perdarahan) : Perdarahan sub araknoid, sub dural atau intra ventricular
c. Infeksi : Bakteri virus dan parasit
d. Kelainan bawaan : Disgenesis, korteks serebri
2. Ekstra cranial
a. Gangguan metabolik :Hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesimia, gangguan elektrolit (Na dan K).
b. Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat
c. Kelainan yang diturunkan: Gangguan metabolism asam amino,
ketergantungan dan kekurangan asam amino.
3. Idiopatik
Kejang neonates, fanciliel benigna, kejang hari ke 5.
3. Patofisiologi 
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak
diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak terpenting adalah glukosa. Sifat proses ini adalah oksidasi
dengan perantara fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui
kardiovaskular. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sumber energi otak
adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipercah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid
dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neoron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi
kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedangkan di
luar sel terdapat keadaan sebaliknya. 
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 derajat Celcius akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basar 10-15% dan kebutuhan oksigen
akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang
hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tersebut dengan
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang
disebut neurotransmitter dan terjadi kejang (Ngastiyah 2014).
4. Pathway
5. Manifestasi Klinis 
Kejang pada anak dapat terjadi bangkitan kejang dengan suhu tubuh
mengalami peningkatan yang cepat dan disebabkan karena infeksi di luar
susunan saraf pusat seperti otitis media akut, bronkitis, tonsilitis dan
furunkulosis. Kejang demam biasanya juga terjadi dalam waktu 24 jam
pertama pada saat demam dan berlangsung singkat dengan sifat bangkitan
dapat berbentuk tonik-klonik, klonik, tonik dan fokal atau akinetik. 
1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
a. Kejang parsial sederhana : Kesadaran tidak terganggu, dapat
mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
1. Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi.
2. Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah,
dilatasi pupil.
3. Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik,
merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.
4. Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
5. Kejang tubuh; umumnya gerakan setipa kejang sama.
b. Parsial kompleks
1. Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks.
2. Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap–
ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang –
ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
3. Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )
a. Kejang absens
1. Gangguan kewaspadaan dan responsivitas.
2. Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung
kurang dari 15 detik.
3. Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan
konsentrasi penuh.
b. Kejang mioklonik
1. Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot
yang terjadi secara mendadak.
2. Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila
patologik berupa kedutan-kedutan sinkron dari bahu, leher, lengan
atas dan kaki.
3. Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam
kelompok.
4. Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c. Kejang tonik kronik
1. Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum
pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung
kurang dari 1 menit.
2. Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih.
3. Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
4. Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal.
d. Kejang atonik
1. Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan
kelopak mata turun, kepala menunduk, atau jatuh ke tanah.
2. Singkat dan terjadi tanpa peringatan
6. Klasifikasi  
Menurut American Academy of Pediatrics (2011), kejang demam
dibagi menjadi dua jenis diantaranya adalah simple febrile seizureatau kejang
demam sederhana dan complex febrile seizure atau kejang demam
kompleks.
1. Kejang demam sederhana adalah kejang general yang berlangsung singkat
(kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik) serta
tidak berulang dalam waktu 24 jam dan hanya terjadi satu kali dalam
periode 24 jam dari demam pada anak yang secara neorologis normal.
Kejang demam sederhana merupakan 80% yang sering terjadi di
masyarakat dan sebagian besar berlangsung kurang dari 5 menit dan dapat
berhenti sendiri. pada kejang demam sederhana umumnya terdiri dari tonik
umum dan tanpa adanya komponen fokus dan juga tidak dapat merusak
otak anak, tidak menyebabkan gangguan perkembangan, bukan merupakan
faktor terjadinya epilepsi.
a. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat
badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi
dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa
pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi
tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk
kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan
sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena
infeksi selaput otak atau kernikterus.
b. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis
kejang klonik fokal berlangsung 1–3 detik, terlokalisasi dengan baik,
tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat
trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati
metabolik.
2. Kejang demam kompleks memiliki ciri berlangsung selama lebih dari 15 menit,
kejang fokal atau parsial dan disebut juga kejang umum didahului kejang parsial dan
berulang atau lebih dari satu kali dalam waktu 24 jam demam kompleks umumnya
memerlukan pengamatan lebih lanjut dengan rawat inap 24 jam (Chung, 2014).
7. Komplikasi 
a. Epilepsi
Terjadi akibat adanya kerusakan pada daerah lobus temporalis yang
berlangsung lama dan dapat menjadi matang.
b. Retardasi mental
Terjadi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat
gangguan perkembangan atau kelainan neurologis.
c. Hemiparese
Biasanya terjadi padaa pasien yang mengalemi kejang lama
(berlangsung lebih dari 30 menit)
d. Gagal pernapasan
Akibat dari ektivitas kejang yang menyebabkan otot-otot pernapasan
menjadi spasme.
e. Kematian
(Panteliadis, 2013)
8. Pemeriksaan Penunjang 
1. Elektroensefalogram ( EEG ) : Untuk membantu menetapkan jenis dan
fokus dari kejang.
2. Pemindaian CT : Menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dari
biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah–daerah otak yang tidak jelas terliht bila
menggunakan pemindaian CT.
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi
kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan
metabolik atau aliran darah dalam otak.
5. Uji laboratorium
a. Pungsi lumbal : Menganalisis cairan serebrovaskuler.
b. Hitung darah lengkap : Mengevaluasi trombosit dan hematokrit.
c. Panel elektrolit
d. Skrining toksik dari serum dan urin
e. Kadar kalsium darah
f. Kadar natrium darah
g. Kadar magnesium darah
9. Penatalaksanaan 
1. Memberantas kejang secepat mungkin Pada saat pasien datang dalam
keadaan kejang lebih dari 30 menit maka diberikan obat diazepam secara
intravena karena obat ini memiliki keampuhan sekitar 80-90% untuk
mengatasi kejang demam. Efek terapeutinya sangat cepat yaitu kira-kira 30
detik dampai 5 menit. Jika kejang tidak berhenti makan diberikan dengan
dosis fenobarbital. Efek samping obat diazepam ini adalah mengantuk,
hipotensi, penekanan pusat pernapasan, laringospasme dan henti jantung
(Newton, 2013).
2. Pengobatan penunjang yaitu dengan melepas pakaian ketat yang
digunakan pasien, kepala pasien sebaiknya dimiringkan untuk mencegah
aspirasi isi lambung, usahakan agar jalan napas bebas untuk menjamin
kebutuhan oksigen dan bila perlu dilakukan inkubasi atau trakeostomi
serta penghisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan
oksigen. Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan
dan fungsi jantung diawasi secara ketat. Berikut tindakan pada saat kejang:
a. Baringkan pasien ditempat yang rata, kepala dimiringkan dan pasangkan sudip lidih
yang telah dibungkus kasa atau bila ada guedel lebih baik
b. Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasien dan lepaskan pakaian yang
mengganggu pernapasan seperti ikat pinggang dan gurita
c. Bila suhu tinggi berikan kompres secara intensif
d. Setelah pasien bangun dan sadar berikan minum hangat
e. Isap lendir sampai bersih, berikan oksigen boleh sampai 4L/menit dan jika pasien
upnea lakukan tindakan pertolongan (Ngastiyah, 2014).
3. Pengobatan rumat, pada saat kejang demam telah diobati kemudian diberikan
pengobatan rumat. Mekanisme kerja diazepam sangat singkat, yaitu berkisar antara
45-60 menit sesudah di suntik. Oleh karena itu harus diberikan obat antiepileptik
dengan daya kerja lebih lama misalnya fenobarbital atau defenilhidantoin.
Fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti dengan diazepam. Lanjutan
pengobatan rumat tergantung dari pada keadaan pasien. Pengobatan ini dibagi
menjadi dua bagiam yaitu profilaksis intermiten dan profilaksis jangka panjang
(Natsume, 2016).
4. Mencari dan mengobati penyebab. Etiologi dari kejang demam sederhana maupun
epilepsi biasanya disebabkan oleh infeksi pernapasan bagian atas serta otitis media
akut. Cara untuk penanganan penyakit ini adalah denganpemberian obat antibiotik
dan pada pasien kejang demam yang baru datang untuk pertama kalinya dilakukan
pengambilan pungsi lumbal yang bertujuan untuk menyingkirkan kemungkinan
terdapat infeksi didalam otak seperti penyakit miningitis 
(Arief, 2015)
10. Konsep Asuhan Keperawatan 
A. Pengkajian 
Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data, analisa data dan
penentuan masalah. Pengumpulan data diperoleh dengan cara intervensi,
observasi, psikal assesment.
1. Identitas
Identitas pasien meliputi: nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan,
pendidikan, status perkawinan, agama, kebangsaan, suku, alamat, tanggal
dan jam MRS, no register, serta identitas yang bertanggung jawab.
2. Keluhan utama
Pada umumnya pasien panas yang meninggi disertai kejang
3. Riwayat penyakit sekarang
Menanyakan tentang keluhan yang dialami sekarang mulai dari panas,
kejang, kapan terjadi, berapa kali, dan keadaan sebelum, selama dan
setelah kejang.
4. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang diderita saat kecil seperti batuk, pilek, panas. Pernah
dirawat dimana, tindakan apa yang dilakukan, penderita pernah mengalami
kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang.
5. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan pada keluarga pasien tentang apakah didalam keluarga ada
yang menderita penyakit yang diderita oleh pasien seperti kejang atau
epilepsi.
6. Pemeriksaan fisik
1. B1(Breath) : Keadaan umum tampak lemah, tampak peningkatan
frekuensi nafas sampai terjadi gagal nafas.Dapat terjadi sumbatan jalan
nafas akibat penumpukan secret
2. B2 (Blood) : TD normal, nadi, perfusi, crt<2" , suhu panas,
kemungkinan terjadi gangguan hemodinamik
3. B3 (Brain): Kesadaran komposmentis sampai koma
4. B4 (Bladder): monitor produksi urine dan warnanya(jernih,pekat)
5. B5 (Bowel): Inspeksi : tampak normal, auskultasi : terdengar suara
bising usus normal, palpasi : turgor kulit normal, perkusi : tidak ada
distensi abdomen
6. B6 (Bone): pada kasus kejang demam tidak ditemukan kelainan tulang
akan tetapi saat kejang berlangsung akan terdapat beberapa otot yang
mengalami kejang.
7. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah lengkap
b. Urine lengkap
c. Serum elektrolit
2. EEG: didapatkan gelombang abnormal berupa gelombanggelombang lambat fokal
bervoltase tinggi, kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam
(Soetomenggolo, 1989)
3. CT Scan: pada pemeriksaan ini dapat menunjukan adanya lesi pada daerah kepala.
8. Terapi
a. Bebaskan jalan napas
b. Berikan oksigenasi
c. Berikan posisi sligh head up 300
d. Pasang IV line
e. Pemberiap terapi sesuai advis dokter
f. Longgarkan pakaian yang dipakai oleh pasien
9. Analisa Data 
Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam
pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain
(Gunawan dan Sukarna, 2016 dikutip dari Meda Susheta, 2020).

B. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme 
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
peningkatan sirkulasi otak 
3. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensasi 
4. Bersihan Jalan Nafas tidak efektif 
C. Intervensi Keperawatan 
No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional
. Keperawatan

1. Hipertermia bd  Pasien Perawatan demam  a. Ekstrim


peningkatan mempertahanka usia atau
a. Tentukan usia
laju n suhu tubuh di berat badan
dan berat
metabolisme bawah 39 ° C meningkatk
badan pasien
(102,2 ° F). an risiko
b. Sesuaikan
 Pasien ketidakma
dan pantau
mempertahanka mpuan
faktor
n BP dan HR mengendali
lingkungan
dalam batas kan suhu
seperti suhu
normal. tubuh
kamar dan
b. Suhu kamar
seprei seperti
mungkin
yang
terbiasa
ditunjukkan 
dengan
c. Hilangkan suhu tubuh
kelebihan normal dan
pakaian dan selimut dan
selimut linen bisa
d. Berikan obat disesuaikan
antipiretik seperti yang
sesuai yang ditunjukkan
ditentukan  untuk
e. Dorong mengatur
asupan cairan suhu pasien
secukupnya c. Mengekspo
melalui s kulit ke
mulut  udara di
udara
mengurangi
kehangatan
dan
meningkatk
an
pendingina
n
evaporatif.
d. Obat
antipiretik
menurunka
n suhu
tubuh
dengan
menghalang
i sintesis
prostagland
in yang
bekerja di
hipotalamus

e. Jika pasien
mengalami
dehidrasi
atau
diaphoretic,
kehilangan
cairan
berkontribu
si terhadap
demam.
2. Ketidakefektifa  Pasien a. Periksa e. Asupan cairan
n perfusi mengidentifika keseimbangan yang cukup
jaringan si faktor-faktor cairan yang menjaga
serebral yang optimal. tekanan
berhubungan meningkatkan Berikan pengisian yang
dengan sirkulasi. cairan IV adekuat dan
peningkatan  Pasien sesuai mengoptimalka
sirkulasi otak  mengidentifika pesanan n curah jantung
si perubahan b. Perhatikan yang
gaya hidup keluaran urin dibutuhkan
yang c. Pertahankan untuk perfusi
diperlukan. curah jantung jaringan.
 Pasien yang optimal f. Mengurangi
menunjukkan d. Pertimbangka perfusi
toleransi n kebutuhan ginjal dapat
terhadap untuk terjadi
aktivitas. embolektomi karena
 Pasien tidak potensial, oklusi
menunjukkan heparinisasi, vaskular.
pemburukan / terapi Pertahanka
pengulangan vasodilator, n curah
defisit lebih terapi jantung
lanjut. trombolitik, yang
 Pasien dan optimal.
melakukan penyelamatan g. Hal ini
perilaku atau cairan. memastikan
tindakan untuk perfusi
memperbaiki organ vital
perfusi yang
jaringan. memadai.
Pertimbang
kan
kebutuhan
untuk
embolekto
mi
potensial,
heparinisasi
, terapi
vasodilator,
terapi
trombolitik,
dan
penyelamat
an cairan
h. Ini
memudahka
n perfusi
saat
gangguan
aliran darah
terjadi atau
saat perfusi
telah turun
ke tingkat
yang serius
sehingga
menyebabk
an
kerusakan
iskemik.

D. Implementasi Keperawatan 
Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari
rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Oleh
karena itu, jika intervensi keperawatan yang telah dibuat dalam
perencanaan dilaksanakan atau diaplikasikan pada pasien, maka tindakan
tersebut disebut implementasi keperawatan (Februanti, 2019 dikutip dari
Meda Susheta, 2020).

E. Evaluasi Keperawatan 
3. Hipertermia bd peningkatan laju metabolism :
a. Pasien mempertahankan suhu tubuh di bawah 39 ° C (102,2 °
F).
b. Pasien mempertahankan BP dan HR dalam batas normal.
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan sirkulasi
otak 
a. Mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan
sirkulasi.
b. Menunjukkan toleransi terhadap aktivitas.
c. Tidak menunjukkan pemburukan / pengulangan defisit lebih
lanjut.

3. Konsep Penyakit Cerebral Palsy


1. Definisi
Cerebral palsy adalah ensefalopatistatis yang mungkin di definisikan
sebagai kelainan postur dan gerakan non-progresif, sering disertai dengan
epilepsy dan ketidak normalan bicara, penglihatan, dan kecerdasan akibat dari
cacat atau lesi otak yang sedang berkembang. Cerebral palsy ialah suatu
gangguan nonspesifik yang disebabkan oleh abnormalitas system motor
piramidal (motor kortek, basal ganglia dan otak kecil) yang ditandai dengan
kerusakan pergerakan dan postur pada serangan awal. (Suriadi, 2006).
Cerebral palsy adalah kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak progresif,
terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan) serta merintangi
perkembangan otak normal dengan gambaran klinik dapat berubah selama
hidup dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan,disertai kelainan
neurologis berupa kelumpuhan spastis ,gangguan ganglia basal dan sebelum
juga kelainan mental. (Ngastiyah : 2000). 
Cerebral palsy ialah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu
kurun waktu dalam perkembangan anak,mengenai sel-sel motorik didalam
susunan saraf pusat,bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau
cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Cerebral palsy
adalah suatu keadaan yang ditandai dengan buruknya pengendalian otot,
kekakuan, kelumpuhan dan gangguan fungsi saraf lainnya.

2. Etiologi
Cerebral palsy bukan merupakan satu penyakit dengan satu penyebab.
Cerebral palsy merupakan group penyakit dengan masalah mengatur gerakan,
tetapi dapat mempunyai penyebab yang berbeda. Untuk menentukan penyebab
cerebral palsy, harus digali mengenai hal : bentuk cerebral palsy, riwayat
kesehatan ibu dan anak, dan onset penyakit. Di USA, sekitar 10 – 20 %
disebabkan karena penyakit setelah lahir (prosentase tersebut akan lebih tinggi
pada negara – negara yang berkembang).
Cerebral palsy dapat juga merupakan hasil dari kerusakan otak
pada bulan-bulan pertama atau tahun-tahun pertama kehidupan yang
merupakan sisa dari infeksi otak, misalnya meningitis bakteri atau enchepalitis
virus, atau merupakan hasil dari trauma kepala yang sering akibat kecelakaan
lalu lintas, jatuh atau penganiayaan anak. Sebab-sebab yang dapat
menimbulkan Cerebral palsy pada umumnya secara kronologis dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Prenatal :
a. Infeksi
b. Gangguan pertumbuhan otak
c. Penyakit metabolisme
d. Penyakit plasenta
e. Penyakit ibu : toksemia gravidarum, toksopiasmosis, rubella, sifilis dan
radiasi
2. Natal :
a. Partus lama
b. Trauma kelahiran dengan perdarahan subdural
c. Prematuritas
d. Penumbungan atau lilitan tali pusat
e. Atelektasis yang menetap
f. Aspirasi isi lambung dan usus
g. Sedasi berat pada ibu
h. Meningitis purulenta
i. Ikterus
j. Anoxia/hipoxia
3. Post natal :
a. Penyakit infeksi : ensefalitis
b. Lesi oleh trauma, seperti fraktur tengkorak
c. Hiperbilirubinemia/kernikterus
d. Gangguan sirkulasi darah seperti emboli/trombosis otak

Beberapa penelitian menyebutkan factor pranatal dan perinatal lebih


berperan dari pada factor pascanatal. Studi oleh nelson dkk (1986)
menyebutkan bayi dengan berat lahir rendah, asfiksia saat lahir, iskemia
pranatal, merupakan faktor penyebab Cerebral palsy. 
Faktor prenatal dimulai saat masa gestasi sampai saat akhir, sedangkan
factor perinatal yaitu segala faktor yang menyebabkan Cerebral palsy mulai
dari lahir sampai satu bulan kehidupan. Sedangkan faktor pascanatal mulai
dari bulan pertama kehidupan sampai 2 tahun  atau sampai 5 tahun kehidupan
atau sampai 16 tahun (Perlstein,Hod,1964).
3. Faktor Resiko 
Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya cerebral
palsy semakin besar antara lain adalah :
1. Letak sungsang.
2. Proses persalinan sulit.
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selamaa persalinan merupakan
tanda awal yang menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak
bayi tidak berkembang secara normal. Komplikasi tersebut dapat
menyebabkan
kerusakan otak permaanen.
3. Apgar score rendah.
Apgar score yang rendah hingga 10 – 20 menit setelah kelahiran.
4. BBLR dan prematuritas.
Resiko cerebral palsy lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir
normal.
5. Kehamilan ganda.
6. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan
malformasi SSP yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal
(mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah telah terjadi pada
saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.
7. Perdarahaan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir kehamilan.
Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan
peningkatan jumlah protein dalam urine berhubungan dengan peningkatan
resiko terjadinya cerebral palsy pada bayi.
8. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.
9. Kejang pada bayi baru lahir.
4. Patofisiologi
Perubahan neuropatologik pada CP bergantung pada patogenesis, derajat
dan lokalisasi kerusakan dalam susunan saraf pusat (SSP). Semua jaringan
SSP
peka terhadap kekurangan oksigen. Kerusakan yang paling berat terjadi pada
neuron, kurang pada neuroglia dan jaringan penunjang (supporting tissue) dan
paling minimal pada pembuluh darah otak. Derajat kerusakan ada
hubungannya
acute neuronal necrosis tanpa kerusakan pada neuroglia. Penyembuhan terjadi
dengan fagositosis bagian yang nekrotik, proliferasi neuroglia dan
pembentukan
jaringan parut yang diikuti dengan retraksi sekunder. Pada hipoksia yang lebih
berat, terjadi kerusakan baik pada neuron maupun neuroglia, mengakibatkan
terjadinya daerah dengan perlunakan, penyembuhan yang lambat, atrofi dan
pembentukan jaringan parut yang luas. Kerusakan-kerusakan yang paling
berat
terjadi pada bagian SSP yang sangat peka terhadap hipoksia yaitu korteks
serebri,
agak kurang pada ganglia basalis dan serebelum, sedangkan batang otak dan
medula spinalis mengalami kerusakan yang lebih ringan. Perdarahan ringan
oleh trauma persalinan biasanya diabsorpsi tanpa kerusakan yang menetap.
Hematoma subdural yang biasanya unilateral tersering ditemukan pada bagian
verteksi dekat sinus longitudinalis, menyebabkan kerusakan jaringan otak
yang berada di bawahnya oleh karena nekrosis tekanan, menghasilkan
ensefalo malaria yang akhirnya terjadi atrofi dan pembentukan jaringan parut.
Perdarahan intraserebral jarang menghasilkan porencephalic cavity.
Menurut Perlstein dan Barnett, suatu trauma kepala dan perdarahan
intrakranial pada umumnya akan melibatkan sistem piramidal, sedangkan
anoksia terutama mengenai sistem ekstrapiramidal. Manifestasi klinik kelainan
ini bergantung pada hebatnya dan lokalisasi lesi yang terjadi, apakah ia di
korteks serebri, ganglia basalis ataukah di serebelum. Kernikterus
menyebabkan kerusakan pada masa nukleus yang dalam, ditandai dengan
warna kuning, kerusakan berupa nekrosis dan lisis neuron yang diikuti dengan
proliferasi neuroglia dan pengerutan yang hebat. Pada kelainan bawaan otak,
misalnya agenesis/hipogenesis bagian-bagian otak dan hidrosefalus, akan
terjadi gangguan perkembangan. Adanya malformasi hambatan pada
vaskuler , atrofi, hilangnya neuron dan degenerasi laminar akan menimbulkan
narrowergyiri dan berat otak rendah. Cerebral palsy digambarkan sebagai
kekacauan pergerakan dan postur tubuh yang disebabkan oleh cacat
nonprogressive atau luka otak pada saat anak-anak. Suatu presentasi serebral
palsi dapat diakibatkan oleh suatu dasar kelainan (structural otak : awal
sebelum dilahirkan, perinatal, atau luka-luka/kerugian setelah kelahiran dalam
kaitan dengan ketidakcukupan vaskuler , toksin atau infeksi).
1. Adanya malformasi pada otak, penyumbatan pada vaskuler, atropi,
hilangnya neuron dan degenerasi laminar akan menimbulkan narrower
gry dan berat otak rendah.
2. Anoxia merupakan penyebab yang berarti dengan kerusakan otak, atau
sekunder dari penyebab mekanisme yang lain. CP (Cerebral Palsy)
dapat dikaitkan dengan premature yaitu spastic displegia yang
disebabkan oleh hypoxic infarction atau hemorrhage dalam ventrikel.
3. Type athetoid / dyskenetik disebabkan oleh kernicterus dan penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir, adanya pigmen berdeposit dalam basal
ganglia dan beberapa saraf nuclei cranial. Selain itu juga dapat terjadi
bila gangsal banglia mengalami injury yang ditandai dengan tidak
terkontrolnya pergerakan yang tidak disadari dan lambat.
4. Type CP himepharetic, karena trauma pada kortek atau CVA pada
arteri cerebral tengah. Cerebral hypoplasia; hipoglicemia neonatal
dihubungkan dengan ataxia CP.
5. Spastic CP yang paling sering dan melibatkan kerusakan pada motor
korteks yang paling ditandai dengan ketegangan otot dan
hiperresponsif. Refleks tendon yang dalam akan meningkatkan dan
menstimulasi yang dapat menyebabkan pergerakan sentakan yang tiba-
tiba pada sedikit atau semua ektermitas.
6. Ataxic CP adanya injury dari serebelum yang mana mengatur
koordinasi, keseimbangan dan kinestik. Akan tampak pergerakan yang
tidak terkoordinasi pada ekstremitas aras bila anak memegang /
menggapai benda. Ada pergerakan berulang dan cepat namun minimal.
7. Rigid / tremor / atonic CP ditandai dengan kekakuan pada kedua otot
fleksor dan ekstensor. Type ini mempunyai prognosis yang buruk
karena ada deformitas multiple yang terkait dengan kurangnya
pergerakan aktif.
8. Secara umum cortical dan antropy cerebral menyebabkan beratnya
kuadriparesis dengan retardasi mental dan microcephaly.
5. Patogenesis
Perkembangan susunan syaraf dimulai dengan terbentuknya neural
tube
yaitu induksi dorsal yang terjadi pada minggu 3-4 masa gestasi dan induksi
ventral berlangsung pada minggu ke 5-6 masa gestasi. Setiap gangguan pada
masa ini bisa mengakibatkan terjadinya kelainan kongenital kranioskisis
totalis,
anensefali, hidrosefalus dan lain sebagainya. Fase selanjutnya terjadi
ploriferasi neuron, yang terjadi pada masa gestasi bulan ke 2-4. Gangguan
pada fase ini bisa mengakibatkan mikrosefali, makrosefali. Stadium
selanjutnya yaitu stadium migrasi yang terjadi pada masa gestasi bulan ke 3-5.
Migrasi terjadi melalui dua cara yaitu secara radial dimana sel berdeferensiasi
dari daerah periventrikuler dan subventrikuler ke lapisan dalam korteks
serebri, sedangkan migrasi tengensial sel berdeferensiasi dari zone germinal
menuju ke permukaan korteks serebri. Gangguan pada masa ini bisa
mengakibatkan kelainan kongenital seperti polimikrogili, agenesis korpus
kolosum.
Stadium organisasi terjadi pada masa gestasi bulan ke 6 sampai
beberapa tahun pasca natal. Pada stadium ini terjadi ploriferasi neuron dan
pembentukan selubung mielin. Kelainan neuropatologic yang terjadi
tergantung pada berat dan ringannya kerusakan. Jadi kelainan neuropatologik
yang terjadi sangat kompleks dan difus yang bisa mengenai korteks motorik
traktus piramidalis daerah praventrikuler ganglia basalis, batak otak, dan
serebelum.
Anoksia serebri sering merupakan komplikasi perdarahan intraventrikuler
dan subependim. Asfiksia perinatal sering berkombinasi dengan iskemi yang
bisa menyebabkan nekrosis. Kerniktus secara klinis memberikan gambaran
kuning pada seluruh tubuh dan akan menempati ganglia basalis, hipocampus,
sel-sel nukleus batang otak dan bisa menyebabkan cerebral palsy tipe atetoid,
gangguan pendengaran, dan mental retardasi. Infeksi otak dapat menyebabkan
dapat menyebabkan perlengketan meningen, sehingga terjadi obstruksi ruang
subarakhnoid dan timbul hidrosefalus. Perdarahan dalam otak bisa
meninggalkan rongga yang berhubungan dengan ventrikel. Trauma lahir akan
menimbulkan kompresi cerebral atau perobekan sekunder. Trauma lahir ini
menimbulkan gejala ireversibel. Lesi ireversibel yang lainnya akibat trauma
adalah terjadi sikatrik pada sel-sel hipokampus yaitu pada kornu ammonis,
yang akan bisa mengakibatkan bangkitan epilepsi.
6. Gejala dan Manifestasi Klinis
Gejala biasanya timbul sebelum anak berumur 2 tahun dan pada kasus
yang berat, bisa muncul pada saat anak berumur 3 bulan. Gejalanya bervariasi,
mulai dari kejanggalan yang tidak tampak nyata sampai kekakuan yang berat,
yang menyebabkan bentuk lengan dan tungkai sehingga anak harus memakai
kursi roda. Cerebral palsy dibagi menjadi 4 kelompok :
1. Tipe spastic atau pyramidal atau atetoid (50% dari semua kasus CP, otot-
otot menjadi kaku dan lemah, berhubungan dengan reflek tendon dalam)
Pada tipe ini gejala yang hampir selalu ada adalah :
a. Hipertoni (fenomena pisau lipat)
b. Hiperrefleksi yag disertai klonus
c. Kecenderungan timbul kontraktur
d. Reflex patologis

Secara topografi distribusi tipe ini adalah sebagai berikut :


a. Hemiplegia apabila mengenai anggota gerak sisi yang sama.
b. Diplegia, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak atas sedikit lebih berat.
c. Kuadriplegi, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak atas sedikit lebih berat.
d. Monoplegi, bila hanya mengenai satu anggota gerak.
e. Triplegi apabila mengenai satu anggota gerak atas dan dua anggota gerak bawah,
biasanya merupakan varian dan kuadriplegi.
2. Tipe disginetik/ekstapiramidal/koreatetoid (20% dari semua kasus CP), otot
lengan, tungkai dan badan secara spontan bergerak perlahan, menggeliat dan
tak terkendali, tetapi bisa juga timbul gerakan yang kasar dan mengejang.
Luapan emosi menyebabkan keadaan semakin memburuk, gerakan akan
menghilang jika anak tidur.
3. Tipe ataksik, (10% dari demua kasus CP) terdiri dari tremor, langkah yang
goyah dengan kedua tungkai terpisah jauh, gangguan kooordinasi dan gerakan
abnormal.
4. Tipe campuran (20% dari semua kasus CP), merupakan gabungan dari 2 jenis
diatas, yang sering ditemukan adalah gabungan dari tipe spastik dan
koreoatetoid.
Berdasarkan derajat kemampuan fungsional :
a. Ringan :
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan/aktifitas sehari-hari
sehingga sama sekali tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan
bantuan khusus.
b.  Sedang
Aktifitas sangat terbatas. Penderita membutuhkan bermacam-
macam bantuan khusus atau pendidikan khusus agar dapat
mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak dan berbicara. Dengan
pertolongan secara khusus, diharapkan penderita dapat mengurus
diri sendiri, berjalan atau berbicara sehingga dapat bergerak,
bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan baik.
c.  Berat
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak
mungkin dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan
atau pendidikan khusus yang diberikan sangat sedikit
hasilnya.sebaiknya penderita seperti ini ditampung dengan
retardasi mental berat, atau yang akan menimbulkan gangguan
sosial-emosional baik bagi keluarganya maupun lingkungannya.
Gejala lain yang juga bisa dimukan pada CP :
a. Kecerdasan dibawah normal
b. Keterbelakangan mental
c. Kejang/epilepsy (trauma pada tipe spastik)
d. Gangguan menghisap atau makan
e. Pernafasan yang tidak teratur
f. Gangguan perkembangan kemampauan motorik (misalnya menggapai sesuatu,
duduk , berguling , merangkak, berjalan)
g. Gangguan berbicara (disatria)
h. Gangguan penglihatan
i. Gangguan pendengaran
j. Kontraktur persendian
k. Gerakan menjadi terbatas
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis cerebral palsy tergantung dari bagian dan luas
jaringan otak yang mengalami kerusakan :
1. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan reflek yang disertai
dengan klonus dan reflek
Babinski kerusakan yaitu :
a. Monoplegia/monoparesis
Kelumpuhan atau kelemahan keempat anggota gerak, tapi salah satu anggota
gerak lebih hebat dari yang lainnya.
b. Hemiplegia/hemiparesis
Kelumpuhan atau kelemahan lengan dan tungkai dipihak yang sama.
c. Diplegia/diparesis
Kelumpuhan atau kelemahan keempat anggota gerak, tapi tungkai lebih hebat
dari pada lengan.
d. Tetraplegia/tetraparesis
Kelumpuhan atau kelemahan keempat anggota gerak, tapi lengan lebih atau
sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai yang lain.
2. Tonus otot yang berubah
Bayi pada usia bulan pertama tampak flasid dan berbaring
seperti kodok terlentang, sehingga tampakseperti keainan
pada “lower motor neuron“ menjelang umur 1
tahun berubah menjadi tonus otot dari rendah hingga tinggi.
Golongan ini meliputi 10-20% dari kasus cerebral palsy.
3. Ataksia
Ialah gangguan koordinasi kerusakan terletak di serebelum, terdapat kira-kira 5% dari
kasus cerebral palsy.
4. Paralisis
Dapat berbentuk hemiplegia, kuadriplegia, diplegia, monoplegia, triplegia.
Kelumpuhan ini mungkin bersifat flaksid, spastik atau campuran.
5. Gerakan involunter
Dapat berbentuk atetosis, khoreoatetosis, tremor dengan
tonus yang bersifat flaksid, rigiditas, atau campuran.
6. Atetosis
Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi
dengan sendiri. Pada 6 bulan pertama tampak flaksid, tetapi sesudah itu barulah
muncul kelainan tersebut. Reflek neonatal menetap dan tampak adanya perubahan
tonus otot. Dapat timbul juga gejala spatisitas dan ataksia, kerusakan terletak di
ganglia basal disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa neonatus.
Atetosis meliputi 25% kasus CP, merupakan gerakan-gerakan abnormal yang timbul
spontan dari lengan, tungkai atau leher yang ditandai dengan gerakan
memutar mengelilingi sumbu ”kranio-kaudal”, gerakan bertambah bila dalam keadaan
emosi. Kerusakan terletak pada ganglia basalis dan disebabkan oleh
asfiksi berat atau jaundice.
7. Gangguan pendengaran
Terdapat pada 5-10% anak dengan cerebral palsy.
Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nada
tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata.
8. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi
mental. Gerakan yang terjadi dengan sendirinya dibibir dan
dilidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot
sehingga sulit membentuk kata-kata dan sering tampak
anak berliur.
9. Gangguan mata
Biasanya berupa strabismus convergen dan kelainan
refraksi, asfiksia berat, dapat
terjadi katarak, hampir 25% penderita cerebral palsy
menderita kelainan mata.
7. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis
cerebral palsy ditegakkan.
2. Fungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebabnya suatu proses degeneratif.
3. Pemeriksaan Elektro Ensefalografi dilakukan pada penderita kejang atau
pada
golongan hemiparesis baik yang berkejang maupun yang tidak. Mungkin
terlihat gelombang lambat secara fokal atau umum (ensefalins) /
volsetasenya
meningkat (abses)
4. Foto rontgen kepala dan CT scan untuk menunjukkan adanya kelainan
struktur
maupun kelainan bawaaan : dapat membantu melokalisasi lesi, melihat
ukuran / letak ventrikel.
5. Penilaian psikologis perlu dikerjakan untuk tingkat pendidikan yang
dibutuhkan.
6. Pemeriksaan metobolik untuk menyingkirkan penyebab lain dari reterdasi
mental.

Selain pemeriksaan di atas, kadang-kadang diperlukan pemeriksaan


arteriografi dan pneumoensefalografi individu.
8. Penatalaksanaan
Pada umumnya penanganan penderita cerebral palsy meliputi :
1. Medis
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simtomatik. Pada keadaan ini perlu
kerja sama yang baik dan merupakan suatu tim dokter anak, neurolog,
psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi,
occupational
therapist, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa dan orang tua pasien.
2. Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut
membantu program latihan dirumah. Untuk mencegah kontraktur perlu
diperhatika posisis pasien pada waktu istirahat atau tidur. Bagi pasien yang
berat dianjurkan untuk sementara tinggal dipusat latihan. Fisioterapi ini
dilakukan sepanjang pasien hidup.
3. Tindakan bedah
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk
dilakukan pembedahan otot, tendon atau tulang untuk reposisi kelainan
tersebut. Pembedahan stereotatik dianjurkan pada pasien dengan
pergerakan
koreotetosis yang berlebihan.
4. Obat-obatan
Pasien sebral palsi (CP) yang dengan gejala motorik ringan adalah
baik, makin
banyak gejala penyertanya dan makin berat gejala motoriknya makin
buruk
prognosisnya. Bila di negara maju ada tersedia institute cerebral palsy
untuk
merawat atau untuk menempung pasien ini.
5. Reedukasi dan rehabilitasi.
Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset, seseorang penderita
CP
perlu mendapatkan terapi yang sesuai dengan kecacatannya. Evaluasi
terhadap
tujuan perlu dibuat oleh masing-masing terapist. Tujuan yang akan dicapai
perlu juga disampaikan kepada orang tua/famili penderita, sebab dengan
demikian ia dapat merelakan anaknya mendapat perawatan yang cocok
serta
ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan hidupnya sendiri.
Fisioterapi bertujuan untuk mengembangkan berbagai gerakan yang
diperlukan untuk memperoleh keterampilan secara independent untuk
aktivitas sehari-hari. Fisioterapi ini harus segera dimulai secara intensif.
Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita sewaktu
istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara
tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi dilakukan sepanjang hidup
penderita. Selain fisioterapi, penderita CP perlu dididik sesuai dengan
tingkat inteligensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila mungkin di sekolah
biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Di Sekolah Luar Biasa
dapat dilakukan speech therapy dan occupational therapy yang
disesuaikan dengan keadaan penderita. Mereka sebaiknya diperlakukan
sebagai anak biasa yang pulang ke rumah dengan kendaraan bersanrm-
sama sehingga tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal.
Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk itu
pekerja sosial dapat membantu di rumah dengan melihat seperlunya.
6. Psikoterapi untuk anak dan keluarganya.
Oleh karena gangguan tingkah laku dan adaptasi sosial sering menyertai CP,
maka psikoterapi perlu diberikan, baik terhadap penderita maupun terhadap
keluarganya.
Pengobatan yang dilakukan biasanya tergantung kepada gejala dan bisa
berupa :
a. Terapi fisik
b. Loraces (penyangga)
c. Kaca mata
d. Alat bantu dengar
e. Pendidikan dan sekolah khusus
f. Obat anti kejang
g. Obat pengendur otot (untuk mengurangi tremor dan kekakuan) : baclofen dan
diazepam
h. Terapi okupasional
i. Bedah ortopedik / bedah saraf, untuk merekonstruksi terhadap deformitas yang terjadi
j. Terapi wicara bisa memperjelas pembicaraan anak dan membantu mengatasi masalah
makan
k. Perawatan (untuk kasus yang berat)
Jika tidak terdapat gangguan fisik dan kecerdasan yang berat, banyak anak dengan CP
yang tumbuh secara normal dan masuk ke sekolah biasa. Anak lainnya memerlukan
terapi fisik yang luas. Pendidikan khusus dan selalu memerlukan bantuan dalam
menjalani aktivitasnya sehari-hari. Pada beberapa kasus, untuk membebaskan
kontraktur persendian yang semakin memburuk akibat kekakuan otot, mungkin perlu
dilakukan pembedahan. Pembedahan juga perlu dilakukan untuk memasang selang
makanan dan untuk mengendalikan pefluks gastroesofageal.
9. Pencegahan
Pencegahan merupakan usaha yang terbaik. Cerebral palsy dapat
dicegah dengan jalan menghilangkan faktor etiologi kerusakan jaringan otak
pada masa prenatal, natal dan post natal. Sebagian daripadanya sudah dapat
dihilangkan, tetapi masih banyak pula yang sulit untuk dihindari. "Prenatal
dan perinatal care" yang baik dapat menurunkan insidens Cerebral palsy.
Kernikterus yang disebabkan "haemolytic disease of the new born" dapat
dicegah dengan transfuse tukar yang dini, "rhesus incompatibility" dapat
dicegah dengan pemberian "hyperimmun anti D immunoglobulin" pada ibu-
ibu yang mempunyai rhesus negatif. Pencegahan lain yang dapat dilakukan
ialah tindakan yang segera pada keadaan hipoglikemia, meningitis, status
epilepsi dan lain-lain.
10. Komplikasi
Kelainan Frekuensi Tipe Cerebral Palsy
1. Retardasi mental 75% Atonik, rigid, spastik kuadriparesis
2. Epilepsi 75% Hemiplegra, spastik kuadriparesis
3. Kelainan Virus Spastik diplegra dan kuadriparesis
a. Strabismus 25-50% Spastes atheroid
b. Kelalinan refraksi 25% Hemiplegra
c. Hemianopsia 25% Post kern ikterus
4. Kelainan pendengaran 25% Athetoid, spastik kuadriparesis
5. Disartria 25-50% Hemiplegra
6. Kelainan kortikal sensori 25-50% Hemiplegra
7. Pertumbuhan ekstremitas tidak simetris 25% Spastik yang berat, spastik athetoid
8. Skoliosis 25% Spastik
9. Dismofogenesis 7% Spastik
10. Kontraktur sendi 25-50% Spastik

11. Konsep Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1. Biodata
a. Laki-laki lebih banyak dari pada wanita.
b. Sering terjadi pada anak  kesulitan pada waktu melahirkan.èpertama 
c. Kejadin lebih tinggi pada bayi BBLR dan kembar.
d. Umur ibu lebih dari 40 tahun, lebih-lebih pada multipara.
2. Kaji riwayat kehamilan ibu
3. Riwayat kesehataan yang berhubungan dengan factor prenatal, natal dan post natal
serta keadaan sekitar kelaahiran yang mempredisposisikan anoksia janin.
4. Kaji iritabel anak, kesukaran dalam makan, perkembangan terlambat, perkembangan
pergerakan kurang, postur tubuh yang abnormal, refleks bayi yang persisten, ataxic,
kurangnya tonus otot.
5. Monitor respon untuk bermain
6. Kapasitas fungsi intelektual anak
7. Pemeriksaan Fisik
a. Muskuluskeletal : 
1. Spastisitas
2. Ataksia
b. Neurosensory : 
f. 1)      Gangguan menangkap suara tinggi
g. 2)      Gangguan bicara
h. 3)      Anak berliur
i. 4)      Bibir dan lidah terjadi gerakan dengan sendirinya
j. 5)      Strabismus konvergen dan kelainan refraksi
k. c.       Eliminasi : konstipasi
l. d.      Nutrisi : intake yang kurang
8. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
a. Pemeriksaan pendengaran (untuk menetukan status pendengaran)
b. Pemeriksaan penglihatan (untuk menentukan status fungsi penglihatan)
c. Pemeriksaan serum, antibody : terhadap rubela, toksoplasmosis dan herpes
d. MRI kepala / CT scan menunjukkan adanya kelainan struktur maupun kelainan
bawaaan : dapat membantu melokalisasi lesi, melihat ukuran / letak ventrikel.
e. EEG : mungkin terlihat gelombang lambat secara fokal atau umum (ensefalins) /
volsetasenya meningkat (abses)
f. Analisa kromosom
g. Biopsi otot
h. Penilaian psikologik

m.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif b/d ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d factor
biologis, disfagia sekunder terhadap gangguan motorik mulut/
kesukaran menelan dan meningkatnya aktivitas
3. Gangguan aktivitas b/d kelainan gerakan dan postur tubuh yang tidak
progresif
4. Kerusakan komunikasi verbal b/d kerusakaan kemampuan untuk
mengucap kata-kata yang berhubungan dengan keterlibatan otot-otot
fasial sekunder adanya rigiditas.
C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional
. Keperawatan

1. Pola nafas tidak  Pasien 5. Tempatkan 10. Posisi


efektif b/d mempertahankan pasien duduk
ketidakefektifan pola pernafasan dengan memungkin
bersihan jalan yang efektif, keselarasan kan
nafas terbukti dengan tubuh yang ekskursi
bernapas santai tepat untuk paru
pada tingkat pola maksimal
normal dan pernapasan dan
kedalaman dan maksimum. ekspansi
tidak adanya 6. Berikan dada.
dispnea. obat 11. Obat agonis
 Tingkat pernafasan beta-
pernafasan pasien dan oksigen, adrenergik
tetap berada sesuai merelaksasi
dalam batas yang pesanan otot-otot
ditetapkan. dokter. polos jalan
 Pasien 7. Tetaplah nafas dan
melakukan bersama menyebabk
pernafasan pasien an
diafragma selama bronkodilat
dengan bibir. episode akut asi untuk
 Pasien distres membuka
menunjukkan pernapasan. saluran
ekspansi paru- 8. Pertahankan udara.
paru maksimal jalan nafas 12. Ini akan
dengan ventilasi yang jelas mengurangi
yang memadai. dengan kecemasan
mendorong pasien,
pasien untuk sehingga
memobilisas mengurangi
i sekresi kebutuhan
sendiri oksigen.
dengan 13. Ini
batuk yang memudahk
berhasil an
9. Doronglah pembersiha
sering masa n sekresi
istirahat dan yang cukup
ajarkan 14. Aktivitas
pasien untuk ekstra bisa
mempercep memperbur
at aktivitas. uk sesak
nafas.
Pastikan
pasien
berada di
antara
aktivitas
berat.

2. Ketidak  Pasien a. Pastikan 15. Pakar


seimbangan menunjukkan berat badan seperti ahli
nutrisi kurang konsumsi nutrisi sehat untuk gizi dapat
dari kebutuhan yang cukup untuk usia dan menentuka
tubuh b/d factor memenuhi tinggi n
biologis, kebutuhan badan. keseimbang
disfagia metabolisme Rujuk ke an nitrogen
sekunder seperti yang ahli diet sebagai
terhadap ditunjukkan oleh untuk ukuran
gangguan berat badan stabil mendapatka status gizi
motorik mulut/ atau pengukuran n asesmen pasien.
kesukaran massa otot, gizi lengkap Keseimban
menelan dan keseimbangan dan metode gan
meningkatnya nitrogen positif, untuk nitrogen
aktivitas regenerasi mendapatka negatif
jaringan dan n dukungan dapat
peningkatan nutrisi. berarti
tingkat energi b. Tetapkan kekurangan
yang meningkat. tujuan protein.
 Pasien tidak jangka Ahli gizi
menunjukkan pendek dan juga dapat
tanda-tanda jangka menentuka
malnutrisi. panjang n
 Pasien yang sesuai. kebutuhan
membutuhkan c. Berikan nutrisi
cukup kalori atau lingkungan spesifik
nutrisi. yang pasien
 Pasien menyenang untuk
mempertahankan kan. mendapatk
berat badan atau d. Berikan an asupan
menunjukkan kebersihan gizi yang
kenaikan berat mulut dan cukup.
badan di jalan gigi yang 16. Pasien
menuju tujuan baik. mungkin
yang diinginkan, kehilangan
dengan   perhatian
normalisasi nilai dalam
laboratorium. mengatasi
dilema ini
tanpa
tujuan
jangka
pendek
yang
realistis.
17. Suasana
yang
menyenang
kan
membantu
mengurangi
stres dan
lebih
memberi
makan.
18. Kebersihan
mulut
memiliki
efek positif
pada nafsu
makan dan
pada selera
makanan.
Gigi palsu
harus
bersih, pas
nyaman,
dan masuk
ke mulut
pasien
untuk
mendorong
makan.
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari
rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Oleh
karena itu, jika intervensi keperawatan yang telah dibuat dalam
perencanaan dilaksanakan atau diaplikasikan pada pasien, maka tindakan
tersebut disebut implementasi keperawatan (Februanti, 2019 dikutip dari
Meda Susheta, 2020).

E. Evaluasi Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif b/d ketidakefektifan bersihan jalan nafas :
 Mampu mempertahankan pola pernafasan yang efektif 
 Mampu bernapas santai pada tingkat normal dan kedalaman
dan tidak adanya dispnea.
 Tingkat pernafasan tetap berada dalam batas yang ditetapkan
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang asupan makan 
 BB Meningkat
 Tidak mengalami malnutrisi
 Ada peningkatan fungsi pengecapan dan menelan

BAB III

KASUS DAN PEMBAHASAN KEJANG DEMAM

1. Kasus 

An. D, usia 19 bulan, jenis kelamin laki - laki, dibawa oleh Ny, B ke
RS Dr. Soetomo Surabaya karena anak demam sejak 2 hari sebelum masuk
RS. Klien kejang di rumah 2 kali selama 5 menit setiap kejang. Saat
pengkajian, klien mengalami kejang 1 kali. Suhu tubuh : 40 ˚C. Saat kejang
otot-otot seluruh tubuhnya tampak kaku, lidah tergigit dan gigi tampak
terkatup tutup, klien demam sejak 2 hari sebelum masuk RS. Klien kejang di
rumah 2 kali selama 5 menit setiap kejang, klien tampak mengantuk, lemah,
kulit teraba panas dan tampak kebiruan. Ny. B membawa klien ke Instalasi
Gawat Darurat tanggal 15 September jam 14.00 WIB. Saat di lakukan
pengakjian pada klien yaitu pada tanggal 15 September  pukul 14.30, hasil
pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa TD : 120/90 mmHg, Nadi : 124
x/menit, Suhu : 40˚C, dan RR : 26 x/menit. Pemeriksaan laboratorium terdapat
jumlah sel leukosit yang abnormal dengan hasil 10^3/UI.

2. Asuhan Keperawatan Anak


PENGKAJIAN KEPERAWATAN ANAK

Tgl. Pengkajian : 15 September 2021 No. Register   : 5411xxxx


Jam Pengkajian : 14.30 WIB Tgl. MRS       :15 September 2021
Ruang/Kelas       : -

I. IDENTITAS
1. Identitas Pasien
Nama : An. D
Umur : 19 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Alamat : Gubeng, Surabaya
Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny. B
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Gubeng, Surabaya
Hubungan dengan Klien : Ibu Klien
2. KELUHAN UTAMA
1. Keluhan Utama Saat MRS
Keluhan utama klien yaitu demam tinggi dengan kejang
2. Keluhan Utama Saat Pengkajian
Klien mengeluh demam tinggi
3. DIAGNOSA MEDIS
Kejang demam
4. RIWAYAT KESEHATAN 
1. Riwayat Penyakit Sekarang 
Ibu klien (Ny. B) mengatakan An. D (19 bulan) demam sejak 2
hari. Klien kejang di rumah 2 kali selama 5 menit setiap kejang,
kemudian oleh ibunya diperiksakan di bidan, menurut hasil dari
pemeriksaan, klien harus menjalani penanganan segera dan bidan
menganjurkan agar klien dibawa ke RS. Pada tanggal 15
September 2021 pukul 14.30 WIB oleh keluarga klien dibawa ke
IGD RSUD dr. Soetomo. Ibu klien mengatakan klien demam dan
kejang. Klien demam sejak 2 hari sebelum masuk RS. Klien
kejang di rumah 2 kali selama 5 menit setiap kejang. Di IGD
TTV ; TD : 120/90 mmHg, Nadi : 124 x/menit, Suhu : 40˚C, dan
RR : 26 x/menit. Terapi : oksigen 5 liter/menit sungkup muka, inf
RL 20 tpm. Saat dikaji pada tanggal 15 September 2021 pukul
14.30 WIB Klien mengalami kejang 1 kali, Saat kejang otot-otot
seluruh tubuhnya tampak kaku, lidah tergigit dan gigi
tampak terkatup tutup, klien tampak mengantuk, lemah, kulit
teraba panas dan tampak kebiruan.
2. Riwayat Kesehatan Yang Lalu
Klien belum pernah dirawat di RS dan tidak ada riwayat
penyakit kronis.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ibu klien mengatakan keluarga tidak ada yang mengalami sakit
seperti klien. Dan keluarga tidak ada yang mengalami penyakit
seperti TBC, DM, hipertensi maupun penyakit serius lainnya.
4. Genogram
Keterangan :
  : Laki-laki
: Perempuan
: Tinggal Serumah

: Meninggal
          : Pasien

5. RIWAYATKEHAMILAN DAN PERSALINAN (ANAK ≤ 2 TAHUN)


1. Prenatal :
 Riwayat kesehatan waktu hami
Ibu klien tidak sakit saat hamil/ tidak menderita sakit
bawaan.Selama kehamilan An. D, ibu klien sering
memeriksakan kehamilannya ke bidan dan Puskemas.
 Merokok
Ibu klien mengatakan tidak merokok saat hamil
 Nutrisi
Ibu klien saat hamil makan sesuai dengan anjuran
dokter kandungan yaitu makan-makanan yang bergizi seperti
sayuran, buah dan susu hamil dari dokter
2. Natal :
 BB dan TB lahir : BB lahir klien 3500 gram, TB lahir klien 52
cm warna kulit klien putih kemerahan
 Usia kelahiran : 39 minggu, dalam kategori cukup bulan
 Proses kelahiran : An. G lahir di bidan, persalinan normal
3. Postnatal (Neonatus) :
Klien dirumah diasuh oleh kedua orang tuanya, klien masih
dalam program ASI eksklusif.
6. RIWAYAT IMUNISASI
a. Imunisasi Dasar Lengkap
Riwayat imunisasi klien mendapat imunisasi Hb 0 saat lahir
dan imunisasi dasar lengkap yaitu : BCG, Polio I saat berumur 1
bulan  dan DPT-1, Polio-2 saat berumur 2 bulan.
b. Imunisasi tambahan (Booster)
Tidak ada imunisasi tambahan

7. RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN (SESUAI DENGAN


USIA ANAK)
1. Pertumbuhan
a. Tinggi badan : 98 cm
b. Berat badan : 9,4 kg
c. Lingkar kepala : 45 cm
d. Lingkar dada : 50 cm
e. Panjang badan : 75 cm
f. LiLA : 16 cm
2. Perkembangan
Riwayat tumbuh  kembang klien : dalam tahap pertumbuhan
dan perkembangan klien tidak ada masalah dari lahir sampai sekarang.
Tinggi badan saat lahir 52 cm dan sekarang 98 cm, berat badan klien
saat lahir 3500 gram dan sekarang 9,4 kg.

8.  KESEHATAN KELUARGA
1. Penyakit yang pernah / masih diderita keluarga
Ibu klien mengatakan keluarga tidak ada yang mengalami sakit
seperti klien. Dan keluarga tidak ada yang mengalami penyakit seperti
TBC, DM, hipertensi maupun penyakit serius lainnya.
2. Pengkajian keluarga
a. PengetahuanKeluarga : Keluarga mengetahui tentang penyakit kejang demam tetapi
tidak mengetahui cara pencegahannya
b. Psikologi keluarga : Keluarga merasa cemas karena anaknya sakit.
9. RIWAYAT HOSPITALISASI
1. Pengalaman Keluarga tentang sakit dan rawat inap
a. Ibu membawa anaknya ke RS karena :  Anak demam tinggi sejak 2 hari
yang lalu, dan disertai dengan kejang selama 5 menit 
b. Apakah dokter menceritakan tentang kondisi anak   : Dokter menjelaskan
kepada orang tua tentang apa itu kejang demam, dan cara pencegahannya.
c. Perasaan Orang tua saat ini : Cemas dan khawtir dengan keadaan anaknya
d. Orang tua selalu berkunjung ke RS : Tidak karena jika anak sakit hanya di
bawa ke bidan atau puskesmas
e. Yang akan tinggal dengan anak  : Kedua orang tua
2. Pemahaman anak tentang sakit dan rawat inap : Ibu klien mengatakan
anaknya masih umur 1 tahun 1 bulan belum mengerti tentang sakit dan
rawat inap
10. RIWAYAT POLA FUNGSI KESEHATAN KLIEN 
Pola Aktifitas Sehari-hari (ADL)
ADL Di Rumah Di Rumah Sakit
Pola persepsi - Pola persepsi kesehatan Pola persepsi kesehatan Ibu An. D
manajemen Ibu An. D mengatakan mengatakan anaknya belum mengetahui
kesehatan anaknya belum tentang penyakitnya, tetapi anak selalu
mengetahui tentang ingin ditemani ibunya setiap saat karena
penyakitnya, tetapi anak takut dengan orang asing (terutama dokter
selalu ingin ditemani dan perawat).
ibunya. Ibu pasien juga
mengatakan bahwa
kesehatan anaknya
sangatlah utama,
apabila anak sakit
langsung dibawa ke
puskesmas terdekat.
Pola nutrisi - An. D nutrisi makan An. D nutrisi makan dan minum
metabolik dan minum didapatkan didapatkan dari ASI karena An. D masih
dari ASI karena An. D dalam program ASI Ekslusif. Pada malam
masih dalam program hari klien batuk dan muntah.
ASI Ekslusif. Pada Pemeriksaan :
malam hari klien batukAntropometri didapatkan berat badan  9,4 
dan muntah. kg, tinggi badan 98 cm, IMT klien 9,78
(berat badan ideal)
Biochemical di dapatkan hemoglobin 12,0
gr/dl dan hematokrit 38%.
Clinical sign didapatkan mukosa bibir kering
dan untuk 
Diit yang diberikan yaitu diit ASI.
Pola eliminasi Pengkajian pola eliminasi
Pengkajian pola eliminasi saat sakit BAK
sebelum sakit BAK 3- menggunakan diapers ±200cc warna
5x/hari, sebanyak ±80cc kuning jernih. An. G
setiap BAK, warna
BAB 1 hari sekali dengan warna feces kuning
kuning jernih  kecoklatan, agak lembek, sedikit cair,
BAB 1 hari sekali dengan sebanyak ±30cc.
warna feces kuning
kecoklatan, agak
lembek, sedikit cair,
sebanyak ±30cc.
Pola latihan – Ibu klien mengatakan Pengkajian pola aktivitas An. D  hanya
aktivitas aktivitas sehari – hari tidur di tempat tidur dan terpasang infus.
klien aktif sudah mulai Klien dibantu  oleh ibu klien dalam
berjalan, untuk aktivitas memenuhi kebutuhannya seperti makan,
makan, minum, minum, mandi, toileting.
toileting di bantu orang
tua

Pola kognitif Pengkajian pola Pengkajian pola kognitif  dan sensori tidak
perseptual kognitif  dan sensori ada keluhan/gangguan pada penglihatan,
tidak ada penciuman, pendengaran, pengecapan,
keluhan/gangguan pada perabaan, klien berumur 1 tahun 1 bulan
penglihatan, dan kemampuan kognitifnya baik,
penciuman,
pendengaran,
pengecapan, perabaan,
klien berumur 1 tahun 1
bulan dan kemampuan
kognitifnya baik.
Pola istirahat tidur An. G biasanya tidur Pola  istirahat dan tidur klien mengalami
malam rata-rata 8 jam perubahan pola tidur saat sakit. Selama
perhari dan tidur siang sakit An. D kualitas tidurnya 
3-5 jam perhari.  terngganggu  karena  demam tinggi, 
sering terbangun, tidur rata-rata hanya 8-9
jam perhari.
Pola konsep diri – Pola konsep diri dan Pola konsep diri dan persepsi diri klien
persepsi diri persepsi diri klien anak anak usia 19 bulan, keluarga sangat
usia 19 bulan, keluarga mengerti keadaan klien dan
sangat mengerti memperhatikan status kesehatannya,
keadaan klien dan keluarga tampak cemas, sedih dan gelisah
memperhatikan status saat klien dirawat di rumah sakit.
kesehatannya, keluarga
tampak cemas, sedih
dan gelisah saat klien
dirawat di rumah sakit.
Pola peran dan Pola hubungan dan Pola hubungan dan peran klien memiliki
hubungan peran klien memiliki hubungan yang baik dengan keluarga.
hubungan yang baik Orang terdekat pasien saat ini adalah
dengan keluarga. Orang ibunya
terdekat pasien saat ini
adalah ibunya.
Pola Pola Pengkajian Pola Pengkajian seksualitas dan
reproduksi/seksual seksualitas dan reproduksi An. D berjenis kelamin laki-
reproduksi An. D laki.
berjenis kelamin laki-  
laki.
Pola pertahanan diri Pola koping terhadap Pola koping terhadap stress dan koping
(koping toleransi stress dan koping klien klien biasanya juga menangis apabila
stress) biasanya juga menangis merasakan sakit ataupun sesak nafas  yang
apabila merasakan sakit dirasakannya
ataupun sesak nafas 
yang dirasakannya
Pola keyakinan dan Pola keyakinan dan Pola keyakinan dan nilai An. D beragama
nilai  nilai An. D beragama Islam dan keluarga klien selalu berdoa
Islam dan keluarga untuk kesembuhan klien.
klien selalu berdoa
untuk kesembuhan
klien

11. RIWAYAT POLA FUNGSI KESEHATAN KLIEN 


Pola Aktifitas Sehari-hari (ADL)
ADL Di Rumah Di Rumah Sakit
Pola persepsi - Pola persepsi kesehatan Pola persepsi kesehatan Ibu An. D
manajemen Ibu An. D mengatakan mengatakan anaknya belum mengetahui
kesehatan anaknya belum tentang penyakitnya, tetapi anak selalu
mengetahui tentang ingin ditemani ibunya setiap saat karena
penyakitnya, tetapi anak takut dengan orang asing (terutama dokter
selalu ingin ditemani dan perawat).
ibunya. Ibu pasien juga
mengatakan bahwa
kesehatan anaknya
sangatlah utama,
apabila anak sakit
langsung dibawa ke
puskesmas terdekat.
Pola nutrisi - An. D nutrisi makan An. D nutrisi makan dan minum
metabolik dan minum didapatkan didapatkan dari ASI karena An. D masih
dari ASI karena An. D dalam program ASI Ekslusif. Pada malam
masih dalam program hari klien batuk dan muntah.
ASI Ekslusif. Pada Pemeriksaan :
malam hari klien batukAntropometri didapatkan berat badan  9,4 
dan muntah. kg, tinggi badan 98 cm, IMT klien 9,78
(berat badan ideal)
Biochemical di dapatkan hemoglobin 12,0
gr/dl dan hematokrit 38%.
Clinical sign didapatkan mukosa bibir kering
dan untuk 
Diit yang diberikan yaitu diit ASI.
Pola eliminasi Pengkajian pola eliminasi
Pengkajian pola eliminasi saat sakit BAK
sebelum sakit BAK 3- menggunakan diapers ±200cc warna
5x/hari, sebanyak ±80cc kuning jernih. An. G
setiap BAK, warna
BAB 1 hari sekali dengan warna feces kuning
kuning jernih  kecoklatan, agak lembek, sedikit cair,
BAB 1 hari sekali dengan sebanyak ±30cc.
warna feces kuning
kecoklatan, agak
lembek, sedikit cair,
sebanyak ±30cc.
Pola latihan – Ibu klien mengatakan Pengkajian pola aktivitas An. D  hanya
aktivitas aktivitas sehari – hari tidur di tempat tidur dan terpasang infus.
klien aktif sudah mulai Klien dibantu  oleh ibu klien dalam
berjalan, untuk aktivitas memenuhi kebutuhannya seperti makan,
makan, minum, minum, mandi, toileting.
toileting di bantu orang
tua
Pola kognitif Pengkajian pola Pengkajian pola kognitif  dan sensori tidak
perseptual kognitif  dan sensori ada keluhan/gangguan pada penglihatan,
tidak ada penciuman, pendengaran, pengecapan,
keluhan/gangguan pada perabaan, klien berumur 1 tahun 1 bulan
penglihatan, dan kemampuan kognitifnya baik,
penciuman,
pendengaran,
pengecapan, perabaan,
klien berumur 1 tahun 1
bulan dan kemampuan
kognitifnya baik.
Pola istirahat tidur An. G biasanya tidur Pola  istirahat dan tidur klien mengalami
malam rata-rata 8 jam perubahan pola tidur saat sakit. Selama
perhari dan tidur siang sakit An. D kualitas tidurnya 
3-5 jam perhari.  terngganggu  karena  demam tinggi, 
sering terbangun, tidur rata-rata hanya 8-9
jam perhari.
Pola konsep diri – Pola konsep diri dan Pola konsep diri dan persepsi diri klien
persepsi diri persepsi diri klien anak anak usia 19 bulan, keluarga sangat
usia 19 bulan, keluarga mengerti keadaan klien dan
sangat mengerti memperhatikan status kesehatannya,
keadaan klien dan keluarga tampak cemas, sedih dan gelisah
memperhatikan status saat klien dirawat di rumah sakit.
kesehatannya, keluarga
tampak cemas, sedih
dan gelisah saat klien
dirawat di rumah sakit.
Pola peran dan Pola hubungan dan Pola hubungan dan peran klien memiliki
hubungan peran klien memiliki hubungan yang baik dengan keluarga.
hubungan yang baik Orang terdekat pasien saat ini adalah
dengan keluarga. Orang ibunya
terdekat pasien saat ini
adalah ibunya.
Pola Pola Pengkajian Pola Pengkajian seksualitas dan
reproduksi/seksual seksualitas dan reproduksi An. D berjenis kelamin laki-
reproduksi An. D laki.
berjenis kelamin laki-  
laki.
Pola pertahanan diri Pola koping terhadap Pola koping terhadap stress dan koping
(koping toleransi stress dan koping klien klien biasanya juga menangis apabila
stress) biasanya juga menangis merasakan sakit ataupun sesak nafas  yang
apabila merasakan sakit dirasakannya
ataupun sesak nafas 
yang dirasakannya
Pola keyakinan dan Pola keyakinan dan Pola keyakinan dan nilai An. D beragama
nilai  nilai An. D beragama Islam dan keluarga klien selalu berdoa
Islam dan keluarga untuk kesembuhan klien.
klien selalu berdoa
untuk kesembuhan
klien

12. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan Umum
Keadaan umum lemah
 Tingkat kesadaran klien : Apatis
 GCS : 12
 Orientasi : Klien dapat  berorientasi
dengan baik, dengan orang, tempat dan waktu
B. Pemeriksaan Tanda-tanda Vital
 Suhu : 40 ˚C
 Nadi : 124 x/menit
 TD : 120/90 mmHg
 Respirasi : 30 x/menit
 TB : 98 cm
 BB Sebelum MRS : 10,4 kg
 BB Setelah MRS : 9,4 kg
 IMT : 9,78
C. Pemeriksaan head to toe
1. Sistem indra
a. Pemeriksaan Wajah
 Inspeksi
a. Mata : Mata tidak ikterik, konjungtiva anemis, tampak mengantuk fungsi
penglihatan normal
b. Hidung : Pemeriksaan hidung tidak terpasang selang NGT, tidak ada secret
c. Mulut  : Pemeriksaan mulut mukosa bibir kering, bibir terlihat pucat, gusi bersih dan
lidah bersih, tidak ada stomatitis dan mukosa tidak sianosis
d. Telinga : Telinga simetris, tidak ada pengeluaran serumen
 Palpasi :
a. Hidung : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
b. Telinga : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
2. Sistem kardiovaskuler
Pemeriksaan jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak 
 Palpasi :Tidak nyeri tekan, tidak ada edema
 Perkusi : Pekak
 Auskultasi : Tida ada suara jantung tambahan/ gallop
3. Sistem pernafasan
Pemeriksaan paru
 Inspeksi : pergerakan dada cepat, terdapat tarikan
dinding dada ke dalam
 Palpasi : Tidak ada nyeri tekan atau tidak edema
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : Terdengar sbunyi vesikuler
4. Sistem pencernaan
Pemeriksaan abdomen
 Inspeksi : Simetris tidak ada lesi
 Auskultasi : Bising usus 15 x/menit
 Perkusi : Tympani, peristaltic 12 x/menit
 Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran hepar
5. Sistem reproduksi
Pemeriksaan Genetalia dan Rektal
 Pada pemeriksaan genetalia terlihat bersih dan tidak ada
kelainan
6. Sitem muskuloskoletal
Pada pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah fungsinya
normal, terpasang infuse Kaen 3A 10 tpm pada tangan kiri
7. Sistem integument
Pemeriksaan Kulit/Integument
 Inspeks : Warna kulit sawong matang, telapak tangan pucat,
tidak ada lesi di tangan, CRT >2 detik, perfusi perifer kering,
hangat dan pucat.
 Palpasi : Tidak ada oedem
8. Sitem neurologi
Pemeriksaan fungsi neurologi
 GCS : 3-4-5
 Pupil isikor
 Reflek cahaya mata ada
D.  PEMERIKSAAN PENUNJANG/DIAGNOSTIK MEDIK
Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik 16 September 2021
Jenis Hasil Nilai Normal
Pemeriksaan
Hemoglobin  10.8 Pria : 13-18 g/dl, wanita 11.5-16.5 g/dl. Wanita hamil: 11-
gr/dl 16.5 g/dl. Anak : 12-34 g/dl
Hematocrit  L 31 %
Leukosit 14.5 10^3/UI
Eritrosit  4.1 10^6/UI
MCV 75# 24-102#
MCH 26 Pg
MCHC 35 32. /dl
E. TINDAKAN DAN TERAPI
 IVFD RL = 20 tetes/menit
 Oksigen 5 L/menit sungkup muka
 Diazepam 3 mg 
 Paracetamol

Perawat yang mengkaji 


ttd

(                            )

ANALISA DATA
No DATA ETIOLOGI MASALAH
DS : Hipertermi
- Ibu klien mengatakan klien badannya panas
- Klien demam sejak 2 hari sebelum masuk RS
- Klien kejang di rumah 2 kali selama 5 menit setiap
kejang
DO :
-  S: 40˚C
-    Kulitnya teraba panas
DS : Resiko
- Saat dikaji klien mengalami kejang 1 kali Cidera 
 Klien demam sejak 2 hari sebelum masuk RS
- Klien kejang di rumah 2 kali selama 5 menit setiap
kejang
DO :
   Saat kejang otot-otot seluruh tubuhnya tampak kaku,
lidah tergigit dan gigi tampak terkatup tutup
 
RUMUSAN DIAGNOSIA KEPERAWATAN
1. Hipertermi b.d efek dari sirkulasi endotoksin pd hipotalamus
2. Risiko cidera b.d aktivitas kejang

PRIORITAS DIAGNOSIA KEPERAWATAN


1. Hipertermi b.d efek dari sirkulasi endotoksin pd hipotalamus
2. Risiko cidera b.d aktivitas kejang

INTERVENSI KEPERAWATAN
No  Diagnosa Tujuan dan Kiteria Hasil  Intervensi
Keperawatan  (NOC) (NIC)
1 Hipertermi b.d efek Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor suhu tubuh
dari sirkulasi keperawatan 2x24 jam masalah 2. Monitor warna dan
endotoksin pd hipertermia dapat teratasi. suhu kulit
hipotalamus Kriteria Hasil : 3. Monitor tekanan
1. Suhu tubuh dalam batas darah, nadi dan RR
normal 37 C. 0
4. Monitor WBC, Hb,
2. Kebutuhan cairan dan Hct
terpenuhi. 5. Monitor intake dan
3. Tanda-tanda vital dalam output
batas normal. 6. Berikan anti piretik:
4. Kesadaran anak 7. Kolaborasi pemberian
Composmentis. Antibiotik 
8. Pakai baju yang tipis
9. Berikan cairan
intravena, RL 30 tpm
10. Kompres pasien pada
lipat paha dan aksila
11. Tingkatkan sirkulasi
udara
12. Tingkatkan intake
cairan dan nutrisi
13. Monitor TD, nadi,
suhu, dan RR
14. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
15. Monitor hidrasi
seperti turgor kulit,
kelembaban membran
mukosa).
3 Resiko cidera b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau TTV.
aktivitas kejang keperawatan 2x24 jam resiko 2. Pantau tingkat
cidera dapat teratasi. kesadaran.
Kriteria Hasil : 3. Berikan tongue spatel
1. Tidak terjadi trauma fisik yang dilapisi kassa
selama perawatan. diantara gigi bawah
2. Mempertahankan tindakan dan gigi atas.
yang mengontrol aktivitas 4. Letakkan klien
kejang. ditempat yang lembut.
3. Tidak terjadi serangan 5. Catat tipe kejang
kejang berulang. (lokasi,lama) dan
frekuensi kejang.
6. Jelaskan faktor
predisposisi kejang .
7. Jaga klien dari trauma
dengan memberikan
pengaman pada sisi
tempat tidur.
8. Tetap bersama klien
saat fase kejang.
9. Kolaborasi pemberian
obat anti kejang.
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Diagnosa
No. Tanggal Tindakan Evaluasi
Keperawatan
1. Rabu  Hipertermi 1. Memonitor suhu S : Ibu klien mengatakan
15 b.d efek dari tubuh An. B demam sejak 2 hari
September sirkulasi 2. Memonitor warna yang lalu
2021 endotoksin pd dan suhu kulit O : Badan terasa panas
hipotalamus 3. Memonitor tekanan wajah dan bibir tampak
darah, nadi dan RR pucat, mukosa bibir
4. Memonitor WBC, kering,  badannya lemas,
Hb, dan Hct dan wajah gelisah
5. Memonitor intake - S: 40 ˚C
dan output - N : 124 x/menit
6. Memberikan anti - RR :26 x/menit
piretik: - TD : 120/90 mmHg
7. Berkolaborasi A : Masalah belum teratasi
pemberian P : Intervensi dilanjutkan
Antibiotik 
8. Memnganjurkan
klien memakai baju
yang tipis
9. Memberikan cairan
intravena, RL 30
tpm
10. Mengompres
pasien pada lipat
paha dan aksila
11. Meningkatkan
sirkulasi udara
12. Meningkatkan
intake cairan dan
nutrisi
13. Memonitor TD,
nadi, suhu, dan RR
14. Mencatat adanya
fluktuasi tekanan
darah
Monitor hidrasi seperti
turgor kulit,
kelembaban membran
mukosa).

Rabu  Resiko cidera 1. Memantau TTV. S : Ibu klien mengatakan


15 b.d aktivitas 2. Memantau tingkat An. B demam sejak 2 hari
September kejang kesadaran. yang lalu disertai kejang
2021 3. Memberikan selama 5 menit, saat
tongue spatel yang kejang otot-otot seluruh
dilapisi kassa tubuhnya tampak kaku,
diantara gigi bawah lidah tergigit dan gigi
dan gigi atas. tampak terkatup tutup
4. Meletakkan klien O : 
ditempat yang - klien tampak kejang
lembut. dengan lidha tergigit dan
5. Mencatat tipe gigi tampak terkatup
kejang - kejang terjadi selama 6
(lokasi,lama) dan menit
frekuensi kejang. - S: 40 ˚C
6. Menjelaskan faktor - N : 124 x/menit
predisposisi - RR : 26 x/menit
kejang . - TD : 120/90 mmHg
7. Menjaga klien dari - GCS : E:3, V:4, M:5
trauma dengan A : Masalah belum teratasi
memberikan P : Intervensi dilanjutkan
pengaman pada sisi
tempat tidur.
8. Tetap bersama
klien saat fase
kejang.
9. Berkolaborasi
pemberian obat anti
kejang.

Diagnosa
No. Tanggal Tindakan Evaluasi
Keperawatan
2. Kamis  Hipertermi 1. Memonitor suhu S : Ibu klien
16 b.d efek dari tubuh mengatakan An. B
September sirkulasi 2. Memonitor warna dan demam menurun
2021  endotoksin pd suhu kulit O : Akral terasa
hipotalamus 3. Memonitor tekanan hangat, wajah dan
darah, nadi dan RR bibir tampak lembab,
4. Memonitor WBC, Hb, mukosa bibir basah,
dan Hct badannya lemas, dan
5. Memonitor intake dan wajah gelisah
output - S : 39 ˚C
6. Memberikan anti - N : 120 x/menit
piretik : Berkolaborasi - RR :  24 x/menit
pemberian Antibiotik  - TD : 100/90 mmHg
7. Memnganjurkan klien A : Masalah belum
memakai baju yang teratasi
tipis P : Intervensi
8. Memberikan cairan dilanjutkan
intravena, RL 30 tpm
9. Mengompres pasien
pada lipat paha dan
aksila
10. Meningkatkan
sirkulasi udara
11. Meningkatkan intake
cairan dan nutrisi
12. Memonitor TD, nadi,
suhu, dan RR
13. Mencatat adanya
fluktuasi tekanan dara
14. Monitor hidrasi
seperti turgor kulit,
kelembaban membran
mukosa).

Kamis 16 Resiko cidera b.d 1. Memantau TTV. S : Ibu klien


September aktivitas kejang 2. Memantau tingkat mengatakan An. B
2021 kesadaran. demam menurun dan
3. Memberikan tongue tidak ada kejang 
spatel yang dilapisi
kassa diantara gigi O : 
bawah dan gigi atas - klien tidak tampak
4. Meletakkan klien kejang
ditempat yang lembut. - S : 38 ˚C
5. Mencatat tipe kejang - N : 120 x/menit
(lokasi,lama) dan - RR : 24 x/menit
frekuensi kejang. - TD : 110/90 mmHg
6. Menjelaskan faktor - GCS : E:4, V:4,
predisposisi kejang . M:5 (apatis)
7. Menjaga klien dari A : Masalah belum
trauma dengan teratasi
memberikan P : Intervensi
pengaman pada sisi dilanjutkan
tempat tidur.
8. Tetap bersama klien
saat fase kejang.
9. Berkolaborasi
pemberian obat anti
kejang.

EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi
Diagnosa
No. Kamis, 16 September
Keperawatan Rabu, 15 September 2021
2021
1. Hipertermi S : Ibu klien mengatakan An. B S : Ibu klien
b.d efek dari demam sejak 2 hari yang lalu mengatakan An. B
sirkulasi O : Badan terasa panas wajah dan demam menurun
endotoksin pd bibir tampak pucat, mukosa bibir O : Akral terasa hangat,
hipotalamus kering,  badannya lemas, dan wajah wajah dan bibir tampak
gelisah lembab, mukosa bibir
- S: 40 ˚C basah, badannya lemas,
- N : 124 x/menit dan wajah gelisah
- RR :26 x/menit - S : 39 ˚C
- TD : 120/90 mmHg - N : 120 x/menit
A : Masalah belum teratasi - RR :  24 x/menit
P : Intervensi dilanjutkan - TD : 100/90 mmHg
A : Masalah belum
teratasi
P : Intervensi
dilanjutkan
2. Resiko cidera b.d S : Ibu klien mengatakan An. B S : Ibu klien
aktivitas kejang demam sejak 2 hari yang lalu disertai mengatakan An. B
kejang selama 5 menit, saat kejang demam menurun dan
otot-otot seluruh tubuhnya tampak tidak ada kejang 
kaku, lidah tergigit dan gigi tampak O : 
terkatup tutup - klien tidak tampak
O :  kejang
- klien tampak kejang dengan lidha - S : 38 ˚C
tergigit dan gigi tampak terkatup - N : 120 x/menit
- kejang terjadi selama 6 menit - RR : 24 x/menit
- S: 40 ˚C - TD : 110/90 mmHg
- N : 124 x/menit - GCS : E:4, V:4, M:5
- RR : 26 x/menit (apatis)
- TD : 120/90 mmHg A : Masalah belum
- GCS : E:3, V:4, M:5 teratasi
A : Masalah belum teratasi P : Intervensi
P : Intervensi dilanjutkan dilanjutkan

BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan
Kejang demam merupakankelainan neurologis yang paling sering terjadi pada anak, 1
dari 25 anak akan mengalami satu kali kejang demam. Hal ini dikarenakan, anak yang
masih berusia dibawah 5 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit disebabkan
sistem kekebalan tubuh belum terbangun secara sempurna.
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya
cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi,
sehingga terdapat pelebaran ventrikel 
Cerebral palsy ialah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun
waktu dalam perkembangan anak,mengenai sel-sel motorik didalam susunan saraf
pusat,bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak
yang belum selesai pertumbuhannya. 
Dari ketiga penyakit diatas, kami mengambil kasus penyakit kejang demam dengan
mengambil beberapa poin, yakni :
1. Seorang anak penderita kejang dan demam berumur 19 bulan memiliki keluhan utama
demam tinggi disertai kejang. klien mengalami demam selama 2 hari dan kejang
berlangsung sleama 5 menit. 
2. Setelah dilakukan pengkajian, terdapat rumusan diagnosis keperawatan yakn
hipertemi berhubungan dengan efek dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus,
perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan reduksi aliran darah ke otak dan
resiko cidera berhubungan dengan aktivitas kejang.
3. Intervensi hipertemi berhubungan dengan efek dari sirkulasi endotoksin pada
hipotalamus, perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan reduksi aliran darah
ke otak dan resiko cidera berhubungan dengan aktivitas kejang menggunakan NIC
NOC
4. Implementasi dilakukan selama 2 hari sesuai dengan intervensi namun pada diagnosa
hipertemi, perfusi jaringan tidak efektif dan resiko cidera belum teratasi sehingga
intervensi tetap dilanjutkan.

2. Saran 
1. Bagi keluarga klien
Diharapkan bagi keluarga pasien meningkatkan pengetahuan dan menambah
wawasan  serta menerapkan ilmu terkait penyakit yang diderita klien.
2. Bagi institusi pendidikan 
Dapat meningkatkan mutu pendidikan yang berkualitas dan dapat menciptakan
perawat yang profesional yang mampu memberikan asuhan keperawatan
profesional.
3. Bagi pembaca
Diharapkan bagi pembaca untuk menambahkan dan mengembangkan
pengetahuan dan ilmu dari makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2009.). Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis, Edisi


9, hlm 1393. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Eaton, Marilyn, dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatn Pediatrik, Volume 2. Jakarta: EGC.
NANDA Nic Noc. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan
Nicnoc. In EJournal Keperawatanournal Keperawatan.
Nurarif, A. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda
NIc-NOC. Mediaction publishing.
Nanny Lia Dewi, Vivian. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Salemba Medika: 
Jakarta
Nelson. 2012. Ilmu Kesehatan Anak. Vol. 3. EGC
L. Wong, Donna. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong, Ed. 6, Vol.2. EGC
Muslihatun, Wati Nur, 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Fitramaya: Yogyakarta
Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba Medika: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai