Anda di halaman 1dari 60

Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Persepsi Sensori dengan Kasus

Katarak Senilis

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan

Medikal Bedah II

Disusun oleh :

Farhan Kurniawan (1020180) Tika Meliyanti (1020180)

Rahma Asyifa Nurhikmah (1020180) Putri Matahari (102018068)

Nurizka Tringgani Idzni (1020180) Tiara Larasati Devi (102018069)

Ripa Rahma Zahida (1020180) Laila Fitriniasih (102018070)

Fasilitator :
Angga Wilandika, S.Kep., Ners., M.Kep.

Vokasi Diploma III Keperawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Bandung

Jl. K.H. Ahmad Dahlan no.6 Bandung

2019
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini dimaksudkan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal II yang dibina oleh
Bapak Angga Wilandika, S.Kep., Ners., M.Kep.

Terima kasih kepada semua yang telah membantu dalam penyelesaian


makalah ini sama ada secara langsung maupun secara tidak langsung. Makalah ini
didapat dari beberapa sumber yang telah dipakai. Makalah ini berisi dari berbagai
pengetahuan tentang “Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Persepsi Sensori
dengan Kasus Katarak Senilis”. Penyusun berharap makalah ini bisa membantu
yang membaca untuk memahami tentang judul terkait dengan lebih baik.

Disadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan di dalam


makalah ini. Makalah ini terbilang belum sempurna. Maka dari itu, kritik dan
saran dari semua pihak sangat diharapkan guna menyempurnakan makalah ini.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk siapapun yang membacanya.

Bandung, 2 Maret 2020

Penyusun
Daftar Isi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indra menghubungkan kita dengan dunia dan satu sama lain. Setiap indra
memungkinkan kita berespons terhadap stimulus yang samar dan tidak terlalu
samar dengan presisi dan rekognisi. Karena adanya cara indra kita membawa
lingkungan eksternal kepada kita, implikasi hilangnya indra seiring berjalannya
waktu sangat besar. Indra mencakup penglihatan, pendengaran, pengecapan,
penciuman, dan sentuhan. Sistem sensorik sangat penting bagi hubungan
seseorang dengan lingkungannya. Selain itu, indra merupakan hal mendasar bagi
kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan di mana indra memungkinkan
orang untuk memperoleh kesenangan melalui pengalaman lingkungan mereka.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi pada sistem persepsi sensori?
2. Bagaimana pengkajian terhadap gangguan sistem persepsi sensori?
3. Apa saja gangguan atau penyakit yang muncul pada sistem persepsi
sensori?
4. Bagaimana kasus asuhan keperawatan dengan gangguan persepsi sensori
pada katarak senilis?
5. Bagaimana pengkajian pada kasus katarak senilis ?
6. Apa saja diagnosa yang muncul pada pada kasus katarak senilis ?
7. Bagaimana intervensi pada kasus katarak senilis ?
8. Bagaimana implementasi pada kasus katarak senilis ?
9. Bagaimana evaluasi pada kasus katarak senilis ?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah:
1. untuk mengetahui anatomi dan fisiologi pada sistem persepsi sensori;
2. untuk mengetahui pengkajian terhadap gangguan sistem persepsi sensori;
3. untuk mengetahui gangguan atau penyakit yang muncul pada sistem
persepsi sensori;
4. untuk mengetahui asuhan keperawatan dengan gangguan persepsi sensori
pada katarak senilis;
5. untuk mengetahui pengkajian pada kasus katarak senilis;
6. untuk mengetahui diagnosa yang muncul pada pada kasus katarak senilis;
7. untuk mengetahui intervensi pada kasus katarak senilis;
8. untuk mengetahui implementasi pada kasus katarak senilis;
9. untuk mengetahui evaluasi pada kasus katarak senilis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Sensori Persepsi.


Pengertian sensori adalah stimulus atau rangsang yang datang dari dalam
maupun luar tubuh. Stimulus tersebut masuk ke dalam tubuh melalui organ
sensori (pancaindera). Persepsi adalah daya mengenal barang, kualitas atau
hubungan serta perbedaan antar hal yang terjadi melalui proses mengamati,
mengetahui dan mengartikan setelah mendapat rangsangan melalui indera.
Indra khusus pendengaran, penglihatan, penghidu/penciuman, dan
pengecapan memiliki reseptor sensori khusus (ujung saraf) di luar otak. Reseptor
ini ditemukan di telinga, mata, hidung dan mulut. Di otak, impuls saraf yang
masuk mengalami proses integrasi dan koordinasi yang kompleks yang
menyebabkan persepsi informasi sensori dan berbagai respons di dalam dan luar
tubuh.
Reseptor khusus (sensor) kulit dirangsang oleh tekanan ventrikel (Merkel),
sentuhan (terutama badan/korpuskulus Meissner), tegangan lateral (terutama
badan Pacini), gerakan rambut (reseptor folikel rambut), atau suhu (reseptor
dingin dan panas). Reseptor regang (proprioseptor) di otot (gelendong otot),
tendon (organ tendon Golgi), dan kapsul sendi menyalurkan informasi mengenai
aktivitas motorik, sementara reseptor di berbagai organ internal memberikan
informasi mengenai peregangan organ berongga dan konsentrasi substansi tertentu
(CO2, H+, glukosa, osmolaritas). Rangsangan nyeri diterima oleh nosiseptor
(ujung saraf bebas) di kulit, aparatus motorik, organ internal, dan pembuluh darah.
Impuls sensorik dihantar ke medula spinalis. Neurotransmitter ini
mempengaruhi kegiatan motor-neuron melalui refleks. Melalui kolumna dorsalis
(halus sehingga disebut mekanoreseptor epiktris, aferen gelendong otot, dsb) dan
kolumna anterolateralis (mekanoreseptor kasar, suhu, nyeri) impuls disalurkan ke
medula oblongata, talamus, dan korteks (girus pascasentralis). Maklumat tentang
motorik mencapai serebelum melalui traktus spinoserebelaris. Aliran informasi
bisa terhambat di banyak tahapan.
Reseptor yang mengganti banyak stimulus di perifer menjadi kegiatan
saraf dapat berhenti berfungsi atau mungkin rangsangan yang cukup tidak akan di
dapat. Hal ini mengakibatkan tidak adanya parsial atau total persepsi sensorik
(hipoestesia atau anestesia), pertambahan persepsi (hiperestesia), atau persepsi
sensorik tanpa rangsangan yang memadai (parestesia, disestesia).
Sistem pengindraan merupakan organ akhir yang dikhaskan untuk
mendapatkan jenis stimulus tertentu. Serabut saraf yang menanganinya adalah
instrumen perantara yang membawa efek rasa (sensory inversion) dari organ indra
menuju ke otak di mana perasaan ini ditafsirkan. Bentuk tenaga yang diubah oleh
reseptor mencakup tenaga mekanik, suhu, elektronik, dan kimiawi. Reseptor ini
beradaptasi dan berespons terhadap suatu bentuk khusus. Indra khusus terdiri dari
penglihatas, pendengaran, penghiduan, pengecapan dan perabaan. Indra visera
berhubungan dengan persepsi lingkungan, misalnya rasa nyeri.
Reseptor sensoris dikhaskan untuk merespons terhadap salah satu bentuk
khusus tenaga. Oleh karena berbagai variabel dalam lingkungan yang didapat,
maka berbagai jenis reseptor juga muncul.
1. Ujung saraf berkapsul: jenis saraf ini terdapat dalam lapisan
subkutan pada telapak tangan serta kaki.
2. Korpuskel berlamel: mitokondria banyak terdapat dalam akson
saraf di mana dikelilingi oleh lamela yang tersusun rapat dan terdiri
atas sel gepeng.
3. Korpuskel peraba: korpuskel ini berada di bagian dalam papila
dermis, khususnya pada ujung jari, dan puting susu.
4. Korpuskel gelembung: korpuskel gelembung ditemukan pada bibir
dan genitalia eksterna, dermis, serta rambut yang menyatu dengan
endoneurium.

Indra penglihatan (Mata)

Mata adalah organ inra yang rumit. Mata tersusun dari bercak sensitif
cahaya primitif pada permukaan
invertebrata. Pada selubung
perlindungannya, mata terdiri
atas lapisan reseptor, sistem
lensa untuk pemfokusan cahaya
atas reseptor dan merupakan satu sistem saraf. Mata juga merupakan struktur
bulat berisi cairang yang tersusun dalam tiga lapisan. Setiap dari lapisan tersebut
adalah sklera atau kornea (paling luar), koroid/badan siliaris/iris (lapisan tengah),
dan retina (paling dalam).

Gambar 1. Anatomi mata dan


lapisan pada mata

1. Palpebra
Lubang orbita dilindungi oleh
lipatan tipis yang bisa
bergerak, yaitu kelopak mata
(palpebra) yang terletak di
depan mata. Fisura palpebra merupakan lubang berbentuk elips di antara
palpebra superior dan palpebra inferior tempat masuk ke dalam sakus
konjungtiva. Glandula sebasea bermuara langsung ke dalam folikel bulu
mata.
2. Aparatus lakrimalis
Aparatus lakrimalis meliputi pars orbitalis yang besar dan pars
parpebralis yang kecil, saling berkaitan pada ujung lateral aponerosis m.
levator palpebra superior bagian lateral forniks (laterla konjungtiva).
Nukleus lakrimalis dan nervus VII (N. Facialis). Air mata mengalir untuk
membasahi kornea.
3. Orbita
Orbita merupakan terowongan berbentuk piramid dengan basis di depan
dan apeks di belakang, atap orbita dibentuk oleh pars orbitalis ossis
frontalis yang memisahkan orbita dengan fosa kranii anterior. Dinding
lateral terdiri atas oz zigomatikum dan ossis sfenoidalis.
4. Bola mata
Bola mata terbenam dalam korpus adiposum orbita, namun terpisahkan
dari selubung fasia bola mata. Bola mata terdiri atas tiga lapisan.
a. Tunika fibrosa merupakan jaringan ikat fibrosa yang tampak putih.
Bagian posterior ditembus oleh N. Optikus dan terhubung dengan
selubung saraf duramater. Lamina kribrosa adalah daerah sklera
yang ditembus oleh serabut saraf N. Optikus.
b. Lamina vaskulosa dari depan ke belakang, tersusun oleh :
1) Koroidea adalah lapisan luar berpigmen koroid mengandung
pleksus vena yang luas dan mengempis setelah kematian.
2) Korpus siliaris, ke belakang bersambung dengan koroid ke
depan terletak di belakang tepi perifer iris, terdiri atas korona
siliaris, prosesus siliaris, dan m. siliaris.
3) Iris adalah diafragma berpigmen yang tipis terdapat dalam
cairan mata (aqueous humor) di antara kornea dan lensa, tepi
iris melekat pada permukaan anterior korpus siliaris membagi
ruang di antara lensa dan kornea menjadi kamera anterior dan
posterior.
c. Tunika sensoria
Retina terdiri atas pars pigmentosa sebelah luar, melekat pada
koroid dan pars nervosa sebelah dalam berhubungan dengan
korpus vitreum. Retina optikal melapisi koroid mulai dari papila
saraf bagian posterior hingga oraserata anterior. Di sekeliling fovea
terdapat suatu daerah yanh dikenal sebagai bintik kuning (makula
lutea). Daerah ini disebut bintik buta. Foto reseptor, baik batang
maupun kerucut, merupakan bentuk modifikasi neuron, sel ini
menunjukkan segmen dalam dan luar yang terletak diluar membran
limitans eksterna. Cahaya harus melalui seluruh ketebalan retina
untuk mencapai fotoreseptor.
5. Isi bola mata
Isi bola mata adalah media refraksi yang terdiri atas cairan mata (aqueous
humor), korpus vitrous, dan lensa.
a. Cairan mata
Cairan bening yang mengisi kamera anterior dan kamera posterior
bulbi, merupakan sekret dari prosessus siliaris. Dari sini cairan
mengalir ke dalam kamera posterior, kemudian ke dalam kamera
anterior melalui pupila dan diangkut melalui celah-celah angulus
iridokornealis ke dalam kanalis schlem.
b. Korpus vitrous
Mengisi bola mata di belakang lensa merupakan gelombang
transparan yang dibungkus oleh membran vitrous, pada daerah
perbatasan dengan lensa membran vitrous menebal.
c. Lensa
Badan bikonveks yang transparan terletak di belakang iris, di dekat
korpus vitreum dan dikelilingi oleh prosesus siliaris terdiri atas:
1) Kapsul elatis untuk membungkus struktur lensa berada
dalam ketegangan yang menyebabkan lensa tetap terbentuk
bulat.
2) Epitel koboid yang terbatas pada permukaan anterior lensa.
3) Serat-serat lensa dibentuk dari epitel kuboid ekuator lensa,
tarikan serat-serat ligamentum suspensorium.

Darah mengalir masuk ke area mata melalui darah arteri yang berasal dari
arteri siliaris dan arteri retina sentral. Arteri merupakan cabang dari arteri
optalmik, cabang dari karotis interna. Selain itu, ada vena retina sentral yaitu vena
yang memperdarahi mata, berakhir pada sinus vena profunda. Arteri dan vena
sentral terbungkus dalam saraf optik yang masuk ke mata pada diskus optik.

Fisiologi Penglihatan

Mata berfungsi untuk melihat (fungsi optikal) dan saraf untuk transduksi yaitu
mengubah bentuk energi ke bentuk yang lain) bentuk sinar. Aparatus optik pada
mata akan membentuk serta mempertahankan ketajaman fokus objek ke retina.
Sinar akan diubah ke dalam bentuk sinyak saraf oleh foto reseptor yang
kemudiannya dikirim ke pusat visual di otak melalui elemen saraf integratif.

Penglihatan terjadi saat sinar cahaya ditangkap oleh sel-sel yang sensitif
terhadap cahaya yaitu sel fotoreseptor retina, dengan syarat media refraksi seperti
kornea, aqueous humor, lensa, dan badan vitreus jernih. Proses melihat tidak
hanya diperankan oleh fotoreseptor, tetapi juga kegiatan neural di otak.

Pertama, cahaya akan melalui kornea dan tear film yang merupakan juga
komponen refraktif krusial pada mata. Jumlah kekuatan refraktif kornea atau tear
film adalah 43.1 dioptri. Lalu cahaya akan dilanjutkan ke aqueous humor dengan
indeks refraksi yang rendah. Media refraksi selanjutnya yang penting adalah
lensa, berbentuk bikonveks di belakang iris. Di lensa kekuatan refraktif yang
diterima adalah sebesar 15 dioptri dari total kekuatan optik mata, membolehkan
gambaraan retina yang jelas untuk objek yang jauh dan dekat. Selanjutnya, cahaya
akan melalui badan vitreus yang akan mempertahankan kejernihan gambar objek
yang dilihat disebabkan oleh struktur fibriler kolagen teratur di dalam matriks
hyaluronic acid yang meminimalisasi hamburan cahaya, sebelum akhirnya jatuh
tepat di retina.

Retina mempunyai lima kelompok neuron yang utama, berfungsi untuk


melakukan proses analisis bentuk, warna dan pergerakan suatu objek di
permulaan. Retina akan mengubah cahaya menjadi sinyal neural, yang mana
nantinya akan dipusatkan oleh media refraksi yang bening menuju ke sel
fotoreseptor retina (batang dan kerucut) yang sensitif terhadap cahaya. Perubahan
kimia akan terjadi di sel fotoreseptor fotopigmen menyebabkan perubahan
potensial membran lalu menghasilkan sinyal neural yang akan dikirim oleh
interneuron retina untuk sampai ke otak melalui nervus optikus.

Nervus optikus adalah central nervous system (CNS) yang mengirim


maklumat visual dari mata ke otak. Ia terdiri akson sel ganglion retina, jaringan
glial, dan jaringan vaskular. Akson sel ganglion retina akan melewati optik
kiasma, dimana akson dari bagian temporal retina tetap ipsilateral sedangkan yang
berasal dari nasal retina akan menyeberang di kiasma dan berjalan kontralateral.
Akson tersebut kemudian bergerak melewati traktus optikus menuju otak.

Mesej visual dari retina akan dilanjutkan ke talamus (bagian otak


pertama), secara signifikan ke gerombolan sel yang sangat teratur disebut lateral
geniculate nucleus (LGN) . Neuron pada LGN lalu akan melanjutkan informasi
visual melalui sinaran optika ke tempat visual primer IV di korteks, dan gambar
visual akan dianalisis lebih menyeluruh dan lebih terperinci. Semua maklumat
visual di korteks, pada mulanya akan dianalisis di otak bagian posterior yang
disebut sebagai area visual 1(V1), kemudian dilaknjutkan ke area V2, selanjutnya
ke macam-macam area seperti V4, V5, dan seterusnya, yang secara khas
menganalisis satu atau aspek lain dari gambar visual. Terdapat beberapa area di
luar area tersebut, diperkirakan berjumlah sebanyak 30-40, yang terkait dengan
persepsi visual lebih spesifik termasuk pengenalan objek dan wajah.

Satu jalur akan menuju ke bagian dorsal dari korteks ke area puncak dan
disebut sebagai laluan ‘where’ atau oksipitoparietal, bermula dari korteks striata
dan memproyeksikan ke korteks posterior parietal dan superior temporal, terkait
dengan analisis visuospatial. Jalur ini menyediakan maklumat tentang suatu benda
dalam suatu ruangan dan dikaitkan dalam kontrol visual untuk mencapai dan
menggenggam suatu benda. Jalur where mendapat banyak input dari area V5 dan
beberapa dari V4 serta V8. Jalur ini menuju ke arah ventral, menuju ke bagian
bawah korteks dan dikatakan sebagai jalur’what’, bermula dari korteks striata
(V1) dan memproyeksikan ke girus angular untuk proses bahasa, ke lobus
onferiotempora untuk identifikasi objek, dan ke struktur limbik. Pasien dengan
kerusakan pada jalur what mungkin akan kesulitan dalam visualisasi atau
identifikasi objek, tetapi mereka dapat meraih dan menggenggam objek dengan
tepat, walaupun ketika orientasi terganggu.

Indra Kimiawi

Indra kimiawi mengacu kepada rasa (gustasi) dan bau (penciuman). Keduanya
melibatkan reseptor yang dirangsang oleh bahan kimia lingkungan. Ada beberapa
perdebatan mengenai apakah penciuman dan gustasi saling mempengaruhi, yaitu
apakah rasa sesuatu yang baik dapat dipengaruhi oleh bagaimana baunya.
Sekalipun serabut saraf penciuman dan dan gustatory tidak terletak bersama
secara perifer (pada titik stimulus, rangsangan yang datang dari keduanya bersatu
dalam sistem saraf di korteks orbitofrontal, bersama dengan informasi sesnorik
melalui saraf trigeminal (Landis dkk., 2010). Akibatnya, ketiga modalitas sensorik
sering berinteraksi dan dianggap mempengaruhi persepsi satu sama lain. Stinton
dkk. memeriksa hubungan ini dan menemukan bahwa hilangnya penciuman tidak
memiliki pengaruh yang berarti pada gustasi. Sebaliknya Landis dkk. (2010) juga
memeriksa hubungan ini dan menemukan bahwa ketika penciuman lemah gustasi
juga tampaknya melemah. Selanjutnya mendukung kasus untuk keterkaitan antara
persepsi rasa dan penciuman, Fortis-Santiago dkk (2010) juga menentukan bahwa
aktivasi kortik gustatory pan penciuman di otak adalah kodependen dalam hal satu
memengaruhi yang lain, dan bahwa dari keduanya secara bersamaan persepsi
makanan dirumuskan. Oleh karena itu, nampak bahwa bukti berkembang bahwa
penciuman mempengaruhi gustasi dan sebaliknya.

Gustasi (rasa) terjadi dari bahahn kimia yang bereaksi dengan pengecap (yang
berjumlah sekitar 10.000). Pengecap tersebut terletak di lidah serta di permukaan
bagian dalam langit-langit dan pipi, faring dan epiglotis. Pengecap ini berfungsi
untuk membedakan lima rasa utama yaitu:

1.

manis yang sebagian besar distimulasi oleh karbohidrat manis;


2. asam yang dirangsang terutama oleh asam seperti asam buah;
3. pahit yang utamanya dirangsang oleh alkaloid di daun tanaman dan
makanan yang telah rusak;
4. asin yang dipicu oleh ion logam seperti natrium dan kalium;
5. umami yang rasa daging gurih yang ditemukan dalam makanan protein
seperti daging dan ikan (tidak ada zona khusus di lidah).

Lidah merupakan organ indra yang krusial untuk rasa. Permukaannya


mengandung benjolan atau empat jenis papila lingual yang berbeda, yaitu:

1. filiform: filamen ini seperti paku kecil yang tidak memiliki pengecap
tetapi terlibat dengan pengalaman tekstur makanan;
2. foliate: terletak di sisi lidah sekitar dua per tiga daerah belakang.
Pengecap aktif ini terdegenerasi saat usia tiga tahun;
3. fungiform: struktur berbentuk jamur yang berisi tiga sampai lima
pengecap dan tersebar di lidah, tetapi terkonsentrasi dipuncak;
4. circumvallate: papila ini mengandung sekitar 100-300 pengecap tersusun
dalam bentuk V terbalik di bagian belakang lidah.

Pengecap berbentuk lemon atau bawang dan terdiri atas tiga jenis sel yaitu sel-sel
rasa (gustatory), sel pendukung dan sel basal. Sel rasa (gustatory) adalah sel yang
mengandung rambut rasa yang mengarah ke pori-pori rasa dengan reseptor
bersinaps dengan neuron, tetapi bukan neuron itu sendiri. Sel ini memiliki rentang
hidup yang pendek hingga sepuluh hari, sebelum berganti. Sel pendukung
merupakan sel yang terletak di antara sel rasa namun tidak mengandung reseptor
rasa. Selajutnya sel basal adalah sel induk yang terletak di pinggiran pengecap
yang menjadi matang menjadi sel rasa untuk menggantikan sel yang sudah mati.

Fisiologi Pengecapan

Lidah terdiri atas lapisan mukosa yang menutupi area atas lidah, dan
permukaannya tidak mulus disebabkan oleh terdapat tonjolan-tonjolan yang
disebut papilla, pada papilla ini adanya reseptor untuk membedakan rasa
makanan. Jika area lidah itu tidak mempunyai papilla, lidak tidak akan sensitif
rasa. Sel pengecap merupakan sel epitel terevolusi dengan mikrovili (permukaan
kelihatan banyak lipatan), sedikit menonjol melewati pori-pori pengecap untuk
menambahkan jumlah permukaan sel yang terpajan dalam mulut. Membran
plasma mikrovili mengandung reseptor yang berhubung secara selektif dengan
molekul zat kimia. Hanya zat kimia dalam larutan atau zat padat yang terlarut
dalam air liur yang dapat mengikat dirinya dengan sel reseptor.

Sensasi rasa pengecap muncul disebabkan deteksi zat kimia oleh reseptor
khas di ujung sel pengecap (taste buds) yang terdapat di permukaan lidah dan
palatum molle. Sel pengecap tetap berdiferensiasi seiringnya pertumbuhan, mati
dan regenerasi. Proses ini dipengaruhi oleh saraf sensoris karena degenerasi akan
terjadi jika saraf tersebut dipotong.

Ujung saraf buat pengecapan terdapat di taste buds pada semua permukaan
lidah. Jika zat-zat kimia larut dalam air liur lalu mengadakan kontak dan
merangsang ujung-ujung serabut saraf pengecap, makan akan muncul
neurotransmiter ke nervus facial (VII) dan nervus glossopharyngeal (IX).
Neurotransmiter dari area lain selain lidah melewati nervus vagus (X). Impuls di
ketiga tersebut menyatu di medula oblongata untuk masuk ke nukleus traktus
solitarius. Dari sana, akson membawa sinyal dan berjumpa dengan leminiskus
medialis lalu akan dilanjutkan ke area insula. Impuls diproyeksikan ke area
korteks serebrum di postcentral gyrus lalu dikirim ke talamus dan sebagai
hasilnya kita bisa mengecap makanan yang masuk ke dalam mulut.

Setiap rasa utama itu tidak mutlak sebagai proses signifikan, di mana rasa
masing-masing ion atau molekul zat itu dapat bereaksi pada waktu yang berbeda
dengan setiap epitel neuron ujung serabut saraf pengecapan. Oleh itu, taste buds
bisa bereaksi untuk semua rasa walau dengan intensitas berlainan.

Indra Umum

Indra umum merujuk kepada rasa sakit, suhu dan sentuhan (tekanan, getaran dan
propiosepsi). Struktur dan fisiologi reseptor mereka sebagian besar cukup
sederhana dan umumnya terdiri atas serabut saraf sensori dan sejumlah kecil
jaringan ikat. Reseptor sensori untuk indra umum diklasifikasikan sebagai
enkapsulasi atau tidak enkapsulasi.

Tidak dienkapsulasi Dienkapsulasi


Tipe Fungsi Tipe Fungsi
Ujung saraf bebas Menanggapi Korpuskel taktil Ditemukan di
perubahan suhu ujung jari, telapak
panas dan dingin, tangan, kelopak
serta rasa sakit. mata, mulut (bibir
Tersebar luas di dan lidah), puting,
jaringan epitel dan dan genitalia,
ikat. mendeteksi
sentuhan ringan
dan tekstur.
Korpuskel ruffini Terletak di dermis,
jaringan subkutan
dan kapsul sendi,
mendeteksi
sentuhan berat,
tekanan dan
peregangan.
Cakram taktil dan Terletak di basal Bulb ujung krause Ditemukan di
sel merkell stratum epidermis, membran mukosa,
reseptor pipih ini mirip dengan
mendeteksi korpuskel taktil.
Spindle otot Mendeteksi
sensasi sentuhan
peregangan otot
ringan, tekstur,
untuk propiosepsi,
bentuk dan tepian.
ditemukan di otot
rangka dekat
tendon.
Reseptor rambut Ditemukan di Korpuskel dengan Mendeteksi
(plexus rambut sekitar folikel lamela tekanan dalam,
akar) rambut, bagian ini peregangan,
menafsirkan getaran dan
sentuhan oleh sensasi geli.
gerakan rambut. Ditemukan pada
dermis, sendi, dan
bagian kulit.
Organ tendon Ditemukan di
golgi tendon dan
mendeteksi
ketegangan
sebagai bagian
dari propiosepsi.

Serabut saraf untuk sentuhan, tekanan dan pripiosepsi termielinasi, menghasilkan


sinyal cepat. Serabut untuk panas dan dingin lebih lambat karena tidak adanya
mielin. Contoh beberapa reseptor sensorik umum pada kulit adalah korpuskel
taktil, sel-sel yang terkelupas, korpuskel ruffini, root hair plexus, tactile disc,
Merkel cell dan Free Nerve Ending.

Jalur sensorik merupakan rangsangan sensorik dari kepala berjalan melalui


saraf kranial ke pons dan medulla dan diteruskan ke talamus dan akhirnya ke
serebrum. Rangsangan di bawah kepala diteruskan oleh neuron order pertama ke
tanduk dorsal dari sumsum tulang belakang. Dari sana mereka dikirimkan melalui
jalur anterolateral, jalur lemniscal media dan saluran spinocerebellar (anterior dan
posterior. Jalur anterolateral berfungsi mengirimkan sensasi suhu, rasa sakit dan
sentuhan kasar. Jalur lemniscal media berfungsi mengirimkan sentuhan
diskriminatif, getaran dan sensasi propriosepsi. Saluran sponicerebellar pula
bertugas mengirimkan sensasi untuk otot dan tendon (peregangan) ke serebelum
untuk mengkoordinasikan pergerakan otot rangka.

Indra Penciuman

Indra penciuman merupakan alat visera (alat dalam rongga badan) yang
erat hubungannya dengan gastrointestinalis. Rasa dari berbagai makanan
merupakan kombinasi penciuman dan pengecapan. Menurut Tortora and
Derrickson (2011), manusia dikatakan bisa mengetahui sekitar 10.000 bau yang
berbeda. Oleh itu hidung mempunyai 10 hingga 100 juta reseptor untuk indra
penciuman, yang terletak di dareah yang dikenali sebagai epitel olfaktorius. Epitel
olfaktorius terdiri atas tiga tipe sel yaitu reseptor olfaktorius, sel pembantu dan sel
basal.
Reseptor penciuman merupakan komereseptor yang dirangsang oleh
molekul larutan di dalam mukus. Reseptor penciuman meruapakan reseptor jauh
(telereseptor). Jaras penciuman tidak disalurkan dalam talamus dan tidak
diprojeksikan neokorteks bagi penciuman.

Reseptor olfaktorius terletak di dalam bagian khusus mukosa hidung


berpigmen kekuning-kuningan. Di antara sel-sel ini terdapat 10 hingga 20 juta sel
reseptor. Tiap reseptor olfaktorius merupakan suatu neuron dan membran mukosa
olfaktorius merupakan tempat di dalam badan dengan susunan saraf terdekat ke
dunia luar. Menurut Nurachmah dan Angriani (2011), saraf olfaktorius merupakan
saraf sensorik bagi penciuman. Saraf ini berasal dari ujung saraf olfaktorius
khusus (kemoreseptor) di membran mukosa atap rongga nasal yang berada di atas
konka nasal superior. Pada setiap sisi sptum nasal, serat saraf melalui lamina
kribriformis tulang etmoid ke bulbus olfaktorius di mana saraf ini saling
berhubungan dan bersinaps. Dari bulbus, berkas serat saraf membentuk traktus
olfaktorius, yang melewati area olfaktorius di lobus temporal pada tipa hemisfer,
di mana impuls diinterprestasikan dan bau dipersepsikan.

Bau berupa gas atau zat yang menguap mencapai kavum nasal melalui
nostril, menghidu meningkatkan masukan gas ke dalam rongga hidung lalu ke
sinus superior. Gas akan larut dalam cairan mukus sebelum dapat mengaktifkan
sel reseptor sebelum impulsnya di bawa ke otak.

Indra Pendengaran

Telinga adalah indera pendengaran dan keseimbangan. Saraf yang


melayani indera ini adalah saraf kranial kedelapan atau nervus auditorius. Telinga
berjumlah sepasang, yaitu telinga kiri dan telinga kanan. Telinga terdiri dari tiga
bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan rongga telinga dalam. Organ
keseimbangan pada manusia diasosiasikan dengan organ pendengeran, keduanya
terdapat dalam rongga telinga dalam.

1. Organ telinga
a. Telinga luar
Telinga kita merupakan sebuat transduser, yaitu suatu alat yang mengubah
satu bentuk energi menjadi energi lainnya. Contohnya, speaker adalah
transduser, dia mengubah veriasi dari aliran listrik (voltage) menajdi
tekanan di udara (gelombang suara). Telinga luar tugasnya menangkap
gelombang suara dan mengubahnya menjadi signal untuk dikirim ke otak.
Pertama, suara mencapai pinna lalu dikumpulkan melalui Ear Canal.
Suara itu mengakibatkan gendang telinga bergetar. Getarannya dilanjutkan
oleh tiga buah tulang yaitu, Anvil. Hammer, dan Stirup. Tiga buah tulang
itu juga berfungsi sebagai “penahan”. Setelah itu getaran suara mencapai
koklea yang mana terdapat jutaan rambut halus yang bergetar dan
mrengirim signal ke otak. Inilah yang kita sebut sebagai sound.
Telinga luar terdiri atas daun telinga, lubang telinga, saluran telinga,
kelenjar minyak, dan selaput gendang. Fungsi telinga luar adalah untuk
menangkap rangsangan yang berupa suara atau bunyi. Ada tiga kelompok
otot yang terletak pada bagian depan, atas, dan balakang telinga.

b. Telinga tengah (rongga timpani)


Rongga timpani ini berupa bilik kecil yang mengandung udara yang
didalamnya terdapat tulang-tulang pendengaran. Tulang-tulang
pendengaran itu meliputi tulang martil, tulang landasan, dan tulang
sanggurdi. Dari gendang telinga getaran-getaran suara diteruskan oleh
tulang-tulang ini ke selaput yang menutupi tingkap atau jendela jorong.
Dengan demikian getaran suara sampai ke telinga bagian dalam. Telinga
bagian tengah itu berhubungan dengan rongga hidung dengan perantaraan
saluran Eustachius, yang berfungsi untuk mengatur supaya tekanan udara
di dalam telinga bagian tengah dan luar sama besarnya.

c. Rongga telinga dalam


Rongga telinga dalam merupakan bagian yang bertugas menerima
rangsangan (reseptor). Terletak dalam ruangan dalam tulang karang yang
disebut labirin keras. Didalamnya tedapat dua macam alat, yaitu alat
pendengaran dan alat kesimbangan. Alat pendengaran seperti siput dan
alat pendengaran berbentuk seperti siput dan disebut rumah siput atau
koklea. Getaran getara suara yang sampai ke alat ini diterima alat
penerima yaitu alat kotri. Alat korti tertelak diselaput dasar dan terdiri dari
beberapa sel pendengar. Gelombang suara adalah suatu perubahan
penekanan dan peregangan dari molekul udara yang disebabkan oleh
bergetarnya suatu benda. Kecepatan suara diudara adalah 344 meter/detik.
Kerasnya suara tergantung dari besarnya getaran (amplitude) dan tinggi
nada suara bergantung pada frekuensi dari suatu gelombang. Kerasnya
suara suara dinyatakan dalam decibel.

Decibel= 1/10 x 2 log tekanan


Tekanan standar suara = 0.000204 dyne/cm 2 = 0 desibel. Nol (0) decibel
adalah yang terkecil yang masih dapat didengar oleh orang normal, 50
desibel suara percakapan, sedangkan 120 desibel suara gaduh yang
menyakitkan telinga. Manusia dapat mendengar suara dengan frekuensi
20-20.00 Hertz. Anjing dan kelelawar dapat mendengar frekuensi yang
lebih tinggi. Frekuensi yang paling peka untuk manusia adalah 1000-4000
Hertz, suara seorang pria bertinggi nada 120 Hertz.

2. Alat Kebisingan
Keseimbangan tubuh kita terbentuk sebagai hasil kerjasama antara 3
alat, yaitu mata, otot, dan alat keseimbangan di dalam rongga telinga dalam.
Mata bertugas untuk menyampaikan pesan apakah tubuh kita berdiri tegak,
lurus atau miring.a Sedangkan otot-otot bertugas menyampaikan pesan
mengenai posisi (keduduka) badan dan anggota badan kita. Kedua pesan
tersebut akan digabungkan oleh otak dengan pesan yang diperoleh dari
saluran setengah lingkaran, disebut saluran-saluran gelung.
Pada tiap-tiap pangkal saluran setengah lingkaran menggembung,
disebut ampula. Di dalam ampula terdapat ujung-ujung saraf, dan berisi
cairan limfe yang disebut endolimfe. Bila tubuh kita bergoyang atau
terdorong, maka akan bergerak , gerakan ini akan kita mengikuti gerakan
kepala. Grerakan kepala menyebabkan endolimfe dalam ampula bergetar.
Getaran ini akan diteruskan oleh ujung saraf yang terdapat di dalam ampula
ke otak. Selanjutnya otak akan menyuruh otot untuk menjaga keseimbangan
tubuh.

B. Pengkajian pada Sistem Persepsi Sensori


C. Gangguan-gangguan atau Penyakit yang muncul pada Sistem Persepsi
Sensori
1. Katarak
a. Definisi
Menurut Corwin (2008), katarak adalah penurunan progresif
kejernihan lensa. Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan
ketajaman penglihatan berkurang. Katarak terjadi apabila protein pada
lensa yang secara normal transparan terurai dan mengalami koagulasi
pada lensa. Katarak bisa mengakibatkan penglihatan menjadi berkabut
atau buram. Katarak adalah situasi patologik lensa dimana lensa menjadi
keruh akibat hidrasi cairan lensa atau denaturasi protein lensa, sehingga
ketajaman penglihatan berkurang.
Menurut Tana dkk (2007), katarak adalah kekeruhan pada lensa
mata yang disebabkan oleh adanya pemecahan protein atau bahan lainnya
akibat proses oksidasi dan foto-oksidasi. Katarak tidak menyebabkan
gejala nyeri tetapi bisa mengganggu penglihatan, bermula dari kabur
hingga menjadi buta.
b. Etiologi
Sebagian besar katarak, disebut sebagai katarak senilis, terjadi karena
perubahan degeneratif yang berhubungan dengan proses penuaan.
Pajanan terhadap sinar matahari selama hidup dan predisposisi herediter
beperan dalam perkembangan katarak senilis. (Corwin, 2008)
Katarak juga bisa terjadi dalam semua rentang usia setelah
terjadinya trauma lensa, infeksi mata, atau pajanan terhadap radiasi atau
obat tertentu. Janin yang terpajan virus Rubela dapat mengalami katarak.
Individu yang mengalami diabetes melitus jangka panjang sering
mengalami katarak, yang kemungkinan besar disebabkan oleh gangguan
aliran darah ke mata dan perubahan penanganan dan metabolisme
glukosa. (Corwin, 2008)

Total buta katarak di Indonesia, 16% darinya merupakan buta


katarak pada usia produktif (40-54 tahun), pada hal penyakit degeneratif
buta katarak seringnya terjadi pada usia lanjut. Hasil pertambahan usia
menimbulkan perubahan pada mata. Berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya katarak antara lain adalah penyakit diabetes
melitus (DM), pemakaian steroid dalam jangka waktu lama, kelainan
bawaan metabolisme, pajanan kronis terhadap sinar ultra violet (sinar
matahari), riwayat katarak pada keluarga, myopia, alkohol, nutrisi,
merokok, derajat sosial ekonomi, status pendidikan, dan multivitamin.

Menurut Kupfer C. & Taylor H., (2008) dalam Saputra dkk (2018),
terjadinya katarak diduga karena proses multifaktor, yang terdiri dari
faktor intrinsik dan ektrinsik. Faktor instrinsik adalah seperti jenis
kelamin serta umur sedangkan faktor ektrinsik pula adalah seperti
Penyakit Diabetes, kekurangan nutrisi, penggunaan obat, rokok, alkohol,
sinar matahari, dan ruda paksa pada bola mata, terjadi secara akumulatif
pada common biochemical molecular pathway sehingga mengganggu
kejernihan lensa. Biasanya akan terjadi setelah 10-20 tahun sejak proses
kekeruhan lensa bermula.

Transparasi lensa antara lain bergantung pada pengendalian


kandungan air secara ketat. Pada DM, konsentrasi glukosa yang tinggi
menyebabkan glikosilasi protein (advanced glycation end-products
[AGE]). Produk-produk serupa juga menumpuk seiring usia. Pada DM
juga terjadi akumulasi sorbitol di lensa. Hidrasi yang tidak teratur dan
perubahan protein jaringan ikat mengakibatkan lensa menjadi berkabut
atau keruh. Proses berlakunya katarak pada pasien DM merupakan akibat
dari pertambahan enzim aldose reductase yang berfungsi untuk
mereduksi gula menjadi sorbitol yang menyebabkan perubahan osmotik
hingga lama kelamaan serat lensa menjadi keruh dan menyebabkan
katarak. Pengaruh klinis yang lama akan menyebabkan pasien dengan
DM lebih rentan terhadap terkena katarak berbanding dengan pasien
bukan penderita DM.

Menurut Ulandari (2004) dalam Sari dkk (2018), rokok bisa


menyebabkan katarak melalui dua cara yaitu paparan asap rokok, yang
dapat merusak lapisan dinding sel dan serat pada mata, serta kebiasaan
merokok yang bisa mengakibatkan antioksidan dan berbagai enzim
dalam tubuh terganggu sehingga terjadinya kerusakan pada mata.
Meroko juga menyebabkan warna lensa menjadi kuning karena adanya
penumpukan molekul berpigmen 3-hydroxikhynurinine dan
chomophores. Sianat dalam rokok juga boleh mengakibatkan karbamilasi
dan penghancuran protein.

Sinar ultraviolet dari matahari diserap oleh protein lensa terutama


asam amino aromatic, yaitu tirptofan, fenil-alamin dan tirosin sehingga
menimbulkan reaksi dan menghasilkan fragmen molekul yang disebut
radikal bebas atau spesies oksigen yang bersifat sangat reaktif.
Selanjutnya radikal bebas ini akan menimbulkan reaksi patologis dalam
jaringan lensa dan senyawa toksis lainnya, sehingga terjadi reaksi
oksidatif pada gugus sulfhidril protein. Reaksi oksidatif akan
mengganggu struktur protein lensa sehingga cross link antar dan intra
ptrotein dan menambah jumlah high molekul weight protein sehingga
terjadi agregasi protein, yang selanjutnya menyebabkan kekeruhan lensa
yang disebut katarak. Sehingga sinar ultraviolet dari matahari dapat
mempercepat kekeruhan pada lensa mata, seseorang dengan aktivitas
seharihari sering terpapar sinar ultraviolet meningkatkan faktor risiko
katarak. Efek dari terpapar sinar matahari secara terus menerus dalam
waktu yang lama akan menyebabkan keruhnya lensa mata, hal ini dapat
menyebabkan katarak. Paparan sinar ultraviolet meningkatkan risiko
terkena katarak, terutama jika mata tanpa pelindung terpapar sinar
matahari cukup lama. ( Laila A, 2017)
Hasil penilitian kuantitatif menyatakan bahwa seseorang yang
bekerja di outdoor berisiko terkena katarak 2.908 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan yang bekerja di indoor. Sehingga, bisa dijadikan
kesimpulan adanya hubungan antara pekerjaan dengan kejadian katarak.
Pola konsumsi protein nabati tidak setiap hari memberikan
peluang untuk terjadinya katarak dibandingkan dengan reponden yang
mengkonsumsi protein nabati setiap hari. Protein hewani dan nabati
banyak mengandung riboflavin yang dapat menghambat katarak.
Mekanisme pertahanan terhadap radikal bebas dilakukan oleh enzim
yang terdapat dalam antioksidan seperti asam askorbat, alfa tokoferol dan
betakaroten. Bahan makanan hewani merupakan protein yang baik,
dalam jumlah maupun mutu, seperti daging, ikan, unggas, kerang, telur,
susu dan produk olahannya. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai
dan hasil olahannya seperti tempe dan tahu serta kacang-kacangan yang
lain. Rendahnya penghasilan seseorang akan mempengaruhi status nutrisi
seseorang. Tak hanya itu, rendahnya pendidikan seseorang berakhir
dengan pekerjaan sebagai nelayan, buruh dan pedagang jalanan yang
kegiatan sehari-harinya terkena dengan sinar matahari. Padahal status
nutrisi dan sinar matahari memiliki hubungan yang signifakan
dengan kejadian katarak. Kurangnya asupan vitamin dan asam folat
sebagai antioksidan tentunya dapat meningkatkan risiko terjadinya.
Hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya
katarak diduga karena proses multifaktor, yang terdiri dari faktor
intrinsik dan ektrinsik.
c. Patofisiologi
d. Penatalaksanaan
Tatalaksana definitif untuk katarak saat ini adalah tindakan bedah.
Berbagai kajian seperti penggunaan vitamin C dan E dapat menghambat
terjadinya katarak, namun belum efektif untuk menghilangkan katarak.
Tujuan tindakan bedah katarak adalah untuk mengoptimalkan fungsi
penglihatan. Keputusan melakukan tindakan bedah tidak spesifik
tergantung dari derajat tajam penglihatan, namun lebih pada berapa besar
penurunan tersebut mengganggu aktivitas pasien. Indikasi lainnya adalah
bila terjadi gangguan stereopsis, hilangnya penglihatan perifer, rasa silau
yang sangat mengganggu, dan simtomatik anisometrop. Indikasi medis
operasi katarak adalah bila terjadi komplikasi antara lain: glaucoma
fakolitik, glaukoma fakomorfik, uveitis fakoantigenik, dislokasi lensa ke
bilik depan, dan katarak sangat padat sehingga menghalangi pandangan
gambaran fundus karena dapat menghambat diagnosis retinopati
diabetika ataupun glaucoma.
Menurut Astari (2018), terdapat beberapa jenis tindakan bedah
katarak, yaitu:
1) Ekstraksi Katarak Intrakapsuler (EKIK)
EKIK merupakan tipe operasi katarak di mana lensa dan kapsul
dibuang secara keseluruhannya. EKIK menggunakan peralatan
sederhana dan hampir dapat dikerjakan pada berbagai kondisi.
Terdapat beberapa kekurangan EKIK, seperti besarnya ukuran
irisan yang mengakibatkan penyembuhan luka yang lama,
menginduksi astigmatisma pasca operasi, cystoid macular edema
(CME), dan ablasio retina. Meskipun sudah banyak
ditinggalkan, EKIK masih dipilih untuk kasuskasus subluksasi
lensa, lensa sangat padat, dan eksfoliasi lensa. Kontraindikasi
absolut EKIK adalah katarak pada anak-anak, katarak pada
dewasa muda, dan ruptur kapsul traumatik, sedangkan
kontraindikasi relatif meliputi miopia tinggi, sindrom Marfan,
katarak Morgagni, dan adanya vitreus di kamera okuli
anterior.

2) Ekstraksi Katarak Ekstrakapsuler (EKEK)

EKEK konvensional
EKEK adalah jenis operasi katarak dengan membuang nukleus dan
korteks lensa melalui lubang di kapsul anterior. EKEK
meninggalkan kantong kapsul (capsular bag) sebagai tempat untuk
menanamkan lensa intraokuler (LIO). Seperti terlihat di Tabel 2,
teknik ini mempunyai banyak kelebihan seperti trauma irisan yang
lebih kecil sehingga luka lebih stabil dan aman, menimbulkan
astigmatisma lebih kecil, dan penyembuhan luka lebih
cepat. Pada EKEK, kapsul posterior yang intake mengurangi risiko
CME, ablasio retina, edema kornea, serta mencegah penempelan
vitreus ke iris, LIO, atau kornea

Small Incision Cataract Surgery(SICS)


Teknik EKEK telah dikembangkan menjadi suatu teknik operasi
dengan irisan sangat kecil (7-8 mm) dan hampir tidak memerlukan
jahitan, teknik ini dinamai SICS. Oleh karena irisan yang sangat
kecil, penyembuhan relative lebih cepat dan risiko astigmatisma
lebih kecil dibandingkan EKEK konvensional. SICS dapat
mengeluarkan nukleus lensa secara utuh atau dihancurkan. Teknik
ini populer di Negara berkembang karena tidak membutuhkan
peralatan fakoemulsifikasi yang mahal, dilakukan dengan anestesi
topikal, dan bias dipakai pada kasus nukleus yang padat. Beberapa
indikasi SICS adalah sklerosis nucleus derajat II dan III, katarak
subkapsuler posterior, dan awal katarak kortikal.

3) Fakoemulsifikasi
Teknik operasi fakoemulsifikasi menggunakan alat tip ultrasonik
untuk memecah nucleus lensa dan selanjutnya pecahan nukleus
dan korteks lensa diaspirasi melalui insisi yang sangat kecil.
Dengan demikian, fakoemulsifikasi mempunyai kelebihan seperti
penyembuhan luka yang cepat, perbaikan penglihatan lebih baik,
dan tidak menimbulkan astigmatisma pasca bedah. Teknik
fakoemulsifikasi juga dapat mengontrol kedalaman kamera okuli
anterior serta mempunyai efek pelindung terhadap tekanan positif
vitreus dan perdarahan koroid. Teknik operasi katarak jenis ini
menjadi pilihan utama di negara-negara maju.

2. Polip
a. Definisi
Polip hidung merupakan salah satu jenis penyakit telinga, hidung dan
tenggorok (THT) yang sudah umum didengar di masyarakat. Sebagian
orang sering menyebutnya sebagai tumbuh daging dalam hidung. Sebagian
orang juga menamainya tumor hidung. Polip Hidung sebenarnya adalah
suatu pertumbuhan dari selaput lendir hidung yang bersifat jinak.Polip
hidung bukan penyakit yang murni berdiri sendiri. Pembentukannya
sangat terkait erat dengan berbagai problem THT lainnya seperti rinitis
alergi, asma, radang kronis padamukosa hidung-sinus paranasal, kista
fibrosis, intoleransi pada aspirin.

Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di


dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat
inflamasi mukosa. Bentuk menyerupai buah anggur, lunak dan dapat
digerakkan. Polip timbul dari dinding lateral hidung. Polip yang
diakibatkan proses inflamasi biasanya bilateral (Schlosser & Woodworth
2009; Mangunkusumo & Wardani 2007).

Polip hidung biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60 tahun.
Laki-laki lebih dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1Faktor
genetik dianggap berperan dalam etiologi polip hidung. Sekitar 14%
penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip hidung. Etnis
dan geografis memiliki peranan dalam patofisiologi polip.

b. Etiologi
Polip terjadi oleh reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada
mukosa hidung. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun
perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada
anak di bawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel
atau meningoensefalokel.
Polip disebabkan oleh reaksi alergi atau reaksi radang.
Bentuknya bertangkai, tidak mengandung pembuluh darah. Di hidung
polip dapattumbuh banyak, apalagi bila asalnya dari sinus etmoid. Bila
asalnya dari sinusmaksila, maka polip itu tumbuh hanya satu, dan berada
di lubang hidung yangmenghadap ke nasofaring (konka). keadaan ini
disebut polip konka. Polipkonka biasanya lebih besar dari polip hidung.
Polip itu harus dikeluarkan,oleh karena bila tidak, sebagai komplikasinya
dapat terjadi sinusitis. Polip itu dapat tumbuh banyak, sehingga kadang-
kadang tampak hidung penderita membesar, dan apabila penyebarannya
tidak diobati setelah polip dikeluarkan,ia dapat tumbuh kembali.

c. Manifestasi klinis
Ketika baru terbentuk, sebuah polip tampak seperti air mata dan
jika telah matang, bentuknya menyerupai buah anggur yang berwarna
keabu-abuan. polip hidung kecil biasanya dapat dideteksi sewaktu
endoskopi hidung rutin. Jarang menimbulkan masalah-masalah yang
berarti. Namun, polip hidung yang lebih besar biasanya menimbulkan
gejala-gejala sebagai berikut:
1) penyumbatan hidung karena indera perasa berhubungan dengan
indra penciuman, maka penderita juga bisa mengalami penurunan
fungsi indera perasa dan penciuman;
2) rasa sakit dan tidak nyaman di bagian wajah atau kening;
3) hilangnya indera penciuman (hiposmia);
4) bau busuk dari hidung;
5) menyebabkan penyumbatan drainase lendir dari sinus ke hidung di
mana mengakibatkan tertimbunnya lendir di dalam sinus. Lendir
yang terlalu lama berada di dalam sinus bisa mengalami infeksi dan
akhirnya terjadi sinusitis;
6) hidung tersumbat yang menetap dan tidak hilang timbul. Semakin
lama, keluhan dirasakan semakin berat. Pasien sering
mengeluhkan terasa ada massa didalam hidung dan sukar
membuang ingus;
7) penyumbatan telinga karena penyumbatan pembuluh yang
menghubungkan hidung ke telinga;
8) sering bersuara sengau dan bernafas melalui mulutnya;
9) snoring (ngorok), gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup;
10) polip sangat besar yang tak diobati mungkin dapat mengubah
bentuk hidung.
Bagi penderita biasanya mengeluhkan hidung tersumbat,
penurunan indra penciuman, dan gangguan pernafasan. Akibatnya
penderita bersuara sengau. Polip biasanya tumbuh di daerah dimana
selaput lendir membengkak akibat penimbunan cairan, seperti daerah
di sekitar lubang sinus pada rongga hidung. Ketika baru terbentuk,
sebuah polip tampak seperti air mata dan jika telah matang, bentuknya
menyerupai buah anggur yang berwarna keabu-abuan.
d. Patofisiologi

Alergi Sumbatan hidung oleh


Sinusitis kronik iritasi
kelainan anatomi

Reaksi hipersensitif

Polip hidung

Bersihan jalan nafas tidak Masalah dalam hidung


efektif

Sumbatan jalan nafas

Suhu tubuh inflamasi Penurunan fungsi indra


Proses penyakit
pembau

Hipertermi Nyeri
Pertukaran O2 dan
CO2 terganggu Penurunan nafsu
makan

O2 kejaringan
Defisit nutrisi

Takikardi

Zat sisa Filtrasi &


Penumpukan Peningkatan tekanan
yang reabsorbsi cairan
kreatinin darah
disaring di glomelurus
e. Penatalaksanaan
1) Terapi Medis
Tujuan utama pengobatan adalah mengatasi polip dan
menghindari penyebab atau faktor pendorong polip. Ada 3 macam
terapi polip hidung, yaitu Medikamentosa kortikosteroid, antibiotik
dan anti alergi:
a) terapi medikamentosa ditujukan pada polip yang masih kecil
yaitu pemberian kortikosteroid sistemik yang diberikan dalam
jangka waktu singkat, dapat juga diberisan kortikosteroid hidung
atau kombinasi keduanya. tujuan utama pengobatan adalah
mengatasi polip dan menghindari penyebab atau faktor pemicu
terjadinya polip;
b) untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid.
Berikan kortikosteroid pada polip yang masih kecil dan belum
memasuki rongga hidung. Caranya bisa sistemik, intranasal
ataukombinasi keduanya. gunakan kortikosteroid sistemik dosis
tinggi dan dalam jangka waktu singkat. Berikan antibiotik jika ada
tanda infeksi;
c) antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa
kita berikan sebelum dan sesudah operasi. Berikan antibiotik bila
adatanda infeksi dan untuk langkah profilaksis pasca operasi.
Berikan anti alergi jika pemicunya dianggap alergi obat
kortikosteroid.
2) Operasi : polipektomi dan etmoidektomi
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dan sifatnya berat maka
dilakukan pembedahan untuk memperbaiki drainase sinus dan
membuang bahan-bahan yang terinfeksi. Pembedahan dilakukan jika:
a) Polip menghalangi saluran nafas 
b) Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi
infeksisinus
c) Polip berhubungan dengan tumor 
d) Pada anak - anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitist
yang gagal pengobatan maksimum dengan obat-obatan.
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi
polip(polipektomi) dengan menggunakan senar polip.

3) Polipektomi merupakan tindakan pengangkatan polip menggunakan


senar polip dengan bantuan anestesi lokal, untuk polip yang besar dan
menyebabkan kelainan pada hidung, memerlukan jenis operasi yangl
ebih besar dan anestesi umum. kategori polip yang diangkat
adalah polip yang besar namun belum memadati rongga hidung.
Polipektomi sederhana cukup efektif untuk memperbaiki gejala pada
hidung,khususnya pada kasus polip yang tersembunyi atau polip yang
sedikit.Surgical micro debridement merupakan prosedur yang lebih
aman dan cepat, pemotongan jaringan lebih akurat dan mengurangi
perdarahandengan visualisasi yang lebih baik.  
4) Etmoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS)
merupakan tindakan pengangkatan polip sekaligus operasi
sinus,merupakan teknik yang lebih baik yang tidak hanya membuang
poliptapi juga membuka celah di meatus media yang merupakan
tempatasal polip yang tersering sehingga akan membantu mengurangi
angkakekambuhan. kriteria polip yang diangkat adalah polip yang
sangat besar, berulang, dan jelas terdapat kelainan di kompleks
osteomeatal. Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung
bisa kita berikan sebelum dan sesudah operasi. Berikan antibiotik bila
ada tanda infeksi dan untuk langkah profilaksis pasca operasi.
5) Terapi keperawatana
a) vocational rehabilitation
Rehabilitasi yang dilakukan untuk memberikan pendidikan
pascaoperasi karena akan ada bekas luka dalam hidung sehingga
harus diajari cara membuang ingus yang tidak membuat pasien
kesakitan.

b) Social Rehabilitation
Rehabilitasi yang bertujuan untuk adaptasi awal terhadap
perubahan tubuh sebagai bukti dengan partisipasi dalam aktivitas
perawatan diri dan interaksi positif dengan orang lain bertujuan
untuk tidak menarik diri dari kontak sosial.
3. Sinusitis
a. Definisi
Sinutis merupakan terjadinya inflamasi pada dinding sinus paranasal.
Namun, istilah yang digunakan sekarang adalah rhinosinusitis
dikarenakan mukosa pada hidung terlibat secara bersamaan dan jarang
terjadinya sinusitis tanpa didahului dengan rhinitis. Rhinosinusitis dapat
diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi (maksilaris, ethmoidalis,
frontalis dan sphemoidalis), organisma patogenik (virus, bakteri,
jamur), adanya komplikasi (orbitalis, intracranial) dan faktor yang
mempengaruhinya (polip nasal, imunosupresan, kelainan anatomi).
Sinusitis akut adalah diagnosis klinis yang perlu dikenalpasti
perbedaannya dengan rhinitis alergi atau vasomotor dan infeksi saluran
pernafasan atas yang lain. Sinusitis kronik merupakan penyakit kronik
yang cukup sering dan terjadi pada semua lapisan usia. Proses
peradangan ada sinus paranasal persisten selama 12 minggu atau lebih.
b. Etiologi
Beberapa etiologi dan faktor predisposisi terjadinya sinusitis antara
lain Infeksi saluran nafas atas akibat virus yang bisa diikuti infeksi
bakteri, infeksi pada gigi rahang atas, asma , kelainan anatomi seperti
deviasi septum atau hipertrofi konka, beberapa hal yang menyebabkan
seseorang lebih rentan terhadap infeksi diantaranya : Rhinitis alergi,
rhinitis hormonal, polip hidung, defisisensi imun (misalnya :pasien HIV)
dan beberapa hal yang menghambat drainase saluran sinus (misalnya :
sumbatan kompleks osteomeatal).
Hipertrofi adenoid dan infeksi tonsil merupakan faktor penting
penyebab sinusitis pada anak-anak. Berbagai faktor fisik, kimia, saraf,
hormonal dan emosional dapat mempengaruhi mukosa hidung, demikian
juga mkosa sinus dalam derajat yang lebih rendah. Defisiensi gizi,
defisiensi imun, dan penyakit sistemik umum perlu dipertimbangkan
dalam etiologi sinusitis. Perubahan dalam faktor-faktor lingkungan,
misalnya dingin, panas, kelembaban, dan kekringa, demikian pula
polutan atmosfer termasuk asap tembakau, dapat merupakan predisposisi
infeksi.
Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri atau jamur.
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran nafas atas; virus
yang umumnya menyerang hidung dan nasofaring juga menyerang sinus.
Mukosa sinus paranasal berjalan kontinu dengan mukosa hidung, dan
penyakit virus yang menyerang hidung perlu dicurigai dapat meluas ke
sinus. Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada infeksi virus
menciptakan suatu lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi
bakteri. Infeksi ini sering melibatkan lebih dari satu bakteri. Dalam
penelitian sinusitis bakteri, specimen sekresi sinus diambil dengan pungsi
pada antrum maksilaris untuk mengurangkan resiko kontaminasi.
Dikatakan sekresi sinus itu terinfeksi pabila ditemukan koloni bakteri 10 4
unit per mililiter hasil dari aspirasi. Sinusitis akut biasanya terhasil dari
infeksi saluran nafas sebelumnya. Jika infeksi yang terjadi disebabkan
virus, biasanya dari golongan rhinovirus, coronavirus dan influenza
virus. Selain itu, virus yang dapat menyebabkan infeksi pada sinus dapat
juga dikarenakan oleh adenovirus, human para influenza virus, human
respiratory syncytial virus, enterovirus selain daripada rhinovirus, dan
metapneumovirus. Jika infeksi terjadi dikarenakan bakteri, biasanya
bakteri yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenza dan Moraxellacatarrhalis. Sampai saat ini, Haemophilus
influenza menjadi bakteri tersering yang menginfeksi sinus. Namun,
sinusitis juga dapat dikarenakan infeksi jamur dan seringnya pada
sinusitis kronik. Jamur yang sering didapatkan adalah Aspergillus sp,
Cryptococcus neoformans, Candida sp, Sporothrix schenckii dan
Alternaria sp.
c. Patofisiologi
Sinus pada umumnya daerah steril. Sekresi yang diproduksi di
dalam sinus akan dialirkan keluar oleh funsi siliar melalui ostia ke rongga
hidung. Pada indivisu yang sehat, aliran sekresi pada sinus sering satu
arah yaitu ke arah ostia untuk mengelakkan arah balik yang boleh
mengkontaminasi sinus. Kebanyakan individu, sinum maksilaris
memiliki satu ostium yang diameternya berukuran kira-kira 2.5 mm dan
luasnya 5 mm2 yang menjadi satu-satunya aliran keluar ubtuk drainase.
Namun pabila terjadi peradangan sama ada akibat alergi, bahan kimia,
tau virul, pembukaan ini akan menjadi edema dan menuyumbat sister
drainase pada sinus. Sekresi yang stasis dalam sinus dan penumbatan
pembukaan ostia mengakibatkan tekanan negative di sinus sehingga
rentan terhadap infeksi bakteri. Pabila mucus yang terkumpul di sinus
terinfeksi, akan menyebabkan terjadinya sinusitis.
Selain itu, mekanisma lain yang menyebabkan sinusitis adalah
dikarenakan sinus berhubungaan dengan ronga hidung, mengakibatkan
kolonisasi bakteri pada nasofaring akan mengkontaminasi sinus yang
umumnya steril. Bakteri ini biasanya dibuang oleh pergerakan
mukosiliar. Namun pabila terjadi perubahan pada klirens mukosiliar ini,
bakteri akan menginokulasi dan infeksi akan terjadi sehingga
terbentuknya sinusitis.
Secara dasarnya, patofisiologi rhinosinusitis ini terjadi dikarenakan
3 faktor:
1) Penyumbatan drainase sinus
Penyumbatan pada ostia sinus menghambat drainase
mukus. Ostia ini dapat terjadi penyumbatan akibat dari
pembengkakan atau penyebab lokal seperti trauma atau rhinitis dan
boleh juga dikarenakan proses inflamasi yang disebabkan beberapa
masalah sistemik seperti kelainan imun. Penyakit sistemik yang
menurunkan aktivitas klirens mukosiliar adalah seperti cystic
fibrosis, alergi saluran nafas dan primary ciliary dyskinesia
(Kartegener syndrome). Pasien dengan imunodefisiensi juga
mempunyai resiko tinggi terjadinya sinusitis akut. Penyumbatan
mekanikal seperti adanya polip hidung, benda asing, deviasi
septum atau tumor juga dapat menyumbat ostia. Variasi anatomi
yang mempersempit kompleks ostiomeatal seperti deviasi septum,
paradoxical middle turbinates dan Haller cells menyebabkan
mukosa di daerah ini menjadi sensitif dan inflamasi menyebabkan
penyumbatan.
2) Kegagalan fungsi siliar
Drainase di sinus tidak dipengaruhi gravitasi tapi
pergerakan mukosiliar. Koordinasi metachronous sel epitel
kolumnar bersilia menggerakkan isi sinus ke ostia sinus. Adanya
kerusakan pada silia akan mengakibatkan akumulasi cairan di
sinus. Fungsi siliar yang kurang dapat disebabkan oleh kehilangan
sel epitel yang bersilia akibat daripada aliran udara yang tinggi,
virus, bakteri, atau toksin silia lingkungan, mediator peradangan,
parut, persentuhan antara 2 permukaan mukosa dan Kartegener
syndrome.
Aktivitas siliar dapat diperngaruhi oleh faktor genetik
seperti Kartegener syndrome. Kartegener syndrome terkait dengan
imobilisasi silia dan retensi sekresi yang memberi predisposisi
terjadinya infeksi pada sinus. Fungsi siliar juga dapat menurun
pada kondisi pH yang rendah, anoksia, asap rokok, toksik bahan
kimia, dehidrasi dan obat-obatan seperti antikolinergik dan
antihistamin. Pajanan terhadap toksin bakteri juga dapat
menurunkan fungsi siliar. Kira-kira 10% kasus sinusitis akut terjadi
hasil daripada inokulasi bakteri yang langsung pada sinus. Abses
gigi atau tindakan yang menghubungkan komunikasi antara rongga
mulut dan sinus dapat menimbulkan sinusitis. Tambahan pula,
aktivitas siliar dapat dipengaruhi dari infeksi virus.
Beberapa faktor lain yang dapat mempengaaruhi kegagalan
fungsi siliar adalah udara dingin yang memberi tekanan pada epitel
siliar. Hal ini mengakibatkan kegagalan pergerakan siliar sehingga
terjadi retensi sekresi pada rongga sinus. Untuk mengatasi masalah
ini, sistem tubuhh sendiri akan menurunkan produksi sekresi oleh
lapisan mukus di sinus pabila seseorang individu menghirup udara
kering. Lesi massa di saluran hidung dan sinus seperti polip, benda
asing, tumor dan edema mukosa dari masalah rhinitis akan
menyumbat ostia sinus sehingga menjadi faktor terhadap retensi
sekresi dan rentan terhadap infeksi. Trauma wajah atau inokulasi
yang luas saat berenang dapat juga mengakibatkan sinusitis.
Konsumsi alkohol juga dapat menyumbang terjadinya
pembengkakan pada mukosa di hidung dan sinus sehingga
menghambat drainase mukus.
3) Perubahan kualitas dan kuantiti mucus
Sekresi sinonasal memberi peran penting terhadap
patofisiologi terjadinya rhinosinusitis. Mukus yang melapisi sinus
paranasal mengandungi imunoglobulin mukoglikoprotein dan sel
radang. Mukus ini terdiri daripada dua lapisan yaitu lapisan serosa
dalam dan lapisan serosa luar yang lebih kental. Keseimbangan
mukus ini penting dalam menghasilkan klirens mukosiliar yang
sempurna. Sekiranya komposisi mukus ini berubah, misalnya
mukus yang dihasilkan terlalu kental seperti pada kasus cystic
fibrosis, mengakibatkan transportasi sekresi ke arah ostia akan
perlahan sehingga terjadi retensi yang menyebabkan lapisan mukus
ini semakin kental. Akhirnya, terjadilah retensi akumulasi mukus
yang sangat tebal dan kental ada suatu periode tertentu yang
mengarah ke arrah penyumbatan ostia dan berkembangnya
sinusitis. Namun pada kondisi sekresi mukus yang berkurang atau
kelembapan pada sinus berkurang, di mana kelenjar mukus atau sel
goblet tidak dapat mengkompensasi untuk menghasilkan sekresi,
dapat menyebabkan mukus semakin kental dan lapisan serosa
dalam akan menjadi sangat tipis sehingga lapisan serosa luar dapat
kontak dengan silia yang mengakibatkan terganggunya fungsi silia.
Produksi mukus yang berlebihan dapat merusak sistem klirens
mukosiliar yang akhirnya terjadi retensi sekresi di sinus.
d. Manifestasi Klinis
Keluhan utama sinusitis akut adalah nyeri atau nyeri tekan
pada wajah, hidung tersumbat, serta ingus purulen yang bisa
berwarna hijau atau kekuningan dan seringkali turun ke tenggorok
(post nasal drip) yang menyebabakan sesak dan batuk pada anak.
Dapat juga disertai gejala sistemik seperi demam dan lesu, dan
gejala lainnya seperti sakit kepala, nafas berbau,
hipoosmia/anosmia. Pada sinusitis maksila dapat disertai nyeri alih
ke gigi dan telinga; sinusitis ethmoid menyebabkan nyeri disekitar
atau diantara kedua mata dan pada sisi hidung; Sinusitis sphenoid
dapat menyebabkan nyeri dibelakang mata, vertex, oksipital dan
daerah mastoid; sinusitis frontal menyebabkan nyeri di dahi atau
seluruh kepala. Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit
didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala – gejala di
bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik
muara tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-
bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma
yang meningkat dan sulit diobati.
Berdasarkan waktu, konsensus tahun 2004 membagi
menjadi sinusitis akut dengan batas sampai 4 minggu, sinusitis
subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan sinusitis kronik jika
lebih dari 3 bulan. Berdasarkan penyebabnya, dibagi menjadi
sinusitis rhinogen apabila penyebabnya infeksi pada hidung, dan
sinusitis dentogen apabila penyebabnya infeksi pada gigi.
e. Penatalaksanaan
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan,
mencegah komplikasi dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip
pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan
ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
1) Tindakan non-operasi
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis
akut bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan
mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang
dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan
kuman telah resisten atau memproduksi beta laktamase, maka dapat
diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2.
Pada sinusitis, antibiotic diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala
klinik sudah hilang.
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman
gram negatif dan anaerob. Selain dekongestan oral dan topical, terapi
lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik,
steroid oral/topical, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau
pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat
antikolinergiknya dapat menyebabkan secret jadi lebih kental. Bila
ada alergi berat, sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2.
Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga
merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat
dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.
2) Tindakan Operasi
Rinosinusitis kronik yang tidak sembuh setelah pengobatan
medikamentosa adekuat dan optimal, sinusitis kronik disertai kista
atau kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya komplikasi
sinusitis serta sinusitis jamur, serta adanya obstruksi KOM merupakan
indikasi tindakan bedah. Beberapa macam tindakan bedah yang dapat
dipilih untuk dilakukan, mulai dari pungsi dan irigasi sinus maksila,
operasi Caldwell Luc, etmoidektomi intra- dan ekstranasal, trepanasi
sinus frontal dan bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF). Bedah
sinus endoskopik fungsional (BSEF) merupakan langkah maju dalam
bedah sinus. Jenis operasi ini menjadi pilihan karena merupakan
tindakan bedah invasif minimal yang lebih efektif dan fungsional.
Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan
yang sangat terang sehingga saat operasi, kita dapat melihat lebih jelas
dan rinci adanya kelainan patologi di rongga-rongga sinus. Jaringan
patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium
sinus yang tersumbat diperlebar. Dengan ini drenase dan ventilasi
sinus akan lancar kembali secara alamiah, jaringan normal tetap
berfungsi dan kelainan di dalam sinus-sinus paranasal akan sembuh
dengan sendirinya.
4. Hypogeusia
a. Definisi
Penyakit Hypogeusia adalah menurun rasa dan mencegah rasa
zat manis, asam , pahit atau asin . Perubahan persepsi rasa terkait
dengan kecenderungan terhadap penyakit. Misalnya, asupan garam
yang berlebihan , tekanan darah tinggi dan asupan gula tinggi untuk
kelebihan berat badan dan obesitas berkembang . Rasa rasa berfokus
pada struktur bawang berbentuk terletak di lidah dan di tempat lain di
mulut disebut papila atau selera . Lebih dari 100 sel reseptor rasa
dikelompokkan dalam setiap tombol sensorik . Pada lidah , tombol ini
dihubungkan oleh cabang saraf wajah dan glossopharyngeal ,
membawa pesan rasa ke otak . Deteksi asin dan asam yang diperlukan
untuk mencapai keseimbangan asam-basa tubuh . Bitter membantu
mendeteksi racun dan racun yang terkandung dalam makanan ,
makanan manis diarahkan untuk mendeteksi energy. Sementara
umami ( monosodium glutamat digunakan dalam makanan Jepang)
terkait dengan deteksi makanan kaya protein
Kehilangan sensoris mempengaruhi orang-orang dalam derajat
yang berbeda dan pada usia yang berbeda . Genetika , lingkungan dan
gaya hidup , bagian dari  penurunan kemampuan sensorik . Perubahan
dalam kapasitas rasa rasa , bau dan sentuhan memimpin berkaitan
dengan usia dengan nafsu makan yang buruk , pilihan makanan yang
buruk dan konsumsi yang lebih rendah . Meskipun beberapa derajat
hypogeusia dikaitkan dengan usia ,  beberapa perubahan juga karena
penggunaan narkoba . Dalam rasa dewasa yang lebih tua dan Bau
tidak sepenuhnya hilang , namun batas deteksi dinaikkan.

5. Carcinoma lidah
a. Definisi
Karsinoma sel skuamosa adalah tumor ganas yang berasal dari jaringan
epithelium dengan struktur sel yang berkelompok, mampu berinfiltrasi
melalui aliran darah dan limfatik yang menyebar keseluruh tubuh.
Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis kanker yang paling sering
terjadi di rongga mulut yaitu sekitar 90-95% dari total keganasan pada
rongga mulut. Lokasi Karsinoma sel skuamosa rongga mulut biasanya
terletak pada lidah (ventral, dan lateral), bibir, dasar mulut, mukosa
bukal, dan daerah retromolar. Karsinoma sel skuamosa pada lidah
merupakan tumor ganas yang berasal dari mukosa epitel rongga mulut
dan sebagian besar merupakan jenis karsinoma epidermis. Kanker lidah
adalah suatu neoplasma malignant yang timbul dari jaringan epitel
mukosa lidah dengan sel berbentuk squamous cell carcinoma (sel epitel
gepeng berlapis) dan terjadi akibat rangsangan menahun, juga beberapa
penyakit- penyakit tertentu (premalignant). Kanker ganas ini dapat
menginfiltrasi ke daerah sekitarnya, di samping itu dapat melakukan
metastase secara limfogen dan hematogen. Karsinoma sel skuamosa lidah
berkisar antara 25 sampai 50 % dari semua kanker ganas didalam mulut.
Dari 441 kasus karsinoma sel skuamosa lidah yang dilaporkan, 25 %
terjadi pada wanita dan 75% terjadi pada pria dengan umur rata-rata 63
tahun.
b. Etiologi
Penyebab kanker lidah secara jelas belum dapat diketahui, para ahli
belum dapat memberikan pernyataan yang tegas. Namun ada beberapa
dugaan bahwa kanker lidah terjadi karena ada hubungan dengan beberapa
gangguan tertentu atau penyakit tertentu yang bersifat multi faktorial dan
menyangkut faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik adalah agen
eksternal seperti tembakau, alkohol dan paparan sinar ultraviolet.
Sedangkan faktor intrinsik termasuk keadaan sistemik seperti genetik,
malnutrisi dan defisiensi zat besi.
c. Patofisiologi
Squamous Cell Carcinoma pada lidah sering timbul pada daerah
epithelium yang tidak normal, tetapi selain keadaan tersebut dan
mudahnya dilakukan pemeriksaan mulut, lesi sering tumbuh menjadi lesi
yang besar sebelum pasien akhirnya datang ke dokter. Secara histologis
tumor terdiri dari lapisan atau kelompok sel-sel eosinopilik yang sering
disertai dengan kumparan keratinasi. Lidah mempunyai susunan yang
kaya dengan pembuluh lymphe, hal ini akan mempercepat terjadinya
proses metastase ke kelenjar getah bening regioner dan dimungkinkan
oleh susunan pembuluh lymphe yang saling berhubungan kanan dan kiri.
Tumor yang agak jinak cenderung membentuk massa papiliferus dengan
penyebaran ringan kejaringan didekatnya. Tumor ganas menyebar cukup
dalam secara cepat ke jaringan didekatnya dengan penyebaran
permukaan yang kecil, terlihat sebagai ulser nekrotik yang dalam.
Sebagian besar lesi yang terlihat terletak diantara kedua batas tersebut
dengan daerah nekrosis yang dangkal pada bagian tengah lesi tepi yang
terlipat serta sedikit menonjol dan infiltrate yang dalam. Walaupun
terdapat penyebaran lokal yang besar, tetapi metastasis biasanya berjalan
melalui lymph node cervikal. Kemudian metastase haemato genus terjadi
pada tahap selanjutnya.
Faktor luar Faktor Herediter Faktor Non
Herediter
Rokok, alkohol, Virus (papiloma yang ditularkan
infeksi kronis melalui hubungan sex), parasit, paparan sinar UV
dan trauma dan bakteria
klinis zat-zat karsinogen
Rangsangan karsinogen tertampung dan
Sariawan yang pada sel squamos carcinoma berpoliferasi secara
tak kunjung pada mulut tidak terkontrol
hilang pada mukosa mulut
Plak keratosis, ulserasi, tepi lesi
Pembengkakan yang indurasi, kemerahan pada kanker lidah
organ gusi, rongga mulut mengenai radix linguae
bibir dan lidah asimptomatis
Kesulitan menelan, lidah mati
menyumbat mati rasa dan kaku, tidak kanker mengenai
jalan nafas mampu mengontrol air liur corpus linguae,
terihat putih-putih
Pola Nafas Kurang asupan pada lidah yang tidak
Tidak Efektif bisa dihilangkan
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan terbentuk ulkus yang
mulai berdarah pada
lidah

Nyeri (akut)

d. Manifestasi klinis
Tanda awal umumnya berupa ulkus tanpa nyeri yang tidak sembuh-
sembuh. Kemudian membesar dan menekan atau menginfiltrsi jaringan
sekitar yang megakibatkan nyeri lokal, otalgia ipsilateral dan nyeri
mandibula (Suyatno, 2010). Infiltrasi ke otot-otot ini mengakibatkan
gerakan lidah terbatas sehingga proses menelan bolus makanan dan
bicara terganggu. Kanker ini dapat menginfiltrasi jaringan sekitarnya
seperti dasar mulut (floor of mouth, FOM), dasar lidah dan tonsil
(Suyatno, 2010. Bedah Onkologi Diagnostik dan Terapi. Jakarta: Sagung
Seto). Sejalan dengan kemajuan kanker pasien dapat mengeluhkan nyeri
tekan, kesulitan mengunyah, menelan, dan berbicara, batuk dengan
sputum bersemu darah atau terjadi pembesaran nodus limfe servikal.
(Baughman Diane C, 2010)
e. Penataklaksanaan
1) Penatalaksanaan farmakologi Typhonium Flagelliforme / Keladi
Tikus ekstrak dan herbal lainnya menggabungkan membantu dalam
detoksifikasi sistem darah. Typhonium Plus mengandung ribosom
dalam bertindak protein (RIP), anti oksidan, dan anti kurkumin. Sel
bersama-sama dipicu pada gilirannya menghasilkan mediator yang
merangsang dan memperkuat sel-sel lain dari sistem kekebalan
tubuh untuk memerangi sel-sel kanker. Sejak pertumbuhan sel
kanker adalah reversibel diberikan stimulus kimia yang benar dan
lingkungan, penjelasan ini tidak terlalu mengada-ada. Typhonium
Plus merupakan kombinasi herbal selektif ekstrak yang dalam karya
sinergi Typhonium Flagelliforme penguatan / Keladi Tikus.
2) Penatalaksanaan non farmakologi
a) Radio Therapy Radio therapy dilakukan bila : Tumor
Inoperable, T3 atau lebih, N3, M0- M1.
b) External X ray Dengan memasukkan jarum radium sel-sel
carcinoma ikut masuk kedalam. Dapat digunakan dengan cara
lain yaitu : Penderita dinarcose, kemudian memasukkan
polyethtylene catherter dan melalui charteter ini dimasukkan
benang yang diikat dengan radium maka radium ini akan
tersebar secara merata, bila sudah selesai benang ditarik keluar
cara ini disebut application.
3) Radon seeds Dengan biji-biji radon yang diletakkan sekitar
cartinoma

4) Cytostatica theraphy : Metotrexate (Mtx) dapat Mendepresi sum-


sum tulang, ini dapat diatasi denganleokoporin. Mempunyai akumulasi
baik. Dapat dipakai untuk merubah T3 menjadi T2-T1.

5) Surgical/Hemiglosectomy (total glossectomy) Dilakukan


pengangkatan pada bagian yang diindikasi terkena carcinoma atau
hemiglosectomy atau total glossectomy apabila tumor cukup besar dan
sudah bermetastase ke daerah leher.

6. Tuli konduktif
a. Definisi
Tuli konduktif terjadi ketika suara tidak dapat melewati saluran
telinga luar dan dalam karena adanya penyumbatan. Sumbatan biasanya
disebabkan oleh kotoran yang menumpuk di dalam telinga. Biasanya tuli
terjadi pada salah satu telinga yang mengalami penyumbatan. Kondisi ini
menyebabkan penderita mendengar suara yang seolah-olah teredam.
Tuli konduktif adalah gangguan pendengaran di mana suara tidak
dapat masuk ke telinga bagian dalam. Telinga terdiri dari tiga bagian
yaitu telinga bagian luar, tengah, dan dalam. Tuli konduktif terjadi ketika
suara tidak bisa melewati telinga luar dan tengah.
b. Etiologi
Tuli konduktif dapat terjadi apabila terdapat lesi pada telinga luar
maupun telinga tengah yang dapat menyebabkan gangguan penghantaran
/ konduksi gelombang suara untuk menggetarkan gendang telinga atau
membran timpani (Muhaimeed, dkk, 2002). Beberapa contoh kelainan
pada telinga luar yang dapat menyebabkan terjadinya tuli konduktif
adalah atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna
sirkumskripta, serta osteoma liang telinga. Sedangkan, contoh-contoh
kelainan pada telinga tengah yang mampu menyebabkan terjadinya tuli
konduktif adalah tuba katar atau sumbatan tuba eustachius, otitis media,
otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum, serta dislokasi tulang-
tulang pendengaran (Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007).
Menurut penelitian, tuli konduktif banyak dijumpai pada
orangorang suku Aborigin di Australia. Tuli konduktif pada anak-anak
suku Aborigin paling banyak disebabkan oleh infeksi telinga. Tuli
konduktif pada orang dewasa suku Aborigin biasanya merupakan
kelanjutan / sequelae dari infeksi telinga pada masa anak-anak yang tidak
diatasi dengan baik. Akibat dari banyaknya kejadian tuli konduktif pada
suku ini, akhirnya menyebabkan timbulnya budaya “absence and
avoidance”. (Howard, 2007)
c. Patofisiologi
Saat terjadi trauma akan menimbulkan suatu peradangan bisa saja
menimbulkan luka, nyeri kemudian terjadi penumpukan serumen atau
otorrhea. Penumpukan serumen yang terjadi dapat mengakibatkan
transmisi bunyi atau suara yang terganggu sehingga penderita tidak dapat
mempersepsikan bunyi atau suara yang di dengarnya.

7. Kelainan refraksi (rabun)


a. Definisi
Kelainan refraksi merupakan suatu keadaan dimana bayangan
tegas tidak dibentuk pada retina (makula retina atau bintik kuning)
melainkan di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak
terletak pada satu titik yang tajam. Pada kelainan refraksi terjadi
ketidakseimbangan sistem optik / penglihatan pada mata sehingga
menghasilkan bayangan yang kabur. Pada penglihatan normal , kornea
dan lensa mata membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada
sentral retina. Bola mata manusia mempunyai panjang kira-kira 2 cm,
dan untuk memfokuskan sinar ke bintik kuning diperlukan kekuatan
50 Dioptri. Kornea mempunyai kekuatan 40 dioptri dan lensa mata
berkekuatan 10 dioptri. Apabila kekuatan untuk membiaskan tidak
sama dengan 50 Dioptri maka sinar akan difokuskan di depan retina
seperti pada rabun jauh / miopia dan dikoreksi dengan kacamata (-)
atau di belakang retina seperti pada rabun dekat / hipermetropia, yang
membutuhkan kacamata (+). Apabila pembiasan tidak difokuskan
pada satu titik seperti pada astigmatisma maka diberikan kacamata
silinder untuk mengoreksinya. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk
miopia, hipermetropia dan astigmatisma.

Klasifikasi kelainan refraksi

1) Miopia

Miopia atau rabun jauh merupakan pembiasan berkas

sinar yang masuk ke dalam mata di suatu titik fokus di depan

retina pada keadaan tanpa akomodasi. Beberapa etiologi dari

miopia yaitu (1) kekuatan optik mata yang tinggi biasanya karena

bola mata (diameter antero posterior) yang panjang, disebut

miopia aksial, (2) radius kurvatura kornea dan lensa lebih besar ,

disebut miopia kurvatura, (3) perubahan posisi lensa ke depan

yang sering terjadi pada pascaoperasi glaukoma, dan (3)

perubahan indeks bias refraksi biasanya pada penderita diabetes

atau katarak. Gejala klinis yang muncul yaitu penglihatan jauh

yang kabur, kondisi seperti ini pada anak-anak kadang terabaikan,

kecenderungan untuk memicingkan mata saat melihat jauh, dan

penderita umumnya suka membaca dikarenakan tidak mengalami

gangguan penglihatan saat membaca dekat.

2) Hipermetriopia

Hipermetropia atau far-sightendess adalah kelainan


refraksi apabila berkas sinar yang berjalan sejajar masuk ke dalam

mata dalam keadaan istirahat tanpa adanya akomodasi, dibiaskan

membentuk bayangan di belakang retina. Kekuatan optik mata

terlalu rendah biasanya karena bola mata yang pedek sehingga

menyebabkan sinar cahaya pararel dikonvergensikan pada titik di

belakang retina. Hipermetropia sering terjadi pada usia dewasa

dan berbanding lurus dengan pertambahan usia. Terdapat

beberapa hal yang menyebabkan terjadianya hipermetropia, yaitu:

a) Sumbu aksial bola mata lebih pendek dari normal

(hipermetropi axial), yang menyebabkan banyangan jatuh di

depan retina. Perbedaan panjang bola mata sebesar 1 mm

menyebabkan perbedaan 3 dioptri, biasanya tidak lebih dari

2 mm apabila lebih dari itu maka terdapat keadaan patologis

lain.

b) Radius kurvatura kornea dan lensa lebih kecil dari normal

(hipermetropia kurvatura).

c) Perubahan posisi lensa yang lebih ke belakang. Sering

terjadi pada trauma atau afakia pasca operasi katarak.

d) Perubahan indeks bias refraksi, sering pada usia tua di mana

terjadi perubahan konsistensi dan kekeruhan korteks dan

nukleus lensa yang menyebabkan indeks bias bertambah.

b. Etiologi

c. Patofisiologi

d. Manifestasi klinis
e. Penatalaksanaan

8. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)

a. Definisi

Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan inflamasi

kronik mukosa dan periosteum telinga bagian tengah dan kavum

mastoid. Manifestasi otitis media supuratif kronik berupa otorea

berulang yang keluar melalui gendang telinga yang mengalami

perforasi. Durasi otorea pada kasus OMSK masih belum ada

kesepakatan. (WHO) menyatakan otorea minimal 2 minggu sudah

masuk dalam katagori OMSK, namun menurut ahli THT menyatakan

durasi lebih dari tiga bulan merupakan kasus OMSK, sedangkan

literatur lain menyatakan durasi lebih dari enam minggu. Otorea

dapat terjadi terus menerus atau hilang timbul.

Berdasarkan perforasi, OMSK dibagi menjadi 2 tipe yaitu :

OMSK tipe aman (tipe mukosa, benigna, tanpa kolesteatoma) dan

OMSK tipe bahaya (tipe tulang, maligna, dengan kolesteatoma).

Pada OMSK tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang

berbahaya selalu terdapat kolesteatom dan dapat menimbulkan

komplikasi yang berbahya.

b. Etiologi

OMSK umumnya diawali dengan otitis media berulang pada

anak, hanya sedikit yang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi

biasanya berasal dari peradangan nasofaring, mencapai telinga

tengah melalui tuba eustakhius. Faktor-faktor yang menyebabkan


otitis media supuratif menjadi kronik sangat majemuk, beberapa

diantaranya :

1) gangguan fungsi tuba eustakhius yang kronik akibat:


a) infeksi hidung dan tenggorokan yang kronik atau berulang,
dan
b) obstruksi anatomik tuba eustakhius parsial atau total;
2) perforasi membrana timpani yang menetap;
3) terjadinya metaplasia skumosa atau perubahan patologis menetap
pada telinga tengah;
4) obstruksi menetap terhadap aerasi telinga atau rongga mastoid.
5) terdapat daerah-daerah dengan skuesterisasi atau osteomielitis
persisten di mastoid;
6) faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum
atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh.

Secara klinis OMSK dapat dikelompokan menjadi 2 jenis yaitu :

1) Tipe tubotimpani/ tipe jinak /tipe benigna


Tipe benigna ditandai adanya perforasi sentral atau prastensa dan
gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit.
Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama
patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan
mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan
tubuh yang rendah, disamping itu campuran bakteri aerob dan
anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, sertamigrasi sekunder
dari epitel skumous. Sekret mukoid kronis berhubungan dengan
hiperplasia sel goblet, metaplasia dari mukosa telinga tengah pada
tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek. Secara klinis penyakit
tubotimpani terbagi atas :
a) Fase benigna aktif
Pada jenis ini terdapat otorea atau sekret pada telinga dan
penurunan fungsi pendengaran. Biasanya didahului oleh
peluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba eutachius atau
gaya hidup seperti setelah berenang dimana kuman masuk
melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi dari mukoid
sampai perforasi subtotal pada paras tensa. Jarang ditemukan
polip yang besar pada telinga luar. Perluasan infeksi ke sel-sel
mastoid mengakibatkan penyebaran yang luas dan penyakit
mukosa yang menetap.
b) Fase benigna tidak aktif
Tipe tidak aktif dikatakan jika pada pemeriksaan telingan
dijumpai perforasi total yang kering dengan mukosa telinga
tengah yang pucat. Gejala ini dijumpai seperti pertigo, tininus,
atau suatu rasa penuh dalam telinga.

Faktor prediposisi pada penyakit tubotimpani :

a) Infeksi saluran nafas yang berulang, alergi, rhinosinusitis


kronis
b) Pembesaran adenoid pada anak, tonsilitis kronis
c) Mandi dan berenang dikolam renang, mengkorek telinga
dengan alat yang terkontaminasi
d) Otitis media supuratif akut yang berulang
e) Malnutrisi dan hipogammaglobunemia
2) Tipe atikoantral/ tipe tulang/ tipe maligna
Otitis media supuratif kronik tipe maligna bersifat progresif,
ditandai dengan ditemukannya kolesteatoma. Kolesteatoma adalah
suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwana putih
terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotik. Semakin
luas kolesteatoma, akan mendestruksi tulang yang disekitarnya.
Infeksi sekunder akan menyebabkan keadaan septik lokal dan
menyebabkan nekrosis septik di jaringan lunak yang disekitar
kolosteatoma. Destruksi jaringan lunak di sekitar kolesteatoma
mengancam terjadinya komplikasi.
c. Patofisiologi

Patofisiologi OMSK melibatkan berbagai faktor yang


berhubungan dengan tuba eustakhius, baik faktor lingkungan, faktor

genetik, maupun faktor anatomik. Tuba eustakhius memiliki fungsi

penting yang berhubungan dengan kavum timpani, diantaranya

fungsi ventilasi, fungsi proteksi, dan fungsi drainase. Penyebab

endogen maupun eksogen dapat mengganggu fungsi tuba dan

menyebabkan otitis media. Penyebab endogen misalnya gangguan

silia pada tuba, deformitas palatum, atau gangguan otot-otot dilatator

tuba. Penyebab eksogen misalnya infeksi atau alergi yang

menyebabkan inflamasi pada muara tuba.

Mayoritas OMSK merupakan kelanjutan atau komplikasi otitis

media akut (OMA) yang mengalami perforasi. Namun, OMSK juga

dapat terjadi akibat kegagalan pemasangan pipa timpanostomi

(gromet tube) pada kasus otitis media efusi (OME). Perforasi

membran timpani gagal untuk menutup spontan, sehingga mudah

terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau paparan alergen dari

lingkungan. Keadaan ini menyebabkan otorea yang persisten.

Infeksi kronis ataupun infeksi akut berulang pada hidung dan

tenggorokan dapat menyebabkan gangguan fungsi tuba eustakhius

sehingga kavum timpani mudah mengalami gangguan fungsi hingga

infeksi dengann otorea terus-menerus atau hilang timbul. Peradangan

pada membran timpani menyebabkan proses kongesti vaskuler,

mengakibatkan terjadi iskemi pada suatu titik, yang selanjutnya


terjadi titik nekrotik yang berupa bercak kuning. Bila disertai tekanan

akibat penumpukan discharge dalam kavum timpani dapat

mempermudah terjadinya perforasi membran timpani. Perforasi yang

menetap akan menyebabkan rongga timpani selalu berhubungan

dengan dunia luar, sehingga kuman yang berasal dari kanalis

auditorius eksternus dan dari udara luar dapat dengan bebas masuk

ke dalam kavum timpani. Kuman yang bebas masuk ke dalam kavum

timpani menyebabkan infeksi yang mudah berulang atau bahkan

berlangsung terus-menerus. Keadaan kronik ini ditetapkan

berdasarkan waktu dan penggolongan stadium didasarkan pada

keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman gambaran

patologi disebabkan oleh proses yang bersifat eksaserbasi atau

persisten, efek dari kerusakan jaringan, serta pembentukan jaringan

sikatrik.
d. Manifestasi klinis

1) Telinga berair (otorrhoe)


Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium
peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar
sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak,
cairan yang keluar mukopurulen yang tidak berbau busuk yang
sering kali sebagai reaksi inflamasi mukosa telinga tengah oleh
perforasi membran timpani. Keluarnya sekret biasanya hilang
timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi
saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah
mandi atau berenang.
OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret
telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor
memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasi kolesteatoma
yang terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada
OMSK tipe maligna unsur mukoid dan sekret telinga tengah
berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas.
Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan
granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya
kolesteatoma. Sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah
kemungkinan tuberkulosis.
2) Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran tergantung dari derajat kerusakan
tulang-tulang pendengaran. Biasanya dijumpai tuli konduktif
namun ada juga bersifat tuli campuran. Gangguan pendengaran
mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena
daerah yang sakit ataupun kolesteatoma dapat menghambat bunyi
dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatoma,
tuli konduktif kurang dari 20 dB ditandai bahwa rantai tulang
pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang-
tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih
dari 30 dB. Berat ringan ketulian tergantung dari besar dan letak
perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem
pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna
biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang
pendengaran.
Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan
dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui
foramen rotundum atau fistula labirin tanpa terjadinya labirinitis
supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli
sensorineural berat.
3) Otalgia ( nyeri telinga)
Pada OMSK, keluhan nyeri dapat karena terbendungnya
drainase sekret. Nyeri dapat menandakan adanya ancaman
komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya
durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan
abses otak. Nyeri telinga dapat juga berupa manifestasi dari otitis
eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi
OMSK seperti petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus
lateralis.
4) Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius.
Keluhan vertigo merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin
akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatoma. Vertigo yang timbul
biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada
panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena
perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin
lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi
ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Fistula
merupakan temuan yang serius pada OMSK, karena infeksi
kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke
telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan bisa berlanjut menjadi
meningitis.
5) Kurang Pendengaran
Kurang pendengaran dibedakan menjadi 3 jenis sesuai dengan
letak kelainan, yaitu kurang pendengaran tipe konduktif, kurang
pendengaran tipe sensorineural, dan kurang pendengaran tipe
campuran ( Mixed Hearing Loss / MHL).
6) Kurang Pendengaran Tipe Konduktif
Conductive Hearing Loss (CHL) terjadi akibat adanya
gangguan hantaran suara yang disebabkan oleh kelainan atau
penyakit di telinga luar dan atau di telinga tengah. Bersifat
correctable, umumnya mengenai nada atau frekuensi rendah.
Derajat keparahan adalah ringan sampai sedang, dan membaik jika
menggunakan alat bantu dengar (hearing aid). Gejala klinis CHL
umumnya suaranya pelan karena penderita mendengar suaranya
sendiri terdengar keras. Di tempat keramaian lebih jelas mendengar
(parakusis willissis). Penyakit yang menyebabkan kurang
pendengaran tipe konduktif adalah otitis media dan otosklerosis.
7) Kurang Pendengaran Tipe Sensorineural
Sensorineural Hearing Loss (SNHL) diakibatkan adanya
kelainan pada telinga dalam/koklea, nervus VIII, atau di pusat
pendengaran. Bersifat uncorrectable, umumnya mengenai nada
tinggi. Derajat keparahan mulai dari ringan sampai berat, dan tidak
ada perbaikan jika menggunakan alat bantu dengar. Gejala klinis
berupa pasien kesulitan mendengar percakapan terutama di tempat
keramaian dan suara bicara penderita umumnya keras. Penyakit
yang dapat menyebabkan SNHL antara lain Meniere’s disease,
trauma akustik, presbikusis, ototoksisitas, dan neuroma akustik.
8) Kurang Pendengaran Tipe Campuran
Mixed Hearing Loss (MHL) merupakan kombinasi dari CHL dan
SNHL.
e. Penatalaksanaan

1) Pemberian obat antibiotik


Tujuannya untuk melumpuhkan atau menghilangkan bakteri, efek
sampingnya jika diberikan secara kontinyu atau tidak teratur akan
menyebabkan resistensi bakteri, dan akan menimbulkan alergi baru
jika antibiotik tidak cocok bagi tubuh, indikasinya lebih banyak
diberikan pada penderita peradangan dan disebabkan oleh bakteri,
kontra indikasi berbahaya diberikan pada penderita bronchitis,
asma dan aritmia.
2) Pemberian obat analgesik
Tujuannya untuk menghilangkan nyeri dan efek samping
umumnya asam mafenamat dapat diberikan dengan pada dosis
yang dianjurkan, pada beberapakasus pernah dilaporkan
terjaadinya rasa mual muntah, diare pada penggunaan jangka
panjang yang terus menerus dengan dosis 2000 mg atau lebih dan
dapat mengakibatkan agranulosis dan hemolitik anemia.
Indikasinya untuk menghilangkan segala macam nyeri karena
trauma dan kontraindikasinya pada penderita tukak lambung, asma,
ginjal dan penderita hipersensitif.

Komplikasi :

1) Komplikasi pada otitis media


a) Infeksi pada tulang sekitar telinga tengah
b) Labirinitis (infeksi pada kanalis semisirkuler)
c) Tuli
d) Peradangan pada selaput otak (menigitis)
e) Abses otak
f) Ruptur membrane timpani
2) Tanda-tanda terjadi komplikasi :
a) Sakit kepala
b) Tuli yang terjadi secara mendadak
c) Vertigo (perasaan berputar)
d) Demam dan menggil

Pencegahan

Beberapa hal yang tampaknya dapat mengurangi resiko OMA

adalah :
1) Pencegahan ISPA pada bayi dan anak-anak
2) Pemberian ASI minimal selama 6 bulan
3) Penghindaran pemberian susu di botol saat anak berbaring
4) Dan penghindaran pajanan terhadap asap roko
5) Berenang kemungkinan besar tidak meningkatkan resiko OMA

Daftar Pustaka

[ CITATION Jen07 \l 1057 ]


[ CITATION Ell11 \l 1057 ]

[ CITATION Egi08 \l 1057 ]

[ CITATION Nan18 \l 1057 ]

[ CITATION And18 \l 1057 ]

Anda mungkin juga menyukai