Katarak Senilis
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah II
Disusun oleh :
Fasilitator :
Angga Wilandika, S.Kep., Ners., M.Kep.
2019
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini dimaksudkan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal II yang dibina oleh
Bapak Angga Wilandika, S.Kep., Ners., M.Kep.
Penyusun
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indra menghubungkan kita dengan dunia dan satu sama lain. Setiap indra
memungkinkan kita berespons terhadap stimulus yang samar dan tidak terlalu
samar dengan presisi dan rekognisi. Karena adanya cara indra kita membawa
lingkungan eksternal kepada kita, implikasi hilangnya indra seiring berjalannya
waktu sangat besar. Indra mencakup penglihatan, pendengaran, pengecapan,
penciuman, dan sentuhan. Sistem sensorik sangat penting bagi hubungan
seseorang dengan lingkungannya. Selain itu, indra merupakan hal mendasar bagi
kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan di mana indra memungkinkan
orang untuk memperoleh kesenangan melalui pengalaman lingkungan mereka.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi pada sistem persepsi sensori?
2. Bagaimana pengkajian terhadap gangguan sistem persepsi sensori?
3. Apa saja gangguan atau penyakit yang muncul pada sistem persepsi
sensori?
4. Bagaimana kasus asuhan keperawatan dengan gangguan persepsi sensori
pada katarak senilis?
5. Bagaimana pengkajian pada kasus katarak senilis ?
6. Apa saja diagnosa yang muncul pada pada kasus katarak senilis ?
7. Bagaimana intervensi pada kasus katarak senilis ?
8. Bagaimana implementasi pada kasus katarak senilis ?
9. Bagaimana evaluasi pada kasus katarak senilis ?
TINJAUAN PUSTAKA
Mata adalah organ inra yang rumit. Mata tersusun dari bercak sensitif
cahaya primitif pada permukaan
invertebrata. Pada selubung
perlindungannya, mata terdiri
atas lapisan reseptor, sistem
lensa untuk pemfokusan cahaya
atas reseptor dan merupakan satu sistem saraf. Mata juga merupakan struktur
bulat berisi cairang yang tersusun dalam tiga lapisan. Setiap dari lapisan tersebut
adalah sklera atau kornea (paling luar), koroid/badan siliaris/iris (lapisan tengah),
dan retina (paling dalam).
1. Palpebra
Lubang orbita dilindungi oleh
lipatan tipis yang bisa
bergerak, yaitu kelopak mata
(palpebra) yang terletak di
depan mata. Fisura palpebra merupakan lubang berbentuk elips di antara
palpebra superior dan palpebra inferior tempat masuk ke dalam sakus
konjungtiva. Glandula sebasea bermuara langsung ke dalam folikel bulu
mata.
2. Aparatus lakrimalis
Aparatus lakrimalis meliputi pars orbitalis yang besar dan pars
parpebralis yang kecil, saling berkaitan pada ujung lateral aponerosis m.
levator palpebra superior bagian lateral forniks (laterla konjungtiva).
Nukleus lakrimalis dan nervus VII (N. Facialis). Air mata mengalir untuk
membasahi kornea.
3. Orbita
Orbita merupakan terowongan berbentuk piramid dengan basis di depan
dan apeks di belakang, atap orbita dibentuk oleh pars orbitalis ossis
frontalis yang memisahkan orbita dengan fosa kranii anterior. Dinding
lateral terdiri atas oz zigomatikum dan ossis sfenoidalis.
4. Bola mata
Bola mata terbenam dalam korpus adiposum orbita, namun terpisahkan
dari selubung fasia bola mata. Bola mata terdiri atas tiga lapisan.
a. Tunika fibrosa merupakan jaringan ikat fibrosa yang tampak putih.
Bagian posterior ditembus oleh N. Optikus dan terhubung dengan
selubung saraf duramater. Lamina kribrosa adalah daerah sklera
yang ditembus oleh serabut saraf N. Optikus.
b. Lamina vaskulosa dari depan ke belakang, tersusun oleh :
1) Koroidea adalah lapisan luar berpigmen koroid mengandung
pleksus vena yang luas dan mengempis setelah kematian.
2) Korpus siliaris, ke belakang bersambung dengan koroid ke
depan terletak di belakang tepi perifer iris, terdiri atas korona
siliaris, prosesus siliaris, dan m. siliaris.
3) Iris adalah diafragma berpigmen yang tipis terdapat dalam
cairan mata (aqueous humor) di antara kornea dan lensa, tepi
iris melekat pada permukaan anterior korpus siliaris membagi
ruang di antara lensa dan kornea menjadi kamera anterior dan
posterior.
c. Tunika sensoria
Retina terdiri atas pars pigmentosa sebelah luar, melekat pada
koroid dan pars nervosa sebelah dalam berhubungan dengan
korpus vitreum. Retina optikal melapisi koroid mulai dari papila
saraf bagian posterior hingga oraserata anterior. Di sekeliling fovea
terdapat suatu daerah yanh dikenal sebagai bintik kuning (makula
lutea). Daerah ini disebut bintik buta. Foto reseptor, baik batang
maupun kerucut, merupakan bentuk modifikasi neuron, sel ini
menunjukkan segmen dalam dan luar yang terletak diluar membran
limitans eksterna. Cahaya harus melalui seluruh ketebalan retina
untuk mencapai fotoreseptor.
5. Isi bola mata
Isi bola mata adalah media refraksi yang terdiri atas cairan mata (aqueous
humor), korpus vitrous, dan lensa.
a. Cairan mata
Cairan bening yang mengisi kamera anterior dan kamera posterior
bulbi, merupakan sekret dari prosessus siliaris. Dari sini cairan
mengalir ke dalam kamera posterior, kemudian ke dalam kamera
anterior melalui pupila dan diangkut melalui celah-celah angulus
iridokornealis ke dalam kanalis schlem.
b. Korpus vitrous
Mengisi bola mata di belakang lensa merupakan gelombang
transparan yang dibungkus oleh membran vitrous, pada daerah
perbatasan dengan lensa membran vitrous menebal.
c. Lensa
Badan bikonveks yang transparan terletak di belakang iris, di dekat
korpus vitreum dan dikelilingi oleh prosesus siliaris terdiri atas:
1) Kapsul elatis untuk membungkus struktur lensa berada
dalam ketegangan yang menyebabkan lensa tetap terbentuk
bulat.
2) Epitel koboid yang terbatas pada permukaan anterior lensa.
3) Serat-serat lensa dibentuk dari epitel kuboid ekuator lensa,
tarikan serat-serat ligamentum suspensorium.
Darah mengalir masuk ke area mata melalui darah arteri yang berasal dari
arteri siliaris dan arteri retina sentral. Arteri merupakan cabang dari arteri
optalmik, cabang dari karotis interna. Selain itu, ada vena retina sentral yaitu vena
yang memperdarahi mata, berakhir pada sinus vena profunda. Arteri dan vena
sentral terbungkus dalam saraf optik yang masuk ke mata pada diskus optik.
Fisiologi Penglihatan
Mata berfungsi untuk melihat (fungsi optikal) dan saraf untuk transduksi yaitu
mengubah bentuk energi ke bentuk yang lain) bentuk sinar. Aparatus optik pada
mata akan membentuk serta mempertahankan ketajaman fokus objek ke retina.
Sinar akan diubah ke dalam bentuk sinyak saraf oleh foto reseptor yang
kemudiannya dikirim ke pusat visual di otak melalui elemen saraf integratif.
Penglihatan terjadi saat sinar cahaya ditangkap oleh sel-sel yang sensitif
terhadap cahaya yaitu sel fotoreseptor retina, dengan syarat media refraksi seperti
kornea, aqueous humor, lensa, dan badan vitreus jernih. Proses melihat tidak
hanya diperankan oleh fotoreseptor, tetapi juga kegiatan neural di otak.
Pertama, cahaya akan melalui kornea dan tear film yang merupakan juga
komponen refraktif krusial pada mata. Jumlah kekuatan refraktif kornea atau tear
film adalah 43.1 dioptri. Lalu cahaya akan dilanjutkan ke aqueous humor dengan
indeks refraksi yang rendah. Media refraksi selanjutnya yang penting adalah
lensa, berbentuk bikonveks di belakang iris. Di lensa kekuatan refraktif yang
diterima adalah sebesar 15 dioptri dari total kekuatan optik mata, membolehkan
gambaraan retina yang jelas untuk objek yang jauh dan dekat. Selanjutnya, cahaya
akan melalui badan vitreus yang akan mempertahankan kejernihan gambar objek
yang dilihat disebabkan oleh struktur fibriler kolagen teratur di dalam matriks
hyaluronic acid yang meminimalisasi hamburan cahaya, sebelum akhirnya jatuh
tepat di retina.
Satu jalur akan menuju ke bagian dorsal dari korteks ke area puncak dan
disebut sebagai laluan ‘where’ atau oksipitoparietal, bermula dari korteks striata
dan memproyeksikan ke korteks posterior parietal dan superior temporal, terkait
dengan analisis visuospatial. Jalur ini menyediakan maklumat tentang suatu benda
dalam suatu ruangan dan dikaitkan dalam kontrol visual untuk mencapai dan
menggenggam suatu benda. Jalur where mendapat banyak input dari area V5 dan
beberapa dari V4 serta V8. Jalur ini menuju ke arah ventral, menuju ke bagian
bawah korteks dan dikatakan sebagai jalur’what’, bermula dari korteks striata
(V1) dan memproyeksikan ke girus angular untuk proses bahasa, ke lobus
onferiotempora untuk identifikasi objek, dan ke struktur limbik. Pasien dengan
kerusakan pada jalur what mungkin akan kesulitan dalam visualisasi atau
identifikasi objek, tetapi mereka dapat meraih dan menggenggam objek dengan
tepat, walaupun ketika orientasi terganggu.
Indra Kimiawi
Indra kimiawi mengacu kepada rasa (gustasi) dan bau (penciuman). Keduanya
melibatkan reseptor yang dirangsang oleh bahan kimia lingkungan. Ada beberapa
perdebatan mengenai apakah penciuman dan gustasi saling mempengaruhi, yaitu
apakah rasa sesuatu yang baik dapat dipengaruhi oleh bagaimana baunya.
Sekalipun serabut saraf penciuman dan dan gustatory tidak terletak bersama
secara perifer (pada titik stimulus, rangsangan yang datang dari keduanya bersatu
dalam sistem saraf di korteks orbitofrontal, bersama dengan informasi sesnorik
melalui saraf trigeminal (Landis dkk., 2010). Akibatnya, ketiga modalitas sensorik
sering berinteraksi dan dianggap mempengaruhi persepsi satu sama lain. Stinton
dkk. memeriksa hubungan ini dan menemukan bahwa hilangnya penciuman tidak
memiliki pengaruh yang berarti pada gustasi. Sebaliknya Landis dkk. (2010) juga
memeriksa hubungan ini dan menemukan bahwa ketika penciuman lemah gustasi
juga tampaknya melemah. Selanjutnya mendukung kasus untuk keterkaitan antara
persepsi rasa dan penciuman, Fortis-Santiago dkk (2010) juga menentukan bahwa
aktivasi kortik gustatory pan penciuman di otak adalah kodependen dalam hal satu
memengaruhi yang lain, dan bahwa dari keduanya secara bersamaan persepsi
makanan dirumuskan. Oleh karena itu, nampak bahwa bukti berkembang bahwa
penciuman mempengaruhi gustasi dan sebaliknya.
Gustasi (rasa) terjadi dari bahahn kimia yang bereaksi dengan pengecap (yang
berjumlah sekitar 10.000). Pengecap tersebut terletak di lidah serta di permukaan
bagian dalam langit-langit dan pipi, faring dan epiglotis. Pengecap ini berfungsi
untuk membedakan lima rasa utama yaitu:
1.
1. filiform: filamen ini seperti paku kecil yang tidak memiliki pengecap
tetapi terlibat dengan pengalaman tekstur makanan;
2. foliate: terletak di sisi lidah sekitar dua per tiga daerah belakang.
Pengecap aktif ini terdegenerasi saat usia tiga tahun;
3. fungiform: struktur berbentuk jamur yang berisi tiga sampai lima
pengecap dan tersebar di lidah, tetapi terkonsentrasi dipuncak;
4. circumvallate: papila ini mengandung sekitar 100-300 pengecap tersusun
dalam bentuk V terbalik di bagian belakang lidah.
Pengecap berbentuk lemon atau bawang dan terdiri atas tiga jenis sel yaitu sel-sel
rasa (gustatory), sel pendukung dan sel basal. Sel rasa (gustatory) adalah sel yang
mengandung rambut rasa yang mengarah ke pori-pori rasa dengan reseptor
bersinaps dengan neuron, tetapi bukan neuron itu sendiri. Sel ini memiliki rentang
hidup yang pendek hingga sepuluh hari, sebelum berganti. Sel pendukung
merupakan sel yang terletak di antara sel rasa namun tidak mengandung reseptor
rasa. Selajutnya sel basal adalah sel induk yang terletak di pinggiran pengecap
yang menjadi matang menjadi sel rasa untuk menggantikan sel yang sudah mati.
Fisiologi Pengecapan
Lidah terdiri atas lapisan mukosa yang menutupi area atas lidah, dan
permukaannya tidak mulus disebabkan oleh terdapat tonjolan-tonjolan yang
disebut papilla, pada papilla ini adanya reseptor untuk membedakan rasa
makanan. Jika area lidah itu tidak mempunyai papilla, lidak tidak akan sensitif
rasa. Sel pengecap merupakan sel epitel terevolusi dengan mikrovili (permukaan
kelihatan banyak lipatan), sedikit menonjol melewati pori-pori pengecap untuk
menambahkan jumlah permukaan sel yang terpajan dalam mulut. Membran
plasma mikrovili mengandung reseptor yang berhubung secara selektif dengan
molekul zat kimia. Hanya zat kimia dalam larutan atau zat padat yang terlarut
dalam air liur yang dapat mengikat dirinya dengan sel reseptor.
Sensasi rasa pengecap muncul disebabkan deteksi zat kimia oleh reseptor
khas di ujung sel pengecap (taste buds) yang terdapat di permukaan lidah dan
palatum molle. Sel pengecap tetap berdiferensiasi seiringnya pertumbuhan, mati
dan regenerasi. Proses ini dipengaruhi oleh saraf sensoris karena degenerasi akan
terjadi jika saraf tersebut dipotong.
Ujung saraf buat pengecapan terdapat di taste buds pada semua permukaan
lidah. Jika zat-zat kimia larut dalam air liur lalu mengadakan kontak dan
merangsang ujung-ujung serabut saraf pengecap, makan akan muncul
neurotransmiter ke nervus facial (VII) dan nervus glossopharyngeal (IX).
Neurotransmiter dari area lain selain lidah melewati nervus vagus (X). Impuls di
ketiga tersebut menyatu di medula oblongata untuk masuk ke nukleus traktus
solitarius. Dari sana, akson membawa sinyal dan berjumpa dengan leminiskus
medialis lalu akan dilanjutkan ke area insula. Impuls diproyeksikan ke area
korteks serebrum di postcentral gyrus lalu dikirim ke talamus dan sebagai
hasilnya kita bisa mengecap makanan yang masuk ke dalam mulut.
Setiap rasa utama itu tidak mutlak sebagai proses signifikan, di mana rasa
masing-masing ion atau molekul zat itu dapat bereaksi pada waktu yang berbeda
dengan setiap epitel neuron ujung serabut saraf pengecapan. Oleh itu, taste buds
bisa bereaksi untuk semua rasa walau dengan intensitas berlainan.
Indra Umum
Indra umum merujuk kepada rasa sakit, suhu dan sentuhan (tekanan, getaran dan
propiosepsi). Struktur dan fisiologi reseptor mereka sebagian besar cukup
sederhana dan umumnya terdiri atas serabut saraf sensori dan sejumlah kecil
jaringan ikat. Reseptor sensori untuk indra umum diklasifikasikan sebagai
enkapsulasi atau tidak enkapsulasi.
Indra Penciuman
Indra penciuman merupakan alat visera (alat dalam rongga badan) yang
erat hubungannya dengan gastrointestinalis. Rasa dari berbagai makanan
merupakan kombinasi penciuman dan pengecapan. Menurut Tortora and
Derrickson (2011), manusia dikatakan bisa mengetahui sekitar 10.000 bau yang
berbeda. Oleh itu hidung mempunyai 10 hingga 100 juta reseptor untuk indra
penciuman, yang terletak di dareah yang dikenali sebagai epitel olfaktorius. Epitel
olfaktorius terdiri atas tiga tipe sel yaitu reseptor olfaktorius, sel pembantu dan sel
basal.
Reseptor penciuman merupakan komereseptor yang dirangsang oleh
molekul larutan di dalam mukus. Reseptor penciuman meruapakan reseptor jauh
(telereseptor). Jaras penciuman tidak disalurkan dalam talamus dan tidak
diprojeksikan neokorteks bagi penciuman.
Bau berupa gas atau zat yang menguap mencapai kavum nasal melalui
nostril, menghidu meningkatkan masukan gas ke dalam rongga hidung lalu ke
sinus superior. Gas akan larut dalam cairan mukus sebelum dapat mengaktifkan
sel reseptor sebelum impulsnya di bawa ke otak.
Indra Pendengaran
1. Organ telinga
a. Telinga luar
Telinga kita merupakan sebuat transduser, yaitu suatu alat yang mengubah
satu bentuk energi menjadi energi lainnya. Contohnya, speaker adalah
transduser, dia mengubah veriasi dari aliran listrik (voltage) menajdi
tekanan di udara (gelombang suara). Telinga luar tugasnya menangkap
gelombang suara dan mengubahnya menjadi signal untuk dikirim ke otak.
Pertama, suara mencapai pinna lalu dikumpulkan melalui Ear Canal.
Suara itu mengakibatkan gendang telinga bergetar. Getarannya dilanjutkan
oleh tiga buah tulang yaitu, Anvil. Hammer, dan Stirup. Tiga buah tulang
itu juga berfungsi sebagai “penahan”. Setelah itu getaran suara mencapai
koklea yang mana terdapat jutaan rambut halus yang bergetar dan
mrengirim signal ke otak. Inilah yang kita sebut sebagai sound.
Telinga luar terdiri atas daun telinga, lubang telinga, saluran telinga,
kelenjar minyak, dan selaput gendang. Fungsi telinga luar adalah untuk
menangkap rangsangan yang berupa suara atau bunyi. Ada tiga kelompok
otot yang terletak pada bagian depan, atas, dan balakang telinga.
2. Alat Kebisingan
Keseimbangan tubuh kita terbentuk sebagai hasil kerjasama antara 3
alat, yaitu mata, otot, dan alat keseimbangan di dalam rongga telinga dalam.
Mata bertugas untuk menyampaikan pesan apakah tubuh kita berdiri tegak,
lurus atau miring.a Sedangkan otot-otot bertugas menyampaikan pesan
mengenai posisi (keduduka) badan dan anggota badan kita. Kedua pesan
tersebut akan digabungkan oleh otak dengan pesan yang diperoleh dari
saluran setengah lingkaran, disebut saluran-saluran gelung.
Pada tiap-tiap pangkal saluran setengah lingkaran menggembung,
disebut ampula. Di dalam ampula terdapat ujung-ujung saraf, dan berisi
cairan limfe yang disebut endolimfe. Bila tubuh kita bergoyang atau
terdorong, maka akan bergerak , gerakan ini akan kita mengikuti gerakan
kepala. Grerakan kepala menyebabkan endolimfe dalam ampula bergetar.
Getaran ini akan diteruskan oleh ujung saraf yang terdapat di dalam ampula
ke otak. Selanjutnya otak akan menyuruh otot untuk menjaga keseimbangan
tubuh.
Menurut Kupfer C. & Taylor H., (2008) dalam Saputra dkk (2018),
terjadinya katarak diduga karena proses multifaktor, yang terdiri dari
faktor intrinsik dan ektrinsik. Faktor instrinsik adalah seperti jenis
kelamin serta umur sedangkan faktor ektrinsik pula adalah seperti
Penyakit Diabetes, kekurangan nutrisi, penggunaan obat, rokok, alkohol,
sinar matahari, dan ruda paksa pada bola mata, terjadi secara akumulatif
pada common biochemical molecular pathway sehingga mengganggu
kejernihan lensa. Biasanya akan terjadi setelah 10-20 tahun sejak proses
kekeruhan lensa bermula.
EKEK konvensional
EKEK adalah jenis operasi katarak dengan membuang nukleus dan
korteks lensa melalui lubang di kapsul anterior. EKEK
meninggalkan kantong kapsul (capsular bag) sebagai tempat untuk
menanamkan lensa intraokuler (LIO). Seperti terlihat di Tabel 2,
teknik ini mempunyai banyak kelebihan seperti trauma irisan yang
lebih kecil sehingga luka lebih stabil dan aman, menimbulkan
astigmatisma lebih kecil, dan penyembuhan luka lebih
cepat. Pada EKEK, kapsul posterior yang intake mengurangi risiko
CME, ablasio retina, edema kornea, serta mencegah penempelan
vitreus ke iris, LIO, atau kornea
3) Fakoemulsifikasi
Teknik operasi fakoemulsifikasi menggunakan alat tip ultrasonik
untuk memecah nucleus lensa dan selanjutnya pecahan nukleus
dan korteks lensa diaspirasi melalui insisi yang sangat kecil.
Dengan demikian, fakoemulsifikasi mempunyai kelebihan seperti
penyembuhan luka yang cepat, perbaikan penglihatan lebih baik,
dan tidak menimbulkan astigmatisma pasca bedah. Teknik
fakoemulsifikasi juga dapat mengontrol kedalaman kamera okuli
anterior serta mempunyai efek pelindung terhadap tekanan positif
vitreus dan perdarahan koroid. Teknik operasi katarak jenis ini
menjadi pilihan utama di negara-negara maju.
2. Polip
a. Definisi
Polip hidung merupakan salah satu jenis penyakit telinga, hidung dan
tenggorok (THT) yang sudah umum didengar di masyarakat. Sebagian
orang sering menyebutnya sebagai tumbuh daging dalam hidung. Sebagian
orang juga menamainya tumor hidung. Polip Hidung sebenarnya adalah
suatu pertumbuhan dari selaput lendir hidung yang bersifat jinak.Polip
hidung bukan penyakit yang murni berdiri sendiri. Pembentukannya
sangat terkait erat dengan berbagai problem THT lainnya seperti rinitis
alergi, asma, radang kronis padamukosa hidung-sinus paranasal, kista
fibrosis, intoleransi pada aspirin.
Polip hidung biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60 tahun.
Laki-laki lebih dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1Faktor
genetik dianggap berperan dalam etiologi polip hidung. Sekitar 14%
penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip hidung. Etnis
dan geografis memiliki peranan dalam patofisiologi polip.
b. Etiologi
Polip terjadi oleh reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada
mukosa hidung. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun
perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada
anak di bawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel
atau meningoensefalokel.
Polip disebabkan oleh reaksi alergi atau reaksi radang.
Bentuknya bertangkai, tidak mengandung pembuluh darah. Di hidung
polip dapattumbuh banyak, apalagi bila asalnya dari sinus etmoid. Bila
asalnya dari sinusmaksila, maka polip itu tumbuh hanya satu, dan berada
di lubang hidung yangmenghadap ke nasofaring (konka). keadaan ini
disebut polip konka. Polipkonka biasanya lebih besar dari polip hidung.
Polip itu harus dikeluarkan,oleh karena bila tidak, sebagai komplikasinya
dapat terjadi sinusitis. Polip itu dapat tumbuh banyak, sehingga kadang-
kadang tampak hidung penderita membesar, dan apabila penyebarannya
tidak diobati setelah polip dikeluarkan,ia dapat tumbuh kembali.
c. Manifestasi klinis
Ketika baru terbentuk, sebuah polip tampak seperti air mata dan
jika telah matang, bentuknya menyerupai buah anggur yang berwarna
keabu-abuan. polip hidung kecil biasanya dapat dideteksi sewaktu
endoskopi hidung rutin. Jarang menimbulkan masalah-masalah yang
berarti. Namun, polip hidung yang lebih besar biasanya menimbulkan
gejala-gejala sebagai berikut:
1) penyumbatan hidung karena indera perasa berhubungan dengan
indra penciuman, maka penderita juga bisa mengalami penurunan
fungsi indera perasa dan penciuman;
2) rasa sakit dan tidak nyaman di bagian wajah atau kening;
3) hilangnya indera penciuman (hiposmia);
4) bau busuk dari hidung;
5) menyebabkan penyumbatan drainase lendir dari sinus ke hidung di
mana mengakibatkan tertimbunnya lendir di dalam sinus. Lendir
yang terlalu lama berada di dalam sinus bisa mengalami infeksi dan
akhirnya terjadi sinusitis;
6) hidung tersumbat yang menetap dan tidak hilang timbul. Semakin
lama, keluhan dirasakan semakin berat. Pasien sering
mengeluhkan terasa ada massa didalam hidung dan sukar
membuang ingus;
7) penyumbatan telinga karena penyumbatan pembuluh yang
menghubungkan hidung ke telinga;
8) sering bersuara sengau dan bernafas melalui mulutnya;
9) snoring (ngorok), gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup;
10) polip sangat besar yang tak diobati mungkin dapat mengubah
bentuk hidung.
Bagi penderita biasanya mengeluhkan hidung tersumbat,
penurunan indra penciuman, dan gangguan pernafasan. Akibatnya
penderita bersuara sengau. Polip biasanya tumbuh di daerah dimana
selaput lendir membengkak akibat penimbunan cairan, seperti daerah
di sekitar lubang sinus pada rongga hidung. Ketika baru terbentuk,
sebuah polip tampak seperti air mata dan jika telah matang, bentuknya
menyerupai buah anggur yang berwarna keabu-abuan.
d. Patofisiologi
Reaksi hipersensitif
Polip hidung
Hipertermi Nyeri
Pertukaran O2 dan
CO2 terganggu Penurunan nafsu
makan
O2 kejaringan
Defisit nutrisi
Takikardi
b) Social Rehabilitation
Rehabilitasi yang bertujuan untuk adaptasi awal terhadap
perubahan tubuh sebagai bukti dengan partisipasi dalam aktivitas
perawatan diri dan interaksi positif dengan orang lain bertujuan
untuk tidak menarik diri dari kontak sosial.
3. Sinusitis
a. Definisi
Sinutis merupakan terjadinya inflamasi pada dinding sinus paranasal.
Namun, istilah yang digunakan sekarang adalah rhinosinusitis
dikarenakan mukosa pada hidung terlibat secara bersamaan dan jarang
terjadinya sinusitis tanpa didahului dengan rhinitis. Rhinosinusitis dapat
diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi (maksilaris, ethmoidalis,
frontalis dan sphemoidalis), organisma patogenik (virus, bakteri,
jamur), adanya komplikasi (orbitalis, intracranial) dan faktor yang
mempengaruhinya (polip nasal, imunosupresan, kelainan anatomi).
Sinusitis akut adalah diagnosis klinis yang perlu dikenalpasti
perbedaannya dengan rhinitis alergi atau vasomotor dan infeksi saluran
pernafasan atas yang lain. Sinusitis kronik merupakan penyakit kronik
yang cukup sering dan terjadi pada semua lapisan usia. Proses
peradangan ada sinus paranasal persisten selama 12 minggu atau lebih.
b. Etiologi
Beberapa etiologi dan faktor predisposisi terjadinya sinusitis antara
lain Infeksi saluran nafas atas akibat virus yang bisa diikuti infeksi
bakteri, infeksi pada gigi rahang atas, asma , kelainan anatomi seperti
deviasi septum atau hipertrofi konka, beberapa hal yang menyebabkan
seseorang lebih rentan terhadap infeksi diantaranya : Rhinitis alergi,
rhinitis hormonal, polip hidung, defisisensi imun (misalnya :pasien HIV)
dan beberapa hal yang menghambat drainase saluran sinus (misalnya :
sumbatan kompleks osteomeatal).
Hipertrofi adenoid dan infeksi tonsil merupakan faktor penting
penyebab sinusitis pada anak-anak. Berbagai faktor fisik, kimia, saraf,
hormonal dan emosional dapat mempengaruhi mukosa hidung, demikian
juga mkosa sinus dalam derajat yang lebih rendah. Defisiensi gizi,
defisiensi imun, dan penyakit sistemik umum perlu dipertimbangkan
dalam etiologi sinusitis. Perubahan dalam faktor-faktor lingkungan,
misalnya dingin, panas, kelembaban, dan kekringa, demikian pula
polutan atmosfer termasuk asap tembakau, dapat merupakan predisposisi
infeksi.
Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri atau jamur.
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran nafas atas; virus
yang umumnya menyerang hidung dan nasofaring juga menyerang sinus.
Mukosa sinus paranasal berjalan kontinu dengan mukosa hidung, dan
penyakit virus yang menyerang hidung perlu dicurigai dapat meluas ke
sinus. Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada infeksi virus
menciptakan suatu lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi
bakteri. Infeksi ini sering melibatkan lebih dari satu bakteri. Dalam
penelitian sinusitis bakteri, specimen sekresi sinus diambil dengan pungsi
pada antrum maksilaris untuk mengurangkan resiko kontaminasi.
Dikatakan sekresi sinus itu terinfeksi pabila ditemukan koloni bakteri 10 4
unit per mililiter hasil dari aspirasi. Sinusitis akut biasanya terhasil dari
infeksi saluran nafas sebelumnya. Jika infeksi yang terjadi disebabkan
virus, biasanya dari golongan rhinovirus, coronavirus dan influenza
virus. Selain itu, virus yang dapat menyebabkan infeksi pada sinus dapat
juga dikarenakan oleh adenovirus, human para influenza virus, human
respiratory syncytial virus, enterovirus selain daripada rhinovirus, dan
metapneumovirus. Jika infeksi terjadi dikarenakan bakteri, biasanya
bakteri yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenza dan Moraxellacatarrhalis. Sampai saat ini, Haemophilus
influenza menjadi bakteri tersering yang menginfeksi sinus. Namun,
sinusitis juga dapat dikarenakan infeksi jamur dan seringnya pada
sinusitis kronik. Jamur yang sering didapatkan adalah Aspergillus sp,
Cryptococcus neoformans, Candida sp, Sporothrix schenckii dan
Alternaria sp.
c. Patofisiologi
Sinus pada umumnya daerah steril. Sekresi yang diproduksi di
dalam sinus akan dialirkan keluar oleh funsi siliar melalui ostia ke rongga
hidung. Pada indivisu yang sehat, aliran sekresi pada sinus sering satu
arah yaitu ke arah ostia untuk mengelakkan arah balik yang boleh
mengkontaminasi sinus. Kebanyakan individu, sinum maksilaris
memiliki satu ostium yang diameternya berukuran kira-kira 2.5 mm dan
luasnya 5 mm2 yang menjadi satu-satunya aliran keluar ubtuk drainase.
Namun pabila terjadi peradangan sama ada akibat alergi, bahan kimia,
tau virul, pembukaan ini akan menjadi edema dan menuyumbat sister
drainase pada sinus. Sekresi yang stasis dalam sinus dan penumbatan
pembukaan ostia mengakibatkan tekanan negative di sinus sehingga
rentan terhadap infeksi bakteri. Pabila mucus yang terkumpul di sinus
terinfeksi, akan menyebabkan terjadinya sinusitis.
Selain itu, mekanisma lain yang menyebabkan sinusitis adalah
dikarenakan sinus berhubungaan dengan ronga hidung, mengakibatkan
kolonisasi bakteri pada nasofaring akan mengkontaminasi sinus yang
umumnya steril. Bakteri ini biasanya dibuang oleh pergerakan
mukosiliar. Namun pabila terjadi perubahan pada klirens mukosiliar ini,
bakteri akan menginokulasi dan infeksi akan terjadi sehingga
terbentuknya sinusitis.
Secara dasarnya, patofisiologi rhinosinusitis ini terjadi dikarenakan
3 faktor:
1) Penyumbatan drainase sinus
Penyumbatan pada ostia sinus menghambat drainase
mukus. Ostia ini dapat terjadi penyumbatan akibat dari
pembengkakan atau penyebab lokal seperti trauma atau rhinitis dan
boleh juga dikarenakan proses inflamasi yang disebabkan beberapa
masalah sistemik seperti kelainan imun. Penyakit sistemik yang
menurunkan aktivitas klirens mukosiliar adalah seperti cystic
fibrosis, alergi saluran nafas dan primary ciliary dyskinesia
(Kartegener syndrome). Pasien dengan imunodefisiensi juga
mempunyai resiko tinggi terjadinya sinusitis akut. Penyumbatan
mekanikal seperti adanya polip hidung, benda asing, deviasi
septum atau tumor juga dapat menyumbat ostia. Variasi anatomi
yang mempersempit kompleks ostiomeatal seperti deviasi septum,
paradoxical middle turbinates dan Haller cells menyebabkan
mukosa di daerah ini menjadi sensitif dan inflamasi menyebabkan
penyumbatan.
2) Kegagalan fungsi siliar
Drainase di sinus tidak dipengaruhi gravitasi tapi
pergerakan mukosiliar. Koordinasi metachronous sel epitel
kolumnar bersilia menggerakkan isi sinus ke ostia sinus. Adanya
kerusakan pada silia akan mengakibatkan akumulasi cairan di
sinus. Fungsi siliar yang kurang dapat disebabkan oleh kehilangan
sel epitel yang bersilia akibat daripada aliran udara yang tinggi,
virus, bakteri, atau toksin silia lingkungan, mediator peradangan,
parut, persentuhan antara 2 permukaan mukosa dan Kartegener
syndrome.
Aktivitas siliar dapat diperngaruhi oleh faktor genetik
seperti Kartegener syndrome. Kartegener syndrome terkait dengan
imobilisasi silia dan retensi sekresi yang memberi predisposisi
terjadinya infeksi pada sinus. Fungsi siliar juga dapat menurun
pada kondisi pH yang rendah, anoksia, asap rokok, toksik bahan
kimia, dehidrasi dan obat-obatan seperti antikolinergik dan
antihistamin. Pajanan terhadap toksin bakteri juga dapat
menurunkan fungsi siliar. Kira-kira 10% kasus sinusitis akut terjadi
hasil daripada inokulasi bakteri yang langsung pada sinus. Abses
gigi atau tindakan yang menghubungkan komunikasi antara rongga
mulut dan sinus dapat menimbulkan sinusitis. Tambahan pula,
aktivitas siliar dapat dipengaruhi dari infeksi virus.
Beberapa faktor lain yang dapat mempengaaruhi kegagalan
fungsi siliar adalah udara dingin yang memberi tekanan pada epitel
siliar. Hal ini mengakibatkan kegagalan pergerakan siliar sehingga
terjadi retensi sekresi pada rongga sinus. Untuk mengatasi masalah
ini, sistem tubuhh sendiri akan menurunkan produksi sekresi oleh
lapisan mukus di sinus pabila seseorang individu menghirup udara
kering. Lesi massa di saluran hidung dan sinus seperti polip, benda
asing, tumor dan edema mukosa dari masalah rhinitis akan
menyumbat ostia sinus sehingga menjadi faktor terhadap retensi
sekresi dan rentan terhadap infeksi. Trauma wajah atau inokulasi
yang luas saat berenang dapat juga mengakibatkan sinusitis.
Konsumsi alkohol juga dapat menyumbang terjadinya
pembengkakan pada mukosa di hidung dan sinus sehingga
menghambat drainase mukus.
3) Perubahan kualitas dan kuantiti mucus
Sekresi sinonasal memberi peran penting terhadap
patofisiologi terjadinya rhinosinusitis. Mukus yang melapisi sinus
paranasal mengandungi imunoglobulin mukoglikoprotein dan sel
radang. Mukus ini terdiri daripada dua lapisan yaitu lapisan serosa
dalam dan lapisan serosa luar yang lebih kental. Keseimbangan
mukus ini penting dalam menghasilkan klirens mukosiliar yang
sempurna. Sekiranya komposisi mukus ini berubah, misalnya
mukus yang dihasilkan terlalu kental seperti pada kasus cystic
fibrosis, mengakibatkan transportasi sekresi ke arah ostia akan
perlahan sehingga terjadi retensi yang menyebabkan lapisan mukus
ini semakin kental. Akhirnya, terjadilah retensi akumulasi mukus
yang sangat tebal dan kental ada suatu periode tertentu yang
mengarah ke arrah penyumbatan ostia dan berkembangnya
sinusitis. Namun pada kondisi sekresi mukus yang berkurang atau
kelembapan pada sinus berkurang, di mana kelenjar mukus atau sel
goblet tidak dapat mengkompensasi untuk menghasilkan sekresi,
dapat menyebabkan mukus semakin kental dan lapisan serosa
dalam akan menjadi sangat tipis sehingga lapisan serosa luar dapat
kontak dengan silia yang mengakibatkan terganggunya fungsi silia.
Produksi mukus yang berlebihan dapat merusak sistem klirens
mukosiliar yang akhirnya terjadi retensi sekresi di sinus.
d. Manifestasi Klinis
Keluhan utama sinusitis akut adalah nyeri atau nyeri tekan
pada wajah, hidung tersumbat, serta ingus purulen yang bisa
berwarna hijau atau kekuningan dan seringkali turun ke tenggorok
(post nasal drip) yang menyebabakan sesak dan batuk pada anak.
Dapat juga disertai gejala sistemik seperi demam dan lesu, dan
gejala lainnya seperti sakit kepala, nafas berbau,
hipoosmia/anosmia. Pada sinusitis maksila dapat disertai nyeri alih
ke gigi dan telinga; sinusitis ethmoid menyebabkan nyeri disekitar
atau diantara kedua mata dan pada sisi hidung; Sinusitis sphenoid
dapat menyebabkan nyeri dibelakang mata, vertex, oksipital dan
daerah mastoid; sinusitis frontal menyebabkan nyeri di dahi atau
seluruh kepala. Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit
didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala – gejala di
bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik
muara tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-
bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma
yang meningkat dan sulit diobati.
Berdasarkan waktu, konsensus tahun 2004 membagi
menjadi sinusitis akut dengan batas sampai 4 minggu, sinusitis
subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan sinusitis kronik jika
lebih dari 3 bulan. Berdasarkan penyebabnya, dibagi menjadi
sinusitis rhinogen apabila penyebabnya infeksi pada hidung, dan
sinusitis dentogen apabila penyebabnya infeksi pada gigi.
e. Penatalaksanaan
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan,
mencegah komplikasi dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip
pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan
ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
1) Tindakan non-operasi
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis
akut bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan
mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang
dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan
kuman telah resisten atau memproduksi beta laktamase, maka dapat
diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2.
Pada sinusitis, antibiotic diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala
klinik sudah hilang.
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman
gram negatif dan anaerob. Selain dekongestan oral dan topical, terapi
lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik,
steroid oral/topical, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau
pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat
antikolinergiknya dapat menyebabkan secret jadi lebih kental. Bila
ada alergi berat, sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2.
Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga
merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat
dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.
2) Tindakan Operasi
Rinosinusitis kronik yang tidak sembuh setelah pengobatan
medikamentosa adekuat dan optimal, sinusitis kronik disertai kista
atau kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya komplikasi
sinusitis serta sinusitis jamur, serta adanya obstruksi KOM merupakan
indikasi tindakan bedah. Beberapa macam tindakan bedah yang dapat
dipilih untuk dilakukan, mulai dari pungsi dan irigasi sinus maksila,
operasi Caldwell Luc, etmoidektomi intra- dan ekstranasal, trepanasi
sinus frontal dan bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF). Bedah
sinus endoskopik fungsional (BSEF) merupakan langkah maju dalam
bedah sinus. Jenis operasi ini menjadi pilihan karena merupakan
tindakan bedah invasif minimal yang lebih efektif dan fungsional.
Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan
yang sangat terang sehingga saat operasi, kita dapat melihat lebih jelas
dan rinci adanya kelainan patologi di rongga-rongga sinus. Jaringan
patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium
sinus yang tersumbat diperlebar. Dengan ini drenase dan ventilasi
sinus akan lancar kembali secara alamiah, jaringan normal tetap
berfungsi dan kelainan di dalam sinus-sinus paranasal akan sembuh
dengan sendirinya.
4. Hypogeusia
a. Definisi
Penyakit Hypogeusia adalah menurun rasa dan mencegah rasa
zat manis, asam , pahit atau asin . Perubahan persepsi rasa terkait
dengan kecenderungan terhadap penyakit. Misalnya, asupan garam
yang berlebihan , tekanan darah tinggi dan asupan gula tinggi untuk
kelebihan berat badan dan obesitas berkembang . Rasa rasa berfokus
pada struktur bawang berbentuk terletak di lidah dan di tempat lain di
mulut disebut papila atau selera . Lebih dari 100 sel reseptor rasa
dikelompokkan dalam setiap tombol sensorik . Pada lidah , tombol ini
dihubungkan oleh cabang saraf wajah dan glossopharyngeal ,
membawa pesan rasa ke otak . Deteksi asin dan asam yang diperlukan
untuk mencapai keseimbangan asam-basa tubuh . Bitter membantu
mendeteksi racun dan racun yang terkandung dalam makanan ,
makanan manis diarahkan untuk mendeteksi energy. Sementara
umami ( monosodium glutamat digunakan dalam makanan Jepang)
terkait dengan deteksi makanan kaya protein
Kehilangan sensoris mempengaruhi orang-orang dalam derajat
yang berbeda dan pada usia yang berbeda . Genetika , lingkungan dan
gaya hidup , bagian dari penurunan kemampuan sensorik . Perubahan
dalam kapasitas rasa rasa , bau dan sentuhan memimpin berkaitan
dengan usia dengan nafsu makan yang buruk , pilihan makanan yang
buruk dan konsumsi yang lebih rendah . Meskipun beberapa derajat
hypogeusia dikaitkan dengan usia , beberapa perubahan juga karena
penggunaan narkoba . Dalam rasa dewasa yang lebih tua dan Bau
tidak sepenuhnya hilang , namun batas deteksi dinaikkan.
5. Carcinoma lidah
a. Definisi
Karsinoma sel skuamosa adalah tumor ganas yang berasal dari jaringan
epithelium dengan struktur sel yang berkelompok, mampu berinfiltrasi
melalui aliran darah dan limfatik yang menyebar keseluruh tubuh.
Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis kanker yang paling sering
terjadi di rongga mulut yaitu sekitar 90-95% dari total keganasan pada
rongga mulut. Lokasi Karsinoma sel skuamosa rongga mulut biasanya
terletak pada lidah (ventral, dan lateral), bibir, dasar mulut, mukosa
bukal, dan daerah retromolar. Karsinoma sel skuamosa pada lidah
merupakan tumor ganas yang berasal dari mukosa epitel rongga mulut
dan sebagian besar merupakan jenis karsinoma epidermis. Kanker lidah
adalah suatu neoplasma malignant yang timbul dari jaringan epitel
mukosa lidah dengan sel berbentuk squamous cell carcinoma (sel epitel
gepeng berlapis) dan terjadi akibat rangsangan menahun, juga beberapa
penyakit- penyakit tertentu (premalignant). Kanker ganas ini dapat
menginfiltrasi ke daerah sekitarnya, di samping itu dapat melakukan
metastase secara limfogen dan hematogen. Karsinoma sel skuamosa lidah
berkisar antara 25 sampai 50 % dari semua kanker ganas didalam mulut.
Dari 441 kasus karsinoma sel skuamosa lidah yang dilaporkan, 25 %
terjadi pada wanita dan 75% terjadi pada pria dengan umur rata-rata 63
tahun.
b. Etiologi
Penyebab kanker lidah secara jelas belum dapat diketahui, para ahli
belum dapat memberikan pernyataan yang tegas. Namun ada beberapa
dugaan bahwa kanker lidah terjadi karena ada hubungan dengan beberapa
gangguan tertentu atau penyakit tertentu yang bersifat multi faktorial dan
menyangkut faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik adalah agen
eksternal seperti tembakau, alkohol dan paparan sinar ultraviolet.
Sedangkan faktor intrinsik termasuk keadaan sistemik seperti genetik,
malnutrisi dan defisiensi zat besi.
c. Patofisiologi
Squamous Cell Carcinoma pada lidah sering timbul pada daerah
epithelium yang tidak normal, tetapi selain keadaan tersebut dan
mudahnya dilakukan pemeriksaan mulut, lesi sering tumbuh menjadi lesi
yang besar sebelum pasien akhirnya datang ke dokter. Secara histologis
tumor terdiri dari lapisan atau kelompok sel-sel eosinopilik yang sering
disertai dengan kumparan keratinasi. Lidah mempunyai susunan yang
kaya dengan pembuluh lymphe, hal ini akan mempercepat terjadinya
proses metastase ke kelenjar getah bening regioner dan dimungkinkan
oleh susunan pembuluh lymphe yang saling berhubungan kanan dan kiri.
Tumor yang agak jinak cenderung membentuk massa papiliferus dengan
penyebaran ringan kejaringan didekatnya. Tumor ganas menyebar cukup
dalam secara cepat ke jaringan didekatnya dengan penyebaran
permukaan yang kecil, terlihat sebagai ulser nekrotik yang dalam.
Sebagian besar lesi yang terlihat terletak diantara kedua batas tersebut
dengan daerah nekrosis yang dangkal pada bagian tengah lesi tepi yang
terlipat serta sedikit menonjol dan infiltrate yang dalam. Walaupun
terdapat penyebaran lokal yang besar, tetapi metastasis biasanya berjalan
melalui lymph node cervikal. Kemudian metastase haemato genus terjadi
pada tahap selanjutnya.
Faktor luar Faktor Herediter Faktor Non
Herediter
Rokok, alkohol, Virus (papiloma yang ditularkan
infeksi kronis melalui hubungan sex), parasit, paparan sinar UV
dan trauma dan bakteria
klinis zat-zat karsinogen
Rangsangan karsinogen tertampung dan
Sariawan yang pada sel squamos carcinoma berpoliferasi secara
tak kunjung pada mulut tidak terkontrol
hilang pada mukosa mulut
Plak keratosis, ulserasi, tepi lesi
Pembengkakan yang indurasi, kemerahan pada kanker lidah
organ gusi, rongga mulut mengenai radix linguae
bibir dan lidah asimptomatis
Kesulitan menelan, lidah mati
menyumbat mati rasa dan kaku, tidak kanker mengenai
jalan nafas mampu mengontrol air liur corpus linguae,
terihat putih-putih
Pola Nafas Kurang asupan pada lidah yang tidak
Tidak Efektif bisa dihilangkan
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan terbentuk ulkus yang
mulai berdarah pada
lidah
Nyeri (akut)
d. Manifestasi klinis
Tanda awal umumnya berupa ulkus tanpa nyeri yang tidak sembuh-
sembuh. Kemudian membesar dan menekan atau menginfiltrsi jaringan
sekitar yang megakibatkan nyeri lokal, otalgia ipsilateral dan nyeri
mandibula (Suyatno, 2010). Infiltrasi ke otot-otot ini mengakibatkan
gerakan lidah terbatas sehingga proses menelan bolus makanan dan
bicara terganggu. Kanker ini dapat menginfiltrasi jaringan sekitarnya
seperti dasar mulut (floor of mouth, FOM), dasar lidah dan tonsil
(Suyatno, 2010. Bedah Onkologi Diagnostik dan Terapi. Jakarta: Sagung
Seto). Sejalan dengan kemajuan kanker pasien dapat mengeluhkan nyeri
tekan, kesulitan mengunyah, menelan, dan berbicara, batuk dengan
sputum bersemu darah atau terjadi pembesaran nodus limfe servikal.
(Baughman Diane C, 2010)
e. Penataklaksanaan
1) Penatalaksanaan farmakologi Typhonium Flagelliforme / Keladi
Tikus ekstrak dan herbal lainnya menggabungkan membantu dalam
detoksifikasi sistem darah. Typhonium Plus mengandung ribosom
dalam bertindak protein (RIP), anti oksidan, dan anti kurkumin. Sel
bersama-sama dipicu pada gilirannya menghasilkan mediator yang
merangsang dan memperkuat sel-sel lain dari sistem kekebalan
tubuh untuk memerangi sel-sel kanker. Sejak pertumbuhan sel
kanker adalah reversibel diberikan stimulus kimia yang benar dan
lingkungan, penjelasan ini tidak terlalu mengada-ada. Typhonium
Plus merupakan kombinasi herbal selektif ekstrak yang dalam karya
sinergi Typhonium Flagelliforme penguatan / Keladi Tikus.
2) Penatalaksanaan non farmakologi
a) Radio Therapy Radio therapy dilakukan bila : Tumor
Inoperable, T3 atau lebih, N3, M0- M1.
b) External X ray Dengan memasukkan jarum radium sel-sel
carcinoma ikut masuk kedalam. Dapat digunakan dengan cara
lain yaitu : Penderita dinarcose, kemudian memasukkan
polyethtylene catherter dan melalui charteter ini dimasukkan
benang yang diikat dengan radium maka radium ini akan
tersebar secara merata, bila sudah selesai benang ditarik keluar
cara ini disebut application.
3) Radon seeds Dengan biji-biji radon yang diletakkan sekitar
cartinoma
6. Tuli konduktif
a. Definisi
Tuli konduktif terjadi ketika suara tidak dapat melewati saluran
telinga luar dan dalam karena adanya penyumbatan. Sumbatan biasanya
disebabkan oleh kotoran yang menumpuk di dalam telinga. Biasanya tuli
terjadi pada salah satu telinga yang mengalami penyumbatan. Kondisi ini
menyebabkan penderita mendengar suara yang seolah-olah teredam.
Tuli konduktif adalah gangguan pendengaran di mana suara tidak
dapat masuk ke telinga bagian dalam. Telinga terdiri dari tiga bagian
yaitu telinga bagian luar, tengah, dan dalam. Tuli konduktif terjadi ketika
suara tidak bisa melewati telinga luar dan tengah.
b. Etiologi
Tuli konduktif dapat terjadi apabila terdapat lesi pada telinga luar
maupun telinga tengah yang dapat menyebabkan gangguan penghantaran
/ konduksi gelombang suara untuk menggetarkan gendang telinga atau
membran timpani (Muhaimeed, dkk, 2002). Beberapa contoh kelainan
pada telinga luar yang dapat menyebabkan terjadinya tuli konduktif
adalah atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna
sirkumskripta, serta osteoma liang telinga. Sedangkan, contoh-contoh
kelainan pada telinga tengah yang mampu menyebabkan terjadinya tuli
konduktif adalah tuba katar atau sumbatan tuba eustachius, otitis media,
otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum, serta dislokasi tulang-
tulang pendengaran (Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007).
Menurut penelitian, tuli konduktif banyak dijumpai pada
orangorang suku Aborigin di Australia. Tuli konduktif pada anak-anak
suku Aborigin paling banyak disebabkan oleh infeksi telinga. Tuli
konduktif pada orang dewasa suku Aborigin biasanya merupakan
kelanjutan / sequelae dari infeksi telinga pada masa anak-anak yang tidak
diatasi dengan baik. Akibat dari banyaknya kejadian tuli konduktif pada
suku ini, akhirnya menyebabkan timbulnya budaya “absence and
avoidance”. (Howard, 2007)
c. Patofisiologi
Saat terjadi trauma akan menimbulkan suatu peradangan bisa saja
menimbulkan luka, nyeri kemudian terjadi penumpukan serumen atau
otorrhea. Penumpukan serumen yang terjadi dapat mengakibatkan
transmisi bunyi atau suara yang terganggu sehingga penderita tidak dapat
mempersepsikan bunyi atau suara yang di dengarnya.
1) Miopia
miopia yaitu (1) kekuatan optik mata yang tinggi biasanya karena
miopia aksial, (2) radius kurvatura kornea dan lensa lebih besar ,
2) Hipermetriopia
lain.
(hipermetropia kurvatura).
b. Etiologi
c. Patofisiologi
d. Manifestasi klinis
e. Penatalaksanaan
a. Definisi
b. Etiologi
diantaranya :
terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau paparan alergen dari
auditorius eksternus dan dari udara luar dapat dengan bebas masuk
sikatrik.
d. Manifestasi klinis
Komplikasi :
Pencegahan
adalah :
1) Pencegahan ISPA pada bayi dan anak-anak
2) Pemberian ASI minimal selama 6 bulan
3) Penghindaran pemberian susu di botol saat anak berbaring
4) Dan penghindaran pajanan terhadap asap roko
5) Berenang kemungkinan besar tidak meningkatkan resiko OMA
Daftar Pustaka