Anda di halaman 1dari 25

Referat

PATOFISIOLOGI BANGKITAN/KEJANG

Oleh :
Anastasya Suwu - 2101410100
Masa KKM : 27 Maret 2023 – 22 April 2023

Supervisor Pembimbing :
dr. Finny Warouw, M.Kes, Sp.N(K)

BAGIAN / SMF NEUROLOGI


BLU RSUP Prof. R.D. Kandou
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Referat dengan Judul :

“PATOFISIOLOGI BANGKITAN/KEJANG”
Telah dikoreksi, dibacakan, dan disetujui pada tanggal April 2023

Supervisor Pembimbing

dr. Finny Warouw, M.Kes, Sp.N(K)

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN................................................................................ i

DAFTAR ISI....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 2

A. Definisi............................................................................................... 2

B. Klasifikasi........................................................................................... 3

C. Patofisiologi Bangkitan/Kejang.......................................................... 4

D. Patofisiologi Kejang Epileptik............................................................ 7

E. Peranan Mitokondria Pada Patofisiologi Kejang................................ 11

F. Perubahan Fisiologis Pada Kejang..................................................... 12

G. Neurotransmiter Pada Epilepsi........................................................... 13

H. Perbedaan Patofisiologi Kejang Fokal dan Kejang Umum................ 17

BAB III PENUTUP............................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Kejang mewakili aktivitas listrik otak yang tidak terkendali dan abnormal yang

dapat menyebabkan perubahan pada tingkat kesadaran, perilaku, ingatan, atau

perasaan. Geger otak konvulsif, sinkop konvulsif, gangguan gerakan, kekakuan,

kejadian terkait tidur, atau spell non-epilepsi psikogenik semuanya ada dalam

diagnosis banding suatu peristiwa. Kejang dapat diklasifikasikan sebagai parsial atau

umum. Pada kejang parsial, jenis kejang yang paling umum pada orang dewasa, satu

area korteks aktif terlebih dahulu dan dapat bermanifestasi melalui gejala sederhana

seperti fenomena motorik atau sensorik. Kejang umum terjadi akibat aktivasi kortikal

difus pada awal kejang atau generalisasi aktivitas kejang parsial.1

Kejang adalah perubahan fungsi neurologis paroksismal yang disebabkan oleh

pelepasan neuron yang berlebihan dan hipersinkron di otak. "Kejang epilepsi"

digunakan untuk membedakan kejang yang disebabkan oleh penembakan saraf

abnormal dari kejadian nonepileptik, seperti kejang psikogenik. "Epilepsi" adalah

kondisi kejang berulang yang tidak diprovokasi. Epilepsi memiliki banyak penyebab,

masing-masing mencerminkan disfungsi otak yang mendasarinya. Kejang yang

dipicu oleh gangguan reversibel (misalnya demam, hipoglikemia) tidak termasuk

dalam definisi epilepsi karena merupakan kondisi sekunder yang berumur pendek,

bukan keadaan kronis.2

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kejang (seizure) didefinisikan sebagai episode terbatas dari gangguan fungsi

serebral yang disebabkan oleh pelepasan listrik yang abnormal, berlebihan, dan

sinkron dalam kelompok neuron kortikal. Berbagai fenomena klinis dapat terlihat

melalui observasi, atau kejang mungkin subklinis dan dengan demikian tetap

tidak terlihat secara klinis. Secara teoritis, setiap perilaku atau pengalaman fungsi

serebral dapat mewakili aktivitas kejang, tetapi dalam praktiknya hanya pola

tertentu yang sering terjadi yang memungkinkan skema klasifikasi.3

Kejang/konvulsi (convulsion) dapat digunakan secara klinis untuk merujuk

pada manifestasi motorik dari aktivitas listrik abnormal dan identik dengan kejang

motorik umum. Kejang nonkonvulsif mengacu pada aktivitas kejang yang tidak

melibatkan gejala motorik. Tonik mengacu pada kekakuan otot yang

berkelanjutan yang biasanya menyertai banyak kejang. Klonik berarti gerakan

ritmis atau menyentak otot. Dengan demikian, tonik-klonik secara akurat

menggambarkan kejang dengan kekakuan awal tubuh dan ekstremitas diikuti oleh

kontraksi ritmik kelompok otot. Aura umumnya digunakan untuk merujuk pada

gejala atau sensasi subyektif firasat apa pun yang dialami pasien sebelum kejang.

Pada kenyataannya, aura mewakili kejang fokal dan deskripsi aura dapat

4
memberikan informasi lokalisasi yang berharga dari area otak tempat kejang

umum dimulai.3

Epilepsi adalah salah satu gangguan neurologis kronis yang paling umum,

yang ditandai dengan kejang otak spontan yang berulang. Untuk beberapa jenis

epilepsi, etiologinya tidak diketahui dan mungkin melibatkan predisposisi

genetik, sedangkan jenis epilepsi lainnya bersifat sekunder akibat penyakit lain

(acquired epilepsy), atau kerusakan otak akut, seperti stroke, status epilepticus

(SE), cedera kepala, atau paparan terhadap zat neurotoksik.4

Sindrom epilepsi mengacu pada sekelompok karakteristik klinis yang secara

konsisten terjadi bersamaan, dengan jenis kejang yang serupa, usia onset, temuan

EEG, faktor pemicu, genetika, riwayat alami, prognosis, dan respons terhadap

obat antiepilepsi (OAE).2

B. Klasifikasi

Kejang bervariasi sehubungan dengan keterlibatan dan tingkat keparahan

neurologis, mulai dari perubahan minimal atau "episode menetap" hingga

kemerah-merahan, sentakan otot umum dan kehilangan kesadaran, yang dapat

mengancam jiwa. Kejang melibatkan disfungsi saraf. Seringkali, tidak ada

perubahan struktural pada sel-sel otak.5

The International League Against Epilepsy (ILAE) telah merilis versi 2017

klasifikasi tipe kejang (manuskrip yang menyertai). Revisi klasifikasi yang telah

digunakan dalam bentuk modifikasi sejak tahun 1981 dilatarbelakangi oleh

5
beberapa faktor. Klasifikasi kejang dimulai dengan riwayat elisitasi atau

pengamatan gejala dan tanda tertentu (kadang-kadang disebut sebagai semiologi

kejang) yang diketahui terkait dengan kejang umum.6

Gambar 1. Klasifikasi Tipe Kejang Berdasarkan ILAE 2017.6

C. Patofisiologi Bangkitan/Kejang

Kejang dapat dikonseptualisasikan terjadi ketika ada distorsi keseimbangan

normal antara eksitasi (E) dan inhibisi (I) di otak. Ketidakseimbangan E/I ini

dapat diakibatkan oleh perubahan pada berbagai tingkat fungsi otak, dari gen dan

kaskade pensinyalan subselular hingga sirkuit saraf yang tersebar luas. Faktor-

faktor yang mengubah keseimbangan E/I dapat bersifat genetik atau didapat.

6
Patologi genetik yang mengarah ke epilepsi dapat terjadi di mana saja dari tingkat

sirkuit (misalnya, konektivitas sinaptik abnormal pada displasia kortikal) ke

tingkat reseptor (misalnya, subunit reseptor asam g-aminobutirat [GABA]

abnormal pada sindrom Angelman) hingga fungsi saluran ionik abnormal

(misalnya, mutasi kanal kalium pada benign familial neonatal epilepsy [BFNE]).

Demikian pula, cedera serebral yang didapat dapat mengubah fungsi sirkuit

(misalnya, perubahan struktural sirkuit hipokampus setelah kejang demam

berkepanjangan atau trauma kepala). Otak yang sedang berkembang sangat rentan

terhadap kejang karena berbagai alasan fisiologis. Bahkan di otak yang

berkembang normal, fungsi sinaptik rangsang berkembang sebelum fungsi

sinaptik penghambatan, mendukung peningkatan eksitasi dan bangkitan kejang.

Selain itu, di awal kehidupan, neurotransmitter GABA menyebabkan eksitasi

daripada penghambatan. Pengamatan ini sebagian menjelaskan mengapa otak

yang sangat muda sangat rentan terhadap kejang. Namun, kejang menyebabkan

lebih sedikit kerusakan struktural pada otak yang sedang berkembang

dibandingkan otak orang dewasa.2,3

7
Gambar 2. Konsep Eksitasi dan Inhibisi.

Di otak dewasa, GABA adalah neurotransmitter penghambat utama; Aktivasi

reseptor GABAA menghasilkan masuknya klorida, yang mengarah ke

hiperpolarisasi membran sel saraf dan menghambat penembakan potensial aksi.

Sebaliknya, aktivasi reseptor GABAA pada neuron yang belum matang

menghasilkan penghabisan bersih klorida, dengan depolarisasi membran yang

dihasilkan dan peningkatan penembakan potensial aksi. Perubahan efek GABAA

ini dimediasi oleh pergeseran perkembangan gradien klorida neuron melalui

transporter ion (NKCC1 dan KCC2). Orang mungkin menduga bahwa obat-

obatan GABAergik (barbiturat dan benzodiazepin) akan menyebabkan

perburukan kejang pada bayi baru lahir. Namun, sekitar setengah dari neonatus

menanggapi dosis awal fenobarbital. Hal ini menunjukkan bahwa agen

GABAergik menghambat (dan karena itu memiliki efek antiseizure) untuk

beberapa populasi neuron pada bayi baru lahir.7

8
Reseptor glutamat juga memiliki perubahan perkembangan yang mendukung

rangsangan di otak bayi baru lahir. Tidak hanya reseptor N-metil-D-aspartat

(NMDA) yang melimpah di otak yang sedang berkembang, tetapi juga

meningkatkan subunit NR2B, NR2D, dan NR3A, dibandingkan dengan neuron

dewasa. Kombinasi subunit ini menghasilkan peningkatan masuknya kalsium

yang dimediasi NMDAreceptor dan dianggap diperlukan untuk sinaptogenesis di

otak yang sedang berkembang tetapi juga untuk meningkatkan kerentanan

terhadap kejang. Konfigurasi reseptor AMPA pada bayi baru lahir (peningkatan

GluR1 dan penurunan subunit GluR2 dibandingkan dengan otak dewasa) juga

mendukung masuknya kalsium dan durasi arus yang lebih lama.7

D. Patofisiologi Kejang Epileptik

Suatu bangkitan epileptik dipicu oleh eksitasi sejumlah besar neuron yang

bersifat masif, spontan, dan tersinkronisasi sehingga terjadi aktivasi lokal atau

generalisata fungsi motorik (kejang), sensorik (mis. Parestesia, kilatan cahaya,

halusinasi, vertigo), otonom (mis. Saliva, berkeringat, vasodilatasi, piloereksi),

atau kognitif atau emosional kompleks (mis. Rasa cemas, deja vu, mikropsia).8,9

Fenomena pemicu bangkitan epileptik adalah depolarisasi peroksismal

masing-masing neuron. Hal ini disebabkan oleh aktivasi saluran Ca2+. Ca2+ yang

masuk membuka saluran Na sehingga menyebabkan de polarisasi masif, yang

diakhiri oleh aktivasi reseptor GABA dan membukanya saluran K+ dan Cl- yang

diaktifkan Ca2+. Selain itu, perambatan gelombang Ca2+ melalui taut celah sel-sel

9
glia ikut berperan menyebabkan epilepsi. Bangkitan epileptik terjadi ketika

neuron dalam jumlah memadai mengalami eksitasi. Penyebab atau faktor yang

mempermudah epilepsi antara lain adalah defek genetik (mis, saluran K +:

(KCNQ2, KCNQ3], saluran Na+ ISCNIA, SCN2A, SCNIB), saluran Ca 2+ tipe T,

saluran Cl- (CLCN2), saluran yang dikendalikan oleh hiperpolarisasi dan

nukleotida (HCN), reseptor GABA (GABRAI, GABRG2), reseptor kolinergik

[CHRNA4, CHRNB2], dan molekul sinyal [fosfatase laforin EPM2A, inhibitor

protease sistatin CSTB, microtubule-binding double cortin, leucine-rich, glioma

inactivated gene LGI1]), mal. formasi otak, trauma orak (jaringan parut glia),

tumor, perdarahan, abses, keracunan (mis., alko hol), infeksi, peradangan,

demanm (terutama pada anak), hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokal. semia,

uremia, gagal hati, kurang tidur, iskemia atau hipoksia, rangangan berulang (mis.,

cahaya berkedip-kedip), dan pembengkakan sel atau (yang lebih jarang)

penyusutan sel. Hiperventilasi dapat menyebabkan hipoksia otak, melalui

hipokapnia dan vasokonstriksi otak sehingga dapat memicu bangkitan. Insidens

bangkitan epileptik dapat meningkat atau menurun pada kehamilan.8,10

Eksitasi neuronal atau penyebaran eksitasi ke neuron-neuron sekitar

ditingkatkan oleh sejumlah mekanisme seluler:8

 Dendrit sel-sel piramid mengandung saluran Ca2+ berpintu-voltase yang

membuka pada depolarisasi sehingga meningkatkan depolarisasi. Pada lesi

neuron, ekspresi saluran Ca2+ ini meningkat. Saluran ini dihambat oleh Mg2+

10
sementara hipomagnesemia mendorong aktivitas saluran ini. Peningkatan

konsentrasi K+ ekstrasel mengurangi efluks K+ melalui saluran K+,

menyebabkan depolarisasi dan aktivasi saluran Ca2+.

 Dendrit sel piramid juga terdepolarisasi oleh glutamat dari sinaps eksitatorik.

Glutamat bekerja pada saluran kation yang impermeabel terhadap Ca 2+

(saluran AMPA) dan yang permeabel terhadap Ca 2+ (saluran NMDA). Saluran

NMDA normalnya dihambat oleh Mg2+. Namun, depelarisasi yang dipicu oleh

aktivasi saluran AMPA menghilangkan hambatan Mg2+ (kerjasama kedua

saluran). Karena itu, defisiensi Mg2+ dan depolarisasi mendorong aktivasi

saluran NMDA.

Potensial membran neuron normalnya dipertahankan oleh saluran K+.

Prakondisi untuk ini adalah gradien K+ yang adekuat di antara kedua sisi

membran sel. Gradien ini diciptakan oleh Na+/K+-ATPase. Tidak tersedianya

energi (mis., karena defisiensi O, atau hipoglikemia) mengganggu Na+/K+-

ATPase sehingga mendorong depolarisasi sel.8

Dalam keadaan normal depolarisasi dikurangi oleh neuron-neuron inhibitorik

yang dapat meng- aktifkan saluran K+ dan/atau Cl- melalui GABA. GABA

dihasilkan oleh glutamat dekarboksilase (GD), suatu enzim yang memerlukan

piridoksin (vitamin B) sebagai kofaktor. Defisiensi vitamin B, atau penurunan

afinitas enzim terhadap vitamin B, (defek genetik) mempermudah terjadinya

epilepsi. Pada aktivitas Cl- sitosol yang meningkat, stimulasi saluran Cl- oleh

11
GABA mendepolarisasi sehingga menyebabkan eksitasi neuron. Hiperpolarisasi

neuron talamus dapat mensensitisasi saluran Ca2+ tipe T sehingga mendorong

onset bangkitan absence.8

12
Gambar 3. Patofisiologi Bangkitan Epilepsi.8

13
E. Peranan Mitokondria Pada Patofisiologi Kejang

Kejang seringkali merupakan manifestasi utama dari penyakit saraf yang

disebabkan oleh mutasi patogen pada 169 gen yang sejauh ini telah diidentifikasi

mempengaruhi fungsi mitokondria. Mitokondria adalah produsen utama ATP

yang dibutuhkan untuk aktivitas listrik normal neuron dan transmisi sinaptik.

Selain itu, mereka memiliki peran sentral dalam sintesis neurotransmitter,

homoeostasis kalsium, pensinyalan redoks, produksi dan modulasi spesies

oksigen reaktif, dan kematian neuron. Hipotesis menghubungkan kegagalan

mitokondria dengan bangkitan kejang melalui perubahan homoeostasis kalsium,

oksidasi saluran ion dan pengangkut neurotransmitter oleh spesies oksigen reaktif,

penurunan potensi membran plasma neuron, dan pengurangan penghambatan

jaringan karena disfungsi interneuronal. Kejang, terlepas dari asalnya, merupakan

permintaan energi akut yang berlebihan di otak. Dengan demikian, disfungsi

mitokondria sekunder telah dijelaskan dalam berbagai gangguan epilepsi,

termasuk gangguan yang sebagian besar berasal dari non-mitokondria.11,12

Banyak kasus sindrom epilepsi yang ditentukan secara genetik terkait dengan

disfungsi mitokondria berasal dari mutasi patogen pada genom mitokondria. Kode

DNA mitokondria (mtDNA) untuk 13 subunit kunci dari kompleks fosforilasi

oksidatif dan 24 komponen RNA yang diperlukan untuk translasi mitokondria.

Mutasi pada lebih dari separuh gen ini telah dilaporkan pada pasien epilepsi (usus

buntu). Yang paling sering adalah mutasi 8344A→G pada gen MT-TK17

14
(pengkodean tRNALys mitokondria), yang berhubungan dengan sindrom epilepsi

mioklonik dengan serat merah kasar (MERRF).11,12

Gambar 4. Skema Hipotesis Peranan Mitokondria Terhadap Bangkitan.11

F. Perubahan Fisiologis Pada Kejang

1. Perubahan kardiovaskular, termasuk takikardia sinus iktal, bradiaritmia iktal

(termasuk asistol iktal, asistol postiktal, aritmia jantung peri-iktal lainnya

[yaitu, atrial flutter/atrial fibrilasi iktal dan postiktal]), fibrilasi ventrikel

postiktal;13

2. Manifestasi pernapasan, termasuk hiperventilasi iktal, desaturasi oksigen iktal,

hipoventilasi iktal, apnea sentral iktal, menyeka hidung postiktal, batuk peri-

15
iktal, manifestasi pernapasan lainnya (yaitu, laringospasme, tersedak

nokturnal, penyempitan laring);13

3. Gejala gastrointestinal, termasuk aura epigastrium, muntah iktal pada orang

dewasa, muntah iktal pada orang dewasa, muntah iktal pada anak-anak,

meludah peri-iktal, hipersalivasi iktal, perut kembung iktal, dorongan iktal

untuk buang air besar;13

4. Manifestasi kulit, termasuk ictal flushing, iktal pucat, iktal berkeringat, iktal

piloerection;13

5. Manifestasi seksual dan genital, termasuk aura seksual, aura genital,

otomatisme seksual, otomatisme genital;13

6. Gejala berkemih, termasuk desakan berkemih iktal dan buang air kecil,

minum air peri-iktal.13

G. Neurotrasmiter Pada Epilepsi

Neurotransmiter yang mengaktifkan transmisi sinyal antar neuron

mengerahkan efek penting pada patogenesis epilepsi. Transmisi impuls dalam

sistem saraf dimodulasi oleh neurotransmitter rangsang dan penghambatan.

Kejang merupakan hasil dari ketidakseimbangan relatif dalam stimulasi listrik.14

16
Gambar 5. Neurotransmiter Epilepsi.14

Berikut adalah neurotransmiter yang berperan dalam epilepsi.14

1. Amino-acid structured Neurotransmitter

a. Glutamat

Glutamat adalah salah satu neurotransmiter utama yang bertindak sebagai

stimulan di sistem saraf pusat (SSP) dan merupakan asam amino paling

banyak di otak. Glutamat terlibat dalam fungsi kognitif termasuk

pembelajaran dan memori, dan memainkan peran kunci dalam rangsangan

saraf dengan mengaktifkan transmisi sinyal cepat dalam sel astrosit dan

glial.

b. GABA

GABA adalah neurotransmitter penghambat utama di SSP. Molekul

dibentuk sebagai zwitterion (yaitu dengan gugus karboksil terdeprotonasi

dan gugus amino terprotonasi).

17
2. Monoamine-structured Neurotransmitter

a. Dopamin

Proses sentral epileptogenesis dianggap sebagai hasil dari

ketidakseimbangan antara inhibisi yang dimediasi GABA dan stimulasi

yang dimediasi glutamat. Mengumpulkan bukti menunjukkan bahwa

neurotransmiter lain mungkin juga memainkan peran penting. Dopamin

(DA, sebagai 3,4-dihidroksifenetilamin) adalah neuromodulator endogen

di sirkuit kortikal dan ganglia basal, milik keluarga katekolamin dan

fenetilamin. Dopamin adalah amina yang dibentuk oleh bahan kimia

prekursor L-DOPA, yang disintesis di otak dan ginjal.

b. Norepinefrin

Norepinefrin (NE) adalah katekolamin yang dihasilkan dari DA sebagai

hormon dari medula adrenal dan dilepaskan dari neuron noradrenergik

sebagai neurotransmitter di sistem saraf pusat dan simpatis.

c. Serotonin

Serotonin (5-hydroxytryptamine, 5-HT), yang merupakan

neurotransmitter utama sistem serotonergik, memiliki peran penting dalam

pengaturan fungsi otak. 5-HT terutama terlokalisasi di nuklei raphe di

batang otak. 5-HT, mono amina biologis, menunjukkan efeknya pada

sistem saraf pusat dan perifer melalui reseptor 5-HT.

d. Histamin

18
Histamin adalah neurotransmitter penting dalam regulasi neuroimunitas.

Histamin didefinisikan sebagai amina vasoaktif. Histamin terutama

diproduksi oleh neuron histaminergik, sel mast, basofil, dan sel mirip

enterokromafin di mukosa lambung.

3. Alkaloid-structured Neurotransmitter

a. Asetilkolin

Acetylcholine (ACh) adalah salah satu neurotransmitter yang terlibat

dalam fungsi kognitif, seperti pembelajaran dan memori. ACh terdiri dari

asam asetat dan kolin ester. Pelepasan ACh dimediasi oleh neuron

kolinergik.

4. Ethanoamide-structured Neurotransmitter

a. Melatonin

Melatonin adalah molekul dengan berbagai khasiat yang digunakan untuk

pengobatan penyakit saraf. Melatonin telah digambarkan sebagai turunan

indolamin dari serotonin. Neurotransmitter ini terutama merupakan

methoxyindole yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar pineal.

Melatonin mengatur pembentukan memori dengan secara langsung

memengaruhi neuron hippocampal. Namun, melatonin memiliki

neuroprotektif, antiinflamasi, pengatur nyeri, penurun tekanan darah,

vaskular, diferensiasi osteoblas, efek anti tumor dan antioksidan.

5. Gas Neurotransmitter

a. Nitric Oksida

19
Nitric oxide (NO) berfungsi sebagai neurotransmitter di otak dan molekul

pembawa pesan kedua di sel target. Siklase guanilat terlarut diakui sebagai

reseptor fisiologis untuk NO.

6. Purine-structured Neurotransmitter

a. Adenosin

Adenosine terlibat dalam berbagai fungsi seperti penghambatan neuron

pada jalur sinyal di SSP. Adenosine diproduksi di neuron selama

pemecahan ATP ekstraseluler atau intraseluler.

H. Perbedaan Patofisiologi Kejang Fokal dan Kejang Umum

Kejang umum dimulai pada jaringan saraf terdistribusi bilateral. Kejang umum

melibatkan pelepasan listrik yang mempengaruhi korteks kedua belahan otak (dan

tidak fokus pada satu belahan otak), biasanya menyebabkan hilangnya kesadaran.

Hal ini paling sering disebabkan oleh kelainan metabolisme, tetapi terkadang

kelainan genetik. Kejang umum termasuk kejang infantil, kejang absen, kejang

tonik-klonik, kejang atonik, dan kejang mioklonik. Kejang parsial atau kejang

fokal melibatkan pelepasan saraf hanya dalam satu korteks serebral, biasanya

karena kelainan struktural. Hal ini mungkin sederhana, tanpa gangguan

kesadaran, atau kompleks, dengan penurunan kesadaran yang tidak lengkap.

Kejang parsial dapat diikuti oleh kejang umum, yang dikenal sebagai generalisasi

sekunder. Itu terjadi ketika kejang parsial atau fokal menyebar ke belahan lain,

20
mengaktifkan seluruh otak secara bilateral. Ini dapat terjadi begitu cepat sehingga

kejang parsial awal sangat singkat, atau bahkan tidak terlihat secara klinis.2,15

Kejang fokal berasal dari jaringan saraf yang terbatas pada bagian dari satu

belahan otak. Pada kejang fokal, pola hipersinkroni elektrik transien ini dimulai

pada populasi neuron hipereksitasi yang dibatasi, disebut fokus epilepsi.

Perubahan pada saluran ion tegangan-gated yang disebabkan oleh penurunan

penghambatan dan peningkatan neurotransmisi rangsang memediasi

hipereksitabilitas ini. Korelasi patologis pada tingkat neurofisiologis untuk

aktivitas listrik yang menyimpang ini diwujudkan dalam pergeseran depolarisasi

paroksismal, di mana neuron kortikal mengalami depolarisasi yang bergantung

pada kalsium diikuti oleh fase hiperpolarisasi yang berkepanjangan. Jika beberapa

juta neuron dilepaskan sekaligus, potensi listrik yang dijumlahkan dapat dilihat

pada EEG kulit kepala sebagai lonjakan epileptiform interiktal fokal. Aktivitas

menyimpang lokal ini dapat menyebabkan kaskade pelepasan hipersinkron di

seluruh jaringan otak yang lebih besar, yang berpuncak pada manifestasi klinis

dan elektrofisiologi kejang. Oleh karena itu, sementara fokus epilepsi mungkin

terbatas pada fokus kecil, adalah mungkin untuk secara sekunder melibatkan

jaringan serebral umum.2,15

21
Gambar 6. Kejang Fokal dan Kejang Umum

BAB III

PENUTUP

Kejang adalah salah satu kedaruratan neurologis yang paling umum. Sebagian

besar kejang yang terjadi pada hari-hari pertama kehidupan merupakan gejala dari

gangguan sistem saraf pusat akut yang mendasarinya, seperti ensefalopati hipoksia-

iskemik, perdarahan intrakranial, stroke, infeksi, atau gangguan elektrolit. Kejang

mewakili efek pelepasan listrik abnormal dari neuron kortikal. Setiap individu

memiliki kapasitas untuk mengalami kejang. Pentingnya mengetahui perjalanan

penyakit dari kejang agar bisa melakukan diagnosis dan penanganan yang sesuai.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Huff JS, Murr N. Seizure. StatPearls. Published online February 7, 2023.

Accessed April 4, 2023. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430765/

2. Stafstrom CE, Carmant L. Seizures and epilepsy: An overview for

Neuroscientists. Epilepsy Intersect Neurosci Biol Math Eng Phys. Published

online 2016:65-77. doi:10.1201/b10866-10

3. Huff JS, Fountain NB. Pathophysiology and Definitions of Seizures and Status

Epilepticus. Emerg Med Clin North Am. 2011;29(1):1-13.

doi:10.1016/j.emc.2010.08.001

4. Aroniadou-Anderjaska V, Fritsch B, Qashu F, Braga MFM. Pathology and

pathophysiology of the amygdala in epileptogenesis and epilepsy. Epilepsy

Res. 2008;78(2-3):102-116. doi:10.1016/j.eplepsyres.2007.11.011

5. Khurana DS, Valencia I, Goldenthal MJ, Legido A. Mitochondrial dysfunction

in epilepsy. Semin Pediatr Neurol. 2013;20(3):176-187.

doi:10.1016/j.spen.2013.10.001

6. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, et al. Instruction manual for the ILAE 2017

operational classification of seizure types. Epilepsia. 2017;58(4):531-542.

doi:10.1111/epi.13671

7. Shellhaas RA. Seizure classification, etiology, and management. Handb Clin

Neurol. 2019;162:347-361. doi:10.1016/B978-0-444-64029-1.00017-5

8. Silbernagl S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.; 2014.

23
9. Alberti A. Seizures. 2012;30:30-33.

10. Swissa E, Serlin Y, Vazana U, Prager O, Friedman A. Blood–brain barrier

dysfunction in status epileptics: Mechanisms and role in epileptogenesis.

Epilepsy Behav. 2019;101(2019):106285. doi:10.1016/j.yebeh.2019.04.038

11. Zsurka G, Kunz WS. Mitochondrial dysfunction and seizures: The neuronal

energy crisis. Lancet Neurol. 2015;14(9):956-966. doi:10.1016/S1474-

4422(15)00148-9

12. Rahman S. Pathophysiology of mitochondrial disease causing epilepsy and

status epilepticus. Epilepsy Behav. 2015;49(2015):71-75.

doi:10.1016/j.yebeh.2015.05.003

13. Baumgartner C, Koren J, Britto-Arias M, Schmidt S, Pirker S. Epidemiology

and pathophysiology of autonomic seizures: a systematic review. Clin Auton

Res. 2019;29(2):137-150. doi:10.1007/s10286-019-00596-x

14. Crunelli V, Lorincz ML, McCafferty C, et al. Clinical and experimental insight

into pathophysiology, comorbidity and therapy of absence seizures. Brain.

2020;143(8):2341-2368. doi:10.1093/brain/awaa072

15. Moini J, Piran P. Cerebral Cortex.; 2020. doi:10.1016/b978-0-12-817424-

1.00006-9

24

Anda mungkin juga menyukai