Anda di halaman 1dari 33

EPILEPSI

DISUSUN OLEH:

NAMA : FERA YUNITA SARI

NIM : 1801011112

KELAS : 3-G

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN KESEHATAN
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat dan hidayah - Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan

makalah yang berjudul ’’Farmakologi II (Epilepsi)” ini tepat pada

waktunya.Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,

petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan. Harapan

kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman

bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah

agar kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini kami akui masih banyak

kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu,

kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang

bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah...............................................................2
1.3 Tujuan.................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 4
2.1 Defenisi Epilepsi................................................................. 4
2.2 Epidemiologi....................................................................... 5
2.3 Etiologi................................................................................ 6
2.4 Gejala Epilepsi.................................................................... 6
2.5 Faktor Resiko Epilepsi........................................................ 7
2.6 Tatalaksana Pengobatan...................................................... 8
2.6.1 Tatalaksana Fase Akut.............................................. 8
2.6.2 Pengobatan Epilepsi.................................................. 8
2.7 Terapi pengobatan Epilepsi................................................. 10
2.8 Penggolongan Obat Antielepsi............................................ 11
2.8.1 Hidantoin (Fenitoin).................................................. 11
2.8.2 Barbiturat (Fenobarbital)........................................... 11
2.8.3 Deoksibarbiturat (Primidon)..................................... 12
2.8.4 Iminostilben.............................................................. 13
2.8.4.1 Karbamazepin............................................... 13
2.8.4.2 Okskarbazepin.............................................. 13
2.8.5 Suksimid (Etosuksimid).................................. 14
2.8.6 Asam Valproate............................................... 14
2.8.7 Benzodiazepin................................................. 15
2.8.8 Obat antiepilepsi lain....................................... 16
2.8.8.1 Gabapetin............................................ 16
2.8.8.2 Lamatrigin........................................... 17
2.8.8.3 Levetirasetam...................................... 17
2.8.8.4 Topiramat............................................ 18
2.8.8.5 Tiagabin............................................... 18
2.8.8.6 Felbamat.............................................. 18
2.8.8.7 Zonisamid............................................ 19
2.9 Penyebab Epilepsi............................................................... 19
2.9.1 Epilepsi Primer ......................................................... 19
2.9.2 Epilepsi Sekunder..................................................... 20
2.10 Patofisiologi...................................................................... 20
2.11 Diagnosis Epilepsi............................................................. 22
2.12 Pendekatan Tatalaksana Epilepsi Pada Anak.................... 23

BAB III PENUTUP............................................................................... 26


3.1 Kesimpulan......................................................................... 26
3.2 Saran.................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 27
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani “epilepsia” yang artinya adalah

gangguan neurologis umum kronis yang ditandai dengan kejang berulang tanpa

alasan, kejang sementara dan/atau gejala dari aktivitas neuronal yang abnormal,

berlebihan atau sinkron di otak. Epilepsi oleh Hipocrates diidentifikasi sebagai

sebuah masalah yang ada kaitannya dengan otak. Epilepsi terkait dengan kinerja

sistem saraf pusat di otak kita. Saraf di otak berfungsi sebagai koordinator dari

semua pergerakan seperti, penglihatan, peraba, bergerak, dan berpikir. Pada

penderita epilepsi, sistem saraf pusat di otak mengalami gangguan, sehingga

koordinasi dari sistem saraf di otak tidak dapat mengirimkan sinyal ke sistem

panca indera (Purba, 2008).

Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan

gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala berupa serangan yang berulang -

ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara, sebagian, dan

seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel syaraf) (WHO,

2013).

Gangguan epilepsi dapat menyerang pada siapa pun di seluruh dunia,

anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Rentang

usia orang dengan epilepsi adalah 20-70 tahun per 100.000 orang, dengan

prevalensi jumlah 4-10 orang per 1000 (Gilman, 2007). WHO (2009)

menambahkan bahwa sekitar 50 juta penduduk di seluruh dunia menderita


epilepsi. Sebanyak 90% orang dengan epilepsi ditemukan pada negara-negara

berkembang, dan sebagian besar belum mendapatkan perlakuan sesuai yang

mereka butuhkan (Ikawati, 2011).

Terganggunya pengiriman sinyal ke sistem panca indera penderita epilepsi

dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti pernah mengalami trauma kepala

berupa benturan atau cedera dibagian kepala, atau menderita tumor otak. Penyakit

epilepsi dapat muncul karena penderita mengalami kerusakan otak pada saat

dilahirkan. Namun selain penyebab yang telah disebutkan di atas, penyebab

epilepsi masih belum dapat dipastikan (Purba, 2008).

Epilepsi yang berkembang di tengah masyarakat adalah semacam penyakit

yang ditandai dengan kejang-kejang tiba-tiba serta mengeluarkan air liur berwarna

putih. Pada umumnya epilepsi dapat muncul karena penderita mengalami

kelelahan atau mengalami benturan dibagian kepala, yang disusul dengan tidak

sadarkan diri, terjatuh, tubuh tegang, lalu disusul dengan gerakangerakan kejang

tanpa terkendali di seluruh tubuh. Kejang biasanya berlangsung paling lama lima

menit. Sesudahnya penderita bisa mengalami sakit kepala, linglung sementara dan

merasa sangat lelah. Biasanya penderita tidak dapat mengingat apa yang terjadi

setelah kejang. Tulisan ini akan mengkaji mengenai epilepsi dalam berbagai

ragam budaya (Ikawati, 2011).


1.2 Perumusan Masalah

a. Apa pengertian dari epilepsi?

b. Apa saja gejala yang ditimbulkan pada epilepsi?

c. Apa asaj faktor-faktor yang ditimbulkan pada epilepsi?

d. Bagaimana tata laksana pengobatan epilepsi?

e. Bagaimana terapi pengobatan epilepsi?

f. Apa saja penggolongan obat epilepsi?

g. Epidemiologi Pada Penderita Epilepsi?

1.3 Tujuan
Dengan disusunnya makalah ini penulis mengharapkan  pembaca dapat

mengetahui faktor-faktor, gejala, tata laksana pengobatan, terapi pengobatan, dan

penggolongan obat epilepsi, selain itu tujuan penulisan makalah ini untuk

memenuhi salah satu tugas mata kuliah.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Epilepsi

Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan

gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala berupa serangan yang berulang -

ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara, sebagian, dan

seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel syaraf) (WHO,

2013).

Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua, yaitu epilepsi umum primer dan

epilepsi parsial. Epilepsi umum primer adalah kejang yang sejak awal seluruh

otak terlibat secara bersamaan, sedangkan epilepsi parsial adalah serangan yang

berasal dari daerah tertentu dalam otak (Ikawati, 2011).

Status Epileptikus (SE) adalah suatu kondisi/keadaan spesifik oleh karena

adanya serangan epilepsi yang sering, berulang, berkelanjutan, dan

berkepanjangan. Kematian bisa terjadi berkisar 3-25% yang telah dilaporkan.

Kematian mendadak yang tak terduga pada epilepsi atau sudden unexpected death

in epilepsy (SUDEP) menjadi masalah yang serius. Diperkirakan SUDEP terjadi

pasca kejang pertama, aritma jantung yang tidak baik, dan serangan pernafasan

yang terganggu akibat kejang (WHO, 2006).

Menurut Desjarlais pada beberapa negara masih ditemukan adanya

kesalahpahaman, diskriminasi, serta masih adanya stigma sosial yang negatif

terhadap penderita epilepsi. Liveneh dan Antonak (Suwarba, 2011)

mengemukakan bahwa stigma, sikap negatif, dan persepsi yang salah tentang

penderita epilepsi ditemukan di setiap daerah atau negara. Kesalahpahaman,


diskriminasi, dan stigma sosial yang negatif tersebut membuat mereka menjadi

terjebak dalam kegelapan dan cenderung menutup diri (Purba, 2008).

2.2 Epidemiologi

Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang umum terjadi di

seluruh dunia (WHO, 2001). Insiden epilepsi di dunia masih tinggi yaitu berkisar

antara 33-198 per 100.000 penduduk tiap tahunnya (WHO, 2006). Insiden epilepsi

di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000 penduduk, sementara di negara

berkembang mencapai 100/100.000 penduduk (WHO, 2013). Di Indonesia

sendiri, prevalensi penderita epilepsi cukup tinggi yaitu berkisar antara 0,5%- 2%.

Jadi, apabila penduduk Indonesia berjumlah sekitar 200 juta jiwa, maka

kemungkinan penderita epilepsi sebanyak 1-4 juta jiwa. Sedangkan, insidensi

epilepsi di Indonesia berkisar antara 11-34 orang/ 100.000 penduduk (Anonim,

2006).

Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua umur.

Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak (Purba, 2008).

Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50

tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011). Kajian Pinzon (2006)

terhadap penelitian terdahulu menunjukkan insidensi epilepsi pada anak-anak

adalah tinggi dan memang merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok

usia tersebut, bahkan dari tahun ke tahun ditemukan bahwa prevalensi epilepsi

pada anak-anak cenderung meningkat.


2.3 Etiologi

Dilihat dari penyebabnya, sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui

sebabnya (epilepsi idiopatik) dan 30% yang diketahui sebabnya (epilepsi

simptomatik) (Lubis, 2003). Epilepsi dapat disebabkan oleh abnormalitas aktivitas

syaraf akibat proses patologis yang mempengaruhi otak, gangguan biokimia atau

metabolik, dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma pada saat lahir, atau cedera

lain (Ikawati, 2011).

Pada bayi, penyebab paling sering yaitu asfiksi atau hipoksia waktu lahir,

gangguan metabolik, trauma intrakranial waktu lahir, malformasi kongenital otak,

atau infeksi. Penyebab epilepsi pada usia 5-6 tahun umumnya karena febril/

demam tinggi. Sedangkan pada anak-anak dan usia remaja kebanyakan berupa

epilepsi idiopatik, yang tidak diketahui penyebabnya (Ikawati, 2011). Bila salah

satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya

epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya

epilepsi menjadi 20% - 30% (Christensen, 2005).

Dan untuk usia dewasa, penyebab epilepsi lebih variatif antara lain

idiopatik, karena birth trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 tahun), dan

faktor risiko penyakit serebro vaskuler (> 50 tahun) (Ikawati, 2011).

2.4 Gejala Epilepsi


a. Gejala kejang yang spesifik akan tergantung pada macam kejangnya. Jenis

kejang dapat bervariasi anatara pasien,namun cenderung serupa pada satu

individu yang sama.

b.Kejang komplek parsial dapat termasuk gambaran somatosensori atau motor

fokal.

c. Kejang konplek parsial dikaitkan dengan dengan perubahan kesadaran.

d. Ketiadaan kejang dapat tampak relatif ringan,dengan priode perubahan

kesadaran hanya sangat singkat (detik)

e.Kejang tonik klonik umum merupakan episode konvulsip utama dan selalu

dikaitkan dengan kehilangan kesadaran.

2.5 Faktor Resiko Epilepsi

Beberapa faktor yang berpotensi meningkatakan resiko terkena epilepsy

(Sahni, 2008), antara lain :

a. Usia pada Epilepsi umumnya dialami oleh usia anak-anak dan lansia.

Meskidemikian, kondisi ini juga dapat dialami oleh semua kalangan yang

memili resiko terkena epilepsi.

b. Genetik pada Riwayat kesehatan yang dialami oleh anggota keluarga dapat

menjadi pemicu penyebab epilepsi.

c. Cedera pada kepala pada Cedera pada kepala dapat menjadi penyebab

terjadinya epilepsi.

d. Demensia
e. Infeksi otak pada Peradangan pada otak atau sumsum tulang belakang dapat

meningkatkan resiko terkena epilesi.

f. Riwayat kejang dimasa kecil : Kejang dapat disebebkan olehdemam tinggi.

Pada kondisi ini,anak lebih rentan mengalam epilepsy

2.6 Tata Laksana Pengobatan Epilepsi

Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :

2.6.1 Tatalaksana Fase Akut (Saat Kejang)

Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi

otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang

berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung

singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat

diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg

atau 10 mg bila berat badan anak >10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat

diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika

setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka

penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit (Triono, 2014).

2.6.2 Pengobatan Epilepsi

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi

terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung

mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang

terjadi terusmenerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan

mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya


terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif

mungkin (Huying, 2006). Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita

dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan

obat-obatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang(Huying,2006).

Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :

a. Terapi Medikamentosa merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam

menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi

(OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin,

karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus

diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif.

Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap

diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun

tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat

tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang

(Triono, 2014).

b. Terapi Bedah me rupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong

bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otakyang menjadi sumber

serangan. Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap

pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak

fokus infeksi : Lobektomi temporal, Eksisi korteks ekstratemporal

Hemisferektomi, dan Callostomi (Triono, 2014).

c. Terapi Nutrisi pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan

kejang berat yang kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan

dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet
ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja

diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,

tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol

terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak parasekolah karena anak-

anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas

diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan

adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap

kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian

diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendaliankejang yang optimal

tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi (Triono, 2014).

2.7 Terapi Pengobatan Epilepsi

Tahap – tahap dalam pertolongan pertama saat kejang (Raharjo, 2007),

antara lain :

a. Jauhkan penderita dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen, kompor api,

dan lain – lain).

b. Jangan pernah meninggalkan penderita.

c. Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak

menimbulkan cedera kepala dan kendorkan pakaian ketat atau kerah baju di

lehernya agar pernapasan penderita lancar (jika ada).

d. Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut dapat

mengalir keluar dengan lancar dan menjaga aliran udara atau pernapasan.
e. Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan penderita.

Biarkan gerakan penderita sampai kejang selesai.

f. Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti memberi

minum, penahan lidah.

g. Setelah kejang selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan meninggalkan

penderita sebelum kesadarannya pulih total, kemudian biarkan penderita

beristirahat atau tidur

2.8 Penggolongan Obat Antiepilepsi

2.8.1 Hidantoin (Fenitoin)

Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum,

kejangtonik-klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah

saraf. Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien

dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah (Gunadharma, 2014). Mekanisme

aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang

mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang. dan

menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada

neuron. Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20

mg/kg/hari tiap 6  jam. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan

fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan,

gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk.

Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan

tubuh dan nystagmus. Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi


adalah gingival hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga

mulut dapat mengurangi resiko gingival hyperplasia (Wibowo dan Gofir, 2006).

2.8.2 Barbiturat (Fenobarbital)

Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang

tonik-klonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan

fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya

serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah

mengurangi penggunaannya sebagai obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak

pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital

menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor

GABA (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan

reseptor GABAdan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu,

fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic

GABAergic inhibition. Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3mg/kg/hari dan

dosis pemeliharaan 10-20mg/kg 1kali sehari. Efek samping SSP merupakan hal

yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang

mungkin terjadi adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan

fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga

dapat menyebabkan kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson syndrome (Harsono,

2007).

2.8.3 Deoksibarbiturat (Primidon)

Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik.

Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti kejang

primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh
primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital

dan feniletilmalonamid (PEMA). PEMA dapat meningkatkan aktifitas

fenobarbotal. Dosis primidon 100-125mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering

terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan,

perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi (Huff, 2011).

2.8.4 Iminostilben

2.8.4.1 Karbamazepin

Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik.

Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan

tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk

(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurangdan menghambat

terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis pada

anak  dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12

tahun dosis awal 200mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg.

Sedangkan pada  anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400mg 2 kali sehari.

Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah

gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual,

goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek

samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan usia (Wibowo dan

Gofir, 2006).
2.8.4.2 Okskarbazepin

Okskarbazepin  merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin

merupakan prodrug yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk

aktifnya, yaitu suatu turunan 10-monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi

ginjal. Okskarbazepin digunakan untuk pengobatan kejang parsial. Mekanisme

aksi okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja karbamazepin. Dosis

penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali sehari

sedangkan pada dewasa, 300mg 2 kali sehari. Efek samping penggunaan

okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare, konstipasi,

dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki

efek samping lebih ringan dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan

karbamazepin. Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450 (Wibowo dan

Gofir, 2006).

2.8.5 Suksimid (Etosuksimid)

Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium

merupakan target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada

kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang

diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan

pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens. Dosis

etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250mg/hari untuk dosis awal dan

20mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia

lebih dari 6 tahun dan dewasa 500mg/hari. Efek samping penggunaan etosuksimid

adalah mual dan muntah, efek samping penggunaan etosuksimid yang lain adalah
ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat

berdiri tegak), pusing dan cegukan (Wibowo dan Gofir, 2006).

2.8.6 Asam valproat

Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial,

kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat

meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi

sintesis GABA. Asam valproat juga  berpotensi terhadap respon GABA post

sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal kalium.

Dosis penggunaan asam valproat 10-15mg/kg/hari. Efek samping yang sering

terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah, anorexia,

dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan

adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam

valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang

berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik (Wibowo dan Gofir,

2006). 

Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan

peningkatan kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak

sampai menyebabkan kerusakan hat (Wibowo dan Gofir, 2006)i.

Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu

masalah terkait penggunaannya pada pasien epilepsi.  Penggunaan fenitoin dan

valproat secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat

memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat

menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin.  Obat yang

dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat.  Hampir 1/3


pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang

menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut (Wibowo dan Gofir,

2006).

2.8.7 Benzodiazepin

Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan

agonis GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan

frekuensi pembukaan reseptor GABAA. Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5

tahun 0,5mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih

0,2mg/kg, dan dewasa 4-40mg/hari. Efek samping yang mungkin terjadi pada

penggunaan benzodiazepin adalah cemas, kehilangan kesadaran, pusing, depresi,

mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual (Saxena, 2011).

2.8.8 Obat antiepilepsi lain

2.8.8.1 Gabapentin

Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial

epilepsi walaupun kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati.

Uji double-blind dengan kontrol plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit

diobati menunjukkan bahwa penambahan gabapentin pada obat antiseizure lain

leibh unggul dari pada plasebo.  Penurunan nilai median seizure yang diinduksi

oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo.  Penelitian

double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800mg/hari) mengungkapkan

bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600mg/hari).

Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme

yang belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada membran korteks

saluran Ca2+ tipe L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca2+ pada


saluran Ca2+ tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan

potensial aksi berulang terus-menerus. Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4

tahun 40mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35mg/kg 3 kali sehari, anak

usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari. Efek samping yang

sering dilaporkan adalah pusing, kelelahan, mengantuk, dan ketidakseimbangan

tubuh. Perilaku yang agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien

yang menggunakan gabapentin mengalami peningkatan berat badan (Wibowo dan

Gofir, 2006).

2.8.8.2 Lamotrigin

Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum

luas yang memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum. Lamotrigin tidak

menginduksi atau menghambat metabolisme obat anti epilepsi lain.  Mekanisme

aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus

Ca2+ serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino seperti

glutamat dan aspartat.  Dosis lamotrigin 25-50mg/hari. Penggunaan lamotrigin

umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada pasien

geriatri. Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan

(penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri

tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit terutama pada

penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-Johnson syndrome juga dilaporkan

setelah menggunakan lamotrigin (Wibowo dan Gofir, 2006).

2.8.8.3 Levetirasetam

Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan

derifat pyrrolidone ((S)-ethyl-2-oxo-pyrrolidine acetamide). Levetirasetam


digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, kejang

tonik-klonik. Mekanisme levetirasetam dalam mengobati epilepsi belum

diketahui. Namun pada suatu studi penelitian disimpulkan levetirasetam dapat

menghambat kanal Ca2+ tipe N dan mengikat protein sinaptik yang menyebabkan

penurunan eksitatori (atau meningkatkan inhibitori). Proses pengikatan

levetiracetam dengan protein sinaptik belum diketahui. Dosis levetirasetam 500-

1000mg 2 kali sehari. Efek samping yang umum terjadi adalah sedasi, gangguan

perilaku, dan efek pada SSP. Gangguan perilaku seperti agitasi, dan depresi juga

dilaporkan akibat penggunaan levetirasetam(Wibowo dan Gofir, 2006).

2.8.8.4 Topiramat

Topiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang parsial,

kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Topiramat mengobati kejang dengan

menghambat kanal sodium (Na+), meningkatkan aktivitas GABAA, antagonis

reseptor glutamat AMPA/kainate, dan menghambat karbonat anhidrase yang

lemah. Dosis topiramat 25-50mg 2 kali sehari. Efek samping utama yang mungkin

terjadi adalah gangguan keseimbangan tubuh, sulit berkonsentrasi, sulit

mengingat, pusing, kelelahan, paresthesias (rasa tidak enak atau abnormal).

Topiramat dapat menyebabkan asidosis metabolik sehingga terjadi anorexia dan

penurunan berat badan (Wibowo dan Gofir, 2006).

2.8.8.5 Tiagabin

Tiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan anak ≥16

tahun. Tiagabin meningkatkan aktivitas GABA, antagonis neuron atau

menghambat reuptake GABA. Dosis tiagabin 4mg 1-2 kali sehari. Efek samping

yang sering terjadi adalah pusing, asthenia (kekurangan atau kehilangan energi),


kecemasan, tremor, diare dan depresi. Penggunaan tiagabin bersamaan dengan

makanan dapat mengurangi efek samping SSP (Wibowo dan Gofir, 2006)

2.8.8.6 Felbamat

Felbamat bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang, felbamat

hanya digunakan bila terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat

yang mempunyai resiko anemia aplastik. Mekanisme aksi felbamat menghambat

kerja NMDA dan meningkatkan respon GABA. Dosis felbamat untuk anak usia

lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200mg 3-4 kali sehari. Efek samping yang sering

dilaporkan terkait dengan penggunaan felbamat adalah anorexia, mual, muntah,

gangguan tidur, sakit kepala dan penurunan berat badan. Anorexia dan penurunan

berat badan umumnya terjadi pada anak-anak dan pasien dengan konsumsi kalori

yang rendah. Resiko terjadinya anemia aplastik akan meningkat pada wanita yang

mempunyai riwayat penyakit cytopenia (Wibowo dan Gofir, 2006).

2.8.8.7 Zonisamid

Zonisamid merupakan suatu turunan sulfonamideyang digunakan sebagai

terapi tambahan kejang parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan dewasa.

Mekanisme aksi zonisamid adalah dengan menghambat kanal kalsium (Ca2+) tipe

T. Dosis zonisamid 100mg 2 kali sehari. Efek samping yang umum terjadi adalah

mengantuk, pusing, anorexia, sakit kepala, mual, dan agitasi. Di United Stated

26% pasien mengalami gejala batu ginjal (Wibowo dan Gofir, 2006).

2.9 Penyebab Epilepsi


Menurut Harsono (1999) dari penyebabnya epilepsi ada 2 golongan yaitu:

2.9.1 Epilepsi Primer (Idiopatik)

Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya. Pada epilepsi

primer tidak ditemukan adanya kelainan anatomik seperti trauma maupun

neoplasma yang menimbulkan kejang. Ada dugaan bahwa terjadi kelainan pada

gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel syaraf di area jaringan otak yang

abnormal. Kejang yang terjadi dapat ditimbulkan karena abnormalitas susunan

syaraf pusat(Harsono,2008).

2.9.2 Epilepsi Sekunder

Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder atau

akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak. Jadi pada epilepsi sekunder

penyebabnya diketahui. Kelainan jaringan otak dapat dikarenakan bawaan sejak

lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir

atau pada masa perkembangan anak. Gangguan ini bersifat reversible, misalnya

tumor, trauma, luka kepala, meningitis, dan lainnya. Obat antiepilepsi diberikan

hingga penyakit primer dapat disembuhkan (Harsono, 2008). Penyebab spesifik

dari epilepsi sebagai berikut:

a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin, seperti ibu pada saat hamil

menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, minum alkohol,

mengalami infeksi, atau mengalami cedera.

b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti hipoksia atau kerusakan

karena tindakan.

c. Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan.


d. Penyakit keturunan seperti Fenil Keto Uria (FKU), sklerosis tube rose, dan

neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang yang berulang.

e. Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.

f. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak.

g. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.

h. Tumor otak, tetapi tidak umum pada anak-anak

2.10 Patofisiologi

Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung

dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar

neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka

neuronneuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan

dalam mekanisme pengaturan ini adalah glutamat, yang merupakan brain’s

excitatory neurotransmitter dan GABA (Gamma Amino Butyric Acid), yang

bersifat sebagai brain’s inhibitory neurotransmitter (Cotman, 1995).

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan

asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,

dopamine, serotonin (5-HT), dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya

dengan epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut (Harsono,

2008).

Kejang adalah manifestasi paroksismal dari sifat listrik di bagian

korteks otak. Kejang terjadi saat adanya ketidakseimbangan antara kekuatan

eksikatori/ pemicuan dan inhibisi/ penghambatan dalam jaringan neuron kortikal


(Ikawati, 2011). Menurut Harsono 2008, ketidakseimbangan antara eksikatori dan

inhibitori tersebut terjadi secara tiba-tiba pada keadaan berikut ini:

a. Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang

optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,

disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata

memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus

oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post

sinaptik.

b. Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi

pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat

normal tetapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan

ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada

penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat

di otak

2.11 Diagnosis Epilepsi

Diagnosis epilepsi ditegakkan berdasarkan anamnesis yang berupa kejang

berulang, kejang fokal atau umum dan apakah disertai perkembangan normal atau

terlambat, pemeriksaan fisis dan neurologis serta pemeriksaan penunjang EEG

dan MRI kepala. Epilepsi pada anak berdasarkan manifestasi klinis dan EEG

dapat dibedakan menjadi epilepsi fokal dan epilepsi umum. Epilepsi fokal

ditentukan berdasarkan semiologi kejang fokal dan atau disertai EEG fokal

dengan gelombang epileptik repetitif pada satu lobus atau satu hemisfer. Bila
semiologi kejang umum disertai dengan gambaran EEG fokal, hal tersebut

menunjukkan epilepsi fokal menjadi umum. Adapun epilepsi umum ditegakkan

berdasarkan semiologi kejang umum disertai gelombang epiletiform pada seluruh

hemisfer (Triono, 2014).

Berdasarkan usia awitan, semiologi klinis, gambaran EEG yang khas, dan

pemeriksaan MRI kepala dapat ditentukan apakah pasien termasuk sindrom

epilepsi fokal atau umum. Bila tidak termasuk keduanya maka dikategorikan

sebagai bukan sindrom (Triono, 2014).

Semiologi klinis kejang fokal dapat berupa klonus fokal, distonik fokal,

otomatisme ekstremitas fokal atau postur tonik asimetris. Ditandai dengan kepala,

mata atau keduanya bergerak ke sisi kiri atau kanan, dan disertai dengan aura.

Gambaran EEG yang dihasilkan gelombang epileptiform fokal yang hanya

terdapat pada satu hemisfer otak. Adapun semiologi klinis kejang umum yaitu

serangan dari awal mengenai seluruh tubuh dan ekstremitas dan berakhir

bersamaan tubuh dan ekstremitas. Bentuk kejang pada kejang umum seperti

absens, mioklonik, klonik, tonik, tonik-klonik, atonik. Gambaran EEG berupa

gelombang irama dasar normal, gelombang epileptiform spike-slow wafe complex

atau gelombang polyspike wave pada seluruh tubuh atau tiga perempat dari

hemisfer otak. Pemeriksaan neuroimaging yang dianjurkan pada pasien epilepsi

umumnya adalah MRI kepala, Tujuan MRI kepala adalah untuk mencari etiologi

epilepsi (Triono, 2014).

2.12 Pendekatan Tatalaksana Epilepsi Pada Anak


Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan tercapainya kualitas

hidup optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan perjalanan penyakit dan

disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi

diperlukan beberapa upaya antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi

frekuensi bangkitan tanpa efek samping atau dengan efek samping yang minimal,

menurunkan angka kesakitan dan kematian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

tujuan terpenting dalam pengobatan adalah mempertahankan kadar obat dalam

therapeutic range tanpa menimbulkan gejala toksik, setelah pemberian dosis

tunggal obat anti epilepsi (OAE) puncak kadar plasma akan tercapai dalam waktu

tertentu tergantung pada proses absorbsi. Sebagian besar OAE dosis konvensional

dengan persediaan enzim yang cukup akan mengikuti kaidah first order enzyme

kinetics yaitu kecepatan biotransformasi bertambah secara linier dengan

konsentrasi obat. Namun bila enzimnya telah jenuh maka kecepatan

biotransformasi akan tetap sama pada konsentrasi obat yang berbeda (zero order

atau nonlinier kinetics) (Triono, 2014).

Setelah enzim hati jenuh, maka kenaikan dosis sedikit saja akan

menyebabkan peningkatan kadar plasma yang berlebihan. Keadaan ini akan

menimbulkan gejala toksik bila kadar serum sudah melebihi 10 – 15

mikrogram/ml. Prinsip pengobatan epilepsi dapat dijelaskan sebagai berikut:

(Harsono, 2017).

a. Langkah pertama dalam pengobatan adalah diagnosis pasti, karena banyak

keadaan yang memperlihatkan gejala mirip epilepsi. Pengobatan umumnya

baru diberikan setelah serangan kedua. Hal ini penting karena pengobatan

epilepsi adalah pengobatan jangka panjang.


b. Setelah diagnosis ditegakkan tindakan berikutnya adalah menentukan jenis

serangan. Setiap OAE mempunyai kekhususannya sendiri dan akan bermanfaat

secara spesifik pada jenis serangan tertentu.

c. Pengobatan harus dimulai dengan satu OAE dengan dosis kecil, kemudian dosis

dinaikkan bertahap sampai serangan teratasi. Tujuan pengobatan adalah untuk

mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah, yang terpenting bukan hanya

mencapai kadar terapeutik tetapi kadar OAE bebas yang dapat menembus

sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat. Kadar OAE bebas

ini dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya penggunaan bersama obat lain,

bahan kimia dan distribusinya yang tergantung pada kelarutan dalam lemak

dan ikatannya dalam jaringan tubuh. Absorbsi dapat dipengaruhi saat makan

obat misalnya sebelum atau sesudah makan, jenis makanan dan obat misalnya

antasida.

d. Kegagalan OAE sering disebabkan karena non compliance atau tidak diminum

menurut aturan. Bila OAE pertama tidak bermanfaat dapat diganti dengan

OAE kedua. Dosis OAE kedua dinaikkan bertahap sedangkan dosis OAE

pertama diturunkan bertahap. Monoterapi lebih baik untuk mengurangi potensi

adverse effect, meningkatkan kepatuhan pasien, dan belum ada bukti bahwa

politerapi lebih baik dari monoterapi. Biasanya politerapi kurang efektif karena

interaksi antar obat justru akan mengganggu efektivitas dan adanya akumulasi

efek samping. Sebaiknya menghindari dan meminimalkan penggunaan anti

epilepsi sedatif untuk mengurangi toleransi efek pada intelegensia, memori,

kemampuan motorik yang bisa menetap selama pengobatan, jika


memungkinkan terapi diinisiasi dengan satu antiepilepsi non sedatif, jika gagal

dapat diberikan anti epilepsi sedatif atau dengan politerapi.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan

gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala berupa serangan yang berulang -

ulang yang terjadi akibat adanya ketidak normalan kerja sementara, sebagian, dan

seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel syaraf). Gejala

kejang yang spesifik akan tergantung pada macam kejangnya. Jenis kejang dapat

bervariasi anatara pasien,namun cenderung serupa pada satu individu yang sama.

3.2 Saran

Agar setiap mahasiswa farmasi memahami pengertian, efek samping,

terapi pengobatan, gejala, penyebab, tatalaksana, penggolongan obat pada

epilepsi.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006, Mencari Penyebab Gagal Jantung, Ethical Digest, Semi jurnal
Farmasi Dan Kedokteran, No 28, Tahun IV, 24, Jakarta.

Christensen J, Kjeldsen MJ, Andersen H, Frisis ML. Gender differences in


Epilepsy. Epilepsia. 2005. hal 456-60.

Gilman, A.G. 2007, Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi,


diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Edisi X, 877,
Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.

Gunadharma S, Kustiowati E, Husna M. Pedoman Tatalaksana Epilepsi


Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI). Surabaya, Indonesia: Airlangga University Press; 2014.

Harsono. 2017. In Epilepsi (buku kedua) (p. 241). Yogyakarta: UGM PRESS.

Harsono. 2008. The Quality of Life of Epileptic Patient. Jakarta: Universa


Medicina Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.

Harsono. Epilepsi. (Edisi Kedua). Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada


University Press; 2007.

Huff JS, Fountain NB. Pathophysiology and Definitions of Seizures and Status
Epilepticus. Emerg Med Clin N Am. 2011. Hal 1-13.

Huying F, Klimpre S, Werhan KJ. Anti-epileptic drug use in nursing home


residents: A cross sectional, regional study. Seizure. 2006. Hal 194-7.

Ikawati NL. 2011. Analisis Kepuasan dan Loyalitas Pengunjung Departement


Store Pasaraya Blok M. [Tesis]. Program Studi Manajemen dan Bisnis
Sekolah Pascasarjana. IPB.

Lubis, I. Epidemiologi nyeri punggung bawah. dalam : Meliala L. Suryamiharja


A. Purba JS. Sadeli HA. Editors. Nyeri punggung bawah, Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), 2003. hal
1-3

Perdosi. 2017. In Pedoman Penatalaksanaan Epilepsi (pp. 3 - 13). Surabaya:


Airlangga University Press.

Purba JS, Ng DS. Nyeri punggung bawah: patofisiologi, terapi farmakologi dan
non-farmakologi akupunktur. Medicinus 2008; 21(2): 3842.

Raharjo TB. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi Pada Anak di Bawah Usia 6 Tahun.
[Tesis] Semarang: Universitas Diponegoro; 2007
Sahni, P. 2008. Epilepsi in the Africa and the African American community.
Epilepsi Ontario. Diunduh dari: http://www.epilepsiontario.org. Tanggal
Akses 25 Oktober 2019.

Saxena VS, Nadkarni VV. Nonpharmacological Treatment of Epilepsy. Ann


Indian Acad Neurol. 2011. Hal 148-152.

Suwarba IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. Sari
Pediatri. 2011. Hal 123-8.

Triono A, Herini ES. Faktor Prognostik Kegagalan Terapi Epilepsi pada Anak
dengan Monoterapi. Sari Pediatri. 2014. Hal 248-53.

WHO. (2009). Epilepsi. Artikel. Diunduh dari:


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs999/en/. Tanggal Akses 25
Oktober 2019.

WHO. World Health Organization LGBT Report: Globalhealth.gov; 2013.


Available from:
http://www.globalhealth.gov/global-health-topics/lgbt/lgbt_report.html.
Tanggal Akses 25 Oktober 2019

Wibowo S, Gofir A. Obat Antiepilepsi. Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Cendekia


Press; 2006.

Anda mungkin juga menyukai