DISUSUN OLEH:
NIM : 1801011112
KELAS : 3-G
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah
agar kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini kami akui masih banyak
kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu,
kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah...............................................................2
1.3 Tujuan.................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 4
2.1 Defenisi Epilepsi................................................................. 4
2.2 Epidemiologi....................................................................... 5
2.3 Etiologi................................................................................ 6
2.4 Gejala Epilepsi.................................................................... 6
2.5 Faktor Resiko Epilepsi........................................................ 7
2.6 Tatalaksana Pengobatan...................................................... 8
2.6.1 Tatalaksana Fase Akut.............................................. 8
2.6.2 Pengobatan Epilepsi.................................................. 8
2.7 Terapi pengobatan Epilepsi................................................. 10
2.8 Penggolongan Obat Antielepsi............................................ 11
2.8.1 Hidantoin (Fenitoin).................................................. 11
2.8.2 Barbiturat (Fenobarbital)........................................... 11
2.8.3 Deoksibarbiturat (Primidon)..................................... 12
2.8.4 Iminostilben.............................................................. 13
2.8.4.1 Karbamazepin............................................... 13
2.8.4.2 Okskarbazepin.............................................. 13
2.8.5 Suksimid (Etosuksimid).................................. 14
2.8.6 Asam Valproate............................................... 14
2.8.7 Benzodiazepin................................................. 15
2.8.8 Obat antiepilepsi lain....................................... 16
2.8.8.1 Gabapetin............................................ 16
2.8.8.2 Lamatrigin........................................... 17
2.8.8.3 Levetirasetam...................................... 17
2.8.8.4 Topiramat............................................ 18
2.8.8.5 Tiagabin............................................... 18
2.8.8.6 Felbamat.............................................. 18
2.8.8.7 Zonisamid............................................ 19
2.9 Penyebab Epilepsi............................................................... 19
2.9.1 Epilepsi Primer ......................................................... 19
2.9.2 Epilepsi Sekunder..................................................... 20
2.10 Patofisiologi...................................................................... 20
2.11 Diagnosis Epilepsi............................................................. 22
2.12 Pendekatan Tatalaksana Epilepsi Pada Anak.................... 23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 27
BAB I
PENDAHULUAN
gangguan neurologis umum kronis yang ditandai dengan kejang berulang tanpa
alasan, kejang sementara dan/atau gejala dari aktivitas neuronal yang abnormal,
sebuah masalah yang ada kaitannya dengan otak. Epilepsi terkait dengan kinerja
sistem saraf pusat di otak kita. Saraf di otak berfungsi sebagai koordinator dari
koordinasi dari sistem saraf di otak tidak dapat mengirimkan sinyal ke sistem
gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala berupa serangan yang berulang -
ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara, sebagian, dan
seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel syaraf) (WHO,
2013).
anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Rentang
usia orang dengan epilepsi adalah 20-70 tahun per 100.000 orang, dengan
prevalensi jumlah 4-10 orang per 1000 (Gilman, 2007). WHO (2009)
dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti pernah mengalami trauma kepala
berupa benturan atau cedera dibagian kepala, atau menderita tumor otak. Penyakit
epilepsi dapat muncul karena penderita mengalami kerusakan otak pada saat
yang ditandai dengan kejang-kejang tiba-tiba serta mengeluarkan air liur berwarna
kelelahan atau mengalami benturan dibagian kepala, yang disusul dengan tidak
sadarkan diri, terjatuh, tubuh tegang, lalu disusul dengan gerakangerakan kejang
tanpa terkendali di seluruh tubuh. Kejang biasanya berlangsung paling lama lima
menit. Sesudahnya penderita bisa mengalami sakit kepala, linglung sementara dan
merasa sangat lelah. Biasanya penderita tidak dapat mengingat apa yang terjadi
setelah kejang. Tulisan ini akan mengkaji mengenai epilepsi dalam berbagai
1.3 Tujuan
Dengan disusunnya makalah ini penulis mengharapkan pembaca dapat
penggolongan obat epilepsi, selain itu tujuan penulisan makalah ini untuk
PEMBAHASAN
gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala berupa serangan yang berulang -
ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara, sebagian, dan
seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel syaraf) (WHO,
2013).
epilepsi parsial. Epilepsi umum primer adalah kejang yang sejak awal seluruh
otak terlibat secara bersamaan, sedangkan epilepsi parsial adalah serangan yang
Kematian mendadak yang tak terduga pada epilepsi atau sudden unexpected death
pasca kejang pertama, aritma jantung yang tidak baik, dan serangan pernafasan
mengemukakan bahwa stigma, sikap negatif, dan persepsi yang salah tentang
2.2 Epidemiologi
seluruh dunia (WHO, 2001). Insiden epilepsi di dunia masih tinggi yaitu berkisar
antara 33-198 per 100.000 penduduk tiap tahunnya (WHO, 2006). Insiden epilepsi
sendiri, prevalensi penderita epilepsi cukup tinggi yaitu berkisar antara 0,5%- 2%.
Jadi, apabila penduduk Indonesia berjumlah sekitar 200 juta jiwa, maka
2006).
Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua umur.
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak (Purba, 2008).
Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50
tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011). Kajian Pinzon (2006)
adalah tinggi dan memang merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok
usia tersebut, bahkan dari tahun ke tahun ditemukan bahwa prevalensi epilepsi
Dilihat dari penyebabnya, sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui
syaraf akibat proses patologis yang mempengaruhi otak, gangguan biokimia atau
metabolik, dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma pada saat lahir, atau cedera
Pada bayi, penyebab paling sering yaitu asfiksi atau hipoksia waktu lahir,
atau infeksi. Penyebab epilepsi pada usia 5-6 tahun umumnya karena febril/
demam tinggi. Sedangkan pada anak-anak dan usia remaja kebanyakan berupa
epilepsi idiopatik, yang tidak diketahui penyebabnya (Ikawati, 2011). Bila salah
epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya
Dan untuk usia dewasa, penyebab epilepsi lebih variatif antara lain
idiopatik, karena birth trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 tahun), dan
fokal.
e.Kejang tonik klonik umum merupakan episode konvulsip utama dan selalu
a. Usia pada Epilepsi umumnya dialami oleh usia anak-anak dan lansia.
Meskidemikian, kondisi ini juga dapat dialami oleh semua kalangan yang
b. Genetik pada Riwayat kesehatan yang dialami oleh anggota keluarga dapat
c. Cedera pada kepala pada Cedera pada kepala dapat menjadi penyebab
terjadinya epilepsi.
d. Demensia
e. Infeksi otak pada Peradangan pada otak atau sumsum tulang belakang dapat
singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat
diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg
atau 10 mg bila berat badan anak >10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat
diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika
setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka
terjadi terusmenerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan
dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan
menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi
(OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin,
diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif.
(Triono, 2014).
bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otakyang menjadi sumber
c. Terapi Nutrisi pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan
kejang berat yang kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan
dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet
ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja
diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol
terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak parasekolah karena anak-
anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas
antara lain :
a. Jauhkan penderita dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen, kompor api,
c. Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak
menimbulkan cedera kepala dan kendorkan pakaian ketat atau kerah baju di
d. Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut dapat
mengalir keluar dengan lancar dan menjaga aliran udara atau pernapasan.
e. Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan penderita.
saraf. Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien
mg/kg/hari tiap 6 jam. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang
tonik-klonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan
fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya
dosis pemeliharaan 10-20mg/kg 1kali sehari. Efek samping SSP merupakan hal
yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang
2007).
Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti kejang
primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh
primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital
fenobarbotal. Dosis primidon 100-125mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering
2.8.4 Iminostilben
2.8.4.1 Karbamazepin
Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan
terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis pada
anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12
tahun dosis awal 200mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg.
Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400mg 2 kali sehari.
Gofir, 2006).
2.8.4.2 Okskarbazepin
merupakan prodrug yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk
penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali sehari
efek samping lebih ringan dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan
Gofir, 2006).
pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens. Dosis
etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250mg/hari untuk dosis awal dan
20mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia
lebih dari 6 tahun dan dewasa 500mg/hari. Efek samping penggunaan etosuksimid
adalah mual dan muntah, efek samping penggunaan etosuksimid yang lain adalah
ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat
kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat
sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post
dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan
valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang
berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik (Wibowo dan Gofir,
2006).
peningkatan kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak
menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut (Wibowo dan Gofir,
2006).
2.8.7 Benzodiazepin
frekuensi pembukaan reseptor GABAA. Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5
tahun 0,5mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih
0,2mg/kg, dan dewasa 4-40mg/hari. Efek samping yang mungkin terjadi pada
2.8.8.1 Gabapentin
Uji double-blind dengan kontrol plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit
leibh unggul dari pada plasebo. Penurunan nilai median seizure yang diinduksi
oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo. Penelitian
potensial aksi berulang terus-menerus. Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4
tahun 40mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35mg/kg 3 kali sehari, anak
usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari. Efek samping yang
tubuh. Perilaku yang agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien
Gofir, 2006).
2.8.8.2 Lamotrigin
luas yang memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum. Lamotrigin tidak
aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus
umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada pasien
(penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri
2.8.8.3 Levetirasetam
1000mg 2 kali sehari. Efek samping yang umum terjadi adalah sedasi, gangguan
perilaku, dan efek pada SSP. Gangguan perilaku seperti agitasi, dan depresi juga
2.8.8.4 Topiramat
lemah. Dosis topiramat 25-50mg 2 kali sehari. Efek samping utama yang mungkin
2.8.8.5 Tiagabin
Tiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan anak ≥16
menghambat reuptake GABA. Dosis tiagabin 4mg 1-2 kali sehari. Efek samping
makanan dapat mengurangi efek samping SSP (Wibowo dan Gofir, 2006)
2.8.8.6 Felbamat
hanya digunakan bila terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat
kerja NMDA dan meningkatkan respon GABA. Dosis felbamat untuk anak usia
lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200mg 3-4 kali sehari. Efek samping yang sering
berat badan umumnya terjadi pada anak-anak dan pasien dengan konsumsi kalori
yang rendah. Resiko terjadinya anemia aplastik akan meningkat pada wanita yang
2.8.8.7 Zonisamid
terapi tambahan kejang parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan dewasa.
Mekanisme aksi zonisamid adalah dengan menghambat kanal kalsium (Ca2+) tipe
T. Dosis zonisamid 100mg 2 kali sehari. Efek samping yang umum terjadi adalah
26% pasien mengalami gejala batu ginjal (Wibowo dan Gofir, 2006).
neoplasma yang menimbulkan kejang. Ada dugaan bahwa terjadi kelainan pada
gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel syaraf di area jaringan otak yang
syaraf pusat(Harsono,2008).
Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder atau
akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak. Jadi pada epilepsi sekunder
lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir
atau pada masa perkembangan anak. Gangguan ini bersifat reversible, misalnya
tumor, trauma, luka kepala, meningitis, dan lainnya. Obat antiepilepsi diberikan
a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin, seperti ibu pada saat hamil
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, minum alkohol,
b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti hipoksia atau kerusakan
karena tindakan.
2.10 Patofisiologi
dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar
neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka
dengan epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut (Harsono,
2008).
oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post
sinaptik.
normal tetapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan
di otak
berulang, kejang fokal atau umum dan apakah disertai perkembangan normal atau
dan MRI kepala. Epilepsi pada anak berdasarkan manifestasi klinis dan EEG
dapat dibedakan menjadi epilepsi fokal dan epilepsi umum. Epilepsi fokal
ditentukan berdasarkan semiologi kejang fokal dan atau disertai EEG fokal
dengan gelombang epileptik repetitif pada satu lobus atau satu hemisfer. Bila
semiologi kejang umum disertai dengan gambaran EEG fokal, hal tersebut
Berdasarkan usia awitan, semiologi klinis, gambaran EEG yang khas, dan
epilepsi fokal atau umum. Bila tidak termasuk keduanya maka dikategorikan
Semiologi klinis kejang fokal dapat berupa klonus fokal, distonik fokal,
otomatisme ekstremitas fokal atau postur tonik asimetris. Ditandai dengan kepala,
mata atau keduanya bergerak ke sisi kiri atau kanan, dan disertai dengan aura.
terdapat pada satu hemisfer otak. Adapun semiologi klinis kejang umum yaitu
serangan dari awal mengenai seluruh tubuh dan ekstremitas dan berakhir
bersamaan tubuh dan ekstremitas. Bentuk kejang pada kejang umum seperti
atau gelombang polyspike wave pada seluruh tubuh atau tiga perempat dari
umumnya adalah MRI kepala, Tujuan MRI kepala adalah untuk mencari etiologi
hidup optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan perjalanan penyakit dan
disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi
frekuensi bangkitan tanpa efek samping atau dengan efek samping yang minimal,
tunggal obat anti epilepsi (OAE) puncak kadar plasma akan tercapai dalam waktu
tertentu tergantung pada proses absorbsi. Sebagian besar OAE dosis konvensional
dengan persediaan enzim yang cukup akan mengikuti kaidah first order enzyme
biotransformasi akan tetap sama pada konsentrasi obat yang berbeda (zero order
Setelah enzim hati jenuh, maka kenaikan dosis sedikit saja akan
(Harsono, 2017).
baru diberikan setelah serangan kedua. Hal ini penting karena pengobatan
c. Pengobatan harus dimulai dengan satu OAE dengan dosis kecil, kemudian dosis
mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah, yang terpenting bukan hanya
mencapai kadar terapeutik tetapi kadar OAE bebas yang dapat menembus
sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat. Kadar OAE bebas
ini dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya penggunaan bersama obat lain,
bahan kimia dan distribusinya yang tergantung pada kelarutan dalam lemak
dan ikatannya dalam jaringan tubuh. Absorbsi dapat dipengaruhi saat makan
obat misalnya sebelum atau sesudah makan, jenis makanan dan obat misalnya
antasida.
d. Kegagalan OAE sering disebabkan karena non compliance atau tidak diminum
menurut aturan. Bila OAE pertama tidak bermanfaat dapat diganti dengan
OAE kedua. Dosis OAE kedua dinaikkan bertahap sedangkan dosis OAE
adverse effect, meningkatkan kepatuhan pasien, dan belum ada bukti bahwa
politerapi lebih baik dari monoterapi. Biasanya politerapi kurang efektif karena
interaksi antar obat justru akan mengganggu efektivitas dan adanya akumulasi
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala berupa serangan yang berulang -
ulang yang terjadi akibat adanya ketidak normalan kerja sementara, sebagian, dan
seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel syaraf). Gejala
kejang yang spesifik akan tergantung pada macam kejangnya. Jenis kejang dapat
bervariasi anatara pasien,namun cenderung serupa pada satu individu yang sama.
3.2 Saran
epilepsi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006, Mencari Penyebab Gagal Jantung, Ethical Digest, Semi jurnal
Farmasi Dan Kedokteran, No 28, Tahun IV, 24, Jakarta.
Harsono. 2017. In Epilepsi (buku kedua) (p. 241). Yogyakarta: UGM PRESS.
Huff JS, Fountain NB. Pathophysiology and Definitions of Seizures and Status
Epilepticus. Emerg Med Clin N Am. 2011. Hal 1-13.
Purba JS, Ng DS. Nyeri punggung bawah: patofisiologi, terapi farmakologi dan
non-farmakologi akupunktur. Medicinus 2008; 21(2): 3842.
Raharjo TB. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi Pada Anak di Bawah Usia 6 Tahun.
[Tesis] Semarang: Universitas Diponegoro; 2007
Sahni, P. 2008. Epilepsi in the Africa and the African American community.
Epilepsi Ontario. Diunduh dari: http://www.epilepsiontario.org. Tanggal
Akses 25 Oktober 2019.
Suwarba IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. Sari
Pediatri. 2011. Hal 123-8.
Triono A, Herini ES. Faktor Prognostik Kegagalan Terapi Epilepsi pada Anak
dengan Monoterapi. Sari Pediatri. 2014. Hal 248-53.