BANGSAL INTERNE
Oleh :
KELOMPOK IV
Halaman
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................I
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
2.1 Dispepsia.......................................................................................................3
2.1.3 Penyebab...................................................................................................8
2.1.4 Epidemiologi..............................................................................................8
2.1.5 Patofisiologi...............................................................................................9
2.1.7 Diagnosa..................................................................................................13
2.1.8.1 Antasida...........................................................................................14
2.1.8.4 Sitoprotetif.......................................................................................17
2.2 Nyeri............................................................................................................18
i
2.4 Anemia........................................................................................................22
2.4.1 Definisi.....................................................................................................22
2.4.2 Penyebab.................................................................................................23
2.4.3 Gejala.......................................................................................................24
2.4.4 Klasifikasi.................................................................................................25
2.4.5 Tatalaksana..............................................................................................25
2.4.5 Definisi....................................................................................................25
2.4.5 Etiologi....................................................................................................25
2.4.5 Patogenesis..............................................................................................25
2.4.5 Epidemiologi...........................................................................................25
2.4.5 Diagnosis.................................................................................................25
2.4.5 Tatalaksana..............................................................................................25
3.2 Anamnesa...................................................................................................30
3.5 Diagnosis.....................................................................................................32
ii
3.6 Penatalaksanaan........................................................................................32
BAB IV DISKUSI...................................................................................................37
BAB VI EDUKASI.................................................................................................50
6.1 KESIMPULAN............................................................................................51
6.2 SARAN........................................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................52
iii
BAB I
PENDAHULUAN
makan, cepat kenyang, atau nyeri epigastrium atau terbakar tanpa adanya
makan yang lama dan ketidakteraturan makan berkaitan dengan gejala dispepsia.
Pola makan yang tidak teratur umumnya menjadi masalah yang sering timbul
Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu penyebab
pencernaan yang paling umum ditemukan. Kondisi ini dilaporkan sekitar 25%
populasi di dunia setiap tahun, namun sebagian besar penderita tidak mencari
baik dalam jenis gejala yang ada maupun intensitas gejala tersebut dari waktu ke
waktu. Gejala yang bisa dirasakan penderita seperti nyeri ulu hati, perut kembung,
mual, muntah, nafsu makan berkurang, sendawa dan rasa cepat kenyang
(Djojoningrat, 2005).
konsumsi makanan, merokok, makanan cepat saji, makanan asin, kopi / teh, dan
dispepsia. Di Asia Pasifik dispepsia juga merupakan keluhan yang cukup banyak
urutan ke-15 dari daftar 50 penyakit pada pasien rawat inap terbanyak di seluruh
Indonesia dengan proporsi 1,3% dan menempati urutan ke-35 dari daftar 50
18,4%, dan Inggris 38-41%. Diperkirakan bahwa hampir 30 % kasus pada praktek
2015).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dispepsia
Dispepsia berasal dari bahasa Greek dimana “ dys “ berarti buruk dan
akhir tahun 80–an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (jadi
suatu sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium,
mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa (Setiati,
2015).
Dispepsia adalah suatu istilah yang merujuk pada gejala abnormal di perut
bagian atas. Istilah ini biasa pula digunakan untuk menerangkan berbagai keluhan
yang dirasakan di abdomen bagian atas. Di antaranya adalah rasa nyeri ataupun
rasa terbakar di daerah epigastrium (ulu hati), perasaan penuh atau rasa bengkak
di perut bagian atas, sering sendawa, mual ataupun rasa cepat kenyang. Dispepsia
sering juga dipakai sebagai sinonim dari gangguan pencernaan (Herman, 2004).
Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein
didefinisikan sebagai kesulitan dalam mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau
terbakar di epigastrium yang persisten atau berulang atau rasa tidak nyaman dari
gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan atau cepat
kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal) (Talley &
lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui pemeriksaan
gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis (Brun & Kuo, 2010). Definisi
lain dari dispepsia fungsional adalah penyakit yang bersifat kronik, gejala yang
dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien, serta secara klinis
pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang gejala cenderung
menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta secara klinis pasien
setelah makan dan perasaan cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome
merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait
2004).
muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Dispepsia organik
dapat digolongkan menjadi :
a. Dispepsia Tukak
Keluhan penderita yang sering terjadi ialah rasa nyeri ulu hati. Berkurang
atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan. Hanya dengan
b. Refluks Gastroesofageal
Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal, yaitu rasa panas di dada
c. Ulkus Peptik
timbul akibat kerja getah lambung yang asam terhadap epitel yang rentan.
banyak.
(Djojoningrat, 2005).
Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar ke
e. Pankreatitis
nausea, kembung, keluhan utama lainnya ialah timbulnya diare yang berlendir
(Djojoningrat, 2005).
Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di
daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual dan muntah, misalnya obat golongan
h. Gangguan Metabolisme
lambung yang lambat sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan lekas
Helicobacter pylori adalah sejenis kuman atau bakteri gram negatif yang
terdapat dalam lambung dan berkaitan dengan kanker lambung. Hal penting dari
Helicobacterpylori adalah sifatnya menetap seumur hidup, selalu aktif dan dapat
sebagai berikut :
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat
1. Dispepsia tipe seperti ulkus (ulcer like), yang lebih dominan adalah
nyeri epigastrik.
2. Dispepsia tipe seperti dismotilitas (distimolity like ), yang lebih
kenyang.
2.1.3 Penyebab
dialami oleh seseorang. Secara garis besar, penyebab sindrom dispepsia menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gasritis,
2.1.4 Epidemiologi
kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di
lokasi geografi. Setiap tahun keluhan ini mengenai 25% populasi dunia. Di Asia
diperkirakan hampir 30% pasien dispepsia yang datang ke praktik umum adalah
terbesar di ruang inap di Rumah Sakit Arifin Ahmad Provinsi Riau tahun 2009
dengan 11,88% (Profil Kesehatan Provinsi Riau, 2012). Di Pekanbaru, tahun 2017
14292 orang.
2.1.5 Patofisiologi
ambang rangsang persepsi, diet dan faktor lingkungan dan gangguan psikologik
(Setiati, 2015).
b. Helicobacter pylori (Hp)
c. Dismotilitas gastrointestinal
e. Psikologis
gejala:
.Mudah kenyang
Mual
Muntah
(Herman, 2004).
2.1.7 Diagnosa
minggu, adanya penurunan berat badan, dan usia lebih dari 40 tahun. Untuk
pemeriksaan, yaitu:
a. Laboratorium
untuk diperiksa secara rutin. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan
lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika cairan
b. Radiologis
Pada tukak di lambung akan terlihat gambar yang disebut niche yaitu suatu
kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak
radiologis akan tampak massa yang ireguler, tidak terlihat peristaltik di daerah
diperhatikan warna mukosa, lesi, tumor jinak atau ganas. Kelainan di lambung
yang sering ditemukan adalah tanda peradangan tukak yang lokasinya terbanyak
di bulbus, dan parsdesenden, tumor jinak atau ganas yang divertikel. Pada
maka dapat dibuat diagnosis dispepsia tukak. Sedangkan bila tidak ditemukan
tukak tetapi hanya ada peradangan maka dapat dibuat diagnosis dispepsia bukan
d. Ultrasonografi
diagnostik dari suatu penyakit. Pemanfaatan alat USG pada pasien dispepsia
tiroid, bahkan juga ada dugaan tumor di esophagus dan lambung (Hadi, 2002).
modifikasi pola hidup dengan melakukan program diet yang ditujukan untuk
kasus dispepsia fungsional agar menghindari makanan yang dirasa sebagai faktor
pencetus. Pola diet yang dapat dilakukan seperti makan dengan porsi kecil tetapi
seperti: kopi, alcohol dll, kurangi dan hindari makanan yang pedas. Terapi untuk
2.1.8.1 Antasida
Golongan antasida terdiri atas aluminium, magnesium, kalsium karbonat,
tidak melalui efek langsung, atau menurunkan tekanan esophageal bawah (LES).
kation, kelarutan air, dan ada atau tidak adanya makanan (Katzung, 2004).
terdapat pada sel parietal dan menghambat sekresi asam lambung yang distimulasi
oleh makanan, ketazol, pentagrastin, kafein, insulin, dan refleks fisiologi vagal
(Katzung, 2004).
inhibitor yang aktif. Golongan obat ini menghambat sekresi asam lambung pada
stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat termasuk dalam golongan
mencapai sel parital dari darah dan berdifusi ke dalam sekretori kanalikuli, tempat
dengan gugus sulfahidril pada sisi luminal tempat H+,K+ ATPase, kemudian
terjadi inhibisi penuh dengan dua molekul dari inhibitor mengikat tiap molekul
Tabel 3. Regimen obat oral peptic ulcer disease (Dipiro et al, 2011)
2.1.8.4 Sitoprotetif
seperti sukralfat, misoprosol dan eprostil, selain bersifat sitoprotektif juga dapat
eksudat protein seperti albumin dan fibrinogen pada sisi ulser dan melindunginya
dari serangan asam, membentuk barier pada permukaan mukosa di lambung dan
dengan empedu. Sukralfat sebaiknya dikonsumsi pada saat perut kososng untuk
Obat golongan ini efektif untuk mengobati dyspepsia fungsional dan refluksesofa
saluran cerna bagian atas tanpa merangsang sekresi asam lambung, empedu atau
Gejala yang timbul pada dispepsia diantaranya adalah mual yang merupakan
gejala yang dominan terjadi setelah gejala nyeri. Dispepsia sering terjadi karena
lambung menyebabkan rasa tidak enak pada perut berupa rasa mual. Obat-obatan
pada sekresi asam lambung, golongan obat yang diberikan seperti; golongan
2.2 Nyeri
(Visual Analoge Scale),ODI, MPQ dan lain sebagainya, yang umum dilakukan
perawatan diri.
8 Nyeri begitu kuat sehingga anda tidak dapat lagi berfikir jernih,
dan sering mengalami perubahan kepribadian yang parah jika
Prinsip terapi
Kaji frekuensi, durasi, kejadian dan etiologi nyeri secraa
rutin
Morfin menjadi pilihan pertama karena ketersediaannya
dilapangan, terdapat dalam berbagai rute pemberian
Tersedianya kelengkapan rute memungkinkan dosis yang
lebih kecil
Tidak ada dosis pasti untuk penggunaan opioid, dosis dapat
dititrasi sampai target terapi tercapai, jika terjadi kejang
mioklonik gunakan alternatif lain
Manfaatkan analgetik tambahan untuk meminimalkan
peningkatan dosis opioid
Patch fentanyl yang ditempelkan tiap 72 jam memberikan
efek yang lebih baik
Situasi khusus nyeri mendadak, terutama sepanjang jalur
saraf dapat diberikan antikonvulsan dan antidepresan
Petimbangan terapi non farmakologis seperti radiasi,
kemoterapi dan pembedahan
Gambar 3. Algoritma nyeri akut (Dipiro et al, 2011)
2.4 Anemia
2.4.1 Definisi
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
kurang dari normal. Masyarakat lebih mengenal dengan istilah penyakit kurang darah,
berkurangnya hingga di bawah normal sel darah merah matang yang membawa oksigen
ke seluruh jaringan yang dijalankan oleh protein yang disebut Hemoglobin (Hb) dengan
level
normal 11,5 – 16,5 gr/dl untuk perempuan dan 12,5 0- 18,5 gr/dl untuk laki – laki
(Suryoprajogo, 2009). Penyakit anemia dapat menimbulkan gangguan atau hambatan
pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah
dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat
menurunkan prestasi belajar, olah raga dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi besi
akan menurunkan daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi.
Anemia merupakan keadaan dimana masa eritrosit dan masa hemoglobin yang
beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.
Anemia dapat diartikan sebagai penurunan kadar hemoglobin serta hitung eritrosit dan
hematokrit dibawah normal (Handayani & Wibowo 2008, h. 37).
Anemia didefinisikan sebagai suatu kondisi Ketika tubuh kekurangan sel darah . ,
penderita biasanya akan merasa letih dan lelah, sehingga tidak dapat melakukan aktivitas
secara optimal. Dengan kondidi tersebut yang mengandung hemoglobin untuk
menyebarkan oksigen ke seluruh tubuh.
Anemia didei nisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah
merah: konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. Menurut kriteria
WHO anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada pria dan di bawah 12 g%
pada wanita.1 Berdasarkan kriteria WHO yang direvisi/ kriteria National Cancer Institute,
anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 14 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada
wanita. Kriteria ini digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita dengan keganasan.1
Anemia merupakan tanda adanya penyakit. Anemia selalu merupakan keadaan tidak
normal dan harus dicari penyebabnya. Anamnesis, pemeriksaan i sik dan pemeriksaan
laboratorium sederhana berguna dalam evaluasi penderita anemia
2.4.2 Penyebab
Anemia terjadi akibat kadar hemoglobin atau ertrosit lebih rendah daripada nilai
normal. Anemia umumnya disebabkan karena ada perdarahan kronik atau malnutrisi
(kurang gizi) (Rusilanti 2007, h. 59).
a. Pendekatan kinetik
Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen :
• Berkurangnya produksi sel darah merah
• Meningkatnya destruksi sel darah merah
• Kehilangan darah.
2.4.3 Gejala
Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor
1. Berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan
2. Adanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan masif )
Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme
kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung pada kadar
Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb turun di bawah 5 g%, pada
kadar Hb lebih tinggi selama aktivitas atau ketika terjadi gangguan mekanisme
kompensasi jantung karena penyakit jantung yang mendasarinya. Gejala utama adalah
sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat istirahat, fatigue, gejala dan tanda keadaan
hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan roaring in the ears). Pada anemia
yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang mengancam jiwa
(gagal jantung, angina, aritmia dan/ atau infark miokard).
2.4.4 Klasifikasi
1) Anemia makrositik
Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di atas 100 fL.
Anemia makrositik dapat disebabkan oleh :
- Peningkatan retikulosit Peningkatan MCV merupakan karakteristik
normal retikulosit. Semua keadaan yang menyebabkan peningkatan
retikulosit akan memberikan gambaran peningkat-an MCV
- Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah (dei
siensi folat atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam
nukleat: zidovudine, hidroksiurea)
- Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia, leukemia
akut)
- Penggunaan alkohol Penyakit hati Hipotiroidisme.
2) Anemia mikrositik
Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel darah merah yang
kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia mikrositik biasanya disertai penurunan
hemoglobin dalam eritrosit. Dengan penurunan MCH ( mean concentration
hemoglobin) dan MCV, akan didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada
apusan darah tepi. Penyebab anemia mikrositik hipokrom1 :
- Berkurangnya Fe: anemia defisiensi Fe, anemia penyakit kronis/anemia
inflamasi, defisiensi tembaga.
- Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia sideroblastik
kongenital dan didapat.
- Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati.
3) Anemia normositik
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100 fL).
Keadaan ini dapat disebabkan oleh :
- Anemia pada penyakit ginjal kronik.
- Sindrom anemia kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan penyakit ginjal
kronik. • Anemia hemolitik: Anemia hemolitik karena kelainan intrinsik
sel darah merah: Kelainan membran (sferositosis herediter), kelainan
enzim (dei siensi G6PD), kelainan hemoglobin (penyakit sickle cell).
Anemia hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah merah: imun,
autoimun (obat, virus, berhubungan dengan kelainan limfoid, idiopatik),
alloimun (reaksi transfusi akut dan lambat, anemia hemolitik neonatal),
mikroangiopati (purpura trombositopenia trombotik, sindrom hemolitik
uremik), infeksi (malaria), dan zat kimia (bisa ular).
2.4.5 Tatalaksana
- Terapi besi oral dengan garam besi ferro larut, yang tidak dilapisi enterik
dan
tidak pelepasan lambat atau berkelanjutan, direkomendasikan dengan dosis
harian 200 mg unsur besi dalam dua atau tiga dosis terbagi
- vitamin oral
Suplementasi B12 tampaknya sama efektifnya dengan parenteral, bahkan
dalam pasien dengan anemia pernisiosa, karena jalur absorpsi vitamin
B12 alternatif tidak bergantung pada faktor intrinsik. Mulailah
cobalamin oral pada 1 hingga 2 mg setiap hari selama sampai 2 minggu,
diikuti oleh 1 mg sehari-hari.
- Folat oral, 1 mg setiap hari selama 4 bulan, biasanya cukup untuk
pengobatan folat
anemia defisiensi asam, kecuali jika etiologinya tidak dapat dikoreksi.
Jika malabsorpsi adalah saat ini, dosis 1 hingga 5 mg setiap hari mungkin
diperlukan.
2.5 Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
2.5.1 Pengertian
SLE adalah penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi
terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh. Peristiwa imunologi
yang memicu timbulnya manifestasi klinis SLE belum diketahui secara pasti (Suarjana,
2015). SLE adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar
luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh (Isbagio dkk, 2010).
2.5.2 Etiologi
SLE adalah penyakit yang kompleks dan belum diketahui penyebab pasti
mengapa seseorang menderita SLE. Namun demikian kombinasi dari berbagai faktor
antara lain lingkungan, hormonal, kelainan pada sistem imun, dan faktor genetik diduga
menjadi penyebab terjadinya SLE. SLE diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan
multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga
berperan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara
sporadik tanpa identifikasi faktor genetik, berbagai faktor lingkungan diduga terlibat
(Suarjana, 2015).
(HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam
kompleks imun merupakan kontributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini.
Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban antigenik (antigenic load), bantuan sel T
yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respons imun dari T helper 1(Th1)
seperti radiasi ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa
juga menyebabkan disregulasi sistem imun. Faktor genetik berperan penting sebagai
faktor penyebab SLE. Meskipun demikian tidak semua orang yang punya kecenderungan
(predisposisi) genetik akan menderita SLE. Hanya sekitar 10% penderita lupus
mempunyai orang tua atau saudara kembar yang juga menderita lupus (Suarjana, 2015).
2.5.2 Patogenesis
predisposisi genetik dengan faktor lingkungan, faktor hormon seks dan faktor sistem
terjadinya respon imun yang menimbulkan peningkatan aktifitas sel-T dan sel-B,
membentuk komplek imun yang kemudian akan membuat endapan sehingga tejadi
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal
tidak dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit SLE
ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama
mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian
diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada
akhirnya akan memenuhi kriteria SLE. Gambaran klinis keterlibatan sendi atau
muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus SLE, walaupun artritis sebagai manifestasi
2.5.4 Epidemiologi
Penyakit SLE dapat terjadi pada wanita maupun laki-laki di segala usia, namun
lebih banyak menyerang pada perempuan usia produktif. Hal ini mungkin berkaitan
dengan adanya hormon estrogen. Wanita dengan menarche dini atau menggunakan
kontrasepsi oral maupun terapi hormon memiliki risiko lebih besar terjadi SLE. Sindroma
kejadian SLE. Hal ini mendukung pernyataan mengenai adanya hubungan antara
patogenesis SLE dengan hormon (Tanzilia, 2021).
perempuan, akan tetapi lebih banyak menderita serositis.2,8 Penyakit SLE pada laki-laki
lebih banyak terdiagnosis pada usia renta dan memiliki mortalitas 1 tahun lebih tinggi
daripada perempuan. Penyakit SLE menyerang usia antara 16 dan 55 tahun sebesar 65%,
20% terjadi sebelum usia 16 tahun dan 15% sesudah usia 55 tahun (Tanzilia, 2021).
2.5.5 Diagnosis
Sama seperti dengan penyakit reumatik yang bersifat sistemik yang lain
diagnosis SLE dibutuhkan secara integrasi antara gejala klinik, pemeriksaan fisik dan
merupakan kelainan autoimun yang bersifat non organ spesifik gambaran klinik sangat
bervariasi tergantung sistem organ mana yang terlibat, bisa tunggal beberapa sistem
organ ataupun semua sistem organ di tubuh secara bersamaan terlibat semuanya dan
sangat mirip dengan kelainan sistemik pada penyakit reumatik yang lain atau kelainan
sendiri sering mengalami kesulitan bila gejalanya tidak begitu lengkap ataupun masih
dibuat The American College of Rheumatology (ACR). Bila ditemukan minimal 4 dari
2.5.6 Tatalaksana
diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena memberikan hasil
TINJAUAN KASUS
Umur : 21 tahun
No.RM : 00-15-XX-XX
3.2 Anamnesa
DR.DRS.M. Hatta Bukittinggi dengan keluhan utama perut sakit menyesak ke hulu
hati sejak 4 hari SMRS, koma mual muntah (+) terutama setiap makan dan nafsu
makan kurang, badan letih nyeri (+) demam hilang timbul / (+) 4 hari, BAB mencret
Nyeri dada dan sesak nafas, batuk pasca melahirkan 3 bulan yang lalu, sakit
penyakit.
Pada tanggal 10 desember 2021 pasien pernah masuk IGD RS dan mendapat
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,8 °C
Tanggal
Jenis
Pemeriksaan Nilai Rujukan
Pemeriksaan
14-12-2021
Tanggal
Jenis Pemeriksaan Pemeriksaan Nilai Normal
14-12-2021
Gula darah (Random) 96 mg/dL <200
Kekeruhan Jernih
Jernih
pH 6,5
Glukosa Negative NEGATIF
Urobilinogen Negative NORMAL
Nitrit Negative NEGATIF
Slinder 0-1/LPK 0-2
Epitel 0-1/LPB 2-10
Warna Kuning Kuning
BJ 1.015 1.003-1.030
Protein +2 NEGATIF
Billirubin Negative NEGATIF
Keton Negative NEGATIF
Eritrosit 1-2/LPB 0-2
Kristal Negative NEGATIF
3.5 Diagnosis
3.6 Penatalaksanaan
3.6.1 Terapi/Tindakan di Rawat Inap
3.6.2 Follow Up
S : - Perut sakit menyesak ke ulu hati sejak 4 hari SMRS, mual muntah
(+) terutama setiap makan dan minum, setiap makan nafsu makan
kurang, badan letih (+), demam hilang timbul +/- 4 hari ini, BAB
O: GCS : E4 M6 V5
Suhu: 36,5 C
-Nadi: 80 x / menit
-Kesadaran : Komposmentis
Pernapasan : 20 x menit
Saturasi oksigen : O2
A: -Nyeri
P: -Nyeri Teratasi
Hari ke-1: 16.01 WIB( 14 Desember 2021)
S: - Perut sakit menyesak ke ulu hati sejak 4 hari SMRS, mual muntah
(+) terutama setiap makan dan minum, setiap makan nafsu makan
kurang, badan letih (+), demam hilang timbul +/- 4 hari ini, BAB
mencret (+), BAK (N)
O: GCS : E4 M6 V5
Suhu: 36,6 C
-Nadi: 80 x / menit
-Kesadaran : Komposmentis
Pernapasan : 20 x menit
Saturasi oksigen : O2
A: -Nyeri
P: -Nyeri teratasi
Hari ke-1: 16.36 WIB( 14 Desember 2021)
S: Perut sakit menyesak ke ulu hati sejak 4 hari SMRS, mual muntah
(+) terutama setiap makan dan minum, setiap makan nafsu makan
kurang, badan letih (+), demam hilang timbul +/- 4 hari ini, BAB
O: GCS : E4 M6 V5
Suhu: 36,6 C
-Nadi: 80 x / menit
-Kesadaran : Komposmentis
Pernapasan : 20 x menit
Saturasi oksigen : O2
A: - Dypepsia - Anemia
P: - Tunda tranfusi sementara paracetamol 3 x 500mg k/p lanjut
S : - Perut sakit menyesak ke ulu hati sejak 4 hari SMRS, mual muntah
(+) terutama setiap makan dan minum, setiap makan nafsu makan
kurang, badan letih (+), demam hilang timbul +/- 4 hari ini, BAB
mencret (+).
O: GCS : E4 M6 V5
Suhu: 37,9 C
-Nadi: 80 x / menit
-Kesadaran : Komposmentis
Pernapasan : 20 x menit
Saturasi oksigen : O2
S: Perut sakit menyesak ke ulu hati sejak 4 hari SMRS, mual muntah
(+) terutama setiap makan dan minum, setiap makan nafsu makan
kurang, badan letih (+), demam hilang timbul +/- 4 hari ini, BAB
mencret (+).
O: GCS : E4 M6
Suhu: 37,9 ºC
-TD: 90/60 mmHg
-Nadi: 80 x / menit
-Kesadaran : Komposmentis
Pernapasan : 20 x menit
Saturasi oksigen : O2
Konjungtiva : anemis
Abdomen : N↑ Epigastrum +
A: - Dispepsia + anemia
P: Sesuai DPJP
Hari ke-2: 07.59 WIB( 15 Desember 2021)
makan kurang, badan letih (+), demam hilang timbul +/- 4 hari ini, BAB
mencret (+).
O: GCS : E4 M6
Suhu: 37,9 ºC
-Nadi: 80 x / menit
-Kesadaran : Komposmentis
Pernapasan : 20 x menit
Saturasi oksigen : O2
Konjungtiva : anemis
Abdomen : N↑ Epigastrum +
A: -Dispesia, anemia, SLE
P: -Sesuai DPJP
Hari ke-2: 09.37 WIB( 15 Desember 2021)
muntah (+) terutama setiap makan dan minum, setiap makan nafsu
makan kurang, badan letih (+), demam hilang timbul +/- 4 hari ini, BAB
mencret (+).
O: - GCS : E4 M6
Suhu: 37,9 ºC
-Nadi: 80 x / menit
-Kesadaran : Komposmentis
Pernapasan : 20 x menit
Saturasi oksigen : O2
Konjungtiva : anemis
Abdomen : N↑ Epigastrum +
- Paracetamol 3 x 500 mg
- Prednison stop
- Sukralfat syr 3 x C1
- Cefixime stop
S: -Perut sakit di daerah ulu hati (+), mual (+), muntah (+), SLE (+)
O: - GCS : E4 M6
Suhu: 37,3 ºC
-Nadi: 82 x / menit
-Kesadaran : Komposmentis
Pernapasan : 20 x menit
Saturasi oksigen : O2
S: - Perut sakit di daerah ulu hati (+), mual (+), muntah (+), SLE
O: GCS : E4 M6
Suhu: 37,3 ºC
-Nadi: 82 x / menit
-Kesadaran : Komposmentis
Pernapasan : 22 x menit
Saturasi oksigen : O2
-paracetamol 3 x 500 mg
- Prednisone stop
- Sukralfat syr 3 x C1
- Cefixime stop
- Inj. Ca Glukonas
- NAC 3 x 200 mg
kekuatan P S S MP S S M P S S M
Sucralfate syr. 3x1 po √ √ √
Domperidone 2x1 po √ √ √ √ √
Paracetamol Bila po √ √ √
perlu
Acetylsistein 3x1 po √ √
Ca Gluconas iv
Metilprednisolon 3x1 iv √ √ √ √ √
125 mg
Ringer lactat 3x1 iv √ √ √ √ √ √ √ √
DAFTAR PUSTAKA
APS. Management of Acute Pain and Chronic Noncancer Pain. American Pain
Society
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke G.R., Wells, B.G., Posey ,M. L., 2011,
Pharmacotheraphy Pathophysiology Approach 8th edition, USA, McGraw-Hill
Company.
Djojoningrat, D. 2005 . Dispepsia Fungsional. Jakarta: Majalah Kedokteran
Indonesia. 55: Halaman 219 – 220.
Djojoningrat, D. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Pusat
penerbit ilmu penyakit dalam. Halaman. 441-531.
Hadi, S. 2002. Gastroenterologi. Bandung: P.T. Alumni. Halaman 53.
Herman, R. B. 2004. Fisiologi Pencernaan Untuk Kedokteran. Padang: Andalas
Universitas Press. Halaman 623.
Katzung, B.G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba Medika.
Halaman 542-546.
Kurniati, N. 2015. Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Sindrom Dispepsia pada
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Tahun
2015. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Kusumobroto, H. 2003. Pendekatan Terkini Penderita Dengan Dispepsia Pusat
Gastrohepatologi. Fakultas Kedokteran. Universitas Airlangga RSUD Sutomo
Surabaya. Pertemuan Ilmiah Tahunan PAPDI Surakarta.
Mentes JC, Kang S. Hydration management. Journal Gerontology Nursing.
2013;39(2):11-9
Monkemuller K, Malfertheiner P. 2006. Drug Treatment of Functional
Dyspepsia.World Journal of Gastroenterology. 12(17): 2694-2700.
Omega, S. 2013.Prevalensi Dispepsia Fungsional Pada Pasien Dewasa Di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta Pada Tahun 2010 Dan Faktor-Faktor Yang
berhubungan. Jurnal Kedokteran.
Putri, R. 2015. Gambaran Sindroma Dispepsia Fungsional Pada Mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2014. Jurnal kedokteran. 2(2): 3
Rani, A, Fauzi A. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta:
Internal publishing. Halaman. 503-504.
Sayogo, S. 2007.Giji Remaja Putri. Yayasan Pengembangan Medik Indonesia.
FKUI. Jakarta. Halaman 18-19
Setiati, S. 2015. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit dalam.
Halaman 153-156.
Sudoyo, AW., dkk. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam; edisi V jilid I. Jakarta;
Interna Publising
Thomas DR, Cote TR, Lawhorne L, Levenson S, Rubenstein LZ, Smith DA.
Understanding clinical dehydration and its treatment. J Am Med Dir Assoc.
2008;9:292-301