Anda di halaman 1dari 47

STASE KEBUTUHAN DASAR PROFESI

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA


PASIEN NY. S DENGAN PARAPLEGIA INFERIOR DI RUANG
ROE RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

TANGGAL 4 NOVEMBER S/D 13 NOVEMBER 2021

OLEH:
AGUS
NIM ……………

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


UNIVERSITAS CAHAYA BANGSA
TAHUN 2021/2022

i
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PADA PASIEN NY. S DENGAN PARAPLEGIA INFERIOR DI RUANG
ROE RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

TANGGAL 4 NOVEMBER S/D 13 NOVEMBER 2021

OLEH:
AGUS
NIM ……………

Palangka Raya, 4 November 2021


Mengetahui,

Preseptor Akademi Preseptor Klinik

(Ria Anggara Hamba,S.Kep,Ns,MM) (Christina Indah,S.Kep,Ners)

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya,
sehingga saya dapat menyelesaikan laporan pendahuluan ini guna memenuhi
tugas individu untuk mata kuliah Stase Keperawatan Dasar Profesi, dengan judul
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Ny. S Dengan Paraplegia Inferior di Ruang
ROE RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya”. Saya menyadari dalam penulisan
tugas ini tidak terlepas dari bantuan CI lahan dan CI akademik yang dengan tulus
memberikan bantuan, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Terlepas dari semua itu saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi isi, susunan maupun tata bahasa. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari preseptor klinik (CI), preseptor
akademik dan pembaca, agar saya dapat memperbaiki makalah ini. Semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca
Terimakasih.

Palangka Raya, 4 November 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB 1 KONSEP DASAR TEORI NYERI ......................................................... 1
1.1 Konsep Dasar Nyeri ....................................................................................... 1
1.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan ........................................................... 11
BAB 2 KONSEP DASAR TEORI PARAPLEGIA ......................................... 13
2.1 Konsep Dasar Paraplegia ............................................................................. 13
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan ........................................................... 17
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN................................................................. 23
3.1 Pengkajian Keperawatan ............................................................................. 23
3.2 Intervensi Keperawatan ............................................................................... 32
3.3 Implementasi Keperawatan ......................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 1

iv
BAB 1
KONSEP DASAR TEORI NYERI

1.1 Konsep Dasar Nyeri


1.1.1 Pengertian Nyeri
Secara umum nyeri adalah suatu rasa tidak nyaman, baik ringan maupun
berat. Nyeri di definisikan sebagai suatu keadaan yang mempengarui seseorang
dan ekstensinya di ketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2017).
Menurut international association for study of pain (IASP, 2016) nyeri
adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadi
kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
nyeri.
1.1.2 Jenis-Jenis Nyeri
1. Nyeri akut
Menurut NANDA (2012) nyeri akut adalah pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang
aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan jaringan; awitan yang
tiba – tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yag dapat
diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.
2. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang di
perkirakan dan sering tidak dapat di kaitkan dengan penyebab atau cidera spesifik.
Nyeri kronis sering di definisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam
bulan atau lebih, meskipun enam bulan merupakan suatu periode yang dapat
berubah untuk membadakan nyeri akut dan nyeri kronis (Smeltzer dan Bare,
2012).
1.1.3 Pathofisiologi Nyeri
Sistem yang terlibat dalam sitem transmisi nyeri dan persepsi nyeri disebut
nosiseptif. Sentivitas terhadap nosiseptif dapt di pengaruhi oleh beberapa faktor
dari setiap individu. Menurut Smeltzer dan Bare (2012) faktor-faktor tersebut

1
2

dapat meningkatkan sensitivitas komponen yang berbeda dari sistem nosiseptif


yang diuraiakan sebagai berikut:
1. Transmisi nyeri
1) Reseptor nyeri (Nesiseptor)
Menurut Smeltzer dan Bare (2012) reseptor nyeri adalah ujung saraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya pada stimulus yang kuat, yang
secara potensial merusak. Stimulus tersebut sifatnya bisa mekanik, termal,
kimia, sendi, otot skelet, fasia dan tendon. Nyeri dari organ ini akan
diakibatkan dari stimuli reseptor yang kuat yang mempunyai tujuan lain
sebagai contoh inflamasi, peregangan, daniskemia.
Reseptor nyeri merupakan jaras multi arah yang kompleks. Serabut
saraf yang bercabang sangat dekat asalnya pada kulit dan mengirimkan
cabangnya ke pembuluh lokal, sel-sel mast, polikel rambut dan kelenjar
keringat.stimulus serabut ini akan menyebabkan pelepasannya sel-sel mast
dan mengakibatkan vasdilatasi. Serabut kutaneus lebih ke arah sentral dari
cabang yang lebih jauh dan berhubungan dengan rantai simpatis
paravertebra sistem saraf dandengan organ eksternal yang lebih besar.
Akibat dari hubungan dari saraf ini, nyeri sering disertai dengan
vasomotor, otonom, dan viseral. Contoh pasien dengan nyeri akut
mungkin mengalami penurunan atau tidak adanya peristaltik saluran
gastrointestinal.
2) Mediator kimia nyeri
Menurut smeltzer dan Bare (2012) zat-zat kimia yang meningkatkan
transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin, dan
subtansi dan postaglandin. Endorfin dan Enkefalin yang berfungsi sebagai
inhibitor terhadap transmisi nyeri. Endorfin dan Enkefalin ditemukan
dalam konsentrasi yang kuat dalamsistem saraf pusat.
Endorfin dan Enkefalin merupakan zat kimiawi endogen yang di
produksi oleh tubuh yang strukturnya serupa dengan opioid (narkotika).
Endorfin dan Enkefalin diduga dapat menghambat impuls nyeri dengan
memblok transmisi ini di dalam otak dan medulaspinalis.
3

2. Kornu Dorsalis dan Jaras Asenden


Menurut Smeltzer dan Bare (2012) kornu Dorsalis dari medula spinalis
dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer (reseptor nyeri)
berakhir disini dan perifer Traktus asenden berawal dari sini. Traktus asenden
berakhir pada otak bagian bawah dan tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke
korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap secara sadar neuro pada aseden harus
diaktifkan. Dalam kornus dorsalis terdapat interkoneksi neuro yang ketika aktif
menghambat atau memutuskan transnisi informasi yang menyakitkan atau
menstimulus nyeri dalam jaras aseden. Area ini sering disebut gerbang. Teori
kendali nyeri (Wall, 1978 dalam Smeltzer & Bare, 2012) dimana interaksi antara
stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut ini menghambat atau
memblok impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat. Sel-sel inhibitori
dalam kornu dorsalis medulla spinalis mengandung enkefalin yang dapat
menghambat impuls nyeri (Smetlzer & Bare, 2012).
1.1.4 Skala Nyeri
Menurut Smetlzer dan Bare (2017) skala intensitas nyeri
Skala intensitas Nyeri Deskriptif sederhana

Tidak ada Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri paling


Nyeri ringan sedang hebat Sangat hebat
hebat

Skala intensitas Nyeri Numerik 0 - 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Skala Analog Visual (VAS)


Tidak nyeri Nyeri paling hebat

Tidak nyeri Nyeri paling hebat


4

Skala Nyeri Untuk Anak

Pengukuran nyeri terdiri dari pengukuran komponen sensorik (intensitas


nyeri) dan pengukuran komponen afektif (toleransi nyeri).
1. Pengukuran komponen sensorik
Ada 3 metode yang umumnya digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri
yaitu Verbal Rating Scale (VRS), Visual Analogue Scala (VAS), dan Numerical
Rating Scale (NRS).
VRS adalah alat ukur yang menggunakan kata sifat untuk menggambarkan
level intensitas nyeri yang berbeda, range dari “no pain” sampai “nyeri hebat”
(extreme pain). VRS merupakan alat pemeriksaan yang efektif untuk memeriksa
intensitas nyeri. VRS biasanya diskore dengan memberikan angka pada setiap
kata sifat sesuai dengan tingkat intensitas nyerinya. Sebagai contoh, dengan
menggunakan skala 5-point yaitu none (tidak ada nyeri) dengan skore “0”, mild
(kurang nyeri) dengan skore “1”, moderate (nyeri yang sedang) dengan skore “2”,
severe (nyeri keras) dengan skor “3”, very severe (nyeri yang sangat keras)
dengan skore “4”. Angka tersebut berkaitan dengan kata sifat dalam VRS,
kemudian digunakan untuk memberikan skore untuk intensitas nyeri pasien.
Beberapa keterbatasan VRS adalah adanya ketidakmampuan pasien untuk
menghubungkan kata sifat yang cocok untuk level intensitas nyerinya, dan
5

ketidakmampuan pasien yang buta huruf untuk memahami kata sifat yang
digunakan.
Numeral Rating Scale adalah suatu alat ukur yang meminta pasien untuk
menilai rasa nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala numeral
dari 0 – 10 atau 0 – 100. Angka 0 berarti “no pain” dan 10 atau 100 berarti
“severe pain” (nyeri hebat). Dengan skala NRS-101 dan skala NRS-11 point,
dokter/terapis dapat memperoleh data basic yang berarti dan kemudian digunakan
skala tersebut pada setiap pengobatan berikutnya untuk memonitor apakah terjadi
kemajuan.
VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa intensitas
nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai
dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “no pain” dan ujung kanan
diberi tanda “bad pain” (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai disepanjang
garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien.
Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh
pasien (ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan level intensitas
nyeri. Kemudian skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi
selanjutnya.Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri daripada
pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point karena responnya yang lebih
terbatas (Jensen et.al, 2016).
Nyeri merupakan salah satu gangguan yang sering kita rasakan, namun
sedikit yang tau apakah nyeri kita termasuk ringan atau berat. Biasanya seorang
dokter akan menanyakan tingkat nyeri yang kita rasakan merdasarkan urutan
angka dari 0-10, sehinga terapi yang diberikan akan tepat pada sasaran, dan tidak
melebihi dosis yang dibutuhkan.
6

Berikut ini ukuran skala nyeri dari 0-10:


SKALA NYERI
0 Tidak nyeri
1 Seperti gatal, tersetrum/nyut-nyut
2 Seperti melilit atau terpukul
3 Seperti perih
4 Seperti keram
5 Seperti tertekan atau tergesek
6 Seperti terbakar atau ditusuk-tusuk
7-9 Sangat nyeri tetapi dapat dikontrol oleh pasien
dengan aktivitas yang biasa dilakukan.
10 Sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol oleh
pasien.
Keterangan 1-3 (Nyeri Ringan)
4-6 (Nyeri Sedang)
7-9 (Nyeri Berat)
10 (Sangat Nyeri)
1.1.5 Faktor Faktor Yang Mempengarui Nyeri
1. Usia
Menurut Potter & Perry (2016) usia adalah variabel penting yang
mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan
perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat
mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-
anak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang dilakukan
perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum mempunyai kosakata
yang banyak, mempunyai kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan
mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau perawat.
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah
patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2017).
2. Jenis Kelamin
Gill (2018) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai
perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih
diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam
ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis
7

dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang
dilakukan Burn, dkk. (1989) dikutip dari Potter & Perry, 2018 mempelajari
kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak dibandingkan dengan
pria.
3. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Calvillo
& Flaskerud, 2019).
4. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri,
mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak
memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga
tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif menurunkan
nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan dengan
nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak
berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat
menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif untuk menghilangkan
nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer
& Bare, 2018).
5. Pengalaman masa lalu dengan nyeri
Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya
menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap pengalaman masa lalu
pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat, individu
mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu
mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare, 2017).
6. Efek Plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau
tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut benar benar
bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah merupakan efek positif.
Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan keefektifan
medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali makin banyak petunjuk yang diterima
8

pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif intervensi tersebut nantinya.


Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan dapat meredakan
nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding dengan pasien yang
diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek apapun.
Hubungan pasien –perawat yang positif dapat juga menjadi peran yang amat
penting dalam meningkatkan efek plasebo (Smeltzer & Bare, 2012).
7. Keluarga dan Support Sosial
Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah
kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri
sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi.
Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri
semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting
untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 2016).
8. Pola koping
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit
adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus pasien kehilangan
kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Pasien
sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis.
Penting untuk mengerti sumber koping individu selama nyeri. Sumber-sumber
koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan bernyanyi dapat
digunakan sebagai rencana untuk mensupport pasien dan menurunkan nyeri
pasien.
Sumber koping lebih dari sekitar metode teknik. Seorang pasien mungkin
tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga atau teman.
Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan kesendirian. Kepercayaan
pada agama dapat memberi kenyamanan untuk berdo’a, memberikan banyak
kekuatan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang datang (Potter & Perry, 2016).
1.1.6 Batasasn karakteristik nyeri
Batasan karakteristik menurut NANDA (2012) cemas (ansietas) yaitu
perilaku (penurunan produktifitas, gelisah, melihat sepintas, insomnia dan kontak
mata yang buruk, mengekspresikan kekhawatiran karena perubahan dalam
peristiwa hidup, agitasi, mengintai dan tampak waspada), afektif (gelisah,
9

kesediahan yang mendalam, distres, ketakutan, perasaan tidak adekuat, berfokus


pada diri sendiri, peningkatan kewaspadaan, iritabilitas, gugup dan senang
berlebihan, rasa nyeri yang meningkatkan ketidakberdayaan, peningkatan rasa
ketidakberdayaan yang konsisten, bingung, menyesal, ragu dan khawatir),
fisiologis (wajah tegang, peningkatan keringat, peningkatan ketengangan, gemetar,
tremor dan suara gemetar).
Batasaan karakteristik menurut Taylor dan Ralph (2012) yaitu afektif
seperti gugup, khawatir, berfokus pada diri sendiri, perasaan ketidakadekuatan,
rasa takut dan cemas, perilaku , seperti penurunan produktifitas sangat berhati –
hati, kontak mata kurang, kegelisahan, pandangan sekilas, pergerakan yang
takreleven (seperti nyeri kaki, pergerakan lengan atau tangan), kognitif, seperti
konfusi dan preokupasi, objektif, seperti gemetar atau tremor pada tangan,
insomnia, psikologis, seperti suara bergetar, peningkatan respirasi dan nadi,
dilatas pupil, gangguan tidur, keringat berlebihan dan wajah kemerahan, subjektif,
sperti gemetar, khawatir dan sangat menyesal.
10

1.1.7 Phatway Nyeri


11

1.1.8 Penatalaksanaan Nyeri Secara Umum


1. Pemberian analgesik (dosis, rute sesuai pemberian)
2. Monitoring lanjutan
Bila nyeri dibiarkan lama-lama bisa membuat derajat nyeri semakin
meningkat. Selain itu jika tak ditangani, lokasi nyeri pun bisa makin meluas
ke bagian tubuh yang tidak nyeri akan berubah menjadi nyeri.
1.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1.2.1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian berlanjut membantu:
1. Observasi ketidaknyamanan non verbal
2. Kaji skala nyeri
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik saat berkomunikasi
4. Evaluasi pengalaman nyeri
5. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
6. Ajarkan teknik relaksasi
7. Kolaborasi medis akan memberikan analgetik
1.2.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1. Cemas berhubungan dengan krisis situasional akibat perubahankeadaanya
Tujuan dan kriteria hasil:
NOC : Kontrol kecemasan dan koping
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam diharapkan:
a. Pasien mampu mengindentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas,
b. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan teknik untuk
mengontrol cemas,
c. Vital Sign,
d. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya tingkat kecemasan.
Intervensi:
NIC: Anxiety reduction (penurunan kecemasan)
a. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan.
b. Libatkan keluarga untuk mendampingi pasien.
c. Instruksikan pada psien untuk menggunakan teknik relaksasi.
12

d. Dengarkan keluhan pasien dengan penuh perhatian.


e. Identifikasi tingkat kecemasan.
f. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan.
g. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan dan ketakutan persepsi.
1.2.3 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, kegiatannya meliputi pengumpulan data berkelanjutan,
mengobservasi respon pasien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan
(Purnomo, 2016).
1.2.4 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan penilaian dengan cara membandingkan perubahan
keadaan pasien (hasil yang dimati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat
pada tahap perencanaan (Purnomo, 2016).
BAB 2
KONSEP DASAR TEORI PARAPLEGIA

2.1 Konsep Dasar Paraplegia


2.1.1 Pathwy Paraplegia

2.1.2 Pengertian Paraplegia


Lesi total transversal medula spinalis segmen thorako lumbal adalah lesi
yang mengenai seluruh medula spinalis pada segmen thorakolumbal yang
bermanifestasi dengan kelumpuhan anggota gerak bawah.
Paraplegia merupakan paralysis permanen dari tubuh yang disebabkan oleh
luka atau penyakit yang dipengaruhi oleh medulla spinalis (Sudoyo, dkk. 2016:
842).
Paraplegia adalah kondisi di mana bagian bawah tubuh (ekstermitas bawah)
mengalami kelumpuhan atau paralysis yang disebabkan karena lesi transversal
pada medulla spinalis (Bimaariotejo, 2012).
Paraplegia merupakan kehilangan gerak dan sensasi pada ekstermitas bawah
dan semua atau sebagian badan sebagai akibat cedera pada torakal atau medulla.
Spinalis lumbal atau radiks sakral (Smeilzer, Suzanne C, dkk. 2017).

13
14

2.1.3 Etiologi Paraplegia


Penyebab lesi total transversal medula spinalis meliputi 3:
1. Cedera Medula Spinalis Akibat Kecelakaan.
2. Kista/Tumor: Siringomielia, Meningioma, Schwannoma, Glioma,
Sarkoma dan tumor metastase.
3. Infeksi: spondilitis tuberkulosa, meningitis atau herpes zoster.
4. Kelainan tulang vertebra: Kolaps tulang belakang yang terjadi karena
pengeroposan tulang akibat kanker, osteoporosis atau cedera yang hebat,
Artritis degeneratif (osteoartritis) yang menyebabkan terbentuknya
penonjolan tulang yang tidak beraturan (taji tulang) yang menekan akar
saraf, Stenosis spinalis (penyempitan rongga di sekitar korda spinalis),
sering terjadi pada usia lanjut.
5. Hematoma Spinalis.
2.1.4 Epidemiologi
Pada praktek klinis, lesi total transversal medula spinalis jarang terjadi,
kecuali faktor penyebabnya berupa trauma berat, misalnya peluru dan atau fraktur
tulang belakang yang total1. Data epidemiologik dari berbagai negara
menyebutkan bahwa angka kejadian cedera medula spinalis sekitar 11, 5-53, 4
kasus per 100.000 penduduk per tahun.
2.1.5 Patofisiologi dan Gejala Klinis
Akibat lesi di medula spnalis dapat terjadi manifestasi:
1. Gangguan fungsi motorik
a. Gangguan motorik di tingkat lesi:. Karena lesi total juga merusak kornu
anterior medula spinalis dapat terjadi kelumpuhan LMN pada otot-otot
yang dipersyarafi oleh kelompok motoneuron yang terkena lesi dan
menyebabkan nyeri punggung yang terjadi secara tiba-tiba.
b. Gangguan motorik di bawah lesi: dapat terjadi kelumpuhan UMN karena
jaras kortikospinal lateral segmen thorakal terputus. Gerakan refleks
tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau bahkan
meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap ada dan bahkan meningkat.
Meningkatnya refleks ini menyebabkan kejang tungkai. Refleks yang tetap
dipertahankan menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek,
15

sehingga terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang spastik teraba


kencang dan keras dan sering mengalami kedutan1.
2. Gangguan fungsi sensorik : karena lesi total juga merusak kornu posterior
medula spinalis maka akan terjadi penurunan atau hilang fungsi sensibilitas
dibawah lesi. Sehingga pasien tidak dapat merasakan adanya rangsang taktil,
rangsang nyeri, rangsang thermal, rangsang discrim dan rangsang lokalis1.
3. Gangguan fungsi autonom: karena terputusnya jaras ascenden spinothalamicus
maka pasien akan terjadi kehilangan perasaan akan kencing dan alvi1.
2.1.6 Pemeriksaan
1. Laboratorium
a. Hematology
Hemoglobin dapat menurun karena destruksi sumsum tulang
vertebra atau perdarahan. Peningkatan Leukosit menandakan selain adanya
infeksi juga stress fisik ataupun terjadi kematian jaringan.
b. Kimia klinik
PT/PTT untuk melihat fungsi pembekuan darah sebelum pemberian
terapi antikoagulan. Dapat terjadi gangguan elektrolit karena terjadi
gangguan dalam fungsi perkemihan, dan fungsi gastrointerstinal.
2. Radiodiagnostik
1) CT Scan: untuk melihat adanya edema, hematoma, iskemi dan infark.
2) MRI : menunjukkan daerah yang mengalami fraktur, infark, hemoragik.
3) Rontgen: menunjukkan daerah yang mengalami fraktur, dan kelainan
tulang, gambaran infeksi TB paru. Telah terjadi kerusakan jaras ascenden
spinotalamikus dimana pasien sudah tidak bisa merasakan sensasi ingin
kencing dan BAB.
4) Nyeri yang diraskan dapat dilakukan dengan tehnik masase atau dengan
distraksi.
16

2.1.7 Penatalaksanaan
1. Penatanalaksanaan Medis
a. Obat
- Metyl prednisolon 30 mg/kb BB, 45 menit setelah bolus selama 23 jam.
Hasil optimal bila pemberian dilakukan <8 jam onset.
- Tambahkan profilaksi stress ukus: Antacid/antagonis H2. Jika
pemulihan sempurna, pengobatan tidak diperlukan
- Berikan Antibiotik, biasanya untuk menyembuhkan. Jika terjadi
infeksi.
b. Operasi
Dengan menggunakan teknik Harrison roda stabilization (instrument
Harrison) yaitu menggunakan batang distraksi baja tahan karat untuk
mengoreksi dan stabilisasi deformitas vertebra.
2. Penatanalaksanaan Keperawatan
a. Memberikan alat bantu
b. Pemanasan
Dengan air hangat atau sinar
c. Latihan
Disebut dengan Range of Motion (ROM) untuk mengetahui luas
gerak sendi.
d. Refleksi Ganda
Penekukan maksimal pada jari kaki keempat.
e. Refleksi Bing
Memberikan rangsangan tusuk pada kulit yang menutupi metatarsal
kelima.
17

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian Keperawatan
1. Identitas pasien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, diagnose medis.
2. Keluhan Utama
Biasanya didapatkan laporan kelemahan dan kelumpuhan ekstrimitas,
inkontinensia defekasi dan berkemih.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya terjadi riwayat trauma, pengkajian yang didapat meliputi hilanya
sensibilitas, paralisis, ieus paralitik, retensi urine, hilangnya refleks.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat infeksi, tumor, cedera tulang belakang, DM, jantung,
anemia, obat antikoagulan, alkohol.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Mengkaji adanya generasi dahulu yang menderita hipertensi atau DM.
6. Pola-pola Fungsi Kesehatan
1) Aktifitas/Istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi.
Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
2) Sirkulasi
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
3) Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis
berwarna seperti kopi tanah /hematemesis.
4) Integritas Ego
Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
5) Makanan /cairan
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik).
6) Higiene
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)
18

7) Neurosensori
- Kesadaran: GCS
- Fungsi motorik: Kelumpuhan, kelemahan
- Fungsi sensorik: Kehilangan sensasi / sensibilitas.
- Refleks fisiologis: Kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk
tendon dalam. Kehilangan tonus otot /vasomotor,
- Refleks patologis: munculnya refleks patologis,
- Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang
terkena karena pengaruh trauma spinal.
8) Nyeri /kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
9) Pernapasan
Pernapasan dangkal, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat,
sianosis.
10) Keamanan
Suhu yang berfluktasi, jatuh.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuron fungsi
motorik dan sesorik.
2. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan
penurunan immobilitas, penurunan sensorik.
3. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih
secara spontan, terputusnya jaras spinothalamikus.
4. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan
autonomik, terputusnya jaras spinothalamikus.
5. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan, immobilitas lama, cedera psikis.
2.2.3 Intervensi Keperawatan
1. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuron, fungsi
motorik dan sesorik.
Tujuan: Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil: Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya
kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang
19

sakit/kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku yang memungkinkan


melakukan kembali aktifitas.
1) Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
2) Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh
dan kenyamanan pasien.
3) Beri papan penahan pada kaki.
4) Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits.
5) Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hari.
6) Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
7) Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti
splints.
Rasional
1) Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.
2) Mencegah terjadinya dekubitus.
3) Mencegah terjadinya foodrop.
4) Mencegah terjadinya kontraktur.
5) Meningkatkan stimulasi dan mencegah kontraktur.
6) Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.
7) Memberikan pancingan yang sesuai.
2. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan
penurunan immobilitas, penurunan sensorik.
Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari
infeksi pada lokasi yang tertekan.
1) Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit.
2) Kaji keadaan pasien setiap 8 jam.
3) Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa).
4) Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis.
5) Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
6) Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol
setiap 2 jam dengan gerakan memutar.
7) Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein.
20

8) Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
Rasional
1) Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia
bladder/bowel.
2) Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
3) Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas.
4) Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi
meningkatkan sirkulasi darah.
5) Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan
kulit.
6) Meningkatkan sirkulasi darah.
7) Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan.
8) Mempercepat proses penyembuhan.
3. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih
secara spontan, terputusnya jaras spinothalamikus.
Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa
residu dan distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan
output cairan seimbang
1) Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih.
2) Kaji intake dan output cairan.
3) Lakukan pemasangan kateter sesuai program.
4) Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari.
5) Cek bladder pasien setiap 2 jam.
6) Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas.
7) Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam
Rasional
1) Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih.
2) Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.
3) Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih
sehingga perlu bantuan dalam pengeluaran urine.
4) Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya infeksi.
21

5) Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia.


6) Mengetahui adanya infeksi.
7) Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.
4. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan
autonomik, terputusnya jaras spinothalamikus.
Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek,
berbentuk.
1) Kaji pola eliminasi bowel.
2) Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi.
3) Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen.
4) Hindari penggunaan laktasif oral.
5) Lakukan mobilisasi jika memungkinkan.
6) Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi.
7) Berikan suppositoria sesuai program.
8) Berikan diet tinggi serat.
Rasional
1) Menentukan adanya perubahan eliminasi.
2) Mencegah konstipasi.
3) Bising usus menentukan pergerakan perstaltik.
4) Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan.
5) Meningkatkan pergerakan peritaltik.
6) Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria.
7) Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi.
8) Serat meningkatkan konsistensi feses
5. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan, immobilitas lama, cedera psikis.
Tujuan : Memberikan rasa nyaman: nyeri
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman,
mengidentifikasikan cara-cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai kebutuhan
individu.
22

1) Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung


nyeri, misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 – 1.
2) Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase,
kompres hangat / dingin sesuai indikasi.
3) Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi
visualisasi, latihan nafas dalam.
4) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya
dontren (dantrium); analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)
Rasional
1) Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera misalnya
dada/punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer.
2) Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan
emosionlan, selain menurunkan kebutuhan otot nyeri/efek tak diinginkan
pada fungsi pernafasan.
3) Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
4) Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme/nyeri otot atau untuk
menghilangkan-ansietas dan meningkatkan istrirahat.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Keperawatan


3.1.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 40 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Kawin
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Alamat : Desa Unsum Bartim
No. Medical Record : 38. xx.xx
Tanggal Masuk : 31/10/2021
Tanggal Pengkajian : 04/10/2021
Diagnosa Medis : Paraplegia Inferior
3.1.2 Identitas Penanggung Jawab
Nama : Nn. Susiati
Umur : 23 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Hubungan dengan pasien : Adik Kandung
Alamat : Desa Unsum Bartim
3.1.3 Riwayat Penyakit
1. Keluhan Utama : Pasien mengeluh nyeri pinggang, kepala dan nyeri ulu hati
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan RSUD Barito Timur dengan Paraplegia Akut
mendapatkan terapi:
1) RL 16 tpm dengan drip Mecobalamin 500 mg,
2) Inj. Methilprednisolon 62,5 mg per 24 jam,

23
24

3) Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam.


Tiba di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya tanggal 31/10/2021
pukul 03. 48 WIB. Pasien mengatakan bahwa dirinya mengalami nyeri
pinggang, kedua kaki sulit digerakan dan kehilangan sensasi sudah 1 minggu
sedangkan nyeri kepala dan nyeri ulu hati sudah 4 hari, terasa mual.
PQRST:
P : Nyeri
Q : Seperti dipukul dan terbakar
R : Pinggang, kepala dan ulu hati
S : Skala Nyeri 5
T : Waktu nyeri 5 -10 menit
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan pernah terpeleset di rumahnya 4 bulan yang lalu
dengan posisi terduduk.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan keluarganya tidak pernah mengalami sakit yang
seperti dialami pasien dan keluarga pasien tidak adanya mengalami penyakit
keturunan.
5. Genogram

Keterangan gambar:
: Perempuan
: Laki-Laki
: Pasien
: Serumah
: Hubungan keluarga
25

3.1.4 Riwayat Aktivitas Sehari-hari

No. Kebutuhan Sebelum Sakit Selama Sakit


1. Nutrisi
1. BB dan TB 1. 70 kg/160 cm 1. 70 kg/160 cm
2. Diet 2. NB 2. NB
3. Kemampuan 3. Tidak ada 3. Tidak ada masalah
a. Mengunyah masalah
b. Menelan
c. Bantuan total/sebagian 4. 3x sehari
4. Frekuensi 4. 3x sehari 5. 1 Piring
5. Porsi makan 5. 1 Piring 6. Tidak ada
6. Makanan yang menimbulkan 6. Tidak ada
alergi 7. Tidak ada
7. Makanan yang disuka 7. Tidak ada
2. Cairan
1. Intake
Oral
a. Jenis
b. Jumlah air putih cc/hari 1500 1000
c. Bantuan total/sebagian Mandiri Sebagian
d. Intravena Tidak ada
e. Jenis RL 20 tpm 1500 ml/ 24
f. Jumlah....cc/hari jam
2. Output
a. Jenis Normal Normal
b. Jumlah....cc/hari 1500 ml 3000 ml
3. Eliminasi
1. BAB
a. Frekuensi Tidak ada Selama sakit BAB 1 x
b. Konsistensi masalah/normal
c. Warna
d. Keluhan
e. Bantuan total/sebagian
2. BAK
a. Frekuensi Tidak ada Tidak ada
b. Warna masalah/normal masalah/normal
c. Jumlah (dalam cc)
d. Keluhan
e. Bantuan total/sebagian
4 Istirahat Tidur
a. Mulai tidur a. 21.00 WIB a. 22.00 WIB
b. Lama tidur b. 8 jam b. 7 jam
c. Kesulitan memulai tidur c. Tidak ada c. Nyeri pada
d. Gangguan tidur d. Tidak ada pinggang, kepala
e. Kebiasaan sebelum tidur e. Tidak ada dan ulu hati
d. Tdk ada
e. Tdk ada
26

No. Kebutuhan Sebelum Sakit Selama Sakit


5. Personal Hygiene
a. Mandi (frekuensi, bantuan a. Mandiri (2x a. Dibantu (1x sehari
total/sebagian) sehari) diseka)
b. Gosok gigi (Frekuensi) b. 2x sehari b. Dibantu
c. Cuci rambut c. 2 hari sekali c. Dibantu
d. Gunting kuku d. 2x sehari d. 1x selama 4 hari
e. Ganti pakaian (frekuensi e. 2-3 sehari e. 1 x sehari
perhari)
6. Aktivitas
a. Mobilitas Fisik a. Tak terbatas/ a. Terbatas/ dibantu
b. Olahraga mandiri anak
c. Rekreasi b. Tidak ada b. Tidak ada
c. Kadang- c. Tdk ada
kadang
3.1.5 Data Psikologis
Pasien mengatakan selama proses pemulihan tidak mampu maksimal
bekerja.
3.1.6 Data Sosial
Hubungan sosial pasien dengan keluarga dan perawat baik.
3.1.7 Data Spiritual
Pasien yakin akan sembuh walaupun harus istirahat beberapa waktu dalam
proses pemulihan, pasien hanya sholat di tempat tidur saja.
3.1.8 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum pasien : baik, tampak masih lemah
2. Tanda Vital Pasien
a. Suhu : 36,50C
b. Nadi : 116 x/menit
c. Respirasi : 20 x/menit
d. Tekanan darah : 148/76 mmHg
3. Kesadaran
a. Kuantitatif : GCS E4 V5 M6
b. Kualitatif : Compos mentis
27

4. Kepala dan Muka


Pemeriksaan fisik dengan cara:
1) Inspeksi : Kebersihan kepala bersih dan bentuk kepala dan muka simetris
distribusi rambut sedikit, warna rambut putih, wajah pasien
tampak meringis kesakitan.
2) Palpasi : Keadaan rambut kuat, ada massa tidak ada, nyeri tidak, tidak
ada tumor atau bekas luka/sikatrik.
5. Kulit
1) Inspeksi : Warna kulit coklat, tidak ada lesi, tidak ada oedema, tidak ada
peradangan.
2) Palpasi : Turgor kulit cepat kembali, tidak ada nyeri tekan pada kulit
6. Mata (Penglihatan)
Tujuan dari pemeriksaan mata adalah untuk mengetahui bentuk dan
fungsi mata. Pemeriksaan fisik dengan cara:
1) Inspeksi : Bola mata simetris, pergerakan bola mata normal, refleks pupil
terhadap cahaya normal, kornea bening, konjungtiva tidak
anemis, sclera tidak ikterik, ketajaman pengelihatan normal,
tidak ada peradangan.
2) Palpasi : Tidak ada tekanan bola mata, tidak ada nya nyeri tekan
7. Hidung (Penciuman)
Tujuan dari pemeriksaan hidung untuk mengetahui keadaan, kebersihan,
bentuk dan fungsi hidung, pemeriksaan fisik dengan cara:
1) Inspeksi : Bentuk hidung simetris, letaknya simetris, peradangan tidak
ada, fungsi penciuman baik, tidak ada cairan, tidak ada polip,
bernafas tidak menggunakan alat bantu pernafasan, fungsi
penciuman normal.
2) Palpasi : Tidak ada peradangan maupun nyeri tekan.
8. Telinga (Pendengaran)
1) Inspeksi : Bentuk daun telinga simetris, letaknya simetris, peradangan
tidak ada, fungsi pendengaran baik, tidak ada cairan, pasien
tidak menggunakan alat bantu pendengar, fungsi pendengaran
normal.
28

2) Palpasi : Tidak adanya nyeri tekan.


9. Mulut dan gigi
Inspeksi : Bibir warnanya tidak pucat/cyanosis/merah, tidak kering, tidak
pecah, bersih, gigi lengkap, caries ada, gusi tidak berdarah, tonsil
tidak radang, lidah tidak tidak kotor, fungsi pengecapan baik
mucosa mulut warna merah pucat, stomatitis tidak ada, fungsi
pengecapan normal dimana pasien mampu merasakan rasa manis,
asin, asam, dan pahit.
10. Leher
1) Inspeksi : Bentuk leher, tidak ada pembengkakan, jaringan parut atau
pembesaran vena jugularis, keterbatasan gerak tidak ada,
pergerakan leher (ROM) : bisa bergerak fleksi, rotasi, lateral
fleksi, tidak hiperekstension
2) Palpasi : Tidak ada benjolan atau pembengkakan kalenjar limfe ataupun
pembengkakan kalenjar tiroid dan tidak ada kaku kuduk.
11. Dada
1) Inspeksi : Bentuk dada bersih, bentuk nafas simetris, retraksi dinding
dada simetris, bentuk mamae simetris, tidak ada batuk, tidak
ada sianosis, posisi trachea normal, frekuensi pernafasan,
kedalaman pernafasan, ekspansi dada, penggunaan otot-otot
pernafasan semua normal, clubbing finger 2 menit.
2) Palpasi : Taktil fremitus tidak ada, fibrasi tidak ada, kesimetrisan
pergerakan dada normal.
3) Perkusi : Batas paru tegas, resonansi paru sonor.
4) Auskultasi : Vesikuler dan S1 S2 tunggal.
12. Abdomen
1) Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada peningkatan peristaltik usus, tidak
ada odema.
2) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada daerah suprapubik, tidak ada
nyeri tekan pada epigastrik.
3) Perkusi : Timpani, Hipertimpani.
4) Auskultasi : Peristaltik usus normal 16x/menit.
29

13. Genetalia
a. Inspeksi : Tidak ada radang pada genetalia eksterna, menggunakan alat
bantu BAK yaitu urinal.
b. Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada daerah pubis.
14. Ekstermitas atas /bawah
a. Inspeksi : Tampak kedua kaki tidak mampu digerakan gerak kaki kiri
bagian bawah, Kekuatan otot extrimitas bawah kiri dan kanan
2. Tidak ada masalah pada ekstrimitas atas kiri dan kanan
kekuatan otot 5, cairan intravena terpasang pada ekstremitas
atas kanan.
b. Palpasi : Akral hangat, saturasi setiap jari pada kaki kiri 99 %, tidak ada
di temukan kompertemen syndroma, sensasi kedua kaki
berkurang. Tidak ada masalah pada kedua ekstrimitas atas
kanan dan kiri.
3.1.9 Data Penunjang
1. Laboratorium :
1) Leukosit 8,31 /uL
2) Hb : 11,9/dl
3) PLT 316/ul
4) Limposit 0,93/ul
5) Gds : 116 mg/dl
6) Kreatinin : 0,72 mg/dl
7) Ureum : 42 mg/dl
8) Natrium : 135 mmol/l
9) Kalium : 1,19 mmol/l
10) Calcium : 3,8 mmol/l
2. Pemeriksaan (Rontgen, USG, MRI, CT Scan) :
1) Gambaran foto thorax tidak terdapat kelainan pada jantung dan paru.
2) Gambaran ST Scan Kepala tidak ada perdarahan ataupun SOL.
3) Gambaran foto thorakal terdapat lesi paravertebre body T4.
30

3. Pemeriksaan EKG : Tidak ada pemeriksaan EKG


Terapi:
1) Inj. Methilprednisolon 2 x 250 mg.
2) Inj. Mecobalamin 3 x 500 mg.
3) Inj. Lanzoprazole 1 x 30 mg.
4) Inj. Phenitoin 2x 100 mg.
5) Inj. Ketorolac 3 x 30 mg.
6) Inf. NaCl 1500/24 jam (21 tpm).
31

3.1.10 Analisa Data


No. Data Etiologi Masalah
1. DS: Cidera fisik Nyeri akut
- Pasien mengeluh nyeri pinggang, ↓
kepala dan nyeri ulu hati Ujung syaraf rusak
- Pasien mengatakan bahwa dirinya ↓
mengalami nyeri pinggang, Impul kebatang
kedua kaki sulit digerakan dan otak
kehilangan sensasi sudah 1 ↓
minggu sedangkan nyeri kepala Timbul sensasi
dan nyeri ulu hati sudah 4 hari, nyeri
terasa mual pada lambung ↓
- Pasien mengatakan pernah Nyeri akut
terpeleset di rumahnya 4 bulan
yang lalu dengan posisi terduduk.
DO:
- PQRST:
P : Nyeri
Q : Seperti dipukul dan terbakar
R : Pinggang, Kepala dan ulu hati
S : Skala Nyeri 5 (nyeri sedang)
T : Waktu nyeri 5 -10 menit
- Tampak kedua kaki tidak mampu
digerakan gerak kaki kiri bagian
bawah, Kekuatan otot extrimitas
bawah kiri dan kanan 2
- Gambaran foto thorakal terdapat
lesi paravertebre body T4
- Palpasi : sensasi pada ekstrimitas
berkurang
- TTV:
T : 148/76 mmHg
N : 116x/menit
S : 36,50C
R : 20 x/menit
SPO2 : 98 %
3.1.11 Diagnosa Keperawatan (Berdasarkan Prioritas Masalah)
1. Nyeri akut berhubungan dengan cidera fisik
3.2 Intervensi Keperawatan
Diagnosa NOC NIC
No.
Keperawatan (Nursing Outcome) (Nursing Intervention Classification)
1. Nyeri akut b/d Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 Manajemen Nyeri
cidera fisik x 24 jam diharapkan masalah nyeri akut 1. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai
berkurang dengan kriteria hasil: ketidaknyamanan terutama pada mereka yang tidak
Indikator IR ER dapat berkomunikasi secara efektif.
- Nyeri yang dilaporkan 3 5 2. Evaluasi pengalaman nyeri pasien dimasa lalu.
- Panjangnya episode nyeri 3 5 3. Evaluasi keefektifan dari tindakan pengontrolan
- Mengerang dan menangis 3 5 nyeri yang di pakai selama pengkajian nyeri
- Ekspresi wajah nyeri 3 5 dilakukan.
- Tidak bisa istirahat 3 5 4. Monitor kepuasan pasien terhadap manajemen nyeri
Keterangan: dalam interval yang spesifik.
Berat :1 Nursing
Cukup berat : 2 1. Lakukan pengkajian komfrehensif yang meliputi
Sedang :3 lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
Ringan :4 intensitas, atau beratnya nyeri, dan faktor pencetus.
Tidak ada :5 2. Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri.
3. Berikan obat sebelum melakukan aktivitas untuk
meningkatkan partisipasi.
Edukasi
1. Ajarkan prinsif- prinsif manajemen nyeri.
2. Ajarkan tehnik non farmakologi.

32
32
33

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat sebelum melakukan
aktivitas untuk meningkatkan partisipasi.
2. Kolaborasi dengan pasien orang terdekat dan tim
kesehatan lainnya untuk memilih dan
mengimplementasikan tindakan penurun nyeri
farmakologi sesuai kebutuhan.

33
34

3.3 Implementasi Keperawatan


Diagnosa
No. Implementasi Evaluasi
Keperawatan
1. Nyeri akut Manajemen Nyeri S: Pasien mengatakan nyeri berkurang
1. Mengobservasi adanya petunjuk nonverbal O:
mengenai ketidaknyamanan terutama pada - Pasien tampak masih lemah,
mereka yang tidak dapat berkomunikasi - Nyeri hilang timbul
secara efektif. - Waktu nyeri 3-5 menit
- Skala nyeri 3 (ringan)
Nursing
- TTV:
1. Melakukan pengkajian komfrehensif yang
T : 110/80 mmHg
meliputi lokasi, karakteristik, durasi,
N : 82x/menit
frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya
S : 36,50Celsius
nyeri, dan faktor pencetus
RR : 20 x/menit
2. Menggunakan komunikasi terapeutik untuk
GCS : 15 (CM)
mengetahui pengalaman nyeri
- SPO2 : Pada setiap jari kaki kiri 99%, akral hangat jari
3. Memberikan obat sebelum melakukan
kaki mulai bisa digerakan tetapi kedua kaki masih blm
aktivitas untuk meningkatkan partisipasi
bisa mengangkat, pasien mengatakan sensasi mulai
Edukasi bisa dirasakan pada ke 2 kakik kiri dan kanan.
1. Mengajarkan prinsif- prinsif manajemen A: Masalah Nyeri akut teratasi sebagian
nyeri
2. Mengajarkan tehnik non farmakologi
3. Kolaborasi
4. Kolaborasi pemberian obat sebelum

34
35

melakukan aktivitas untuk meningkatkan Kriteria hasil


partisipasi sesuai advis DPJP yaitu: Indikator IR ER
- Inj. Ketorolac 3x30 mg. - Nyeri yang dilaporkan 3 5
- Inj. Methilprednisolon 2x250 mg. - Panjangnya episode nyeri 3 5
- Mengerang dan menangis 3 5
- Ekspresi wajah nyeri 3 5
- Tidak bisa istirahat 3 5
Keterangan
- Berat :1
- Cukup berat : 2
- Sedang :3
- Ringan :4
- Tidak ada :5
P: Lanjutkan intervensi sesuai kebutuhan Pasien

35
DAFTAR PUSTAKA

Calvillo & flaskerud. (2019). Cara mengatasi nyeri. Jakarta: EGC


Jensen, Michael C dan W.H. Meckling. (2016). Theory of The Firm: Managerial
Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial
Economics 3.hal 305-360.
Murwani, Arita. (2018). Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Jogjakarta: Mitra
Cendikia.
NANDA. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
NANDA. (2015). buku diagnosa keperawatan definisi dan klasifikasi 2015-2017.
Jakarta: EGC
Potter & Perry. (2016). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan
Praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC
Potter. P.A dan A.G. Perry. (2018). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi.7.
Jakarta: Salemba Medika
Purnomo B. (2016). Dasar-Dasar Urologi. Edisi III. Jakarta: Sagung seto. Hal.
125-44, 263- 70
Smeltzer & Bare. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2). Jakarta : EGC
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2017). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC
Smeltzer & Bare. (2018). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Brunner &
Suddarth.Edisi 10.Volume 2. Jakarta : EGC
Sudoyo, Aru W, dkk. (2016). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing
Tamsuri. (2017). Konsep Dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC
Taylor & Sheila S Ralph. (2012). Diagnosis Keperawatan dengan Rencana
Asuhan edisi 10. Jakarta : EGC
International Association for the Study Of Pain (IASP). (2016). IASP Sponsori
Tahun Global Melawan Nyeri Akut.
From:http://www.iasppain.org/files/Content/ContentFolders/.pdf. Diakses 5
November 2021

1
UJIAN DOPS
PEMBERIAN OBAT INTRAVENA
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN Ny. S DENGAN PARAPLEGIA INFERIOR DI RUANG
ROE
RSUD dr. SYLVANUS PALANGKARAYA

STASE KDP

OLEH :

AGUS
NIM.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


UNIVERSITAS CAHAYA BANGSA BANJARMASIN
TAHUN 2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN
UJIAN DOPS
PEMBERIAN OBAT INTRAVENA MELEWATI INFUS
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN Ny. S DENGAN PARAPLEGIA INFERIOR DI RUANG
ROE
RSUD dr. SYLVANUS PALANGKARAYA

STASE KDP

OLEH :

AGUS
NIM.

Palangkaraya, 11 November 2021

Mengetahui,
Preseptor Akademi Preseptor Klinik

(Ria Anggara Hamba,S.Kep,Ns,MM) (Christina Indah,S.Kep,Ners)


ANALISA TINDAKAN KEPERAWATAN DOPS
PEMBERIAN OBAT INTRAVENA MELEWATI INFUS

Nama Mahasiswa : Agus Tanggal : 11 November 2021


NIM : Ruang : ROE RSUD dr. Doris Silvanus Palangka Raya

1. Identitas klien
Nama : Ny. S Umur : 40 tahun
Tanggal masuk : 31/10/2021 No. RM : 38 xx xx

2. Diagnosa medis : Paraplegia Inferior

3. Tindakan keperawatan dan rasional


Pemberian obat intavena (IV)
Rasional :
Melaksanakan fungsi dan Implementasi keperawatan berkolaborasi dalam
pemberian obat (Analgetik/Antibiotika )
a. Definisi
Pemberian obat intravena adalah memberikan obat melalui suntikan ke
dalam pembuluh darah Vena yang dilakukan pada vena anggota gerak
melalui vena langsung atau melewati infus yang terpasang (Depkes RI
2013)
b. Indikasi
• Obat yang diberikan harus berdasarkan program pengobatan
• Sebelum menyiapkan obat suntikan, bacalah dengan teliti petunjuk
pengobatan yang ada dalam catatan medik / status pasien. Yaitu :
Nama obat ,dosis, waktu dan cara pemberiannya.
• Pada waktu menyiapkan obat, bacalah dengan teliti label atau etiket
obat dari tiap-tiap 0bat. Obat-obat yang kurang jelas etiketnya tidak
boleh diberikan kepada pasien.
• Perhatikan Teknik septic dan aseptic
• Spuit dan jarum suntik hanya sekali pakai, tidak boleh digunakan untuk
menyuntik pasien lain.
• Mematahkan ampul obat harus hati-hati agar tidak melukai tangan.
• Pasien yang telah mendapatkan suntikan harus diawasi untuk beberapa
waktu, sebab ada kemungkinan timbulnya reaksi alergi dan lain-lain
• Setiap selesai Tindakan/penyuntikan Spuit dan jarum suntik harus
dibuang ke tempat khusus dan peralatan harus dimasukan ke dalam
larutan desinfektan, lalu disterilkan dan simpan ditempat khusus
(Depkes RI 1995)

4. Tujuan Tindakan
Tujuan dari pemberian obat intravena adalah mempercepat reaksi obat,
sehingga obat langsung masuk ke dalam sirkulasi darah (Depkes RI 1995)
5. Diagnosa keperawatan
• Infeksi bd pertumbuhan kuman pada luka operasi
• Nyeri akut bd cidera akibat luka operasi
6. Prinsip-prinsip tindakan dan rasional :
No. Prinsip-Prinsip Tindakan Rasional
Mengucapkan salam pada klien, Menerapkan etika keperawatan dan klien
perkenalkan diri, jelaskan prosedur, memahami tujuan tindakan yang akan
1.
tujuannya, persetujuan klien, kontrak dilakukan
waktu
2. Mencuci tangan Mencegah transmisi mikroorganisme
Memulai Tindakan dengan Menerapkan nilai keagamaan
3. doa,Tersenyum, ramah dan perhatian
selama Tindakan
Menjaga Privacy pasien, Memastikan kemampuan dan kenyamanan
Mempersiapkan tempat tidur, posisi pasien selama dilakukanya Tindakan
4.
tempat tidur yang tepat dan sesuai
kenyamanan pasien
5. Dekatkan peralatan di dekat pasien dan Supaya perawat mudah dalam melakukan
pasang pengalas dan perlak Tindakan dan mencegah cairan/kotoran
mengenai tempat tidur pasien
6. Memakai sarung on steril Mencegah transmisi Mikroorganisme
Siapkan obat, masukan obat dari Mencegah terjadinya kesalahan prosedur
7. vial/ampul dengan cara yang benar , Tindakan
Identifikasi klien (Mengecek nama)
Membersikan tempat penyuntikan Mencegah transmisi mikroorganisme dan
8. dengan mengusap kapas alcohol dari melakukan prosedur Tindakan dengan tepat
arah atas ke bawah pada selang infus untuk mencegah kontra indikasi
9. Mengakhiri Tindakan, evaluasi pasien Menerapkan etika keperawatan
Merapikan pasien dan membereskan Memberi kenyamanan pada pasien
10.
alat
Mengucapkan salam saat mengakhiri Menerapkan nilai keagamaan
11.
Tindakan dengan pasien
Melepaskan sarung tangan dan mencuci Mencegah Transmisi Mikroorganisme
12.
tangan

7. Prosedur Tindakan :
• Persiapan alat :
- Sarung tangan 1 on steril
- Spuit dengan ukuran sesuai kebutuhan
- Jarum 1 (steril)
- Bak spuit 1
- Kapas alcohol dalam kom (secukupnya)
- Perlak dan pengalas
- Obat sesuai program terapi
- Bengkok 1
- Gergaji ampul (kalau perlu)
- Buku injeksi/daftar obat
• Pelaksanaan
a. Tahap Prainteraksi :
- Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada
- Mencuci tangan
- Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar
b. Tahap Orientasi “
- Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik
- Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/pasien
- Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan
c. Tahap Kerja
- Memakai sarung tangan
- Menyiapkan obat yang akan diberikan pada pasien
- Mengatur posisi pasien
- Memasang perlak dan alasnya
- Membebaskan daerah yang akan di injeksi
- Membersihkan slang infus dengan kapas alcohol (melingkar dari
arah dalam ke luar) biarkan kering
- Memegang spuit dengan sudut 30 derajat
- Menusuk pada slang infus dengan kemiringan 300
- Memasukkan obat secara perlahan
- Mencabut spuit sambil menekan daerah tusukan dengan kapas
- Membuang spuit ke dalam bengkok
- Membuka sarung tangan
- Merapikan pasien
d. Tahap Terminasi :
- Melakukan evaluasi tindakan
- Melakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
- Berpamitan dengan klien
- Membereskan alat-alat
- Mencuci tangan
- Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan
8. Bahaya-bahaya yang mungkin terjadi akibat tindakan tersebut dan cara
pencegahan :
Bahaya yang mungkin terjadi : Pembuluh darah pecah dan terjadi edema/
Flebitis
Cara pencegahan : Melakukan tindakan sesuai prosedur dan
pastikanvena
yang akan ditusuk, hindarkan tremor pada
saat
melakukan tindakan.

9. Hasil yang didapat dan maknanya :


Hasil : Nyeri pasien hilang atau berkurang, tidak terjadi infeksi
Maknanya : Dapat menghilangkan atau meminimalkan nyeri yang dirasakan
pasien, mengurangi nyeri

Palangka Raya, 11 November 2021

Mahasiswa,

(AGUS)

Mengetahui
Preseptor Akademi Preseptor Klinik

(Ria Anggara Hamba,S.Kep,Ns,MM) (Christina Indah,S.Kep,Ners)

Anda mungkin juga menyukai