Anda di halaman 1dari 30

Referat

SEDATIF- ANALGESIK PADA PASIEN DEWASA


DENGAN PENYAKIT KRITIS

Oleh: Reynaldo Gazali


NIM. 1930912320019

Pembimbing:
dr. Oky Susianto, Sp. An, KIC

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
RSUD ULIN BANJARMASIN
Agustus, 2021
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI.................................................................................................. i

DAFTAR GAMBAR...................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi......................................................................................... 3

B. Pemberian Sedatif-Analgesik...................................................... 3

C. Tujuan Sedasi ............................................................................. 11

D. Maintenace.................................................................................. 13

E. Withdrawl...................................................................................... 19

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 22

ii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Richmond Agitation-Sedation Scale (RASS) ...................................... 12

2.2 Skala penilaian nyeri secara numerik ....................................................... 14

2.3 Skala penilaian nyeri secara analog .......................................................... 14

2.4 Skala penilaian nyeri secara verbal .......................................................... 14

2.5 Riker Sedation-Agitation Scale ................................................................ 15

2.6 CAM-ICU Scale................................................................................... 16

2.7 Bispectral Index ..................................................................................... 17

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

Analgesia didefinisikan sebagai pengendalian nyeri berupa pengurangan

atau menghilangkan rasa nyeri. Berdasarkan American Society of

Anesthesiologists, didefinisikan bahwa sedasi dan analgesia terdiri dari rangkaian

keadaan mulai dari sedasi ringan (anxiolysis) hingga anestesi umum. Sedasi ringan

(ansiolosis) didefinisikan sebagai tingkat kesadaran yang sedikit menurun, pasien

dapat mempertahankan kemampuan untuk secara mandiri dan mempertahankan

jalan napas dan dapat merespons secara normal rangsangan taktil dan perintah

verbal. Sedasi sedang (sedasi sadar) adalah depresi kesadaran yang diinduksi obat

di mana pasien dengan sengaja merespons perintah verbal atau stimulasi taktil

ringan, dengan jalan napas paten dan ventilasi spontan. Sedasi total atau analgesia

dalam adalah kondisi penurunan kesadaran yang diinduksi obat dimana pasien tidak

dapat dengan mudah dibangunkan, tetapi merespons dengan sengaja setelah

rangsangan berulang atau dengan rangsangan nyeri. Pasien mungkin memerlukan

bantuan dalam mempertahankan jalan napas dan fungsi kardiovaskular. 1

Prosedur sedasi dan analgesia merupakan komponen yang diperlukan dalam

perawatan semua pasien yang sakit kritis, terutama yang membutuhkan ventilasi

mekanis.2 Prosedur sedasi dan analgesia dibutuhkan untuk meringankan

kecemasan, ketidaknyamanan, dan manajemen nyeri untuk pasien selama prosedur

diagnostik dan terapeutik invasif.3 Distres umumnya muncul sebagai agitasi. Hal

ini umum di antara pasien sakit kritis, terutama mereka yang diintubasi atau

1
2

mengalami kesulitan berkomunikasi dengan pengasuh mereka.4 Distress perlu

ditangani untuk kenyamanan pasien dan karena meningkatkan tonus simpatis, yang

mungkin memiliki efek fisiologis yang tidak diinginkan. Kecuali beberapa

pengecualian (misalnya, kelumpuhan neuromuskular, prosedur) pemberian obat

penenang-analgesik tidak harus didasarkan pada penderitaan yang diantisipasi

melainkan pada apa yang diamati; jika tidak, akan ada peningkatan risiko sedasi

berlebihan yang telah terbukti memperburuk hasil klinis.5

Prinsip utama dari perawatan di ruang rawat intensif (ICU) adalah

memberikan rasa nyaman sehingga pasien dapat mentoleransi lingkungan ICU yang

tidak bersahabat. Pengelolaan sedasi dan analgesia yang adekuat dapat

mempersingkat penggunaan ventilasi mekanik dan lama perawatan di ICU.

Manajemen sedasi dan nyeri yang optimal adalah salah satu hal yang penting dan

seringkali sulit tercapai dalam perawatan intensif.6


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Analgesia didefinisikan sebagai pengendalian nyeri berupa pengurangan atau

menghilangkan rasa nyeri. Berdasarkan American Society of Anesthesiologists,

didefinisikan bahwa sedasi dan analgesia terdiri dari rangkaian keadaan mulai dari

sedasi ringan (anxiolysis) hingga anestesi umum.1 Prosedur sedasi dan analgesia

dibutuhkan untuk meringankan kecemasan, ketidaknyamanan, dan manajemen nyeri

untuk pasien selama prosedur diagnostik dan terapeutik invasif.3

B. Pemberian Sedatif-analgesik

1. Pre – Inisiasi

Sebelum analgesic-sedatif diberikan untuk management agitasi, penyebab

distrees harus diidentifikasi dan diobati. Pengobatan norfarmakologis lebih di

anjurkan dan harus diterapkan sebelum penggunaan terapi farmakologis. 4

Identifikasi penyebab distress, penyebab umum distress pada pasien dengan

sakit kritis seperti Kecemasan (anxiety), nyeri, delirum, dyspnea, dan paralysis

neuromuscular, penyebab ini dapat terjadi secara terpisah atau secara bersamaan4

a. Kecemasan

Kecemasan didefinisikan sebagai keadaan ketakutan dan peningkatan

otonom yang berkelanjutan dalam menanggapi ancaman nyata atau yang

dirasakan.4 Takut menderita, takut mati, kehilangan kendali, dan frustrasi karena

ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif adalah penyebab khas

3
4

kecemasan pada pasien sakit kritis. Gejala dan tanda termasuk sakit kepala, mual,

insomnia, anoreksia, dispnea, palpitasi, pusing, mulut kering, nyeri dada, diaforesis,

hiperventilasi, pucat, takikardia, gemetar, dan/atau kewaspadaan berlebihan.

Mengidentifikasi dan mengobati penyebab langsung kecemasan selalu ideal karena

dapat memperbaiki kedua masalah tersebut. Contohnya Dispnea, adalah penyebab

umum kecemasan di antara pasien yang sedang kritis. Jadi, jika aliran ventilator

yang tidak memadai menyebabkan dispnea dengan kecemasan yang dihasilkan,

pengobatan utama untuk kecemasan (dan dispnea yang mendasarinya) mungkin

penyesuaian pengaturan ventilator. Atau, timbulnya kecemasan yang tiba-tiba dapat

mendorong pemeriksaan lebih lanjut untuk sumber kardiopulmoner. 5

b. Nyeri

Perawatan pasien rutin (misalnya, suction, reposisi, terapi fisik), imobilitas,

trauma, endotracheal tubes, dan perangkat pemantauan lainnya semuanya dapat

menghasilkan rasa sakit. Tanda nyeri yang dapat diperhatikan meringis, menarik

diri, agresif, diaforesis, hiperventilasi, dan/atau takikardia. Sementara keluhan

pasien lebih dipakai daripada skala nyeri perilaku, skala nyeri lebih unggul

daripada tanda-tanda vital untuk penilaian nyeri.7 Penilaian dan pengobatan nyeri

harus dilihat sebagai prioritas pada pasien terlepas dari kemampuan untuk

berkomunikasi karena rasa sakit mungkin tidak dilaporkan selama perawatan di

unit perawatan intensif (ICU). Setelah keluar dari ICU, sebagian besar pasien

melaporkan mengalami nyeri sedang hingga berat selama perawatan ICU. 8


5

c. Delirium

Delirium adalah sindrom mental organik. Ini didefinisikan sebagai

gangguan kesadaran dan fungsi kognitif akut dan berpotensi reversibel yang

berfluktuasi dalam tingkat keparahannya.4 Delirium terjadi hingga 80% pasien

ICU, tetapi sering tidak dikenali pada individu yang lebih tua dan pada pasien

dengan delirium hipoaktif.9,10 Delirium dapat dikaitkan dengan penyebab yang

mendasari seperti infeksi, iatrogenik seperti obat-obatan, atau lingkungan.

Sebelum pengobatan, pasien harus dievaluasi untuk faktor pencetus. Pada fase

akut, pasien mengigau mengalami gangguan memori jangka pendek, persepsi

abnormal, dan disorientasi intermiten, yang biasanya memburuk pada malam hari.

Elektroensefalografi dapat menunjukkan perlambatan difus. Delirium karena

penghentian obat atau alkohol biasanya muncul sebagai delirium hiperaktif. 11

Delirium merupakan faktor risiko untuk rawat inap yang berkepanjangan

dan kematian pada pasien sakit kritis.12,13,14 Faktor risiko delirium termasuk ketidak

seimbangan elektrolit (hipokalsemia, hiponatremia), hiperamilasemia,

hiperglikemia, azotemia, penyakit hati (hiperbilirubinemia, peningkatan enzim

hati), infeksi, penarikan obat, penarikan alkohol, malnutrisi, kanker, penyakit

serebrovaskular, penyakit kardiopulmoner, usia lanjut, dan beberapa obat

(benzodiazepin, kortikosteroid, antihistamin, beta blocker, antiaritmia, digitalis

glikosida,atropin).15 Telah disarankan bahwa "delirium hipoaktif" diganti namanya

menjadi "sindrom apatis akut" karena memiliki konstelasi penyebab yang berbeda

dari "delirium hiperaktif".16


6

d. Dispnea

Dispnea adalah sensasi kekurangan oksigen atau rasa mencekik akibat

kehabisan nafas.4 Bukti dispnea mungkin termasuk takipnea, pernapasan dangkal,

diaforesis, takikardia, penggunaan otot bantu pernapasan, hipoksemia, dan/atau

hiperkapnia. Dispnea mungkin ada meskipun parameter gas darah masih dalam

batas normal. Strategi untuk mengurangi hipoksia atau dispnea seperti penyesuaian

pengaturan ventilator, jika memungkinkan, harus dieksplorasi sebelum penggunaan

obat.4

e. Paralysis Neuromuskular

Semua pasien yang menjalani blokade neuromuskular memerlukan sedasi

farmakologis, karena kelumpuhan neuromuskular tanpa sedasi atau kontrol nyeri

yang memadai merupakan sensasi yang sangat menakutkan dan tidak

menyenangkan. Sulit mengidentifikasi distres pada pasien yang mengalami

blokade neuromuscular. karena respon fisiologis yang khas terkait dengan stres

(misalnya, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah dengan stimulasi)

mungkin tidak berkorelasi dengan ketidaknyamanan pasien dalam pengaturan ini. 4

Perawatan awal agitasi harus menargetkan penyebab yang mendasarinya.

Sebagai contoh, pasien. pasien yang gelisah karena hipoksemia harus menerima

oksigen tambahan. Strategi nonfarmakologis untuk mengelola agitasi harus

dimulai secara bersamaan dengan terapi yang menargetkan penyebab distres

(karena penyebab distres jarang cepat pulih).17

Strategi nonfarmakologis termasuk jaminan komunikasi yang sering dengan

pasien, kunjungan keluarga secara teratur, pembentukan siklus tidur normal, dan
7

terapi perilaku kognitif.17 Contoh terapi kognitif-perilaku termasuk terapi musik,

imajinasi terbimbing, dan terapi relaksasi. Strategi menggunakan intervensi

nonfarmakologis untuk mengontrol agitasi, lebih baik daripada segera memulai

sedasi farmakologis. Didukung oleh bukti sebagai berikut, satu percobaan secara

acak dengan 140 pasien dengan ventilasi mekanis menggunakan strategi tanpa

sedasi diikuti dengan komunikasi verbal yang nyaman dan pasti terus menerus atau

sedasi terus menerus dengan interupsi setiap hari. 18 Hanya ketika intervensi

nonfarmakologis gagal pasien diobati dengan infus obat penenang terus menerus

dengan interupsi setiap hari. Percobaan menemukan bahwa pasien yang dikelola

dengan strategi tanpa sedasi memiliki hari bebas ventilator lebih banyak dan

penurunan lama tinggal di ICU, lama tinggal di rumah sakit, dan kejadian delirium.

Tidak ada perbedaan dalam gangguan stres pasca-trauma, kualitas hidup, depresi,

atau mengingat pengalaman ICU pada penyintas sekitar dua tahun setelah

pengacakan.19

Percobaan multisenter acak lainnya dari 373 pasien berventilasi mekanis

melaporkan bahwa, dibandingkan dengan perawatan biasa (UC) atau headphone

peredam bising (NCH), musik yang diprakarsai sendiri oleh pasien (PDM; dengan

pilihan pilihan yang disesuaikan oleh terapis musik) dikaitkan dengan pengurangan

skala analog visual untuk kecemasan (52 versus 33) selama masa studi (hingga 5,7

hari).20 Selain itu, pada hari kelima, PDM dikaitkan dengan penurunan intensitas

sedasi (skor intensitas sedasi 4,4 berbanding 2,8) dan frekuensi (5 dosis versus 3

dosis obat penenang yang disetujui studi). Temuan ini dikonfirmasi dalam meta-

analisis dari 14 percobaan yang meneliti dampak musik pada pasien dengan
8

ventilasi mekanis.21 dan pengurangan penderitaan pasien juga dilaporkan pada

pasien ICU di ICU yang menerima ventilasi noninvasif.22

2. Inisiasi

Obat sedatif-analgesik diindikasikan bila pengobatan penyebab distres dan

intervensi nonfarmakologis tidak dapat cukup mengontrol agitasi. Society of

Critical Care Medicine telah menerbitkan pedoman mengenai pemilihan dan

inisiasi obat penenang-analgesik pada pasien sakit kritis.7

Obat penenang-analgesik yang biasa digunakan di unit perawatan intensif

(ICU) termasuk benzodiazepin (misalnya,diazepam, lorazepam, midazolam),

analgesik opioid (misalnya, fentanil, hidromorfon, morfin, remifentanil), propofol,

deksmedetomidine, ketamin, dan antipsikotik (misalnya, haloperidol, quetiapine,

ziprasidon).11,23 Agen seperti parasetamol, obat anti inflamasi non steroid

(ketorolac) dan antiepilepsi dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika

diindikasikan. Semua agen ini berbeda dalam jumlah ansiolisis, analgesia, amnesia,

dan hipnosi. Mekanisme, sifat, rejimen dosis, dan potensi efek sampingnya ditinjau

secara terpisah. Meskipun barbiturat (misalnya, thiopental, metoheksital) dapat

digunakan untuk mengelola agitasi selama penyakit kritis pada pasien yang tidak

mentoleransi atau menanggapi agen lain, itu tidak ideal. Ini karena barbiturat

bukanlah obat penenang yang kuat dan dapat menyebabkan depresi kardiovaskular

dan pernapasan yang mendalam, serta aliran darah otak yang berkurang.Sevofluran

(anestesi volatil metil-isopropil polifluorinasi) adalah agen baru yang data

keamanan dan kemanjurannya terbatas, melarang penggunaan rutinnya sebagai

obat penenang di ICU.25


9

a. Pemilihan agen sedatif

Pemilihan agen sedatif – analgesik, meskipun Tidak ada agen sedatif-

analgesik yang cukup unggul dibandingkan agen lain untuk menjamin

penggunaannya dalam semua situasi klinis. Pedoman Society of Critical Care

Medicine mendukung agen nonbenzodiazepine karena bukti durasi ventilasi

mekanik yang lebih pendek, tetapi agen optimal untuk terapi jangka pendek atau

jangka panjang tidak diketahui.7

Pemilihan agen harus individual sesuai dengan karakteristik pasien dan

situasi klinis.25 Pertimbangan penting ketika memilih agen sedatif-analgesik

termasuk etiologi distres, durasi terapi yang diharapkan, status klinis pasien, dan

potensi interaksi dengan obat lain.

Pemilihan agen farmakologis awal yang terpat untuk untuk mengelola

agitasi karena distress tergantung pada penyebab distress sebagai berikut: 7

 Untuk distress karena dispnea atau nyeri, opioid adalah agen pilihan

 Untuk distres karena delirium, antipsikotik (misalnya, haloperidol, quetiapine,

ziprasidon) tidak boleh digunakan secara rutin tetapi dapat digunakan dalam

kasus distres signifikan yang disebabkan oleh delirium. Dexmedetomidine

dapat digunakan untuk pasien dengan delirium yang menunda ekstubasi.

Sampai saat ini tidak ada agen yang mencegah delirium.

 Untuk agitasi karena stres atau kecemasan, Society of Critical Care Medicine

mendukung penggunaan: propofol daripada benzodiazepin pada pasien operasi

jantung dan propofol atau deksmedetomidine daripada benzodiazepin pada

pasien bedah dan medis lainnya.7 Namun, terapi kombinasi umum di ICU
10

karena banyak pasien memiliki lebih dari satu penyebab distres. Sebagai contoh,

benzodiazepin plus opioid sesuai untuk pasien yang agitasinya karena

kecemasan dan nyeri. Untuk pasien yang diintubasi dan diventilasi mekanis dan

tidak dapat dengan jelas mengomunikasikan sumber agitasi, analgesia harus

selalu diberikan terlebih dahulu.7

Variabel modifikasi farmakokinetik (misalnya, usia, berat badan, fungsi

ginjal dan hati) dan kedalaman sedasi yang diinginkan juga harus dipertimbangkan

setiap kali agen sedatif-analgesik dipilih. Variabel modifikasi farmakokinetik

abnormal dapat memperbesar perbedaan antara agen sedatif-analgesik (misalnya,

onset, puncak, durasi sedasi), terutama selama sedasi dalam atau jangka Panjang. 7

b. Dosis Awal

Dosis awal agen sedatif-analgesik harus memperhitungkan tingkat

kemampuan sedasi yang diinginkan untuk mentoleransi obat termasuk status

hemodinamik dan pernapasan serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

metabolisme obat (yaitu, usia pasien, berat badan, fungsi ginjal, hati fungsi,

interaksi obat, riwayat alkoholisme, riwayat penyalahgunaan obat). Dosis yang

lebih tinggi sesuai untuk sedasi yang lebih dalam dan pasien yang lebih besar,

sedangkan dosis yang lebih rendah sesuai untuk sedasi yang lebih ringan, pasien

yang lebih kecil, pasien dengan usia lanjut, penurunan fungsi ginjal, atau penurunan

fungsi hati. Pasien dengan riwayat alkohol atau penyalahgunaan mungkin

memerlukan dosis benzodiazepin atau opioid yang lebih tinggi, masing-masing,

untuk mencapai efek tertentu.7


11

c. Administrasi agen

Pemberian agen atau administrasi agen dari bukti penelitian menunjukkan

bahwa infus terus menerus dari obat penenang-analgesik memperpanjang durasi

ventilasi mekanis.26 Akibatnya, praktik saat ini lebih menyukai dosis bolus

intermiten, interupsi harian, atau minimalisasi dosis yang dititrasi hingga tingkat

sedasi ringan (RASS -2 hingga 0) dari infus kontinu.7 Pedoman praktek klinis untuk

penggunaan berkelanjutan obat penenang dan analgesik pada orang dewasa yang

sakit kritis mendukung penggunaan awal dosis bolus intermiten, dengan inisiasi

infus kontinu dengan interupsi harian atau minimalisasi dosis dititrasi ke tingkat

sedasi ringan pada pasien yang membutuhkan infus intermiten lebih sering dari

setiap dua jam.11

C. Tujuan Sedasi

Tujuan sedasi yang ideal adalah agar pasien terjaga dan nyaman dengan

distress minimal atau tanpa distres (misalnya, 0 pada skala RASS), meskipun

beberapa pasien mungkin memerlukan tingkat sedasi yang lebih dalam untuk

manajemen yang optimal. Secara umum, tingkat sedasi ringan direkomendasikan

karena menurunkan hari ventilasi mekanis dan tingkat trakeostomi, meskipun tidak

ada efek pada mortality dan telah dibuktikan. 7 Tujuan sedasi harus dipastikan pada

perawatan setiap pasien, Society of critical care merekomendasikan sedasi ringan

daripada sedasi berat. Sedasi yang terlalu dalam dapat menyebabkan sedasi

berlebihan dan pemulihan yang tertunda pada banyak pasien (misalnya, dengan

menghilangkan kesempatan untuk terapi fisik harian). Sebaliknya, sebagian pasien

yang sakit kritis dengan ventilasi mekanis memerlukan tingkat sedasi-analgesia


12

yang sangat dalam untuk mengontrol agitasi atau nyeri. Pendekatan yang berpusat

pada pasien, yang diturunkan oleh dokter di samping tempat tidur, adalah yang

terbaik dan harus digunakan untuk menentukan tujuan yang tepat untuk kedalaman

sedasi. Tujuan ini harus ditentukan sebelum memulai atau meningkatkan obat

sedasi-analgesik, karena ini adalah target terapi awal yang dititrasi. Sebagai contoh,

sedasi yang lebih ringan mungkin diperlukan ketika pemeriksaan neurologis serial

diperlukan, sementara sedasi yang lebih dalam mungkin diinginkan selama gagal

napas hipoksemia berat.7

Kedalaman tujuan sedasi harus sering dinilai ulang dan disesuaikan karena

kebutuhan sedasi pasien menjadi lebih jelas. Beberapa pasien tidak memerlukan

sedasi, sementara yang lain memerlukan sedasi dalam untuk ventilasi mekanis

tanpa ketidaknyamanan, agitasi, atau asinkron.11

Gambar 2.1 Richmond Agitation-Sedation Scale (RASS) 27


13

D. Maintenance

Setelah inisiasi agen sedatif-analgesik pasien mencapai keadaan tenang,

perhatian harus diarahkan pada pemantauan dan menghindari sedasi berlebihan. Ini

melibatkan penilaian ulang yang sering terhadap rasa sakit dan kebutuhan obat

penenang untuk mencapai kenyamanan pasien secara simultan pada pasien yang

terjaga dan waspada.7

1. Monitoring

Pemeliharaan sedasi farmakologis mengharuskan pasien sering dinilai

ulang untuk menentukan apakah agitasi dan distres yang mendasarinya dikelola

secara memadai. Sistem penilaian telah dikembangkan untuk memfasilitasi evaluasi

ini. Ada sistem penilaian (yaitu, skala) untuk menilai nyeri, sedasi, dan delirium.

Skala yang sesuai untuk dugaan penyebab penderitaan harus digunakan. Sebagai

contoh, jika distres dirasakan karena nyeri dan opioid dimulai, maka penilaian

menggunakan skala nyeri adalah tepat. Jika tujuan terapi adalah sedasi, maka skala

penilaian tingkat sedasi harus digunakan.7

Setelah sistem penilaian yang tepat telah digunakan untuk menentukan

apakah agitasi dan/atau distres yang mendasarinya cukup terkontrol, obat sedatif-

analgesik harus dititrasi atau diturunkan untuk memenuhi tujuan terapeutik.

Adapun skoring system yang sering digunakan untuk monitoring seperti yang di

jelaskan di atas.7

a. Skala nyeri

Terdapat beberapa skala nyeri seperti skala unidimensional (yaitu, skala

penilaian verbal, skala analog visual, skala penilaian numerik) dan skala
14

multidimensi (yaitu, Kuesioner Nyeri McGill, Kuesioner Nyeri Singkat Wisconsin)

untuk menilai tingkat nyeri pasien. Skala unidimensional dapat dengan cepat dan

mudah diterapkan di unit perawatan intensif jika pasien komunikatif. Sebagai

contoh, skala penilaian numerik adalah skala nol sampai sepuluh poin di mana

sepuluh mewakili rasa sakit yang paling buruk. Pasien memilih nomor yang paling

menggambarkan rasa sakit mereka. Timbangan multidimensi lebih kompleks dan

membutuhkan waktu lebih lama untuk dilakukan sehingga tidak sesuai untuk ruang

perawatan ICU dan tidak direkomendasikan oleh beberapa guidelines.11

Gambar 2.2 Skala penilaian nyeri secara numerik7

Gambar 2.3 Skala penilaian nyeri secara analog7

Gambar 2.4 Skala penilaian nyeri secara verbal7


15

b. Skala Sedasi

Ada banyak sistem penilaian untuk menilai kedalaman sedasi yang valid dan

dapat diandalkan pada orang dewasa yang memiliki ventilasi mekanis dan sakit

kritis.28-32 Pedoman saat ini mendukung penggunaan Richmond Agitation-Sedation

Scale (RASS) dan Skala Sedasi-Agitasi Riker (SAS).11 Sistem penilaian alternatif

termasuk Skala Penilaian Aktivitas Motor (MAAS), Alat Penilaian Sedasi

Minnesota (MSAT), Skala Sedasi Ramsay, Skala Agitasi Bizek, Skala Sheffield

dan Skala COMFORT.33-36 Skala KENYAMANAN adalah sistem yang valid dan

dapat diandalka n untuk anak-anak.34

Gambar 2.5 Riker Sedation-Agitation Scale29

c. Skala Delirium

Banyak skala dan instrumen diagnostik telah dikembangkan untuk

mengidentifikasi dan mengevaluasi delirium, tetapi sebagian besar mengecualikan

pasien yang sakit kritis karena kesulitan berkomunikasi dengan mereka. 7 Namun,

instrumen cepat di samping tempat tidur yang dapat mengidentifikasi delirium pada

pasien sakit kritis adalah Confusion Assessment Method for the ICU (CAM-ICU).37
16

Intensive Care Delirium Screening Checklist (ICDSC) juga merupakan alat yang

sederhana dan valid untuk penilaian delirium di samping tempat tidur. Kedua skala

menilai pasien untuk perubahan status mental akut atau perubahan status mental

yang berfluktuasi, kurangnya perhatian, pemikiran yang tidak teratur, dan/atau

tingkat kesadaran yang berubah.

Gambar 2.6 CAM-ICU Scale37

d. Bispectral Index (BIS)

Pasien yang lumpuh secara farmakologis, pemantauan merupakan

tantangan karena sistem penilaian tidak dapat menentukan tingkat nyeri, kedalaman

sedasi, atau adanya delirium. Denyut jantung dan tekanan darah secara historis telah

digunakan sebagai indikator kesusahan dalam situasi ini, tetapi tanda-tanda vital ini

tidak sensitif atau spesifik. Kami percaya bahwa ada dua pendekatan yang masuk

akal. Pasien lumpuh secara farmakologis dapat diberikan dosis ansiolitik/amnestik

dan analgesik yang lebih tinggi dari biasanya untuk memastikan sedasi yang dalam.

Alternatif lainnya, indeks bispektral (BIS), potensi yang ditimbulkan oleh

pendengaran, atau sistem pemantauan objektif lainnya dapat digunakan.7


17

Pemantauan BIS menggunakan analisis transformasi Fourier dari data

elektroensefalografik untuk memperkirakan kedalaman sedasi. Ini digunakan

terutama selama anestesi operatif pada pasien tanpa penyakit neurologis yang

mendasarinya.38-40

Gambar 2.7 Bispectral Index38

2. Hindari Penggunaan Sedasi Berlebihan

Obat sedatif-analgesik tidak boleh digunakan secara berlebihan karena

sedasi yang berlebihan dapat memperpanjang durasi ventilasi mekanis yang tidak

perlu.26,45,48 Dua strategi telah ditunjukkan dalam percobaan acak untuk

mengurangi durasi ventilasi mekanik dan komplikasi yang berhubungan dengan

ventilasi mekanik yang berkepanjangan: bolus obat intermiten (termasuk analgesia

tanpa obat penenang, kadang-kadang disebut sebagai “no” sedation).26,47 dan

interupsi harian infus terus menerus.48 Kedua pendekatan ini telah diprotokolkan di

banyak ICU dalam upaya untuk menghindari sedasi berlebihan; namun, nilai

protokol dalam hal ini tetap tidak terbukti. 49,50


18

3. Bolus intermiten

Sebuah studi observasional terhadap 242 pasien membandingkan durasi

ventilasi mekanis di antara pasien yang menerima infus sedatif-analgesik kontinu

dengan mereka yang menerima infus sedatif-analgesik intermiten atau tanpa

sedatif-analgesik berdasarkan protokol keperawatan.47 Kelompok yang menerima

infus intermiten atau tanpa pengobatan memiliki durasi ventilasi mekanis yang

lebih pendek (median 56 jam) dibandingkan kelompok yang menerima infus

kontinu (median 185 jam).47

4. Interupsi harian dan sedasi sesuai protocol keperawatan

Interupsi harian sedasi (DSI) mengacu pada penghentian infus sedatif-

analgesik terus menerus sampai pasien bangun dan mengikuti instruksi, atau sampai

pasien tidak nyaman atau gelisah, dan dianggap memerlukan dimulainya kembali

sedasi. Alasan DSI adalah bahwa mereka memfasilitasi penilaian status neurologis

yang mendasari pasien, serta kebutuhan pasien untuk sedasi berkelanjutan.

Keperawatan-protokolisasi (NP)-sedasi didefinisikan sebagai protokol sedasi yang

diterapkan oleh perawat di samping tempat tidur untuk pilihan obat penenang dan

titrasi obat untuk mencapai skor sedasi yang ditargetkan sesuai resep. Beberapa

penelitian telah membandingkan mekanisme ini dan tidak ada perbedaan kuat yang

konsisten telah dilaporkan.48,51,52,53 Percobaan acak dan meta-analisis melaporkan

kemungkinan manfaat dari DSI atau NP-sedasi berkaitan dengan pengurangan

durasi ventilasi mekanis dan lama rawat inap.


19

E. Withdrawal

Ketika sedasi farmakologis tidak lagi diperlukan, urutan dan tingkat

penghentian agen sedatif-analgesik harus ditentukan . Untuk pasien yang menerima

lebih dari satu obat sedatif-analgesik (misalnya, obat penenang dan opioid), opioid

harus diturunkan terakhir sehingga pasien tidak terbangun dengan rasa sakit. 7,11

Tingkat pengurangan harus bersifat individual. Secara umum, penghentian

selama periode waktu yang singkat (misalnya, jam) dapat diterima jika agen sedatif-

analgesik telah diberikan untuk jangka waktu yang singkat (≤7 hari). Selain itu,

penghentian tiba-tiba mungkin tepat pada pasien yang telah menerima sedasi

selama lebih dari tujuh hari yang dibius dalam karena akumulasi obat yang

berkepanjangan. Namun, pengurangan bertahap (10 sampai 25 persen per hari)

mungkin diperlukan jika agen sedatif-analgesik telah diberikan selama >7 hari dan

pasien menunjukkan bukti takifilaksis, dengan peningkatan dosis yang diperlukan

dari waktu ke waktu untuk mencapai tingkat yang sama. Sedasi. 7,11

Penting bagi dokter untuk menyadari bahwa mungkin ada penundaan (yaitu,

berhari-hari) antara saat pengurangan agen sedatif-analgesik dimulai dan pasien

mulai sadar, terutama setelah terapi jangka panjang. Hal ini karena obat lipofilik

terakumulasi di jaringan dan harus dimobilisasi untuk eliminasi.. 7,11

Selama pengurangan obat penenang-analgesik, pasien harus diamati dengan

cermat untuk gejala penarikan. Gejala penarikan akut dalam pengaturan ini

tampaknya umum. Dalam sebuah penelitian observasional terhadap 28 pasien

dengan ventilasi mekanik yang telah berada di ICU selama lebih dari satu minggu,
20

sembilan pasien (32 persen) mengalami gejala putus obat akut ketika obat

penenang-analgesik mereka dikurangi.54

Dosis benzodiazepin dan opioid yang lebih tinggi memberikan risiko gejala

penarikan yang lebih tinggi. Gejala penarikan benzodiazepin termasuk agitasi,

kebingungan, kecemasan, tremor, takikardia, hipertensi, dan demam. Kejang juga

dapat terjadi. Pemberian intravena atau oral intermiten lorazepam (0,5 hingga 1 mg

setiap 6 hingga 12 jam) dapat membantu melindungi pasien dari gejala putus obat

karena infus benzodiazepin terus menerus berkurang. Gejala putus opioid termasuk

agitasi, kecemasan, kebingungan, rinore, lakrimasi, diaforesis, midriasis, piloereksi,

kram perut, diare, tremor, mual, muntah, menggigil, takikardia, hipertensi, dan

demam. Beberapa strategi telah diusulkan untuk mencegah penarikan opioid,

termasuk de-eskalasi dosis, dikonversi ke ekuivalen oral kerja lebih lama, konversi

ke barbiturat long-acting (mis.fenobarbital), dan menambahkan agonis alfa-2

(klonidin, deksmedetomidine).55,56 Namun, tidak ada uji coba terkontrol dari

strategi apa pun dan tidak ada konsensus mengenai strategi terbaik. Data terbatas

pada laporan kasus, termasuk dua laporan di mana dexmedetomidine dimulai

dengan dosis 0,7 mcg/kg/jam (dengan atau tanpa dosis pemuatan) dan berhasil

memfasilitasi penarikan opioid.57,58


BAB III

PENUTUP

Prosedur sedasi dan analgesia adalah satu kesatuan yang saling

melengkapi. Tidak hanya agen yang tepat yang perlu dipilih, tetapi juga dosis, rute,

profil efek samping, dan durasi pemberian dosis perlu dipahami untuk semua

pasien. Kesalahan apa pun pada tahap penilaian atau pengobatan dapat memiliki

implikasi yang luas bagi pasien. Pada umumnya, pasien sakit kritis mendapatkan

terapi sedasi dan atau terapi analgesia untuk mengatasi rasa nyeri dan kecemasan

dengan tujuan untuk meningkatkan toleransi terhadap lingkungan ICU. Manajemen

sedasi dan analgesia harus meliputi penilaian penyakit dasar dan faktor pencetus,

pemantauan secara rutin, pemilihan obat yang baik dan penggunaan strategi dengan

menetapkan target terapi untuk menghindari sedasi yang berlebihan

dancberkepanjangan. Pemberian sedasi dan analgesia yang adekuat dapat

mempercepat penyapihan dari ventilasi mekanik dan mempersingkat perawatan di

ICU.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Hariharan, U., & Garg, R. Sedation and Analgesia in Critical Care. Journal of
Anesthesia & Critical Care: Open Access 2017;7(3):1–7.
2. Keogh, S. J., Long, D. A., & Horn, D. V. Practice guidelines for sedation and
analgesia management of critically ill children: A pilot study evaluating
guideline impact and feasibility in the PICU. BMJ Open 2017;5(3):1–9
3. Hinkelbein, J., Lamperti, M., Akeson, J., Santos, J., Costa, J., De Robertis, E.,
Longrois, D., NovakJankovic, V., Petrini, F., Struys, M. M. R. F., Veyckemans,
F., Fuchs-Buder, T., & Fitzgerald, R.. European Society of Anaesthesiology and
European Board of Anaesthesiology guidelines for procedural sedation and
analgesia in adults. European Journal of Anaesthesiology 2018;35(1):6–24.
4. Hansen-Flaschen J. Improving patient tolerance of mechanical ventilation.
Challenges ahead. Crit Care Clin 1994; 10:659.
5. Lewis KS, Whipple JK, Michael KA, Quebbeman EJ. Effect of analgesic
treatment on the physiological consequences of acute pain. Am J Hosp Pharm
1994; 51:1539.
6. American Society of Anesthesiologists Task Force on Acute Pain Management.
Practice guidelines for acute pain management in the perioperative setting: an
updated report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on
Acute Pain Management. Anesthesiology 2012;116(2):248–273
7. Devlin JW, Skrobik Y, Gélinas C, et al. Clinical Practice Guidelines for the
Prevention and Management of Pain, Agitation/Sedation, Delirium,
Immobility, and Sleep Disruption in Adult Patients in the ICU. Crit Care Med
2018; 46:e825.
8. Griffiths J, Hatch RA, Bishop J, et al. An exploration of social and economic
outcome and associated health-related quality of life after critical illness in
general intensive care unit survivors: a 12-month follow-up study. Crit Care
2013; 17:R100.
9. Milbrandt EB, Deppen S, Harrison PL, et al. Costs associated with delirium in
mechanically ventilated patients. Crit Care Med 2004; 32:955.

22
23

10. McNicoll L, Pisani MA, Zhang Y, et al. Delirium in the intensive care unit:
occurrence and clinical course in older patients. J Am Geriatr Soc 2003; 51:591.
11. Barr J, Fraser GL, Puntillo K, et al. Clinical practice guidelines for the
management of pain, agitation, and delirium in adult patients in the intensive
care unit. Crit Care Med 2013; 41:263.
12. Ely EW, Shintani A, Truman B, et al. Delirium as a predictor of mortality in
mechanically ventilated patients in the intensive care unit. JAMA 2004;
291:1753.
13. Klein Klouwenberg PM, Zaal IJ, Spitoni C, et al. The attributable mortality of
delirium in critically ill patients: prospective cohort study. BMJ 2014;
349:g6652.
14. Mehta S, Cook D, Devlin JW, et al. Prevalence, risk factors, and outcomes of
delirium in mechanically ventilated adults. Crit Care Med 2015; 43:557.
15. Aldemir M, Ozen S, Kara IH, et al. Predisposing factors for delirium in the
surgical intensive care unit. Crit Care 2001; 5:265.
16. Schieveld JNM, Strik JJMH. Hypoactive Delirium Is More Appropriately
Named as "Acute Apathy Syndrome". Crit Care Med 2018; 46:1561.
17. Fontaine DK. Nonpharmacologic management of patient distress during
mechanical ventilation. Crit Care Clin 1994; 10:695.
18. Strøm T, Martinussen T, Toft P. A protocol of no sedation for critically ill
patients receiving mechanical ventilation: a randomised trial. Lancet 2010;
375:475.
19. Strøm T, Stylsvig M, Toft P. Long-term psychological effects of a no-sedation
protocol in critically ill patients. Crit Care 2011; 15:R293.
20. Chlan LL, Weinert CR, Heiderscheit A, et al. Effects of patient-directed music
intervention on anxiety and sedative exposure in critically ill patients receiving
mechanical ventilatory support: a randomized clinical trial. JAMA 2013;
309:2335.
21. Bradt J, Dileo C. Music interventions for mechanically ventilated patients.
Cochrane Database Syst Rev 2014; :CD006902.
24

22. Messika J, Martin Y, Maquigneau N, et al. A musical intervention for


respiratory comfort during noninvasive ventilation in the ICU. Eur Respir J
2019; 53.
23. Wunsch H, Kahn JM, Kramer AA, Rubenfeld GD. Use of intravenous infusion
sedation among mechanically ventilated patients in the United States. Crit Care
Med 2009; 37:3031.
24. Soro M, Gallego L, Silva V, et al. Cardioprotective effect of sevoflurane and
propofol during anaesthesia and the postoperative period in coronary bypass
graft surgery: a double-blind randomised study. Eur J Anaesthesiol 2012;
29:561.
25. Roberts DJ, Haroon B, Hall RI. Sedation for critically ill or injured adults in the
intensive care unit: a shifting paradigm. Drugs 2012; 72:1881.
26. Kollef MH, Levy NT, Ahrens TS, et al. The use of continuous i.v. sedation is
associated with prolongation of mechanical ventilation. Chest 1998; 114:541.
27. Prospective evaluation of the sedation-agitation scale in adult ICU patients. Crit
Care Med 1999; 27:1325-1329.
28. Devlin JW, Boleski G, Mlynarek M, et al. Motor Activity Assessment Scale: a
valid and reliable sedation scale for use with mechanically ventilated patients
in an adult surgical intensive care unit. Crit Care Med 1999; 27:1271.
29. Riker RR, Picard JT, Fraser GL. Prospective evaluation of the Sedation-
Agitation Scale for adult critically ill patients. Crit Care Med 1999; 27:1325.
30. Weinert C, McFarland L. The state of intubated ICU patients: development of
a two-dimensional sedation rating scale for critically ill adults. Chest 2004;
126:1883.
31. Sessler CN, Gosnell MS, Grap MJ, et al. The Richmond Agitation-Sedation
Scale: validity and reliability in adult intensive care unit patients. Am J Respir
Crit Care Med 2002; 166:1338.
32. Ely EW, Truman B, Shintani A, et al. Monitoring sedation status over time in
ICU patients: reliability and validity of the Richmond Agitation-Sedation Scale
(RASS). JAMA 2003; 289:2983.
25

33. Bizek KS. Optimizing sedation in critically ill, mechanically ventilated patients.
Crit Care Nurs Clin North Am 1995; 7:315.
34. Ambuel B, Hamlett KW, Marx CM, Blumer JL. Assessing distress in pediatric
intensive care environments: the COMFORT scale. J Pediatr Psychol 1992;
17:95.
35. Olleveant N, Humphris G, Roe B. A reliability study of the modified new
Sheffield Sedation Scale. Nurs Crit Care 1998; 3:83.
36. Ramsay MA, Savege TM, Simpson BR, Goodwin R. Controlled sedation with
alphaxalone-alphadolone. Br Med J 1974; 2:656.
37. Ely EW, Margolin R, Francis J, et al. Evaluation of delirium in critically ill
patients: validation of the Confusion Assessment Method for the Intensive Care
Unit (CAM-ICU). Crit Care Med 2001; 29:1370
38. Simmons LE, Riker RR, Prato BS, Fraser GL. Assessing sedation during
intensive care unit mechanical ventilation with the Bispectral Index and the
Sedation-Agitation Scale. Crit Care Med 1999; 27:1499.
39. Deogaonkar A, Gupta R, DeGeorgia M, et al. Bispectral Index monitoring
correlates with sedation scales in brain-injured patients. Crit Care Med 2004;
32:2403.
40. Mondello E, Siliotti R, Noto G, et al. Bispectral Index in ICU: correlation with
Ramsay Score on assessment of sedation level. J Clin Monit Comput 2002;
17:271.
41. Frenzel D, Greim CA, Sommer C, et al. Is the bispectral index appropriate for
monitoring the sedation level of mechanically ventilated surgical ICU patients?
Intensive Care Med 2002; 28:178.
42. Ely EW, Truman B, Manzi DJ, et al. Consciousness monitoring in ventilated
patients: bispectral EEG monitors arousal not delirium. Intensive Care Med
2004; 30:1537.
43. De Deyne C, Struys M, Decruyenaere J, et al. Use of continuous bispectral EEG
monitoring to assess depth of sedation in ICU patients. Intensive Care Med
1998; 24:1294.
26

44. Vivien B, Di Maria S, Ouattara A, et al. Overestimation of Bispectral Index in


sedated intensive care unit patients revealed by administration of muscle
relaxant. Anesthesiology 2003; 99:9.
45. Shehabi Y, Chan L, Kadiman S, et al. Sedation depth and long-term mortality
in mechanically ventilated critically ill adults: a prospective longitudinal
multicentre cohort study. Intensive Care Med 2013; 39:910.
46. Shehabi Y, Bellomo R, Reade MC, et al. Early intensive care sedation predicts
long-term mortality in ventilated critically ill patients. Am J Respir Crit Care
Med 2012; 186:724.
47. Brook AD, Ahrens TS, Schaiff R, et al. Effect of a nursing-implemented
sedation protocol on the duration of mechanical ventilation. Crit Care Med
1999; 27:2609.
48. Kress JP, Pohlman AS, O'Connor MF, Hall JB. Daily interruption of sedative
infusions in critically ill patients undergoing mechanical ventilation. N Engl J
Med 2000; 342:1471.
49. Aitken LM, Bucknall T, Kent B, et al. Protocol-directed sedation versus non-
protocol-directed sedation to reduce duration of mechanical ventilation in
mechanically ventilated intensive care patients. Cochrane Database Syst Rev
2015; 1:CD009771.
50. Collinsworth AW, Priest EL, Campbell CR, et al. A Review of Multifaceted
Care Approaches for the Prevention and Mitigation of Delirium in Intensive
Care Units. J Intensive Care Med 2016; 31:127.
51. Mehta S, Burry L, Cook D, et al. Daily sedation interruption in mechanically
ventilated critically ill patients cared for with a sedation protocol: a randomized
controlled trial. JAMA 2012; 308:1985.
52. de Wit M, Gennings C, Jenvey WI, Epstein SK. Randomized trial comparing
daily interruption of sedation and nursing-implemented sedation algorithm in
medical intensive care unit patients. Crit Care 2008; 12:R70.
53. Nassar Junior AP, Park M. Daily sedative interruption versus intermittent
sedation in mechanically ventilated critically ill patients: a randomized trial.
Ann Intensive Care 2014; 4:14.
27

54. Cammarano WB, Pittet JF, Weitz S, et al. Acute withdrawal syndrome related
to the administration of analgesic and sedative medications in adult intensive
care unit patients. Crit Care Med 1998; 26:676.
55. Honey BL, Benefield RJ, Miller JL, Johnson PN. Alpha2-receptor agonists for
treatment and prevention of iatrogenic opioid abstinence syndrome in critically
ill patients. Ann Pharmacother 2009; 43:1506.
56. Al-Qadheeb NS, Roberts RJ, Griffin R, et al. Impact of enteral methadone on
the ability to wean off continuously infused opioids in critically ill,
mechanically ventilated adults: a case-control study. Ann Pharmacother 2012;
46:1160.
57. Maccioli GA. Dexmedetomidine to facilitate drug withdrawal. Anesthesiology
2003; 98:575.
58. Multz AS. Prolonged dexmedetomidine infusion as an adjunct in treating
sedation-induced withdrawal. Anesth Analg 2003; 96:1054.

Anda mungkin juga menyukai