Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN HASIL TUTORIAL

BLOK GANGGUAN SISTEM UROGENITAL


MODUL III

KELOMPOK 14 C
Melinda Tri Agusti 1710311008
Kelvin Florentino Kaisar 1710311017
Hifzhillah Fajriati 1710311043
Silvia Rizka 1710312009
Nur Fatimah Maharani 1710312077
M. Andhika Dwi Putra 1710313015
Fatihah Annisa Humaira 1710313033
Faldo Alfaiza Ramadhan 1710311034
Aliefia Hidayati Yurizal 1710313054
Nadhirah Aulia Navis 1710313066

KEDOKTERAN – FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
MODUL 3 : BUANG AIR KECIL BERDARAH

Anti, perempuan 32 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan badan sembab, disertai lemah,
sesak nafas, dan jantung berdebar-debar. Dokter Puskesmas setelah melakukan pemeriksaan urine dengan
hasil albuminuria dan hematuria mencurigai adanya kerusakan pada ginjal, dan merujuknya ke IGD. Di
IGD rumah sakit Anti menjalani serangkaian pemeriksaan, dan dari hasilnya dokter menyimpulkan bahwa
ia menderita penyakit nefritis interstitialis akibat autoimun, yang mengakibatkan kegagalan ginjal.
Kepada mahasiswa koasisten yang dibimbingnya, dokter menjelaskan tentang serangan autoimun
terhadap saluran pengumpul di ginjal, dan berakibat kegagalan dalam fungsi absorbsi dan sekresi sistem
nefron. Serangan autoimun ini bisa berupa sindroma nefrotik, nefritis lupus, glomerulonephritis
membranosa dan sebagainya. Penyebabnya bisa zat toksik terhadap ginjal, atau penyakit sistemik seperti
diabetes. Penyakit autoimun seperti SLE, sindroma Goodpasture atau nefropati IgA juga bisa terlibat disini.
Dokter menjelaskan bahwa pengobatan melibatkan usaha meringankan gejala, memelihara kesehatan organ
yang terlibat, dan mengatasi penyebab penyakit. Pada pasien ini dokter memberikan obat-obatan untuk
mengatasi penyebab autoimun seperti cyclophosphamide dan cyclosporine.
Setelah pasien ini dilayani datang lagi pasien rujukan laki-laki 40 tahun dengan keluhan kolik berat
dan urin berdarah. Pemeriksaan radiologis menyimpulkan adanya batu ginjal dan batu ureter. Untuk
mengatasi kolik, pasien diberikan anti nyeri dan alpha-blocker. Pasien dianjurkan untuk dirawat untuk
tatalaksana lanjutan.
Bagaimana saudara menjelaskan semua kasus di atas?

STEP 1 : TERMINOLOGI
1. Albuminuria  kondisi ketika urine mengandung protein albumin dalam jumlah yang banyak, jika
>200mg/L dalam 24 jam termasuk makroalbuminuria
2. Nefritis interstitialis  infeksi yang menyebabkan peradangan di ruangan sekitar nefron
3. Hematuria  kondisi dimana urine mengandung darah, bisa disebabkan karena ISK, anemia genetik
4. Sindrom nefrotik  kumpulan gejala yang mengenai ginjal menyebabkan gangguan ginjal ….
5. Nefritis lupus  peradangan pada ginjal akibat SLE
6. Glomerulonephritis membranosa  lesi yang menyebar difus pada glomerulus karena penebalan
membrane basalis glomerulus
7. Sindrom Goodpasture  penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi pada glomerulus ginjal
8. Nefropati IgA  penumpukan protein IgA pada ginjal yang dapat menyebabkan peradangan dan
kerusakan pada ginjal, merupakan penyakit ginjal kronis, berlangsung 10-20 tahun
9. Cyclophosphamide  agen alkilase sitotoksik dari kelompok mustar nitrogen yang digunakan sebagai
antineoplastic, biasanya digunakan untuk kemoterapi, melemahkan respon imun, untuk pengobatan
kanker
10. Cyclosporine  golongan imunosupresan yang menghambat IL-2, obat untuk menolak/ menekan
potensi imun tubuh ketika transplantasi, bisa untuk pengobatan sindrom nefrotik,
11. Batu ginjal  gangguan traktus urinarius ketika terdapat bahan kimia, mineral di dalam urine yang
membentuk kristal
12. Batu ureter  batu ginjal yang bergerak hingga ke ureter
13. Alfa-blocker  antagonis alfa-adrenergik, golongan obat untuk pengobatan hipertensi, menjaga
epinerfin dari mengontaksi otot-otot
STEP 2 : IDENTIFIKASI MASALAH
1. Mengapa Anti mendapat keluhan sembab, sesak napas, lemah, jantung berdebar-debar?
2. Apa saja hal-hal yang bisa menyebabkan keluhan seperti yang diarasakan Anti, dan bagaimana
hubungannya dengan usia dan jenis kelamin?
3. Mengapa bisa terjadi albuminuria dan hematuria?
4. Mengapa hasil albuminuria dan hematuria bisa dijadikan indicator dalam kerusakan ginjal?
5. Apa saja pemeriksaan lanjutan yang didapatkan Anti di IGD?
6. Bagaimana dokter dapat menyimpulkan Anti menderita nefritis interstitialis?
7. Bagaimana nefritis interstitialis dapat menyebabkan gagal ginjal?
8. Apa saja penyebab kegagalan ginjal?
9. Bagaimana bentuk serangan autoimun terhadap saluran pengumpul ginjal, mengganggu absorbs,
sekresi sistem nefron
10. Bagaimana perbedaan sindrom nefrotik, nefritis lupus, glomerulonephritis membranosa?
11. Bagaimana pengaruh zat toksik terhadap ginjal dan penyakit sistemik seperti diabetes?
12. Bagaimana SLE, sindrom Goodpasture, nefropati IgA terlibat?
13. Mengapa dokter memberikan obat Cyclophosphamide dan Cyclosporine untuk mengobati keluhan
pasien? Serta bagaimana cara kerja kedua obat tersebut?
14. Mengapa pasien bisa mengeluhkan kolik berat dan urin berdarah, serta bagaimana hubungannya
dengan jenis kelamin dan usia?
15. Bagaimana hasil radiologis sehingga dokter mendiagnosis batu ginjal dan batu ureter?
16. Bagaimana mechanisme kerja alfa-blocker dan anti nyeri untuk mengatasi keluhan?
17. Apa indikasi pasien rawat inap serta apa saja tatalaksana lanjutan untuk pasien?
18. Apa saja tatalaksana awal dan bagaimana cara merujuknya?

STEP 3
1. Mengapa Anti mendapat keluhan sembab, sesak napas, lemah, jantung berdebar-debar?
1) Sembab
Sembab = edema  adanya perpindahan cairan dari intavaskular ke intersisial.
Cairan dalam tubuh terdapat pada 2 tempat, yaitu intravascular (di dalam pembuluh darah),
dan ekstravaskular (di dalam sel , dan diantara sel ke inravaskular).
Penyebab terjadinya sembab : Perubahan tekanan onkotik dan osmotic. Tekanan onkotik
(perpindahan cairan dari tekanan rendah ke tinggi), sedangkan tekanan osmotic (perpindahan dari
tekanan tinggi ke rendah). Tekanan onkoti bisa dipengaruhi oleh rendahya kadar protein di dalam
tubuh, sehingga konsentrasi intravascular rendah  onkotik rendah  cairan berpindah ke
intersisial. Tekanan osmotic dipengaruhi oleh tekanan darah.
Sembab dibedakan menjadi 2 :
 Sembab anarsaka  edem seluruh tubuh, khas pada individu dengan protein tubuh rendah.
Rendahnya protein ini bisa disebabkan karena rendahnya intake, atau pengeluaran yang tinggi.
Pembuangan protein yang tinggi terjadi pada individu dengan ganggual ginjal. Dimana terjadi
gangguan pada mekanisme bulk flow (mekanisme penyaringan di pembuluh darah)
 Sembab ekstremitas  biasanya disebabkan karena adanya gangguan pada kardiovaskular.
Gagal jantung  penumpukan cairan di kanan jantung  hipertensi pulmonal  edema
2) Lemah
 Bisa karena input makanan yang kurang
 Sel darah merah (eritrosit) yang banyak dipecah
 Terdapat sel kanker
3) Sesak napas
 Edema : bisa karena akumulasi cairan pada paru (bersifat non-kardiogenik). Karena ada edema
 pemenuhan O2 terganggung  sesak napas (kompensasi tubuh)
 Gangguan pada jantung, contohnya : gagal jantung kanan  penumpukan cairan di ventrikel
kanan  hipertensi pulmonal 0 edema paru  sesak napas
 Adanya gangguan pada ginjal,
4) Jantung berdebar-debar
 Terdapatnya albumin pada urin  indikasi kegagalan fungsi ginjal. Tidak hanya albumin, tapi
juga kalium. Kegagalan ginjal  hyperkalemia  tubuh lemah, kontraksi pada jantung terus
menerus  takikardi
 Bisa juga karena hipertirois 

2. Apa saja hal-hal yang bisa menyebabkan keluhan seperti yang diarasakan Anti, dan bagaimana
hubungannya dengan usia dan jenis kelamin?
 Retensi Na  Na sedikit dikeluarkan tubuh, terjadi perpindahan cairan ke interstitial.
Kompensasinya terjadi peningkatan preload  meningkatakan beban kerja jantung
 Gangguan sekresi protein, ex : sindorme ureunemia  memicu terjadinya mual dan muntah
 Peningkatan permeabilitas kapiler
Jika ada ketiga-tiganya : berarti ada gangguan pada sekresi dan absorbsi  gangguan GFL
(filtrasi)  penurunan fungsi ginjal

Hubungan dengan usia dan jenis kelamin :


 Tergantung pada aktivitas harian : laki-laki lebih cenderung untuk terjadi gangguan pada
mekanisme absorbsi dibanding perempuan
 Penyakit nefritis interstitialis : bisa mengenai semua umur, terbanyak pada usia tua

3. Mengapa bisa terjadi albuminuria dan hematuria?


 Gangguan pada sel podosit yang berfungsi untuk menyaring molekul-molekul besar. Pada
membrane ginjal terdapat sel podosit. Ketika sel podosit mengalami gangguan  lolosnya protein2
besar.
 Kenegatifan sel podosit terganggu/berubah  bisa karena infeksi, ex: Shigella bisa menyebabkan
sindroma  gangguan filtrasi glomerulus  hematuria
 Enteroinvasif E.coli  syndrome hemolytic
 Hipertensi  peningkatan tekanan hidrostatik glomerulus

4. Mengapa hasil albuminuria dan hematuria bisa dijadikan indicator dalam kerusakan ginjal?
Bisa dijadikan karena adanya gangguan pada sel podosit  terjadi gangguan sistemik, dan
gangguan pada filtrasi molekul-molekul besar.

5. Apa saja pemeriksaan lanjutan yang didapatkan Anti di IGD?


 Serum kreatinin  untuk diagnosis gagal ginjal akut. Kadar normal : 1mg/cc/kgBB. Jika meningkat
lebih dari 10mg/dl bisa menandakan gagal ginjal (RIFLE)
 Menilai output urin  tergantung pada jumlahnya (AKI)
 Biopsi ginjal  Pemeriksaan urin (berat jenis  <0,15 : gangguan sistem ginjal, osmolaritas : <300
: gangguan tubuler ginjal), proteinuria ringan-sedang

6. Bagaimana dokter dapat menyimpulkan Anti menderita nefritis interstitialis?


 Pemeriksaan histologi, ditemukan : edema yang difus, difusi limfosit,
 Ditemukan granuloma, dll

7. Bagaimana nefritis interstitialis dapat menyebabkan gagal ginjal?


 Peningkatan serum kreatinin, dan berkurangnya output urine.
Gagal ginjal : pre-renal, renal, post-renal.
Nefritis interstitilis  terjadi nekrosis pada saluran  memicu sel-sel radang dalam tubuh 
menumpuk dalam nefron  mengganggu filtrasi pada ginjal

8. Apa saja penyebab kegagalan ginjal?


Kasus imergency :
 gagal ginjal karena syok hipvolemik  cairan berkurang  CO (cardiac output) berkurang 
aliran darah ke ginjal berkurang  bisa menyebabkan kematian
 krisis hipertensi  komplikasi ke ginjal
 gagal jatung  darah ke ginjal tidak adekuat
 sindroma nefritik post streptococcus
 SLE

9. Bagaimana bentuk serangan autoimun terhadap saluran pengumpul ginjal, mengganggu absorbsi serta
sekresi sistem nefron
10. Bagaimana perbedaan sindrom nefrotik, nefritis lupus, glomerulonephritis membranosa?
11. Bagaimana pengaruh zat toksik terhadap ginjal dan penyakit sistemik seperti diabetes?
 Obat-obatan yang bersifat nefrotoksik berpengaruh terhadap ginjal
Ex: pyrazinamide  bisa merusak ginjal
 Disfungsi endotel pembuluh darah  tidak adekuatnya aliran darah ke ginjal  gangguan ginjal
 DM bisa meeningkatkan adiponektin  cenderung terjadi peningkatan inflamasi pada ginjal
 Reaksi polyol  glukosa tinggi  keseimbangan kimia tubuh terganggu
 Pada DM 2 terjadi perubahan pada membrane basalis  proliferasi sel-sel mesangium 
berkurangnya aliran darah pada glomerulus  perubahan permeabilitas glomerulus
 Pada DM 1  terjadi mekanisme autoimun terhadap sel beta pancreas

12. Bagaimana SLE, sindrom Goodpasture, nefropati IgA terlibat?


13. Mengapa dokter memberikan obat Cyclophosphamide dan Cyclosporine untuk mengobati keluhan
pasien? Serta bagaimana cara kerja kedua obat tersebut?
14. Mengapa pasien bisa mengeluhkan kolik berat dan urin berdarah, serta bagaimana hubungannya
dengan jenis kelamin dan usia?
Nyeri kolik terjadi jika adanya obstruksi pada organ berongga tubuh yang punya otot polos 
respon otot berupa krontaksi untuk mengeluarkan/ menghilangkan obstruksi tadi. Sedangkan Urin
berdarah  bisa karena obstruksi. Obstruksi  nyeri (tergantung bentuknya)

15. Bagaimana hasil radiologis sehingga dokter mendiagnosis batu ginjal dan batu ureter?
Dilihat dari hasil pemeriksaan secara BNO-IVP. Dan biasanya batu ginjal ditemukan di dekat
kaliks. Serta batu ureter berada di 3 tempat penyimpangan : kaliks-ureter, persilangan dengan
a.testicularis, dan menjelang ke vesika urinaria.

16. Bagaimana mekanisme kerja alfa-blocker dan anti nyeri untuk mengatasi keluhan?
Alfa blocker  menghambat alfa /alfa antagonis
Reseptor alfa di jantung
Anti nyeri lebih baik diberikan antispasmodic  menghambat dengan cara menspasmekan otot polos

17. Apa indikasi pasien rawat inap serta apa saja tatalaksana lanjutan untuk pasien?
Rawat inap :
Pasien : demam, sepsis, obstruksi ginjal bilateral, dehidrasi karena muntah mual, dll
Tatalaksana :
ESWL : pemecahan batu menggunakan gelombang kejut , jika ditemukan batu berukuran 2-5mm
18. Apa saja tatalaksana awal dan bagaimana cara merujuknya?

STEP 4 : SKEMA
STEP 5 : LO
1. Gangguan ginjal akut
2. Gangguan ginjal kronik
3. Batu saluran kemih
4. Sindroma nefrotik
5. Penyakit autoimun

STEP 6
A. GANGGUAN GINJAL AKUT
1. Epidemiologi
Gagal ginjal akut merupakan suatu sindrom klinis yang secara cepat (biasanya dalam
beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang berkembang cepat, lalu filtrasi glomerlurus
yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar krestin serum meningkat sebanyak 0,5mg/dl/hari
dan kadar nitrogen urea darah sebanyak 10mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya disertai
oleh oliguria (keluaran urine < 400 ml/hari). Kriteria ologuria tidak mutlak tapi berkaitan dengan
fakta bahwa rata-rata diet orang amerika mengandung sekitar 600 mOssm zat terlarut. Jika
kemampuan pemekatan urine maksimum sekitar 1200 mOssm/L air, maka kehilangan air obligat
dalam urune adalah 500ml. Oleh karena itu, bile keliran urine hingga kurang drai 400ml/hari
penambahan zat terelarut tidak bisa dibatasi dengan kasdar BUN serta kreatinin meningkat.
Namun oliguria bukan merupakan gambaran penting pada ARF.
Bukti penelitian terbaru mengesankan bahwa pada sepertiga hingga separuh kasus ARF,
keluaran urine melebihi 400/hari dan dapat mencapai 2 liter/hari. Bentuk ARF ini di sebut
keluaran tinggi atau di sebut non oluliguri. ARF menyebabkan timbulnya gejala dan tanda
menyerupai sinrom uremik pada gagal ginjal kronik, yang mencerminkan terjadinya kegagalan
fungsi regulasi, ekresi, dan endokrin ginjal, namun demikian osteodistropi ginjal dan anemia
bukan merupakan gambaran yang lazim terdapat pada ARF karna awitannya akut

2. Definisi
Gagal ginjal akut adalah suatu keadaan penurunan fungsi ginjal seccara mendadak
akibat kegagalan sirkulasi renal, serta gangguan fungsi tubulus dan glomerulus dengan
manifestasi penurunan produksi urine dan terjadi azotemia (peningkatan kadar nitrogen
darah, peningkatan kreatiniin serum, dan retensi produk metabolik yang harus diekresikan
oleh ginjal)

3. Etiologi
a. Gagal ginjal akut Prerenal.
Gagal ginjal akut prerenal adalah keadan yang paling ringan yang dengan cepat dapat
reversibel, jika perfusi ginjal segera diperbaiki. Gagal ginjal akut prerenal merupakan kelainan
fungsional, tanpa adanya kelainan histologik//morfologik pada nefron. Namun bila hipoperfusi
ginjal tidak segera diperbaiki, akan menimbulkan trjadinya nekrosis tubular akut (NTA).
Etiologi :
- Penurunan Volume Vascular
1. Kehilangan darah/plasma karena perdarahan, luka bakar.
2. Kehilangan cairan ekstraselular karena muntah, diare.
- Kenaikan Kapasitas Vascular
1. Sepsis
2. Blokade ganglion
3. Reaksi anafilaksis
- Penurunan Curah Jantung/kegagalan pompa jantung
1. Renjatan kardiogenik
2. Payah jantung kongesti
3. Tamponade jantung
4. Distritmia
5. Emboli paru
6. Infark jantung

b. Gagal ginjal akut renal.


- GGA renal sebagai akibat penyakit ginjal primer seperti :
1. Glumerulonefritis
2. Nefrosklerosis
3. Penyakit kolagen
4. Angitis hepersensitif
5. Nefritis interstitialis akut karena obat, kimia, atau kuman
- Nefrosis Tubular Akut (NTA)
Nefropati vasomotorik akut terjadi karena iskemia ginjal sebagai kelanjutan GGA.
Prerenal atau pengaruh bahan nefrotoksik. Bila iskemia ginjal sangat berat dan berlngsung
lama dapat menaakibatkan terjadinya nekrosis kartikol akut (NKA) dimana lesi pada
umumnya difus pada seluruh korteks yang bersifat reversibel. Bila lesinya tidak difus
(patchy) akan ada kemungkinan reversibel.

c. Gagal ginjal akut postrenal


GGA postrenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup, namun alirannya
dalam saluran kemih terhambat. Penyebab tersering adalah obstruksi, meskipun dapat juga
karena ekstravasasi.
Etiologi:
- Obstruksi
1. Saluran kencing: batu, pembekuan darah, tumor, krista,dll
2. Tubuli ginjal: kristal, pigmen, protein (miolema)
- Ekstravsasi

4. Patofisiologi
Beberapa kondisi berikut yang menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan ganggun
fungsi ginjal : hipovelemia, hipotensi, penurunan curah jantung dan gagal jantung kongestif,
obstruksi ginjal atau traktus urinarius bawah akibat tumor, bekuan darah atau ginjal, obstryksi
vena atau arteri bilateral ginjal. Jika kondisi itu ditangani dan diperbaiki sebelum ginjal rusak
secara permanen, peningkatan BUN, oliguria dan tanda-tanda lain yang berhubungan dengan
gagal ginjal akut dapat ditangani.
Terdapat 4 tahapan klinik dari gagal ginjal akut yaitu :
a. Stadium awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
b. Stadium oliguria.
Volume urine 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai
meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung
dari kadar dalam diit. Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar
normal. Azotemia biasanyaringan kecualibila penderita mengalami stress akibat infeksi, gagal
jntung/dehidrasi. Pada stadium ini pula mengalami gejala nokturia (akibat kegagalan
pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala mulai timbul sebagai respon terhadap stress dan
perubahan makanan dan minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terrlalu
memperhatikan gejala ini. Gejala pengeluaran kemih waktu malam hari yang menetap sampai
sebanyak 700ml atau penderita terbangun untuk berkemihbeberapa kali pada waktu malam
hari.
Dalam keadaan normal perbandingan jumlah kemih siang hari dan malam hari adalah
3:1 atau 4:1. Sudah tentu nokturia kadang-kadang terjadi juga sebagai respon terhadap
kegelisahan atau minum yang berlebihan. Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar
pada penyakit yang terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan
jarang lebih dari 3 liter/hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengn faal ginjal
diantara 5%-25%. Faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gejala-gejala kekurangan
farahm tekanan darah nakan naik, terjadi kelebihan, aktifitas penderita mulai terganggu.

c. Stadium III
Semua gejala semua sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat
melakukan tugas sehari-hari sebagaimana mestinya. Gejala-gejal yang timbul antara lain
mual, muntah, nafsu makan berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhrirnya terjadi
penurunan kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90% dari masa nefron
telah hancur. Nilai GFR nya 10% dari kadaaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar
5-10ml/menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat
mencolok sehingga penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita merasakan gejala
yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan hemeostatis cairan dan
elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguria (pengeluaran kemih) kurang dari
500ml/hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang
tubulus ginjal. Kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleksperubahan biokimia dab gejala-
gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada
stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali ia mendapat pengobatan
dalam bentuk transplantasi ginjal/dialisis.

5. Manifestasi Klinis
 Perubahan haluaran urine (haluaran urin sedikit, mengandung darah dan gravitasinya rendah
(1,010) sedangkan nilai normalnya adalah 1,015-1,025)
 Peningkatan BUN, creatinin
 Kelebihan volume cairan
 Oedem anasarka
 Hiperkalemia
 Serum calsium menurun, phospat meningkat
 Asidosis metabolik
 Anemia
 Letargi
 Mual persisten, muntah dan diare
 Nafas berbau urea
 Manifestasi sistem syaraf pusat mencakup rasa lemah, sakit kepala, kedutan otot dan kejang.

6. Penatalaksanaan
a. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius seperti
hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Perikarditis memperbaiki abnormalitas biokimia menyebabkan
cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecendrungan perdarahan,
dan membantu penyembuhan luka.
b. Penanganan hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut,
hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu
pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum
(nilai kalium >5,5mEq/L, SI: 5,5 mmol/L), perubahan EKG ( tinggi puncak golombang T rendah atau
sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan
pemberian ion pengganti resin (nutrium polistiren sultfona [kayexalatel]), secara oral atau melalui
retensi enema.
c. Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbangan cairan didasarkan pada berat badan harian pengukuran vena
sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis pasien.
Masukkan dan haluaran oral dan parentral dan urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan
perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantian cairan.

7. Komplikasi
 Hiperkalemia
 Hipertensi
 Anemia
 Asidosis metabolik
 Kejang
 perikarditis

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium :
- Darah : ureum, kreatini, elektrolit, serta osmolaritis.
- Urin : ureum, kreatini, elektrolit, osmolaritis dan berat jenis.
- Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
- Gangguan keseimbangan asam basa : asidosis metabolik.
- Gangguan keseimbangan elektrolit : hiperkalemia, hipernatremia, atau hiponatremia,
hipokalesemia, dan hiperfosfatemia.
- Volume urin biasnya kurang dari 400ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah ginjal rusak.
- Warna urine : kotor,sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin, porfirin.
- Berat jenis urine : kurang dari 1,020 menunjukkan penyakit gagal ginjal, contoh:
glimerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk memekatkan; menetap
pada 1,010 menunjukkan kerusakan berat.
- PH Urine : lebih dari ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal kronik.
- Osmolarits urine : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan retio
urine/serum sering 1:1
- Klirens kreatinin urine: mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan kreatinin serum
menunjukn peningkatan bermakna.
- Natrium urine : biasanya menurun tetapi dapat lebih lebih dari 40 mEq/L bila gijal tidak
mampu mengabsorbsi natrium.
- Bikarbonat urine : meningkat bila ada asidosis metabolik.
- SDM urine : mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan GF.
- Protein : protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukkan kerusakan glomerulus bila SDM
dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menunjukan infeksi
atau nefritis intersisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria minimal.
- Warnah tambahan: biasanya tanpa penyakit ginjal atau infeksi. Warna tambahan seluler dengan
pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tabahan
warna merah diduga glumerulonefritis.

b. Darah
- Hb : menurun pada adanya anemia.
- Sel darah merah : sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan / penurunan hidup.
- PH : asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan kemampuan ginjal
untuk mengeksresikan hidrogen dn hasil khir metbolisme.
- BUN / kreatinin : biasanya meningkat pada proporsi ratio 10:1.
- Osmolaritas serum : lebih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan urine.
- Kalium : meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan selular (asidosis)
atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
- Natrium : biasanya meningkat tetapi dengan bervariasi.
- Ph : kalium, dan bikarbonat menurun, klorida, fosfat dan magnesium meningkat.
- Protein : penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine,
perpindahan cairan, penurunan pemasukan, dan penurunan sistensi, karena kekurangan asam
amino esensial.
c. CT scan
d. MRI
e. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidak seimbangan elektrolit dan asam / basa.

9. Prognosis
Prognosis GGA tergantung dari penyebab dan pengelolaannya. Bila penyebabnya prerenal
atau postrenal umumnya prognosisnya baik oleh karena kausanya dapat diketahui dan dapat diatasi
dengan catatan pengelolaannya cepat dan tepat. Begitupula dengan sebab-sebab renal dapat sembuh
sempurna bila ditangani secara baik.

10. Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Pencegahan Primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari
berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
GGA, antara lain :
 Setiap orang harus memiliki gaya hidup sehat dengan menjaga pola makan dan olahraga
teratur.
 Membiasakan meminum air dalam jumlah yang cukup merupakan hal yang harus dilakukan
setiap orang sehingga faktor resiko untuk mengalami gangguan ginjal dapat dikurangi.
 Rehidrasi cairan elektrolit yang adekuat pada penderita-penderita gastroenteritis akut.
 Transfusi darah atau pemberian cairan yang adekuat selama pembedahan, dan pada trauma-
trauma kecelakaan atau luka bakar.
 Mengusahakan hidrasi yang cukup pada penderita-penderita diabetes melitus yang akan
dilakukan pemeriksaan dengan zat kontras radiografik.
 Pengelolaan yang optimal untuk mengatasi syok kardiogenik maupun septik. g. Hindari
pemakaian obat-obat atau zat-zat yang bersifat nefrotoksik.
 Monitoring fungsi ginjal yang teliti pada saat pemakaian obat-obat yang diketahui
nefrotoksik
 Cegah hipotensi dalam jangka panjang.
 Penyebab hipoperfusi ginjal hendaknya dihindari dan bila sudah terjadi harus segera
diperbaiki.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah langkah yang dilakukan untuk mendeteksi secara dini
suatu penyakit. Pencegahan dimulai dengan mengidentifikasi pasien yang berisiko GGA.
Mengatasi penyakit yang menjadi penyebab timbulnya penyakit GGA. Jika ditemukan pasien
yang menderita penyakit yang dapat menimbulkan GGA seperti glomerulonefritis akut maka
harus mendapat perhatian khusus dan harus segera diatasi. GGA prarenal jika tidak diatasi sampai
sembuh akan memacu timbulnya GGA renal untuk itu jika sudah dipastikan bahwa penderita
menderita GGA prarenal, maka sebaiknya harus segera diatasi sampai benar-benar sembuh,
untuk mencegah kejadian yang lebih parah atau menceg ah kecenderungan untuk terkena GGA
renal.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah langkah yang biasa dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat, kecacatan dan kematian. Pada kasus GGA yang sangat parah timbul
anuria lengkap. Pasien akan meninggal dalam waktu 8 sampai 14 hari. Maka untuk mencegah terj
adinya kematian maka fungsi ginjal harus segera diperbaiki atau dapat digunakan ginjal
buatan untuk membersihkan tubuh dari kelebihan air, elektrolit, dan produk buangan metabolisme
yang bertahan dalam jumlah berlebihan. Hindari atau cegah terjadinya infeksi. Semua tindakan
yang memberikan risiko infeksi harus dihindari dan pemeriksaan untuk menemukan adanya
infeksi harusdilakukan sedini mungkin. Hal ini perlu di perhatikan karena infeksi merupakan
komplikasi dan penyebab kematian paling se ring pada gagal ginjal oligurik. Penyakit GGA jika
segera diatasi ke mungkinan sembuhnya besar, tetapi penderita yang sudah sembuh juga harus
tetap memperhatikan kesehatannya dan memiliki gaya hidup sehat dengan menjaga pola makan,
olahraga teratur, dan tetap melakukan pemeriksaan kesehatan (medical check-up) setiap
tahunnya, sehingga jika ditemukan kelainan pada ginjal da pat segera diketahui dan diobati.

B. GANGGUAN GINJAL KRONIK

1. Pendahuluan
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap berupa dialysis atau transplantasi ginjal.1

Kriteria penyakit ginjal kronik :1

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan
manifestasi : - Kelainan Patologis
– Terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau tidak
lebih dari 60 ml/menit/1,73m2 , tidak termasuk criteria penyakit ginjal kronik.

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas
dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :

1
(140 – umur) x Berat Badan

LFG(ml/mnt/1,73m2 =

72 x kreatinin plasma ( mg/dl)

Pada wanita dikalikan 0,85.

Tabel 1. Klasifikasi stadium Gagal Ginjal Kronik.

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi.1

Penyakit Tipe Mayor


Penyakit Ginjal Diabetes Diabetes Tipe 1 dan 2
Penyakit Ginjal Non Diabetes Penyakit Glomerular, Penyakit Vaskular, Penyakit
Tubulointerstisial, Penyakit Kistik
Penyakit Pada Transplantasi Rejeksi kronik, Keracunan Obat ( siklosporin/takrolimus),
Penyakit recurrent (glomerular), Transplant
glomerulopathy

2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap
tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal

2
ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya insiden ini diperkirakan sekitar 40-60
kasus perjuta penduduk pertahun.
Penyakit primer tersering yang bertanggung jawab terhadap terjadinya stadium akhir
penyakit ginjal adalah diabetes nephropati glomerulonefritis kronik, nefrosklerosis, penyakit
ginjal polikistik, dan glomerulonefritis yang cepat progresif (dengan urutan menurun).
3. Pendekatan Diagnostik

a. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia,SLE,dll.
b. Sindroma Uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
klorida)

b. Gambaran Laboratoris

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :


a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft – Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokomiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isosteinuria.

c. Gambaran Radiologis

Gambaran radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :

a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.


b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi.
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjalan bila ada indikasi

d. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologis Ginjal


Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana didiagnosis secara non invasive tidak
bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang
sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas dan obesitas.

4. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya


2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid ( comorbid condition )
3. Memperlambat perburukkan fungsi ginjal.
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal.
Tabel 3. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai Dengan Derajatnya.

Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana Tatalaksana


1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi
perburukkan fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskular.
2 60-89 Menghambat perburukkan fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal

Tabel 4. Pembatasan Asupan Protein Dan Fosfat Pada Penyakit Ginjal Kronik

LFG (ml/mnt/1,73m2) Asupan Protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari


>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≤10 g
≥0,35gr/kg/hr nilai biologi
tinggi
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≤10 g
≥0,35gr/kg/hr nilai biologi
tinggi atau tambahan 0,3 g asam
amino essensial atau asam
keton
<60 ( sindrom Nefrotik ) 0,8/kg/hr ( + 1 g protein/g ≤ 9 g
proteinuria atau 0,3 g/kg
tambahan asam amino essensial
atau asam keton

Pedoman baru untuk penatalaksanaan gagal ginjal kronik telah dibuat oleh Canadian
Society of Nephrology. Pedoman ini menggambarkan aspek kunci penatalaksanaan gagal ginjal
kronik untuk memfasilitasi perawatan pasien ini oleh dokter umum dan spesialis,
termasuk spesialis penyakit dalam, ahli endokrinologi, spesialis jantung, dan
spesialis nefrologi. Secara khusus, pedoman ini dibuat untuk perawatan pasien
yang tidak menerima dialisis. Dalam ulasan ini, kami menguraikan rekomendasi
dari pedoman mengenai aspek pengobatan gagal ginjal kronik, termasuk target
untuk berbagai abnormalitas, strategi untuk pengobatan dan frekuensi follow up
berdasarkan bukti yang tersedia.
Setiap rekomendasi digolong-golongkan dengan menggunakan skema yang
dibentuk oleh Canadian Hypertension Education Program dan digunakan oleh
Canadian Society of Nephrology Guidelines Committee. Kriteria untuk
menggolong-golongkan rekomendasi ini berkisar dari yang mencerminkan
penelitian yang sangat valid, tepat dan dapat diaplikasikan (derajat A) sampai yang
berdasarkan pada tingkat bukti yang lebih rendah dan pendapat ahli (derajat D).
Derajat B dan C mengacu pada penelitian dengan validitas yang lebih rendah
derajatnya, termasuk hasil atau perhitungan hasil peneltian lainnya.

Rekomendasi klinis
Rujukan pasien dewasa dengan berkurangnya fungsi ginjal

Tersedia pedoman untuk pemberi pelayanan primer dan para spesialis untuk
merujuk pasien dengan gagal ginjal kronik ke spesialis nefrologi. Kebanyakan
kasus gagal ginjal kronik nonprogresif dapat diobati tanpa perlu merujuk ke
spesialis nefrologi. Merujuk ke spesialis nefrologi biasanya direkomendasi pada
pasien dengan gagal ginjal akut, kecepatan filtrasi glomerulus persisten kira-kira
kurang dari 30mL/menit/ 1.73m2, berkurang fungsi ginjal secara progresif, rasio
protein urin dengan kreatinin lebih besar dari 100mg/mmol (sekitar 900mg/24 jam)
atau rasio albumin urin dengan kreatinin lebih besar dari 60mg/mmol (sekitar
500mg/24 jam), ketidakmampuan untuk mencapai target pengobatan, atau
cepatnya perubahan fungsi ginjal.

C. BATU SALURAN KEMIH


a. Definisi
Urolithiasis merupakan kumpulan batu saluran kemih, namun secara rinci ada
beberapa penyebutannya. Berikut ini adalah istilah penyakit batu bedasarkan letak batu
antara lain: (Prabawa & Pranata, 2014):
1) Nefrolithiasis disebut sebagai batu pada ginjal
2) Ureterolithiasis disebut batu pada ureter
3) Vesikolithiasis disebut sebagai batu pada vesika urinaria/ batu buli
4) Uretrolithisai disebut sebagai batu pada ureter

b. Etiologi
Penyebab terjadinya urolithiasis secara teoritis dapat terjadi atau terbentuk
diseluruh salurah kemih terutama pada tempat - tempat yang sering mengalami hambatan
aliran urin (statis urin) antara lain yaitu sistem kalises ginjal atau buli - buli. Adanya
kelainan bawaan pada pelvikalis (steno sis uretro - pelvis), divertikel, obstruksi
intravesiko kronik, seperti Benign Prostate Hyperplasia (BPH), struktur dan buli - buli
neurogenik merupakan keadaan - keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan
batu ( Prabowo & Pranata, 2014 ).
Penyebab terbentuknya batu dapat digolongkan dalam 2 faktor antara lain :
1) faktor endogen seperti hiperkalsemia, hiperkasiuria, pH urin yang bersifat asam
maupun basa dan kelebihan pemasukan cairan dalam tubuh yang bertolak belakang
dengan keseimbangan cairan yang masuk dalam tubuh dapat merangsang
pembentukan batu,
2) faktor eksogen seperti kurang minum atau kurang mengkonsumsi air mengakibatkan
terjadinya pengendapan kalsium dalam pelvis renal akibat ketidakseimbangan cairan
yang masuk, tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyaknya pengeluaran
keringat, yang akan mempermudah pengurangan produksi urin dan mempermudah
terbentuknya batu, dan makanan yang mengandung purin yang tinggi, kolesterol dan
kalsium yang berpengaruh pada terben tuknya batu

c. Manifestasi Klinis
1) Nyeri
 Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri kolik dan non
kolik. Nyeri kolik terjadi karena adanya stagnansi batu pada saluran kemih
sehingga terjadi resistensi dan iritabilitas pada jaringan sekitar (Brooker, 2009).
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi
hidronefrosis atau infeksi pada ginjal (Purnomo, 2012) sehingga menyebabkan
nyeri hebat dengan peningkatan produksi prostglandin E 2 ginjal (O’Callaghan,
2009).
 Nyeri kostovertebral menjadi ciri khas dari urolithiasis , khsusnya nefrolithiasis
(Brunner & Suddart, 2015).
2) Gangguan miksi
Adanya obstruksi pada saluran kemih, maka aliran urin ( urin e flow )
mengalami penurunan sehingga sulit sekali untuk miksi secara spontan.
 Pada pasien nefrolithiasis , obstruksi saluran kemih terjadi di ginjal sehingga urin
yang masuk ke vesika urinaria mengalami penurunan.
 Pada pasien uretrolithiasis , obstruksi urin terjadi di saluran paling akhir sehingga
kekuatan untuk mengeluarkan urin ada namun hambatan pada saluran
menyebabkan urin stagnansi (Brooker, 2009). Batu dengan ukuran kecil mungkin
dapat keluar secara spontan setelah melalui hambatan pada perbatasan uretero -
pelvik , saat ureter menyilang vasa iliaka dan saat ureter masuk ke dalam buli -
buli (Purnomo, 2012).
3) Hematuria
Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter) sering mengalami
desakan berkemih, tetapi hanya sedikit urin yang keluar. Keadaan ini akan
menimbulkan gesekan yang disebabkan oleh batu sehingga urin yang dikeluarkan
bercampur dengan darah ( hematuria ) ( Brunner & Suddart, 2015). Hematuria tidak
selalu terjadi pada pasien urolithiasis , namun jika terjadi lesi pada saluran kemih
utamanya ginjal maka seringkali menimbulkan hematuria yang masive , hal ini
dikarenakan vaskuler pada ginjal sangat kaya dan memiliki sensitivitas yang tinggi
dan didukung jika karakteristik batu yang tajam pada sisinya (Brooker, 2009)

4) Mual dan muntah


Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi ketidaknyamanan pada
pasien karena nyeri yang sangat hebat sehingga pasien mengalami stress ya n g tinggi
dan memacu sekresi HCl pada lambung (Brooker, 2009) . Selain itu, hal ini juga
dapat disebabkan karena adanya stimulasi dari celiac plexus , namun gejala
gastrointestinal biasanya tidak ada (Portis & Sundaram, 2001)
5) Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke tempat lain. Tanda
demam yang disertai dengan hipotensi, palpitasi, vasodilatasi pembuluh darah di kulit
merupakan tanda terjadinya urosepsis . Urosepsis merupak an kedaruratan dibidang
urologi, dalam hal ini harus secepatnya ditentukan letak kelainan anatomik pada
saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsis dan segera dilakukan terapi
berupa drainase dan pemberian antibiotik (Purnomo, 2012)
6) Distensi vesika urinaria
Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika urinaria akan
menyebabkan vasodilatasi maksimal pada vesika. Oleh karena itu, akan teraba
bendungan (distensi) pada waktu dilakukan palpasi pada regio vesika (Brooker,
2009)

d. Patofisiologi
Banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya aliran urin dan menyebabkan
obstruksi, salah satunya adalah statis urin dan menurunnya volume urin akibat dehidrasi
serta ketidakadekuatan intake cairan, hal ini dapat meningkatkan resiko terjadinya
urolithiasis . Rendahnya aliran urin adalah gejala abnormal yang umum terjadi (Colella ,
et al. , 2005), selain itu, berbagai kondisi pemicu terjadinya urolithiasis seperti komposisi
batu yang beragam menjadi faktor utama bekal identifikasi penyebab urolithiasis .
Batu yang terbentuk dari ginjal dan berjalan menuju ureter paling mungkin
tersangkut pada satu dari tiga lokasi berikut a) sambungan ureteropelvik ; b) titik ureter
menyilang pembuluh darah iliaka dan c) sambungan ureterovesika . Perjalanan batu dari
ginjal ke saluran kemih sampai dalam kondisi statis menjadikan modal awal dari
pengambilan keputusan untuk tindakan pengangkatan batu. Batu yang masuk pada pelvis
akan membentuk pola koligentes yang disebut batu staghorn.
e. Faktor Resiko
Pada umumnya urolithiasis terjadi akibat berbagai sebab yang disebut faktor
resiko. Terapi dan perubahan gaya hidup merupakan intervensi yang dapat mengubah
fakt or resiko, namun ada juga faktor resiko yang tidak dapat diubah. Faktor yang tidak
dapat diubah antara lain: umur atau penuaan, jenis kelamin, riwayat keluarga, penyakit -
penyakit seperti hipertensi, diabetes melitus dan lain - lain.
1) Jenis Kelamin
Pasien dengan urolithiasis umumnya terjadi pada laki - laki 70 - 81%
dibandingkan dengan perempuan 47 - 60%, salah satu penyebabnya adalah adanya
peningkatan kadar hormon testosteron dan penurunan kadar hormon estrogen pada
laki - laki dalam pembentukan batu (Vijaya, et al ., 2013). Selain itu, perempuan
memiliki faktor inhibitor seperti sitrat secara alami dan pengeluaran kalsium
dibanding kan laki - laki (NIH 1998 - 2005 dalam Colella , et al., 2005 ; Heller, et al.,
2002 ).
2) Umur
Urolithiasis banyak terjadi pada usia dewasa dibanding usia tua, namun bila
dibandingkan dengan usia anak - anak, maka usia tua lebih sering terjadi (Portis &
Sundaram, 2001). Rata - rata pasien urolithiasis berumur 19 - 45 tahun (Colella , et
al., 2005; Fwu, et al. , 2013 ; Wumaner, et al., 2014 ).
3) Kebiasaan diet dan obesitas
Intake makanan yang tinggi sodium, oksalat yang dapat ditemukan pada teh,
kopi instan, minuman soft drink , kokoa, arbei, jeruk sitrun, dan sayuran berwarna
hijau terutama bayam dapat menjadi penyebab terjadinya batu (Brunner & Suddart, 2
015). Selain itu, lemak, protein, gula, karbohidrat yang tidak bersih, ascorbic acid
(vitamin C) juga dapat memacu pembentukan batu (Colella , et al., 2005; Purnomo,
2012).
4) Faktor lingkungan
Faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti letak geografis dan iklim.
Beberapa daerah menunjukkan angka kejadian urolithiasis lebih tingg i daripada
daerah lain (Purnomo, 2012). Urolithiasis juga lebih banyak terjadi pada daerah yang
bersuhu tinggi dan area yang gersang/ kering dibandingkan dengan tempat/ daerah
yang beriklim sedang (Portis & Sundaram, 2001). Iklim tropis, tempat tinggal yang
berdekatan dengan pantai, pegunungan, dapat menjadi faktor resiko tejadinya
urolithiasis (Colella , et al., 2005).
5) Pekerjaan
Pekerjaan yang menuntut untuk bekerja di lingkungan yang bersuhu tinggi
serta intake cairan yang dibatasi atau terbatas dapat memacu kehilangan banyak
cairan dan merupakan resiko terbesar dalam proses pembentukan batu karena adanya
penurunan jumlah volume urin (Colella , et al., 2005).
6) Cairan
Asupan cairan dikatakan kurang apabila < 1 liter/ hari, kurangnya intake
cairan inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya urolithiasis khususnya
nefrolithiasis karena hal ini dapat menyebabkan berkurangnya aliran urin/ volume
urin (Domingos & Serra, 2011). Kemungkinan lain yang menjadi penyebab
kurangnya volume urin adalah diare kronik yang mengakibatkan kehilangan banyak
cairan dari saluran gastrointestinal dan kehilangan cairan yang berasal dari keringat
berlebih atau evaporasi dari paru - paru atau jaringan terbuka. (Colella , et al., 2005).
Asupan cairan yang kurang dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi dapat meningkatkan insiden urolithiasis (Purnomo, 2012).
7) Co - Morbiditi
Hipertensi berhubungan dengan adanya hipositraturia dan hiperoksalauria
(Kim, et al. , 2011). Hal ini dikuatkan oleh Shamsuddeen, et al. , (2013) yang
menyatakan bahwa kalsium oksalat (34,8%), asam urat (25%) dan magnesium
(42,9%) pada pasien hipertensi dapat menjadi penyebab terjadinya urolithiasis dan
pada umumnya diderita pada perempuan (69%).
Prevalensi pasien diabetes melitus yang mengalami urolithiasis meningkat
dari tahun 1995 sebesar 4,5% menjadi 8,2% pada tahun 2010 (Antonelli, et al ,
2014). Urolithiasis yang dikarenakan diabetes melitus terjadi karena adanya resiko
peningkatan asam urat dan kalsium oksalat yang membentuk batu melalui berbagai
mekanisme patofisiologi ( Wong, 2015 ). Selain itu, diabetes melitus juga dapat
meningkatkan kadar fosfat (25%) dan magnesium (28,6%) yang menjadi alasan
utama terjadinya renal calculi atau urolithiasis pada pasien diabetes melitus
(Shamsuddeen, et al . , 2013).

f. Pemeriksaan diagnostik
Menurut Brunner & Suddart , (2015) dan Purnomo , (2012) diagnosis urolithiasis
dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan seperti:
1) Kimiawi darah dan pemeriksaan urin 24 jam untuk mengukur kadar kalsium, asam
urat, kreatinin, natrium, pH dan volume total (Portis & Sundaram, 2001).
2) Analisis kimia dilakukan untuk menentukan komposisi batu.
3) Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya bakteri dalam urin
( bacteriuria ) (Portis & Sundaram, 2001).
4) Foto polos abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya
batu radio - opak di saluran kemih. Batu - batu jenis kalsium oksalat dan kalsium
fosfat bersifat radio - opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain,
sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio - lusen) (Purnomo, 2012).
5) Intra Vena Pielografi (IVP)
IVP merupakan prosedur standar dalam menggambarkan adanya batu pada
saluran kemih. Pyelogram intravena yang disuntikkan dapat memberikan informasi
tentang baru (ukuran, lokasi dan kepadatan batu), dan lingkungannya (anatomi dan
derajat obstruksi) serta dapat melihat fungsi dan anomali (Portis & Sundaram, 2001).
Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semi - opak ataupun non - opak yang
tidak dapat dilihat oleh foto polos perut. Jika IVP belum dapat menjelaskan keadaan
saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, seb a gai penggantinya adalah
pemeriksaan pielografi retrograd ( Brunner & Suddart, 2015; Purnomo, 2012 ).
6) Ultrasonografi (USG)
USG sangat terbatas dalam mendiagnosa adanya batu dan merupakan
manajemen pada kasus urolithiasis. Meskipun demikian USG merupakan jenis
pemeriksaan yang siap sedia, pengerjaannya cepat dan sensitif terhadap renal calculi
atau batu pada ginjal, namun tidak dapat melihat batu di ureteral (Portis & Sundaram,
2001). USG dikerjakan bila pasie n tidak memungkinkan menjalani pemeriksaan IVP,
yaitu pada keadaan - keadaan seperti alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang
menurun, pada pada wanita yang sedang hamil ( Brunner & Suddart, 2015; Purnomo,
2012). Pemeriksaan USG dapat menilai adanya ba tu di ginjal atau buli - buli,
hidronefrosis , pionefrosis , atau pengerutan ginjal (Portis & Sundaram, 2001).

g. Penatalaksanaan
Tujuan dalam panatalaksanaan medis pada urolithiasis adalah untuk
menyingkirkan batu, menentukan jenis batu, mencegah penghancuran nefron,
mengontrol infeksi, dan mengatasi obstruksi yang mungkin terjadi (B runner & Suddart,
2015 ; Rahardjo & Hamid, 2004 ).
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus
dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk melakukan
tindakan/ terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah menimbulkan obstruksi
dan infeksi. Beberapa tindakan untuk mengatasi penyakit urolithiasis adalah dengan
melakukan observasi konservatif (batu ureter yang kecil dapat melewati saluran kemih
tanpa intervensi), agen disolusi (larutan atau bahan untuk memecahkan batu),
mengurangi obstruksi ( DJ stent dan nefrostomi), terapi non invasif Extraco rporeal
Shock Wave Lithotripsy (ESWL), terapi invasif minimal: ureterorenoscopy (URS),
Percutaneous Nephrolithotomy , Cystolithotripsi / ystolothopalaxy, terapi bedah seperti
nefrolithotomi, nefrektomi, pyelolithotomi, uretrolithotomi, sistolithotomi (Brunne r &
Suddart, 2015; Gamal, et al., 2010; Purnomo, 2012 ; Rahardjo & Hamid, 2004) .

h. Komplikasi
Batu mungkin dapat memenuhi seluruh pelvis renalis sehingga dapat menyebab
kan obstruksi total pada ginjal, pasien yang berada pada tahap ini dapat mengalami
retensi urin sehingga pada fase lanjut ini dapa t menyebabkan hidronefrosis dan akhirnya
jika terus berlanjut maka dapat menyebabkan gagal ginjal yang akan menunjukkan gejala
- gejala gagal ginjal seperti sesak, hipertensi, dan anemia (Colella, et al., 2005; Purnomo,
2012). Selain itu stagnansi batu pada saluran kemih juga dapat menyebabkan infeksi
ginjal yang akan berlanjut menjadi urosepsis dan merupakan kedaruratan urologi,
keseimbangan asam basa, bahkan mempengaruhi beban kerja jantung dalam memompa
darah ke seluruh tubuh (Colella , et al., 2005 ; Portis & Sundaram, 2001; Prabowo &
Pranata, 2014).

D. SINDROMA NEFROTIK
a. Definisi
Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala
yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema,
danhiperkolesterolemia.

b. Etiologi
Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital,
primer atau idiopatik, dan sekunder.
1) Kongenital.
Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah

- Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1,nephrin)


- Denys-Drash syndrome(WT1)
- Frasier syndrome (WT1)
- Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
- Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2,podocin)
- Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4;TRPC6)
- Nail-patella syndrome(LMX1B)
- Pierson syndrome(LAMB2)
- Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)
- Galloway-Mowatsyndrome
- Oculocerebrorenal (Lowe)syndrome

2) Primer
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau
idiopatik adalah sebagai berikut :
- Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal(SNKM)
- Glomerulosklerosis fokal segmental(GSFS)
- Mesangial Proliferative Difuse(MPD)
- Glomerulonefritis Membranoproliferatif(GNMP)
- Nefropati Membranosa (GNM)

3) Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai
berikut :
- lupus erimatosus sistemik(LES)
- keganasan, seperti limfoma danleukemia
- vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan poliangitis),
sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis
nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch Schonlein
- Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis

c. Manifestasi klinis dan patofisiologi


Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding
kapiler glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada
biopsi, penipisan yang luas dari prosesus kaki podosit (tanda sindrom nefrotik idiopatik)
menunjukkan peran penting podosit. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan
gangguan kompleks pada sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T.
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi
protein ≥ 40 mg/jam/m2luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini
digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom nefrotik.
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah
hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi
hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL.
Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada
kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-
satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dapat
meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi hilangnya
albumin melalui urin. Peningkatan hilangnya albumin dalam saluran gastrointestinal juga
diperkirakan mempunyai kontribusi terhadap keadaan hipoalbuminemia, tetapi hipotesis
ini hanya mempunyai sedikit bukti.
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada
sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan
edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan
onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga
terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu
fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular
menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang
intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara lain
yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh
dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat
penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak
dari plasma.

d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom nefrotik, antara lain
✔Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang mengarah pada
infeksi saluran kemih (ISK).
✔Protein urin kuantitatif
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.
✔Pemeriksaan darah
- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
- Albumin dan kolesterol serum
- Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin

Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus


Schwartz. Rumus Schwartz digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus
(LFG).
eLFG = k x L/Scr

e. Komplikasi
Komplikasi mayor dari sindrom nefrotik adalah infeksi. Anak dengan sindrom
nefrotik yang relaps mempunyai kerentanan yang lebih tinggi untuk menderita infeksi
bakterial karena hilangnya imunoglobulin dan faktor B properdin melalui urin, kecacatan
sel yang dimediasi imunitas, terapi imuosupresif, malnutrisi, dan edema atau ascites.
Spontaneus bacterial peritonitis adalah infeksi yang biasa terjadi, walaupun sepsis,
pneumonia, selulitis, dan infeksi traktus urinarius mungkin terjadi. Meskipun
Streptococcus pneumonia merupakan organisme tersering penyebab peritonitis, bakteri
gram negatif seperti Escherichia coli, mungkin juga ditemukan sebagaipenyebab.

f. Penatalaksanaan umum
✔Pengukuran berat badan dan tinggi badan
✔Pengukuran tekanan darah
✔Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura Henoch- Schonlein.
✔Pencarian focus infeksi
Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada
setiap infeksi, seperti infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun infeksi karena
kecacingan.
✔Pemeriksaan uji Mantoux
Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan isoniazid
(INH) selama 6 bulan bersama steroid dan apabila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).
✔Terapiinisial
Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC),
terapi inisial untuk anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid adalah prednison dosis 60mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80
mg/hari) dalam dosis terbagi. Terapi inisial diberikan dengan dosis penuh selama 4
minggu. Apabila dalam empat minggu pertama telah terjadi remisi, dosis prednison
diturunkan menjadi 40 mg/m2LPB/hari atau 1,5 mg/kgBB/hari, diberikan selang satu
hari, dan diberikan satu hari sekali setelah makan pagi. Apabila setelah dilakukan
pengobatan dosis penuh tidak juga terjadi remisi, maka pasien dinyatakan resisten
steroid.
✔Pengobatan sindrom nefrotik relaps
Pada pasien sindrom nefrotik relaps diberikan pengobatan prednison dosis
penuh hingga terjadi remisi (maksimal 4 minggu) dan dilanjutkan dengan pemberian
dosis alternating selama 4 minggu. Apabila pasien terjadi remisi tetapi terjadi
proteinuria lebih dari sama dengan positif 2 dan tanpa edema, terlebih dahulu dicari
penyebab timbulnya proteinuria, yang biasanya disebabkan oleh karena infeksi
saluran nafas atas, sebelum diberikan prednison. Apabila ditemukan infeksi, diberikan
antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian protenuria menghilang maka pengobatan relaps
tidak perlu diberikan. Namun, apabila terjadi proteinuria sejak awal yang disertai
dengan edema, diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan diberikan prednison
padapasien.
E. NEFROPATI IGA
a. Definisi
Kelainan ini dikenal juga sebagai:
 Penyakit Berger
 Nefropati IgAIgG
Berger menamakannya sebagai deposisi IgA yang idioptik pada mesangium.
Kelainan ini adalah suatu bentuk glomerulonefritis yang ditandai oleh deposit, terutama
IgA, pada setiap glomerulus. Deposit yang difus ini disertai pula dengan kelainan fokal
dan segmental. Penyakit sistematik yang juga disertai dengan deposit IgA perlu
disingkirkan, seperti kelainan hepato-bilier dan purpura HenochSchonlein.

b. Patofisiologi
1) Imunoglobulin A
Imunoglobulin A (IgA) adalah protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B.
IgA merupakan imunoglobulin utama yang ditemukan pada mukosa, sehingga
disebut juga sebagai secretory immunoglobulin (SIgA). Bila dilihat luasnya jaringan
mukosa pada badan kita, jelaslah, IgA memang peranan penting dalam mekanisme
pertahanan tubuh kita. IgA merupakan pertahanan primer tubuh, terdapat banyak
pada air liur, air mata, sekresi bonchus, mukosa hidung, cairan prostat, sekresi vagina
dan mukus dari usus halus. Di dalam serum manusia, 85%90% dari total IgA adalah
monomer, sedangkan sisanya berbentuk polimer. Tiap molekul SIgA terdiri atas 2
unit dasar berantai 4, di mana terdapat komponen sekresi (secretory component) dan
rantai J (J-chain). Jadi SIgA adalah suatu bentuk dimer dari IgA, dengan berat
molekul 400.000.
Pembentukan IgA dianggap terjadi pada jaringan lomfoid mukosa, dan
sebagian dari IgA ini alan membentuk polimer. Polimerisasi terjadi intraseluler dan
dimungkinkan oleh karena adanya rantai J. Bentuk polimer inilah yang dapat
membentuk kompleks imun yang terdapat pada deposit di mesangium, karena
kompleks imun yang terbentuk mempunyai ukuran yang besar, sehingga tertahan
pada mesangium. Mukosa usus adalah tempat utama bagi pembentukan IgA. Setelah
masuknya antigen per oral akan terbentuk zat anti yang terdiri dari IgA. Zat anti ini
dapat keluar ke dalam lumen usus atau masuk ke dalam peredaran darah yang
selanjutnya akan merangsang pembentukan IgG dan IgM. Pada proses eliminasi
antigen yang terdapat pada mukosa, IgA tidak mengundang timbulnya reaksi radang
yang hebat, karena berfungsi melindungi mukosa yang lembut. Tidak terdapat
aktifasi sistem komplemen maupun mobilisasi lekosit. SIgA dalam bentuk dimerik
yang stabil akan mengikat antigen, membentuk molekul makro yang tidak dapat
diserap. Dengan cara ini, virus, bakteri dan antigen makanan dapat dibuang dari
tubuh setelah berikatan dengan lendir (mucin), yang dibentuk terus menerus.
Seandainya lapisan mukosa dengan SIgA ini dapat ditembus oleh antigen, akan
terjadi reaksi radang karena diaktifkannya pertahanan tubuh, yaitu IgG, IgM dan
lekosit. Akibatnya akan terjadi reaksi radang yang hebat.

2) Deposisi kompleks imunIgA pada mesangium


Nefropati IgA adalah suatu penyakit yang berdasarkan pembentukan
kompleks imun, yang diendapkan pada mesangium. Pendapat ini didukung oleh
gambaran endapan IgA yang tidak merata pada membrana basalis, yang terlihat pada
pemeriksaan imunoflouresens. Selain daripada itu, ginjal yang terkena nefropati IgA
bila ditransplantasikan kepada resipien yang sehat, maka gambaran nefropati IgA
akan menghilang. Kadar IgA pada plasma pasien didapatkan meninggi pada 50%
pasien, peningkatan kadar kompleks imun IgA yang sejalan dengan aktifitas
penyakit, peningkatan produksi IgA in vitro oleh limfosit, serta didapatkannya
endapan IgA pada kapiler kulit, merupakan data tambahan yang menyokong adanya
kompleks imun sebagai dasar nefropati IgA. Namun demikian antigen yang
merangsang pembentukan kompleks umun tersebut masih belum dapat dikenal
dengan jelas.

c. Etiologi
Beberapa hal yang dapat menjelaskan terjadinya nefropati IgA adalah:
1) Produksi IgA yang berlebihan
Hematuria pada nefropati IgA terjadi dalam 13 hari setelah infeksi saluran
nafas bagian atas. Hal ini jelas membedakan nefropati IgA dengan glomerulonefritis
pasca streptokokus. Infeksi virus yang berulang pada mukosa akan menyebabkan
pembentukan .IgA lokal yang berlebihan. Rangsangan oleh antigen dari makanan
dapat pula merangsang produksi IgA yang berlebihan pada mukosa usus. Selain
daripada itu, limfosit tonsil pasien juga menunjukkan kemampuan membentuk IgA
yang lebih banyak. Rangsangan kronis antigen ini memungkinkan dibentuk endapan
pada glomerulus. Diperkirakan kompeks imun terbentuk in situ.
2) Defek pada mukosa
Kerusakan mukosa, menyebabkan eliminasi antigen tidak sempurna. Antigen
dapat masuk ke dalam peredaran darah. Kemudian dapat terjadi reaksi peradangan
yang berdasarkan pembentukan kompleks imun. Contoh dari hal ini adalah hubungan
nefropati IgA dengan dermatitis herpetiformis dan enteropati gluten.
3) Eliminasi yang terganggu
Penyakit hati, akan menghambat eliminasi kompleks imun-IgA dari sirkulasi.
Kompleks imun ini dapat terlihat diendapkan pada sinusoid hati dan kapiler kulit.
Dijumpai adanya nefropati IgA pada pasien serosis, mendukung pendapat ini.
4) Peranan komplemen
Kompleks imunIgA tidak mampu berikatan dengan Cl, sehingga tidak terjadi
pembentukan C3b. Padahal C3b ini berfungsi mencegah pembentukan kompleks
imun yang berukuran besar. Seperti dibicarakan sebelumnya, kompleks imun yang
berukuran besar lebih mudah diendapkan, sehingga timbul kerusakan jaringan. Selain
itu C3b ini dapat mengikatkan kompleks imun pada reseptor eritrosit , sehingga
memudahkan pengangkutan kompleks imun ini ketempat penghancurannya pada
sistem retikuloendotelial.
5) Faktor genetik
Keluarga pasien penderita nefropati IgA terbukti mempunyai kemampuan
sintesis IgA poliklonal yang meninggi. Penelitian di Jepang menunjukkan kaitan
antara nefropati IgA dengan sistem HLA, yaitu HLA DR4, sedangkan di Eropa
menunjukkan golongan lain (HLA B35 dan HLA B12).
6) Faktor geografis
Perbedaan frekuensi nefropati IgA di beberapa negara belum dapat
diterangkan dengan jelas. Faktor antigen setempat, faktor reaksi terhadap antigen
dapat dipertimbangkan. Seleksi dan pencarin kasus yang intensif, indikasi biopsi
ginjal yang lebih lunak, tentu akan menghasilkan penemuan kasus yang lebih banyak.

d. Gambaran Klinis
Nefropati IgA dapat terjadi pada semua tingkat usia, walaupun jarang ditemukan
pada usia < 10 tahun atau> 50 tahun. Laki-laki lebih sering mendapat kelainan ini
daripada wanita (6:1). Hematuria makroskopik yang berulang terjadi 13 hari setelah
infeksi saluran nafas, atau setelah suatu infeksi yang tidak jelas merupakan gejala
permulaan yang sering dijumpai di Eropa.
Perlu dipikirkan pula nefritis pasca streptokokal (GNAPS) sebagai diagnosis
banding. Disuria dapat pula menyertai hematuria, sehingga mungkin terjadi pemikiran ke
arah infeksi saluran kencing. Gambaran gagal ginjal akut mungkin pula terjadi,
bersamaan dengan saat terjadinya hematuria makroskopik, disebabkan sumbatan tubulus
oleh sel darah merah. Selain itu mungkin ditemukan sindrom nefrotik.Terdapat golongan
pasien dengan sindrom nefrotik, tetapi tanpa hematuria. Gambaran klinik golongan ini
mirip dengan kelainan minimal, responsif terhadap steroid, sering relaps, remisi yang
menetap setelah siklosfamid. Laporan dari Indonesia adalah 35,71% dengan gambaran
sindrom nefrotik, 3,57% dengan glmerulonefritis cepat progresif dan 60,75%
menunjukkan glomerulonefritis tanpa sindrom nefrotik, 17,85% di antaranya dengan
gagal ginjal kronik. Purpura HenochSchonlein juga menunjukkan deposit IgA pada
mesangium, tetapi ditemukan gejala artralgia, sakit perut dan purpura nontrmbositopenik.
Ada yang menganggap bahwa nefropati IgA adalah bagian dari purpura Henoch
Schonlein.

e. Gambaran Laboratorik
Hematuria makroskopik merupakan kelainan utama yang hilang timbul, tetapi
hematuria mikroskopik menetap di antara saat terjadinya hematuria makroskopik.
Dismofik eritrosit pada urin menunjukkan bahwa eritrosit berasal dari glomerulus,
walaupun mungkin ditemukani bentuk eritrosit normomorfik dan dismorfik. Proteinuria
sering (60% dari kasus) diditeksi pada pemeriksaan urin rutin dengan kadar kurang dari 1
gram/hari. Proteinuria yang berat (nephrotic range) ditemukan pada kira-kira pada 10%
penderita. Faal ginjal umumnya masih normal, tetapi gambaran gagal ginjal akut maupun
gagal ginjal kronik dapat dideteksi pada beberapa pasien. Kadar komplemen juga
normal, walaupun dapat dijumpai fragmen C3 yang meningkat, karena proses nefropati
IgA berjalan melalui alternate pathway. Peningkatan kadar serum IgA terdapat pada 50%
penderita, dalam bentuk dimerik.

f. Gambaran Patologi Anatomik


Meskipin semua jenis gambaran glomerulonefritis dapat ditemukan pada
nefropati IgA, tetapi gambaran proliferasi mesangial adalah gambaran yang paling
menonjol. Menarik pula untuk dikemukakan adanya gambaran bulan sabit dan sklerosis
fokal. Prognosis lebih buruk bila terdapat gambaran bulan sabit. Sidabutar melaporkan
sebagai berikut: Glomerulonefritis mesangio proliferatif 35,71%, lesi fokal-segmental
32,14%, kelainan minor 17,85% dan sklerosis pada 17,86%. Mikroskop imunofluoresens
menunjukkan deposit IgA yang granular mesangium. Endapan IgM dan IgG juga dapat
terlihat. Dapat pula dijumpai endapan C3 dan antigen yang berkaitan dengan fibrin.

g. Diagnosis Dan Diagnosis Diferensial


Gambaran klinik seperti telah dibahas di atas dapat membantu untuk menegakkan
diagnosis. Biopsi ginjal dengan pemeriksaan imunofluoresens merupakan cara utama
untuk menegakkan diagnosis. Purpura HenochSchonlein, SLE, kelainan minimal, infeksi
saluran kencing, dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.

h. Prognosis
Hipertensi, protenuria, usia lanjut, gambaran bulan sakit pada biopsi, merupakan
faktor yang memperburuk prognosis. Proses sklerosis dipercepat pada keadaan tersebut.
Perjalanan penyakit umumnya lambat, walaupun 10% pasien akan mengalami gagal
ginjal kronik dalam 10 tahun, 20% dalam 20 tahun. 20%30% dari pasien faal ginjalnya
akan terganggu pada masa 20 tahun perjalanan penyakitnya.

i. Terapi
Sampai saat ini belum ada cara pengobatan yang memuaskan bagi nefropati IgA.
Tonsilektomi dapat menurunkan pembentukan polimer IgA, mengurangi frekuensi
hematuria, tetapi diragukan apakah akan mempengaruhi perjalanan penyakitnya.
Mengingat perjalanan penyakitnya yang lambat, maka sulit menjawab pernyataan ini.
Steroid dianggap tidak mempunyai efek. Penelitian diaaahkan kepada usaha menekan
produksi IgA, mempercepat eliminasi IgA.

F. NEFRITIS LUPUS
a. Definisi
Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada lupus erimatosus sitemik (SLE). Nefritis
lupus merupakan suatu proses inflamasi ginjal yang disebabkan oleh sistemik lupus
erimatosus, yaitu suatu penyakit autoimun, selain ginjal, SLE juga dapat merusak kulit,
sendi, system saraf dan hampir semua organ dalam tubuh.

b. Etiologi
Nefritis lupus terjadi ketika antibody (antinuklear antibody) dan komplemen
terbentuk di ginjal yang menyebabkan terjadinya peradangan. Hal tersebut biasanya
mengakibatkan terjadinya sindrom nefrotik (eksresi protein yang besar) dan dapat
progresi cepat menjadi gagal ginjal. Produk nitrogen sisa terlepas kedalam aliran darah,
lupus erimatosus sistemik (SLE) menyerang berbagai struktur internal dari ginjal,
meliputi nefritis intertitial dan glomerulonefritis membranosa.

c. Patofisiologi Dan Patogenesis

d. Manifestasi
Gejala nefritis aktif termasuk edema perifer sekunder terhadap hipertensi atau
hipoalbuminemia. Edema perifer ekstrim lebih sering pada pasien dengan nefritis lupus
difus proliferatif atau membranosa, karena kedua lesi renal ini terkait dengan proteinuria
berat. Gejala lain yang terkait langsung dengan hipertensi akibat nefritis lupus proliferatif
difus termasuk sakit kepala, pusing, gangguan visual dan tanda-tanda gagal jantung.
Gejala klinis yang dapat ditemukan merupakan kombinasi manifestasi kelainan
ginjalnya sendiri dan kelainan di luar ginjal seperti gangguan system Sistem Saraf Pusat,
system hematologi, persendian dan lainnya. Manifestasi ginjal berupa proteinuri
didapatkan pada semua pasien , sindrom nefrotik pada 45-65% pasien, hematuria
mikroskopik pada 80% pasien, gangguan tubular pada 60-80% pasien, hipertensi pada
15-50% pasien, penurunan fungsi ginjal pada 40-80% pasien, dan penurunan fungsi
ginjal yang cepat pada 30% pasien. Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi
bentuk yang berat dalam perjalanan penyakitnya. Beberapa predictor yang dihubungkan
dengan perburukan fungsi ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain ras
kulit hitam, hematokrit 2.4 mg/dl, dan kadar C3 < 76 mg/dl.

e. Klasifikasi
Klasifikasi lupus menurut International Society of Nephrology/ Renal Pathology
Society (ISN/RPS) 2003 :
Class I : Minimal mesangeal lupus nephritis
Class II : Mesangeal proliferative lupus nephritis
Class III : Focal lupus nephritis
Class IV : Diffuse segmental (IV-S) or global (IV-G) lupus nephritis
Class V : Membranous lupus nephritis
Class VI : Advance sclerosing lupus nephritis

f. Pemeriksaan Fisik Dan Penunjang


Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda berkurangnya fungsi ginjal dengan edem,
hipertensi. Auskultasi abnormal dapat terdengar di jantung dan paru yang menandakan
overload cairan . Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan:
- Tes ANA tes ini sangat sensitif untuk SLE, tetapi tidak spesifik. ANA juga
dapat ditemukan pada pasien atritis rematoid, skleroderma, sindroma syogren, poli
miositis dan infeksi HIV. Titer ANA tidak mempunyai kolerasi yang baik dengan
berat kelainan ginjal.
- Tes anti ds DNA ( anti double stranded DNA) lebih spesifik tetapi kurang
sensitif. Tes ini untuk kira-kira 75% pasien SLE aktif yang belum diobati. Dapat
diperiksa dengan teknik Radiomunoassay Farr atau teknik ELISA. Anti ds DNA
mempunyai kolerasi yang baik dengan adanya kelainan ginjal.
- Pemeriksaan lain adalah antibodi anti-ribonuklear seperti anti Sm dan anti-nRNP.
- Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif SLE, terutama pada nefritis
lupus tipe proliferatif. Kadar C3 dan C4 serum sering sudah dibawah normal
sebelum gejala lupus bermanifestasi. Normalisasi kadar komplemen dihubungkan
dengan perbaikan NL.
- Basal urea nitrogen dan kreatinin
- Urinalisis
- Urine immunoglobulin rantai pendek
- Biopsi ginjal
o
Biopsi ginjal membantu menentukan tipe nefritis dan berguna untuk terapi
lebih tepat tetapi beberapa ahli tidak merekomendasikan biopsi ginjal
sebagai tindakan rutin pada setiap nefritis, karena merupakan tindakna
invasif ( Bertias dkk, 2000).
o
Indikasi biopsi ginjal menurut beberapa ahli adalah perburukan protein
uria respon pengobatan minimal, nefritis kambuh, dan gagal ginjal akut.17
o
Indikasi biopsi ginjal menurut ahli yang lain.3
 Hematuria dan silinder uria positif atau hematuria dan protein uria
> 0,5 gr sehari
 Hematuria dengan protein uria < 0,5 gr sehari tetapi kadar C3
rendah atau dan ds DNA positif
 Protein uria > 1gr sehari terutama di tambah kadar komplemen C3
rendah dan ds DNA positif
g. Diagnosis
Pada diagnosis klinis NL ditegakan bila pada pasien SLE (minimal terdapat 4 dari
kriteria ARA) didapatkan protein urea ≥ 1gr/24 jam dengan atau hematuria (>8
eritrosit/LPB) dengan atau penurunan fungsi ginjal sampai 30% sedangkan diagnosis
pasti nefritis lupus ditegakan dengan biopsi ginjal. Protein uria umumnya di peruksa
dengan cara mengukur jumlah secara kuantitatif dengan mengumpulkan urin selama 24
jam. Cara lain yang lebih praktis dan sekarang banyak mulai dilakukan ialah mengukur
rasio protein dengan kreatinin pada sample urin sewaktu (ekskresi kreatinin normal
1000mg/24jam /1,75m2; rasio protein keatinin normal ,0,2). Pemeriksaan ini lebih mudah
dikerjakan terutama diperiksa menilai perubahan jumlah protein setelah dilakukan
pengobatan.

h. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan nefritis lupus:
1. Terapi kortikosteroid harus diberikan bila pasian mengalami penyakit ginjal yang
signifikan secara klinis. Gunakan agen imunosupresif terutama siklofosfamid,
azathioprine, atau mycophenolate mofetil bila pasien mengalami lesi proliferatif
agresif. Agen-agen ini juga bisa digunakan bila pasien tidak respon atau terlalu
sensitif terhadap kortikosteroid.
2. Obati hipertensi secara agresif, pertimbangkan pemberian ACE inhibitor atau
ARB bila pasien mengalami proteinuria signifikan tanpa insufisiensi renal
signifikan.
3. Restriksi asupan lemak atau gunakan terapi lipid-lowering seperti statin untuk
hiperlipidemia sekunder terhadap sindrom nefrotik. Restriksi asupan protein bila
fungsi ginjal sangat terganggu. Berikan suplementasi kalsium untuk mencegah
osteoporosis bila pasien dalam terapi steroid jangka panjang dan pertimbangkan
penambahan bifosfonat.
4. Hindari obat-obatan yang mempengaruhi fungsi ginjal, termasuk OAINS terutama
pada pasien dengan level kreatinin yang meningkat. Salisilat non asetilasi dapat
digunakan untuk mengobati gejala inflamasi pada pasien dengan penyakit ginjal.
5. Pasien dengan nefritis lupus aktif harus menghindari kehamilan, karena dapat
memperburuk penyakit ginjalnya.
6. Pasien dengan ESRD, sklerosis dan indeks kronisitas tinggi berdasarkan biopsi
ginjal biasanya tidak berespon terhadap terapi agresif. Pada kasus-kasus ini
fokuskan terapi pada manifestasi ekstrarenal dari LES dan kemungkinan
transplantasi ginjal
7. Terapi untuk tipe spesifik nefritis lupus berdasarkan patologi renal :
- Kelas I : Nefritis lupus minimal mesangial tidak memerlukan terapi spesifik
- Kelas II : Nefritis lupus mesangial proliferatif mungkin memerlukan
pengobatan bila proteinuria lebih dari 1000 mg/hari. Pertimbangkan prednison
dosis rendah sampai moderat (mis. 20-40 mg/hari selama 1-3 bulan diikuti
tapering.
- Kelas III dan IV : Pasien dengan nefritis fokal atau difus berisiko tinggi
menjadi ESRD dan memerlukan terapi agresif.
 Berikan prednison 1 mg/kg/hari selama paling sedikit 4 minggu
tergantung respons klinis. Kemudian dilakukan tapering sampai dosis
rumatan 5-10 mg/hari selama kurang lebih 2 tahun. Pada pasien sakit
akut, metilprednisolon intravena dengan dosis hingga 1 gram/hari
selama 3 hari dapat digunakan untuk inisiasi terapi kortikosteroid.
 Gunakan obat imunosupresif sebagai tambahan kortikosteroid pada
pasien yang tidak berespon dengan kortikosteroid sendiri, yang
mengalami toksisitas terhadap kortikosteroid, yang fungsi ginjalnya
memburuk, yang mengalami lesi proliferatif berat atau terdapat bukti
sklerosis pada spesimen biopsi ginjal. Baik siklofosfamid dan
azathioprine efektif untuk nefritis lupus proliferatif walaupun
siklofosfamid tampaknya lebih efektif dalam mencegah progresi ke
ESRD. Mycophenolate mofetil telah ditunjukkan cukup efektif dalam
mengobati pasien-pasien ini dan dapat digunakan sendiri atau setelah 6
bulan siklofosfamid intravena.
 Berikan siklofosfamid intravena secara bulanan selama 6 bulan dan
setelahnya tiap 2-3 bulan tergantung respons klinis. Durasi terapi yang
umum adalah 2-2,5 tahun. Turunkan dosis bila klirens kreatinin <30
mL/menit. Sesuaikan dosis tergantung respon hematologis. Leuprolide
asetat, suatu analog gonadotropin-releasing hormone, dapat melindungi
terhadap gagal ovarium.
 Azathioprine dapat juga digunakan sebagai agen lini kedua, dengan
penyesuaian dosis tergantung respon hematologis.
 Mycophenolate mofetil berguna pada pasien dengan nefritis lupus
fokal atau difus dan telah terbukti setidaknya sama efektif dengan
siklofosfamid intravena dengan toksisitas lebih rendah pada pasien
dengan fungsi ginjal yang stabil.
- Kelas V : Pasien dengan nefritis lupus membranosa umumnya diterapi dengan
prednison selama 1-3 bulan, diikuti tapering selama 1-2 tahun bila respon
baik. Bila tidak ada respon, obat dihentikan. Agen imunosupresif umumnya
tidak digunakan kecuali fungsi ginjal memburuk atau komponen proliferatif
ditemukan pada sampel biopsi renal. Beberapa bukti klinis mengindikasikan
bahwa azathioprine, siklofosfamid, siklosporin, dan klorambusil efektif dalam
mengurangi proteinuria. Mycophenolate mofetil juga mungkin efektif.
Pasien dengan ESRD memerlukan dialisis dan merupakan kandidat
yang baik untuk transplantasi ginjal. Pasien dengan ESRD sekunder terhadap
LES mewakili 1,5% dari seluruh pasien dialisis di Amerika. Angka survival
pasien dengan dialisis sebanding dengan pasien dialisis yang tidak punya LES
(5 year survival rate 60-70%). Hemodialisis lebih disukai dibandingkan
dialisis peritoneal; beberapa studi medokumentasikan level anti-dsDNA yang
lebih tinggi, lebih banyak trombositopenia dan kebutuhan steroid yang lebih
tinggi pada pasien ESRD akibat LES yang dilakukan dialisis peritoneal.
Hemodialisis juga memiliki efek anti-inflamasi dengan penurunan level
limfosit T-helper. Umumnya LES tenang pada pasien hemodialisis. Walaupun
flare seperti rash, artritis,serositis, demam dan leukopenia dapat terjadi, dan
memerlukan terapi spesifik.
i. Prognosis
Pada nefritis lupus kelas I dan II hampir tidak terjadi penurunan fungsi ginjal
yang bermakna sehingga secara nefrologis kelompok ini memiliki prognosis yang baik.
Nefritis lupus kelas III dan IV hampir seluruhnya akan menimbulkan penurunan fungsi
ginjal. Pada nefritis lupus kelas III yang keterlibatan glomerolus 50%, dimana prognosis
kelompok ini menyerupai prognosis nefritis lupus kelas IV yaitu buruk. Nefritis lupus
kelas V memiliki prognosis yang cukup baik sama dengan nefropati membranosa primer,
sebagian kecil akan menimbulkan sindrom nefrotik yang berat.

Prognosis bergantung kepada bentuk dari nefritis lupus. Pasien dapat sembuh
sementara dan kemudian timbul kembali gejala akut dari lupus. Beberapa kasus
berkembang menjadi gagal ginjal kronik.

G. SINDROM GOODPASTURE
a. Definisi
Sindrom Goodpasture adalah penggambaran dari sebuah trias pada pendarahan
paru-paru yang menyebar, glomerulonephritis, dan antibody pada anti-membran dasar
glumerular yang beredar.

Goodpasture pertama kali menemukan penyakit ini pada tahun 1919. ia


melaporkan sebuah kasus pendarahan paru-paru dan glumerulonephritis pada wabah
influenza. di tahun 1955, Parkin menemukan 3 kasus pendarahan paru-paru dan nephritis
yang terjadi tanpa adanya arteritis. Pada tahun 1958 Stanton dan Tang melaporkan
beberapa pria muda yang mengalami pendarahan paru-paru dan glomerulonephritis,
seperti yang disebutkan sebelumnya olehGoodpasture. Penemuan antibody pada anti-
GBM ditahun 1967 membawa pemahaman atas patogenesis sindrom goodpasture.

Goodpasture menjadi sebuah ungkapan untuk menggambarkan


glumerulonephritis dan keadaan antibody pada anti-GBM yang bersirkulasi, tanpa
pendarahan paru-paru.Penyakit anti-GBM, sebuah ungkapan yang diperbaharui,
digunakan untuk merujuk kepada dua manifestasi klinis yang berbeda dari penyait ini.

b. Patogenesis.
Patogenesis dari penyaikit anti-GBM berhubungan dengan autoantibodi yang
bereaksi dengan alveolus di dalam paru-paru dan membran dasar gromerulus di ginjal.
Autoantibodi anti-GBM yang ada dalam sirkulasi pasien penderita bersilangan dengan
endothelium yang terbua di dalam glomerulus dan menyatu dengan GBM
utama,menyebabkan terjadinya kegagalan ginjal. Antibodi anti-GBM berinteraksiGBM
glikoprotein, hanya semata-mata epitope dari daerah nonkolagen dari rantai alfa 3 dari
kolagen tipe IV. Hasil interaksi pada aktivasi komplemen dengan infiltrasi gromerular
dari polymorphonuclear leukosit dan monosit. Kebocoran fibrinogen menyebabkan
hancurnya GBM hingga ke dalam kapsula Bowman. Karenanya fibrin mengalami
polimerisasi melalui faktor procoagulant dari aktivasi monosit,menghasilkan sel sabit.
Autoantibodi dipercaya mengalami reaksi silang dengan membran dasar alveolar dan
menyebabkan kerusakan yang sama.

Derajat persilangan mata rantai alpha3NC1 sub unit hexamer kira-kira 3 kali
lebih besar di dalam membran dasar alveolar dibandingkan pada GBM. NC1epitope
dispekulasikan kurang dapat diterima dalam proses pengikatan dengan anti-GBM di
dalam paru-paru, dan pada sebagian denaturasi dari NC1 dominan mungkin dibutuhkan
untuk mengungkap adanya epotip asing terhadap antibody. Jika benar teori ini
emungkinan dapatmenjelaskan mengapa pendarahan paru sering diasosiasikan dengan
peningkatan permeabilitas kapiler paru, seperti pada perokok atif, infeksi, inhalasi
penghirupan dan hyperoxia. Etiologi dari produksi anti-GBM belum dipahami
sepenuhnya.

c. Gejala Klinis Sindrom Goodpasture


Berikut ini adalah gejala-gejala yang umum yang terjadi pada sindrom
Goodpasture. Bagaimanapun, setiap individu penderita mungkin akan mengalami gejala
yang berbeda.gejala-gejala tersebut adalah:
3 Kelelahan
4 Nausea
5 Dyspnea
6 Pallor
Dengan berjalannya kondisi penyakit, gejala lainnya yang dapat timbul termasu
dibawah ini:
 Batuk darah
 Rasa terbakar saat buang air kecil.
Pada akhirnya, gejala yang timbul melibatkan ginjal,termasuk :
 Adanya sedikit darah pada urine.
 Pelepasan protein pada urine.
 Temuan-temuan klinis dan laboratorium lainnya.

d. Penyebab terjadinya GoodPasture


Antibodianti-GBM menyebabkan kekacauan pada autoimmune, biasanya adanya
predisposisi genetic individu menemui persinggungan dengan lingkungan.
 Predisposisi genetic
o Anti-GBM dilukiskan sebagai kembar identik, saudara sekandung, sepupu
sedarah.
o HLA-DR2 ditemukan pada 88% dari pasien dengan penyakit anti-GBM
dibandingkan dengan 25%-32% pada penerimaan dari donor darah.
o Secara simultan ditemukan dari HLA DR2 diasosiasikan dengan prognosis yang
buruk arena kecenderungan untuk membentuk glomerular sabit.
o Anti-GBM sangat berhubungan dengan HLA-DR15 dan HLA DR4 allel.
o HLA-DR7dan HL-ADR1memiliki hubungan negatif yang sangat kuat; keduanya
sangat terlindung dengan baik.
 Persinggungan lingkungan
o Perokok : kegiatan merokok sangat terkait dengan hemoptysis. Dalam sebuah
sample, 47dari 51 pasien dewasa dengan penyakit anti GBM memiliki kebiasaan
merokok. Keseluruhan dari 37perokok mengalami pendarahan paru-paru
dibandingkan dengan golongan non perokok, 2 (penderita anti-GBM) dari 10.
pendarahan paru-paru kemungkinan biasa terjadi pada orang dewasa
dibandingkan laporan sebelumnya karena adanya penurunan pemerataan perokok.
o Penghirup hidrokarbon : Pengungkapan terhadap bahan pelarut hidrokarbon telah
diasosiasikan terhadap penyakit anti-GBM. Asap bensin ataularutan bahan
industri dipercaya sebagai penyebab infeksi kimiawi pada paru atau ginjal,
produksi dari stimulasi antibody. Dalam sebuah laporan pediatric, penyakit anti-
GBM berkembang pada seorang gadis 16 tahun yang memiliki kebiasaan
merokok dan menghirup lem.
o Infeksi viral :influenza tipe A2 diasosiasikan dengan penyakit anti-GBM. Infeksi
saluran pernapasan atas atau penyakit seperti flu terjadi sebelum serangan
penyakit itu dating. Hal ini terjadi pada 20%-60% orang dewasa yang mengidap
penyakit anti-GBM.

e. Pemeriksaan Laboratorium
 Perhitungan CBC: anemia diamati pada kasus kekurangan zat besi yang
disebabkan oleh pendarahan intrapulmonary. Leukositosis biasanya terjadi.
 Pemeriksaan Elektrolit, BUN, dan kreatinin: peningkatan adar urea nitrogen
dalam darah dan creatinin menyebabkan disfungsi renal.
 Nilai rata-rata sedimen Eritrosit (ESR) : nilai ESR yang meningkat biasanya
ditemukan pada pasien dengan vasculitis, tetapi ini adalah hal yang tak biasa pada
penyakit ini.
 Pemeriksaan urin : temuan-temuan dari pemeriksaan urin adalah karateristik dari
glomerulonephritis akut, biasanya menunjukkan adanya tingkat proteinuria kadar
rendah, hematuria dalam bentuk mikroskopik, dan sel darah merah.
 Antibodi Anti-GBM
o Uji kadar serologic untuk antibody sangat berharga untuk memastikan
kecuupan hasil diagnosa dan pengamatan dari terapi
o Uji kadar radioimmun atau uji kadar immunosorbent yang berhubungan
dengan enzim untuk antibodi anti-GBM, sangatlah sensitive (>95%) dan
spesifik(97%) tetapi hanya dapat dilaksanakan di sedikit laboratorium.
o Meskipun puncak titer serum dari antibody anti-GBM tidak berkorelasi
dengan keparahan dari penyakit, perubahan pada titer berulang kali
kemungkinan sebuah petunjuk menuju efisiensi dari terapi.
 Antibodi Antineutrophilik Sitoplasma.
o Terkadang selama masa sakit, sebanyak 1/3 pasien sindrom Goodpasture
memiliki peredaran ANCA sebagai tambahan antibody anti-GBM
o Baik sitoplasmik ANCA dan perinuclear ANCA merata.
f. Gambaran Radiologi

Gambar 1.

Rontgen paru :
o Adanya gabungan jaringan parencym yang tidak sempurna, biasanya bersifat
bilateral, simetris perihilar dan bibasilar.
o Sebanyak 18% dari pasien ditemukan gejala normal pada rontgen dada
o Konsolidasi pecah setelah lebih dari 2-3 hari, dan pada akhirnya secara bertahap
akan berkembang ke arah sel intertitial saat pasien mengalami pendarahan
berulang
o Efusi pleura tidak pada tempatnya.

Test lainnya:
Test fungsi paru
o Test rutin terhadapfungsi paru tidak membantu dalam evaluasi klinik pada
pasienanti-GBM.
o Test spirometridan volume paru kemungkinan akan mengungkap bukti adanya
hambatan.
o Penyebaran karbonmonoksida (DLCO) mengalami peningkatan terhadap
pengikatan karbon monoksida dan hemoglobin intra alveolar
o Pendarahan paru yang berulang dapat didiagnosa dengan gambaran radio opak
pada rontgen dadadan 30% meningat pada DLCO.

g. Prognosis
o Prognosis sindrom telah mengalami banyak kemajuan dalam15 tahun belakangan ini
karena penggunaan pertukaran plasma makin meningkat. Laporan padatahun1960
sebelum adanya terapi immunosupresif dan pertukaran plasma, mengindikasikan
96% kematian terjadi pada manusia dewasa; pada era pertukaran plasma, tingkat
kematian penderita dewasa menjadi 0%-41%.
o Pada masa lalu sindrom Goodpasture biasanya bersifat fatal. Terapi agresif dengan
plasmapherisis, cortocosteroid,dan immunosuppresif telah meningkatkan prognosis
secara dramatis. Dengan pendekatan metode ini, tingkat kehidupan hingga 5 tahun
ke depan meningkat rata-rata 80%dan kurang dari 30% pasien membutuhkan
dialysis jangka panjang.
o Prognosis paru-paru sangatlah unggul. Beberapa pasien dewasa memiliki tingkat
DLCO rendah yang memberi efek pada pulmonary fibrosis residual.
o Prognosis renal
 Kurang dari 20 kasus immunological yang dikonfirmasi dari penyakit anti-GBM
renal dilaporkan terjadi pada anak. Lebih kurang 90% dari pasien mengidap
ESRD (end stage renal desease) dan 3 orang mengalami kematian.
 Pada literature yang merujuk untuk orang dewasa menganjurkan kepada pasien
pengidap oligoanuria dan memiliki kadar serum kreatinin6-7mg/dL tidak akan
mengalami perbaikan fungsi renal. Sebelum adanya pertukaran plasma, usaha
perbaikan fungsi renal (tanpa dialysis dan transplantasi) kurang dari 25% pada
orang dewasa. Menurut literature tersebut, kejadian ESRD pada penyakit anti-
GBM adalah 25%-69%. Pada laporan yang timbul belakangan, mengindikasikan
prestasi yang lebih baik dengan penggunaan pertukaran plasma secara agresif.

h. Penatalaksanaan.
1) Perawatan medis
Perawatan terhadap penyakit anti-GBM memerlukan 2 cabang pendekatan
yang terdiri pemindahan antibodi patogenik dan pencegahan produksi antibody baru.
 Pertukaran Plasma : untuk pemindahan antibody, literature yang merujuk untuk
manusia dewasa merekomendasikan dilakukan setiap hari selama 14 hari atau
setiap 3 hari selama satu bulan. Setiap sesi pertukaran dilakukan dengan volume
sebesar 3-4Ldan digantikan dengan albumin atau plasma fresh-frozen.
 Immunosuppresi:terapi ini menggunakan corticosteroid (contoh:Prednison) dan
ciclophosphamide yang bertujuan untuk mengeliminasi sintesis antibody yang
bekerja terus menerus. Pasien dewasa yang mengidap serum kreatinin dengan
level lebih besar dari 8, memiliki kekurangan fungsi ekskresi renal. Karena itu
pertimbangkan lebih matang diperlukan penggunaan perawatan agresif ini
terhadap pasien yang memiliki keterbatasan penyakit pulmonary dan perbaikan
fungsi renal. (Serum kreatinin>8)
 Penyakit Pediatric anti-GBM : Pasien pediatric selalu diberikan pertukaran
plasma pada konjungasi dengan corticosteroid dan cyclophosphamide. Durasi
pada perawatan immunosuppresif sangat bervariasi, tetapi secara khusus 6 bulan
penggunaan steroid dan 3 bulan penggunaan cyclophosphamide.
 Respon pengamatan pada terapeutik: pengamatan pasien secara seksama
menghasilkan titer anti GBM yang reguler, level serum kreatinin dan rontgen
dada untuk memutuskan ragam terapi.
 Terapi Bedah : transplantasi renal digunakan untuk ESRD akibat Goodpasture
syndrom. Kejadian dari deposit linear pada IgG bersamaan glomeruli
menghasilkan nilai yang tinggi pada renal allograft, tetapi perkembangan ini tidak
menyebabkan histologic atau kerusakan fungsi pada ginjal yang
ditransplantasikan. Kebanyakan pelaksana transplantasi lebih diutamakan untuk
menunggu 6-12 bulan setelah bukti serologic mengindikasikan bahwa antibody
anti-GBM telah hilang.

Anda mungkin juga menyukai