Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH STUDI KASUS CLINICAL REASONING SISTEM

GENITOURINARIA

Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah

Dosen Pembimbing:
Ns. Henni Kusuma, M.Kep., Sp.Kep.MB
Disusun oleh:
1. Grahya Febriella MNP 220220115120039
2. Melinda Kumala Sari 220220115130082
3. Ayu Martha Puri 220220115120043
4. Rikarda Ogetai 22020113100053
5. Muliawati N 220220115120047
6. Verawati 220220115130085
7. Eko Joko P 220220115130110
8. Cici Melati N 220220115140065
9. Karina Setiawan 220220115120041
10. Putwi Marinesia Nur 220220115120037
Kelas A.15.1

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


DEPARTEMEN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2018
Kasus:

Seorang pasien laki-laki usia 50 tahun dibawa ke RS mengeluh sesak napas dan
keluar urin sedikit sejak satu minggu terakhir. Pasien juga mengatakan kulitnya
gatal-gatal, sering pusing, dan lemas. Pasien tidak nafsu makan karena mual,
makannya hanya habis ¼ porsi. Pasien mempunyai riwayat sakit batu ginjal 5
tahun yang lalu, dan sudah dilakukan ESWL. Hasil pemeriksaan fisik: tekanan
darah 190/110 mmHg, RR 30 kali/menit, suhu 37,5° C. Hasil laboratorium ureum:
135 mg/dl, kreatinin 8 mg/dl, Hb 7 mg/dl, leukosit 13.000 LPK. Pasien akan
dilakukan pemeriksaan sempel urin.
A. Tinjauan Kasus
1. Laki-laki
Pria lebih rentan terkena gangguan ginjal daripada wanita, seperti
penyakit gagal ginjal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya volume pada
urine atau kelebihan senyawa (senyawa alami yang mengandung kalsium
yang terdiri dari oxalate/ fosfat dan senyawa lain seperti uric acid dan
amonia acid cystine), pengaruh hormon, keadaan fisik dan intesitas
aktivitas. Dimana saluran kemih pria yang lebih sempit membuat batu
ginjal menjadi sering tersumbat dan menyebabkan masalah (Hartini,
2016).
Pria juga berisiko terkena gangguan ginjal karena kebiasaan
merokok dan minum alkohol yang menyebabkan ketegangan pada ginjal,
sehingga ginjal bekerja keras. Karsinogen alkohol juga dapat merusak
sel-sel ginjal sehingga berpengaruh pada fungsi ginjal. Testosteron pada
laki-laki dapat menyebabkan terjadinya apaptosis pedosit (yang berperan
penting dalam terjadinya glomeruloskerosis). Hormon estrogen
mempunyai efek protektif terhadap kerusakan ginjal (Hartini, 2016).
2. Usia
Semakin bertambahnya usia, fungsi ginjal semakin menurun.
Secara normal, penurunan fungsi ginjal ini telah terjadi pada usia diatas
40 tahun. Pada usia lebih dari 40 tahun, akan terjadi proses hilangnya
nefron dan nilai GFR 60-89 ml/menit (Pranandari & Supadmi, 2015).
3. Sesak napas
Pada penderita gagal ginjal disebabkan karena adanya kelebihan
volume cairan dan gejala uremik yang menyebabkan asidosis metabolik
yang ditandai dengan meningkatnya respiratori rate (Aningrum, 2015).
Hubungan sesak nafas dengan gagal ginjal kronik lainnya berkaitan
dengan kadar kreatinin di dalam darah. Saat fungsi ginjal menurun, ginjal
akan kesulitan membuang urine, sehingga akan ada penumpukan zat-zat
sisa metabolisme dalam darah. Kreatinin ini akan kembali mengalir
bersama darah ke seluruh tubuh. Akibatnya, darah akan mengalami
penurunan fungsi juga karena adanya kelebihan kadar limbah di
dalamnya. Penurunan fungsi darah ini akan berefek pada penurunan
kemampuan darah untuk mengikat oksigen. Jika kondisi ini terus
berlangsung, maka penderita gagal ginjal kronik akan mengalami sesak
nafas, karena oksigen dalam darah lebih sulit diedarkan secara maksimal
ke seluruh tubuh.
Hubungan sesak nafas dengan gagal ginjal kronik lainnya adalah
berkaitan dengan anemia atau kekurangan sel darah merah. Seperti yang
dijelaskan di atas, ginjal juga turut berperan serta dalam proses
pembentukan sel darah merah di dalam tubuh. Jika ginjal terganggu,
maka proses pembentukan sel darah merah di sumsum tulang juga akan
ikut terganggu. Akibatnya, sel darah merah yang dihasilkan jumlahnya
akan menurun. Hal ini menyebabkan anemia. Karena sel darah merah
memiliki fungsi untuk menghantarkan oksigen ke seluruh tubuh, maka
jika sel darah menurun jumlahnya, tentu jumlah oksigen yang bisa
dihantarkan ke seluruh tubuh juga berkurang. Hal ini jugalah yang
menyebabkan penderita gagal ginjal kronis tidak bisa bernafas secara
normal dan mengalami sesak nafas.
4. Urin keluar sedikit
Urin keluar sedikit dapat disebut dengan oliguria. Oliguria adalah
keluaran urine kurang dari 1 ml/kg/jam pada bayi, kurang dari 0,5
ml/kg/jam pada anak, dan kurang dari 400 mg/hari pada dewasa. Oliguria
merupakan salah satu tanda klinik gagal ginjal. Pada saat kreatinin
meningkat sebagai tanda kerusakan dari ginjal dan ginjal tidak bisa
mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh,
penderita biasanya mengalami oliguria.
5. Kulit gatal
Kulit gatal, kulit kering terjadi akibat tingginya kadar ureum dalam
darah. Ureum seharusnya difiltrasi dan dikeluarkan oleh ginjal tetapi jika
ada kerusakan filtrasi pada ginjal maka ureum tidak bisa disaring dan
dibuang melalui urine akibatnya ureum akan tertinggal dan mengendap
dalam darah. Menurut Brunner & Suddarth (2001) mengungkapkan
bahwa rasa gatal merupakan manifestasi dari CKD, hal ini terjadi
karena penumpukan kristal ureaa di kulit.
6. Pusing dan lemas
Pusing dan lemas disebabkan karena kurangnya suplai oksigen
pada jaringan / kondisi anemia. Anemia pada penderita GGK karena
defisiensi relatif eritropoetin (EPO) yang menyebabkan Hb turun
(Hutapea, 2013).
7. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko gagal ginjal karena
hipertensi dapat memperberat kerusakan ginjal yaitu, melalui
peningkatan intraglomerular yang menimbulkan gangguan struktural dan
fungsional glomerulus (Pranandari & Supadmi, 2015).
8. Tidak nafsu makan karena mual
Mual terjadi karena peningkatan amonia yang menyebabkan iritasi
dan rangsangan pada mukosa lambung dan usus halus (Putri, 2010).
9. ESWL (Extracorporal Shock Wave Lithotripsy)
ESWL yaitu metode penghancuran batu ginjal dengan gelombang
suara (ultrasona) (Fauzi dan Putra, 2016).
10. Ureum 135 mg/dl
Kadar ureum normal adalah 15-40 mg/dl. Kadar ureum darah yang
meningkat menunjukkan kemungkinan penurunan fungsi ginjal
(Verdiansyah, 2016).
11. Kreatinin 8 mg/dl
Kada kreatinin normal adalah 0,5-1,5 mg/dl. Penumpukan kreatinin
menyebabkan metabolisme diusus terganggu sehingga penderita
mengalami mual dan muntah (anoreksia). Dari kasus menunjukkan
bahwa kreatinin mengalami peningkatan kreatinin dihasilkan selama
kontraksi otot skeletal melalui pemecahan kreatinin fosfat. Kreatinin di
ekskresi oleh ginjal dan konsentrasinya dalam darah sebagai indikator
fungsi ginjal. Nilai kreatinin yang menunjukkan terjadinya penurunan
fungsi ginjal dan penyusutan massa otot rangka (Verdiansyah, 2016).
12. Hb 7 mg/dl
Nilai normal Hb wanita 12-16 mg/dl, nilai normal Hb pria 14-18
mg/dl (Yayasan Spiritia, 2007). Dari kasus menunjukkan bahwa Hb
mengalami penurunan. Salah satu fungsi ginjal mengahsilkan hormon
eritropoetin yang membantu merangsang sumsum tulang belakang untuk
membentuk sel-sel darah merah. Ketika fungsi ginjal menurun maka
eritropoetin yang dihasilkan menurun sehingga sel-sel darah merah yang
dihasilkan menurun dan menyebabkan anemia (Hutapea, 2013).
13. Leukosit 13000 LPK
Nilai normal dari leukosit adalah 4000-10000 /mm3. Jumlah sel
darah putih tinggi menunjukkan peningkatan produksi sel darah putih
untuk melawan infeksi, gangguan sistem kekebalan tubuh yang membuat
produksi sel darah putih meningkat, reaksi terhadap obat yang
meningkatkan produksi sel darah putih (Yayasan Spiritia, 2007).

B. Data yang Ada


Data subjektif Data objektif
 Sesak napas dan urin keluar  Riwayat batu ginjal 5 tahun yang
sedikit sejak satu minggu lalu dan sudah dilakukan ESWL
terakhir  Tekanan darah: 190/110 mH
 Kulit gatal  Respiratory rate: 30 kali/menit
 Sering pusing  Suhu: 37,5°C
 Tidak nafsu makan karena  Ureum: 135 mg/dl
mual, makan hanya habis ¼  Kreatinin: 8 mg/dl
porsi  Hb: 7 mg/dl
 Leukosit: 13.000 LPK
C. Data yang Perlu Dikaji
1. Klien akan dilakukan sampel urine, pemeriksaan aliran urine/uroflometri,
dan hiperkalemia.
Pemeriksaan uroflometri adalah prosedur diagnostik untuk
mengukur jumlah air seni dan kecepatan warna atau dapat disebut tes
pancaran kencing caranya, yaitu klien diminta untuk buang air kecil di
toilet yang dilengkapi alat pengukur uroflowmetri eleektronik lalu dengan
otomatis alat ini akan mengukur jumlah urin yang dikeluarkan, kecepatan
keluarnya urin per detik, waktu yang dibutuhkan, tingkat keparahan
kandung kemih jika terdapat obstruksi (IAUI, 2015).
Pemeriksaan hiperkalemia dapat dilakukan dengan tes darah, tes
urin, dan EKG. Ketika fungsi ginjal terganggu, ginjal tidak mampu
membuang kelebihan kalium dalam tubuh.
Pemeriksaan sampel urine dibagi menjadi dua yaitu:
a) Pemeriksaan makroskopik
Meliputi warna, volume, berat jenis, bau, pH, buih (busa)
b) Pemeriksaan mikroskopik
Eritrosit, leukosit, epitel, silinder, kristal, silindroit, benang lendir,
spermatozoa, bakteri, jamur, trichomonas st
2. Melakukan pemeriksaan nutrisi dan intake output cairan
Pemeriksaan nutrisi:
a) Antropometri (BB, TB, LILA)
b) Biokimia (lab)
c) Clinical (kondisi umum, GCS)
d) Dietary (recall intake makanan)
3. Melakukan perkusi ginjal
Perkusi ginjal dilakukan untuk mengkaji nyeri ketok ginjal,
dilakukan di daerah kostovertebra, yaiitu dengan menekan atau mengetuk
pada daerah sudut antara costa tereakhir dengan vertebra. Pada pasien
denggan penyakit ginjal, hanya dengan menekan daerah tersebut maka
akan muncul rasa nyeri.
4. Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui gangguan fungsi ginjal yaitu
sinar X-abdomen, CT-Scan
Pemeriksaan sinar-X abdomen yang dikenal denganistilah KUB
(Kidney, Ureter, Bladder) dilakukan untuk melihat ukuran, bentuk, serta
posisi ginjal dan mengidentifikasi semua kelainan seperti batu dalam
ginjal atau traktus urinarius, hidronefrosis (distensi pelvis ginjal), kista,
tumor, ataupergeseran ginjal akibat abnormalitas pada jaringan di
sekitarnya.
Pemeriksaan CT-Scan merupakan teknik non-invasif yang akan
memberikan gambar penampang ginjal serta saluran kemih yang sangat
jelas.
5. Pemeriksaan asites, pitting edema untuk mengetahui status cairan.
Asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus
(hipertensi porta) dan penurunan tekanan osmotik koloid akibat
hipoalbuminemia. Asites terjadi akibat tingginya tekanan portal yang
disertai dengan kadar albumin yang rendah dan retensi natrium.
Rendahnya tingkat albumin dalam darah yang menyebabkan perubahan
tekanan yang diperlukan untuk mencegah pertukaran cairan (tekanan
osmotik), perubahan tekanan memungkinkan cairan merembes keluar dari
pebuluh darah. Pada penyakit ginjal urin tidak dapat dikonsentrasikan
atau diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan
elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung
kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan
suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan cairan
bisa terjadi edema dan asites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan
volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor balance cairannya
(Ingrum, 2001).
Pemeriksaan asites dapat dilakukan dengan meminta klien melepas
baju kemudian berbaring dan rileks. Inspeksi bagian perut klien dengan
dilihat bagaimana bentuk perut (datar, cembung, atau cekung), lihat apa
ada tanda peradangan dibagian perut. Palpasi bagian perut dengan cara
pasien diminta untuk meletakkan tangannya di bagian umbilicus, lalu
tangan kita ada disebelah kanan dan kiri sis perut pasien, lalu pukul
dengan menggunakan lima jari sisi perut bagian kiri. Rasakan apakah ada
rasa semacam hentaman cairan pada tangan sebelah kanan. Pemeriksaan
ini dinamakan pemeriksaan undulasi. Perkusi dimulai dari bagian
umbilicus atau bagian tengan operut pasien, terus ke arah bawah. Suara
yang terdengar pada orang yang menderita asites adalah pada awalnya
timpani, tetapi semakin ke bawah, yang dirasakan adalah semakin redup
dan akhirnya redup. Pada tahap ini tentukan batas perubahan suara antara
redup dan timpani. Klien diminta untuk memiringkan badannya ke arah
kita, yaitu ke arah kiri, lalu kita perkusi lagi, formatnya dari perbatasan
tadi ke atas. Suara yang terdengar adalah redup, redup, redup sampai
akhirnya timpani. Perlu diketahui, pada pemeriksaan ini batas redup akan
bergeser ke atas, hal ini disebabkan karena cairan yang berada disebelah
kiri pasien berpindah ke sebelah kanan (FK Unhas, 2015).
6. Melakukan auskultasi untuk mengetahui suara nafas tambahan
Manifestasi klinis sistem pulmoner pada gagal ginjal kronis
menurut Suyono (2001) dalam Hutapea (2013) adalah bunyi nafas
crackles (ronki basah), nafas dangkal, kusmaull, dan sputum kental.
Adanya suara nafas abnormal crackles jika terdapat kelebihan cairan di
rongga alveolus. Akumulasi tersebut terjadi karena perpindahan cairan
dari kompartemen intravaskuler ke dalam rongga alveolus sehubungan
dengan terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik yang dihasilkan
jantung karena adanya peningkatan volume cairan di dalam pembuluh
darah. Akumulasi cairan tersebut dapat menimbulkan komplikasi gagal
nafas.
7. Melakukan pengkajian psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri, konsep diri, serta
pola interaksi. Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan
pengobatan menyebabkan penderita mengalami gangguan dalam
menyelesaikan masalahnya.
8. Melakukan pemeriksaan pruritus
Pruritus atau rasa gatal. Pemeriksaan fisik membantu dalam
membedakan antara penyebab sistemik dengan penyakit dermatologik.
Dalam kasus pruritus yang disebabkan oleh sistemik, pemeriksaan
penunjang dilakukan harus sesuai dengan kondisi yang ditunjukkan
(Graham dan Burns, 2005). Contohnya : Uji fungsi ginjal pada gagal
ginjal kronis:
a) Pemeriksaan kadar ureum
b) Pemeriksaan kadar kreatinin
c) Pemeriksaan asam urat
d) Pemeriksaan Cystatin C
e) Pemeriksaan β2 Microglobulin
f) Pemeriksaan Mikroalbuminuria
g) Pemeriksaan Inulin
h) Pemeriksaan Zat Berlabel Radioisotop
9. Melakukan pemeriksaan fatigue
Kelelahan, atau disebut juga fatigue, adalah kondisi di mana selalu
merasa lelah, lesu, atau kurang tenaga. Individu dengan penyakit jantung,
penyakit paru-paru atau anemia dapat mengalami sesak napas atau mudah
lelah setelah melakukan aktivitas yang minim.
Gejala kelelahan lainnya dapat meliputi:
a) Penurunan berat badan
b) Nyeri pada dada dan sesak napas
c) Muntah dan diare
d) Demam dan menggigil
e) Kelemahan atau nyeri otot
f) Kecemasan dan depresi.
10. Melakukan pengkajian insomnia
Masalah tidur yang umum dialami oleh pasien gagal ginjal yang
melakukan hemodialisis adalah insomnia, restless syndrome, sleep apneu,
dan excessive daytime, sleepness. Faktor yang berkontribusi gangguan
tidur yaitu seperti durasi terapi hemodialisis, tingginya kadar urea dan
atau kreatunin, nyeri, disabiliti, malnutrisi, kraam otot, periferal
neuropati, dan masalah somatik. Gangguan tidur dapat mempengaruhi
kualitas tidur dari segi tercapainya jumlah tidur atau lama tidur yang
berdampak pada aktivitas kesehatan individu (Nurkamila dan Hidayati,
2013).
11. Melakukan pengkajian eliminasi
Pada pengkajian eliminasi yang dikaji yaitu eliminasi fekal dan
eliminasi urin (Hutapea, 2013).
Eliminasi fekal : pola eliminasi fekal, frekuensi, konsistensi
Eliminasi urin : pola berkemih, frekuensi, volume, komposisi urin,
warna, bau.
Pada penderita penyakit gagal ginjal biasanya terjadi masalah pada
eliminasi urin.

D. Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan


No Data Masalah Etiologi Dx keperawatan
pendukung
1. DO : Ketidakefektifan Hambatan Ketidakefektifan
RR 30x/menit pola napas upaya napas pola napas b.d.
DS: hambatan upaya
Klien mengeluh napas
sesak napas
2. DO : Kelebihan Gangguan Kelebihan
- Hb : 8 mg/dL voulune cairan mekanisme volume cairan
- Terlihat regulasi b.d. gangguan
adanya adema mekanisme
ekstremitas * regulasi
DS :

Klien mengeluh
keluar urin
sedikit sejak satu
minggu terakhir

3. DO : - Mual Gangguan Mual b.d.


DS : biokimia gangguan
- Klien (uremia) biokimia (uremia)
mengataka
n tidak
napsu
makan
karena
mual
4. DO : - Gangguan Gangguan Gangguan
DS : integritas kulit metabolisme integritas kulit
Klien berhubungan
mengatakan dengan gangguan
kulitnya gatal- metabolisme
gatal
5. DO : Ketidakefektifan Kurang Ketidakefektifan
- Klien koping percaya diri koping b.d.
menjalani dalam Kurang percaya
hemodialisa kemampuan diri dalam
- Klien tidak mengatasi kemampuan
mengikuti masalah mengatasi
organisasi di masalah
lingkungan
rumah *
DS :
- Klien
mnegatakan
sulit tidur
karena
memikirkan
penyakitnya *
- Klien
mengatakan
khawatir
tentang
penyakitnya *

Prioritas Diagnosa Keperawatan


a. Ketidakefektifan pola napas b.d. hambatan upaya napas
b. Kelebihan volume cairan b.d. gangguan mekanisme regulasi
c. Mual b.d. gangguan biokimia
d. Gangguan integritas kulit b.d. gangguan metabolisme
e. Ketidakefektifan koping b.d. Kurang percaya diri dalam kemampuan
mengatasi masalah
E. Rencana Asuhan Keperawatan
No Hari/ tanggal Dx keperawatan Kriteria Hasil Intervensi
1 Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan intervensi 3 x 24 Terapi Oksigen (IIK-3320)
napas b.d. hambatan jam dapat mencapai status
1. Bersihkan mulut, hidung, dan sekresi trakhea
upaya napas pernapasan normal, dengan kriteria
dengan tepat (IIK-3320-1)
hasil:
2. Pertahankan kepatenan jalan napas (IIK-3320-3)
- Frekuensi pernapasan mengalami
3. Siapkan peralatan oksigen melalui simple masker
deviasi cukup berbeda dengan
dan berikan melalui sistem humidifier (IIK-3320-
kisaran normal: 21-24 x/menit (IIF-
4)
041501-3)
- Terdapat deviasi ringan pada
kedalaman napas (IIF-041503-4)
- Terdapat sesak napas ringan saat
istirahat (IIF-041514-4)
2 Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan tindakan selama 3 Manajemen Cairan/Elektrolit (IIN-2080)
x 24 jam kelebihan volume cairan
1. Pertahankan catatan intake dan output yang
klien dapat diatasi, dengan kriteria
akurat (IIN-2080-19)
hasil:
2. Monitor hasil laboratorium yang relevan dengan
- Dapat menyeimbangkan intake retensi cairan (BUN, serum kreatinin, osmolaritas
dan output (IIF-050402-3) urin, kalium/potasium) (IIN-2080-17)
- Nilai kreatinin serum mengalami 3. Monitor tanda-tanda vital (nadi, RR, TD, suhu,)
deviasi berat dari normal (6 (IIN-2080-23)
mg/dl) (IIF-050427-1) 4. Pantau adanya tanda dan gejala adanya retensi
- Edema di ekstremitas dan di paru cairan (misalnya crackles atau rongki basah,
berkurang (IIF-050432-3) edema, oliguria) (IIN-2080-03)
5. Kaji lokasi dan luas edema di ekstremitas dan di
paru (IIN-2080-03)
6. Monitor perubahan status paru atau jantung yang
menunjukkan kelebihan cairan (IIN-2080-02)
7. Monitor manifestasi dari ketidakseimbangan
elektrolit (IIN-2080-26)
8. Berikan cairan yang sesuai (misal krystaloid atau
cairan desktrosa) (IIN-2080-06)
9. Konsultasikan dengan dokter jika tanda dan
gejala ketidakseimbangan cairan/ elektrolit
menetap/ memburuk (IIN-2080-32)
3 Mual b.d. gangguan Setelah dilakukan intervensi setiap 8 Manajemen Mual (IE-1450)
biokimia jam, klien dapat mencapai kontrol 1. Dorong pasien untuk belajar strategi mengatasi
mual, dengan kriteria hasil: mual sendiri (IE-1450-2)
- Menggunakan langkah-langkah 2. Identifikasi faktor yang dapat menyebabkan
pencegahan mual (IVQ-161805-5) berkontribusi terhadap mual (mis. Obat) (IE-
- Intake makanan meningkat (IIK- 1450-9)
101406.5) 3. Ajari penggunaan teknik nonfarmakologi
(akupresur) (IE-1450-17)
*akupresur dilakukan pada titik P6 (di dareah
pergelangan tangan dalam) dan St36 (di area
bawah samping lutut) selama 30 kali tekanan
dengan putaran searah jarum jam yang dilakukan
berulang (Dibble et al, 2007 dalam Syarif, 2017).

4 Gangguan integritas kulit Setelah dilakukan tindakan Manajemen Pruritas 1E-3550


b.d. gangguan intervensi setiap hari selama 2 1. Tentukan penyebab terjadinya pruritas (kelainan
metabolisme minggu diharapkan integritas kulit sistemik) (1E-3550-1)
klien membaik dengan kriteria hasil: 2. Memberikan krim dan losion yang mengandung
- Tidak ada lesi kulit (IIL-110115-5) obat, sesuai dengan kebutuhan (1E-3550-4)
- Elestasitas cukup terganggu (IIL- *Untuk mengatasi pruritas dapat diberikan
1103-3) emolien, pemakaian krim kulit yang berisi asam
lemak berupa lamellar lipid dan
endocannabidoid, krim digunakan selama 3
minggu berturut-turut secara teratur. Dan
penggunaan 6g ethylester dari minyak zaitun
(Peck dan Monsen, 1996 dalam Setyaningsih,
2014).
3. Pemberian Lactobacillus casei Shirosa (LcS)
dengan dosis 16 x 106 CFU dan pemberian diet
isocaloric (30 kcal/kg ideal BB) dan isoproteic
(0,8 g/kg ideal BB) selama 2 bulan (Alatriste dkk,
2014).

5 Ketidakefektifan koping Setelah dilakukan tindakan Support Group (IIIR-5130)


b.d. kurang percaya diri keperawatan selama 4 x dalam 1. Manfaatkan kelompok pendukung selama masa
dalam kamampuan seminggu diharapkan koping klien transisi untuk membantu pasien beradaptasi
mengatasi masalah menjadi efektif, dengan kriteria dengan kondisinya (IIIR-5130-1)
hasil: 2. Tekankan pentingnya koping yang efektif (IIIR-
- Menyesuaikan perubahan dalam 5130-25)
status kesehatan (IIIN-130017-5) 3. Identifikai topik-topik yang mungkin muncul
- Melaporkan harga diri postif (IIIN- dalam kelompok (IIIR-5130-26)
130020-5) *langkah-langkah terapi kelompok dukungan:
a. Diskusi antar pasien mengenai emosi
mereka terkait penyakit ginjak kronik,
terapi hemodialisis dan peristiwa yang
terjadi selama perjalanan penyakit.
b. Pemberian pengetahuan kepada klien
mengenai penyakit ginjal kronik
c. Pemberian pengetahuan mengenai koping
aktif yang dimulai dengan pertanyaan
untuk klien mengenai variasi masalah
yang dihadapi.
SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique)
*langkah-langkah SEFT
 The Set-Up, .Contoh the set-up words adalah
“Yaa Allah…meskipun saya ______ (keluhan),
saya ikhlas, saya pasrah pada-Musepenuhnya”.
 The Tune In, Cara melakukan tune-in adalah
dengan memikirkan sesuatu atauperistiwa
spesifik tertentu yang dapat membangkitkan
emosi negatif yang akandihilangkan atau situasi
dimana seseorang sangat ingin melakukan
kesalahan. Pengingatnya dengankalimat “saya
ikhlas, saya pasrah pada-Mu ya Allah”. Tune-in
tetap dilakukansampai semua teknik terapi
Spiritual Emotional Freedom dilakukan hingga
akhir.
 The Tapping adalah mengetuk ringan dengan dua
ujung jari pada titik-titik tertentudi tubuh
sebanyak tujuh kali ketukan sambil terus
melakukan tune-in.
 Nine Gamut Procedure adalah sembilan gerakan
untuk merangsang otak. Sembilan
gerakantersebut adalah : menutup mata,
membuka mata, mata digerakkan dengan kuat
kekanan bawah, mata digerakkan dengan kuat ke
kiri bawah, memutar bola matasearah jarum jam,
memutar bola mata berlawanan arah jarum jam,
bergumamdengan berirama selama dua detik,
menghitung satu, dua, tiga, empat, dan, lima,dan
bergumam lagi.
 The Tapping Again, Setelah menyelesaikan nine
gamut procedure, langkahterakhir adalah
mengulang lagi the tapping dan diakhiri dengan
mengambil nafaspanjang kemudian
menghembuskannya
F. Hal yang Perlu Dievaluasi dalam Implementasi Ssuhan Keperawatan

Diagnosa Hal yang dievaluasi


Ketidakefektifan pola napas 1. Frekuensi napas
b.d. hambatan upaya napas 2. Kedalaman napas
3. Adanya sesak saat istirahat

Kelebihan volume cairan 1. Intake dan output cairan


b.d. gangguan mekanisme 2. Kadar kreatinin darah
regulasi 3. Adanya pitting edema

Mual b.d. gangguan 1. Kemandirian klien melakukan teknik non-


biokimia farmakologi (akupresur)
2. Frekuensi munculnya mual
3. Intake makanan

Gangguan integritas kulit 1. Kemandirian klien melakukan teknik non-


b.d. gangguan metabolisme farmakologi (akupresur)
2. Frekuensi munculnya mual
3. Kadar ureum (karena kadar ureum
berpengaruh pada reaksi gatal)

Ketidakefektifan koping b.d. 1. Harga diri klien


Kurang percaya diri dalam 2. Kulitas hidup klien
kemampuan mengatasi
masalah

G. Pembahasan
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa klien mengalami penyakit
ginjal kronik stadium V dibuktikan dengan perhitungan Creatinin Clearance
Test (CCT) dengan nilai 10,15%. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan
darah 190/110 mmHg, hal ini mengakibatkan terjadinya nefrosklerosis
sehingga nefron rusak dan tejadi kerusakan pada ginjal, jika tidak ditangani
maka akan mengakibatkan gagal ginjal.
Ginjal memiliki fungsi sebagai mempertahankan keseimbangan air dalam
tubuh, memelihara keseimbangan asam basa, mengekskresikan produk-
produk sisa metabolisme, memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
Jika ginjal mengalami kerusakan pada proses filtrasi maka akan
mengakibatkan produk urin primer menurun, natrium meningkat, ureum
dalam darah meningkat, dan kreatinin meningkat.
Pada saat urin primer menurun mengakibatkan jumlah urin yang
dihasilkan dalam proses pembentukan urin menurun, gangguan ini disebut
oliguria. Ketika natrium meningkat, tekanan hidrostatik meningkat
mengakibatkan terjadinya edema, sehingga menyebabkan kelebihan volume
cairan. Edema dapat terjadi pada ekstremitas atas, bawah dan paru-paru.
Tanda lain untuk mengetahui fungsi ginjal mengalami kerusakan
meningkatnya kadar ureum dan kreatinin yang tinggi dalam darah. Kadar
ureum yang tinggi dalam darah mengakibatkan kulit kering, sehingga
menimbulkan gatal-gatal. Masalah keperawatan yang muncul yaitu gangguan
integritas kulit. Kadar ureum yang tinggi dalam darah juga menyebabkan
mual dan muntah. Masalah keperawatan yang muncul yaitu mual.
Ginjal juga berfungsi dalam menghasilkan hormon eritropoietin (EPO).
Saat ginjal mengalami kerusakan, terjadi penurunan sekresi EPO akibatnya
sel darah merah menurun yang diikuti dengan penurunan Hb, masalah yang
muncul akibat penurunan Hb yaitu anemia. Penurunan Hb juga menurunkan
jumlah dalam darah akibatnya terjadi kurangnya pasokan oksigen yang akan
diedarkan ke seluruh tubuh dan paru-paru, jika paru-paru kekurangan oksigen
mengakibatkan sesak napas. Masalah keperawatan yang muncul yaitu
gangguan pola napas, didukung dengan nilai RR 30x/menit.
Pada saat seseorang mengalami gagal ginjal stadium V, salah satu
penatalaksanaan yaitu dengan melakukan terapi pengganti ginjal
(hemodialisa). Ketika seseorang menjalani hemodialisa mengalami rasa
cemas yang berakibat pada insomnia. Masalah keperawatan yang muncul
yaitu ketidakefektifan koping stres.
H. Kesimpulan
Dari kasus tersebut klien mengalami penyakit ginjal kronik karena dari
hasil tes mengatakan adanya kadar ureum yang tinggi dalam darah dan kadar
kreatinin yang tinggi dalam darah. Tanda dan gejala yang dialami klien juga
menunjukan bahwa klien mengalami penyakit ginjal kronik. Hasil pngukuran
CCT juga menunjukkan angka 10,15 % hal tersebut membuktikan bahwa
klien mangalami penyakit ginjal kronik stadium V.
Dari kasus tersebut memuncukan 5 diagnosa keperawatan yaitu
ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hambatan upaya napas,
kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan meaisme regulasi,
mual berhubungan dengan gangguan biokimia, gangguan integritas kulit
berhubungan dengan gangguan meabolime, ketidakefektifan koping stres
berhubungan dengan kurang percaya diri dalam kemampuan mengatasi
masalah.
Daftar Pustaka

Alatraste, P. V. M, dkk. (2014). Effect of probiotics on human blood urea


levels in patients with chronic renal failure. Nutrhosp, 29(3), 582-
590.

Aningrum, M. (2015). Studi kasus pada pasien “Tn. S” umur 51 tahun


yang mengalami masalah keperawatan kelebihan volume cairan
dengan diagnose medis gagal ginjal kronik (GGK) di Ruang Sedap
Malam RSUD Gambiran Kota Kediri. Diakses pada 14 Maret
2018, dari:
http://simki.unpkediri.ac.id/mahasiswa/file_artikel/2015/12.2.05.01
.0027.pdf

Brunner & Suddarth. (2001). Keperawatan medikal-bedah. Jakarta: EGC.

Bulechek, G. M., et al. (2013). Nursing interventions classification (NIC)


edisi keenam. USA: Elsevier.

Fauzi, A., & Putra, M. M. A. (2016). Nefrolitiasis. Majority, 5(2), 69-73.

FK Unhas. (2015). Panduan mahasiswa clinical skill lab sistem


gastroenterohepatologi. FK Unhas.

Graham, B., & Burns, T. (2005). Acne Vulgaris. Dalam: Graham, B.


Brown. Burns, ed. Lecture Notes Dermatologi. Jakarta: Erlangga.

Hartini, S. (2016). Gambaran karakteristik pasien gagal ginjal kronis yang


menjalani hemodialisa di RSUD Dr. Moewardi. Publikasi Ilmiah
JK FIK UMS.

Hutapea, E. L. (2013). Analisis praktik klinik keperawatan kesehatan


masyarakat perkotaan pada pasien chronic kidney disease di ruang
perawatan umum lantai 6 Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. Karya Ilmiah FIK UI.

IAUI. (2015). Panduan penatalaksanaan klinis pembesaran prostat jinak


(Benign Prostatic Hyperplasia/BPH). Jakarta: IAUI.

Ingrum, M. W. (2001). Profil cairan asites pada penderita gagl ginjal


terminal hemodialisis kronik. Tesis FK Undip.

Moorhead, S., et al. (2013). Nursing outcomes classification (NOC) edisi


kelima. USA: Elsevier.

NANDA. (2015). Diagnosis keperawatan definisi & klasifikasi 2015-2017


edisi kesepuluh. Jakarta: EGC.
Nurkamila & Hidayati, T. (2013). Gambaran darah rutin dan kualitas
hidup domain fisik penderita gagal ginjal kronik terminal. Mutiara
Medika, 13(2), 111-117.

Pranandari, R., & Supadmi, W. (2015). Faktor resiko gagal ginjal kronik
di unit hemodialisi RSUD Wates Kulonprogo. Majalah
Farmaseutik, 11(2), 316-320.
Putri, D. P. W. (2010). Evaluasi penggunaan obat tukak peptik pada pasien
tukak peptic (peptic ulcer disease) diinstalasi rawat inap RSUD Dr.
Moewardi Surakarta tahun 2008. Skripsi Fakultas Farmasi UMS.

Setyaningsih, F. E. T. (2014). Asuhan keperawatan pasien gagal ginjal


kronik dalam konteks kesehatan masyarakat perkotaan. Diakses
pada 14 Maret 2018, dari:
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=we
b&cd=1&ved=0ahUKEwjNs4XMjevZAhUKtJQKHbIlC6UQFggo
MAA&url=http%3A%2F%2Flib.ui.ac.id%2Ffile%3Ffile%3Ddigit
al%2F2016-5%2F20390971-PR-
Fanuva%2520Endang%2520Tri%2520Setyaningsih.pdf&usg=AO
vVaw2KHGa6RUProP-1f-lj-BdD

Syarif, H. (2017). Pengaruh terapi akupresur terhadap mual muntah akut


akibat kemoterapi pada pasien kanker; A randomized clinical trial.
Idea Nursing Journal, 2(2), 137-142.

Verdiansyah. (2016). Pemeriksaan fungsi ginjal. CDK-237, 43(2), 148-


154.

Yayasan Spiritia. (2007). Hasil tes lab normal. Diakses pada 12 Maret
2018, dari: http://spiritia.or.id/li/pdf/LI120.pdf

Anda mungkin juga menyukai