Anda di halaman 1dari 77

1

SKENARIO 3

Bengkak pada payudara

Seorang perempuan berusia 28 datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri


dan bengkak pada payudara kanan sejak 3 hari yang lalu. Pasien baru saja
melahirkan anak pertamanya 10 hari yang lalu. Keluhan juga disertai demam dan
sedikitnya ASI yang dikeluarkan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan suhu 38,20C,
tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi denyut nadi 90 x/menit, frekuensi
pernapasan 20 x/menit. Status lokalis mammae dekstra nampak oedem, hiperemis
dan tegang. Dokter kemudian memberikan terapi obat dan edukasi untuk pasien
tersebut.

STEP 1

1. Asi = (Air Susu Ibu) diproduksi oleh manusia untuk manusia

STEP 2

1. Bagaimana bisa mengeluhkan demam dan ASI sedikit, hiperemis, tegang,


bengkak, oedem, dan nyeri ?
2. Bagaimana perubahan fisiologis pada ibu nifas?
3. Apa saja faktor resiko dari gejala yang muncul?
4. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus?
5. Bagaimana tatalaksana dan edukasi untuk pasien serta obat yang aman
untuk ibu menyusui?

STEP 3

1. Ibu dapat mengeluhkan demam dan ASI sedikit, hiperemis, tegang,


bengkak, oedem, dan nyeri karena :
a. Bengkak dapat terjadi karena payudara penuh dengan ASI, dan
aliran vena tersumbat, sehingga menyebabkan pembengkakan
b. Demam dapat diakibatkan karena jarang menyusui
2

c. Infeksi dapat disebabkan karena ibu kurang menjaga higenitas


d. Nyeri dikarenakan oleh bengkak yang menekan reseptor nyeri serta
efek karena adanya trauma/inflamasi
e. Otot polos disekitar bengkak sehingga tidak mampu memompa ASI
keluar
2. Perubahan fisiologis pada ibu nifas antara lain :
a. Perubahan komposisi darah dan cairan
b. Penurunan berat badan
c. Lochia (air keluar setelah melahirkan) : rubra, alba, serosa, purulen
3. Faktor resiko dari gejala yang muncul adalah :
a. Cara menyusui yang salah
b. Higenitas yang buruk
c. Jarang menyusui
4. Penegakan diagnosis pada kasus :
a. Anamnesis : siklus mens, nyeri pada payudara, menyusui/belum,
sudah dapat pelatihan menyusui atau belum
b. PF : 4 posisi
c. PP : USG, darah rutin
5. Tatalaksana dan edukasi untuk pasien serta obat yang aman untuk ibu
menyusui :
a. Non. Farmako : kompre dengan air hangat, dan diberikan edukasi
b. Farmako : Amoksisilin 500mg

STEP 4

1. Ibu dapat mengeluhkan demam dan ASI sedikit, hiperemis, tegang,


bengkak, oedem, dan nyeri karena :
a. Bengkak
ASI penuh dipayudara dan berkembang menjadi bendungan
sehingga vena dan limfatikus juga ikut terbendung
3

b. ASI sedikit
i. ASI penuh dipayudara menyebabkan obstruksi sehingga
permebilitas meningkat. Epitel lobus dan cairan protein
masuk, peningkatan resiko bakteri masuk dan
menyebabkan respon imun sehingga terjadi inflamasi
ii. Hormon oksitosin dapat menyebabkan mastitis, penurunan
kadar hormon pksitosin menyebabkan efekasi keluar
menurun
iii. Peningkatan kadar prolaktin, dan bayi tidak mau
menghisap, prolaktin menumpuk sehingga ASI yang keluar
sedikit
c. Prolaktin
i. Selama kehamilan estrogen mendorong perkembangan
ekstensif duktus dan progesteron merangsang pertumbuhan
alveolus lobus
ii. Peningkatan konsentrasi prolaktin berperan dalam
perkembangan kelenjar mamaria dan mmenginduksi
sintesis enzimatis yang dibutuhkan untuk memproduksi
susu
2. Perubahan fisiologis pada ibu nifas antara lain :
a. Uterus diameternya kembali seperti semula (involusi)
i. Turun 2 jari dibawah umbilikus
ii. 5 hari ke pertengahan simpisis pubis
iii. Lebih dari 12 hari sampai ke fundus uteri
Minggu 1 = 500g
Minggu 2 = 300g
Minggu 3 = 60g
b. Lochia : peluruhan desidua dan menjadi lochia
i. 2 hari, lochia rubra kemudian menjadi serosa (pucat),
kemudian putih (alba)
ii. Volume darah embali keposisi sebelum darah
4

iii. Penurunan berat badan 6-5kg, karea bayi keluar dan darah
juga keluar
c. Lochia rubra : 1-5 hari warna merah
Lochia serosa : 5-9 hari berwana coklat
Lochia alba : lebih dari 9 hari warna kekuningan (leukosit +
keputihan)
3. Faktor resiko dari gejala yang muncul adalah :
a. Higenitas
b. Cara menyusui : cuci air mengalir, duduk jangan sambil tidur,
posisikan bayi dengan benar, mulut bayi dirangsang dengan puting
ibu
c. Mastitis : dapat terjadi karena puting ibu lecet, anaknya tidak mau
menyusu atau pengosongan ASI tidak sempurna
d. Jarang menyusui menyebabkan statis ASI dan menyebabkan
penekan duktus alveoli sehingga sel-sel myoepitel menimbulkan
respon tertekan
e. Trauma : post d`entry menyebabkan invasi pada duktus sinus
mamae dan menyebabkan respon inflamasi
f. Primipara
4. Penegakan diagnosis pada kasus :
a. Anamnesis :
i. Teraba benjolan : ukuran, nyyeri, inflamasi
ii. Primapara / multipara untuk meliht jarak dan cara
persalinan
iii. Perubahan yang ada pada pasien
b. PF : 4 posisi (perhatikan apakah ada : benjolan, peu d’orange,
inflamasi, keluar sekret)
c. PP :
i. USG
ii. Darah rutin : untuk melihat apakah ada infeksi atau tidak
dan adanya anemia atau tidak
5

iii. Kultur jika ada sekret

5. Tatalaksana dan edukasi untuk pasien serta obat yang aman untuk ibu
menyusui :
a. Non farmako :
i. Pakaian jangan terlalu ketat karena menyebabkan sesak dan
kelembapan yang tinggi
ii. Higenitas perlu ditingkatkan
b. Farmako :
i. Paracetamol 500mg 3x1 (kategori A)
ii. Amoksisilin 500mg 3x1 (kategori B)

MIND MAP

Cara menyusui Laktasi


Perubahan
fisiologis
Non farmako Nifas

Faktor
Resiko
Perubahan
Tatalaksana
patologis

Farmako diagnosis etiologi

PF PP Anamnesis

STEP 5

1. Menjelaskan proses perubahan yang terjadi saat nifas ( hormon, uterus,


dan organ reproduksi lainnya) dan masalahnya (komplikasi). Antara lain :
a. Subinvolusi uterus
b. Infeksi nifas
6

c. Mastitis
d. Engorgement
2. Patomekanisme dari komplikasi dihubungkan dengan etiologi, faktor
resiko, dan tatalaksana.

STEP 6

BELAJAR MANDIRI

STEP 7

1. Perubahan yang terjadi saat nifas.


Perubahan Fisiologi
a. Asal Mula Evolusi
Fisiologi hormon dalam masa nifas telah berevolusi selama
berjuta-juta tahun untuk meningkatkan reproduksi. Tingkat
kehidupan ibu dan janin sangat penting dalam keberlangsungan
reproduksi, tetapi penting pula untuk kehidupan jangka panjangnya
yaitu dengan suksesnya proses laktasi dan pendekatan bayi dengan
ibu setelah pasca melahirkan. Proses mediasi hormon ini
berlangsung secara terus-menerus setelah terjadinya partus atau
kelahiran. Gangguan fisiologi hormon perinatal akan
mempengaruhi bukan hanya terhadap proses kelahiran, tetapi juga
saat proses menyusui dan penempelan ibu dan bayi. Karena
manusia mengalami kesamaan proses reproduksi dengan mamalia
lainnya, maka penelitian terhadap hewan membantu menjelaskan
proses fisiologis hormonal, terlebih karena penelitian terhadap
manusia langsung itu sangat dibatasi.1
b. Mother-Baby Dyad
Fisiologi hormon sangat berelasi, terkoordinasi, dan
beregulasi antara ibu dan bayi untuk mendapatkan hasil yang
7

optimal bagi keduanya. Contohnya, kesiapan antara ibu dan janin


untuk proses kelahiran sangat berpengaruh dalam bermulanya
fisiologi dalam efektifitas perubahan dalam kelahiran. Sama pula
dengan kontak skin-to-skin setelah lahir meregulasi sistem
oksitosin ibu dan bayi. Dalam prinsip umum, efek dari fisiologi
hormon ibu mempengaruhi fisiologi hormon dari janin/bayi baru
lahir.1
c. Manfaat Jalur Fisiologis Hormonal
Dari masa kehamilan sampai melahirkan, menyusui, dan
penempelan ibu kepada bayi, proses hormonal dalam fisiologi
mengantisipasi dan mempersiapkan proses yang akan terjadi dan
kebutuhan biologis. Sebagai contoh, persiapan kelahiran
melibatkan jalur oksitosin untuk mendapatkan kelahiran yang baik
dan juga reseptor dari regulasi reseptor epinephirn-norepinephrin
mengoptimalkan adaptasi janin dalam kelahiran yang
mengakibatkan hipoksia.1
d. Endokrinologi Masa Nifas
Kelahiran bayi dan plasenta mengharuskan adanya
penyesuaian segera ataupun jangka panjang terhadap kehilangan
hormon-hormon kehamilan. Terhentinya tiba-tiba hormon-hormon
dari unit plasenta-janin pada persalinan memungkinkan kita
menentukan waktu paruh dari hormon-hormon tersebut dan juga
evaluasi dari sebagian fungsinya selama kehamilan. 1
Perubahan-perubahan Endokrin:

a. Steroid
Dengan ekspulsi plasenta, kadar steroid akan turun
mendadak dan waktu paruh dapat terukur beberapa menit atau jam.
Akibat produksi kontinu progesteron dalam kadar rendah oleh
korpus luteum, maka kadarnya dalam darah tidak segera mencapai
kadar basal pranatal, seperti halnya estradiol. Progesteron plasma
menurun mencapai kadar fase luteal dalam 24 jam setelah
8

persalinan, namun baru mencapai kadar folikular setelah beberapa


hari. Pengangkatan korpus luteum berakibat penurunan mencapai
kadar fase folikular dalam 24 jam. Estradiol mencapai kadar fase
folikular dalam 1-3 hari setelah persalinan.1
b. Hormon-hormon Hipofisis
Kelenjar hipofisis yang mengalami pembesaran selama
kehamilan terutama akibat peningkatan laktotrof, tidak akan
mengecil sampai selesai menyusui. Sekresi FSH dan LH terus
ditekan pada minggu-minggu pertama nifas, dan stimulus dengan
bolus GnRH menyebabkan pelepasan FSH dan LH subnormal.
Dalam minggu-minggu berikutnya, kepekaan terhadap GnRH
kembali pulih dan banyak wanita memperlihatkan kadar LH, dan
FSH serum fase folikular pada minggu ketiga atau keempat
postpartum.1
c. Prolaktin
Prolaktin (PRL) serum yang meningkat selama kehamilan
akan menurun pada saat persalinan dimulai dan kemudian
memperlihatkan pola sekresi yang bervariasi tergantung apakah ibu
menyusui atau tidak. Persalinan dikaitkan dengan suatu lonjakan
PRL yang diikuti suatu penurunan cepat kadar serum dalam 7-14
hari pada ibu-ibu yang tidak menyusui.1
Pada wanita yang tidak menyusui, kembalinya fungsi dan
ovulasi siklik normal dapat diharapkan sesegera timbul pada bulan
kedua postpartum, di mana ovulasi pertama rata-rata terjadi 9-10
minggu postpartum. Pada wanita menyusui, PRL biasanya,
menyebabkan anovulasi yang menetap. Lonjakan PRL dipercaya
bekerja pada hipotalamus untuk menekan sekresi GnRH.
Pemberian GnRH eksogen pada saat ini menginduksi respons
normal dari hipofisis, dan terkadang ovulasi dapat timbul spontan
bahkan pada masa laktasi. Waktu rata-rata terjadinya ovulasi pada
wanita yang menyusui sedikitnya 3 bulan adalah sekitar 17
9

minggu. Persentase wanita tak menyusui kembali mengalami


menstruasi rneningkat linear hingga minggu ke-12, pada saat ini
70% -nya sudah akan kembali mengalami menstruasi. Sangat
berbeda pada wanita menyusui, di mana peningkatan linear ini jauh
lebih landai dan 70% wanita menyusui baru akan kembali
mengalami menstruasi setelah sekitar 36 minggu.1
d. Laktasi
Lobulus-lobulus alveolar payudara berkembang selama
kehamilan. Periode mamogenesis memerlukan partisipasi terpadu
dari estrogen, progesteron, PRL, GH dan glukokortikoid. hPL
mungkin pula berperan tetapi tidak mutlak. Sekresi ASI pada masa
nifas telah dihubungkan dengan pembesaran lobulus lebih lanjut,
diikuti sintesis unsur-unsur ASI seperti laktosa dan kasein. Laktasi
memerlukan PRL, insulin dan steroid-steroid adrenal. Laktasi tidak
akan terjadi sampai kadar estrogen tak terkonjugasi jatuh di bawah
kadar tak hamil sekitar 36-48 jam postpartum. PRL sangat penting
untuk produksi ASI. Kerjanya melibatkan sintesis reseptor PRL
dalam jumlah besar; sintesis ini tampaknya berjalan di bawah
otoregulasi PRL karena PRL meningkatkan jumlah reseptor pada
biakan sel, dan karena bromokriptin (suatu penghambat PRL)
dapat menyebabkan penurunan kadar PRL maupun reseptornya.
Jika tidak ada PRL, sekresi ASI tidak terjadi; tetapi bahkan pada
trimester ketiga di mana kadar PRL tinggi; sekresi ASI juga tidak
terjadi sampai setelah persalinan karena terhambat oleh estrogen
dalam kadar tinggi.1
Sekresi ASI memerlukan rangsangan tambahan untuk
mengosongkan payudara. Suatu busur saraf perlu diaktifkan agar
sekresi ASI dapat kontinu. Ejeksi ASI terjadi sebagai respons
terhadap suatu lonjakan oksitosin yang merangsang suatu respons
kontraktil otot polos yang mengelilingi duktuli kelenjar. Pelepasan
10

oksitosin terkadang timbul dari rangsang yang bersifat visual,


psikologis, atau alamiah yang menyiapkan ibu untuk dihisap. 1

e. Organ Reproduksi
i. Vagina dan Ostium Vagina
Pada awal masa nifas, vagina dan ostiumnya
membentuk saluran yang berdinding halus dan lebar yang
ukurannya berkurang secara perlahan namun jarang
kembali ke ukuran semula saat nulipara. Rugae mulai
muncul kembali pada minggu ke tiga namun tidak
semenonjol sebelumnya. Hymen tinggal berupa potongan-
potongan kecil sisa jaringan, yang membentuk jaringan
parut disekitar carunculae myniformes. Epitel vagina mulai
berproliferasi pada minggu ke-4 sampai minggu ke-6,
biasanya bersammaan dengan dengan kembalinya produksi
estrogen ovarium.2
ii. Uterus
Pembuluh darah Terdapatnya peningkatan aliran
darah uterus massif yang penting untuk mempertahankan
kehamilan, dimungkinkan oleh adanya hipertrofi dan
remodeling signifikan yang telah terjadi pada pembuluh
darah pelvis. Setelah pelahiran, diameternya berkurang
kira-kira ke ukuran sebelum kehamilan. Pada uterus
puerperal, pembuluh darah yang membesar menjadi
tertutup oleh perubahan hialin, secara perlahan terabsorbsi
kembali, kemudian digantikan oleh yang lebih kecil. Akan
tetapi sedikit sisa-sisa dari pembuluh darah yang lebih besar
tersebut tetap bertahan selama beberapa tahun. 2
iii. Segmen serviks dan uterus bagian bawah
Selama persalinan, batas serviks bagian luar, yang
berhubungan dengan ostium externum, biasanya mengalami
11

laserasi, terutama dilateral. Pembukaan serviks berkontraksi


secara perlahan dan selama beberapa hari setelah persalinan
masih sebesar dua jari. Diakhir minggu pertama,
pembukaan ini menyempit, serviks menebal dan kanalis
endoservikal kembali terbentuk. Ostium externum tidak
dapat kembali sempurna ke keadaan sebelum hamil. Bagian
tersebut tetap lebar, dan secara khas, cekungan dikedua sisi
pada tempat laserasi menjadi permanen. Perubahan-
perubahan ini merupakan karakteristik serviks para.
Segmen uterus bagian bawah yang menipis secara nyata
mengalami kontraksi dan retraksi, namun tidak sekuat pada
corpus uteri. Selama beberapa minggu berikutnya, segmen
bawah yang sebelumnya secara jelas merupakan
substruktur tersendiri yang cukup besar untuk
mengakomodasi kepala bayi, berubah menjadi isthmus uteri
yang hamper tidak terlihat yang terletak diantara corpus dan
ostium internum. 2
a) Involusi Uterus

Segera setelah pengeluaran plasenta, fundus


uteri yang berkontraksi tersebut terletak sedikit di
bawah umbilicus. Bagian tersebut sebagian besar
terdiri dari myometrium yang ditutupi oleh serosa dan
dilapisi oleh desidua basalis. Dinding posterior dan
anterior, dalam jarak yang terdekat, masing-masing
tebalnya 4 sampai 5 cm. segera setelah
pascapartum,berat uterus menjadi kira-kira 1.000 g.
karena pembuluh darah ditekan oleh myometrium
yang berkontraksi, maka uterus pada bagian tersebut
tampak iskemik dibandingkan dengan uterus hamil
yang hiperemis berwarna ungu-kemerahan. 2
12

Selama nifas, tour de force destruksi dan


dekontruksi yang sungguh luar biasa dimulai. Dua
hari setelah pelahiran, uterus mulai berinvolusi, dan
pada minggu pertama, beratnya sekitar 500 g. pada
minggu ke dua, beratnya sekitar 300 g dan telah turun
dan masuk ke pelvis sejati. Sekitar 4 minggu setelah
pelahiran, uterus kembali ke ukuran sebelum hamil
yaitu 100 g atau kurang. 2

b) Lokia

Pada awal masa nifas, peluruhan jaringan


desidua menyebabkan timbulnya duh vagina dalam
jumlah yang beragam. Duh tersebut dinamakan lokia
dan terdiri atas eritrosit, potongan jaringan desidua,
sel epitel, dan bakteri. Pada beberapa hari pertama
setelah pelahiran, duh tersebut berwarna merah karena
adanya darah dalam jumlah cukup banyak-lokia
rubra. Setelah 3 atau 4 hari, lokia menjadi semakin
pucat- lokia serosa. Setelah kira-kira pada hari ke-10,
karena campuran leukosit dan penurunan kandungan
cairan, lokia berwarna putih atau putih kekuningan-
lokia alba. Lokia bertahan selama 4 sampai 8 minggu
setelah pelahiran. 2

c) Saluran kemih

Trauma kandung kemih sangat berhubungan


erat dengan lamanya persalinan pada tahap tertentu
merupakan akibat normal dari pelahiran pervaginal.
Pascapartum, kandung kemih mengalami peningkatan
kapasitas dan relative tidak sensitive terhadap tekanan
intravesika. Jadi, overdistensi, pengosongan yang
13

tidak sempurna, dan residu urin yang berlebihan biasa


terjadi. 2

d) Peritoneum dan Abdomen

Ligamentum rotundum dan latum memerlukan


waktu yang cukup lama untuk pulih dari peregangan
dan pelonggaran yang terjadi selama kehamilan.
Sebagai akibat dari rupture serat elastic pada kulitdan
distensi lama Karena uterus hamil, maka dinding
abdomen tetap lunak dan flaksid. Beberapa minggu
dibutuhkan oleh struktur-struktur tersebut untuk
kembali menjadi normal. 2

e) Payudara dan Laktasi

Setelah pelahiran, payudara mulai menyekresi


kolostrum, suatu cairan yang berwarna kuning lemon
tua. Cairan ini biasanya keluar dari papilla mammae
pada hari kedua pascapartum. Dibandingkan dengan
air susu biasa kolostrum mengandung lebih banyak
mineral dan asam amino. Kolostrum juga
mengandung lebih banyak protein, sebagian besarnya
adalah globulin, namun sedikit gula dan lemak.
Sekresi berlanjut selama kira-kira 5 hari, dengan
berubah menjadi air susu matang selama 4 minggu
berikutnya. Kolostrum mengandung antibody, dan
immunoglobulin A (IgA) yang dikandungnya
memberikan perlindungan bagi neonatus terhadap
pathogen enteric. Factor pertahanan tubuh lainnya
yang ditemukan di kolostrum dan susu mencangkup
14

komplemen, makrofag, limfosit, laktoferin,


laktoperoksidase, dan lisozim. 2

Air susu ibu (ASI) merupakan suspensi lemak


dan protein dalam larutan karbohidrat mineral. Air
susu bersifat isotonic terhadap plasma, dan setengah
dari nilai osmotic ditimbulkan oleh laktosa. Asam
amino esensial diambil dari darah dan asam amino
non esensial sebagian berasal dari darah atau
disintesis di kelenjar mamae. Sebagian besar protein
susu bersifat unik dan mencangkup α-laktalbumin, β-
laktoglobalin, dan kasein. 2

2. Komplikasi :
A. Subinvolusi uterus
Sesudah persaiinan uterus yang beratnya 1.000 gram akan
mengecil sampai menjadi 40 - 60 gram dalam 6 minggu. Proses ini
dinamakan involusi uterus, yang didahului oleh kontraksi uterus
yang kuat, yang menyebabkan berkurangnya peredaran darah
dalam organ tersebut. Kontraksi itu dalam masa nifas beriangsung
terus walaupun tidak sekuat pada permulaan. Hal tersebut serta
hilangnya pengaruh estrogen dan progesteron menyebabkan
autolisis dengan akibat sel-sel otot pada dinding uterus menjadi
lebih kecil dan lebih pendek.3
Pada sub-invoiusi proses mengecilnya uterus terganggu.
Faktor-faktor penyebab antara lain tertinggalnya sisa plasenta di
dalam rongga uterus, endometritis, adanya mioma uteri, dan
sebagainya. Pada peristiwa ini lokhia benambah banyak dan tidak
jarang terdapat pula perdarahan. 3
15

Pada pemeriksaan bimanual ditemukan utems lebih besar


dan lebih lembek daripada yang seharusnya sesuai dengan masa
nifas. 3
Terapi subinvolusi ialah pemberian ergometrin per-os atau
sunrikan intramuskular" Pada subinvolusi karena tertinggalnya sisa
plasenta, perlu dilakukan kerokan rongga rahim (kuretase). 3

B. Mastitis
Mastitis merupakan masalah yang sering dijumpai pada ibu
menyusui. Diperkirakan sekitar 3-20% ibu menyusui dapat
mengalami mastitis. Terdapat dua hal penting yang mendasari kita
memperhatikan kasus ini. Pertama, karena mastitis biasanya
menurunkan produksi ASI dan menjadi alasan ibu untuk berhenti
menyusui. Kedua, karena mastitis berpotensi meningkatkan
transmisi vertikal pada beberapa penyakit (terutama AIDS). 4
Sebagian besar mastitis terjadi dalam 6 minggu pertama
setelah bayi lahir (paling sering pada minggu ke-2 dan ke-3),
meskipun mastitis dapat terjadi sepanjang masa menyusui bahkan
pada wanita yang sementara tidak menyusui. 4
Definisi dan Diagnosis
Mastitis merupakan suatu proses peradangan pada satu atau
lebih segmen payudara yang mungkin disertai infeksi atau tanpa
infeksi. Dalam proses ini dikenal pula istilah stasis ASI, mastitis
tanpa infeksi, dan mastitis terinfeksi. Apabila ASI menetap di
bagian tertentu payudara, karena saluran tersumbat atau karena
payudara bengkak, maka ini disebut stasis ASI. Bila ASI tidak juga
dikeluarkan, akan terjadi peradangan jaringan payudara yang
disebut mastitis tanpa infeksi, dan bila telah terinfeksi bakteri
disebut mastitis terinfeksi. Diagnosis mastitis ditegakkan
berdasarkan kumpulan gejala sebagai berikut: 4
 Demam dengan suhu lebih dari 38,5oC
16

 Menggigil
 Nyeri atau ngilu seluruh tubuh
 Payudara menjadi kemerahan, tegang, panas,
bengkak, dan terasa sangat nyeri.
 Peningkatan kadar natrium dalam ASI yang
membuat bayi menolak menyusu karena ASI terasa
asin
 Timbul garis-garis merah ke arah ketiak.
Patofisiologi
Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di
dalam duktus (saluran ASI) akibat stasis ASI. Bila ASI tidak
segera dikeluarkan maka terjadi tegangan alveoli yang berlebihan
dan mengakibatkan sel epitel yang memproduksi ASI menjadi
datar dan tertekan, sehingga permeabilitas jaringan ikat meningkat.
Beberapa komponen (terutama protein kekebalan tubuh dan
natrium) dari plasma masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke
jaringan sekitar sel sehingga memicu respons imun. Stasis ASI,
adanya respons inflamasi, dan kerusakan jaringan memudahkan
terjadinya infeksi. 4
Terdapat beberapa cara masuknya kuman yaitu melalui
duktus laktiferus ke lobus sekresi, melalui puting yang retak ke
kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau melalui penyebaran
hematogen (pembuluh darah). Organisme yang paling sering
adalah Staphylococcus aureus, Escherecia coli dan Streptococcus.
Kadangkadang ditemukan pula mastitis tuberkulosis yang
menyebabkan bayi dapat menderita tuberkulosa tonsil. Pada daerah
endemis tuberkulosa kejadian mastitis tuberkulosis mencapai 1%.
Faktor risiko terjadinya mastitis antara lain : 4
 Terdapat riwayat mastitis pada anak sebelumnya.
 Puting lecet.
17

Puting lecet menyebabkan timbulnya rasa nyeri


yang membuat kebanyakan ibu menghindari
pengosongan payudara secara sempurna.
 Frekuensi menyusui yang jarang atau waktu
menyusui yang pendek. Biasanya mulai terjadi pada
malam hari saat ibu tidak memberikan bayinya
minum sepanjang malam atau pada ibu yang
menyusui dengan tergesa-gesa.
 Pengosongan payudara yang tidak sempurna
 Pelekatan bayi pada payudara yang kurang baik.
Bayi yang hanya mengisap puting (tidak termasuk
areola) menyebabkan puting terhimpit diantara gusi
atau bibir sehingga aliran ASI tidak sempurna.
 Ibu atau bayi sakit.
 Frenulum pendek.
 Produksi ASI yang terlalu banyak.
 Berhenti menyusu secara cepat/ mendadak,
misalnya saat bepergian.
 Penekanan payudara misalnya oleh bra yang terlalu
ketat atau sabuk pengaman pada mobil.
 Sumbatan pada saluran atau muara saluran oleh
gumpalan ASI, jamur,serpihan kulit, dan lain-lain.
 Penggunaan krim pada puting.
 Ibu stres atau kelelahan.
 Ibu malnutrisi. Hal ini berhubungan dengan daya
tahan tubuh yang rendah.
Pencegahan
Pencegahan terhadap kejadian mastitis dapat dilakukan
dengan memperhatikan faktor risiko di atas. Bila payudara penuh
dan bengkak (engorgement), bayi biasanya menjadi sulit melekat
18

dengan baik, karena permukaan payudara menjadi sangat tegang.


Ibu dibantu untuk mengeluarkan sebagian ASI setiap 3 - 4 jam
dengan cara memerah dengan tangan atau pompa ASI yang
direkomendasikan. Sebelum memerah ASI pijatan di leher dan
punggung dapat merangsang pengeluaran hormon oksitosin yang
menyebabkan ASI mengalir dan rasa nyeri berkurang. Teknik
memerah dengan tangan yang benar perlu diperlihatkan dan
diajarkan kepada ibu agar perahan tersebut efektif. ASI hasil
perahan dapat diminumkan ke bayi dengan menggunakan cangkir
atau sendok. Pembengkakan payudara ini perlu segera ditangani
untuk mencegah terjadinya feedback inhibitor of lactin (FIL) yang
menghambat penyaluran ASI. 4
Pengosongan yang tidak sempurna atau tertekannya duktus
akibat pakaian yang ketat dapat menyebabkan ASI terbendung. Ibu
dianjurkan untuk segera memeriksa payudaranya bila teraba
benjolan, terasa nyeri dan kemerahan. Selain itu ibu juga perlu
beristirahat, meningkatkan frekuensi menyusui terutama pada sisi
payudara yang bermasalah serta melakukan pijatan dan kompres
hangat di daerah benjolan. 4
Pada kasus puting lecet, bayi yang tidak tenang saat
menetek, dan ibu-ibu yang merasa ASInya kurang, perlu dibantu
untuk mengatasi masalahnya. Pada peradangan puting dapat
diterapi dengan suatu bahan penyembuh luka seperti atau lanolin,
yang segera meresap ke jaringan sebelum bayi menyusu. Pada
tahap awal pengobatan dapat dilakukan dengan mengoleskan ASI
akhir (hind milk) setelah menyusui pada puting dan areola dan
dibiarkan mengering. Tidak ada bukti dari literatur yang
mendukung penggunaan bahan topikal lainnya. 4
Kelelahan sering menjadi pencetus terjadinya mastitis.
Seorang tenaga kesehatan harus selalu menganjurkan ibu menyusui
cukup beristirahat dan juga mengingatkan anggota keluarga
19

lainnya bahwa seorang ibu menyusui membutuhkan lebih banyak


bantuan.
Ibu harus senantiasa memperhatikan kebersihan tangannya
karena Staphylococcus aureus adalah kuman komensal yang paling
banyak terdapat di rumah sakit maupun masyarakat. Penting sekali
untuk tenaga kesehatan rumah sakit, ibu yang baru pertama kali
menyusui dan keluarganya untuk mengetahui teknik mencuci
tangan yang baik. Alat pompa ASI juga biasanya menjadi sumber
kontaminasi sehingga perlu dicuci dengan sabun dan air panas
setelah digunakan. 4

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lain untuk
menunjang diagnosis tidak selalu diperlukan. World Health
Organization (WHO) menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji
sensitivitas pada beberapa keadaan yaitu bila: 4
 pengobatan dengan antibiotik tidak memperlihatkan
respons yang baik dalam 2 hari
 terjadi mastitis berulang
 mastitis terjadi di rumah sakit
 penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus
yang berat.

Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari


perahan tangan yang langsung ditampung menggunakan
penampung urin steril. Puting harus dibersihkan terlebih dulu dan
bibir penampung diusahakan tidak menyentuh puting untuk
mengurangi kontaminasi dari kuman yang terdapat di kulit yang
dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur. Beberapa
penelitian memperlihatkan beratnya gejala yang muncul
20

berhubungan erat dengan tingginya jumlah bakteri atau patogenitas


bakteri. 4

C. Breast engorgement
Pengertian pembengkakan payudara
Pembengkakan payudara adalah pembendungan air susu
karena penyempitan duktus lakteferi atau oleh kelenjar-kelenjar
yang tidak dikosongkan dengan sempurna atau karena kelainan
pada puting susu. 2
Pembengkakan payudara diartikan peningkatan aliran vena
dan limfe pada payudara dalam rangka mempersiapkan diri untuk
laktasi. Hal ini bukan disebabkan overdistensi dari saluran laktasi
sehingga menyebabkan bendungan ASI dan rasa nyeri disertai
kenaikan suhu badan. 2
Wanita yang tidak menyusui dapat mengalami
pembengkakan payudara, perembesan ASI dan nyeri payudara,
yang memuncak pada hari ke-3 sampai ke-5 setelah melahirkan.
Setengahnya memerlukan analgesia untuk meredakan nyeri
payudara tersebut. Sepuluh persen wanita melaporkan nyeri berat
sampai 14 hari. 2
Payudara harus didukung oleh bra yang sesuai. Agen
farmakologis atau hormonal tidak direkomendasikan untuk
menekan laktasi. Di samping itu aplikasi es dan analgesic oral
untuk 12-24 jam dapat digunakan untuk meredakan nyeri. 2

Patofisiologi pembengkakan payudara

Sesudah bayi lahir dan plasenta keluar, kadar estrogen dan


progesteron turun dalam 2-3 hari. Dengan ini faktor dari
hipotalamus yang menghalangi keluarnya pituitary lactogenic
hormone (prolaktin) waktu hamil, dan sangat dipengaruhi oleh
estrogen, tidak dikeluarkan lagi, dan terjadi sekresi prolaktin oleh
hipofisis. Hormon ini menyebabkan alveolus-alveolus kelenjar
21

payudara terisi dengan air susu, tetapi untuk mengeluarkannya


dibutuhkan refleks yang menyebabkan kontraksi sel-sel
mioepitelial yang mengelilingi alveolus dan duktus kecil kelenjar-
kelenjar tersebut. Refleks ini timbul jika bayi menyusu. Pada
permulaan nifas apabila bayi belum menyusu dengan baik, atau
kemudian apabila kelenjar-kelenjar tidak dikosongkan dengan
sempurna, maka dapat terjadi pembendungan air susu. 3

Sejak hari ketiga sampai keenam setelah persalinan, ketika


ASI secara normal dihasilkan, payudara menjadi sangat penuh. Hal
ini bersifat fisiologis, dan dengan penghisapan yang efektif dan
pengeluaran ASI oleh bayi, rasa tersebut pulih dengan cepat.
Namun dapat berkembang menjadi bendungan, payudara terasa
penuh dengan ASI dan cairan jaringan. Aliran vena dan limfatik
tersumbat, aliran susu menjadi terhambat dan tekanan pada saluran
ASI dan alveoli meningkat. Payudara menjadi bengkak dan
edematous. 3

Secara fisiologis sesudah bayi lahir dan plasenta keluar,


kadar estrogen dan progesteron turun dalam 2 - 3 hari. Dengan ini
faktor dari hipotalamus yang menghalangi keluarnya pituitary
lactogenic bormone (prolaktin) saat hamil dan sangat dipengaruhi
oleh estrogen tidak diproduksi lagi, sehingga terjadilah sekresi
prolaktin oleh hipofisis anrerior. Hormon ini mengaktifkan sel-sel
kelenjar payudara untuk memproduksi air susu sehingga alveoli
kelenjar paludara terisi dengan air susu. Adanya isapan puting
payudara oleh bayi akan merangsang pengeluaran oksitosin dari
kelenjar hipofisis posterior. Oksitosin mempengaruhi sel-sel mio-
epitelial yang mengelilingi alveoli paludara sehingga berkontraksi
dan mengeluarkan air susu. Proses ini disebur refleks let-down.
Bendungan air susu dapat terjadi pada hari ke-2 atau ke-3 ketika
payudara telah memproduksi air susu. Bendungan disebabkan oleh
22

pengeluaran air susu yang tidak iancar, karena bayi tidak cukup
sering men)'usu, produksi meningkat, terlambat menyusukan,
hubungan dengan bayi (bonding) kurang baik, dan dapat pula
karena adanya pembatasan waktu menysui. 3

Etiologi pembengkakan payudara

Selama 24 hingga 48 jam pertama sesudah terlihatnya


sekresi lakteal, payudara sering mengalami distensi menjadi keras
dan berbenjol-benjol. Keadaan ini menggambarkan aliran darah
vena normal yang berlebihan dan pengembungan limfatik dalam
payudara, yang merupakan prekusor reguler untuk terjadinya
laktasi. Keadaan ini bukan merupakan overdistensi sistem lakteal
oleh air susu. 3

Payudara yang terbendung terjadi karena hambatan aliran


darah vena atau saluran getah bening akibat ASI terkumpul pada
payudara. Kejadian ini timbul karena produksi ASI yang
berlebihan, bayi disusui terjadwal, bayi tidak menyusu dengan
adekuat, posisi menyusui yang salah, atau karena puting susu yang
datar/terbenam. Hal ini bisa juga terjadi karena terlambat menyusui
dini, perlekatan yang kurang baik, atau mungkin kurang seringnya
ASI dikeluarkan. Penyebab terjadinya pembengkakan payudara: 3

 Posisi menyusui yang tidak benar


 Pengosongan payudara yang tidak baik
 Pemakaian bra yang terlalu ketat
 Tekanan jari ibu pada waktu menyusui
 Kurangnya pengetahuan cara perawatan payudara
dan cara pencegahan pembengkakan payudara
(bendungan ASI).

Tanda dan gejala pembengkakan payudara


23

Pada payudara penuh dengan ASI, terasa berat, panas, dan


keras. Bila diperiksa ASI keluar, dan tidak demam. Pada payudara
bengkak, payudara oedem dan sakit, puting kencang, kulit
mengkilat walau tidak merah, dan bila diperiksa atau dihisap ASI
tidak keluar. Badan bisa demam setelah 24 jam. Tanda dan gejala
pembengkakan payudara adalah: 3

 Payudara terasa panas


 Payudara terasa nyeri
 Payudara bengkak
 Suhu badan tidak naik
 Gejala bendungan air susu adalah terjadinya
pembengkakan payudara bilateral dan secara palpasi
teraba keras, kadang terasa nyeri serta seringkali
disertai peningkatan suhu badan ibu, tetapi tidak
terdapat tanda-tanda kemerahan dan demam. Ibu
dianjurkan untuk terus memberikan air susunya.
Bila payudara terlalu tegang atau bayi tidak dapat
men)'usu, sebaiknya air susu dikeluarkan dulu unruk
menurunkan ketegangan. 3

Komplikasi
Tindakan untuk meringankan gejala pembengkakan
payudara sangat dibutuhkan. Apabila tidak ada intervensi yang
baik maka akan menimbulkan : 3
 Infeksi akut kelenjar susu
 Mastitis
 Abses payudara sampai dengan septicemia.
Pencegahan
Untuk mencegah pembengkakan payudara maka diperlukan
menyusui dini, perlekatan yang baik, menyusui “on demand” bayi
lebih sering disusui, apabila payudara terasa tegang, atau bayi tidak
24

dapat menyusui maka sebaiknya ASI dikeluarkan terlebih dahulu


sebelum menyusui, agar ketegangan menurun. 3
Sedangkan pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak
terjadi pembengkakan payudara adalah: 3
 Bila memungkinkan, susui bayi segera setelah lahir.
 Susui bayi tanpa dijadwal.
 Keluarkan ASI secara manual atau dengan pompa,
bila produksi ASI melebihi kebutuhan bayi.
 Lakukan perawatan payudara masa nifas secara
teratur.

Penatalaksanaan
Farmakologi
Terapi farmakologis yang digunakan adalah obat anti
inflamasi serrapeptase (danzen) yang merupakan agen enzim anti
inflamasi 10 mg tiga kali sehari atau Bromelain 2500 unit dan
tablet yang mengandum enzim protease 20.000 unit. Terapi
pembengkakan payudara diberikan secara simtomatis yaitu
mengurangi rasa sakitnya (analgetik) seperti paracetamol atau
ibuprofen. 3

Non Farmako
Penggunaan terapi non farmakologis untuk mengurangi
rasa sakit dari pembengkakan payudara adalah sebagai berikut
akupuntur, (perawatan payudara tradisional) yaitu kompres panas
dikombinasikan dengan pijatan, kompres panas dan dingin secara
bergantian, kompres dingin, daun kubis dan terapi ultrasound. 3
Menurut Bahiyatun, penatalaksanaan pembengkakan
payudara adalah sebagai berikut: 3
25

 Masase payudara dan ASI diperas dengan tangan sebelum


menyusui.
 Kompres dingin untuk mengurangi statis pembuluh darah
vena dan rasa nyeri. Dapat dilakukan secara bergantian
dengan kompres hangat untuk melancarkan pembuluh
darah pada payudara.
 Menyusui lebih sering dan lebih lama untuk melancarkan
aliran ASI dan menurunkan tegangan payudara.
Penanganan pembengkakan payudara adalah: 3
 Kompres payudara dengan air hangat, lalu masase ke arah
puting payudara agar terasa lebih lemas dan ASI dapat
dikeluarkan melalui puting.
 Susukan bayi tanpa terjadwal sampai payudara terasa
kosong
 Urutlah payudara mulai dari tengah, lalu kedua telapak
tangan ke samping, ke bawah, dengan sedikit ditekan ke
atas dan lepaskan tiba-tiba.
 Keluarkan ASI sedikit dengan tangan agar puting susu
menonjol keluar.
 Susukan bayi lebih sering.
 Ibu harus rileks.
 Pijat leher dan punggung belakang (sejajar dengan
payudara).
 Stimulasi payudara dan puting.
 Kompres payudara dengan air dingin setelah menyusui,
untuk mengurangi oedem.
 Pakailah bra yang sesuai.
 Bila terlalu sakit dapat diberikan obat analgetik.
Pemberian analgetika, dianjurkan menyusui segera dan lebih
sering, kompres hangat, air susu dikeluarkan dengan pompa dan
26

dilakukan pemijatan (masase) serta perawatan payudara. Kalau


perlu diberi supresi laktasi untuk sementara (2 - 3 hari) agar
bendungan terkurangi dan memungkinkan air susu dikeluarkan
dengan pijatan. Keadaan ini pada umumnya akan menurun dalam
beberapa hari dan bayi dapat menyusu dengan normal. 3

Gambar 1: Pembengkakan Payudara. 5

D. Abses payudara
Definisi
Abses mammae adalah akumulasi nanah pada jaringan
payudara. Hal ini biasanya disebabkan oleh infeksi pada payudara.
Cedera dan infeksi pada payudara dapat menghasilkan gejala yang
sama dengan di bagian tubuh lainnya, kecuali pada payudara,
infeksi cenderung memusat dan menghasilkan abses kecil. Hal ini
dapat menyerupai kista. Abses payudara berbeda dengan mastitis.
Abses payudara terjadi apabila mastitis tidak tertangani dengan
baik, sehingga memperberat infeksi. 3
27

Tanda dan Gejala


 Nyeri pada payudara, kemerahan, pembengkakan dan
sensasi rasa panas pada area yang terkena
 Demam dan kedinginan
 Rasa sakit secara keseluruhan
 Bengkak dengan getah bening di bawah ketiak

Gejala awal mastitis adalah demam yang disertai menggigil,


mialgia, nyeri, dan takikardia. Pada pemeriksaan paJudara
membengkak, mengeras, lebih hangat, kemerahan dengan batas
tegas, dan disertai rasa sangat nyeri. Mastitis biasanya terjadi
unilateral dan dapat terjadi 3 bulan pertama meneteki, tetapi jarang
dapat terjadi selama ibu meneteki. Kejadian mastitis berkisar 2 - 33
% ibu meneteki dan lebih kurang 10 % kasus mastitis akan
berkembang menjadi abses (bernanah), dengan gejala yang makin
berat. 3
Etiologi
Infeksi pada payudara biasanya disebabkan oleh bakteri
yang umum ditemukan pada kulit normal (Staphylococcus aureus).
Infeksi terjadi khususnya pada saat ibu menyusui, bakteri masuk ke
tubuh melalui kulit yang rusak, biasanya pada puting susu yang
rusak pada masa awal menyusui. 2
Area yang terinfeksi akan terisi dengan nanah. Infeksi pada
payudara tidak berhubungan dengan menyusui harus dibedakan
dengan kanker payudara. Pada kasus yang langka, wanita muda
sampau usia pertengahan yang tidak menyusui mengalami
subareolar abscesses (terjadi di bawah areola, area gelap sekitar
puting susu). Kondisi ini sebenarnya terjadi pada perokok. 2
Faktor Resiko
28

Infeksi setelah melahirkan, kelelahan, anemia, diabetes


mellitus, penggunaan obat steroid, rendahnya sistem imun, perokok
berat, penanaman silicon. 2
Patofisiologi
Abses payudara merupakan komplikasi yang terjadi akibat
peradangan payudara kronik. Peradangan payudara atau yang
disebut mastitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, perembesan
sekresi melalui fisura di putting. Bakteri yang sering menyebabkan
terjadinya mastitis ini adalah Staphylococcus aureus. Mastitis
sering terjadi pada pascapartum selama awal laktasi jika organisme
berhasil masuk dan mencapai jaringan payudara melalui fisura
pada putting. Gejala dan tanda yang sering ditimbulkan oleh abses
payudara adalah tanda-tanda inflamasi pada payudara (merah,
panas jika disentuh, membengkak, dan nyeri tekan), keluar
nanah/pus dari putting, teraba massa, gejala sistemik berupa
demam tinggi, mengigil, malaise dan timbul limfadenopati
pectoralis, axillar, parasternalis, dan subclavia. Adapun patogenesis
dari abses payudara adalah luka/lesi pada organisme masuk
(organisme ini biasanya dari mulut bayi) putting produksi susu
normal terjadi penyumbatan duktus peradanga terbentuk abses. 2
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil
pemeriksaan fisik, jika tidak sedang menyusui, bisa dilakukan
mammografi atau biopsi payudara. 2
Diagnosis abses ditegakkan dengan adanya tanda fluktuasi
dan nyeri pada palpasi disertai eritema di sekitarnya. Pemeriksaan
ultrasonografi dapat juga digunakan untuk mendeteksi adanya
abses.2
Penatalaksanaan
Non Farmako2
29

 Jika terjadi abses, biasanya dilakukan penyayatan dan


pembuangan nanah, serta dianjurkan untuk berhenti
menyusui.
 Bila terjadi abses payudara dapat dilakukan insisi/sayatan
untuk mengeluarkan nanah dan dilanjutkan dengan drainase
dengan pipa/handschoen. drain agar nanah dapat
keluarterus. Sayatan sebaiknya dibuat sejajar dengan duktus
laktiferus untuk mencegah kerusakan pada jalannya duktus
tersebut.
 Untuk pencegahan dianjurkan perawatan payudara yang
baik dan membersihkan sisa air susu yang ada di kulit
payudara.
Farmako2
Diberikan antibiotik, untuk mengurangi nyeri bisa
diberikan obat pereda nyeri (misalnya acetaminophen atau ibu
profen). Kedua obat tersebut aman untuk ibu menyusui dan
bayinya.

E. Infeksi salurah kemih saat nifas


Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri yang
terjadi pada saluran kemih. Kejadian infeksi saluran kemih pada
masa nifas relatif tinggi dan hal ini dihubungkan dengan hipotoni
kandung kemih akibat trauma kandung kemih waktu persalinan,
pemeriksaan dalam yang sering, kontaminasi kuman dari
perineum, atau kateterisasi yang sering. 6
Etiologi 6
Dalam setiap tahun, 15% perempuan mengalami ISK. Ada
beberapa  penyebab infeksi saluran kencing pada masa nifas,
yaitu :
 Bakteri Escherecia coli
30

Merupakan penyebab yang sering ditemukan pada


kasus ISK. Bakteri ini dapat berasal dari flora usus yang
keluar sewaktu buang air besar, dan jika bakteri
berkembang biak akan menjalar ke saluran kencing dan
naik ke kandung kemih dan ginjal,ini lah yang
menyebabkan ISK.
 Trauma kandung kemih waktu persalinan. Pada masa nifas
dini, sensivitas kandung kemih terhadap tegangan air kemih
didalam vesika sering menurun akibat trauma persalinan
atau analgesia epidural atau spinal. 
 Pemeriksaan dalam yang sering
 Kontaminasi kuman dari perineum
 Kateterisasi yang sering
 Persalinan lama  
 Ruptur membran
 Episiotomi. Sensasi peregangan kandung kemih juga
mungkin berkurang akibat rasa tidak nyaman yang
ditimbulkan oleh episiotomi yang lebar, laserasi  periuretra,
atau hematoma dinding vagina.
 Sectio Cessaria Setelah melahirkan, terutama saat infus
oksitosin dihentikan, terjadi diuresis yang disertai
peningkatan produksi urin dan distensi kandung kemih.
Over distensi yang disertai katerisasi untuk mengeluarkan
air kemih sering menyebabkan infeksi saluran kemih.
Distensi kandung kemih mengurangi aliran darah ke lapisan
mukosa dan submukosa sehingga jaringan menjadi lebih
rentan terhadap bakteri. Urin yang tersisa dikandung kemih
menjadi lebih basa sehingga kandung kemih merupakan
tempat ideal bagi pertumbuhan organisme.
31

 Kateterisasi urin yang dilakukan secara rutin sebelum


pelaksanaan seksio sesaria berhubungan dengan 80% dari
kejadian infeksi saluran kemih.
Faktor resiko
Pada perempuan hamil dengan bakteriuria asimptomatik
ternyata 30% dapat menjadi simptomatik dengan gejala klinis
berupa sistitis atau pielonefritis akut pada saat sebelum atau sesaat
sesudah partus. Faktor predisposisi lainnya  bagi infeksi saluran
kemih pada masa nifas adalah keteterisasi dan kontaminasi sewaktu
partus atau seksio sesarea yang menyebabkan 5 - 9% terjadi
bakteriuria simptomatik pada masa nifas dan 2 - 36% diikuti
dengan gejala-gejala infeksi saluran kemih. 6
Tindakan-tindakan medis serta keadaan yang menyebabkan
kontaminasi  bakteri di regio genital dan sekitarnya terutama di
uretra pada seorang perempuan akan lebih sering dilakukan pada
saat pertolongan persalinan. Tes nitrit urin adalah tes yang dapat
digunakan untuk mengetahui ada tidaknya bakteriuria. Tes ini
berdasarkan bukti bahwa sebagian besar bakteri penyebab infeksi
saluran kemih dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit. 6
Faktor resiko lain yang dapat menyebabkan infeksi saluran
kemih : 6
 Trauma kandung kemih waktu persalinan
 Kontaminasi kuman dari perineum
 Kateterisasi yang sering dan teknik katerisasi kurang benar.
Kateter menjadi rute masuknya organisme, dapat
menyebabkan iritasi lokal pada uretra atau kandung kemih.
 Nutrisi yang buruk
 Persalinan lama
 Episiotomi
32

 Higiene perinium yang buruk (cuci tangan kurang benar,


kebiasaan mengelap  perinium dari arah belakang ke depan)
Patofisiologi
Ada 3 cara terjadinya ISK,yaitu : 7
 Penyebaran melalui aliran darah yang berasal dari usus
halus atau organ lain ke  bagian saluran kemih.
 Penyebaran melalui saluran getah bening yang berasal dari
usus besar ke kandung kencing atau ginjal.
 Terjadi migrasi kuman secara asenden (dari bawah ke atas)
melalui uretra, ke kandung kencing (buli-buli) dan ureter ke
ginjal.

Panjang uretra perempuan sekitar 3 - 4 cm, dengandiameter


lubangnya sekitar 6 mm, tetapi lubang ini dapat dilebarkan dengan
menggunakan kateter urin. Dalam masa kehamilan uretra dapat
mengalami perpanjangan dan baru akan kembali normal 8 - 12
minggu setelah melahirkan. Penelitian menunjukkan bahwa
terbanyak bakteri masuk ke dalam saluran kemih melalui uretra.
Hal ini disebabkan karena uretra yang pendek dan mempunyai
muara yang terbuka, dekat sekali letaknya dengan tempat-tempat
yang banyak mengandung bakteri yaitu vagina dan anus. 7
Diketahui bahwa anus mengandung kuman-kuman saluran
cerna, terbanyak adalah  Escherichia coli di samping kuman-kuman
lain, begitu juga dengan vagina. Kuman yang ada di introitus
vagina sesuai dengan yang ada di sekitar anus, hal ini juga sesuai
dengan penyebab terbanyak infeksi saluran kemih yaitu
Escherichia coli, yaitu sekitar 85 – 90 %. Regio genital dan
sekitarnya merupakan area dengan risiko tinggi kejadian infeksi,
atau merupakan tempat sumber infeksi, terutama infeksi saluran
kemih. 7
33

Di samping itu dua pertiga distal bagian uretra merupakan


tempat reservoir bakteri yang pada keadaan normal adalah
nonpatogen. Dalam keadaan tertentu, di mana adanya tindakan-
tindakan medis, serta keadaan yang meningkatkan kontaminasi
bakteri di daerah ini, dapat meningkatkan bakteri-bakteri tersebut
naik dan masuk ke dalam saluran kemih bagian atas (secara
ascendens), sehingga kejadian infeksi saluran kemih akan
meningkat. 7

Gejala dan tanda

Gejala / tanda ISK sebagai berikut: demam (> 38 ° C), urgensi,


frekuensi, disuria, nyeri suprapubik, atau nyeri sudut
costovertebral. Gejala infeksi mungkin melibatkan saluran kemih
bawah dan menyebabkan sistitis, atau mungkin melibatkan kaliks
ginjal, pelvis dan parenkim dan menyebabkan  pielonefritis. Selain
itu, risiko tertular bakteriuria diperkirakan sebesar 8,1% per hari
selama kateter masih terpasang. 6

Infeksi saluran kemih sering di tandai dengan gejala berikut : 6

 Nyeri dibawah perut


 Susah kencing atau keluar hanya sedikit
 Sering berkemih dan tak dapat ditahan
 Retensi urin
 Demam
 Menggigil
 Perasaan mual dan muntah
 Lemah
 Nyeri pinggang
34

Pada masa nifas sering ditemukan adanya laktosuria yang


merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Sistitis
akut biasanya muncul pada hari ke 2 dan 3 postpartum, hal ini
mungkin disebabkan oleh retensi urin dan  perkembang biakan
bakteri di dalam uretra dan buli-buli yang mengalami trauma
persalinan. 6
Trauma persalinan pada dasar buli-buli sering menyebabkan
timbulnya gangguan fungsi buli-buli karena kerusakan neurogenik,
yang mengakibatkan fungsi refleks berkemih buli-buli tidak
adekuat lagi. Konsekuensinya, buli-buli menjadi overdistended ,
dan refluks urin vesikoureteral merupakan cikal bakal untuk
terjadinya infeksi bakteri secara ascendens. Oleh karena itu, pada
keadaan trauma uretra dan buli-buli selama partus, dipasang kateter
Foley dan dibiarkan selama 24 jam postpartum, untuk mengurangi
obstruksi karena edema dan hiperemia serta mencegah terjadinya
retensi urin.6

Penegakan diagnosis
Pemeriksaan Urin Empat Porsi Pemeriksaan ini dilakukan untuk
penderita prostatitis. Pemeriksaan ini terdiri dari urin
empat porsi yaitu : 6
 Porsi pertama (VB1): 10 ml pertama urin, menunjukkan
kondisi uretra
 Porsi kedua (VB2): sama dengan urin porsi tengah,
menunjukkan kondisi bulibuli,
 Porsi ketiga (EPS): sekret yang didapatkan setelah masase
prostat,
 Porsi keempat (VB4): urin setelah masase prostat.
35

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan urinalisis dilakukan untuk menentukan dua
parameter penting ISK yaitu leukosit dan bakteri. Pemeriksaan
rutin lainnya seperti deskripsi warna, berat jenis dan pH,
konsentrasi glukosa, protein, keton, darah dan bilirubin tetap
dilakukan. 6
Pemeriksaan Dipstik
Pemeriksaan dengan dipstik merupakan salah satu alternatif
pemeriksaan leukosit dan bakteri di urin dengan cepat. Untuk
mengetahui leukosituri, dipstik akan bereaksi dengan
leucocyte esterase (suatu enzim yang terdapat dalam granul primer
netrofil). Sedangkan untuk mengetahui bakteri, dipstik akan
bereaksi dengan nitrit (yang merupakan hasil perubahan nitrat oleh
enzym nitrate reductase pada bakteri). Penentuan nitrit sering
memberikan hasilegatif palsu karena tidak semua bakteri patogen
memiliki kemampuan mengubah nitrat atau kadar nitrat dalam urin
menurun akibat obat diuretik. Kedua pemeriksaan ini memiliki
angka sensitivitas 60-80% dan spesifisitas 70 – 98 %. Sedangkan
nilai positive predictive value kurang dari 80 % dan negative
predictive value mencapai 95%. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak
lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik
urin dan kultur urin. Pemeriksaan dipstik digunakan pada kasus
skrining follow up. Apabila kedua hasil menunjukkan hasil negatif,
maka urin tidak perlu dilakukan kultur. 6

Pemeriksaan Mikroskopik Urin


Meski konsep ini memperkenalkan mikrobiologi kuantitatif ke
dalam diagnosa penyakit infeksi masih cukup penting, baru-baru
ini tampak jelas bahwa tidak ada hitungan bakteri yang pasti dalam
mengindikasikan adanya bakteriuria yang bisa diterapkan pada
36

semua jenis ISK dan dalam semua situasi. Berikut interpretasi urin
yang secara klinis termasuk relevan: 6
 ≥103 cfu/mL uropatogen dalam sebuah urin sampel
tengahdalam acute unkomplikata cystitis pada wanita
 ≥104 cfu/mL uropathogen dalam sebuah MSU dalam acute
unkomplikata pyelonephritis pada wanita
 ≥105 cfu/mL uropathogen dalam sebuah MSU pada wanita,
atau ≥104 cfu/mL uropatogen dalam sebuah MSU pada
pria, atau pada straight catheter urine pada wanita, dalam
sebuah komplikata ISK. spesimen pungsi aspirasi
suprapubic, hitungan bakteri berapapun dikatakan
bermakna.

Bakteriuria asimptomatik didiagnosis jika dua kultur dari


strain bakteri yang sama, diambil dalam rentang waktu ≥ 24 jam ,
menunjukkan bakteriuria ≥105 cfu/mL uropatogen. 6
Penatalaksanaan
Prinsip manajemen ISK meliputi intake cairan yang banyak,
antibiotika yang adekuat dan jika perlu terapi simsptomatik untuk
alkanisasi urin : 6
a) Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48
jam dengan antibiotika tunggal seperti : ampisilin 3 gram,
trimetropim 200 mg
b) Bila insfeksi menetap disertai kelainan urinalisis
(leukosuria) diperlukan terapi konvensional selama 5-10
hari.
Reinfeksi berulang 6
a) Disertai dengan faktor predisposisi, terapi antimikroba yang
intensif diikuti koreksi faktor resiko
b) Tanpa faktor predisposisi
 Asupan cairan yang banyak
37

 Cuci setelah melakukan senggama diikuti terapi


antimikroba takaran tunggal (misalnya trimetoprim
200 mg)
c) Terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan.

F. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa
yang melapisirongga abdomen dan menutupi visera abdomen)
merupakan penyulit berbahayayang dapat terjadi dalam bentuk
akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadiakibat
penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna,
atau dariluka tembus abdomen. Organisme yang sering
menginfeksi adalah organismeyang hidup dalam kolon (pada kasus
ruptura appendik) yang mencakup Eschericia coli atau Bacteroides.
Sedangkan stafilokokus dan streptokokus seringkali masuk dari
luar. 6
Etiologi
Peritonitis bakterial diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder 6
1) Peritonitis primer 6
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal
yanglangsungdari rongga peritoneum.Banyak terjadi pada
penderita :
 Sirosis hepatis dengan asites
 Nefrosis
 SLE
 Bronkopnemonia dan tbc paru
 Pyelonefritis
2) Peritonitis sekunder 6
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau
perforasi tractus gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada
umumnya organisme tunggal tidakakan menyebabkan
38

peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel


organismedapat memperberat terjadinya infeksi ini.
Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat
memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. Disebabkan oleh infeksi akut dari organ
intraperitoneal seperti:
 Iritasi Kimiawi : Perforasi gaster, pankreas,
kandung empedu, hepar,lien, kehamilan extra tuba
yang pecah
 Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus,
appendix, kista ovarii pecah,ruptur buli dan ginjal.
 Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari
luar masuk ke dalamcavum peritoneal.
3) Peritonitis Tersier : Peritonitis yang mendapat terapi tidak
adekuat, super infeksi kuman, dan akibat tindakan operasi
sebelumnya.
Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah
keluarnya eksudatfibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses)
terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,yang menempel menjadi
satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasiinfeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi
dapatmenetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat
mengakibatkan obstuksi usus. Peradangan menimbulkan akumulasi
cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika
defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator,
sepertimisalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan
selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
39

oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi


awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu
terjadi hipovolemia. 7
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding
abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas
pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi.
Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen
usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada,serta muntah. Terjebaknya cairan di
cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadisulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang
menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan
perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan
mengakibatkan obstruksi usus. 7
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat
menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan)
maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk
mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu
obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah
dandapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi
disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang
akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi
40

perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga


abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis. 7
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan
peritonium yang mulaidi epigastrium dan meluas keseluruh
peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan
duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut.Penderita
yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti
ditikam diperut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di
daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam
lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar
keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada
awalperforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut
fase peritonitiskimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan
rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang
merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteria. 7
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh
penyumbatan lumenapendiks oleh hiperplasi folikel limfoid,
fekalit, benda asing, striktur karenafibrosis dan neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak,
namunelastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkanpeningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis
bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren
dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya
mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general. 7
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan
trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai
41

dengan sepsis bila mengenaiorgan yang berongga intra peritonial.


Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ
berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai
dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling
cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas,
misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera
sesudah trauma dan akan terjadigejala peritonitis hebat sedangkan
bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala
karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang
biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritonium. 7
Jenis Peritonitis 7
 Peritonitis Aseptik. Terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus
peritonitis di Inggris, dan biasanyasekunder dari perforasi
ulkus gaster atau duodenal. Peritonitis steril dapat
berkembang menjadi bakterial peritonitis dalam beberapa
jam mengikuti transmigrasi dari mikroorganisme
(contohnya dari usus)
 Peritonitis bilier Relatif jarang dari peritonitis steril dan
dapat disebabkan dari :
 iatrogenic (ligasi duktus sistikus saat
cholesistektomi)
 kolesistitis akut
 trauma
 idiopatik
Bentuk lain dari peritonitis steril, ada 4 penyebab : 7
 Cairan pankreas Misalnya dari pankreatitis akut, trauma.
Pankreatitis bisa disebabkan karenproses diagnostik
laparotomi pada pasien yang tidak mengalami
peningkatanserum amilase.
42

 Darah. Misalnya ruptur kista ovarium, aneurisma aorta


yang pecah.
 Urine Misalnya intraperitoneal ruptur dari kandung kemih.
 Meconium Adalah campuran steril dari sel epitel, mucin,
garam,, lemak, dan bilierdimana dibentuk saat fetus mulai
menelan cairan amnion. Peritonitismekonium berkembang
lambat di kehidupan intra uteri atau di periodeperinatal saat
mekonium memasuki rongga peritoneum melalui perforasi
intestinal.
 Peritonitis TB9
Biasanya terjadi pada imigran atau pasien dengan
imunokompromise. Menyebar ke peritoneum melalui:
 secara langsung melalui limfatik nodul, regio
ileocaecal atau pyosalping TB.
 Melalui darah (blood-borne) infeksi dari TB paru.
Kejadiannya dapat secara akut (seperti peritonitis
pada umumnya), dan kronik(onsetnya lebih spesifik,
dengan nyeri perut, demam, penurunan berat
badan,keringat malam, massa abdomen).
Makroskopik, ada 4 bentuk dari penyakit ini :
ascitic, encysted, plastic, atau purulent. Terapinya
berdasarkan terapi anti-TB, digabungkan dengan
laparotomi (apabila di indikasikan) untuk
komplikasi intra-abdominal.
 Peritonitis Klamidia Fitz Hugh Curtis sindroma dapat
menyebabkan inflamasi pelvis dandigambarkan oleh nyeri
hipokondrium kanan, pireksia, dan hepatic rub.
 Obat-obatan dan benda asing. Pada pemakaian isoniazid,
practolol, dan kemoterapi intraperitoneal dapat
menyebabkan peritonitis akut. Bedak dan starch dapat
menstimulus perkembangan benda asing granulomata
43

apabila benda-benda itu bertemu pada rongga peritoneum


(contohnya sarung tangan bedah).
Manifestasi Klinis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan
memberikan tanda –tanda rangsangan peritonium. Rangsangan
peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak
hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma.
Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan
sementara usus Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan
penderita akan naik danterjadi takikardia, hipotensi dan penderita
tampak letargik dan syok. 6
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan
yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium.
Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti
jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri
jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes
lain.
Penegakan Diagnosis
Pemeriksaan Fisik6
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum,
wajah, denyut nadi,pernapasan, suhu badan, dan sikap baring
pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan
tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga
perlu diperhatikan. Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan
peritonitis, keadaan umumnya tidak baik. Demam dengan
temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat
akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena
dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler
yang disebabkankarena mual damuntah, demam, kehilangan cairan
yang banyak dari ronggaabdomen. Dengan adanya dehidrasi yang
berlangsung secara progresif, pasienbisa menjadi semakin
44

hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan


dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok
sepsis. 6
Inspeksi :Pemeriksa mengamati adakah jaringan parut
bekas operasi menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut
membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus yang
disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan
ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended. 6
Palpasi : Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus
somatik dan viseral yang sangat sensitif. Bagian anterir dari
peritoneum parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi harus
selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak
dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara
bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan
defans muskular (rigidity)menunjukkan adanya proses inflamasi
yang mengenai peritoneum parietale (nyerisomatik). Defans yang
murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan
ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat.Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara
refleks untuk melindungibagian yang meradang dan menghindari
gerakan atau tekanan setempat. 6
Perkusi : Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada
peritoneum, adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat
ditentukan dengan perkusi melaluipemeriksaan pekak hati dan
shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis,pekak hepar akan
menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya
udara bebas tadi. Pada pasien dengan keluhan nyeri perut
umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok dubur dan
pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan diagnosis. Nyeri
yang difus pada lipatan peritoneum di kavum doglasi kurang
45

memberikan informasi pada peritonitis murni; nyeri pada satu sisi


menunjukkan adanya kelainan di daeah panggul, seperti
apendisitis, abses, atau adneksitis. Nyeri pada semua arah
menunjukkan general peritonitis. Colok dubur dapat pula
membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus, karena
pada paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan
pada obstruksi usus ampula biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina
menambah informasi untuk kemungkinan kelainan pada alat
kelamin dalam perempuan. 6
Auskultasi : Dilakukan untuk menilai apakah terjadi
penurunan suara bising usus. Pasien dengan peritonitis umum,
bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini
disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan
usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada
peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal. 6
Pemeriksaan Laboratorium6
 Darah Lengkap, biasanya ditemukan leukositosis,
hematocrit yang meningkat
 BGA, menunjukan asidosis metabolic, dimana terdapat
kadar karbondioksida yang disebabkan oleh hiperventilasi.
 Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung
banyak protein(lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak
limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi
peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan
didapat.

Gambaran Radiologis6
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang
untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan
46

abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3


posisi, yaitu :
 Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan
proyeksianteroposterior ( AP ).
 Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau
memungkinkan, dengan sinarhorizontal proyeksi AP.
 Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD),
dengan sinar horizontal,proyeksi AP.
Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu : terlihat kekaburan
pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang,
dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.

Gambar 2 : foto BNO pada peritonitis6


Penatalaksanaan
Konservatif Prinsip umum pengobatan adalah
mengistirahatkan saluran cerna dengan : 6
 Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik
atau intestinal
 Pengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan
secara intravena
47

 Pemberian antibiotik yang sesuai


 Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang
lainnya.
Pemberian oksigen Adalah vital untuk semua pasien dengan
syok. Hipoksia dapat dimonitor olehpulse oximetri atau BGA.
Resusitasi cairan biasanya dengan kristaloid, volumenya
berdasarkan derajat syok dan dehidrasi. Penggantian elektrolit
(biasanya potassium) biasanya dibutuhkan. Pasien harus
dikateterisasi untuk memonitor output urine tiap jam. Monitoring
tekanan vena sentral dan penggunaan inotropik sebaiknya
digunakan pada pasien dengan sepsis atau pasien dengan
komorbid. Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan
elektrolit bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan
menurunkan caran ke dalam ruang vaskuler. Analgetik Digunakan
analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.
Antibiotik Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan
anaerob, diberikan intravena. Cefalosporin generasi III dan
metronidazole adalah strategi primer. Bagi pasien yang
mendapatkan peritonitis di RS (misalnya oleh karena
kebocorananastomose) atau yang sedang mendapatkan perawatan
intensif, dianjurkan terapilini kedua diberikan meropenem atau
kombinasi dari piperacillin dan tazobactam.Terapi antifungal juga
harus dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan terpapar
spesies Candida. 6
Terapi Definitif 6
Pembedahan
1) Laparotomi Biasanya dilakukan insisi upper atau lower
midline tergantung dari lokasi yang dikira. Tujuannya
untuk:
 menghilangkan kausa peritonitis
48

 mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ


yang mengalami inflamasi atau ischemic (atau
penutupan viscus yang mengalami perforasi).
 Peritoneal lavage Mengkontrol sumber primer dari
sepsis adalah sangat penting. Re-laparotomi
mempunyai peran yang penting pada penanganan
pasien denganperitonitis sekunder, dimana setelah
laparotomi primer ber-efek memburukatau timbul
sepsis. Re-operasi dapat dilakukan sesuai
kebutuhan.
Pemeriksaan ditunjang dengan CT
scan.Perlu diingat bahwa tidak semua pasien sepsis
dilakukan laparotomi, tetapi juga memerlukan
ventilasi mekanikal, antimikrobial, dan support
organ.Mengatasi masalah dan kontrol pada sepsis
saat operasi adalah sangat pentingkarena sebagian
besar operasi berakibat meningkatkan morbiditas
dan mortalitas
2) Laparoskopi Teori bahwa resiko keganasan pada
hiperkapnea dan syok septik dalam absorbsi karbondioksida
dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami
inflamasi, belum dapat dibuktikan. Tetapi, laparoskopi
efektif pada penanganan appendicitis akut dan perforasi
ulkus duodenum. Laparoskopi dapat digunakanpada kasus
perforasi kolon, tetapi angka konversi ke laparotomi lebih
besar. Syokdan ileus adalah kontraindikasi pada
laparoskopi.
3) Drain
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir,
tetapi cepat melekat padadinding sehingga seringkali gagal
untuk menjangkau rongga peritoneum. Ada banyak
49

kejadian yang memungkinkan penggunaan drain sebagai


profilaksis setelah laparotomi.
G. Servisitis
Definisi 6
Servisitis / Endoservisitis adalah inflamasi mukosa dan
kelenjar serviks yang dapat terjadi ketika organism mencapai akses
ke kelenjar servikal setelah berhubungan seksual, aborsi,
manipulasi intrauterine, atau persalinan.
Jenis Jenis Servisitis 6
a) Servisitis spesifik
Servisitis spesifik merupakan radang pada serviks yang di
sebabkan oleh kuman yang tergolong penyakit akibat
hubungan seksual, beberapa kuman pathogen tersebut
antara lain, Chlamydia trachomatis, Ureaplasma
urealytikum, Trichomonas vaginalis, Spesies Candida,
Neisseria gonorrhoeae, herpes simpleks II (genitalis), dan
salah satu tipe HPV, di antara pathogen tersebut Clamydia
trachomatis adalah yang tersering dan merupakan penyebab
pada hamper 40% kasus servisitis yang di temukan di klinik
menular seksual sehingga jauh lebih sering dari pada
gonorrhea. Infeksi servik oleh Herpes perlu di perhatikan
karena organism ini dapat di tularkan pada bayi saat
persalinan melalui jalan lahir yang kadang-kadang
menyebabkan infeksi Herpes sistematik serius yang
mungkin fatal.
b) Servisitis non-spesifik
Servisitis non-spesifik relative lebih banyak di jumpai
karena kuman yang ringan sering di temukan sampai derajat
tertentu pada hampir setiap multipara. Walaupun juga
sering di ketahui bersamaan dengan beberapa organism
termasuk bentuk koli (coli-form), bakteroides, streptokokus,
50

dan stafilokokus, namun pathogenesis radang tersebut


masih belum di ketahui dengan jelas. Beberapa pengaruh
predisposisi servisitis non-spesifik antara lain : trauma pada
waktu melahirkan, pemakaian alat pada prosedur
ginekologi, hiperestrinisme, hipoestrinisme, sekresi
berlebihan kelenjar endoserfiks, alkalinisasi mucus serviks,
eversi congenital mukosa endoserviks. Servisitis non-
spesifik dapat bersifat akut.
Etiologi 6
Servisitis sering disebabkan oleh infeksi melalui aktivitas
seksual, infeksi menular seksual yang dapat menyebabkan
servisitis anatara lain :
a) Clamydia trachomatis Merupakan penyebab penyakit
menular seksual yang paling sering, terutama pada usia
muda dan remaja. Pada tahun 2000 di Amerika, di laporkan
sebanyak 702.093 penderita terinfeksi clamydia.10)
Clamydia trachomatis termasuk pathogen spesifik yang
telah menggantikan gonokokus sebagai penyebab utama
radang serviko-vaginal.
b) N. Gonorrhea lebih popular di masyarakat dengan sebutan
kencing nanah atau GO, yang di sebabkan oleh kuman
Neisseria gonorrhea. Kuman ini menyerang pada selaput
lender antara lain vagina, saluran kencing, dan daerah
serviks.
c) Herpes simpleks II (genitalis) biasanya menginfeksi daerah
di bawah pinggang. Gejala awal yang muncul di dahului
dengan hilangnya rasa raba, di ikuti dengan pembentukan
vesikel yang terdapat pada vulva, vagina, dan serviks.
d) Human Papiloma Virus (HPV-kutil) merupakan infeksi
yang terjadi karena hubungan seksual, dengan pemeriksaan
DNA hibridasinya hanya 30 % yang menunjukkan
51

manifestasi klinik, sedangkan 70 % bersifat menahun tanpa


gejala klinik. Predisposisi infeksi virus ini antara lain :
diabetes mellitus, kehamilan dan perlukaan khususnya pada
serviks. Gejalanya dapat bervariasi, dari kutil kecil sampai
sangat besar dan dengan tempat yang bervariasi pula, yaitu
vulva, vagina, perineum dan sekitar anus serta pada serviks.
HPV ini juga dpat menginfeksi serviks.
e) Trichomoniasis merupakan penyebab kasus servisitis yang
lebih sering di temukan di banding gonorrhea di klinik
penyakit menular seksual.
Beberapa kasus servisitis di sebabkan oleh :
1) Penggunaan kondom wanita Kondom wanita merupakan
alat kontrasepsi yang terbentuk seperti balon atau kantong
yang terbuat dari lateks tipis atau polyurethane / nitril dan di
pasang dengan memasukannya kedalam vagina. Tujuan
pemakaian kondom wanita tidak terlepas dari dua hal yaitu
mencegah sperma masuk ke vagina dan melindungi dari
penyakit menular seksual, selain manfaat tersebut alat
kontrasepsi ini memiliki efek samping yaitu menyebabkan
iritasi vagina, sehingga memudahkan terjadinya infeksi.
2) Penyangga uterus (pessarium) Penyangga uterus
(pessarium) adalah alat yang di gunakan untuk terapi pada
kasus prolapsus uteri. Prinsip pemakaian penyangga uterus
(pessarium) ialah dengan mengadakan tekanan pada dinding
vagina bagian atas, sehingga bagian dari vagi 18 tersebut
beserta uterus tidak dapat turun dan melewati vagina bagian
bawah. Penyangga uterus (pessarium) dapat dipakai selama
beberapa tahun, asal saja penderita diawasi secara teratur.
Penyangga uterus (pessarium) dibersihkan dan
disucihamakan, kemudian dipasang kembali. Periksa ulang
sebaiknya dilakukan 2-3 bulan sekali, vagina diperiksa
52

dengan speculum untuk mengetahui dan mencegah


perlukaan akibat pemakaian pessarium.
3) Alergi spermatisid pada kondom pria Spermatisid adalah
alat kontrasepsi berupa zat pembunuh sperma sebelum
sperma masuk kedalam uterus dan membuahi sel telur,
spermatisid biasanya digunakan oleh wanita, namun paling
sering dikombinasikan dengan metode lain misalnya cup
atau kondom pria. Beberapa wanita biasanya timbul efek
samping berupa alergi pada pemakaian spermatisid, alergi
ini dalam bentuk iritasi atau bias berkembang menjadi
infeksi saluran kencing. Perpaduan spermatisid dan pelumas
yang sering digunakan dengan kondom dapat memicu
beberapa alergi intim, gejalanya termasuk reaksi 19 local,
yaitu gatal, rasa sakit, bengkak, dan rasa terbakar.
4) Paparan terhadap bahan kimia Ekosistem vagina adalah
lingkaran kehidupan yang da di vagina, ekosistem ini di
pengaruhi oleh dua factor utama yaitu estrogen dan
laktobasilus, jika keseimbangan ini terganggu, bakteri
laktobasilus akan mati dan bakteri pathogen akan tumbuh
sehingga tubuh akan rentan terhadap infeksi. Banyak factor
yang menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem vagina
antara lain : kontrasepsi oral, diabetes mellitus, pemakaian
antibiotic, darah haid, cairan sperma, pembersihan dan
pencucian vagina (vaginal douching), dan gangguan
hormone yaitu pada masa pubertas, menapouse, dan
kehamilan. Servisitis sering terjadi dan mengenai hampir
50% wanita dewasa dengan faktor resiko : perilaku seksual
bebas resiko tinggi, riwayat IMS, memiliki pasangan
seksual lebih dari satu, aktivitas seksual pada usia dini, serta
pasangan seksual dengan kemungkinan menderita IMS.
Patofisiologi 6
53

Peradangan terjadi pada serviks akibat kuman patogen aerob


dan anaerob, peradangan ini terjadi karena luka bekas persalinan
yang tidak di rawat serta infeksi karena hubungan seksual. Proses
peradangan melibatkan epitel serviks dan stoma yang
mendasarinya. Inflamasi serviks ini bisa menjadi akut atau kronik.
Masuknya infeksi dapat terjadi melalui perlukaan yang menjadi
pintu masuk saluran genetalia, yng terjadi pada waktu persalinan
atau tindakan medis yang menimbulkan perlukaan, atau terjadi
karena hubungan seksual. Selama perkembanganya, epitel silindris
penghasil mucus di endoserviks bertemu dengan epitel gepeng
yang melapisi ektoserviks os eksternal, oleh karena itu keseluruhan
serviks yang terpajan dilapisi oleh epitel gepeng. Epitel silindris
tidak tampak dengan mata telanjang atau secara koloposkopis.
Seiring dengan waktu, pada sebagian besar wanita terjadi
pertumbuhan ke bawah, epitel silindris mengalami ektropion,
sehingga tautan skuamokolumnar menjadi terletak dibawah
eksoserviks dan mungkin epitel yang terpajan ini mengalami
“Erosi” meskipun pada kenyataannya hal ini bias terjadi secara
normal pada wanita dewasa. Remodeling ini bisa terus berlanjut
dengan regenerasi epitel gepeng dan silindirs sehingga membentuk
zona transformasi. Pertumbuhan berlebihan epitel gepeng sering
menyumbat orifisium kelenjar endoserviks di zona transformasi
dan menyebabkan terbentuknya kista nabothian kecil yang dilapisi
epitel silindirs penghasil mucus. Di zona transformasi mungkin
terjadi infiltrasi akibat peradangan banal ringan yang mungkin
terjadi akibat perubahan pH vagina atau adanya mikroflora vagina.
Penegakan Diagnosis
Manifestasi Klinis6
a) Keluarnya bercak darah/ perdarahan, perdarahan
pascakoitus.
b) Leukorea (keputihan)
54

c) Sakit pinggang bagian sacral.


d) Nyeri abdomen bawah.
e) Gatal pada area kemaluan.
f) Sering terjadi pada usia muda dan seseorang yang aktif
dalam berhubungan seksual.
g) Gangguan perkemihan (disuria) dan gangguan menstruasi.
h) Pada servisitis kronik biasanya akan terjadi erosi, suatu
keadaan yang ditandai oleh hilangnya lapisan superficial
epitel skuamosa dan pertumbuhan berlebihan jaringan
endoserviks.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dengan speculum 6
 Pada pemeriksaan inspekulo kadang-kadang dapat dilihat
keputihan yang purulen keluar dari kanalis servikalis. Kalau
portio normal tidak ada ektropion, maka harus diingat
kemungkinan gonorroe.
 Sering menimbulkan erusio (Erythroplaki) pada portio yang
tampak seperti daerah merah menyala.
 Pada servisitis kronik kadang dapat dilihat bintik putih
dalam daerah selaput lender yang merah karena infeksi.
Bintik-bintik ini disebabkan oleh ovulonobothi dan akibat
retensi kelenjar-kelenjar serviks karena saluran keluarga
tertutup oleh pengisutan dari luka serviks atau kerena
peradangan.
Pemeriksaan Penunjang6
 Sediaan hapus untuk biakan dan tes kepekaan.
 Pap smear
 Biakan clamydia
 Biopsy
Penatalaksanaan6
55

Pemberian antibiotik terutama bila ditemukan gonococcus


dalam secret. jika servisitis tidak segera sembuh dilakukan
tindakan opertif dengan melakukan konisasi. servisitis kronik
pengobatanya lebih baik dilakukan dengan jalan kauterisasi-radial
dengan termokauter atau dengan krioterpi.

H. Endometritis
Definisi 6
Endomteritis adalah suatu peradangan yang terjadi pada
endometrium. Terdapat berbagai tipe endometritis, 
yaitu endometritis post partum, endometritis sinsitia (akibat tumor
jinak disertai sel sinsitial dan trofoblas yang banyak), serta
endometritis tuberkulosa (peradangan pada dinding rahim
endometrium dan tuba fallopi yang biasanya akibat
Mycobacterium tuberculosis).
Etiologi 6
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri patogen meliputi Chlamidiya
trachomatis, Neisseria gonorrhoeae , Streptococcus agalactiae,
cytomegalovirus.

Patofisiologi 6
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri patogen yang naik dari
serviks ke endometrium.Uterus merupakan organ yang steril
sedangkan di vagina terdapat banyak mikroorganisme oportunistik.
Mikroskop dari vagina ini dapat secara ascendens masuk ke uterus
terutama pada saat hubungan seksual atau melahirkan. Bila jumlah
mikroorganisme terlalu banyak dan kondisi uterus mengalami
gangguan maka dapat terjadi endometritis.
Organisme yang menyebabkan vaginosis bacterial dapat juga
menyebabkan endometritis histologik meskipun pada perempuan
tanpa keluhan.Endometritis merupakan komponen penting penyakit
56

radang panggul (PID) dan mungkin menjadi tahapan antara dalam


penyebaran infeksi ke tuba fallopi.
Dari perspektif patologis, endometritis dapat diklasifikasikan
sebagai akut dan kronis.Endometritis akut ditandai dengan adanya
neutrofil dalam kelenjar endometrium. Endometritis kronis ditandai
dengan kehadiran sel plasma dan limfosit dalam stroma
endometrium.Dalam populasi nonobstetric, PID dan prosedur
ginekologi invasive adalah perkursor-prekursor yang paling umum
untuk endometritis akut. Dalam populasi obstetric, infeksi setelah
bersalin adalah yang paling umum.
Endometritis kronis dalam populasi obstetric biasanya
berhubungan dengan produk-produk yang tetap dari konsepsi
setelah persalinan atau elektif aborsi. Dalam populasi non obstetric,
endometritis kronis sering terlihat adanya infeksi (misalnya
klamidia, tuberculosis, bakteri vaginosis) dan adanya alat
intrauterine.

GejalaKlinis

Gejala klinis yang biasanya ditemukan seperti demam, sakit


perut bagian bawah, lochia berbau busuk, perdarahan abnormal
vagina, dyspareunia, dysuria, dan malaise. 6

 Endometritis kronik
Banyak perempuan dengan endometritis kronik
tidak mempunyai keluhan. Keluhan klasik endometritis
kronik adalah perdarahan vaginal intermenstrual.Dapat juga
terjadi perdarahan pasca senggama dan menoragia.
Perempuan lain mungkin mengeluh nyeri tumpul pada
perut bagian bawah terus-menerus. Endometritis menjadi
penyebab infertilitas yang jarang.
 Endometritis akut
57

Jika endometritis terjadi bersama PID akut maka


biasa terjadi nyeri tekan uterus. Sulit untuk menentukan
apakah radang tuba atau endometrium yang menyebabkan
rasa tidak enak pada panggul.
Diagnosis 6
Diagnosis endometritis kronik ditegakkan dengan biopsy
dan biakan endometrium.Gambaran histologik klasik endometritis
kronik berupa reaksi radang monosit dan sel-sel plasma di dalam
stroma endometrium (lima sel plasma per lapang pandang kuat).
Tidak ada korelasi antara adanya sejumlah kecil sel lekosit
polimorfonuklear dengan endometritis kronik. Pola infiltrat radang
limfosit dan sel-sel plasma yang tersebar di seluruh stroma
endometrium terdapat pada kasus endometritis berat. Kadang-
kadang bahkan terjadi nekrosis stroma.
Terapi
Terapi pilihan untuk endometritis adalah doksisiklin 100
mg per oral 2x sehari selama 10 hari. Dapat pula dipertimbangkan
cakupan yang lebih luas untuk organisme anaerobik terutama kalau
ada vaginosis bacterial. Jika terkait dengan PID akut terapi harus
fokus pada organisme penyebab utama termasuk
N.gonorrhoeaedan dan C.trachomatis. Demikian pula cakupan
polimikrobial yang lebih luas.

I. Vaginitis
keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang ditandai
dengan perubahan konsentrasi hirogen peroksida (H2O2) hasil
produksi flora normal Lactobacillus di vagina. Penurunan
konsentrasi H2O2 digantikan oleh peningkatan konsentrasi bakteri
anaerob (Mobiluncus, Provetella, Peptostreptococcus, Bacteroides,
dan Eubacterium) dan bakteri fakultatif (Gardnella vaginalis,
Mycoplasma hominis, Enterococcus dan grup β Streptococcus).
58

Perubahan ini umumnya ditandai dengan produksi sekret vagina


yang banyak, berwarna abu-abu, tipis, homogen, berbau amis, dan
terdapat peningkatan pH dari nilai < 4,5 sampai 7,0. (Anggraini,
Maryuni, et al., 2012). Hal ini bisa timbul dan remisi secara
spontan pada wanita dengan seksual aktif dan wanita yang buka
seksual aktif.6

Etiologi 6
1) Gardnella vaginalis
Meskipun demikian dengan media kultur yang
sensitif Gardnella vaginalis dapat diisolasi dengan
konsentrasi yang tinggi pada wanita tanpa tanda-tanda
infeksi vagina. Gardnella vaginalis dapat diisolasi pada
sekitar 95% wanita dengan vaginosis dan 40-50% pada
wanita asimtomatis atau tanpa penyebab vaginitis lainnya.
Gardnella vaginalis diperkirakan berinteraksi melalui cara
tertentu dengan bakteri anaerob dan mycoplasma genital
menyebabkan Vaginosis.
2) Bakteri anaerob
Bacteroides sp diisolasi sebanyak 76% dan
Peptostreptococcus sebanyak 36% pada wanita dengan
Vaginosis. Pada wanita normal, kedua tipe anaerob ini
jarang ditemukan. Penemuan spesies anaerob dihubungkan
dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan
asetat pada sekret vagina. Mikroorganisme anaerob lain
yaitu Mobiluncus sp. Merupakan batang anaerob lengkung
yang juga ditemukan bersama-sama dengan organisme lain
yang dihubungkan dengan VB. Mobiluncus Sp. hampir
tidak pernah ditemukan pada wanita normal, 85% wanita
dengan VB mengandung organisme ini.
59

3) Mycoplasma hominis
Mycoplasma hominis juga harus dipertimbangkan
sebagai agen etiologi untuk Vaginosis, bersama-sama
dengan Gardnella vaginalis dan bakteri anaerob.
Mikroorganisme ini terdapat dengan konsentrasi 10-100
kali lebih besar pada wanita dengan VB daripada wanita
normal.

Faktor resiko6
 Oral seks
 Pemakaian pencuci vagina
 Kehamilan dan persalinan
 Merokok
 Berhubungan seksual pada saat menstruasi
 Pemasangan IUD (Intra Uterine Device)
 Berhubungan seksual pada usia dini
 Bergonta-ganti partner seksual
Patogenesis saat kehamilan6
Ada kehamilan normal, cairan vagina bersifat asam (pH 4-
5), karena adanya peningkatan kolonisasi Lactobacillus (flora
normal vagina) yang memproduksi asam laktat. Keadaan asam
yang berlebih ini membuat Lactobacillus tumbuh subur, sehingga
mencegah terjadinya pertumbuhan berlebihan bakteri patogen.
Lactobacillus diketahui sebagai mikroorganisme yang
mempertahankan homeostasis vagina dengan menghasilkan asam
laktat dan memproduksi H2O2 yang akan menghambat
pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme lainnya, sehingga
menurunkan risiko persalinan preterm. Keadaan ini tidak selalu
dapat dipertahankan. Apabila jumlah bakteri Lactobacillus
60

menurun, maka keasaman cairan vagina berkurang dan


mengakibatkan bertambahnya bakteri lain, seperti antara lain
Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis, dan Bacteroides sp.
Adanya perubahan flora vagina menyebabkan terjadinya vaginosis.
Diagnosis 6
Dalam menegakkan diagnosis terhadap Vaginosis terdapat
beberapa kriteria, skor, dan pemeriksaan laboratorium
mikrobiologi, yaitu :
1) Kriteria Amsel Dikatakan positif jika ditemukan 3 dari
temuan di bawah ini
 pH vagina > 4,5
 Menunjukkan >20% per HPF “clue cells” pada
eksaminasi wet mount.
 Positif amin atau tes whiff.
 Homogen, tidak kental, cairan putih seperti susu
pada dinding vagina.
2) pH
3) KOH 10%
4) Pewarnaan gram (pemeriksaan baku emas)
Tatalaksana6
 Metronidazole 500 mg secara oral dua kali sehari selama 7
hari, atau
 clindamycin krim 2% 5 gr secara intravaginal selama 7
hari.

J. Perdarahan post partum


Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan atau
hilangnya darah 500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir.
Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah lahirnya
plasenta. 6
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :
61

 Perdarahan postpartum primer (early postpartum


hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir.
 Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum
hemorrhage) yang terjadi antara 24 jam dan 6 minggu
setelah anak lahir.
Etiologi dan Patogenesis6
1) Tone Dimished : Atonia uteri
Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus
gagal untuk berkontraksi dan mengecil sesudah janin
keluar dari rahim. Perdarahan postpartum secara fisiologis
di control oleh kontraksi serat-serat myometrium terutama
yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai
darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri
terjadi ketika myometrium tidak dapat berkontraksi.
Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus
membesar dan lembek pada palpusi. Atonia uteri juga
dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan,
dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam
usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya bukan
terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan penyebab
utama perdarahan postpartum. Disamping menyebabkan
kematian, perdarahan postpartum memperbesar
kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan
penderita berkurang. Perdarahan yang banyak bisa
menyebabkan “ Sindroma Sheehan “ sebagai akibat
nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi
insufiensi bagian tersebut dengan gejala : astenia,
hipotensi, dengan anemia, turunnya berat badan sampai
menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan
atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak,
penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan
62

kehilangan fungsi laktasi. Beberapa hal yang dapat


mencetuskan terjadinya atonia meliputi :
 Manipulasi uterus yang berlebihan,
 General anestesi (pada persalinan dengan operasi ),
 Uterus yang teregang berlebihan : Kehamilan
kembar, Fetal macrosomia ( berat janin antara 4500
– 5000 gram ), polyhydramnion
 Kehamilan lewat waktu,
 Portus lama
 Grande multipara ( fibrosis otot-otot uterus ),
 Anestesi yang dalam
 Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis,
septicemia
 Plasenta previa
 Solutio plasenta,

Tissue : 6

 Retensio plasenta
 Sisa plasenta
 Plasenta acreta dan variasinya.
2) Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin
lahir, hal itu dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa
disebabkan karena : plasenta belum lepas dari dinding
uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum
dilahirkan. Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak
terjadi perarahan, tapi apabila terlepas sebagian maka akan
terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk
mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
karena :
63

 kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan


plasenta ( plasenta adhesiva )
 Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh
sebab vilis komalis menembus desidua sampai
miometrium sampai dibawah peritoneum ( plasenta
akreta – perkreta ) Plasenta yang sudah lepas dari
dinding uterus akan tetapi belum keluar disebabkan
oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau
karena salah penanganan kala III. Sehingga terjadi
lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang
menghalangi keluarnya plasenta ( inkarserasio
plasenta ). Sisa plasenta yang tertinggal merupakan
penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan
postpartum. Penemuan Ultrasonografi adanya masa
uterus yang echogenic mendukung diagnosa
retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan jika
perdarahan beberapa jam setelah persalinan
ataupun pada late postpartum hemorraghe. Apabila
didapatkan cavum uteri kosong tidak perlu
dilakukan dilatasi dan curettage.
3) Trauma Sekitar 20% kasus hemorraghe postpartum
disebabkan oleh trauma jalan lahir a. Ruptur uterus b.
Inversi uterus c. Perlukaan jalan lahir d. Vaginal hematom
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang
bisa menyebabkan antara lain grande multipara,
malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan
persalinan dengan induksi oxytosin. Repture uterus sering
terjadi akibat jaringan parut section secarea sebelumnya.
Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva,
dan biasanya terjadi karena persalinan secara operasi
ataupun persalinan pervaginam dengan bayi besar,
64

terminasi kehamilan dengan vacuum atau forcep, walau


begitu laserasi bisa terjadi pada sembarang persalinan.
Laserasi pembuluh 6 darah dibawah mukosa vagina dan
vulva akan menyebabkan hematom, perdarahan akan
tersamarkan dan dapat menjadi berbahaya karena tidak
akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa
menyebabkan terjadinya syok.
Diagnosis
Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa
perdarahan postpartum : 6
a) Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi
fundus uteri
b) Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau
tidak
c) Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari :
 Sisa plasenta dan ketuban
 Robekan Rahim
 Plasenta succenturiata
d) Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan
varises yang pecah.
e) Pemeriksaan laboratorium : bleeding time, Hb, Clot
Observation test dan lain-lain.
Tatalaksana 6
Tujuan utama pertrolongan pada pasien dengan perdarahan
postpartum adalah menemukan dan menghentikan penyebab dari
perdarahan secepat mungkin. Terapi pada pasien dengan
hemorraghe postpartum mempunyai 2 bagian pokok :
a) Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan
Pasien dengan hemorraghe postpartum memerlukan
penggantian cairan dan pemeliharaan volume sirkulasi
darah ke organ – organ penting. Pantau terus perdarahan,
65

kesadaran dan tanda-tanda vital pasien. Pastikan dua kateler


intravena ukuran besar untuk memudahkan pemberian
cairan dan darah secara bersamaan apabila diperlukan
resusitasi cairan cepat.
 Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer
lactate
 Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun
packed red cell
 Evaluasi pemberian cairan dengan memantau
produksi urine (dikatakan perfusi cairan ke ginjal
adekuat bila produksi urin dalam 1jam 30 cc atau
lebih).
b) Manajemen penyebab
 Atonia uteri
Lakukan kompres bimanual apabila
perdarahan masih berlanjut, letakkan satu tangan di
belakang fundus uteri dan tangan yang satunya
dimasukkan lewat jalan lahir dan ditekankan pada
fornix anterior.
 Sisa plasenta
Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali
lembek setelah kompresi bimanual ataupun massase
dihentikan, bersamaan pemberian uterotonica
( ergonovin 0,2 mg setiap 3-4 jam selama 24-48
jam) dan lakukan eksplorasi. Beberapa ahli
menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal
ini sulit dilakukan tanpa general anestesi kecuali
pasien jatuh dalam syok. Jangan hentikan
pemberian uterotonica selama dilakukan eksplorasi.

K. Adneksitis
66

Definisi6
Radang tuba falloppi dan radang ovarium biasanya terjadi
bersamaan. Oleh sebab itu tepatlah nama salfingo-ooritis atau
adneksitis untuk radang tersebut. Radang itu kebanyakan akibat
infeksi yang menjalar ke atas dari uterus, walaupun infeksi ini juga
bisa datang dari tempat ekstra vaginal lewat jalan darah atau
menjalar dari jaringan-jaringan di sekitarnya.
Etiologi 6
Di antara sebab- sebab yang paling banyak terdapat ialah
infeksi gonorrhea dan infeksi puerperal dan postabortum. Kira-kira
10 % infeksi disebabkan oleh tuberculosis. Selanjutnya bisa timbul
radang adneksa sebagai akibat tindakan ( kerokan, laparotomi,
pemasangan IUD dan sebagainya ) dan perluasan radang dari alat
yang letaknya tidak jauh seperti appendiks.

Klasifikasi 6
1. Salpingo-ooritis akut
Salpingo-ooritis akut yang disebabkan oleh
gonorrhea sampai ke tuba sampai uterus melalui mukosa .
Pada endosalping tampak oedema serta hyperemia dan
infiltrasi leukosit, pada infeksi yang ringan, epitel masih
utuh., tapi pada infeksi yang lebih beratkelihatan degenerasi
epitel yang kemudian menghilang pada daerah yang agak
luas, dan ikut juga terlihat lapisan otot dan serosa. Dalam
hal yang akhir ini dijumpai eksudat purulen yang dapat
keluar melalui ostium tuba abdominalis dan menyebabkan
peradangan di sekitarnya ( peritonitis pelvika )
Salpingitis akuta piogenik banyak ditemukan pada
infeksi puerperal atau pada abortus septic, akan tetapi dapat
disebabkan pula sebagai akibat berbagai tindakan, seperti
67

Streptococcus ( aerobic dan anaerobic ), stafilococcus,


E.coli, Klostridium welchii, dan lain-lain. Infeksi ini
menjalar dari serviks uteri atau kavum uteri dengan jalan
darah atau limfe ke parametrium terus ke tuba, dan dapat
pula ke peritoneum pelvic. Di sini timbul salpingitis
interstisialis akuta, mesosalping dan dinding tuba menebal
dan menunjukkan infiltrasi leukosit tetapi mukosa
seringkali normal. Hali ini merupakan perbedaan yang
nyata dengan salpingitis gonoroika, di mana radang
terdapat terutama pada mukosa dengan dengan sering
terjadi penyumbatan lumen tuba. Dalam hubungan ini,
dalam salpingitis piogenik kemungkinan lebih besar bahwa
tuba terbuka setelah penyakitnya sembuh.
Ovarium biasanya ikut dalam salpingitis. Kadang-
kadang ovarium tidak ikut meradang, sebaliknya biarpun
jarang bisa terjadi radang terbatas pada ovarium, bahlan
bisa terjadi abses ovarium.
2. Salpingo-ooforitis kronika
Dapat didadakan pembagian antara :
a) Hidrosalping, terdapat penutupan ostium tuba
abdominalis. Sebagian dari epitel mukosa tuba masih
berfungsi dan mengeluarkan cairan dengan akibat
retensi cairan tersebut dalam tuba. Hidrosalping dapat
berupa hidrosalping simpleks dan hidrosalping
folikularis. Pada hidrosalping simpleks terdapat satu
ruangan berdinding tipis, sedang hidrosalping
folikularis terbagi dalam ruangan-ruangan kecil.
b) Piosalping, dalam stadium menahun merupakan
kantong dengan dinding tebal yang berisi nanah. Pada
piosalping biasanya terdapat perlekatan dengan
jaringan di sekitarnya.
68

c) Salpingitis interstisial kronika, pada salpingitis


interstisial kronika dinding tuba menebal dan tampak
fibrosis dan dapat pula ditemukan pengumpulan
nanah sedikit-sedikit di tengah-tengah jaringan otot.
Terdapat pula perlekatan dengan jaringan-jaringan di
sekitarnya, seperti ovarium, uterus dan usus.
d) Kista tubo-ovarial, pada kista tubo ovarial,
hidrosalping bersatu dengan kista folikel ovarium,
sedang pada abses tuboovarial piosalping bersatu
dengan abses ovarium. Abses ovarium yang jarang
terdapat sendiri, daru stadium akut dapat memasuki
stadium menahun.
e) Abses ovarial
f) Salpingitis tuberculosis

Gejala6

Gambaran klinis salpingo-ooforitis akuta ialah demam,


leukositosis dan rasa nyeri di sebelah kanan atau kiri uterus,
penyakit tersebut tidak jarang terdapat pada kedua adneksa. Setelah
lewat beberapa hari dijumpai pula tumor dengan batas yang tidak
jelas dan yang nyeri tekan.Pada torsi adneksa timbul rasa nyeri
mendadak dan apabila defence musculiare tidak teralu keras, dapat
diraba tumor nyeri tekan dengan batas nyeri tekan yang nyata.
Suhu dan leukositosis juga tidak seberapa tinggi. Ruptura tuba
pada kehamian ektopik terganggu disertai dengan gejala-gejala
yangmendadak, sangat nyeri, dan anemi. Umumnya peristiwa ini
tidak menimbulkan banyak kesukaran dalam diagnosis dferensial.
Yang lebih sulit ialah diagnosis abortus tuba. Umumnya pada
abortus tuba suhu tidak naik atau hanya naik sedikit, dan
leukositosi juga tidak seberapa tinggi.
69

Gejala-gejala salpingo-ooforitis kronika tidak selalu jelas,


penyakit bisa didahului oleh penyakit-penyakit akut dengan panas,
rasa nyeri yang cukup kuat di perut bagian bawah, akan tetapi bisa
pula dari permulaan sudah subakut atau menahun. Umumnya
penderita merasa nyeri di perut bagian bawah sebelah kiri atau
kanan, yang bertambah keras pada pekerjaan berat, disertai dengan
penyakit pinggang. Leukorea sering terdapat disebabkan oleh
servisitis kronika. Haid umumnya lebih banyak dari biasa dengan
siklus yang seringkali tidak teratur. Penderita sering mengeluh
tentang dispareunia dan infertilitas, disminore dapat ditemukan
juga pada kasus ini.

Terapi6

Terapi pada salpingo-ooforitis akuta terdiri atas istirahat


baring, perawatan umum, pemberian antibiotika dan analgetika.
Dengan terapi tersebut, penyakit dapat menjadi sembuh atau
mennjadi menahun. Jarang sekali terpai salpingo-ooforitis akuta
memerlukan pembedahan. Pembedahan perlu dilakukan :

a) Jika terjadi rupture piosalping atau abses ovarium


b) Jika terdapat gejala-gejala ileus karena perlekatan
c) Jika terdapat kesukaran untuk membedakan antara
apendisitis akuta dan salpingo-ooforitis akuta

Pada salpingo-ooforitis kronika, jika penyakitnya msaih


dalam keadaan subakut, penderita harus diberi terapi dengan
antibiotika dengan spectrum luas. Jika keadaan sudah tenang, dapat
diberi terapi diatermi dalam beberapa seri dan penderita
dinasehatkan supaya penderita jangan melakukan pekrjaan yang
berat-berat. Dengan terapi ini, biarpun sisa- sisa peradangan masih
ada, keluhan – keluhan penderita seringkali hilang atau sangat
berkurang.
70

Terapi operatif mempunyai tempat pada salpingo-ooforitis


kronika. Indikasi untuk terapi ini adalah ;

 Apabila setelah berulang kali dilakukan terapi diatermi,


keluhan tetap ada dan mengganggu kehidupan sehari-hari
 Apabila tiap kali timbul reaktivisasi dari proses radang
 Apabila ada tumor di sebelah uterus, dan setelah dilakukan
beberapa terapi diatermis tumor tidak mengecil, sehingga
timbul adanya dugaan hidrosalping, piosalping, kista tuba
ovarial dan sebagainya
 Apabila ada infertiitas yang sebabnya terletak pada tuba,
dalam hal ini sebaiknya dilakukan laparoskopi dahulu
apakah ada harapan yang cukup besar bahwa dengan
pembedahan tuba dapat dibuka dengan sempurna dan
perlekatan dapat dilepaskan.
L. Vulvinitis
Vulvitis adalah suatu peradangan pada vulva (organ
kelamin luar wanita),sedangkan vulvovaginitis adalah peradangan
pada vulva dan vagina. Gejala yang paling sering ditemukan adalah
keluarnya cairan abnormal dari vagina, dikatakan abnormal jika
jumlahnya sangat banyak serta baunya menyengat atau disertai
gatal-gatal dan nyeri. 3
Penyebab : 3
 Alergi, khususnya sabun, kertas toilet berwarna, semprotan
vagina, deterjen, gelembung mandi, atau wewangian
 Dermatitis jangka panjang, seborrhea atau eksim
 Infeksi seperti infeksi pedikulosis, atau kudis jamur dan
bakteri
 Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan 3
71

Rasa gatal dan perih di kemaluan, serta keluarnya cairan


kental dari kemaluan yang berbau.
Gejala Klinis: 3
 Rasa terbakar di daerah kemaluan
 Gatal
 Kemerahan dan iritasi
 Keputihan
Patofiologi 3
Sama dengan vaginitis
Pemeriksaan Fisik 3
Dari inspeksi daerah genital didapati kulit vulva yang
menebal dan kemerahan, dapat ditemukan juga lesi di sekitar
vulva. Adanya cairan kental dan berbau yang keluar dari vagina.
Komplikasi 3
Infertilitas, Infeksi sekunder karena sering digaruk, Vulva distrofi

Penatalaksanaan 3
 Menghindari penggunaan bahan yang dapat menimbulkan
iritasi di sekitar daerah genital.
 Menggunakan salep kortison. Jika vulvitis disebabkan
infeksi vagina, dapat dipertimbangkan pemberian antibiotik
sesuai penatalaksanaan vaginitis atau vulvovaginitis.
Kriteria Rujukan 3
Pasien dirujuk ke dokter spesialis kulit dan kelamin jika
pemberian salep kortison tidak memberikan respon.

M. Salphingitis
Salpingitis adalah infeksi dan peradangan di saluran tuba.
Hal ini sering digunakan secara sinonim dengan penyakit radang
panggul (PID), meskipun PID tidak memiliki definisi yang akurat
dan dapat merujuk pada beberapa penyakit pada saluran kelamin
72

bagian atas perempuan, seperti endometritis, ooforitis, myometritis,


parametritis dan infeksi pada panggul peritoneum. Sebaliknya,
salpingitis hanya merujuk infeksi dan peradangan di saluran tuba. 3
Ketika peradangan terjadi, ekstra cairan sekresi atau nanah
terkumpul di dalam tabung tuba. Infeksi dari salah satu tabung tuba
biasanya menyebabkan infeksi lain. Hal ini terjadi karena bakteri
bermigrasi melalui pembuluh getah bening di dekatnya. 3
Salpingitis adalah salah satu penyebab paling umum
infertilitas wanita. Jika salpingitis tidak segera diobati, infeksi
dapat menyebabkan kerusakan permanen pada tuba falopi sehingga
telur dilepaskan setiap siklus mestruasi tidak bisa bertemu dengan
sperma.
Etiologi 3
Salpingitis merupakan sinonim dari penyakit radang
panggul (PID). PID terjadi karena infeksi polimikrobakterial pada
sistem genitalia wanita ( uterus, tuba fallopi dan ovarium ) yang
menyebabkan peningkatan infeksi pada daerah vagina atau servikx.
Infeksi ini jarang terjadi sebelum siklus menstruasi
pertama, setelah menopause maupun selama kehamilan. Penularan
yang utama terjadi melalui hubungan seksual, tetapi bakteri juga
bisa masuk ke dalam tubuh setelah prosedur kebidanan/kandungan
(misalnya pemasangan IUD, persalinan, keguguran, aborsi dan
biopsi endometrium). 3
Penyebab lainnya yang lebih jarang terjadi adalah:
 Aktinomikosis (infeksi bakteri)
 Skistosomiasis (infeksi parasit)
 Tuberkulosis.
 Penyuntikan zat warna pada pemeriksaan rontgen khusus.
(medicastore)
Beberapa bakteri yang paling umum bertanggung jawab untuk
salpingitis meliputi:
73

 Klamidia
 Gonococcus (yang menyebabkan gonore)
 Mycoplasma
 Staphylococcus
 Streptococcus
Patofisiologi 3
Kebanyakan kasus salpingitis terjadi dalam 2 tahap.
Pertama melibatkan akuisisi infeksi vagina atau leher rahim. Yang
kedua melibatkan peningkatan saluran kelamin bagian atas.
Meskipun mekanisme yang tepat untuk peningkatan tidak
diketahui, siklus menstruasi mundur dan pembukaan leher rahim
selama menstruasi tapi hal tersebut merupakan faktor yang dapat
meningkatkan infeksi.
Proses membedahan seperti biopsi endometrium, kuret dan
hysteroscopies, merupakan predisposisi wanita untukinfeksi ini.
Perubahan dalam lingkungan mikro cervicovaginal dihasilkan dari
terapi antibiotik, ovulasi, menstruasi atau penyakit menular seksual
(PMS) dapat mengganggu keseimbangan flora endogen,
nonpatogenik biasanya menyebabkan organisme untuk
berkembang biak sangat cepat dan akan naik ke saluran bagian
atas.
Faktor – faktor ini juga dapat memfasilitasi peningkatan
bakteri patogen, seperti neisseria gonorrhoeae atau chlamdia
trachomatis. Intercourse juga dapat berkontribusi untuk
peningkatan infeksi dengan kontraksi rahim secara mekanis
membujuk organisme untuk meningkat. Selainitu sperma dapat
membawa organisme ke saluran kelamin bagin atas pada saat
hubungan seksual
Diagnosis
Gambaran klinis3
 Salpingitis akut
74

Salpingitis akut, saluran tuba menjadi merah dan


bengkak, dan mengeluarkan cairan tambahan sehingga
dinding-dinding bagian dalam tabung sering tetap bersatu.
Tabung mungkin juga tetap berpegang pada struktur
terdekat seperti usus. Kadang-kadang, sebuah tabung tuba
bisa mengisi dan mengasapi dengan nanah. Dalam kasus
yang jarang terjadi, tabung pecah dan menyebabkan infeksi
yang berbahaya dalam rongga perut (peritonitis).
 Salpingitis kronis
Salpingitis kronis biasanya mengikuti suatu
serangan akut. Infeksi ini lebih ringan, lebih tahan lama dan
mungkin tidak menghasilkan banyak terlihat gejala.
Dalam kasus ringan, salpingitis mungkin tidak memiliki
gejala. Ini berarti saluran tuba bisa menjadi rusak tanpa wanita
bahkan menyadari bahwa ia memiliki infeksi. Gejala salpingitis
dapat mencakup:
 Vagina abnormal, seperti warna atau bau yang tidak biasa
 Bercak antara periode
 Dismenorea (menyakitkan periode)
 Sakit saat ovulasi
 Tidak nyaman atau sakit saat hubungan seksual
 Demam
 Sakit perut di kedua sisi
 Nyeri punggung bawah
 Sering buang air kecil
 Mual dan muntah
 Gejalanya biasanya muncul setelah periode menstruasi.
Gambaran Radiologis3
1. USG
75

Meskipun ultrasonografi (USG) adalah tidak


diindikasikan untuk diagnosa penyakit ini, ini adalah tes
diagnostik pilihan untuk evaluasi kemungkinan TOA.
ultrasonografi juga mungkin dapat membantu dalam
mengatur keluar beberapa etiologi dalam diferensial, seperti
kista ovarium, ovarium torsi, dan, mungkin, apendisitis atau
endometriosis.
USG Transabdominal tidak mampu membedakan
antara pyosalpinx, hydrosalpinx, akut salpingitis,
tuboovarian kompleks, atau TOA, dan diferensiasi ini
ditingkatkan dengan USG transvaginal
2. HSG
Salpingitis isthmica nodosa dapat di diagnosis
menggunakan pemeriksaan radiograpi.
Histerosalpingogram atau HSG menunjukkan banyaknya
diverticuli atau kantong luar yang menonjol dari lumen tuba
sampai ke dinding dari isthmic yang melewati porsi dari
tuba fallopian. Karena itu dengan pemeriksaan HSG
gambaran radiologis dari tuba diverticulosis kelihatan.
3. Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:
 Pemeriksaan darah lengkap
 Pemeriksan cairan dari serviks
 Kuldosentesis
 Laparoskopi
Penatalaksanaan 3
Tujuan pengelolaan secara efisien salpingitis adalah untuk
mengobati infeksi akut, sehingga menjaga kesuburan dan
mencegah kehamilan ektopik, serta mengurangi risiko jangka
panjang inflamasi sequelae.
Wanita dengan PID atau salpingitis dapat berobat jalan
maupun di rawat inap. Menurut Pelvic Inflammatory Disease
76

Evaluation and Clinical Health (PEACH) trial, 831 wanita dengan


gejala PID ringan biasanya menerima pasien rawat inap dengan
pengobatan melalui intravena (IV) : cefoxitin dan doxycycline,
sedangkan untuk pesien rawat jalan diberi intramuskular (IM)
cefoxitin dan pemberian peroral untuk doxycycline Jika tidak ada
respon terhadap pemberian antibiotik, mungkin perlu dilakukan
pembedahan.
Pasangan seksual penderita sebaiknya juga menjalani
pengobatan secara bersamaan dan selama menjalani pengobatan
jika melakukan hubungan seksual, pasangan penderita sebaiknya
menggunakan kondom.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sarah J, Buckley. Executive Summary of Hormonal Physiologi of


Childbearing: Evidence and Implication for Women Babies and Maternity
Care. Volume 24, Number 3. The Journal of Perinatal Education. 2015.
2. Cunningham F G et all. Obstetry Williams. Ed 23. Volume 1. Jakarta.
EGC. 2018.
3. Prawiroharjo, S. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo; 2016.
77

4. IDAI, MASTITIS : Pencegahan dan Penanganan. Link


HTTP://WWW.IDAI.OR.ID/ARTIKEL/KLINIK/ASI/MASTITIS-
PENCEGAHAN-DAN-PENANGANAN diakses tanggal 20/04/2019)
5. Smith R. Netter’s Obstetrics & Gynecology. 2nd edition. Philaadelphia :
Elsevier ; 2008
6. Setiati S. Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edii 2. Jilid 2. Jakarta ;
EGC ; 2015
7. Sjamsuhidayat R. Buku Ajar Ilmu Bedah De Jong. Edisi 3. Jakarta : EGC ;
2011

Anda mungkin juga menyukai