Anda di halaman 1dari 77

1

MIND MAP & RESUME PBL

SEMESTER PENDEK

SKENARIO 5

BLOK 6.2

NAMA : NOVIANTI DWI PUSPITASARI

NPM : 117170049

KELOMPOK : 6 (ENAM)

BLOK : 6.2

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

CIREBON

2020
Diagnosis Banding
Gangguan Jiwa
Non Psikotik 2
“ MIND MAP “ Patofisiologi Munculnya Gejala
Gangguan Jiwa Non Psikotik
Dihubungkan Dengan Kelainan
Neuropsikologi Yang Terjadi

Kriteria Diagnosis
Gangguan Jiwa Non
Psikotik (PPDGJ III,
DSM V)

Penatalaksanaan
Gangguan Jiwa
Non Psikotik

GANGGUAN JIWA
NON PSIKOTIK

Farmakoterapi

Psikoterapi

F44.1 Fugue disosiatif


F44.2 Stupor disosiatif
F44.3 Gangguan trans dan kesurupan
F44.4 Gangguan motorik disosiatif
F44.5 Konvulsi disosiatif
F44.6 Anestesia dan kehilangan sensorik disosiatif
F44.7 Gangguan disosiatif [konversi] campuran
F44.8 Gangguan disosiatif [konversi] lainnya
.80 Sindrom Ganser
.81 Gangguan kepribadian multiple
.82 Gangguan disosiatif [konversi] sementara terjadi
pada rnasa kanak dan remaja
.83 Gangguan disosiatif fkonversi] lainnya YDT
F44.9 Gangguan disosiatif [konversil YTT
F45 GANGGUAN SOMATOFORM
F45.0 Gangguan somatisasi .38 Sistem atau organ lainnya
F45.1 Gangguan somatoform tak terinci F45.4 Gangguan nyeri somatoform menetap
F45.2 Gangguan hipokondrik F45.8 Gangguan somatoform lainnya
F45.3 Disfungsi otonomik somatoform F45.9 Gangguan somatoform YTT
.30 Jantung dan sistem kardiovaskular F48 GANGGUAN NEUROTIK LAINNYA
.31 Saluran pencernaan bagian atas F48.0 Neurastenia
.32 Saluran pencernaan bagian bawah F48.1 Sindrom depersonalisasi - derealisasi
.33 Sistem pernafasan F48.8 Gangguan neurotik lainnya YDT
.34 Sistem genitourinaria F48 9 Gangguan neurotik YTT
3

SKENARIO 5
Sasaran Belajar :
Mahasiswa diharapkan dapat memahami dan menjelaskan:
1. Patofisiologi munculnya gejala gangguan jiwa non psikotik dihubungkan
dengan kelainan neuropsikologi yang terjadi
2. Kriteria diagnosis gangguan jiwa non psikotik (PPDGJ III, DSM V)
3. Diagnosis banding gangguan jiwa non psikotik
4. Penatalaksanaan gangguan jiwa non psikotik

JAWABAN

1. PATOFISIOLOGI MUNCULNYA GEJALA GANGGUAN JIWA NON


PSIKOTIK DIHUBUNGKAN DENGAN KELAINAN
NEUROPSIKOLOGI YANG TERJADI

A. “ GANGGUAN STRES PASCATRAUMA DAN GANGGUAN STRES


AKUT STRESOR “
Stresor yang menyebabkan stress akut dan PTSD (Post
Traumatic Stress Disorder) cukup hebat untuk mempengaruhi
hamper setiap orang. Stresor dapat timbul dari pengalaman perang,
penyiksaan, bencana alam, penyerangan, perkosaan, dan
kecelakaan serius (contohnya di dalam mobil dan gedung
terbakar). 1
Menurut definisi, stresor adalah faktor penyebab utama dalam
pengembangan PTSD. Tidak semua orang mengalami gangguan ini
Namun, setelah peristiwa traumatis. Stresor saja tidak cukup untuk
menyebabkan gangguan. Responnya terhadap yang traumatis
Peristiwa harus melibatkan ketakutan atau kengerian yang intens.
Dokter juga harus pertimbangkan individu yang sudah ada secara
biologis dan psikososial faktor dan peristiwa yang terjadi sebelum
dan sesudah trauma. Misalnya, seorang anggota kelompok yang
hidup melalui bencana kadang-kadang bisa lebih baik menghadapi
trauma karena orang lain juga berbagi pengalaman. Arti subjektif
stresor untuk seseorang juga penting. Misalnya, selamat dari
4

bencana mungkin mengalami perasaan bersalah (survivor guilt)


yang bisa predisposisi, atau memperburuk, PTSD. 2
a) Faktor risiko
Bahkan ketika dihadapkan dengan trauma
luar biasa, kebanyakan orang melakukannyatidak
mengalami gejala PTSD. Komorbiditas Nasional
Studi menemukan bahwa 60 persen pria dan 50
persen wanita telah mengalami beberapa trauma
yang signifikan, sedangkan yang dilaporkan
prevalensi PTSD seumur hidup, seperti yang
disebutkan sebelumnya, hanya sekitar 8 persen.
Begitu pula dengan peristiwa yang mungkin tampak
biasa saja atau kurang dari bencana bagi kebanyakan
orang dapat menghasilkan PTSD dalam beberapa.
Bukti menunjukkan hubungan dosis-respons antara
derajat trauma dan kemungkinan gejala.

Gambar 1.1,Faktor-faktor kerentanan yang tampak memainkan peran


etiologis dalam gangguan PTSD. 1

b) Faktor Kognitif Perilaku


5

Model kognitif PTSD berpendapat bahwa


orang yang terkena dampak tidak bisa memproses
atau merasionalisasi trauma yang memicu gangguan.
Mereka terus mengalami stres dan berusaha
menghindar mengalaminya dengan teknik
penghindaran. Konsisten dengan mereka
kemampuan parsial untuk mengatasi secara kognitif
dengan peristiwa, pengalaman orang bergantian
periode mengakui dan memblokir peristiwa. Upaya
otak untuk memproses sejumlah besar informasi
yang dipicu oleh trauma diduga menghasilkan ini
periode bergantian. Model perilaku PTSD
menekankan dua fase dalam pengembangannya.
Pertama, trauma (yang tidak terkondisi rangsangan)
yang menghasilkan respons rasa takut dipasangkan,
melalui pengkondisian klasik, dengan stimulus
terkondisi (fisik atau pengingat mental trauma,
seperti pemandangan, bau, atau suara).
Kedua, melalui pembelajaran instrumental,
yang terkondisi rangsangan menimbulkan respons
rasa takut terlepas dari yang asli stimulus tanpa
syarat, dan orang mengembangkan polamenghindari
stimulus terkondisi dan yang tidak terkondisi
rangsangan. Beberapa orang juga menerima
keuntungan sekunder dari dunia eksternal, biasanya
kompensasi zoneter, meningkat perhatian atau
simpati, dan kepuasan kebutuhan ketergantungan.
Keuntungan ini memperkuat kekacauan dan
kegigihannya. 1
c) Faktor Biologis
Teori biologis PTSD telah berkembang baik
dari praklinis studi model hewan stres dan dari
6

tindakan variabel biologis dalam populasi klinis


dengan gangguan tersebut. Banyak sistem
neurotransmitter telah terlibat oleh keduanya set
data. Model praklinis ketidakberdayaan yang
dipelajari, kayu bakar, dan kepekaan pada hewan
telah menyebabkan teori tentang
norepinefrin,dopamin, opioid endogen, dan
benzodiazepin. reseptor dan poros hipotalamus-
hipofisis-adrenal (HPA). Dalam populasi klinis,
data telah mendukung hipotesis itu sistem opiat
noradrenergik dan endogen, serta sumbu HPA,
hiperaktif pada setidaknya beberapa pasien dengan
PTSD. Temuan biologis utama lainnya adalah
peningkatan aktivitas dan daya tanggap sistem
saraf otonom, sebagaimana dibuktikan oleh
peningkatan detak jantung dan pembacaan tekanan
darah dan oleh arsitektur tidur yang abnormal
(mis., fragmentasi tidur dan peningkatan latensi
tidur). Beberapa peneliti telah menyarankan
kesamaan antara PTSD dan dua gangguan
kejiwaan lainnya: gangguan depresi mayor dan
gangguan panik. 1
d) Sistem Nonadrenergik
Gejala seperti PTSD menunjukkan
kegugupan, peningkatan tekanan darah dan jantung
laju, palpitasi, berkeringat, kemerahan, dan gejala-
gejala tremor terkait dengan obat adrenergik. Studi
ditemukan meningkat Konsentrasi epinefrin urin
24 jam pada veteran dengan PTSD dan
peningkatan konsentrasi katekolamin urin di gadis
yang dilecehkan secara seksual. Selanjutnya,
platelet a2- dan limfosit, Reseptor 3-adrenergik
7

diturunkan regulasi di PTSD. Sekitar 30 hingga 40


persen pasien dengan PTSD melaporkan kilas balik
setelah pemberian yohimbine (Yocon). Temuan
seperti itu adalah bukti kuat untuk perubahan
fungsi dalam noradrenergic sistem di PTSD. 1
e) Sistem Opioid.
Abnormalitas dalam sistem opioid
disarankan oleh konsentrasi plasma rendah / 3-
endorphin dalam PTSD. PTSD menunjukkan
nalokson (Narcan) reversible respons analgesik
terhadap rangsangan terkait pertempuran,
peningkatan kemungkinan hiperregulasi sistem
opioid mirip dengan itu pada poros HPA. Satu
studi menunjukkan bahwa nalmefene (Revex),
sebuah antagonis reseptor opioid, bermanfaat
dalam mengurangi gejala PTSD. 2

Gambar 1.2, Hubungan potensial Neuropeptida Y dengan patofisiologi


gangguan stres pascatrauma.3

f) Corticotropin-Releasing Factor dan H PA Axis.


8

Beberapa faktor menunjukkan disfungsi


sumbu HPA. Studi telah menunjukkan konsentrasi
rendah kortisol plasma dan urin dalam PTSD.
Lebih banyak reseptor glukokortikoid
ditemukanpada limfosit, dan tantangan dengan
corticotropinreleasing eksogen faktor (CRF)
menghasilkan kortikotropin tumpul (ACTH)
tanggapan. Selanjutnya, penekanan kortisol karena
tantangan dengan deksametason dosis rendah
(Decadron) ditingkatkan dalam PTSD. Ini
menunjukkan hiperregulasi sumbu HPA di PTSD.
Juga, beberapa penelitian telah mengungkapkan
hipersupresi kortisol pada pasien yang terpapar
trauma yang mengalami PTSD, dibandingkan
dengan pasien yang terkena trauma yang tidak
mengembangkan PTSD, menunjukkan bahwa itu
mungkin secara khusus terkait dengan PTSD dan
bukan hanya trauma. Secara keseluruhan,
hiperregulasi HPA ini Sumbu berbeda dari
aktivitas neuroendokrin yang biasanya terlihat
selama stres dan gangguan lain seperti depresi.
Baru saja, peran hippocampus dalam PTSD telah
meningkat perhatian, meskipun masalah ini masih
kontroversial. Hewan penelitian telah
menunjukkan bahwa stres dikaitkan dengan
structural perubahan hippocampus, PTSD telah
mengungkapkan volume rata-rata yang lebih
rendah di hippocampal wilayah otak. Perubahan
struktural dalam amigdala, area otak yang
berhubungan dengan ketakutan, juga pernah terjadi
diperagakan. 2

B. “ GANGGUAN SOMATISASI “
9

a) Faktor Psikososial
Formulasi psikososial melibatkan
manifestasi gejala sebagai komunikasi sosial,
akibatnya adalah menghindari kewajiban,
mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan suatu
perasaan atau keyakinan. Interpretasi gejala
psikoanalitik yang kaku bertumpu pada hipotesis
bahwa gejala-gejala tersebut menggantikan impuls
berdasarkan insting yang ditekan. 2
b) Faktor Biologis dan Genetik
Sejumlah studi mengemukakan bahwa
pasien memiliki perhatian yang khas dan hendaya
kognitif yang menghasilkan persepsi dan penilaian
input somatosensorik yang salah. Hendaya ini
mencakup perhatian mudah teralih,
ketidakmampuan menghabituasi stimulus berulang,
pengelompokan konstruksi kognitif dengan dasar
impresionistik, hubungan parsial dan
sirkumstansial, serta kurangnya selektivitas.
Adanya penurunan metabolism lobus frontalis dan
hemisfer nondominan.
Penelitian sitokin, suatu area baru studi ilmu
neurologi dasar dapat relevan dengan gangguan
somatisasi dan gangguan somatoform lain. Sitokin
adalah molekul pembawa pesan yang digunakan
sistem imun untuk berkomunikasi di dalam dirinya
dan dengan sistem saraf, termasuk otak.
Pengaturan abnormal sistem sitokin dapat
mengakibatkan sejumlah gejala yang ditemukan
pada gangguan somatoform. 2

C. “ GANGGUAN KONVERSI “
10

a) Faktor Psikoanalisis
Menurut teori psikoanalitik, gangguan
konversi adalah disebabkan oleh represi konflik
intrapsikis bawah sadar dan konversi kecemasan
menjadi gejala fisik. Konfliknya adalah antara
dorongan naluriah (mis., agresi atau seksualitas)
dan larangan terhadap ekspresinya. Gejala
memungkinkan sebagian ekspresi dari keinginan
atau desakan terlarang tetapi
menyamarkannya,sehingga pasien dapat
menghindari secara sadar menghadapi hal yang
tidak dapat diterima impuls. Gejala gangguan
konversi juga memungkinkan pasien untuk
berkomunikasi bahwa mereka memerlukan
pertimbangan khusus dan perlakuan khusus.
Gejala-gejala tersebut dapat berfungsi sebagai
nonverbal berarti mengendalikan atau
memanipulasi orang lain. 2
b) Teori Pembelajaran
Dalam hal teori pembelajaran terkondisi,
gejala konversi dapat dilihat sebagai bagian dari
perilaku belajar yang dikondisikan secara klasik;
gejala penyakit, dipelajari di masa kecil, disebut
maju sebagai sarana untuk mengatasi situasi yang
mustahil.2
c) Faktor Biologis
Peningkatan data berimplikasi biologis dan
neuropsikologis faktor dalam pengembangan gejala
gangguan konversi. Studi pencitraan otak awal
telah menemukan hipometabolisme hemisfer
dominan dan hipermetabolisme belahan bumi yang
tidak dominan dan berimplikasi gangguan pada
11

belahan otak komunikasi dalam penyebab


gangguan konversi. Gejala bisa disebabkan oleh
rangsangan kortikal yang berlebihan memicu
putaran umpan balik negatif antara korteks
serebraldan pembentukan reticular batang otak.
Peningkatan kadar kortikofugal. Output,
menghambat kesadaran pasien tentang tubuh
sensasi, yang dapat menjelaskan defisit sensorik
yang diamati dibeberapa pasien dengan gangguan
konversi. Neuropsikologis tes kadang-kadang
mengungkapkan gangguan otak halus secara verbal
komunikasi, memori, kewaspadaan,
ketidaksesuaian afektif, dan perhatian pada pasien
ini. 2

D. “ HIPOKONDRIASIS “
Gejala mencerminkan adanya kesalahan interpretasi gejala
tubuh. Sejumlah inti data menunjukkan bahwa orang dengan
hipokondriasis memperkuat sensasi somatiknya, mereka memiliki
ambang yang lebih rendah daripada biasanya dan toleransi yang
lebih rendah terhadap ketidaknyamanan fisik. Contohnya, yang
orang normal anggap sebagai tekanan abdomen, orang dengan
hipokondriasis merasakannya sebagai nyeri abdomen. Mereka
dapat berfokus pada sensasi tubuh, salah menginterpretasi, dan
menjadi waspada terhadapnya karena skema kognitif yang salah.
Hipokondriasis dapat dimengerti dalam hal model
pembelajaran social. Gejala hipokondriasis dipandang sebagai
permintaan untuk masuk ke dalam peran sakit yang diciptakan
seseorang yang menghadapi masalah yang tampaknya tidak dapat
diselesaikan dan terlalu berat. Peranan sakit menawarkan pelarian
yang memungkinkan pasien menghindari kewajiban yang tidak
12

menyenangkan, menunda tantangan yang tidak diinginkan, dan


dibebaskan dari tugas dan kewajiban.
Hipokondriasis merupakan suatu bentuk varian gangguan jiwa
lain, diantaranya yang paling sering adalah gangguan depresif dan
gangguan ansietas. Perkiraan 80 % pasien dengan hipokondriasi
dapat memiliki gangguan ansietas/depresif secara bersamaan. 1
E. Gangguan Dismorfik Tubuh
Penyebab gangguan dismorfik tubuh tidak diketahui.
Komorbiditas yang tinggi dengan gangguan depresif, riwayat
keluarga dengan gangguan mood dan gangguan obsesif-kompulsif
yang lebih tinggi dari yang diperkirakan, serta responsivitas
keadaan tersebut terhadap obat yang spesifik serotonin dan dapat
terkait dengan gangguan jiwa lain. Konsep stereotipik mengenai
kecantikan ditekankan pada keluarga tertentu dan di dalam budaya
dapat memengaruhi pasien dengan gangguan dismorfik tubuh
secara signifikan. Pada model psikodinamik, gangguan dismorfik
tubuh diliat sebagai tindakan mencerminkan pemindahan konfilk
seksual atau emosional ke bagian tubuh yang tidak berkaitan.
Hubungan tersebut terjadi melalui mekanisme pertahanan represi,
disosiasi, distorsi, simbolisasi dan proyeksi. 1

F. “ GANGGUAN NYERI “
a) Faktor Psikodinamik
Pasien yang mengalami sakit dan nyeri
tubuh tanpa dapat diidentifikasi dan penyebab fisik
yang memadai mungkin secara simbolis
diekspresikan konflik intrapsikis melalui tubuh.
Pasien menderita dari alexithymia, yang tidak
dapat mengartikulasikan internal mereka perasaan
menyatakan dengan kata-kata, mengekspresikan
perasaan mereka dengan tubuh mereka. Pasien lain
mungkin secara tidak sadar menganggap nyeri
13

emosional sebagai lemah dan entah bagaimana


kurang legitimasi. Dengan memindahkan masalah
kepada tubuh, mereka mungkin merasa memiliki
klaim yang sah pemenuhan kebutuhan
ketergantungan mereka. Makna simbolisgangguan
tubuh mungkin juga berhubungan dengan
penebusan untuk dirasakan dosa, penebusan rasa
bersalah, atau agresi yang ditekan. Banyak pasien
memiliki rasa sakit yang tak tertahankan dan
responsive mereka yakin mereka pantas menderita.
Rasa sakit dapat berfungsi sebagai metode untuk
mendapatkan cinta, hukuman untuk kesalahan, dan
cara menebus kesalahan dan penebusan untuk rasa
bawaan yang buruk. Di antara mekanisme
pertahanan digunakan oleh pasien dengan
gangguan nyeri adalah perpindahan, substitusi, dan
represi. Identifikasi berperan ketika seorang pasien
mengambil peran objek cinta ambivalen yang juga
memiliki rasa sakit,seperti orang tua. 2
b) Faktor Perilaku
Perilaku nyeri diperkuat ketika diberi hadiah
dan dihambat ketika diabaikan atau dihukum.
Misalnya saja gejala nyeri sedang dapat menjadi
intens ketika diikuti oleh solicitous danperilaku
penuh perhatian orang lain, dengan keuntungan
finansial, atau oleh kesuksesanmenghindari
kegiatan yang tidak menyenangkan. 2
c) Faktor Pribadi
Nyeri yang tak tergantikan telah
dikonseptualisasikan sebagai sarana untuk
manipulasidan mendapatkan keuntungan dalam
hubungan interpersonal, untuk misalnya, untuk
14

memastikan pengabdian anggota keluarga atau


untuk menstabilkan pernikahan yang rapuh.
Keuntungan sekunder seperti itu adalah yang
paling penting untuk pasien dengan gangguan
nyeri. 2
d) Faktor Biologis
Korteks serebral dapat menghambat
pembakaran serat nyeri aferen. Serotonin mungkin
merupakan neurotransmitter utama dalam
penurunan jalur penghambatan, dan endorfin juga
memainkan peran di pusat modulasi sistem saraf
nyeri. Kekurangan endorfin tampaknya untuk
berkorelasi dengan augmentasi rangsangan
sensorik yang masuk. Beberapa pasien mungkin
memiliki gangguan rasa sakit, daripada mental
lainnya gangguan, karena struktur sensorik dan
limbik atau kimia kelainan yang membuat mereka
cenderung mengalami rasa sakit. 2

G. “ GANGGUAN DISOSIATIF “
Dalam banyak kasus amnesia disosiatif akut, psikososial
lingkungan di mana amnesia berkembang secara massif
bertentangan, dengan pasien mengalami emosi yang tak
tertahankan karena malu, bersalah, putus asa, marah, dan putus asa.
Ini biasanya hasil dari konflik atas dorongan atau impuls yang
tidak dapat diterima, seperti dorongan seksual, bunuh diri, atau
kekerasan yang hebat. Traumatis pengalaman seperti pelecehan
fisik atau seksual dapat terjadi gangguan. Dalam beberapa kasus
trauma disebabkan oleh pengkhianatan oleh yang dipercaya,
dibutuhkan lainnya (trauma pengkhianatan). Pengkhianatan ini
dianggap mempengaruhi cara di mana acara diproses dan diingat. 2
15

Pasien DID (Dissociative Identity Disorder) juga dapat


menunjukkan perubahan neuroanatomi. Tes memori eksperimental
menunjukkan bahwa pasien dengan DID mungkin telah
meningkatkan memori untuk tugas-tugas tertentu, yang telah
digunakan untuk mengkritik hipotesis bahwa DID adalah sarana
untuk melupakan atau menekan memori. 2

H. “ ANXIETAS DAN FOBIA “


Sistem neuroanatomik yang mendukung perilaku ketakutan
dan kecemasan dimodulasi oleh berbagai sistem neurotransmitter
kimia. Ini termasuk peptidergic neurotrans-mitter, CRH,
neuropeptide Y (NPY), dan zat P, pemancar themonoaminergic,
NE, serotonin (5-hydroxy-tryptamine atau 5-HT), dan dopamine
(DA), dan pemancar aminoacid, GABA dan glutamat. Sistem
neurotrans-mitter yang paling baik dipelajari dalam hubungan
dengan respons terhadap stres atau ancaman melibatkan poros
HPA dan sistem noradrenergik sentral. Sistem neurokimia ini
mematuhi fungsi adaptif penting dalam mempersiapkan organisme
untuk merespons ancaman atau stres, dengan meningkatkan
kewaspadaan, memodulasi memori, memobilisasi simpanan energi,
dan meningkatkan fungsi kardiovaskular. Namun demikian,
respons biologis terhadap ancaman dan stres dapat menjadi mal-
adaptif jika diaktifkan secara kronis atau tidak tepat. Sistem
neurokimia tambahan yang berperan penting dalam memodulasi
respons stres dan perilaku emosional termasuk sistem GAB pusat,
serotonergik, dopaminergik, opiat, dan NPY.
Interaksi fungsional yang terkoordinasi antara aksis HPA dan
sistem noradrenergik memainkan peran utama dalam menghasilkan
respons adaptif terhadap stres, kecemasan, atau ketakutan. Sekresi
CRH meningkatkan aktivitas penembakan neuronal LC dan
menghasilkan pelepasan NE yang meningkat dalam berbagai
kortikal dan subkortikal. Sebaliknya, pelepasan NE menstimulasi
16

sekresi CRH dalam PVN (nukleus yang mengandung sebagian


besar neuron sintesis-CRH di hipotalamus). Selama stres kronis
khususnya, LC adalah batang otak nora-drenergic nucleus yang
muncul secara istimewa untuk memediasi NErelease dalam PVN.
Sebaliknya, ketika pelepasan CRH dalam PVN merangsang sekresi
ACTH dari hipofisis dan dengan demikian meningkatkan sekresi
kortisol dari kelenjar adrenal, peningkatan konsentrasi kortisol
plasma bertindak melalui jalur umpan balik negatif untuk
mengurangi CRH dan NEsintesis pada tingkat PVN.4
Penghambatan stimulasi CRH yang diinduksi glukokortikoid
dapat dibuktikan dengan jelas selama stres, daripada di bawah
kondisi istirahat, sebagai respon adaptif yang menahan
neuroendokrin yang diinduksi stres dan efek kardiovaskular yang
dimediasi oleh PVN. NE, kortisol, dan CRH dengan demikian
tampak terkait erat sebagai sistem fungsional yang menawarkan
mekanisme homeostatik untuk merespons stres. Fenomena klinis
gangguan kecemasan yang mungkin secara khusus diatur oleh
interaksi antara NE dan sekresi glukokortikoid melibatkan akuisisi
dan penghiburan trauma. Ciri khas PTSD dan PD adalah ingatan
masing-masing dari pengalaman traumatis atau serangan panik asli,
masing-masing, bertahan selama beberapa dekade dan diingat
sebagai respons terhadap berbagai rangsangan atau stres. Pada
hewan percobaan, perubahan tingkat katekol-amina otak dan kadar
glukokortikoid otak memengaruhi konsolidasi dan pemulihan
ingatan emosional. Glukokortikoid memengaruhi penyimpanan
memori dengan aktivasi reseptor glukokortikoid dalam
hippocampus, sedangkan efek NE sebagian disebabkan oleh
stimulasi adrenoreseptor di amygdala. Pada manusia,
adrenokortikal menghalangi efek peningkatan memori dari
amfetamin dan epinefrin, dan propranolol merusak memori untuk
kisah provokatif secara emosional, tetapi bukan untuk kisah
emosional 'netral'. Data ini menunjukkan bahwa acuterelease
17

glukokortikoid dan NE sebagai respons terhadap trauma


memodulasi pengkodean memori traumatis. Dapat dibayangkan
bahwa perubahan jangka panjang dalam sistem ini dapat
menyebabkan distorsi memori yang terlihat pada PTSD, seperti
fragmen memori, hypermnesia, dan defisit dalam memori
deklaratif.4
Fungsi reseptor BZD dan GABA dapat diubah oleh stres pada
beberapa daerah otak. Pengikatan reseptor BZD menurun pada
korteks frontal dengan pengurangan yang kurang konsisten terjadi
pada hipokampus dan hipotalamus, tetapi tidak ada perubahan pada
korteks oksipipus, striatum, otak tengah, thalamus, otak kecil, atau
respons. Stres kronis dalam bentuk footshock berulang atau
berenang air dingin mengakibatkan penurunan BZD reseptor
mengikat di korteks frontal dan hippocampus, dan mungkin di otak
kecil, otak tengah, dan striatum, tetapi dalam korteks oksipital atau
pons. Beberapa efek stres ini dapat dimediasi oleh glukokortikoid,
karena kronik yang terpapar pada tingkat stres CORT mengubah
tingkat mRNA beberapa subunit reseptor GABAA.
Benzodiazepine-GABA-Fungsi Reseptor dalam Gangguan
Kecemasan Reseptor BZD sentral telah terlibat dalam gangguan
kecemasan berdasarkan gangguan anxiolytic dan ansiogenik agonis
BZD dan agonis inversi, masing-masing, dan oleh bukti bahwa
sensitivitas reseptor BZD terhadap agonis BZD berkurang pada
beberapa sub-junction yang mengalami kecemasan. Hipotesis yang
diajukan mengenai peran fungsi reseptor GABAA-BZD dalam
gangguan kecemasan telah mengusulkan baik bahwa perubahan
dalam konformasi kompleks mac-romolekul GABAA-BZD atau
bahwa perubahan dalam konsentrasi atau sifat dari ligand endogen
dan perhitungan untuk gejala kecemasan patologis yang terlihat
pada gangguan kecemasan.4
Stres akut meningkatkan pelepasan DA dan turnover di
beberapa area otak. Proyeksi dopaminergik ke mPFC muncul
18

sangat sensitif terhadap stres, karena stresor singkat atau intensitas


rendah (misalnya, paparan stimuli yang dikondisikan dengan rasa
takut) meningkatkan pelepasan DA dan turnover pada mPFC
karena tidak adanya perubahan yang sesuai pada proyeksi
dopaminergik mesotelencephalic lainnya. Sebaliknya, stres dengan
intensitas yang lebih besar atau durasi penambahan yang lebih
lama meningkatkan pelepasan DA dan metabolisme di area lain
juga. Sensitivitas regional terhadap stres tampaknya mengikuti pola
di mana proyeksi dopaminergik terhadapnya, PFC lebih sensitif
terhadap stres daripada proyeksi mesoaccumbens dan nigrostriatal,
dan proyeksi dopaminergik mesocortical lebih sensitif terhadap
stres, ada sedikit bukti bahwa disfungsi dopaminergik memainkan
peran utama dalam patofisiologi gangguan kecemasan manusia.
Dalam PD, Roy-Byrne et al. menemukan konsentrasi plasma yang
lebih tinggi dari metabolit DA, homovanillic acid (HVA), pada
pasien dengan tingkat kecemasan yang tinggi dan serangan panik
yang sering terjadi relatif terhadap kontrol. Pasien dengan PD juga
terbukti memiliki respons hormon pertumbuhan yang lebih besar
terhadap agonis reseptor DA, apomorfine, dibandingkan dengan
kontrol yang mengalami depresi. Namun, Erikssonet al. tidak
menemukan bukti perubahan dalam konsentrasi HVA CSF pada
pasien dengan PD atau untuk korelasi antara CSF HVA dan
keparahan kecemasan atau frekuensi serangan panik. Selain itu,
studi genetik yang meneliti hubungan antara PD dan polimorfisme
gen untuk reseptor DAD4 dan transporter DA telah menghasilkan
hasil negativer. Dalam fobia sosial, dua studi pencitraan SPECT
awal yang melibatkan sampel subjek kecil melaporkan sampel
yang abnormal di pengikatan DA-reseptor. Tiihonen et al.
ditemukan penurunan yang signifikan dalam pengikatan CIT pada
striatum insocial phobic relatif terhadap sampel kontrol yang sehat,
kemungkinan mencerminkan pengurangan pada pengikatan DA-
transporter. Schneier et al. melaporkan berkurangnya serapan
19

radioligand DA D2 / D3-reseptor, IBZM, pada subjek fobia sosial


relatif terhadap subyek kontrol yang sehat.4
Paparan terhadap berbagai stresor menghasilkan peningkatan
turnover 5-HT dalam mPFC, nucleus accumbens, amygdala,
hipotalamus lateral. Selama paparan rangsangan yang dikondisikan
ketakutan, turnover 5-HT dalam mPFC tampak sangat sensitif
terhadap keparahan stres, besarnya respon perilaku ketakutan yang
dikondisikan meningkat. Namun, paparan sengatan listrik berulang
yang cukup untuk menghasilkan ketidakberdayaan yang dihasilkan
terkait dengan berkurangnya pelepasan 5-HT di korteks frontal,
sebuah temuan yang mungkin mencerminkan kondisi yang di mana
sintesis 5-HT kalah cepat oleh rilis. Pemberian kembali agonis
reseptor BZD atau obat antidepresan trisiklik mencegah reduksi
yang diinduksi stres dalam pelepasan. Efek stres dalam
mengaktifkan 5-HT dapat menstimulasi jalur ansiogenik dan
ansiolitik dengan otak depan, tergantung pada daerah yang terlibat
dan subtipe reseptor 5-HT yang sebagian besar distimulasi.
Terutama, stres dan glukokortikoid memberikan efek besar pada
ekspresi genetik dari reseptor 5-HT1A dan 5-HT2. Ekspresi gen
reseptor sinaptik 5-HT1A adalah penghambatan oleh steroid
adrenal dalam hipokampus dan kemungkinan daerah lain di mana
reseptor mineralokortikoid diekspresikan. Dengan demikian, 5-
HT1A-receptordensity dan tingkat mRNA menurun dalam
menanggapi stres kronis atau pemberian CORT dan meningkat
setelah adrenalectomy. Regresi down-regulasi dari 5-HT1A-
reseptor yang diinduksi stres dicegah oleh adrenalectomy, sebuah
temuan yang menunjukkan pentingnya sirkulasi steroid remaja
dalam memediasi efek ini. Meski keduanya mineralokortikoid dan
stimulasi reseptor glukokortikoid terlibat dalam mediasi efek ini,
yang pertama paling kuat, dan tingkat 5-HT1A mRNA menurun
tajam dalam beberapa jam setelah stimulasi reseptor
mineralokortikoid (296). Sebaliknya, ekspresi reseptor 5-HT2A
20

diatur ke atas selama stres kronis dan administrasi CORT, dan


regulasi turunsebagai respons terhadap adre-nalectomy (298.300).
Mengingat bukti bahwa reseptor 5-HT1A dan 5-HT2 dapat
memainkan peran timbal balik dalam memediasi kecemasan, dapat
dibayangkan bahwa efek mediator kortikosteroid yang dimediasi
pada efek 5-HT1A dan 5-HT2Aeksresi mungkin relevan dengan
patofisiologi kecemasan.4
21
22

Gambar 1.3, Patofisiologi anxietas dan fobia4


23

Panik(2
24

Gambar 1.4, Patofisiologi Panik5

I. “ OBSESSIVE KOMPULSIF DISORDER “


Daerah otak yang mengalami gangguan pada OCD
termasuk dorsolateral prefrontal cortex (DLPC), anteriorcingulate
cortex (ACC), ganglia basal, orbito-frontal cortex
(OFC),striatum,amygdala,thalamus dan batang otak.
a) Korteks prefrontal dorsolateral (DLPC)ini adalah
bagian korteks yang paling penting untuk fungsi kognitif
pada manusia. Keterlibatannyadari DLPC dalam memori
kerja awalnya ditunjukkan dalam studi primata. DLPCjuga
berperan dalam adaptasi terhadap perubahan lingkungan.
DLPC memainkan peran penting dalammemfokuskan
perhatian pada rangsangan tertentu dan dalam pengambilan
keputusan. Lesi DLPCmengganggu kemampuan subjek
untuk memproses informasi sementara dan mengganggu
kesuksesankinerja perilaku yang diarahkan pada tujuan.
Data neuroimaging fungsional telah menunjukkan
berkurangaktivitas di DLPC pasien yang menderita
gangguan kejiwaan seperti besardepresi dan OCD, yang
dapat menjelaskan kesulitan dalam mengatasi
kompulsifperilaku.5
b) Anterior cingulate cortex (ACC)studi neuroimaging
menunjukkan bahwa ACC terlibat dalam berbagai proses
kognitifseperti perhatian, motivasi, hadiah, deteksi
kesalahan, memori yang bekerja, pemecahan masalah
danrencana aksi. Ada dua wilayah utama dalam ACC yaitu.
daerah punggung,dikenal sebagai wilayah kognitif, dan
daerah ventral atau afektif. Wilayah kognitif adalah
bagiannetwok perhatian dan terhubung erat dengan DLPC,
premotor, dan korteks parietalsedangkan, wilayah afektif
terkait dengan amigdala, nucleus accumbens,
hipotalamus,insula anterior, hippocampus dan OFC dan
25

mengirimkan proyeksi ke neuro-vegetatif, visceromotordan


sistem endokrin. Aktivasi berlebihan ACC telah dilaporkan
pada pasienmenghadirkan gangguan kejiwaan seperti fobia,
OCD dan gangguan mood.5
c) Sirkuit ganglia-thalamo-kortikal basal. Pada
dasarnya, peran ganglia basal adalah untuk
mengintegrasikan berbagai input yang datang dari
korteksdan menggunakan informasi ini untuk memilih
program motorik dan / atau kognitif tertentu.
Intinyamasuknya informasi ke basal ganglia adalah melalui
striatum, yang menerima konvergensiinformasi dari korteks
limbik dan asosiatif. Kemudian mengirimkan proyeksi ke
outputstruktur, yaitu globus pallidus pars internalis (Gpi)
dan substantia nigra pars reticulata(SNr), melalui dua jalur:
satu langsung dan tidak langsung lainnya. Jalur tidak
langsung berturut-turutmelibatkan globus pallidus pars
externalis (Gpe) dan nukleus subthalamic (STN).Selain itu,
korteks mengirimkan input langsung ke STN dan koneksi
antara Gpedan Gpi. Kedua jalur ini tampaknya memainkan
peran yang berlawanan dalam mengendalikan aktivitas
kortikal.Aktivasi loop langsung memfasilitasi pemicu
program di tingkat kortikal melaluipenghambatan ganda. Di
sisi lain, loop tidak langsung memblokir aktivasi relai
thalamicdengan meningkatkan aktivitas Gpi, struktur
penghambatan GABA-ergic. Dopamin nigralasal
tampaknya memfasilitasi jalur langsung melalui reseptor
D1 dan memainkanperanpenghambatdi jalur tidak langsung
melalui reseptor D2. Aktivasi patologis tertutup
terpisahsirkuit loop yang melibatkan jalur korteks-basal
ganglia-thalamus-cortex akan menghasilkanaktivitas gema
dan menghasilkan pembuangan terus-menerus dari
karakteristik program bawaanOCD. Manifestasi klinis
26

gangguan neuronal ganglia basal dapat dilihatsebagai


gangguan pemrosesan informasi di tingkat kortikal karena
hilangnya fokus
aksi input subkortikal.5
d) OFC adalah wilayah otak besar, yang meliputi area
rostral dan ventromedial.Karena, ia menerima input
multimodal dari korteks asosiasi temporal, amygdala
danhipotalamus serta komponen limbik ganglia basal, telah
dipandang sebagaipusat integrasi tertinggi untuk
pemrosesan emosional. OFC tampaknya berperan
situasi yang melibatkan insentif / bonus / hadiah dan dalam
kondisi, di mana subjek harusmembuat perubahan cepat
dalam perilaku untuk mengakomodasi perubahan
lingkungan. Beberapa barisbukti menunjukkan bahwa OFC
memainkan peran penting dalam proses pengambilan
keputusan berdasarkan
hadiah. Pasien dengan kerusakan orbitofrontal mengalami
kesulitan besar dalam pengambilan keputusan.Mereka juga
cenderung mengambil risiko, apakah menguntungkan atau
tidak.5
e) OFC tampaknya memainkan peran utama dalam
aspek motivasi pengambilan keputusan. Di antara yang
lebih posteriorarea kortikal, korteks parietal inferior kiri
dan persimpangan parieto oksipital terlibattugas kognitif
yang berkaitan dengan citra visual. Kurang aktifnya
wilayah-wilayah ini mungkin bisamenjelaskan defisit
memori spasial dan defisit memori visual yang diamati
pada pasien OCD. Ituritual berulang (kompulsi) dan
perilaku agresif, yang dominan dalam OCDpasien mungkin
karena penipisan serotonin.5
f) Striatum diketahui dibentuk oleh dua jenis modul
pemrosesan informasi: thestriasoma dan matrisom.
27

Striasom menerima informasi dari struktur limbikseperti


amygdala, OFC & ACC. Pada gilirannya, mereka mengirim
proyeksi keneuron dopaminergik dari substantia nigra.
Temuan anatomi ini menunjukkan bahwastriasom juga
dapat berperan dalam modulasi emosional informasi
kortikal. Sedangkanmatrisom menerima informasi dari
bagian lateral korteks premotor dan prefrontal,yang terlibat
dalam perilaku antisipasi dan perencanaan.Antar-neuron
kolinergik striatum, yaitu. tonically active neuron (TANS),
mungkinmemainkan peran tertentu dalam mengintegrasikan
informasi
yangmengalirmelaluistriasomdanmatrisom.Neuron-neuron
ini dapat membentuk sistem saraf yang terlibat dalam
pemrosesanbeberapa aspek informasi, seperti pendeteksian
peristiwa yang tidak terduga atau konteksdiskriminasi
rangsangan.Bagian limbik striatum (ventral striatum) di
bawah kendali dopaminergikaferen mungkin terlibat dalam
proses pembelajaran yang digerakkan oleh hadiah. Di sisi
lain, punggungstriatum tampaknya terlibat dalam
pembelajaran prosedural tentang rutinitas perilaku yang
adadilakukan tanpa sadar. Secara khusus, dalam konteks
pembelajaran prosedural,
gangguan fungsi "kesiapan" dan "pelepasan" yang dianggap
berasal dari striatummendukung beberapa aspek
patofisiologi OCD. Namun, striatum juga bisa
berperandalam proses lain yang berpotensi terganggu dalam
OCD, seperti modulasi informasi emosionaldan
representasi dari konsekuensi tindakan yang diharapkan. Di
sisi lain, kinerjaperilaku berulang pada pasien OCD
mungkin memiliki efek positif pada pengurangan
kecemasan,suatu proses yang dapat berasimilasi dengan
beberapa bentuk penghargaan.5
28

g) Amigdaladanberbagaikeluarannyamungkinmemainkan
peran utama dalam memediasi tanda-tanda klinis dan gejala
ketakutan dan kecemasan. Secara skematis, amigdala terdiri
dari beberapa nuklei, seperti nukleus lateral, inti basolateral
dan inti sentral. Namun, bukti terbaru mendukung
yangmendasar.Gagasan bahwa amigdala tidak hanya
terlibat dalam emosi negatif seperti ketakutan dan
kecemasan tetapi juga dalam proses penghargaan dan
motivasi melalui koneksi timbal balik ke inti accumbens
dan OFC. Dengan demikian, amygdala tampaknya
memainkan peran penting dalam ekspresi emosi dan
motivasi, mungkin melalui hubungannya dengan OFC,
ACC dan ventral striatum. Disfungsi struktur ini, seperti
yang disarankan oleh beberapa neuroimaging studi pada
pasien OCD, mungkin memediasi kecemasan non-spesifik
yang dialami relatif terhadap pikiran obsesif.5
h) Posisi diencephalic dari thalamus di otak
menjelaskan mengapa ia menerima kortikal besarinput. Ini
berpartisipasi dalam ekspresi emosional melalui AN (inti
anterior darithalamus), yang terhubung ke MB
(mammillary bodies) dan, pada gilirannya, mengirimkan
proyeksike ACC. Peran diduga VA (ventral anterior
nucleus thalamus) dalam kognitiffungsi yang melibatkan
perhatian dan memori yang bekerja didasarkan
padatautandenganDLPC.Diskritbagian-bagian MD (nukleus
dorsal medial thalamus) tampaknya penting dalam kedua
emosidan pemrosesan kognitif melalui hubungan anatomi
preferensial mereka dengan OFC dan DLPC. Disfungsi
thalamik telah dikaitkan dengan defisit fungsi eksekutif
seperti perencanaan, perilaku yang diarahkan pada tujuan,
perhatian, dan memori yang bekerja.5
29

i) Input batang otak, sistem dopaminergik


mesokortikolimbik berasal dari mesencephalon ventral,
yang meliputi daerah tegmental Ventral (VTA), dan
memproyeksikankenukleusaccumbens dengan daerah
striatal ventral limbik lainnya dan daerah kortikal, terutama
OFC, DLPC, ACC. Dopamin berkontribusi pada organisasi
dan regulasi perilaku yang diarahkan pada tujuan. Neuron
penghasil serotonin utamanya terletak di batang otak raphe
nuclei. Deskripsi anatomi dan perkembangan nukleus
batang otak telah menunjukkan bahwa mereka membentuk
neurokimia terbesar dan paling kompleks sistem eferen di
otak manusia. Teori umum telah menghubungkan berbagai
perilaku berfungsi untuk serotonin, yang dianggap sebagai
penghambat umum perilaku motorik. Di Sebaliknya, fungsi
serotonin berkurang telah terbukti meningkatkan eksplorasi,
alat gerak aktivitas, agresi dan perilaku seksual pada hewan
dan manusia. Itu ritual berulang (kompulsi) dan perilaku
agresif, yang dominan dalam OCD pasien mungkin karena
penipisan serotonin.5

Gambar 1.6,Patofisiologi Obsessive-kompulsif disorder.5


2. KRITERIA DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA NON PSIKOTIK (PPDGJ
III, DSM V)
A. “ F40.0 AGORAFOBIA “
Agorafobia merupakan jenis Fobia yang menyebabkan
ketidakmampuan berat bagi pasien karena membuat seseorang
tidak mampu berfungsi dengan baik ditempat kerja maupun
dilingkungan sosial diluar rumah. Agorafobia hampir selalu terjadi
akibat komplikasi pada pasien dengan gangguan panik. Tetapi
sebagian peneliti lain kurang setuju karena Agorafobia bisa juga
tanpa riwaat Gangguan Panik. Serangan Panik bisa juga ditemukna
pada ganguan mental lain (seperti: Gangguan Depresi) dan kondisi
medik tertentu (seperti: Gangguan Putus Zat atau Keracunan).6
30

a) Faktor Biologik: Penelitian berdasarkan biologik pada


Gangguan Panik ditemukan peningkatan aktifitas syaraf
simphatis. Penelitian neuroendokrin menunjukkan beberapa
abnormalitas hormon terutama kortisol. Neurotransmitter
yang berpengaruh pada Gangguan Panik adalah Epinefrin,
Serotonin, dan Gama Amino Butyric Acid (GABA).
b) Faktor Genetik : Keluarga generasi pertama pasigot.ien
Gangguan Panik 4 – 8 kali beresiko untuk menderita
gangguan ini. Kembar monozigot resiko lebih besar
daripada dizigot.
c) Faktor Psikososial :
i. Teori Kognitif Perilaku: kecemasan bisa sebagai
satu respon yang dipelajari dari perilaku orangtua
atau melalui proses kondisioning klasik yang terjadi
sesudah adanya stimulus luar yang menyebabkan
individu menghindari stimulus tersebut.
ii. Teori Psikososial: serangan panik muncul karena
gagalnya pertahanan mental menghadapi impuls /
dorongan yang menyebabkan anxietas. Sedangkan
Agorafobia akibat kehilangan salah satu orang-tua
pada masa anak-anak dan ada-nya riwayat cemas
perpisahan. Pengalaman perpisahan traumatik pada
masa anak-anak bisa mempengaruhi susunan syaraf
yang menyebabkannya menjadi mudah jatuh kepada
anxietas pada masa dewasa. Pasien dengan riwayat
pelecehan fisik dan seksual pada masa anak juga
beresiko untuk menderita Ganggaun Panik.6

Pedoman diagnosis
Semua kriteria dbawah ini harus dipenuhi untuk diagnosa pasti :
a) Gejala psikologik perilaku atau otonomik yang timbul
harus merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan
31

bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya


waham atau pikiran obsesif.
b) Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutamaterjadi
dalam hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut
: banyak orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar
rumah, bepergian sendiri. dan
c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan
gejala yang menonjol (penderita menjadi “house bound”.7

B. “ F40.1 FOBIA SOCIAL “


Adalah ketakutan yang berlebihan bahwa dirinya akan
dilihat dan diamati oleh orang lain. Individu dengan social phobia
merasa sangat terganggu dengan adanya kemungkinan bahwa ia
akan melakukan kesalahan atau menunjukkan tandatanda
kecemasan yang akhirnya membuat ia dipermalukan di depan
orang lain.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
fobia social yaitu interaksi antara faktor kerentanan psikologis dan
biologis, peristiwa traumatis atau tekanan hidup, serta adanya
siklus yang berulang dari pikiran negatif, perasaan dan perilaku
menghindar yang menyebabkan kecemasan bertahan.6
a) Kerentanan Genetik Beberapa hasil penelitian
membuktikan peran faktor genetik terhadap social phobia.
Salah satunya adalah sebuah penelitian yang dilakukan
terhadap saudara kembar, berdasarkan hasil ditemukan
kecocokan sebesar 24.4% untuk kembar monozigot
perempuan dan 15.3% untuk kembar monozigot laki-laki
b) Temperamen Behavioral Inhibition Beberapa studi
menemukan bahwa tipe temperamen dengan karakteristik
pemalu, cenderung menahan diri dan menghindar
merupakan faktor resiko bagi berkembangnya social phobia
di kemudian hari.
32

c) Pengalaman dari lingkungan Pengalaman hidup yang sering


dikatakan berpengaruh dalam berkembangnya simptom-
simptom social phobia diantaranya adalah lingkungan
keluarga yang maladaptif, tingginya kritikan dan kontrol
dari orang, serta trauma akibat pengalaman panik pada
suatu situasi. Setiap pengalaman tersebut berpotensi untuk
menciptakan umpan balik negatif terkait dengan
kecemasan, perilaku menghindar dan hambatan dalam
kemampuan sosial.7
Pedoman diagnostic
a) Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnostik
pasti :
i. Gejala psikologis perilaku atau otonomik yang
timbul harus merupakan manifestasi primer dari
anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala
lain seperti misalnya waham dan pikiran obsesif.
ii. Anxietas harus mendominasi atas terbatas pada
situasi social tertentu (outside the family circle) dan
iii. Menghindari situasi fobik harus atau sudah
merupakan gejala yang menonjol.
b) Bila terlalu sulit membedakan anxietas sosial dengan
agoraphobia, hendaknya diutamakan diagnosis agoraphobia
(F40.0).7
C. “ F40.2 FOBIA KHAS (TERISOLASI) “
adalah kecemasan yang signifikan terhadap objek atau situasi yang
menakutkan, dan sering menampilkan perilaku menghindar
terhadap objek atau situasi tertentu. Etologi penyebabnya yaitu :
a. Traumatic event Kebanyakan orang yang mengalami specific
phobia disebabkan oleh kejadian trauma.
b. Information transmition Seseorang dapat mengalami specific
phobia karena sering mengingat sesuatu yang berbahaya.6

Kriteria diagnostic
33

a) Semua kriteria dibwah ini harus dipenuhi untuk diagnosis


pasti :
i. Gejala psikologis perilaku atau otonomik yang
timbul harus merupakan manifestasi primer dari
anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala
lain seperti misalnya waham dan pikiran obsesif.
ii. Anxietas harus terbatas pada adanya objek atau
situasi fobik tertentu (highly specific situations), dan
iii. Situasi fobik tersebut sedapat mungkin
dihindarinya.
b) Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik
lain. Tidak seperti halnya agoraphobia dan fobia sosial.7

D. “ F.41.0 GANGGUAN PANIK (ANXIETAS PAROKSIMAL


EPISODIK)“
Gangguan panik adalah jenis gangguan kecemasan yang
ditandai, oleh 'serangan panik' berulangulang, yaitu periode
terpisah dari perasaan ketakutan yang intens dan berhubungan
dengan gejala fisik seperti jantung berdebar-debar, sesak napas,
berkeringat, gemetar, ketidaknyamanan di dada, pusing dan
sebagainya. Penderita gangguan panik sering merasa cemas bahwa
gejala ini adalah indikasi adanya penyakit parah seperti sakit
jantung atau kehilangan kontrol, dan dengan demikian ia akan
mencegah terjadinya serangan panik dengan menghindari tempat
atau situasi tertentu. Penghindaran seperti itu bisa meningkatkan
perasaan ketakutan dan kecemasan yang mengakibatkan lingkaran
setan kepanikan dan kecemasan.6
Beberapa faktor mungkin terlibat sebagai penyebab
gangguan panik. Peristiwa stres dan perubahan besar dalam hidup,
seperti pengangguran jangka panjang, kehilangan orang yang
dicintai bisa memicu gangguan panik. Pada awalnya, ketika orang
berada di bawah stres sedang, mekanisme normal otak untuk
34

bereaksi terhadap ancaman. Tidak ada penyebab tunggal dari


gangguan panik, beberapa faktor memberikan kontribusi termasuk:
a) Faktor biologis: keturunan, ketidakseimbangan kimia zat
pengontrol fungsi otak, sistem saraf simpatik terlalu sensitif
b) Faktor psikologis: orang yang mudah cemas, pesimis dan
kurang merasa aman
c) Faktor lingkungan: pengalaman negatif di masa kecil,
peristiwa stres (misalnya mengalami bencana, kecelakaan),
stres kehidupan sehari-hari lainnya (misalnya pergantian
pekerjaan, masalah hubungan antar pribadi).6

Kriteria diagnostik
a) Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama
bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik (F
40.-)
b) Untuk diagnosis pasti harus ditemukan adanya beberapa
kali serangan anxietas berat (severe attack of autonomic
anxiety) dalam masa kira-kira satu bulan :
i. Pada keadaan dimana sebenarnya secara objektif
tidak ada bahaya
ii. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau
yang dapat diduga sebelumnya (unpredictable
situations).
iii. Dengan keadaan yang relatif bebas dari dari gejala-
gejala anxietas pada periode diantara serangan
anxietas pada periode diantara serangan-serangan
panik (meskipun demikian umumnya dapat terjadi
juga “anxietas andapat terjadi juga “anxietas
antisipatoric” yaitu anxietas yang terjadi setelah
membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan
akan terjadi.7
35

E. “ F41.1 GANGGUAN CEMAS MENYELURUH “


Gangguan kecemasan adalah sekelompok kondisi yang
memberi gambaran penting tentang kecemasan yang berlebihan,
disertai respons perilaku, emosional, dan fisiologis. Individu yang
mengalami gangguan kecemasan dapat memperlihatkan perilaku
yang tidak lazim seperti panik tanpa alasan, takut yang tidak
beralasan terhadap objek atau kondisi kehidupan, melakukan
tindakan berulang-ulang tanpa dapat dikendalikan, mengalami
kembali peristiwa yang traumatik, atau rasa khawatir yang tidak
dapat dijelaskan atau berlebihan. Pada kesempatan yang jarang
terjadi, banyak orang memperlihatkan salah satu dari perilaku yang
tidak lazim tersebut sebagai respons normal terhadap kecemasan.
Perbedaan antara respons kecemasan yang tidak lazim ini dengan
gangguan kecemasan ialah bahwa respons kecemasan cukup berat
sehingga bisa mengganggu kinerja individu, kehidupan keluarga,
dan gangguan sosial.6

Kriteria diagnostic
a) Penderita harus menunjukkan kecemasan sebagai gejala
primer yang berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa
minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau
hanya menonjolpada keadaan situasi khusus tertentu saja
(sifatnya “free floating” atau “mengambang”.
b) Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur
berikut:
i. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa
seperti di ujung tanduk, sulit konsentrasi, dsb).
ii. Ketegangan motoric (gelisah, sakit kepala,
gemetaran, tidak dapat santai); dan
iii. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan,
berkeringat, janOveraktivitas otonomik (kepala
terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar,
sesak nafas, keluhan kembung, pusing kepala, mulut
36

kering, tung berdebar-debar, sesak nafas, keluhan


kembung, pusing kepala, mulut kering, dsb).
c) Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan
untuk ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan
somatic brulang yang menonjol.
d) Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk
beberapa hari), khususnya depresi, tidak membatalkan
diagnosis utama. Gangguan anxietas menyeluruh, selama
hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode
depresi (F32), gankap dari episode depresi (F32), gangguan
anxietas fobik (F40), gangguan panic (F41.0), gangguan
obsesif kompulsif (F42.).7

F. “ F41.2 GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI “


Merupakan gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana
masingmasing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup
berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas,
beberapa gejala otonomik, harus ditemukan walaupun harus tidak
terus menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran
berlebihan.6

Kriteria diagnostik
a) Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana
masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang
cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk
anxietas, beberapa gejala otonomik, harus ditemukan walaupun
hasus tidak terus menerus, disamping rasa cemas atau
kekhawatiran berlebihan.
b) Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang lebih
ringan, maka harus dipertimbangkan kategori gangguan
anxietas lainnya atau gangguan anxietas fobik.
37

c) Bila ditemukan sindrom depresi dan cemas yang cukup berat


untuk menegakkan diagnosis maka kedua diagnosis tersebut
harus dikemukakan, dan diagnosis gangguan campuran tidak
dapat digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya dapat
dikemukakan satu diagnosis maka gangguan depresif harus
diutamakan.
d) Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stress
kehidupan yang jelas maka harus digunakan kategori F.43.2
(gangguan penyesuaian).7

G. “ F41.3 GANGGUAN ANXIETAS CAMPURAN LAINNYA “


Kriteria diganotik
a) Memenuhi criteria gangguan anxietas menyeluruh dan juga
menunjukkan (meskipun hanya dalam jangka waktu pendek)
cirri-ciri yang menonjol dari kategori gangguan F40-F49, akan
tetapi tidak memenuhi kriterianya secara lengkap.
b) Bila gejala-gejala yang memenuhi criteria dari kelompok
gangguan ini terjadi dalam kaitan dengan perubahan atau stress
kehidupan yang bermakna, maka dimasukkan dalam kategori
F43.2, gangguan penyesuaian.7

H. “ F42 GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF “


Obsesif adalah unsur pemikiran yang berulang timbul dalam
kesadaran, sekalipun pasien tidak menghendaki untuk
memikirkannya. Ia tidak sanggup mengeluarkannya dari
kesadarannya atas kemauan sendiri, ia seolah dipaksa untuk
memikirkan, mengingat atau membayangkan. Kompulsi adalah
Dorongan untuk melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan
tertentu yang apabila dilawan atau tidak dilaksanakan akan
menimbulkan ketegangan yang sangat. Pasien seolah olah dipaksa
menyerah pada impuls untuk melakukan perbuatan itu sekalipun
38

tidak menyukainya dan tidak memperoleh kepuasan dari perbuatan


tersebut. Beberapa factor penyebab :
a. Faktor genetik Kerabat tingkat pertama dari penderita
memiliki kemungkinan lebih besar menderita OCD.
b. Faktor biologis Penelitian menunjukkan berhubungan
dengan tingkat serotonin yang rendah, dan kelainan pada
korteks orbito-frontal dan ganglia dasar dalam otak.
c. Faktor psikologis Orang yang mudah cemas, perfeksionis
atau lebih suka menjaga sesuatu bersih dan rapi cenderung
rawan terkena gangguan ini.6
Kriteria diagnostik :
a) Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala
obsesif atau tindakan kompulsif atau kedua-duanya,
harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya dua
minggu berturut-turut.
b) Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress)
atau mengganggu aktivitas penderita.
c) Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut :
i. harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri
sendiri.
ii. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang
tidak berhasil dilawan, meskipun ada lainnya
yang tidak lagi dilawan oleh penderita.
iii. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut
diatas bukan hal yang memberi kepuasan atau
kesenangan (sekedar perasaan lega dari
ketegangan atau anxietas, tidak dianggap seb,
tidak dianggap sebagai kesenangan seperti
diatas).
iv. Gagasan, bayangan pikiran atau impuls
tersebGagasan, bayangan pikiran atau impuls
39

tersebut harus merupakan pengulangan yang


tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).
d) Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran
(obsesif) dengan depresi. Penderita gangguan obsesif
kompulsif juga menunjukkan gejala depresi dan
sebaliknya penderita gangguan depresi berulang (F33.-)
dapat menunjukkan pikiranunjukkan pikiran-pikiran
obsesif selama spisodee deepresifmya. Dalam berbagai
situasi dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut
meningkat atau menurunnya gejala depresif umumnya
dibarengi secara parallel dengan perubahan gejala
obsesif, Bila terjadi episode akut dari gangguan
tersebut, maka diagnosis diutamakan dari gejalagejala
yang timbul lebih dahulu. Diagnosis gangguan obsesif
kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada gangguan
dpresif pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut
timbul. Bila dari keduanya tidak ada yang menonjol,
maka lebih baik menganggap depresi sebagai diagnosis
primer. Pada gangguan menahun, maka priotas
diberikan pada gejala yang paling bertahan saat gejala
lain menghilang.
e) Gejala obsesif “sekunder” yang terjadi pada gangguan
skiofrenia, sindroma tourrette atau gangguan mental
organic harus dianggap sebagai bagian dari keadaan
tersebut.7
I. “ F42.0 PREDOMINAN PIKIRAN OBSESIF ATAU PENGULANGAN “
Kriteria diagnostik
a) Keadaan ini dapat berupa : gagasan, bayangan fikiran,
atau impuls (dorongan perbuatan), yang sifatnya
mengganggu (ego alien).
b) Meskipun isi fikiran tersebut berbeda-beda, umumnya
hamper selalu menyebabkan penderitaan (distress).7
40

J. “ F42.1 PREDOMINAN TINDAKAN KOMPULSIF (OBSESSIONAL


RITUALS) “
Kriteria diagnostik
a) Umumnya tindakan kompulsif berkaitan dengan :
kebersihan (khususnya mencuci tangan), memeriksa
berulang untuk meyakinkan bahwa suatu situasi yang
dianggap berpotensi bahaya tidak terjadi atau masalah
kerapihan dan keteraturan.
Hal tersebut dilatar belakangi perasaan takut terhadap
bahaya yang mengancam dirinya atau bersumber dari
dirinya dan tindakan ritual tersebut meriupakan ikhtiar
simbolik dan tidak efektif untuk menghindari bahaya
tersebut.
b) Tindakan ritual kompulsif tersebut menyita waktu
sampai beberapa jam dalam sehari dan kadang – kadang
berkaitan dengan ketidakmampuan mengambil
keputusan dan kelambanan.7

K. F42.2 CAMPURAN PIKIRAN DAN TINDAKAN OBSESIF


Kriteria diagnostik
a) Kebanyakan dari penderita – penderita obsesif –
kompulsif memperlihatkan pikiran serta tindakan
kompulsif.
Diagnosis ini digunakan bilamana kedua hal tersebut
sama – sama menonjol, yang umumnya memang
demikian.
b) Apabila salah satu memang jelas lebih dominan,
sebaiknya dinyatakan dalam diagnosis F42.0 atau
F42.1. Hal ini berkaitan dengan respon yang berbeda
terhadap pengobatan. Tindakan kompulsif lebih
responsif terhadap terapi perilaku.7
41

L. “ F43.0 REAKSI STRES AKUT “


Pedoman diagnostic
a) Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara
terjadinya pengalaman stressor luar biasa (fisik atau
mental) dengan onset dari gejala, biasanya setelah
beberapa menit atau segera setelah kejadian.
b) Selain itu ditemukan gejala :
i. Terdapat gambaran gejala campuran yang
biasanya berubah-ubah; selain gejala permulaan
berupa keadaan “terpaku” (daze) semua hal
berikut dapat terlihat; depresi, anxietas,
kemarahan, kecewa, overaktif dan penarikan
diri.
Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut
yang mendominasi gambaran klinisnya untuk
waktu yang lama
ii. Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari
lingkup stressornya, gejala-gejala dapat
menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam);
dalam hal ini dimana stres menjadi
berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan, gejala-
gejala biasanya baru mereda setelah 24-48 jam
dan biasanya hampir menghilang setelah 3 hari.
c) Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan
kambuhan mendadak dari gejala-gejala pada individu
yang sudah menunjukkan gangguan psikiatrik lainnya.
d) Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan
diri memegang peranan dalam terjadinya atau beratnya
suatu reaksi stres akut.7

M. F43.0 GANGGUAN STRES PASCA-TRAUMA


42

Pedoman diagnostic
a) Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini
timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian
traumatik berat (masa laten yang berkisar antara
beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai
melampaui 6 bulan).Kemungkinan diagnosis masih
dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat
kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan,
asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak
didapati alternatif kategori gangguan lainnya
b) Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan
bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian
traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali
(flashback)
c) Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainann
tingakah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis
tetapi tidak khas.
d) Suatu “sequale”menahun yang terjadi melambat setelah
stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh
tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0
(perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah
mengalami katastrofa).7
N. F43.2 GANGGUAN PENYESUAIAN
Pedoman diagnostic
a) Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan
antara :
i. Bentuk, isi dan beratnya gejala;
ii. Riwayat, sebelumnya dan corak kepribadian; dan
iii. Kejadian, situasi yang “stresful” atau krisis
kehidupan.
43

b) Adanya faktor ketiga diatas (c) harus jelas dan bukti yang
kuat bahwa gangguan tersebut tidak akan terjadi seandainya
tidak mengalami hal tersebut.
c) Manifestasi dari gangguan bervariasi, dan mencakup afek
depresi, anxietas-depresif, gangguan tingkah laku, disertai
adanya disabilitas dalam kegiatan rutin sehari-hari. Tidak
ada satupun dari gejala tersebut yang spesifik untuk
mendukung diagnosis.
d) Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya
kejadian yang “stressful” dan gejala-gejala biasanya tidak
bertahan melebihi 6 bulan, kecuali dalam hal reaksi
depresif berkepanjangan (F43.21)7

Karakter kelima : F43.20 = Reaksi depresi singkat

F43.21 = Reaksi depresi berkepanjangan

F43.22 = Reaksi campuran anxietas dan depresi

F43.23 = Dengan predominan ganguan emosi lain

F43.24 = Dengan predominan ganguan perilaku

F43.25 = Dengan gangguan campuran emosi dan perilaku

F43.28 = Dengan gejala predominan lainnya YDT

O. F43.8 Reaksi Stres Berat Lainnya


P. F43.9 Reaksi Stres Berat YTT
Q. F44.0 AMNESIA DISOSIATIF
Pedoman diagnostic
a) Ciri utama adalah hilangnya daya ingat, biasanya mengenai
kejadian penting yang baru terjadi (selective), yang bukan
disebabkan oleh gangguan mental organik dan terlalu luas
untuk dapat dijelaskan atas dasar kelupaan yang umum
terjadi atau atas dasar kelelahan.
b) Diagnosis pasti memerlukan :
44

i. Amnesia, baik total atau parsial, mengenai kejadian


yang “stressful” atau traumatik yang baru terjadi
(hal ini mungkin hanya dapat dinyatakan bila ada
saksi yang memberi informasi);
ii. Tidak ada gangguan mental organik, intoksikasi
atau kelelahan berlebihan (sindrom anemsik
organik, F04, F1x.6)
c) Yang paling sulit dibedakan adalah “amnesia buatan” yang
disebabkan leh simulasi secara sadar (malingering) untuk
itu penilaian secara rinci dan berulang mengenai
kepribadian premorbid dan motivasi diperlukan. Amnesia
buatan (consious stimulation of amnesia) biasanya
berkaitan dengan problema yang jelas mengenai keuangan,
bahaya kematian dalam peperangan, atau kemungkinan
hukum penjara atau hukuman mati.7

R. F44.1 FUGUE DISOSIATIF


Pedoman diagnostic
a) Untuk diagnosis pasti harus ada :
i. Ciri amnesia disosiatif (F44.0);
ii. Melakukan perjalanan tertentu melampaui hal yang
umum dilakukannya sehari-hari; dan
iii. Kemampuan mengurus diri yang dasar tetap ada
(mandi, makan, dsb) dan melakukan interaksi sosial
sederhana dengan orang-orang yang belum
dikenalnya(misalnya membeli karcis atau bensin,
menanyakan arah, memesan makanan)
b) Harus dibedakan “postictal fugue” yang terjadi setelah
serangan epilepsi lobus temporalis, biasanya dapat
dibedakan dengan cukup jelas atas dasar riwayat
penyakitnya, tidak adanya problem atau kejadan yang
“stressful” dan kurang jelasnya tujuan (fragmented)
45

berkepergian serta kegiatan dari penderita epilepsi


tersebut.7

S. F44.2 STUPOR DISOSIATIF


Pedoman diagnostic
a) Untuk diagnosis pasti harus ada :
i. Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya
gerakan gerakan volunterdan respon normal
terhadap rangsanagan luar seperti misalnya
cahaya, suara, dan perabaan (sedangkan kesadaran
tidak hilang)
ii. Tidak ditemukan adanya gangguan fisik ataupun
gangguan jiwa lainnya yang dapat menjelaskan
keadaan stupor tersebut
iii. Adanya problem atau kejadian-kejadian baru yang
“stressful” (psychogenic causation)
b) Harus dibedakan dari stupor katatonik (pada skizofrenia
dan stupor depresif atau manik (pada gangguan afektif
berkembang sangat lambat, sudah jarang ditemukan).7

T. F44.3 GANGGUAN TRANS DAN KESURUPAN


Pedoman diagnostic
a) Gangguan ini menunjukan adanya kehilangan sementara
aspek penghayatan akan identitas diri dan kesadaran
terhadap lingkungannya; dalam beberapa kejadian,
individu tersebut berperilaku seakan-akan dikuasi oleh
kepribadian lain, kekuatan gaib, malaikat atau “kekuatan
lain”
b) Hanya gangguan khas “involunter” (diluar kemauan
individu) dan bukan merupakan aktivitas yang biasa, dan
bukan merupakan kegiatan keagamaan atapun budaya yang
boleh dimasukan dalam pengertian ini.
46

c) Tidak ada penyebab organik (misalnya epilepsi lobus


temporalis, cedera kepala, intoksikasi zat psikoaktif) dan
bukan bagian dari gangguan jiwa tertentu (misalnya
skizofrenia, gangguan kepribadian multipel).7

U. F44.4 GANGGUAN MOTORIK DISOSIATIF


a) Bentuk yang paling umum dari gangguan ini adalah
ketidakmampuan untuk menggerakan seluruh atau sebagian
dari anggota gerak (tangan atau kaki)
b) Gejala tersebut seringkali menggambarkan konsep dari
penderita mengenai gangguan fisik yang berbeda mengenai
prinsip fisiologik maupun anatomik.7

V. F44.5 KONVULSI DISOSIATIF


Konvulsif disosiatif (psudo seizure) dapat sangat mirip dengan
kejang epileptik dalam hal gerakan-gerakannya, akan tetapi sangat
jarang disertai lidah tergigit, luka serius karena jatuh saat serangan
dan menggompol. Juga tidak dijumpai kehilangan kesadaran atau
hal tersebut diganti dengan keadaan seperti stupor atau trans.7

W. F44.6 ANESTESIA DAN KEHILANGAN SENSORIK DISOSIATIF


a) Gejala anestesi pada kulit seringkalimempunyai batas-batas
yang tegas (menggambarkan pemikiran pasien mengenai
fungsi tubuhnya dan bukan menggambarkan kondisi klinis
sebenarnya).
b) Dapat pula terjadi perbedaan antara hilangnya perasaan
pada berbagai jenis modalitas penginderaan yang tidak
mungkin disebabkan oleh kerusakan neurologis, misalnya
hilangnya perasaan dapat disertai dengan keluhan
parastesia.
c) Kehilangan penglihatan jarang bersifat total, lebih banyak
berupa gangguan ketajaman penglihatan, kekaburan atau
“tunnel vison” (area lapangan pandangan sama, tidak
47

tergantung pada perubahan jarak mata dari titik fokus).


Meskipun ada gangguan penglihatan, morbilitas penderita
dan kemmapuan motoriknya seringkali masih baik.
d) Tuli disosiatif dan anosmia jauh lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan hilang rasa dan penglihatan.7

X. F44.7 GANGGUAN DISOSIATIF (KONVERSI) CAMPURAN


Campuran dari gangguan-gangguan tersebut diatas (F44.0-F44.6).7

Y. F44.8 GANGGUAN DISOSIATIF (KONVERSI) LAINNYA


F44.80 = Sindrom ganser (ciri khas : “approximate answers”
disertai beberapa gejala disosiatif lain)
F44.81 = Gangguan kepribadian multiple
F44.82 = Gangguan disosiatif (konversi) sementara masa kanak
dan remaja
F44.88 = Gangguan disosiatif (konversi) lainnya YDT, (termasuk :
psycogenic confusion, twilight state).7

Z. F44.9 Gangguan Disosiatif (Konversi) YTT

3. DIAGNOSIS BANDING GANGGUAN JIWA NON PSIKOTIK


48

F44.1 Fugue disosiatif


F44.2 Stupor disosiatif
F44.3 Gangguan trans dan kesurupan
F44.4 Gangguan motorik disosiatif
F44.5 Konvulsi disosiatif
F44.6 Anestesia dan kehilangan sensorik disosiatif
F44.7 Gangguan disosiatif [konversi] campuran
F44.8 Gangguan disosiatif [konversi] lainnya
.80 Sindrom Ganser
.81 Gangguan kepribadian multiple
49

.82 Gangguan disosiatif [konversi] sementara terjadi pada rnasa kanak dan
remaja
.83 Gangguan disosiatif [konversi] lainnya YDT
F44.9 Gangguan disosiatif [konversil YTT
F45 GANGGUAN SOMATOFORM
F45.0 Gangguan somatisasi
F45.1 Gangguan somatoform tak terinci
F45.2 Gangguan hipokondrik
F45.3 Disfungsi otonomik somatoform
.30 Jantung dan sistem kardiovaskular
.31 Saluran pencernaan bagian atas
.32 Saluran pencernaan bagian bawah
.33 Sistem pernafasan
.34 Sistem genitourinaria
.38 Sistem atau organ lainnya
F45.4 Gangguan nyeri somatoform menetap
F45.8 Gangguan somatoform lainnya
F45.9 Gangguan somatoform YTT
F48 GANGGUAN NEUROTIK LAINNYA
F48.0 Neurastenia
F48.1 Sindrom depersonalisasi - derealisasi
F48.8 Gangguan neurotik lainnya YDT
F48 9 Gangguan neurotik YTT
50
51
52
53
54
55
56
57
58

4. PENATALAKSANAAN GANGGUAN JIWA NON PSIKOTIK

A. PENATALAKSANAAN FOBIA
Secara umum terapi Fobia meliputi:
a) Terapi Psikologik.
59

i. Terapi perilaku: merupakan terapi yang paling


efektif dan sering diteliti. Seperti desensitisasi
sistematik yang sering dilakukan; terapi pemaparan
(exposure), imaginal exposure, participent
modelling, guided mastery, imaginal flooding.
ii. Psikoterapi berorientasi tilikan.
iii. Terapi lain: hypnotherapy, psikoterapi suportif,
terapi keluarga bila diperlukan.

Farmakoterapi
Terapi agorafobia sama seperti gangguan panik,
terdiri dari obat anti anxietas, antidepresan, dan psikoterapi
khususnya terapi kognitif perilaku.
Terapi terhadap fobia spesifik yang terutama adalah
terapi perilaku yaitu terapi pemaparan (Exposure therapy).
Juga diajarkan menghadapi kecemasan dengan teknik
relaksasi, mengontrol pernapasan, dan pendekatan kognitif.
Penggunaan anti anxietas yaitu untuk terapi jangka pendek.
Terapi terhadap fobia sosial terbatas, dapat
menggunakan obat β-bloker ,anti anxietas, anti depresan
serta terapi kognitif perilaku secara individual dan
kelompok.
Beberapa penelitian yang terkontrol dengan baik
telah menemukan bahwa inhibitor monoamine oksidase,
khususnya phenelzine (Nardil), adalah efektif dalam
mengobati fobia sosial tipe umum. Obat lain yang telah
dilaporkan efektif, walaupun tidak banyak uji coba
terkontrol baik adalah alprazolam, clonazepam, dan
kemungkinan inhibitor ambilan kembali serotonin. Dosis
untuk obat tersebut adalah sama dengan yang digunakan
pada gangguan depresif, dan respon biasanya memerlukan
waktu empat sampai enam minggu.8
60

B. PENATALAKSANAAN GANGGUAN ANXIETAS LAINNYA


Terdiri dari pemberian farmakaterapi dan psikoterapi.
a) Farmakoterapi:
Terapi farmakologik terdiri atas:
i. Obat trisiklik dan tetrasiklik
Clomipramine dan imipramine adalah efektif dalam
pengobatan gangguan panik. Tetapi pengalaman
klinis menyatakan bahwa clomipramine dan
imipramine harus dimulai pada dosis rendah, 10 mg
sehari dan dititrasi perlahan-lahan pada awalnya
dengan 10 mg sehari tiap dua sampai tiga hari,
selanjutnya lebih cepat, denga 25 mg sehari tiap dua
sampai tiga hari, jika dosis rendah ditoleransi
dengan baik.8
ii. Inhibitor monoamine oksidase
Sebagian besar penelitian telah menggunakan
phenelzine (Nardil) walaupun beberapa penelitian
telah menggunakan tranylcypromine (Parnate).
Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa
MAOIs adalah lebih efektif dibandingkan obat
trisiklik. Dosis MAOIs harus mencapai dosis yang
digunakan untuk pengobatan depresi, dan uji coba
terapetik harus berlangsung 8 sampai 12 minggu.8
iii. Inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin
(SSRIs)
Titrasi lambat untuk fluoxetine adalah
dimungkinkan dengan melarutkan satu kapsul di
dalam air atau jus buah atau dengan larutan
fluoxetine yang tersedia. Dosis awal dapat serendah
2 atau 4 mg sehari dan harus dinaikkan 2 mg sampai
4 mg interval sehari tiap dua sampai empat hari.
61

Tujuannya adalah mencapai dosis terapeutik penuh


pada sekurangnya 20 mg sehari.8
iv. Benzodiazepine
Pemakaian benzodiazepine dalam pengobatan
gangguan panik adalah terbatas karena
permasalahan tentang ketergantungan, gangguan
kognitif, dan penyalahgunaan. Pada beberapa pasien
klinisi dapat memulai pengobatan dengan suatu
benzodiazepine, mentitrasi obat lain (sebagai
contoh, clomipramine), dan selanjutnya
menghentikan perlahan-lahan selama 4 sampai 10
minggu benzodiazepine setelah 8 sampai 12
minggu.8
b) Psikoterapi2:
i. Terapi relaksasi
Prinsipnya adalah melatih pernapasan (menarik
nafas dalam dan lambat, lalu mengeluarkannya
dengan lambat pula), mengendurkan seluruh otot
tubuh dan mensugesti pikiran ke arah konstruksi
atau yang diinginkan akan dicapai. Biasanya
dilakukan 20-30 menit atau lebih lama lagi.8
ii. Terapi kognitif perilaku
Pasien diajak untuk bersama-sama membentuk pola
perilaku dan pikiran yang irasional dan
menggantinya dengan yang lebih rasional. Biasanya
berlangsung 30-45 menit. Pasien kemudian diberi
pekerjaan rumah yang harus dibuat setiap hari,
antara lain membuat daftar pengalaman harian
dalam menyikapi berbagai peristiwa yang dialami.8
iii. Pemaparan in vivo
Teknik melibatkan pemaparan yang semakin besar
terhadap stimulus yang ditakuti; dengan berjalannya
62

waktu, pasien mengalami desensitisasi terhadap


pengalaman.8
iv. Psikoterapi dinamik
v. Pasien diajak untuk lebih memahami diri dan
kepribadiannya. Pada psikoterapi ini, biasanya
pasien lebih banyak berbicara sedangkan dokter
lebih banyak mendengar. Terapi ini memerlukan
waktu panjang, dapat berbulan-bulan, bahkan
bertahun-tahun. Hal ini tentu memerlukan
kerjasama yang baik antara pasien dengan
dokternya serta kesabaran pada kedua belah pihak.8

C. PENATALAKSANAAN GANGGUAN CEMAS MENYELURUH


a) Farmakoterapi
i. Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian
benzodiazepin dimulai dengan dosis terendah dan
ditingkatkan sampai mencapai respon terapi,
Penggunaan sediaan dengan waktu paruh menengah
dan dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek
yang tidak diinginkan. Lama pengobatan rata-rata
adalah 2-6 minggu.8
ii. Buspiron
Buspiron lebih efektif dalam memperbaiki gejala
kognitif dibanding dengan gejala somatik. Tidak
menyebabkan withdrawal. Kekurangannya adalah
efek klinisnya baru terasa setelah 2-3 minggu.
Terdapat bukti bahwa penderita yang sudah
menggunakan benzodiazepin tidak akan
memberikan respon yang baik dengan buspiron.8
iii. SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
63

Sertraline dan paroxetine merupakan pilihan yang


lebih baik daripada fluoksetin. Pemberian fluoksetin
dapat meningkatkan anxietas sesaat. SSRI efektif
terutama pada pasien gangguan anxietas
menyeluruh dengan riwayat depresi.8
b) Psikoterapi
i. Terapi Kognitif PerilakuPendekatan kognitif
mengajak pasien secara langsung mengenali distorsi
kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala
somatik, secara langsung. Teknik utama yang
digunakan adalah pada pendekatan behavioral
adalah relaksasi dan biofeedback.8
ii. Terapi Suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan,
digali potensi-potensi yang ada dan belum tampak,
didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi
optimal dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.8
iii. Psikoterapi Berorientasi Tilikan
Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai
penyingkapan konflik bawah sadar, menilik
egostrength, relasi obyek, serta keutuhan diri
pasien. Dari pemahaman akan komponen-
komponen tersebut, kita sebagai terapis dapat
memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah
menjadi lebih matur; bila tidak tercapai, minimal
kita memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi
dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.8

D. PENATALAKSAAN GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF


Obat-obatan yang umum digunakan pada gangguan obsesif-
kompulsif berupa SSRI sebagai terapi lini pertama contohnya
fluoxetine, fluvoxamine, paroxetine, sertraline, dan citalopram;
64

antidepresan trisiklik seperti clomipramine yang terbukti paling


efektif dibandingkan dengan obat-obatan trisiklik lainnya. Obat-
obatan tersebut memiliki efek samping, SSRI memiliki efek
samping berupa rasa mual, gangguan tidur, nyeri kepala, dan rasa
gelisah yang sifatnya transient sehingga tidak terlalu mengganggu.
Untuk pengobatan dengan clomipramine perlu diperhatikan
pemberian dosis awal, karena memiliki efek samping gangguan
sistem gastrointestinal, hipotensi ortostatik, dan efek antikolinergi
serta sedasi berat. Bila terapi dengan SSRI dan clomipramine tidak
efektif, dapat diberikan beberapa obat lain seperti valproat,
litihium, atau carbamazepine. Venlafaxine, pindolol, dan obat-
obatan MAOI (phenelzine) juga dapat digunakan sebagai
tambahan.8
Terapi perilaku pada seseorang dengan gangguan obsesif-
kompulsif dapat berupa exposure and response prevention dimana
pasien dipanjankan dengan stimulusnya namun diingatkan dan
diawasi untuk menahan perasaan kompulsifnya. Desensitisasi,
thought stopping, dan thought flooding, merupakan terapi yang
dapat digunakan pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif.
Untuk keberhasilan dari terapi perilaku, sebaiknya terapi ini
digabungkan dengan obat-obatan, psikoterapi, dan yang terutama
memerlukan tingkat komitmen pasien yang tinggi. Dalam proses
terapi, diperlukan dukungan dari keluarga yang cukup sehingga
pasien dapat mempertahankan tingkat komitmennya terhadap
terapi yang dijalaninya. Dalam kondisi tertentu, terapi kelompok
juga dapat membantu seorang pasien dalam terapinya.8
Pada kasus-kasus yang ekstrim, dapat dipertimbangkan
terapi elektro-konvulsi dan bedah psikis. Yang umumnya
digunakan terkait dengan kasus gangguan obsesif-kompulsif adalah
cingulotomy yang sukses pada 25-30 % pasien. Selain itu juga
terdapat capsulotomy. Teknik bedah nonablasi dimana
menanamkan elektrode-elektrode pada nukleus-nukleus ganglia
65

basal. Terapi-terapi ini dilakukan dengan bantuan MRI.


Komplikasi dari terapi bedah tersebut umumnya adalah kejang,
yang dapat diterapi dengan fenitoin.8

E. TATALAKSANA GANGGUAN SOMATOFORM


Secara umum obat antidepresan bermanfaat dalam
sebagian besar kasus meskipun tidak ada depresi yang menyertai.
Tetapi penggunaannya harus disertai penjelasan yang memadai
agar tidak dianggap mengada-ada. Terapi perilaku kognitif (CBT,
Cognitive Behavior Therapy) akan bermanfaat jika diadaptasi
untuk keluhan somatis utama. Pasien mungkin perlu dibantu untuk
mengenali dan mengatasi stressor sosial yang dialami, juga perlu
didorong untuk kembali ke fungsi normal dan mengurangi perilaku
sakit (illnesss behavior) secara bertahap.8
a) Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi paling baik diterapi ketika pasien memiliki
satu dokter yang diketahui sebagai dokter utamanya.Ketika lebih
dari satu klinisi terlibat, pasien tersebut memiliki kesempatan
untuk mengekspresikan keluhan somatiknya.
Psikoterapi menurunkan pengeluaran untuk perawatan
kesehatan pribadi hingga 50 persen.Pada lingkungan psikoterapi,
pasien dibantu beradaptasi dengan gejalanya, mengekspresikan
emosi yang mendasari dab membangun strategi alternatif untuk
mengekspresikan perasaannya.
Memberikan obat psikotropik ketika gangguan somatisasi
timbul bersamaan dengan gangguan mood atau gangguan ansietas
selalu memiliki resiko, tetapi juga diindikasikan terapi
psikofarmakologis dan psikotreaupetik pada keluhan yang muncul
bersamaan.Obat harus diawasi karena pasien dengan gangguan
somatisasi cenderung menggunakan obatnya tidak teratur.8

b) Hipokondriasis
1) Psikoterapi
66

a.Psikoterapi psikoanalitik umumnya tidak


bermanfaat
b. Terapi Suportif bermanfaat bila
didukung hal-hal berikut :
i. Ada informasi akurat mengenai
gejala
ii. Edukasi mengenai mispersepsi dan
misinterpretasi gejala dan sensasi
somatic
iii. Kunjungan dan pemeriksaan fisik
secara berkala
iv. Reassurance
v. Penggunaan anxiolytic singkat
selama periode stress tinggi
c.Terapi Kognitif-Perilaku (CBT) merupakan
bentuk psikoterapi pilihan
2) Farmakoterapi
Obat golongan SSRI bermanfaat pada pasien
dengan hipokondriasis terisolasi (tanpa ko-morbid
psikiatris seperti gangguan cemas atau panik).
Fluoxetine atau paroxetine dengan dosis max 60
mg/h dan dapat juga sertraline dosis minimal 150
mg/h.8

F. TERAPI GANGGUAN PENYESUAIAN


a) Psikoterapi
Psikoterapi tetap merupakan terapi pilihan untuk
gangguan penyesuaian. Terapi kelompok terutama dapat
berguna untuk pasien yang mengalami stres yang sama.
Psikoterapi individual dapat menawarkan kesempatan
untuk menggali arti stresor bagi pasien sehingga trauma
yang lebih dini dapat diatasi. Setelah terapi yang berhasil,
pasien seringkali muncul dari gangguan penyesuaian secara
67

lebih kuat dari periode pramorbid, walaupun tidak ada


patologi yang ditemukan pada periode tersebut.8
b) Farmakoterapi
Pemakaian medikasi yang bijaksana dapat
membantu pasien dengan gangguan penyesuaian, tetapi
harus diberikan untuk periode yang singkat. Pasien
mungkin berespons terhadap obat antiansietas atau terhadap
suatu antidepresan, tergantung pada jenis gangguan
penyesuaian.8
Pasien dengan kecemasan berat yang hampir
menjadi panic atau dekompensasi mungkin mendapatkan
manfaat dari dosis kecil medikasi antipsikotik. Pasien
dalam keadaan menarik diri atau terinhibisi mungkin
mendapatkan manfaat dari medikasi psikostimulan singkat.
Beberapa kasus gangguan penyesuaian jika ada, dapat
diobati secara adekuat oleh medikasi saja. Pada sebagian
besar kasus, psikoterapi harus ditambahkan pada regimen
pengobatan.8

G. FARMAKOKINETIK
1) OBAT ANTIDEPRESAN
Antidepresan adalah thimoleptika atau psikik energizer.
Umumnya yang digunakan sekarang adalah dalam
golongan trisiklik (misalnya imipramin, amitriptilin,
dothiepin dan lofepramin).8
Tabel 3.1, obat antidepresan

No. Dosis
Golongan Obat Sediaan
Anjuran

1. Trisiklik 75-150
Amitriptilin Tablet 25 mg
(TCA) mg/hari
Imipramin Tablet 25 mg 75-150
68

mg/hari
50-150

Sentralin Tablet 50 mg mg/hari

50-100

Fluvoxamin Tablet 50 mg mg/hari


2. SSRI

Kapsul 20 mg, 20-40 mg/hari


Fluoxetin
Kaplet 20 mg
20-40 mg/hari
Paroxetin Tablet 20 mg

300-600 mg/
3. MAOI Moclobemide Tab 150 mg
hari
Mianserin Tablet 10, 30 mg 30-60 mg/hari
75-150

Tab 50 mg, 100 mg/hari dosis


Trazodon
mg terbagi
4. Atypical

75-150
Tab 10, 25, 50,
Maprotilin mg/hari dosis
75 mg
terbagi

a) Mekanisme Kerja
Trisiklik (TCA) memblokade reuptake dari
noradrenalin dan serotonin yang menuju neuron
presinaps. SSRI hanya memblokade reuptake dari
serotonin. MAOI menghambat pengrusakan
serotonin pada sinaps. Mianserin dan mirtazapin
memblokade reseptor alfa 2 presinaps. Setiap
mekanisme kerja dari antidepresan melibatkan
69

modulasi pre atau post sinaps atau disebut respon


elektrofisiologis.8
b) Cara Penggunaan
Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa
diberikan sekali sehari dan mengalami proses first-
pass metabolism di hepar. Respon anti-depresan
jarang timbul dalam waktu kurang dari 2-6 minggu
Untuk sindroma depresi ringan dan sedang,
pemilihan obat sebaiknya mengikuti urutan:
i. Langkah 1 : golongan SSRI (Selective
Serotonin Reuptake Inhibitor)
ii. Langkah 2 : golongan tetrasiklik (TCA)
iii. Langkah 3 :golongan tetrasiklik, atypical,
MAOI (Mono Amin Oxydase Inhibitor)
reversibel.8
c) Indikasi
Obat antidepresan ditujukan kepada
penderita depresi dan kadang berguna juga pada
penderita ansietas fobia, obsesif-3,18
d) Efek Samping
i. Trisklik dan MAOI : antikolinergik (mulut
kering, retensi urin, penglihatan kabur,
konstipasi, sinus takikardi) dan
antiadrenergik (perubahan EKG, hipotensi)
ii. SSRI : nausea, sakit kepala
iii. MAOI : interaksi tiramin
Jika pemberian telah mencapai dosis toksik
timbul atropine toxic syndrome dengan gejala
eksitasi SSP, hiperpireksia, hipertensi, konvulsi,
delirium, confusion dan disorientasi. Tindakan yang
dapat dilakukan untuk mengatasinya:
i. Gastric lavage
70

ii. Diazepam 10 mg IM untuk mengatasi


konvulsi
iii. Postigmin 0,5-1 mg IM untuk mengatasi
efek antikolinergik, dapat diulangi setiap
30-40 menit hingga gejala mereda.
iv. Monitoring EKG.8
e) Kontraindikasi
i. Penyakit jantung coroner
ii. Glaucoma, retensi urin, hipertensi prostat,
gangguan fungsi hati, epilepsy.8

2) ANTI-ANSIETAS
Obat anti-ansietas mempunyai beberapa sinonim,
antara lain psikoleptik, transquilizer minor dan anksioliktik.
Dalam membicarakan obat antiansietas yang menjadi obat
racun adalah diazepam atau klordiazepoksid.8

Tabel 3.2, Obat anti-ansietas

No Nama generik Golongan sediaan Dosis anjuran


Peroral
1030mg/hr,2-3
x/hari.
Tab 2- 5
1. Diazepam Benzodiazepin Paenteral IV/IM
mg
2-10mg/kali,
setiap 3-4 jam

Tab 5 mg
Klordiazepoksoi 15-30 mg/hari
2. Benzodiazepin Kap 5 mg
d 2-3 x/sehari

3. Lorazepam Benzodiazepin Tab 0,5-2 2-3 x 1 mg/hr


71

mg
4. Clobazam Benzodiazepin Tab 10 mg 2-3 x 10 mg/hr
Tab 1,5-3-
5. Brumazepin Benzodiazepin 3 x 1,5 mg/hr
6 mg
6. Oksazolom Benzodiazepin Tab 10 mg 2-3 x 10 mg/hr
Cap 5-
7. Klorazepat Benzodiazepin 2-3 x 5 mg / hr
10mg
Tab 0,25- 3 x 0,25-0,5
8. Alprazolam Benzodiazepin
0,51 mg mg/hr
9. Prazepam Benzodiazepin Tab 5 mg 2-3 x 5 mg/hr
10. Sulpirid NonBenzodiazepin Cap 50 mg 100-200 mg/hari
11. Buspiron NonBenzodiazepin Tab 10 mg 15-30 mg/hari

a) Mekanisme kerja
Sindrom ansietas disebabkan
hiperaktivitasndari system limbic yang terdiri dari
dopaminergic, nonadrenergic, seretonnergic yang
dikendalikan oleh GABA ergic yang merupakan
suatu inhibitory neurotransmitter. Obat antiansietas
benzodiazepine yang bereaksi dengan reseptornya
yang akan meng-inforce the inhibitory action of
GABA neuron, sehingga hiperaktivitas tersebut
mereda.8
b) Cara Penggunaan
i. Klobazam untuk pasien dewasa dan pada
usia lanjut yang ingin tetap aktif
ii. Lorazepam untuk pasien-pasien dengan
kelainan fungsi hati atau ginjal
iii. Alprazolam efektif untuk ansietas
antosipatorik, mula kerja lebih cepat dan
mempunyai komponen efek antidepresan.
72

iv. Sulpirid 50 efektif meredakan gejala somatic


dari sindroma ansietas dan paling kecil
resiko ketergantungan obat.
Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran)
kemudian dinaikkan dosis setiap 3-5 hari sampai
mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan 2-
3 minggu. Kemudian diturunkan 1/8 x dosis awal
setiap 2-4 minggu sehingga tercapai dosis
pemeliharan. Bila kambuh dinaikkan lagi dan tetap
efektif pertahankan 4-8 mingu. Terakhir lakukan
tapering off. Pemberian obat tidak lebih dari 1-3
bulan pada sindroma ansietas yang disebabkan
factor eksternal.8
c) Efek samping
i. Sedasi ( rasa mengantuk, kewaspadaan
berkurang, kinerka psikomotor menurun,
kemampuan kognitif melemah)
ii. Relaksasi otot ( rasa lemas, cepat lelah dan
lain-lain)
iii. Potensi menimbulkan ketergntungan lebih
rendah dari narkotika
iv. Potensi ketergantungan obat disebabkan oleh
efek obat yang masih dapat dipertahankan
setelah dosis trerakhir berlangsung sangat
singkat.
v. Penghentian obat secara mendadak, akan
menimbulkan gejala putus obat, pasien
menjadi iritabel, bingung, gelisah,
insomania, tremor, palpitasi, keringhat
dingin, konvulsi.8
d) Kontra Indikasi
73

Pasien dengan hipersensitif terhadap


benzodiazepin, glaukoma, miastenia gravis,
insufisiensi paru kronik, penyakit ginjal dan
penyakit hati kronik Pada pasien usia lanjut dan
anak dapat terjadi reaksi yang berlawanan
(paradoxal reaction) berupa kegelisahan, iritabilitas,
disinhibisi, spasitas oto meningkat dan gangguan
tidur. Ketergantungan relatif sering terjadi pada
individu dengan riwayat peminum alkohol,
penyalagunaan obat atau unstable personalities.
Untuk mengurangi resiko ketergantungan obat,
maksimum lama pemberian 3 bulan dalam rentang
dosis terapeutik.8

OBAT ANTI OBSESIF-KOMPULSIF


Dalam membicarakan obat anti obsesi kompulsi
yang menjadi acuan adalah klomipramin. Obat anti obsesi
kompulsi dapat digolongkan menjadi :
i. Obat anti obsesi kompulsi trisiklik, contoh
klomipramin
ii. Obat anti obsesi kompulsi SSRJ, contoh
sentralin, paroksin, flovokamin, fluoksetin8
Tabel 3.3, Obat anti Obsesif-Kompulsif.8

No Nama Generik Sediaan Dosis anjuran


1. Clompramine Tab 25 mg 75-200 mg/hr
2. Fluvoxamine Tab 50 mg 100-200 mg/hr

3. Sertraline Tab 50 mg 50-150 mg/hr


4. Fluxetine Cap 20 mg, caplet 20-80 mg/hr
20 mg

5. Paroxetine Tab 20 mg 40-60 mg/ hr


74

a) Mekanisme kerja
Menghambat re-uptake neurotransmitter serotonin
sehingga gejala mereda.8
b) Cara penggunaan
Sampai sekarang obat pilihan untuk
gangguan obsesi kompulsi adalah klomipramin.
Terhadap meraka yang peka dapat dialihkan ke
golongan SSRI dimana efek samping relatif aman.
Obat dimulai dengan dosis rendah klomopramin
mulai dengan 25-50 mg /hari (dosis tunggal malam
hari), dinaikkan secara bertahap dengan
penambahan 25 mg/hari sampai tercaapi dosis
efektif (biasanya 200-300 mg/hari).
Dosis pemeliharan umumnya agak tinggi,
meskipun bersifat individual, klomipramin sekitar
100-200 mg/hari dan sertralin 100 mg/hari. Sebelum
dihentikan lakukan pengurangan dosis secara
tappering off. Meskipun respon dapat terlihat dalam
1-2 minggu, untuk mendapatkan hasil yang
memadai setidaknya diperlukan waktu 2- 3 bulan
dengan dosis antara 75-225 mg/hari.8

OBAT ANTI PANIK


Dalam membicarakan antipanik yang
menjadi obat acuan adalah imipramin :
Tabel 3.4, Obat anti panik8

No Nama Generik Sediaan Dosis anjuran


1. Imipramin Tab 25 mg 75-150 mg/hr
75

2. Clomipramin Tab 25 mg 75-150 mg/hr


3. Alprazol Tab 0,25 mg,0,5 2-4 mg/hr
mg, 1 mg

4. Moclobemid Tab 150 mg 300-600 mg/hr


5. Sertralin Tab 50 mg 50-100 mg/hr
6. Fluoxetin Cap dan caplet 20 20-40 mg/hr
mg

7. Parocetin Tab 20 mg 20-40 mg/hr


8. Fluvoxamine Tab 50 mg 50-100 mg/hr

c) Mekanisme kerja
Sindrom panik berkaitan dengan
hipersensitivitas dari serotonic reseptor di SSP.
Mekanisme kerja obat antipanik adalah
menghambat reuptake serotonin pada celah sinaptik
antar neuron.8
d) Cara Penggunaan Obat
i. Golongan SSRI mempunyai efek samping
yang lebih ringan
ii. lprozolam merupakan obat yang paling
kurang toksiknya dan onset kerjanya lebih
cepat.8
e) Efek samping obat
i. Mengantuk, sedasi, kewaspadaan berkurang
ii. Neurotoksik8
f) Lama Pemberian Obat
i. Lamanya pemberian obat tergantung dari
individual, umunya selama 6-12 bulan,
kemudian dihentikan secara bertahap selama
3 bulan bila kondisi penderita sudah
memungkinkan
76

ii. Dalam waktu 3 bulan bebas obat 75%


penderita menunjukkan gejala kambuh.
Dalam keadaan ini maka pemberian obat
dengan dosis semula diulangi selama 2
tahun. Setelah itu dihentikan secara bertahap
selama 3 bulan.8

DAFTAR PUSTAKA

1. Bienenfeld D. Posttraumatic Stress Disorder. Columbia. Department of


Psychiatry, Howard University School of Medicine. Medscape; 2018.
2. Tost H, Alam T. Dopamine and Psychosis: Theory, Pathomecanisms and
Intermediate Phenotypes. 34(5): 689-700. doi:10.1016/j.neubiorev. USA.
Nationatl Institute of Mental Health; 2015.
3. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGJ DSM-V. Jakarta: PT
Nuh Jaya; 2017.
4. Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. 3rd Edition. New York: Thieme;
2016.
5. Sadock, Kaplan. Sinopsis Psikiatri. Jilid Satu. Jakarta. EGC; 2018.
6. Sadock B, Sadock V. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry. Eleventh
Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015.
7. E. Seedhouse. Interplanetary Outpost: The Human and Technological. New
York: Springer; 2015.
8. BCGuidelines. Recognition, Diagnosis and Management in Primary Care:
Standarized Mental State Examination. New York; 2016.
9. Opler M. Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) Training. Vol. 14.
Washington: ICNS; 2017.
10. Katzung B, et al. Farmakologi Dasar & Klinik. Edisi 12. New York: Mc
77

Graw Hill; 2015.


11. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/73/2015 Tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa. Jakarta: KEMENKES; 2015.
12. Neal M. Medical Pharmacology at a Glance. Seventh Edition. London:
Willey-Blackwell; 2017.

Anda mungkin juga menyukai