TINJAUAN PUSTAKA
Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke-5 (DSM-5), diagnosis PTSD ini
ditandai dengan adanya gejala stress yang timbul setelah suatu peristiwa traumatis.
(Howie, 2019) PTSD adalah gangguan mental yang dapat timbul setelah terpapar
Efek psikologis dari perang, bencana, terror, dan berbagai peristiwa kehidupan
2.1.1 Etiologi
orang yang pada akhirnya dapat mengatasi rasa takut dengan penurunan rasa takut
secara bertahap. Namun, ketika respon penurunan rasa takut tersebut tidak terjadi,
orang akan merespon rasa takut tersebut dengan strategi kognitif dan penghindaran
hipokampus, amigdala, dan korteks prefrontal. Dalam hal ini, hipokampus berperan
5
6
peningkatan denyut jantung, konduktansi kulit sebagai respon terhadap trauma, dan
korteks adrenal dan merangsang sekresi kortisol. Tetapi, pada pasien dengan PTSD
yang dikode oleh reseptor inti subfamili 3 grup C anggota 1 (NR3C1: pengkodean
(Yehuda et al, 2015) Selain dipengaruhi oleh adanya penurunan kortisol, adanya
2.1.4 Gejala
memiliki gambaran klinis yaitu adanya gejala yang berhubungan dengan peristiwa
peristiwa traumatis akan menunjukkan beberapa gejala yang khas. Dalam DSM-5
suasana hati yang negative, dan gejala hyperarousal. Beberapa contoh bagaimana
Gejala utama kognisi dan suasana hati negatif (setidaknya satu diperlukan)
• Amnesia untuk aspek penting dari trauma
• Rasa menyalahkan diri sendiri atau orang lain yang terus-menerus dan
terdistorsi
• Keadaan emosi negatif yang persisten (mis., takut, ngeri, bersalah, malu)
• Ketidakmampuan untuk mengalami emosi positif
9
Gejala PTSD dapat terjadi pada semua usia, dan biasanya gejala akan
muncul dalam 3 bulan atau beberapa tahun kemudian setelah trauma. Durasi gejala
PTSD sangat bervariasi, sebanyak lebih dari 50% orang dengan PTSD akan sembuh
dalam 3 bulan, dan sisanya banyak yang memiliki gejala yang dapat bertahan
sampai lebih dari 1 tahun. Gejala PTSD dapat kambuh dan sering intermiten. PTSD
2.1.5 Diagnosis
(diagnostic and statistical manual of mental disorders, fifth edition) dan ICD-11
menjadi 4 kelompok (table 1) dan semua gejala tersebut harus dikaitkan dengan
pathogenesis PTSD yang dapat dilihat pada gambar 2. Dalam teori tersebut
masa kecil ke tekanan peritraumatic, dan mekanisme patogen spesifik yang ada
selama paparan trauma dan juga akibatnya. Selain itu juga ada faktor psikologis
neurobiologis.
12
Dalam intervensi ini hanya fokus pada pencegahan sekunder dan tersier
berkonsolidasi selama tidur malam pertama setelah trauma atau beberapa jam
maupun psikologis.
(Qi, 2016)
1. Pembekalan Psikologis
pasca trauma jangka Panjang dengan mempercepat proses emosional dari peristiwa
traumatis segera setelah terpapar trauma. Tetapi, pada sebagian besar pedoman
13
Terapi ini berfokus pada gangguan akibat trauma. Prinsip terapi ini yaitu
trauma (dalam konteks yang aman), sehingga akan timbul rasa control atas reaksi
dan mengurangi reaksi penghindaran. Terapi CBT berbasis kognitif dan melawan
keyakinan pasien mengenai makna dan implikasi trauma. Hal tersebut dilakukan
untuk mengubah cara pasien bereaksi terhadap suatu memori tentang trauma dan
untuk mengurangi penilaian negative terhadap diri sendiri dan orang lain.
1. Hidrokortison
sehingga mendorong pemulihan pada pasien PTSD. Tetapi untuk mekanisme pasti
2. Propanolol
Propanolol adalaha obat antagonis beta adrenergic yang dapat melintasi sawar
darah otak. Karena hal itu, obat ini efektif untuk mengurangi dorongan adrenergic
system saraf pusat yang terkait dengan respon ancaman defensive. Pengobatan
berlebih dengan mencegah kerja hormone stres. Obat ini dapat diberikan dalam
beberapa jam setelah terjadinya trauma ketika ingatan mengenai trauma masih
dikonsolidasikan.
3. Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah obat agonis asam butirat gamma-amino. Obat ini dapat
obat penenang. Obat ini juga dapat menghambat pembentukan memori mengenai
trauma yang berlebihan, sehingga obat ini dapat dipakai sebagai pencegahan pada
PTSD.
4. Morfin
morfin dalam waktu 48 jam setelah paparan trauma dengan adanya rasa sakit yaitu
5. Oksitosin
ditetapkan namanya oleh WHO pada tanggal 11 Februari 2020.(Susilo et al., 2020)
15
Pada awalnya penyakit ini belum diketahui sehingga diagnosis awal penyakit ini
adalah pneumonia dengan etiologi yang belum diketahui. Penyakit ini pertama kali
ditemukan pada Desember 2019 di Wuhan, Provinsi Hubei, China. (Rothan and
Byrareddy, 2020)
virus corona jenis baru.(Rothan and Byrareddy, 2020) Menurut WHO COVID-19
CoV-2).(Susilo et al., 2020) Coronavirus adalah salah satu dari beberapa pathogen
sangat cepat di China. Sehingga pada 12 Maret 2020 WHO menyatakan COVID-
2.2.1 Etiologi
lain, dan burung dan virus ini dapat menyebabkan gangguan pada pernapasan,
enterik, hati, dan neurologis. (Zhu et al., 2020) Coronavirus sendiri dibagi menjdai
virus penyebab flu biasa pada orang yang mempunyai imunokompeten. Sedangkan
untuk 2 virus lainnya, yaitu Severe Acute Respiratory Illness Coronavirus (SARS-
berasal dari zoonosis yang biasanya menyebabkan penyakit yang parah. Untuk
SARS-CoV sendiri adalah penyebab wabah sindrom pernapasan akut yang parah
MERS-CoV adalah penyebab wabah sindrop pernapasan akut yang parah pada
SARS-CoV-2 karena virus ini masuk dalam genus betacoronavirus dan memiliki
85% kemiripan identitas dengan SARS pada kelekawar seperti Coronavirus. Tetapi,
virus ini berbeda dengan Severe Acute Respiratory Illness Coronavirus (SARS-
al., 2020)
2.2.2 Epidemiologi
baru, dan dapat menular antar manusia. Penyakit ini pertama kali ditemukan di
China pada akhir Desember 2019 tanpa di ketahui etiologinya, dan pada 7 Januari
baru. Covid-19 menyebar dengan sangat cepat. Thailand adalah negara yang
melaporkan kasus covid-19 setelah China, yang selanjutnya diikuti oleh Korea
Selatan dan diikuti oleh negara-negara lain. Dan pada tanggal 30 Juni 2020 WHO
17
mencatat 10.185.374 kasus dengan 503.862 kasus kematian diseluruh dunia (CFR
2020. Dan pada tanggal 30 Juni 2020 diketahui terdapat 56.385 kasus konfirmasi
Covid-19 dan sebanyak 2.875 kasus meninggal (CFR 5,1%) yang tersebar di 34
Indonesia diketahui sebanyak 535.135 kasus aktif (15,55%) selisih +7,94% dari
kasus di Dunia sebesar 7,61%, dan jumlah kasus meninggal sebesar 95.723 (2,78%)
Covid-19, 2021)
2.2.3 Transmisi
pernah ke pasar seafood daerah Wuhan, Provinsi Hubei, China. Karena hal tersebut,
Diketahui bahwa pasien 1 pada kasus COVID-19 ini tidak memiliki riwayat
mengunjungi daerah wabah. Tetapi diketahui bahwa pasien ini sempat berada di
kios bersama dengan pasien lain selama 15 menit dan kedua pasien tidak
pasangan suami isteri. Kedua pasien tersebut tidak memiliki riwayat perjalanan ke
daerah terdampak wabah, tetapi pasien 2 diketahui berada di klinik yang sama
dengan pasien lain yang terkonfirmasi selama 50 detik dan kedua pasien tidak
tetapi rute tersebut adalah rute yang paling mungkin. COVID-19 juga sering
menyebabkan transmisi kluster, hal ini khususnya terjadi dalam kluster keluarga.
besar dan kontak. Dan disebutkan juga bahwa virus dapat menyebar di tempat tanpa
ventilasi dengan tingkat aerosol virus yang tinggi. (Han and Yang, 2020)
melalui percikan air liur yang berasal dari batuk atau bersin seseorang yang positif
2.2.4 Gejala
Pada pasien positif COVID-19 memiliki beberapa gejala. Gejala umum dari
COVID-19 adalah demam, batuk, myalgia atau kelelahan, pneumonia, dispnea, dan
hipoksia. Sedangkan gejala yang tidak umum adalah adanya produksi dahak, sakit
kepala, hemoptisis, dan diare. Pada pemeriksaan darah pasien COVID-19 juga
pasien COVID-19 juga bisa terjadi komplikasi umum termasuk ARDS, RNAaemia,
cedera jantung akut, dan infeksi sekunder. (Huang, Wang, Li, Ren, Zhao, Hu,
ada pada daerah subpleural kedua paru. Hal tersebut bisa saja menginduksi respon
2.2.5 Pencegahan
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah tertular virus yaitu
menggunakan masker wajah, menutup mulut dan hidung ketika batuk dan bersin
dengan menggunakan tissue atau jika tidak ada tissue bisa menggunakan siku yang
tertekuk untuk menutup mulut dan hidung ketika bersin dan batuk, lebih sering
mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir (jika tidak ada sabun dan air
alkohol setidaknya 60%), tidak melakukan kontak dengan orang terinfeksi, selalu
menjaga jarak dengan orang lain, dan menghindari menyentuh mata, hidung, dan
untuk tenaga kesehatan dihimbau untuk menggunakan masker N95 atau FFP2
tenaga medis yang dihimbau untuk menggunakan masker ketika merawat pasien
covid-19, dalam pedoman ini juga disebutkan bahwa untuk individu yang sakit atau
penularan penyakit.
2.2.6 Psikososial
20
gangguan pada kesehatan mental, yaitu: a) kelompok orang yang kontak langsung
orang yang mengikuti berita mengenai COVID-19 pada semua saluran media.
terendah pada petugas kesehatan yaitu 24,1%, sedangkan angka prevalensi stress
terendah pada petugas kesehatan yaitu 29,8%. Selain itu, angka prevalensi tertinggi
untuk kecemasan pada petugas kesehatan adalah 67,55%, dan prevalensi tertinggi
untuk stres pada petugas kesehatan adalah 62,99%. Dalam penelitian ini di dapatkan
bahwa pada perawat, pekerja wanita, pekerja pada perawatan kesehatan garda
depan, staf medis yang muda, dan pekerja pada daerah dengan tingkat infeksi
Covid-19 yang tinggi akan menunjukkan gejala gangguan psikologi yang lebih
penderita memiliki pikiran yang terpusat atau terfokus pada suatu permasalahan
dalam waktu yang cukup lama. (Nuryati, dkk, 2018) Preokupasi sendiri dapat
muncul pada seseorang yang mengalami trauma dan gangguan terkait stress,
terutama gangguan stress pasca trauma (PTSD). (Eberle, David & Maercker,
Andreas, 2021) Menurut Eberle, David & Maercker, Andreas, 2021 definisi
tersebut sesuai dengan keadaan pasien yang sering tidak bisa mengalihkan pikiran
21
mereka dari suatu peristiwa yang serius. Sedangkan menurut WHO, 2020
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa pandemi covid-19 ini dapat
mempengaruhi kesehatan mental perawat. Hal tersebut dapat terjadi jika perawat
tinggi terinfeksi Covid-19 di tempat kerja dan isolasi dari anggota keluarga untuk
menghindari penularan dan ketakutan akan hal yang tidak diketahui. Selain itu,
disebutkan juga bahwa sebanyak 39,88% perawat yang bekerja di unit gawat
darurat selama pandemi COVID-19, shift kerja tidak teratur, dan berasal dari
manajemen situasi medis yang kritis, merawat orang yang mengalami trauma berat,
akibat kerja shift. (Carmassi et al, 2020) Pada kejadian PTSD akibat pandemi covid-
Dalam faktor pra trauma terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi
terjadinya PTSD, yaitu : jenis kelamin perempuan, usia muda, pengalaman kerja
yang rendah, dan kurangnya pelatihan. Dalam jurnal disebutkan bahwa jenis
kelamin perempuan memiliki resiko lebih tinggi mengalami PTSD pada masa
pandemi dibandingkan jenis kelamin laki-laki. Hal ini dapat disebabkan karena
22
pada wanita selain memeiliki tanggung jawab sebagai perawat dalam lingkungan
Pada petugas kesehatan yang berusia lebih muda juga rentan terhadap
terjadinya PTSD. Dalam jurnal disebutkan, hal ini terjadi karena pada petugas
kesehatan yang lebih tua lebih berpengalaman dan lebih siap baik secara profesional
yang lebih muda cenderung belum memiliki banyak pengalaman sehingga secara
Selain itu, dalam penelitian juga ditemukan bahwa terdapat hubungan antara
penelitian disebutkan bahwa pada petugas kesehatan yang tidak terlatih secara
medis berada pada risiko yang lebih tinggi dari hasil psikologis yang merugikan,
termasuk PTSD, dibandingkan dengan rekan mereka yang terlatih secara medis.
Selain faktor pra trauma juga terdapat faktor pasca trauma yang dapat
meningkatkan kejadian PTSD pada perawa atau petugas medis lainnya, seperti
dukungan sosial yang rendah di tempat kerja, beban kerja yang berat, bekerja di
lingkungan yang tidak aman (misalnya, kurangnya alat pelindung diri), koping