Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) termasuk dalam Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke-5 (DSM-5), diagnosis PTSD ini

ditandai dengan adanya gejala stress yang timbul setelah suatu peristiwa traumatis.

(Howie, 2019) PTSD adalah gangguan mental yang dapat timbul setelah terpapar

oleh suatu peristiwa mengancam atau mengerikan yang dapat menyebabkan

trauma. (Bisson, 2015)

Efek psikologis dari perang, bencana, terror, dan berbagai peristiwa kehidupan

traumatis lainnya dapat menimbulkan gangguan stress pasca-trauma atau post-

traumatic stress disorder (PTSD). (Qi, 2016)

2.1.1 Etiologi

PTSD disebabkan oleh kegagalan pemulihan karena adanya perubahan

pembelajaran rasa takut, yaitu kegagalan dalam memadamkan respon perilaku

terhadap rangsangan trauma. Setelah terjadinya peristiwa traumatik, ada banyak

orang yang pada akhirnya dapat mengatasi rasa takut dengan penurunan rasa takut

secara bertahap. Namun, ketika respon penurunan rasa takut tersebut tidak terjadi,

orang akan merespon rasa takut tersebut dengan strategi kognitif dan penghindaran

untuk menghindari perasaan trauma. Pengendalian rasa takut ini melibatkan

hipokampus, amigdala, dan korteks prefrontal. Dalam hal ini, hipokampus berperan

dalam mengingat episode-episode yang aman ketika dihadapakan dengan

rangsangan yang menakutkan. Sedangkan, penghambatan di amigdala akan

5
6

mempengaruhi korteks prefrontal medial ventral untuk mengubah pikiran ketakutan

dengan ingatan dengan episode yang aman. (Kirkpatrick, 2014)

2.1.2 Faktor resiko

Faktor resiko pada PTSD terdiri dari 3 cakupan: Pra-trauma, Peri-trauma,

dan Pasca-trauma. (Kirkpatrick, 2014)

Tabel 2.1 Faktor Risiko PTSD


Faktor pra-trauma Status sosial ekonomi rendah
Pengabaian orang tua
Penyakit kejiwaan pribadi atau keluarga
Perempuan
Dukungan sosial yang buruk
Faktor peritrauma Keparahan, intensitas, frekuensi, dan durasi trauma
Tingkat keparahan awal reaksi seseorang terhadap
trauma
Trauma yang tidak dapat diprediksi dan tidak dapat
dikendalikan
Faktor pasca trauma Kurangnya dukungan sosial
Stres hidup
Kegagalan untuk identifikasi dini dan pengobatan
Sumber : Kirkpatrick, 2014
2.1.3 Patofisiologi

Pada PTSD terjadi reaktivitas otonom yang ditunjukkan dengan adanya

peningkatan denyut jantung, konduktansi kulit sebagai respon terhadap trauma, dan

respon yang berlebihan terhadap trauma. Pada PTSD respon Hipotalamus-

hipofisis-adrenal (HPA) menunjukkan adanya peningkatan sekresi hormone

pelepas kortikotropin dari hipotalamus yang merangsang kelenjar pituitary anterior

mensekresi adrenokortikotropin, yang selanjutnya adenokortikotropin akan menuju

korteks adrenal dan merangsang sekresi kortisol. Tetapi, pada pasien dengan PTSD

sekresi kortisol akan rendah. Sehingga akan terjadi peningkatan penghambatan

umpan balik negatif dari HPA axis.


7

Kortisol akan berikatan dengan reseptor glukokortikoid (GR) di sitoplasma,

yang dikode oleh reseptor inti subfamili 3 grup C anggota 1 (NR3C1: pengkodean

reseptor glukokortikoid). Kompleks glukokortikoid selanjutnya diikat oleh protein

pendamping FKBP5 (pengkodean FK506 – binding protein 5). Variasi genetik

NR3C1 dan FKBP5 memiliki perbedaan fungsional dalam pensinyalan

glukokortikoid di PTSD. Kompleks glukokortikoid yang terikat dengan protein

pendamping ditranslokasi ke dalam nukleus dan berikatan dengan elemen respons

glukokortikoid (GRE), yang pada akhirnya mempengaruhi transkripsi sejumlah

besar gen. Selanjutnya, glukokortikoid diferensial akan mempengaruhi beberapa

sistem termasuk otak, kardiometabolik, organ reproduksi, dan sistem kekebalan.

(Yehuda et al, 2015) Selain dipengaruhi oleh adanya penurunan kortisol, adanya

peningkatan epinephrine dan norepinephrine juga menyebabkan terjadinya PTSD.

(Guillén, 2018; Hori, 2019)

Gambar 1 Patofisiologi PTSD

(Yehuda et al, 2015)


8

2.1.4 Gejala

Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah penyakit atau gangguan yang

paling banyak disebabkan oleh peristiwa-peristiwa traumatis. PTSD sendiri

memiliki gambaran klinis yaitu adanya gejala yang berhubungan dengan peristiwa

traumatis (pikiran yang mengganggu tentang peristiwa traumatis dan kewaspadaan

yang berlebih), disforia, hyperarousal, atau anhedonia. (Qi, 2016)

Menurut Kirkpatrick (2014) Post-traumatic stress disorder adalah suatu

gangguan yang mengakibatkan seseorang yang secara langsung mengalami

peristiwa traumatis akan menunjukkan beberapa gejala yang khas. Dalam DSM-5

disebutkan bahwa PTSD memiliki gejala yang dikategorikan dalam 4 kelompok

yaitu: Gejala Intrusi/mengalami kembali, gejala penghindaran, kognisis dan

suasana hati yang negative, dan gejala hyperarousal. Beberapa contoh bagaimana

gejala-gejala tersebut dapat muncul terdapat dalam table 2

Tabel 2.2 Gejala Utama PTSD

Gejala utama intrusi/mengalami kembali trauma (setidaknya satu diperlukan)


• Kenangan, gambar, pikiran yang berulang dan mengganggu
• Mimpi yang menyedihkan
• Reaksi disosiatif seperti kilas balik
• Reaksi emosional dan fisik yang kuat terhadap isyarat yang menyerupai
atau melambangkan aspek trauma

Gejala utama penghindaran (setidaknya satu diperlukan)


• Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan atau aktivitas,
tempat atau orang yang berhubungan dengan trauma

Gejala utama kognisi dan suasana hati negatif (setidaknya satu diperlukan)
• Amnesia untuk aspek penting dari trauma
• Rasa menyalahkan diri sendiri atau orang lain yang terus-menerus dan
terdistorsi
• Keadaan emosi negatif yang persisten (mis., takut, ngeri, bersalah, malu)
• Ketidakmampuan untuk mengalami emosi positif
9

• Perasaan terlepas atau terasing dari orang lain


• Minat yang sangat berkurang dalam aktivitas

Gejala utama hiper-gairah (setidaknya satu diperlukan)


• Meningkatkan kecemasan
• Kesulitan tidur
• Konsentrasi yang buruk
• Peningkatan iritabilitas
• Ledakan kemarahan
• Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri
• Kewaspadaan berlebihan
• Respon terkejut yang berlebihan
Sumber: Kirkpatrick, 2014

Gejala PTSD dapat terjadi pada semua usia, dan biasanya gejala akan

muncul dalam 3 bulan atau beberapa tahun kemudian setelah trauma. Durasi gejala

PTSD sangat bervariasi, sebanyak lebih dari 50% orang dengan PTSD akan sembuh

dalam 3 bulan, dan sisanya banyak yang memiliki gejala yang dapat bertahan

sampai lebih dari 1 tahun. Gejala PTSD dapat kambuh dan sering intermiten. PTSD

sendiri sering terkait dengan penyakit fisik, terutama saraf, sensorik,

musculoskeletal, cardiorespiratory, gastrointestinal, dan presentasi gejala yang

tidak jelas. (Kirkpatrick, 2014)

2.1.5 Diagnosis

Untuk diagnosis PTSD digunakan kriteria diagnosis dari DSM-5

(diagnostic and statistical manual of mental disorders, fifth edition) dan ICD-11

(international classification of diseases, 11th revision). Dalam kriteria DSM-5

terdapat 20 gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis PTSD dan dipisahkan

menjadi 4 kelompok (table 1) dan semua gejala tersebut harus dikaitkan dengan

peristiwa traumatis. Sedangkan, dalam kriteria diagnosis ICD-11 terdapat 6 gejala

yang diperlukan untuk mendiagnosis PTSD (Tabel 3).


10

Tabel 2.3 Gejala yang diperlukan untuk diagnosis PTSD


Kriteria DSM-5 Kriteria ICD-11 yang diusulkan
Gejala intrusi
Kenangan menyedihkan yang Kenangan mengganggu yang jelas,
berulang, tidak disengaja dan kilas balik, atau mimpi buruk,
mengganggu biasanya disertai dengan emosi yang
Mimpi menyedihkan yang berulang kuat dan luar biasa seperti ketakutan
(konten dan/atau pengaruh yang atau kengerian, dan sensasi fisik yang
terkait) kuat
Reaksi disosiatif (bertindak atau
merasa seolah-olah peristiwa itu
berulang)
Tekanan psikologis yang intens atau
berkepanjangan terhadap isyarat
Reaksi fisiologis yang nyata terhadap
isyarat
Penghindaran
Penghindaran atau upaya untuk Penghindaran pikiran dan ingatan
menghindari pikiran atau perasaan tentang peristiwa atau peristiwa
yang menyusahkan tentang atau terkait Menghindari aktivitas, situasi, atau
erat dengan trauma orang yang mengingatkan pada
Penghindaran atau upaya untuk peristiwa.
menghindari pengingat eksternal
(orang, tempat, percakapan, aktivitas,
objek, situasi)
Perubahan negatif dalam kognisi dan
suasana hati
Ketidakmampuan untuk mengingat Tidak berlaku
aspek penting (biasanya karena
amnesia disosiatif)
Keyakinan atau harapan negatif yang
terus-menerus dan berlebihan tentang
diri sendiri, orang lain, atau dunia
(misalnya, "Saya jahat", "Tidak ada
yang bisa dipercaya", "Dunia ini
benar-benar berbahaya")
Kognisi yang terus-menerus dan
terdistorsi tentang penyebab atau
konsekuensi yang mengarah pada
menyalahkan diri sendiri atau
menyalahkan orang lain
Keadaan emosi negatif yang persisten
(misalnya, takut, ngeri, marah,
bersalah, malu)
Minat atau partisipasi yang berkurang
secara nyata dalam aktivitas penting
11

Perasaan terlepas atau terasing dari


orang lain
Ketidakmampuan terus-menerus untuk
mengalami emosi positif (misalnya,
kebahagiaan, kepuasan, cinta)
Perubahan dalam gairah dan
reaktivitas
Perilaku mudah tersinggung dan Persepsi yang terus-menerus tentang
ledakan kemarahan (dengan sedikit ancaman saat ini yang meningkat—
atau tanpa provokasi) misalnya, seperti yang ditunjukkan
Perilaku sembrono atau merusak diri oleh kewaspadaan yang berlebihan
sendiri atau reaksi terkejut yang ditingkatkan
Kewaspadaan tinggi terhadap rangsangan seperti suara-
Respon kaget yang berlebihan suara yang tidak terduga
Masalah dengan konsentrasi
Gangguan tidur
Kriteria tambahan untuk PTSD
kompleks
Tidak Berlaku Masalah parah dan meresap dalam
mempengaruhi regulasi
Keyakinan persisten tentang diri
sendiri sebagai berkurang, dikalahkan,
atau tidak berharga, disertai dengan
perasaan malu, bersalah, atau
kegagalan yang mendalam dan
meresap terkait dengan stresor
Kesulitan terus-menerus dalam
mempertahankan hubungan dan
merasa dekat dengan orang lain

2.1.6 Tatalaksana dan Pencegahan

Intervensi spesifik PTSD dihubungkan dengan model teori utama

pathogenesis PTSD yang dapat dilihat pada gambar 2. Dalam teori tersebut

digambarkan mulai dari faktor genetik dan kerentanan epigenetik, pengalaman

masa kecil ke tekanan peritraumatic, dan mekanisme patogen spesifik yang ada

selama paparan trauma dan juga akibatnya. Selain itu juga ada faktor psikologis

(penilaian terhadap trauma dan lingkungan pemulihan) dan mekanisme

neurobiologis.
12

Dalam intervensi ini hanya fokus pada pencegahan sekunder dan tersier

(contohnya pengkondisian ketakutan, pemrosesan emosi, dan respon

neuroendokrin awal) upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara mempengaruhi

mekanisme pathogen yang relevan. Contohnya, kenangan trauma dapat

berkonsolidasi selama tidur malam pertama setelah trauma atau beberapa jam

setelah trauma, sehingga bias dilakukan intervensi yaitu dengan mengganggu

konsolidasi memori awal tentang trauma bias dilakukan secara farmakologis

maupun psikologis.

Gambar 2 Target Pencegahan untuk Psikopatologi Pasca-Trauma

(Qi, 2016)

2.1.6.1 Intervensi Psikologis atau Perilaku

1. Pembekalan Psikologis

Pembekalan psikologis adalah metode yang bertujuan untuk mencegah gejala

pasca trauma jangka Panjang dengan mempercepat proses emosional dari peristiwa

traumatis segera setelah terpapar trauma. Tetapi, pada sebagian besar pedoman
13

pengobatan tidak merekomendasikan metode ini unruk diberikan pada orang

dewasa setelah terpapar trauma.

2. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Terapi ini berfokus pada gangguan akibat trauma. Prinsip terapi ini yaitu

menghilangkan rasa takut melalui paparan terus menerus terhadap rangsangan

trauma (dalam konteks yang aman), sehingga akan timbul rasa control atas reaksi

dan mengurangi reaksi penghindaran. Terapi CBT berbasis kognitif dan melawan

keyakinan pasien mengenai makna dan implikasi trauma. Hal tersebut dilakukan

untuk mengubah cara pasien bereaksi terhadap suatu memori tentang trauma dan

untuk mengurangi penilaian negative terhadap diri sendiri dan orang lain.

2.1.6.2 Intervensi Farmakologis

1. Hidrokortison

Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa hidrokortisone terbukti efektif dan

keparahan gejala PTSD dapat menurun bertahap dengan menerima hidrokortison.

Kemungkinan mekanismenya hidrokortison eksogen dengan dosis tinggi yang

diberikan setelah trauma dapat meningkatkan plastisitas dan konektivitas sinaptik

sehingga mendorong pemulihan pada pasien PTSD. Tetapi untuk mekanisme pasti

dari hidrokortison terhadap PTSD belum diketahui.

2. Propanolol

Propanolol adalaha obat antagonis beta adrenergic yang dapat melintasi sawar

darah otak. Karena hal itu, obat ini efektif untuk mengurangi dorongan adrenergic

system saraf pusat yang terkait dengan respon ancaman defensive. Pengobatan

PTSD dengan propranolol bertujuan untuk mencegah konsolidasi memori trauma


14

berlebih dengan mencegah kerja hormone stres. Obat ini dapat diberikan dalam

beberapa jam setelah terjadinya trauma ketika ingatan mengenai trauma masih

dikonsolidasikan.

3. Benzodiazepin

Benzodiazepin adalah obat agonis asam butirat gamma-amino. Obat ini dapat

meningkatkan trasmisi penghambatan di otak. Biasanya obat ini digunakan sebagai

obat penenang. Obat ini juga dapat menghambat pembentukan memori mengenai

trauma yang berlebihan, sehingga obat ini dapat dipakai sebagai pencegahan pada

PTSD.

4. Morfin

Pada sebuah penelitian di hewan didapatkan bahwa morfin dapat menghasilkan

amnesia retrograde melalui mekanisme penurunan siklik adenosismonofosfat atau

mengaktifkan reseptor N metal D aspartate di hippocampus. Sedangkan dalam studi

observasional pada pasien menunjukkan efek yang menguntungkan dari pemberian

morfin dalam waktu 48 jam setelah paparan trauma dengan adanya rasa sakit yaitu

adanya kemungkinan penurunan terjadinya PTSD.

5. Oksitosin

Oksitosin berperan dalam regulasi stress emosi dan keterlibatan social.

Oksitosin dapat mennghambat perkembangan PTSD dengan cara mengurangi rasa

takut dan juga meningkatkan fungsi social.(Qi, 2016)

2.2 Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit yang baru saja

ditetapkan namanya oleh WHO pada tanggal 11 Februari 2020.(Susilo et al., 2020)
15

Pada awalnya penyakit ini belum diketahui sehingga diagnosis awal penyakit ini

adalah pneumonia dengan etiologi yang belum diketahui. Penyakit ini pertama kali

ditemukan pada Desember 2019 di Wuhan, Provinsi Hubei, China. (Rothan and

Byrareddy, 2020)

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit yang disebabkan oleh

virus corona jenis baru.(Rothan and Byrareddy, 2020) Menurut WHO COVID-19

disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-

CoV-2).(Susilo et al., 2020) Coronavirus adalah salah satu dari beberapa pathogen

utama yang menyerang sistem pernapasan manusia. COVID-19 menular dengan

sangat cepat di China. Sehingga pada 12 Maret 2020 WHO menyatakan COVID-

19 sebagai pandemi. Sebelum COVID-19, Coronavirus juga pernah menyebabkan

wabah yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV. (Rothan and Byrareddy, 2020)

2.2.1 Etiologi

Coronavirus adalah RNA virus yang bisa menginfeksi manusia, mamalia

lain, dan burung dan virus ini dapat menyebabkan gangguan pada pernapasan,

enterik, hati, dan neurologis. (Zhu et al., 2020) Coronavirus sendiri dibagi menjdai

4 genera, yaitu: Alpha-Coronavirus, Beta-Coronavirus, Gamma-Coronavirus, dan

Delta-Coronavirus. (Wu et al., 2020) Diketahui terdapat 6 spesies Coronavirus

yang menyebabkan penyakit pada manusia, yaitu : alphacoronavirus 229E,

alphacoronavirus NL63, betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe

Acute Respiratory Illness Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory

Syndrome Coronavirus (MERS-CoV). Untuk 4 virus alphacoronavirus 229E,

alphacoronavirus NL63, betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1 adalah


16

virus penyebab flu biasa pada orang yang mempunyai imunokompeten. Sedangkan

untuk 2 virus lainnya, yaitu Severe Acute Respiratory Illness Coronavirus (SARS-

CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) diketahui

berasal dari zoonosis yang biasanya menyebabkan penyakit yang parah. Untuk

SARS-CoV sendiri adalah penyebab wabah sindrom pernapasan akut yang parah

dan terjadi sekitar tahun 2002-2003 di Provinsi guangdong, China. Sedangkan

MERS-CoV adalah penyebab wabah sindrop pernapasan akut yang parah pada

tahun 2012 di Timur Tengah. (Zhu et al., 2020)

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) memiliki patogen Severe Acute

Respiratory Illness Coronavirus 2 (SARS-CoV-2).(Wu et al., 2020) Disebut dengan

SARS-CoV-2 karena virus ini masuk dalam genus betacoronavirus dan memiliki

85% kemiripan identitas dengan SARS pada kelekawar seperti Coronavirus. Tetapi,

virus ini berbeda dengan Severe Acute Respiratory Illness Coronavirus (SARS-

CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV). (Zhu et

al., 2020)

2.2.2 Epidemiologi

Covid-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya coronavirus jenis

baru, dan dapat menular antar manusia. Penyakit ini pertama kali ditemukan di

China pada akhir Desember 2019 tanpa di ketahui etiologinya, dan pada 7 Januari

2020 China mengumumkan etiologi penyebab Covid-19 adalah coronavirus jenis

baru. Covid-19 menyebar dengan sangat cepat. Thailand adalah negara yang

melaporkan kasus covid-19 setelah China, yang selanjutnya diikuti oleh Korea

Selatan dan diikuti oleh negara-negara lain. Dan pada tanggal 30 Juni 2020 WHO
17

mencatat 10.185.374 kasus dengan 503.862 kasus kematian diseluruh dunia (CFR

4,9%).(Kementrian Kesehatan RI, 2020)

Sedangkan Indonesia melaporkan kasus pertama pada tanggal 2 Maret

2020. Dan pada tanggal 30 Juni 2020 diketahui terdapat 56.385 kasus konfirmasi

Covid-19 dan sebanyak 2.875 kasus meninggal (CFR 5,1%) yang tersebar di 34

provinsi.(Kementrian Kesehatan RI, 2020) Sedangkan pada 1 Agustus 2021 di

Indonesia diketahui sebanyak 535.135 kasus aktif (15,55%) selisih +7,94% dari

kasus di Dunia sebesar 7,61%, dan jumlah kasus meninggal sebesar 95.723 (2,78%)

selisih +0,65% dari kasus di Dunia sebesar 2,13%.(Satuan Tugas Penanganan

Covid-19, 2021)

2.2.3 Transmisi

Beberapa pasien awal yang sebelumnya didiagnosis pneumonia dengan

etiologi yang belum diketahui (sekarang disebut COVID-19) memiliki riwayat

pernah ke pasar seafood daerah Wuhan, Provinsi Hubei, China. Karena hal tersebut,

kemungkinan asal ususl COVID-19 adalah zoonosis.(Rothan and Byrareddy, 2020)

Diketahui bahwa pasien 1 pada kasus COVID-19 ini tidak memiliki riwayat

mengunjungi daerah wabah. Tetapi diketahui bahwa pasien ini sempat berada di

kios bersama dengan pasien lain selama 15 menit dan kedua pasien tidak

menggunakan masker. Sedangkan pasien 2 dan 3 yang dikonfirmasi adalah

pasangan suami isteri. Kedua pasien tersebut tidak memiliki riwayat perjalanan ke

daerah terdampak wabah, tetapi pasien 2 diketahui berada di klinik yang sama

dengan pasien lain yang terkonfirmasi selama 50 detik dan kedua pasien tidak

memakai masker. Kejadian tersebut, menunjukkan bahwa COVID-19 memiliki


18

patogenesitas dan penularan yang kuat, meskipun kontak dengan pasien

terkonfirmasi selama 15 detik dan 50 detik bukanlah satu-satunya rute infeksi,

tetapi rute tersebut adalah rute yang paling mungkin. COVID-19 juga sering

menyebabkan transmisi kluster, hal ini khususnya terjadi dalam kluster keluarga.

Pada tanggal 19 Februari NHC menerbitkan Pedoman edisi ke-6 Tentang

Diagnosis dan Pengobatan COVID-19 (Pedoman ke-6 untuk COVID-19). Dalam

dokumen ini disebutkan bahwa transmisi SARS-CoV-2 terutama melalui tetesan

besar dan kontak. Dan disebutkan juga bahwa virus dapat menyebar di tempat tanpa

ventilasi dengan tingkat aerosol virus yang tinggi. (Han and Yang, 2020)

Pada kasus COVID-19 dapat terjadi penularan dari manusia ke manusia

melalui percikan air liur yang berasal dari batuk atau bersin seseorang yang positif

COVID-19 dan juga melalui kontak langsung dengan pasien COVID-19.(Rothan

and Byrareddy, 2020)

2.2.4 Gejala

Pada pasien positif COVID-19 memiliki beberapa gejala. Gejala umum dari

COVID-19 adalah demam, batuk, myalgia atau kelelahan, pneumonia, dispnea, dan

hipoksia. Sedangkan gejala yang tidak umum adalah adanya produksi dahak, sakit

kepala, hemoptisis, dan diare. Pada pemeriksaan darah pasien COVID-19 juga

menunjukkan leukopenia dan limfopenia. Selain beberapa gejala tersebut pada

pasien COVID-19 juga bisa terjadi komplikasi umum termasuk ARDS, RNAaemia,

cedera jantung akut, dan infeksi sekunder. (Huang, Wang, Li, Ren, Zhao, Hu,

Zhang, Fan, Xu, Gu, et al., 2020)


19

Dalam beberapa kasus juga ditemukan opacity ground-glass perifer yang

ada pada daerah subpleural kedua paru. Hal tersebut bisa saja menginduksi respon

imun local dan sistemik yang dapat menyebabkan peningkatan peradangan.

(Rothan and Byrareddy, 2020)

2.2.5 Pencegahan

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah tertular virus yaitu

menggunakan masker wajah, menutup mulut dan hidung ketika batuk dan bersin

dengan menggunakan tissue atau jika tidak ada tissue bisa menggunakan siku yang

tertekuk untuk menutup mulut dan hidung ketika bersin dan batuk, lebih sering

mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir (jika tidak ada sabun dan air

mengalir bisa melakukan desinfeksi dengan pembersih tangan yang mengandung

alkohol setidaknya 60%), tidak melakukan kontak dengan orang terinfeksi, selalu

menjaga jarak dengan orang lain, dan menghindari menyentuh mata, hidung, dan

mulut dengan tangan yang tidak bersih. (Adhikari et al., 2020)

Menurut pedoman WHO dalam Adhikari et al., 2020 disebutkan bahwa

untuk tenaga kesehatan dihimbau untuk menggunakan masker N95 atau FFP2

ketika melakukan prosedur medis kepada pasien terkonfirmasi COVID-19. Selain

tenaga medis yang dihimbau untuk menggunakan masker ketika merawat pasien

covid-19, dalam pedoman ini juga disebutkan bahwa untuk individu yang sakit atau

memiliki gejala pernapasan diharuskan memakai masker medis untuk mencegah

penularan penyakit.

2.2.6 Psikososial
20

Pada masa pandemi terdapat 4 kelompok orang yang rentan mengalami

gangguan pada kesehatan mental, yaitu: a) kelompok orang yang kontak langsung

ataupun tidak langsung dengan penderita COVID-19; b) kelompok orang yang

mempunyai riwayat gangguan kesehatan mental; c) tenaga medis; d) kelompok

orang yang mengikuti berita mengenai COVID-19 pada semua saluran media.

(Florillo et al., 2020)

Dalam sebuah penelitian didapatkan untuk angka prevalensi kecemasan

terendah pada petugas kesehatan yaitu 24,1%, sedangkan angka prevalensi stress

terendah pada petugas kesehatan yaitu 29,8%. Selain itu, angka prevalensi tertinggi

untuk kecemasan pada petugas kesehatan adalah 67,55%, dan prevalensi tertinggi

untuk stres pada petugas kesehatan adalah 62,99%. Dalam penelitian ini di dapatkan

bahwa pada perawat, pekerja wanita, pekerja pada perawatan kesehatan garda

depan, staf medis yang muda, dan pekerja pada daerah dengan tingkat infeksi

Covid-19 yang tinggi akan menunjukkan gejala gangguan psikologi yang lebih

parah. (Vizheh, 2020)

2.3 Preokupasi pada Perawat Pasca Penanganan Pasien Covid-19

Preokupasi adalah suatu gangguan pada isi pikiran yang mengakibatkan

penderita memiliki pikiran yang terpusat atau terfokus pada suatu permasalahan

dalam waktu yang cukup lama. (Nuryati, dkk, 2018) Preokupasi sendiri dapat

muncul pada seseorang yang mengalami trauma dan gangguan terkait stress,

terutama gangguan stress pasca trauma (PTSD). (Eberle, David & Maercker,

Andreas, 2021) Menurut Eberle, David & Maercker, Andreas, 2021 definisi

tersebut sesuai dengan keadaan pasien yang sering tidak bisa mengalihkan pikiran
21

mereka dari suatu peristiwa yang serius. Sedangkan menurut WHO, 2020

preokupasi adalah pemikiran berlebihan mengenai stressor, termasuk kekhawatiran

yang berlebihan, pikiran berulang tentang stressor.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa pandemi covid-19 ini dapat

mempengaruhi kesehatan mental perawat. Hal tersebut dapat terjadi jika perawat

mengalami preokupasi pasca penanganan pasien covid-19 seperti kemungkinan

tinggi terinfeksi Covid-19 di tempat kerja dan isolasi dari anggota keluarga untuk

menghindari penularan dan ketakutan akan hal yang tidak diketahui. Selain itu,

disebutkan juga bahwa sebanyak 39,88% perawat yang bekerja di unit gawat

darurat selama pandemi COVID-19, shift kerja tidak teratur, dan berasal dari

bangsal kesehatan mental meningkatkan risiko menerima diagnosis PTSD

sementara. (Marcomini et al, 2021) Terjadinya PTSD pada perawat dapat

diakibatkan karena beberapa situasi yang menegangkan terkait pekerjaan, yaitu :

manajemen situasi medis yang kritis, merawat orang yang mengalami trauma berat,

sering menyaksikan kematian dan trauma, dan terganggunya ritme sirkandian

akibat kerja shift. (Carmassi et al, 2020) Pada kejadian PTSD akibat pandemi covid-

19 terdapat 2 faktor yang dapat mempengaruhi, yaitu:

2.3.1 Fakto Pra Trauma

Dalam faktor pra trauma terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi

terjadinya PTSD, yaitu : jenis kelamin perempuan, usia muda, pengalaman kerja

yang rendah, dan kurangnya pelatihan. Dalam jurnal disebutkan bahwa jenis

kelamin perempuan memiliki resiko lebih tinggi mengalami PTSD pada masa

pandemi dibandingkan jenis kelamin laki-laki. Hal ini dapat disebabkan karena
22

pada wanita selain memeiliki tanggung jawab sebagai perawat dalam lingkungan

kerjanya, juga memiliki tanggung jawab di rumah. Sehingga, ada kemungkinan

terjadinya kelebihan beban yang dapat meningkatkan resiko terjadinya PTSD.

Pada petugas kesehatan yang berusia lebih muda juga rentan terhadap

terjadinya PTSD. Dalam jurnal disebutkan, hal ini terjadi karena pada petugas

kesehatan yang lebih tua lebih berpengalaman dan lebih siap baik secara profesional

maupun psikologis untuk menghadapi tekanan pandemi. Sedangkan pada petugas

yang lebih muda cenderung belum memiliki banyak pengalaman sehingga secara

psikologis masih belum siap menghadapi pandemi.

Selain itu, dalam penelitian juga ditemukan bahwa terdapat hubungan antara

kurangnya pelatihan medis tentang COVID-19 dan terjadinya PTSD. Dalam

penelitian disebutkan bahwa pada petugas kesehatan yang tidak terlatih secara

medis berada pada risiko yang lebih tinggi dari hasil psikologis yang merugikan,

termasuk PTSD, dibandingkan dengan rekan mereka yang terlatih secara medis.

2.3.2 Faktor Pasca trauma

Selain faktor pra trauma juga terdapat faktor pasca trauma yang dapat

meningkatkan kejadian PTSD pada perawa atau petugas medis lainnya, seperti

dukungan sosial yang rendah di tempat kerja, beban kerja yang berat, bekerja di

lingkungan yang tidak aman (misalnya, kurangnya alat pelindung diri), koping

pasif, kecemasan, dan kelelahan. (d'Ettorre et al, 2021)

Anda mungkin juga menyukai