Anda di halaman 1dari 171

4 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Penelitian

4.1.1 Subjek dan Objek Penelitian

Gambar 4. 1 Poster Film 27 Steps Of May

Sutradara : Ravi Bharwani

Produser : Ravi Bharwani, Rayya Makarim, Wilza

Lubis

Penulis : Rayya Makarim

Pemain : Raihaanun Soeriaatmadja, Lukman Sardi,

Ario Bayu, Verdi Solaiman

49
50

Sinematografer : Rahmat Syaiful

Musik : Thoersi Argeswara

Editor : Lilik Subagyo, Wawan I. Wibowo

Prestasi Film : The 3rd Malaysia Global Awards, Malaysia

International Film Festival (MIFFEST) 2019,

Piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita

Terbaik (2019), Indonesian Movie Actor

Award untuk Pemeran Pasangan Terbaik

(2020), Indonesian Movie Actor Award

untuk Pemeran Utama Pria Terbaik (2020),

Piala Maya untuk Aktris Utama Terpilih

(2020), Piala Maya untuk Aktor Utama

Terpilih (2020).

4.1.2 Sinopsis Film

“27 Steps of May” bercerita tentang MAY (Raihaanun) yang

diperkosa oleh sekelompok orang disaat usianya 14 tahun. Ayah May

(Lukman Sardi) sangat terpukul dan menyalahkan dirinya sendiri

karena ia merasa tidak dapat melindungi anaknya. Akibat trauma yang

sangat mendalam, May menarik diri sepenuhnya dari kehidupan. Ia

menjalani hidupnya tanpa koneksi, emosi, atau kata-kata, sementara

Ayahnya terjebak oleh perasaan bersalah.


51

Ketika dengan May, dia menjadi karakter lembut yang

mengorbankan segalanya untuk memberikan kenyamanan dan

perlindungan bagi anaknya. Namun ketika di ring tinju, dia petinju

yang bertarung untuk menyalurkan amarahnya. Ayah dan May telah

hidup seperti ini selama 8 tahun, tapi semua berubah ketika May

bertemu dengan seorang Pesulap (Ario Bayu) melalui celah kecil di

dinding kamarnya.

Pesulap membangkitkan rasa penasaran May sekaligus

emosinya. Dia menjadi cukup berani untuk mencari dan menghadapi

perasaan, sensasi, dan ingatannya yang hilang. Hanya dengan Pesulap,

May mau menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya.

Dengan bantuan Pesulap, May berani membebaskan diri dan keluar

dari trauma masa lalunya.

4.2 Hasil dan Analisis Data

Hasil penelitian dengan menggunakan objek penelitian yaitu film 27

Steps of May yang memiliki 30 scene dari 160 scene yang menggambarkan

trauma berat karakter utamanya May dan Bapaknya. Scene tersebut kemudian

disesuaikan dengan pengelompokan 3 level dari John Fiske, yaitu level

realitas, level representasi, serta level ideologi. Pada level realitas, peneliti

menganalisa unsur yang memiliki aspek-aspek berupa penampilan, kostum,

riasan, lingkungan, perilaku, dialog, gerakan, serta ekspresi. Lalu pada level

representasi, peneliti menganalisa dari unsur kamera, pencahayaan,

penyuntingan, musik, suara (dialog). Yang terakhir yaitu level ideologi,


52

peneliti menganalisa semua elemen yang akan diorganisasikan dan

dikategorikan dalam kode-kode ideologis seperti individualisme, patriarki,

ras, kelas, materialisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme, feminisme dan

lain-lain.

Hasil dan analisis data akan dikelompokkan dalam beberapa babak

sesuai struktur naratif film. Dalam babak ini berisikan beberapa adegan yang

disebut sequence. Pemilihan beberapa adegan disesuaikan dengan gejala-

gejala PTSD yang ada.

4.2.1 Hasil dan Analisis Babak Pertama

Babak pertama merupakan sekelompok adegan (scene) yang

berisi pengenalan beberapa tokoh yang ada. Misbach Yusa Biran

dalam Teknik Menulis Skenario Film Cerita (2006), menjelaskan

babak pertama atau permulaan disebutkan olehnya sebagai penyiapan

kondisi pada penonton. Dimana pada babak ini penonton secepatnya

memfokuskan perhatiannya pada cerita, membuat penonton

bersimpati pada tokoh protagonis, membuat penonton mengetahui

problem utama dari tokoh protagonis. Dalam babak ini peneliti

mengambil beberapa adegan yang merupakan pengenalan tokoh May

dan Bapak.
53

4.2.1.1 Scene 5 (00:02:22 – 00:03:17)

Gambar 4. 2 Cuplikan shot dari adegan 5

Gambar 4. 3 Cuplikan shot dari adegan 5

Gambar 4. 4 Cuplikan shot dari adegan 5

Deskripsi Narasi
54

May berjalan kaki pulang dari pasar malam dengan

penampilan yang berantakan. Pada gambar 4.2 terlihat May sedang

berjalan dengan pandangan kosong. Pada gambar 4.3 terlihat Bapak

mengkhawatirkan May. Gambar 4.4 terlihat May berjalan memasuki

rumah dan bapak menyesal, memegangi kepalanya. Dibawah ini

peneliti jabarkan level realitas dan representasi terkait dengan data

diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
berantakan. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
May mengenakan baju seragam yang tampak
berantakan.

Level
Realitas
Riasan (make up) :
Lebam di wajah, rambut berantakan.

Lingkungan (environment):
May berada di depan rumahnya

Perilaku (behavior):
55

May berjalan dengan pandangan kosong lalu


memasuki rumahnya.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.2, May berjalan lurus dengan
pandangan kosong. Pada gambar 4.3 bapak
memegangi May. Gambar 4.4, Bapak memegangi
kepala, May memasuki rumah.

Ekspresi (expression) :
May memperlihatkan ekspresi ketakutan dengan
pandangan kosongnya.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Pada gambar 4.2, sudut pengambilan gambar yang
digunakan yaitu eye level dan ukuran frame yang
digunakan yaitu FS (Full Shot), serta tidak ada
pergerakan kamera atau still. Pada gambar 4.3,
Level sudut pengambilan gambar yang digunakan yaitu
Representasi Over The Shoulder dengan menggunakan ukuran
frame CU (Close Up) dan tidak ada pergerakan
kamera. Pada gambar 4.4, sudut pengambilan
gambar yang digunakan yaitu eye level dengan
ukuran frame FS (Full Shot) dan tidak ada
pergerakan kamera atau still.
56

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menyampaikan perasaan karakter May.

Penyuntingan (editing) :
Pada gambar 4.2, teknik penyuntingan yang
digunakan yaitu fade in yang dimulai dengan layar
hitam dan perlahan memunculkan shot yang
ditampilkan. Gambar 4.4 menggunakan teknik
editing fade out untuk mengakhiri adegan.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.

Tabel 4. 1 Level Realitas dan Level Representasi Scene 5

Post-traumatic stress disorder (PTSD) merupakan gangguan

kejiwaan yang dapat timbul setelah mengalami atau menyaksikan

kejadian-kejadian yang mengancam jiwa, salah satunya adalah tindak

kekerasan individual, seperti pemerkosaan dan kekerasan fisik. Selain

itu, PTSD juga merupakan gangguan mental yang secara spesifik


57

timbul karena pengalaman traumatis (Carlson dan Ruzek, 2006).

Gangguan mental dan kejiwaan yang dialami oleh May mulai terlihat

pada scene ini setelah kejadian yang dialaminya 8 tahun lalu.

Penggambaran mengenai konsep PTSD tampak dalam scene

ini. Terlihat dari karakter May yang mengenakan pakaian seragam

yang berantakan dengan rambut yang berantakan. Pada gambar 4.2,

4.3 dan 4.4, terlihat May sedang mengalami kekagetan setelah

mendapatkan perilaku yang belum pernah dialami sebelumnya. Sue &

Derald (1986) mengatakan depresi adalah bentuk emosi kesedihan

yang kuat dari efek kegagalan, ketidak berhargaan serta penarikan

diri. Depresi adalah masalah yang dapat terjadi apabila seseorang

menghindari untuk bersosialisasi dengan orang lain dan membuatnya

terisolasi (Carlson dan Ruzek, 2006). Scene ini menunjukkan

kesendirian May kaget setelah mendapat perilaku yang tidak senonoh

dari orang yang tidak dikenalnya.

Selain itu pada level representasi yang muncul dalam scene ini

juga sangat kuat menjelaskan perasaan May. Gambar 4.2, 4.3, dan

4.4, semuanya menggunakan teknik pencahayaan low key lighting

untuk memberikan kesan dramatis dan kesendirian karakter May.

Gambar 4.2 menggunakan ukuran frame FS (Full Shot) dengan tujuan

untuk memperlihatkan lingkungan sekitar. Lalu disambung dengan

gambar 4.3 dengan ukuran frame CU (Close Up) dengan tujuan untuk

memperjelas karakter Bapak dan May yang mengalami depresi yang


58

mendalam. Lalu dikembalikan di gambar 4.4 dengan ukuran frame FS

(Full Shot) yang bertujuan untuk memperlihatkan lingkungan sekitar.

Serta dengan teknik editing Match Cut, semakin memperkuat adegan

bahwa May baru saja mengalami kejadian yang tidak senonoh.

Menurut Carlson dan Ruzek (2006), selama masa trauma

biasanya penderita seringkali mengalami ketakutan yang berlebihan.

Tidak berapa lama setelah trauma, mereka biasanya akan kembali

mengingat pengalaman trauma yang dulu terjadi secara mental

maupun fisik. Hal tersebut akan tidak nyaman bahkan kadang

menyakitkan. Oleh karena itu, penderita cenderung untuk

menghindari ingatan dari kejadian-kejadian yang dialaminya.

Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD tampak dalam scene ini.

4.2.1.2 Scene 6 (00:03:27 – 00:03:53)

Gambar 4. 5 Cuplikan shot dari adegan 6


59

Gambar 4. 6 Cuplikan shot dari adegan 6

Gambar 4. 7 Cuplikan shot dari adegan 6

Deskripsi Narasi

Setelah 8 tahun dari kejadian, May mulai menyendiri dan

membuat ruangan sendiri di kamarnya. Pada gambar 4.2 terlihat May

sedang melakukan rutinitasnya yaitu bermain lompat tali setiap

malam. Pada gambar 4.3 terlihat May berbaring di tempat tidurnya

dengan pandangan kosong dan ekspresi yang datar. May mengalami

masalah kesusahan tidur karena stres yang dialaminya. Gambar 4.4

merupakan shot lanjutan dari shot sebelumnya yang berfungsi untuk

menunjukkan May dan lingkungan disekitarnya. Dibawah ini peneliti


60

jabarkan level realitas dan representasi terkait dengan data diatas,

sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna abu-abu
polos.

Riasan (make up) :


Natural tanpa efek tertentu.
Level
Realitas

Lingkungan (environment):
May berada di dalam kamarnya yang terlihat
kosong dan dengan dinding yang berwarna abu-
abu.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.2, May melakukan rutinitas
olahraganya yaitu lompat tali. Pada gambar 4.3
dan 4.4, May berbaring diatas tempat tidurnya.
61

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.2, May melakukan lompatan dan
menghentakkan kakinya ke lantai. Pada gambar
4.3 dan 4.4, My terdiam diatas kasurnya.

Ekspresi (expression) :
May memperlihatkan ekspresi datar dengan muka
menghadap kedepan dan pandangan kosong.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Pada gambar 4.2, sudut pengambilan gambar yang
digunakan yaitu eye level dan ukuran frame yang
digunakan yaitu MCU (Medium Close Up), serta
tidak ada pergerakan kamera atau still. Pada
gambar 4.3, sudut pengambilan gambar yang
digunakan yaitu high angle atau pengambilan
Level
sudut dari atas. Lalu menggunakan ukuran frame
Representasi
CU (Close Up) dan tidak ada pergerakan kamera.
Pada gambar 4.4, sudut pengambilan gambar yang
digunakan yaitu eye level dengan ukuran frame FS
(Full Shot) dan tidak ada pergerakan kamera atau
still.

Pencahayaan (lighting) :
62

Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low


key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menyampaikan perasaan karakter May.

Penyuntingan (editing) :
Pada gambar 4.2, teknik penyuntingan yang
digunakan yaitu fade in yang dimulai dengan layar
hitam dan perlahan memunculkan shot yang
ditampilkan. Gambar 4.3 menggunakan teknik
penyuntingan jump cut dan disambung dengan
gambar 4.4 menggunakan teknik editing framing
match cut.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.
Tabel 4. 2 Level Realitas dan Level Representasi Scene 6

Post-traumatic stress disorder (PTSD) merupakan gangguan

kejiwaan yang dapat timbul setelah mengalami atau menyaksikan

kejadian-kejadian yang mengancam jiwa, salah satunya adalah tindak

kekerasan individual, seperti pemerkosaan dan kekerasan fisik. Selain

itu, PTSD juga merupakan gangguan mental yang secara spesifik

timbul karena pengalaman traumatis (Carlson dan Ruzek, 2006).


63

Gangguan mental dan kejiwaan yang dialami oleh May mulai terlihat

pada scene ini setelah kejadian yang dialaminya 8 tahun lalu.

Penggambaran mengenai konsep PTSD tampak dalam scene

ini. Terlihat dari karakter May yang mengenakan pakaian setelan abu-

abu dan sedang melakukan aktifitas rutinnya setiap malam, yaitu

bermain lompat tali. Sanyoto (2009 : 50) mengatakan abu-abu

menyimbolkan ketenangan, suasana kelabu dan keragu-raguan.

Rosdiani (2012 : 61) mengatakan olahraga adalah setiap aktivitas

yang mengandung sifat atau ciri permainan dan melibatkan unsur

perjuangan mengendalikan diri sendiri atau orang lain atau konfirmasi

dengan faktor alam. Sehingga dapat digambarkan dalam gambar 4.2

bahwa May melakukan kegiatan olahraga untuk menghilangkan

depresinya dan berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Selain itu

pengambaran dalam gambar 4.3 dan gambar 4.4, May berbaring di

tempat tidurnya dengan menunjukkan ekpresi datar dan pandangan

kosongnya semakin memperkuat konsep PTSD. Sue & Derald (1986)

mengatakan depresi adalah bentuk emosi kesedihan yang kuat dari

efek kegagalan, ketidak berhargaan serta penarikan diri. Depresi

adalah masalah yang dapat terjadi apabila seseorang menghindari

untuk bersosialisasi dengan orang lain dan membuatnya terisolasi

(Carlson dan Ruzek, 2006). Scene ini menunjukkan kesendirian May

di dalam kamarnya yang terlihat luas dan sedikit kosong.


64

Selain itu pada level representasi yang muncul dalam scene ini

juga sangat kuat menjelaskan perasaan May. Gambar 4.2, 4.3, dan

4.4, semuanya menggunakan teknik pencahayaan low key lighting

untuk memberikan kesan dramatis dan kesendirian karakter May.

Gambar 4.2 menggunakan ukuran frame MCU (Medium Close Up)

dengan tujuan untuk memperlihatkan ekpresi May dengan jelas. Lalu

disambung dengan gambar 4.3 dengan ukuran frame CU (Close Up)

dengan tujuan untuk memperjelas karakter May yang mengalami

depresi yang mendalam. Dalam gambar 4.3 angle yang digunakan

yaitu High Angle yang bertujuan untuk memperlihatkan bahwa

kondisi May sedang berada dalam tekanan yang mendalam dan

terkucilkan dari dunia luar. Gambar 4.4 menggunakan ukuran frame

yang lebar yaitu FS (Full Shot) dengan tujuan untuk memperlihatkan

lingkungan sekitar May, yaitu kamar May yang terlihat kosong. Serta

dengan teknik editing Jump Cut, semakin memperkuat adegan bahwa

rutinitas yang dijalani oleh May sangat membosankan dan bertujuan

untuk menghilangkan depresi yang dialaminya, meskipun sulit

baginya.

Menurut Carlson dan Ruzek (2006), selama masa trauma

biasanya penderita seringkali mengalami ketakutan yang berlebihan.

Tidak berapa lama setelah trauma, mereka biasanya akan kembali

mengingat pengalaman trauma yang dulu terjadi secara mental

maupun fisik. Hal tersebut akan tidak nyaman bahkan kadang

menyakitkan. Oleh karena itu, penderita cenderung untuk


65

menghindari ingatan dari kejadian-kejadian yang dialaminya.

Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD tampak dalam scene ini.

4.2.1.3 Scene 7 (00:03:53 – 00:04:06)

Gambar 4. 9 Cuplikan shot dari adegan 7

Gambar 4. 8 Cuplikan shot dari adegan 7

Deskripsi Narasi

Setiap pagi sebelum May memulai aktifitasnya, May selalu

melakukan penghitungan jumlah boneka yang telah ia kerjakan dihari

sebelumnya. Hal ini dijabarkan dalam gambar 4.5 dan gambar 4.6.

May menghitungnya dengan sangat teliti. May juga menatanya

dengan sangat rapi di dalam rak khusus untuk hasil jadi dari
66

pekerjaannya. Dibawah ini peneliti jabarkan level realitas dan

representasi terkait dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna abu-abu
polos.

Riasan (make up) :


Natural tanpa efek tertentu.

Level
Realitas
Lingkungan (environment):
May berada di depan sebuah rak yang berisi
banyak boneka di dalam kamarnya.

Perilaku (behavior):
May diam dan berdiri memandangi sebuah rak
yang berisi banyak boneka di depannya.

Percakapan (speech) :
-
67

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.5, May melakukan gerakan kepala
dari kanan perlahan ke kiri. Pada gambar 4.6, May
menggerakkan jari telunjuknya dan bibir yang
seperti bergumam untuk menghitung bonekanya.

Ekspresi (expression) :
May memperlihatkan ekspresi datar dengan muka
menghadap kedepan.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Scene ini menggunakan sudut pengambilan
gambar eye level. Ukuran frame yang digunakan
pada gambar 4.5 yaitu MCU (Medium Close Up),
serta tidak ada pergerakan kamera atau still. Pada
gambar 4.6, ukuran frame yang digunakan yaitu
FS (Full Shot) dan tidak ada pergerakan kamera.

Level
Representasi Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan
high key lighting untuk membuat kesan pergantian
hari dari malam ke pagi.

Penyuntingan (editing) :
Pada gambar 4.5, teknik penyuntingan yang
digunakan yaitu match cut yang dibuat untuk
mendorong cerita maju dengan mulus dan
68

menjaga kontinuitas fisik. Gambar 4.6


menggunakan teknik penyuntingan framing match
cut untuk memperjelas kondisi ruang sekitar May.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.
Tabel 4. 3 Level Realitas dan Level Representasi Scene 7

Scene ini masih sama seperti scene sebelumnya yang berfungsi

untuk memperkenalkan karakter tokoh May. Penggambaran konsep

PTSD dalam scene ini terlihat dari perilaku dan gerakan tubuh May

yang sangat teliti dan berhati-hati dalam melakukan penghitungan

jumlah bonekanya. Gambar 4.5 dan gambar 4.6 menunjukkan bahwa

May sedang berdiri tegak di depan rak yang berisi banyak boneka

yang tersusun rapi. Mulyana (2008 : 414) mengatakan penataan ruang

berkaitan dengan kepribadian, kebiasaan, atau dilandasi oleh

kepercayaan atau ideologi tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa

kerapian dari karakter tokoh May terlihat dari caranya menata boneka-

boneka yang telah ia selesaikan dihari sebelumnya.

Scene ini terdiri dari 2 shot yang semuanya menggunakan high

key lighting untuk memberikan kesan pergantian hari. Semua shot


69

menggunakan angle yang sama yaitu eye level dengan ukuran frame

yang berbeda dengan tujuan untuk mempertegas tokoh May dengan

kesendiriannya di dalam ruangan yang membuatnya nyaman. Gambar

4.5 menggunakan ukuran frame MCU (Medium Close Up) dengan

tujuan untuk memperlihatkan gerakan kepala May dengan jelas. Lalu

disambung dengan gambar 4.6 dengan ukuran frame FS (Full Shot)

dengan tujuan untuk memperjelas ruang sekitar May dan sesuatu yang

sedang dilakukannya. Kedua shot dalam scene ini menggunakan efek

suara yang natural dan hening yang bertujuan untuk mempertegas

bahwa karakter May sedang mengalami depresi yang mendalam.

Dengan teknik editing Match Cut, penonton dibawa untuk semakin

mendalami karakter May dan merasakan apa yang sedang dirasakan

oleh May.

Gagasan konsep yang terkandung dalam scene ini adalah

gangguan kejiwaan, rasa takut yang intens dan ketidak berdayaan

seseorang setelah mengalami kejadian yang mengancam jiwanya. Hal

ini tercipta dari ekspresi dan tingkah laku May yang menunjukkan

dirinya telah memutuskan untuk mengurung diri di dalam kamarnya

dan menghindar dari dunia luar. Kejadian yang telah dialaminya 8

tahun yang lalu membuatnya berpikir bahwa dirinya akan lebih baik

tidak bersosial karena rasa takutnya yang intens sehingga

menyebabkan jiwanya terganggu. Berdasarkan hal tersebut konsep

PTSD tampak dalam scene ini.


70

4.2.1.4 Scene 8 (00:04: 06 – 00:05:06)

Gambar 4. 12 Cuplikan shot dari adegan 8

Gambar 4. 11 Cuplikan shot dari adegan 8

Gambar 4. 10 Cuplikan shot dari adegan 8

Deskripsi Narasi

Setiap pagi sebelum May mulai beraktifitas, May selalu

mempersiapkan penampilannya dengan sangat rapi dan teliti. May


71

memulai dengan menyetrika baju kerjanya dengan sangat teliti dan

rapi. Sisi demi sisi disetrikanya dengan perlahan dan sangat hati-hati.

Lalu memakainya dan merapikan rambutnya dengan penjepit rambut

yang selalu dipakainya.

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
Pada gambar 4.7, May mengenakan baju setelan
berwarna coklat polos. Pada gambar 4.8 dan 4.9,
May mengenakan baju setelan berwarna merah
muda.

Level
Realitas
Riasan (make up) :
Natural tanpa efek tertentu.

Lingkungan (environment):
May berada di dalam kamarnya yang terlihat
kosong dan dengan dinding yang berwarna abu-
abu.

Perilaku (behavior):
72

Pada gambar 4.7, May sedang menyetrika baju


kerjanya sambil berjongkok. Pada gambar 4.9,
May sedang berdiri dan merapikan rambutnya di
depan kaca.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.7, tangan kanan May memegang
setrika dan tangan kirinya merapikan bajunya.
Gerakan ini dilakukan dengan sangat perlahan dan
hati-hati untuk menghasilkan kerapian yang
diinginkan oleh May. Pada gambar 4.9, May
merapikan rambutnya dengan sangat rapi dan
teliti.

Ekspresi (expression) :
May memperlihatkan ekspresi datar dengan
tampak pandangan kosong.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Pada gambar 4.7, sudut pengambilan gambar yang
Level digunakan yaitu eye level dengan menggunakan
Representasi ukuran frame MCU (Medium Close Up), serta
tidak ada pergerakan kamera atau still. Pada
gambar 4.8, sudut pengambilan gambar yang
digunakan yaitu high angle atau pengambilan
73

sudut dari atas dengan menggunakan ukuran


frame CU (Close Up) dan tidak ada pergerakan
kamera. Pada gambar 4.9, sudut pengambilan
gambar yang digunakan yaitu eye level dengan
ukuran frame MCU (Medium Close Up) dan tidak
ada pergerakan kamera atau still.

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menyampaikan perasaan karakter May.

Penyuntingan (editing) :
Pada gambar 4.7, teknik penyuntingan yang
digunakan yaitu match cut. Gambar 4.8
menggunakan teknik penyuntingan action match
cut yaitu sambungan aksi dari shot sebelumnya
namun menggunakan sudut pengambilan gambar
yang berbeda. Sedangkan gambar 4.9
menggunakan teknik penyuntingan jump cut.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.
74

Tabel 4. 4 Level Realitas dan Level Representasi Scene 8

Scene ini masih sama seperti scene sebelumnya yang

berfungsi untuk memperkenalkan karakter tokoh May. Penggambaran

konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari perilaku dan gerakan tubuh

May yang sangat teliti dan berhati-hati dalam menyetrika baju dan

menata rambutnya. Gambar 4.7 menunjukkan bahwa May sedang

berjongkok sambil menyetrika bajunya dengan sangat rapi. May

memfokuskan pandangannya pada setiap gosokan bajunya. Ini

menunjukkan bahwa kepribadian May sangat rapi, teratur, dan

konsisten. Gambar 4.8 ditambahkan dengan tujuan untuk

memperjelas maksud dari shot sebelumnya. Dengan adanya gambar

4.8 ini penonton sengaja dibawa semakin jauh mendalami karakter

May. Lalu dilanjutkan dengan gambar 4.9 yang menunjukkan bahwa

May sudah selesai menyetrika bajunya dan memakainya. Ia

merapikannya kembali sambil berdiri di depan kaca dan merapikan

rambutnya. May memakai baju setelan berwarna merah muda.

Mulyana (2008 : 427) mengatakan di Indonesia, warna merah muda

adalah warna feminin.

Scene menggunakan pencahayaan low key lighting untuk

memberikan kesan dramatis dan kesendirian karakter May. Gambar

4.7 dan gamabr 4.9 menggunakan angle yang sama yaitu eye level

sedangkan gambar 4.8 menggunakan high angle. Gambar 4.7

menggunakan ukuran frame MCU (Medium Close Up) dengan tujuan


75

untuk memperlihatkan gerakan May dengan jelas. Lalu disambung

dengan gambar 4.8 dengan ukuran frame CU (Close Up) dengan

tujuan untuk memperjelas shot sebelumnya dan menunjukkan detail

kerapian karakter May. Gambar 4.9 menggunkan ukuran frame MCU

(Medium Close Up) dengan tujuan untuk memperlihatkan gerakan

May dengan jelas. Ketiga shot dalam scene ini menggunakan efek

suara yang natural dan hening yang bertujuan untuk mempertegas

bahwa karakter May sedang mengalami depresi yang mendalam.

Dengan teknik editing match cut, penonton dibawa untuk semakin

mendalami karakter May dan merasakan apa yang sedang dirasakan

oleh May. Selain itu dengan adanya teknik jump cut pada gambar 4.9

pembuat film berusaha untuk mempersingkat waktu dan tidak ingin

terlalu bertele-tele dalam menjelaskan maksud dalam cerita serta

membuat kesan bahwa hal yang dilakukan oleh May secara tidak

langsung membosankan.

Ekspresi dan tingkah laku May yang menunjukkan dirinya

tidak suka dengan konsep ketidakrapian ini menunjukkan bahwa ia

sedang tidak baik-baik saja. Ia sangat memperhatikan detail-detail

kecil untuk mencapai hasil yang sempurnya. Kejadian yang telah

dialaminya 8 tahun yang lalu membuatnya berpikir bahwa

ketidakrapian sangatlah mengganggu dirinya. Menurut Carlson dan

Ruzek (2006), selama masa trauma biasanya penderita seringkali

mengalami ketakutan yang berlebihan. Tidak berapa lama setelah

trauma, mereka biasanya akan kembali mengingat pengalaman trauma


76

yang dulu terjadi secara mental maupun fisik. Hal tersebut akan tidak

nyaman bahkan kadang menyakitkan. Oleh karena itu, penderita

cenderung untuk menghindari ingatan dari kejadian-kejadian yang

dialaminya. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD tampak dalam

scene ini.

4.2.1.5 Scene 9 (00:05:07 – 00:05:47)

Gambar 4. 14 Cuplikan shot dari adegan 9

Gambar 4. 13 Cuplikan shot dari adegan 9

Deskripsi Narasi

Setelah May merasa dirinya telah benar-benar rapi, May

memulai kegiatan rutinnya dan berani untuk bertemu dengan orang


77

lain yaitu bapaknya sendiri. Langkah pertama yang dilakukannya

yaitu memasukkan meja kerjanya yang dibantu oleh bapak. Lalu pada

gambar 4.10 terlihat May menerima boneka dari bapak yang harus ia

kerjakan. Setelah itu pada gambar 4.11 May menyerahkan boneka

yang telah jadi kepada bapak. Hasil dari pekerjaannya dihari

sebelumnya itu nantinya akan disetorkan pada teman bapak. Dibawah

ini peneliti jabarkan level realitas dan representasi terkait dengan data

diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna merah
muda.
Level
Realitas

Riasan (make up) :


Natural tanpa efek tertentu.

Lingkungan (environment):
May berada di perbatasan antara ruang kamarnya
dan ruang tengah rumah.
78

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.10, May sedang menerima boneka
dari bapak. Gambar 4.11, May sedang
memberikan boneka yang telah jadi kepada bapak
dengan tidak bersentuhan.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.10, May membungkukkan badan
untuk mengambil boneka yang diberikan oleh
bapak. Pada gambar 4.11, May memberikan hasil
boneka kepada bapak tanpa bersentuhan dengan
bapak.

Ekspresi (expression) :
May memperlihatkan ekspresi datar.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Scene ini menggunakan sudut pengambilan
gambar eye level. Gambar 4.10 menggunakan
Level
ukuran frame FS (Full Shot), serta tidak ada
Representasi
pergerakan kamera atau still. Gambar 4.11
menggunakan ukuran frame CU (Close Up) dan
tidak ada pergerakan kamera.
79

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menyampaikan perasaan karakter May.

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.

Tabel 4. 5 Level Realitas dan Level Representasi Scene 9

Scene ini menjelaskan tentang cara May berinteraksi dengan

bapaknya. Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari

cara May berinteraksi dengan bapaknya. May tidak pernah

mengeluarkan satu kata pun dan ia tidak pernah mau bersentuhan

secara fisik dengan orang lain, meskipun bapaknya sendiri. Bapak pun

memahami perasaan dan kondisi May. Gambar 4.10 menunjukkan


80

bahwa May sedang berdiri di depan pintu kamar dan mengambil

boneka yang akan dikerjakannya dari bapak. Pintu tersebut menjadi

sebuah batasan ruang yang dibuat oleh May, antara ruang pribadinya,

yaitu kamarnya, dengan ruang tengah di dalam rumahnya. Mulyana

(2008 : 406-407) mengatakan setiap orang memiliki ruang pribadi

imajiner yang bila dilanggar, akan membuatnya tidak nyaman. Ruang

pribadi kita identik dengan “wilayah tubuh”. Kamar tidur lazimnya

adalah wilayah paling pribadi. Gambar 4.11 ditambahkan untuk

memperjelas pesan dari film. May memberikan boneka yang sudah

jadi kepada bapak dengan tidak bersentuhan secara fisik. May sangat

menghindari sentuhan fisik, meskipun dengan bapaknya sendiri. Sue

dan Derald (1986) mengatakan depresi adalah bentuk emosi

kesedihan yang kuat dari efek kegagalan, ketidak berhargaan serta

penarikan diri. Hal ini terlihat dari sikap May yang berusaha menarik

dirinya dari dunia luar dengan tidak bersentuhan, berkomunikasi, dan

bersosialisasi dengan orang lain.

Scene ini terdiri dari 2 shot yang semuanya menggunakan low

key lighting untuk memberikan kesan dramatis. Semua shot

menggunakan angle yang sama yaitu Eye level dengan ukuran frame

yang berbeda dengan tujuan untuk mempertegas tokoh May dengan

kondisi sosialnya. Gambar 4.10 menggunakan ukuran frame FS (Full

Shot) dengan tujuan untuk memperlihatkan May dengan lingkungan

disekitarnya. Lalu disambung dengan gambar 4.11 dengan ukuran

frame CU (Close Up) dengan tujuan untuk memperjelas objek dan


81

gerakan tangan May. Kedua shot dalam scene ini menggunakan efek

suara yang natural dan hening yang bertujuan untuk mempertegas

bahwa karakter May sedang mengalami depresi yang mendalam.

Dengan teknik editing match cut, penonton dibawa untuk semakin

mendalami karakter May dan merasakan apa yang sedang dirasakan

oleh May.

Ekspresi dan tingkah laku May yang menunjukkan dirinya

tidak ingin bersosialisasi dan melakukan kontak fisik dengan dunia

luar, meskipun dengan bapaknya sendiri ini menunjukkan bahwa May

sedang menarik diri dan sangat menjaga dirinya. Kejadian yang telah

dialaminya 8 tahun yang lalu membuatnya berpikir bahwa laki-laki

dan dunia luar sangatlah jahat. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.1.6 Scene 12 (00:08:43 – 00:10:04)

Gambar 4. 15 Cuplikan shot dari adegan 12


82

Gambar 4. 16 Cuplikan shot dari adegan 12

Deskripsi Narasi

May melakukan aktifitas rutin lainnya, yaitu sarapan bersama

bapak. Bapak selalu menyiapkan makanan khusus untuk May. Karena

kejadian yang pernah dialami oleh May, bapak memahami kondisi

May bahwa May hanya akan memakan makanan yang tidak berwarna

atau makanan rebusan, seperti telur rebus, sayuran rebus, dan lainnya

yang tidak memiliki warna. Mereka berdua pun memakan makannya

masing-masing. Pada gambar 4.12 dan gambar 4.13 terlihat May

sedang mengambil dan merapikan penataan makannya. Hal ini selalu

dilakukan May sebelum memulai makan. Dibawah ini peneliti

jabarkan level realitas dan representasi terkait dengan data diatas,

sebagai berikut :

Level Unit Analisis


Level
Realitas Penampilan (appearance) :
83

May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya


panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna merah
muda.

Riasan (make up) :


Natural tanpa efek tertentu.

Lingkungan (environment):
May berada di ruang makan.

Perilaku (behavior):
May sedang mengambil makanannya dan
menatanya dengan sangat rapi di piringnya.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


May menggerakkan kedua tangannya untuk
mengambil dan menata makanannya dengan
perlahan dan rapi.
84

Ekspresi (expression) :
May memperlihatkan ekspresi datar.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Gambar 4.12 menggunakan sudut pengambilan
gambar eye level dengan ukuran frame MCU
(Medium Close Up), serta tidak ada pergerakan
kamera atau still. Gambar 4.13 menggunakan
sudut pengambilan gambar high angle dengan
ukuran frame MCU (Medium Close Up) dan tidak
ada pergerakan kamera.

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
Level
dan menyampaikan perasaan karakter May.
Representasi

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
85

(ambience) ditekankan untuk menggambarkan


karakter May.

Tabel 4. 6 Level Realitas dan Level Representasi Scene 12

Scene ini menjelaskan tentang cara makan dan makanan yang

disukai oleh May. Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini

terlihat dari cara makan yang dilakukan oleh May. Gambar 4.12

menunjukkan bahwa May sedang duduk dikursinya dan mengambil

makanan yang telah disiapkan oleh bapak. Kursi yang ia tempati

merupakan tempat yang sudah dikhususkan untuk May. Begitu pula

dengan makanan yang disiapkan oleh bapak. Mulyana (2008 : 407)

mengatakan ruang pribadi kita identik dengan “wilayah tubuh”.

Dalam interaksi sehari-hari di dalam dan diluar rumah, kita

mengklaim wilayah pribadi kita. Bahkan pada saat makan pun, tidak

jarang anggota keluarga, khususnya ayah, menempati kursi tertentu.

Gambar 4.13 ditambahkan untuk memperjelas pesan dari film. May

mengambil makanannya yang serba rebus atau putihan dan menatanya

di piringnya sebelum ia memakannya. Sue dan Derald (1986)

mengatakan depresi adalah bentuk emosi kesedihan yang kuat dari

efek kegagalan, ketidak berhargaan serta penarikan diri. Hal ini

terlihat dari sikap May yang berusaha bersikap sesempurna mungkin

di depan orang lain, meskipun bapaknya sendiri. May tidak suka

makanan yang berwarna dan campur aduk karena ia pernah

mengalami kejadian yang berkaitan dengan makanan yang

bercampuraduk.
86

Scene ini terdiri dari 2 shot yang semuanya menggunakan low

key lighting untuk memberikan kesan dramatis. Gambar 4.12

menggunakan teknik pengambilan eye level yang merupakan teknik

pengambilan gambar yang sejajar dengan objek dan tidak

mengandung unsur tertentu. Dengan menggunakan ukuran frame

MCU (Medium Close Up) ini bertujuan untuk memperlihatkan May

dengan objek yang ada di depannya. Gmbar 4.13 menggunakan teknik

pengambilan high angle yang merupakan teknik pengambilan gambar

dari atas objek yang menimbulkan kesan lemah, tak berdaya,

kesendirian, dan kesan lain yang mengandung konotasi dilemahkan

atau dikerdilkan (Baksin, 2013 : 123). Dengan menggunakan ukuran

frame MCU (Medium Close Up) ini bertujuan untuk memperjelas

objek dan gerakan tangan May. Kedua shot dalam scene ini

menggunakan efek suara yang natural dan hening yang bertujuan

untuk mempertegas bahwa karakter May sedang mengalami depresi

yang mendalam. Dengan teknik editing Match Cut, penonton dibawa

untuk semakin mendalami karakter May dan merasakan apa yang

sedang dirasakan oleh May.

Ekspresi dan tingkah laku May yang menunjukkan dirinya

tidak suka dengan konsep ketidak rapian ini menunjukkan bahwa

sedang ada masalah. Ia sangat memperhatikan detail-detail kecil

untuk mencapai hasil yang sempurnya. Kejadian yang telah

dialaminya 8 tahun yang lalu membuatnya berpikir bahwa ketidak


87

rapian sangatlah mengganggu dirinya. Berdasarkan hal tersebut

konsep PTSD tampak dalam scene ini.

4.2.1.7 Scene 19 (00:13:32 – 00:14:33)

Gambar 4. 17 Cuplikan shot Gambar 4. 18 Cuplikan shot


dari adegan 19 dari adegan 19

Gambar 4. 19 Cuplikan shot Gambar 4. 20 Cuplikan shot


dari adegan 19 dari adegan 19

Gambar 4. 21 Cuplikan shot Gambar 4. 22 Cuplikan shot


dari adegan 19 dari adegan 19
88

Gambar 4. 23 Cuplikan shot Gambar 4. 24 Cuplikan shot


dari adegan 19 dari adegan 19

Deskripsi Narasi

Suatu ketika terdengar suara para tetangga teriak bahwa terjadi

kebakaran. Bapak pun keluar untuk melihat kondisi diluar. Ternyata

kebakaran terjadi tepat di belakang rumah May. Bapak pun

kebingungan dan memaksa May untuk keluar rumah. May pun

ketakutan, ia tidak berani keluar. Akhirnya bapak memaksa dan

menarik May untuk keluar dari ruangannya. Gambar 4.14 terlihat

bapak sedang memegang tangan May, dan May pun teringat dengan

kejadian yang pernah dialaminya 8 tahun yang lalu yang ditunjukkan

pada gambar 4.15, 4.16, 4.17. Pada gambar 4.18, 4.19, dan 4.20, bapak

terus memaksa dan menarik May, tetapi May terus berusaha untuk

melepaskan cengkraman bapaknya. Hingga akhirnya pada gambar

4.21, mereka berdua terjatuh dan May berhasil meloloskan diri. Lalu

May berlari kembali menuju kamar dan mengunci pintunya. Dibawah

ini peneliti jabarkan level realitas dan representasi terkait dengan data

diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis


89

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna coklat
muda. Bapak mengenakan baju berwarna abu-abu
polos dan celana berwarna hitam.

Riasan (make up) :


Natural tanpa efek tertentu.

Level
Realitas Lingkungan (environment):
May berada di ruang kerjanya yaitu di dalam
kamarnya, lalu ditarik keluar ruangannya oleh
bapak.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.14, terlihat bapak sedang
mencengkeram tangan May. Lalu pada gambar
4.15, May terlihat sangat kaget. Gambar 4.16
menunjukkan adegan kilas balik May ketika
diperkosa. Pada gambar 4.17, May masih sangat
kaget melihat perlakuan bapak padanya dan dia
menolak ajakan bapak. Gambar 4.18 dan 4.19,
May berusaha melepaskan cengkraman bapak.
Pada gambar 4.20, May menahan tarikan bapak
90

pada sebuah meja, dan pada gambar 4.21, May


dan bapak terjatuh dan akhirnya May bisa lolos
dari bapaknya.

Percakapan (speech) :
Bapak : May, kamu harus keluar!
May : (hanya menjerit)
Bapak : Ayo, May. Kamu harus keluar!
May : (menahan dan menjerit)

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.14, terlihat May menegangkan
tangannya karena cengkraman bapak. Pada
gambar 4.15, May mengarahkan pandangannya
pada tangannya karena kekagetannya. Pada
gambar 4.17, May sedikit memiringkan badannya
karena tarikan bapak dan ia masih tidak
menyangka mendapat perlakuan begitu karena ia
baru pertama kali tersentuh lagi oleh orang lain.
Pada gambar 4.18, May memukul tangan bapak
dan berusaha melepaskan tangannya. Pada gambar
4.20, tangan May memegang meja untuk menahan
tarikan bapak yang sangat kuat. Pada akhirnya di
gambar 4.21, May dan bapak terjatuh, mengesot
dilantai, dan May bisa melepaskan cengkraman
bapaknya.

Ekspresi (expression) :
91

Pada gambar 4.15, May melihat tangannya dengan


tatapan tajam. Pada gambar 4.17, May
memperlihatkan pandangan kosongnya tetapi
dengan tatapan yang tajam karena mengingat
kejadian yang pernah dialaminya. Gambar 4.18
dan 4.21 menunjukkan pertama kalinya May
mengerutkan dahi dan memiringkan bibirnya
karena sangat marah.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Gambar 4.14 menggunakan sudut pengambilan
gambar high angle dengan ukuran frame CU
(Close Up). Gambar 4.15, 4.16, 4.17
menggunakan sudut pengambilan gambar eye
level dengan ukuran frame CU (Close Up).
Gambar 4.18 menggunakan sudut pengambilan
gambar eye level dengan ukuran frame KS (Knee
Shot). Gambar 4.19 dan 4.20 menggunakan sudut
pengambilan high angle dengan ukurang frame
Level
CU (Close Up). Gambar 4.21 menggunakan sudut
Representasi
pengambilan high angle dengan ukuran frame MS
(Medium Shot). Semua shot menggunakan
pergerakan kamera floating dan follow untuk
menampilkan kesan menegangkan.

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.
92

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


Dalam scene ini musik sedih dengan instrumen
piano dimunculkan untuk menegaskan bahwa May
telah mengalami kejadian yang tidak
diinginkannya lagi.

Suara (sound) :
Suara teriakan bapak, teriakan May, ambience
teriakan tetangga dan suara sirine terdengar untuk
menambah kesan menegangkan.

Tabel 4. 7 Level Realitas dan Level Representasi Scene 19

Scene ini menjelaskan tentang kembalinya ingatan May pada

kejadian traumatis yang pernah dialaminya karena mendapatkan

perlakuan yang hampir serupa oleh bapaknya meskipun hanya

memegang tangan May. Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini

terlihat dari ekspresi dan respon May ketika tangannya dipegang oleh

bapaknya. Gambar 4.14 menunjukkan bahwa bapak memegang

tangan May. Lalu gambar 4.15 dan 4.17 menunjukkan kekagetan May

terhadap perlakuan bapak. Gambar 4.18, 4.19, 4.20, dan 4.21

menunjukkan bahwa May sangat marah dan tidak bisa mengontrol


93

dirinya. Hingga pada akhirnya mereka berdua terjatuh dan May bisa

meloloskan dirinya.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang semuanya

menggunakan low key lighting untuk memberikan kesan dramatis dan

menegangkan. Gambar 4.14, 4.19, 4.20, dan 4.21 menggunakan

teknik pengambilan high angle yang merupakan teknik pengambilan

gambar dari atas objek yang menimbulkan kesan lemah, tak berdaya,

kesendirian, dan kesan lain yang mengandung konotasi dilemahkan

atau dikerdilkan (Baksin, 2013 : 123). Dengan banyaknya ukuran

frame CU (Medium Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk

memperlihatkan detail adegan dan menggiring penonton untuk

merasakan ketegangan yang dibangun oleh pembuat film. Selain itu,

dengan teknik editing Match Cut, penambahan musik bernada sedih,

dan ambience teriakan teteangga dan suara sirine, pembuat film ingin

membawa penonton untuk semakin mendalami karakter May dan

merasakan apa yang sedang dirasakan oleh May.

Ekspresi dan tingkah laku May yang menunjukkan dirinya

tidak suka dengan perlakuan yang diterimanya dari bapak

membuatnya tidak bisa mengontrol dirinya. Ia sangat terkejut ketika

bapak memegang tangannya. Kejadian yang telah dialaminya 8 tahun

yang lalu membuatnya berpikir bahwa semua laki-laki itu jahat dan

tidak bisa dipercaya, meskipun itu bapaknya sendiri. Berdasarkan hal

tersebut konsep PTSD tampak dalam scene ini.


94

4.2.1.8 Scene 20 (00:14:33 – 00:15:22)

Gambar 4. 25 Cuplikan shot Gambar 4. 26 Cuplikan shot


dari adegan 20 dari adegan 20

Gambar 4. 27 Cuplikan shot Gambar 4. 28 Cuplikan shot


dari adegan 20 dari adegan 20

Gambar 4. 29 Cuplikan shot Gambar 4. 30 Cuplikan shot


dari adegan 20 dari adegan 20

Gambar 4. 31 Cuplikan shot Gambar 4. 32 Cuplikan shot


dari adegan 20 dari adegan 20
95

Deskripsi Narasi

May berhasil meloloskan diri dari bapak dan berlari kembali

menuju kamarnya. Bapak pun mengejarnya tetapi May sudah berhasil

memasuki kamar mandi. Gambar 4.22 terlihat May menutup dan

mengunci pintu kamar mandi. Pada gambar 4.23, 4.24, 4.25, dan 4.27,

May mengambil silet atau pisau cukur lalu melukai tangannya sendiri.

Pada gambar 4.26 terlihat bapak terus mencoba mendobrak pintu dan

memaksa May untuk keluar. Hingga akhirnya pada gambar 4.28 dan

4.29, May terdiam lemas dan duduk dilantai setelah melukai

tangannya sendiri. Dibawah ini peneliti jabarkan level realitas dan

representasi terkait dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
Level
May mengenakan baju setelan berwarna coklat
Realitas
muda. Bapak mengenakan baju berwarna abu-abu
polos dan celana berwarna hitam.

Riasan (make up) :


Pada gambar 4.24 dan 4.27 terdapat efek riasan
bekas luka goresan ditangan May. Pada gambar
96

4.29 terdapat efek riasan bekas luka dan luka baru


dengan darah yang mengalir.

Lingkungan (environment):
May berada di dalam kamar mandinya yang
terletak di dalam kamarnya.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.22, terlihat May sedang menutup
dan mengunci pintu kamar mandi. Lalu pada
gambar 4.23, 4.24, dan 4.25, May mencari silet
atau pisau cukur dan melukai tangannya sendiri.
Gambar 4.26 terlihat bapak sedang berusaha
mendobrak pintu kamar mandi May. Pada gambar
4.27, 4.28, dan 4.29, May merasa lega setelah
melukai tangannya sendiri dan duduk dilantai
dengan lemas dan darah mengalir di tangannya.

Percakapan (speech) :
Bapak : May, buka pintunya May! Ini bapak
disini, kali ini bapak bisa lindungi kamu,
May! May, buka pintunya!

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.22, terlihat May sedang menutup
dan mengunci pintu kamar mandi dengan tergesa-
gesa. Lalu pada gambar 4.23, May membalikkan
badannya dan mengarahkan tangannya ke laci
97

untuk mencari sesuatu dengan tergesa-gesa. Pada


gambar 4.24 dan 4.25, May mulai menggoreskan
silet atau pisau cukur pada tangan kirinya. Pada
gambar 4.26, bapak menggunakan kedua
tangannya untuk berusaha membuka pintu dan
mendorongkan bahunya untuk mendobrak pintu.
Pada gambar 4.27, May melepaskan tangan
kanannya. Pada gambar 4.28 dan 4.29, May
menyandarkan kepalanya dipintu dan melemaskan
tangan kirinya.

Ekspresi (expression) :
Pada gambar 4.22, 4.23, 4.24, 4.25, dan 4.27, May
terlihat marah dan kebingungan dengan tatapan
mata yang tajam. Lalu pada gambar 4.28, May
memunculkan ekpresi sedih, lemah, dan tak
berdaya dan merasa sangat menderita.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Gambar 4.22, 4.23, dan 4.24 menggunakan sudut
pengambilan gambar high angle dengan ukuran
frame CU (Close Up). Gambar 4.25, 4.26, dan
Level 4.27 menggunakan sudut pengambilan gambar eye
Representasi level dengan ukuran frame CU (Close Up) dan
MCU (Medium Close Up). Gambar 4.28 dan 4.29
menggunakan sudut pengambilan gambar high
angle dengan ukuran frame CU (Close Up).
Gambar 4.22, 4.23, 4.24, dan 4.25 menggunakan
pergerakan kamera follow dan floating untuk
98

menampilkan kesan menegangkan. Selanjutnya


hanya menggunakan floating.

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


Dalam scene ini musik sedih dengan instrumen
piano dimunculkan untuk menegaskan bahwa May
telah mengalami kejadian yang tidak
diinginkannya lagi.

Suara (sound) :
Suara teriakan bapak, teriakan May, ambience
teriakan tetangga dan suara sirine terdengar untuk
menambah kesan menegangkan.

Tabel 4. 8 Level Realitas dan Level Representasi Scene 20

Scene ini menjelaskan tentang rasa frustasi May karena tidak

mampu mengontrol gejala PTSD. Oleh sebab itu, May selalu


99

menyakiti diri sendiri. Kembalinya ingatan May pada kejadian

traumatis yang pernah dialaminya karena mendapatkan perlakuan

yang hampir serupa oleh bapaknya meskipun hanya memegang

tangan May. Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini terlihat

dari tindakan May yang selalu menyakiti dirinya sendiri setelah

mendapat perlakuan yang tidak diinginkannya. Gambar 4.22, 4.23,

4.24, 4.25, 4.27, menunjukkan bahwa May tidak bisa mengontrol

dirinya. Hingga pada akhirnya ia melukai dirinya sendiri.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang semuanya

menggunakan low key lighting untuk memberikan kesan dramatis dan

menegangkan. Gambar 4.22, 4.23, 4.24, 4.28, dan 4.29 menggunakan

teknik pengambilan high angle yang merupakan teknik pengambilan

gambar dari atas objek yang menimbulkan kesan lemah, tak berdaya,

kesendirian, dan kesan lain yang mengandung konotasi dilemahkan

atau dikerdilkan (Baksin, 2013 : 123). Dengan banyaknya ukuran

frame CU (Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk

memperlihatkan detail adegan dan menggiring penonton untuk

merasakan ketegangan yang dibangun oleh pembuat film. Selain itu,

dengan teknik editing Match Cut, penambahan musik bernada sedih,

dan ambience teriakan tetangga dan suara sirine, pembuat film ingin

membawa penonton untuk semakin mendalami karakter May dan

merasakan apa yang sedang dirasakan oleh May.


100

Ekspresi dan tingkah laku May yang menunjukkan dirinya

tidak bisa mengontrol emosinya hingga akhirnya ia menyakiti dirinya

sendiri. May tanpa sadar melakukannya karena merasa frustasi dan

tidak dapat mengontrol dirinya sendiri. Kejadian yang telah

dialaminya delapan tahun yang lalu membuatnya berpikir bahwa

semua laki-laki itu jahat dan tidak bisa dipercaya, meskipun itu

bapaknya sendiri. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD tampak

dalam scene ini.

4.2.1.9 Scene 21 (00:15:26 – 00:15:42)

Gambar 4. 37 Cuplikan shot Gambar 4. 38 Cuplikan shot


dari adegan 21 dari adegan 21

Gambar 4. 36 Cuplikan shot Gambar 4. 35 Cuplikan shot


dari adegan 21 dari adegan 21

Gambar 4. 34 Cuplikan shot Gambar 4. 33 Cuplikan shot


dari adegan 21 dari adegan 21
101

Gambar 4. 44 Cuplikan shot Gambar 4. 43 Cuplikan shot


dari adegan 21 dari adegan 21

Gambar 4. 40 Cuplikan shot Gambar 4. 39 Cuplikan shot


dari adegan 21 dari adegan 21

Gambar 4. 42 Cuplikan shot Gambar 4. 41 Cuplikan shot


dari adegan 21 dari adegan 21

Deskripsi Narasi

Setelah kejadian May yang tidak bisa mengontrol dirinya,

kini bapak merasa bersalah dan meluapkan semua amarahnya di ring

tinju. Bapak tidak bisa mengontrol emosinya. Gambar 4.30 terlihat

kaki bapak yang bergemetar tidak sabra ingin menghantam lawannya.

Pada gambar 4.31, pelatih berusaha menenangkan bapak sambil

sedikit mengobati luka di wajah bapak. Lonceng berbunyi,

pertandingan pun dimulai lagi. Pada gambar 4.32, terlihat bapak sudah
102

tidak sabar dan segera memasuki arena pertandingan. Pada gambar

4.33, 4.34, 4.35, dan 4.36, terlihat bapak sedang menghabisi

lawannya. Pada gambar 4.37, wasit melerai pertandingan tetapi bapak

terus melawan dan tetap ingin menghabisi lawannya. Hingga pada

gambar 4.38, lonceng dibunyikan, tanda pertandingan harus diakhiri.

Namun pada gambar 4.39, bapak tetap melakukan pukulan dan

menghabisi lawannya. Hingga pada gambar 4.40 dan 4.41, penonton

tidak terima dengan tindakan bapak dan wasit pun kembali melerai

bapak. Dibawah ini peneliti jabarkan level realitas dan representasi

terkait dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
Bapak bertubuh tidak terlalu tinggi dan sedikit
berotot. Rambutnya gundul. Warna kulitnya putih
bersih dan memiliki tato dilengan dan diperutnya.

Kostum (dress):
Level
Bapak bertelanjang dada dan memakai celana
Realitas
pendek serta sarung tinju berwarna merah.

Riasan (make up) :


-

Lingkungan (environment):
Bapak berada di arena pertarungan tinju.
103

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.31, terlihat bapak sedang terengah-
engah. Lalu pada gambar 4.32, 4.33, 4.34, 4.35
dan 4.36, bapak mulai memasuki arena dan
menghabisi lawannya dengan sangat agresif.
Gambar 4.37, terlihat wasit sedang melerai bapak,
namun bapak mencoba melawan dan tetap ingin
menghabisi lawannya. Hingga pada gambar 4.39,
bapak kembali menghajar lawannya tanpa
memedulikan lonceng yang telah dibunyikan.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.30, terlihat bapak sedang
menggerakkan kaki menunjukkan bahwa sudah
tidak sabar ingin menghabisi lawannya.
Dilanjutkan dengan gambar 4.31, bapak
menggerakkan badannya maju dan ditahan oleh
pelatih. Pada gambar 4.32, 4.33, 4.34, 4.35, dan
4.36, bapak melakukan pukulan bertubi-tubi pada
lawannya. Pada gambar 4.37, wasit melerai bapak,
namun bapak tetap mendorongkan badannya
seakan tetap ingin menghabisi lawannya. Pada
gambar 4.39 dan 4.41, bapak kembali memukuli
lawannya.
104

Ekspresi (expression) :
Pada gambar 4.31, terlihat pandangan tajam bapak
penuh dengan emosi. Pada gambar 4.33, 4.34,
4.36, dan 4.39, bapak masih menunjukkan emosi
dan keganasannya dengan tatapan tajam.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Gambar 4.30 menggunakan sudut pengambilan
high angle dengan ukuran frame CU (Close Up).
Gambar 4.31 menggunakan sudut pengambilan
eye level dengan ukuran frame CU (Close Up).
Gambar 4.32 menggunakan sudut pengambilan
high angle dengan ukuran frame LS (Long Shot).
Gambar 4.33, 4.36, 4.37, 4.38, 4.39, dan 4.40
menggunakan sudut pengambilan eye level dengan
ukuran frame MCU (Medium Close Up). Gambar
4.34 menggunakan sudut pengambilan eye level
dengan ukuran frame FS (Full Shot). Gambar 4.35
Level
menggunakan sudut pengambilan eye level dengan
Representasi
ukuran frame CU (Close Up). Gambar 4.41
menggunakan sudut pengambilan low angle
dengan ukuran frame MCU (Medium Close Up).
Pergerakan kamera yang banyak digunakan yaitu
floating camera untuk menyampaikan ketegangan
adegan.

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.
105

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Ambience teriakan penonton, efek suara pukulan,
suara lonceng, dan geraman bapak menjadikan
adegan semakin menegangkan.

Tabel 4. 9 Level Realitas dan Level Representasi Scene 21

Scene ini menjelaskan tentang rasa frustasi bapak karena

tidak mampu mengontrol gejala PTSD dan tidak dapat melakukan

sesuatu dengan benar, maka bapak merasa malu dan cenderung

menyalahkan diri sendiri. Oleh sebab itu, bapak meluapkan emosinya

pada ring tinju. Perasaan bersalah bapak yang tidak bisa menjaga May

dengan benar, akan selalu muncul ketika sesuatu terjadi pada May.

Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari tindakan

bapak yang selalu merasa bersalah dan meluapkan emosinya dengan

menyakiti diri sendiri dan orang lain. Gambar 4.32, 4.33, 4.34, 4.35,

4.36, 4.37, 4.39, dan 4.41 menunjukkan bahwa bapak tidak bisa

mengontrol dirinya. Hingga pada akhirnya ia melukai dan ingin

menghabisi orang lain.


106

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang semuanya

menggunakan low key lighting untuk memberikan kesan dramatis dan

menegangkan. Dengan banyaknya ukuran frame MCU (Medium

Close Up) dan CU (Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk

memperlihatkan detail adegan dan menggiring penonton untuk

merasakan ketegangan yang dibangun oleh pembuat film. Selain itu,

dengan teknik editing Match Cut dan ambience teriakan penonton,

suara lonceng, dan efek suara pukulan, pembuat film ingin membawa

penonton untuk semakin mendalami karakter bapak dan merasakan

apa yang sedang dirasakan oleh bapak.

Ekspresi dan tingkah laku bapak yang menunjukkan dirinya

tidak bisa mengontrol emosinya hingga akhirnya ia menyakiti dirinya

sendiri dan orang lain. Bapak melakukannya karena merasa frustasi

dan selalu merasa bersalah ketika sesuatu terjadi pada May. Kejadian

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.


107

4.2.1.10 Scene 22 (00:16:43 – 00:18:45)

Gambar 4. 45 Cuplikan shot Gambar 4. 46 Cuplikan shot


dari adegan 22 dari adegan 22

Gambar 4. 47 Cuplikan shot Gambar 4. 48 Cuplikan shot


dari adegan 22 dari adegan 22

Gambar 4. 49 Cuplikan shot Gambar 4. 50 Cuplikan shot


dari adegan 22 dari adegan 22

Deskripsi Narasi

Suatu ketika teman bapak datang membawa seorang dukun

untuk membersihkan aura negatif yang ada dirumah bapak. Dengan

sikap negatifnya, bapak menolak. Pada gambar 4.43, terlihat ekpresi

bapak yang mengerutkan dahi dan tampak tidak suka dengan

kedatangan dukun tersebut. Lalu pada gambar 4.45 dan 4.47 bapak
108

memiringkan bibirnya seakan meremehkan dukun tersebut. Dibawah

ini peneliti jabarkan level realitas dan representasi terkait dengan data

diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
Bapak bertubuh tidak terlalu tinggi dan sedikit
berotot. Rambutnya gundul. Warna kulitnya putih
bersih.

Kostum (dress):
Bapak mengenakan baju berwarna abu-abu.

Riasan (make up) :


Level -
Realitas
Lingkungan (environment):
Bapak berada di halaman rumah.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.42 bapak membuka pintu dan
keluar untuk menemui temannya. Gambar 4.43
bapak melihati temannya bersama dukun. Gambar
4.44 teman bapak sedang bernegosiasi dengan
dukun. Gambar 4.45 dan 4.47 bapak dan
temannya sedang mengobrol. Gambar 4.46 dukun
melakukan aksinya.
109

Percakapan (speech) :
Teman bapak : “Eh.. eh.. Lu mau kemana? Ha?”
Dukun : “Mau masuk.”
Teman bapak : “Lu kagak denger tadi gua bilang
apa!”
Dukun : “Lah, terus gimana gua….”
Teman bapak : “Ya kan gua udah bilang, jangan
ke dalam rumah.”
Teman bapak : “Dia udah nyoba semuanya, jadi
jangan nyalahin kalo dia nggak
percayaan.”
Dukun : “Terus ngapain gue dimari?”
Teman bapak : “Iya, bantuin, tapi jangan ke dalam
rumah!”
Dukun : “Iye.”
Teman bapak : “Kita langsung dateng pas denger
berita kebakaran.”
Bapak : “Gak bakal nolong.”
Teman bapak : “He.. lu kan gatau itu, yang
penting lu yakin aja dulu. Siapa tau
ini bakal beda?”
Bapak : “Gak bakal.”
Teman bapak : “Gimana keadaannya?”
Bapak : “Rumah belakang aja yang kena. Gua
terpaksa narik dia keluar biar dia aman.”
Teman bapak : “Lu udah bikin dia aman.”

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.43 bapak mencondongkan
badannya kedepan dan menoleh kearah temannya.
110

Pada gambar 4.45 dan 4.47 bapak mengobrol


sambil memiringkan bibirnya dan menghadap ke
bawah seakan meremehkan dan tidak percaya
dengan dukun yang dibawakan oleh temannya.

Ekspresi (expression) :
Pada gambar 4.43 bapak mengerutkan dahi sambil
menatap temannya. Pada gambar 4.45 dan 4.47
bapak mengobrol sambil memiringkan bibirnya
dan membuang muka ke bawah.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Semua shot menggunakan sudut pengambilan eye
level. Gambar 4.42 menggunakan ukuran frame
LS (Long Shot). Lalu gambar 4.43, 4.44, 4.45,
4.46 dan 4.47, semuanya menggunaka ukuran
frame MCU (Medium Close Up).

Level
Pencahayaan (lighting) :
Representasi
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan
natural light.

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.
111

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Suara pembicaraan bapak, temannya, dan dukun
dan ditambah dengan ambience sekitar termasuk
suara ayam yang dibawa dukun.

Tabel 4. 10 Level Realitas dan Level Representasi Scene 22

Scene ini menjelaskan tentang rasa bersalah bapak yang tidak

dapat melakukan sesuatu dengan benar, maka bapak merasa malu dan

cenderung menyalahkan diri sendiri. Penggambaran konsep PTSD

dalam scene ini terlihat dari tindakan bapak yang selalu merasa

bersalah dan seakan-akan tidak bisa berbuat apa-apa untuk dapat

merubah kondisi May. Gambar 4.45 dan 4.47 menunjukkan bahwa

bapak mengalami perasaan yang menderita berkepanjangan dan

merasa tidak dapat menghindar dari perasaan yang membuatnya

menderita. Hingga pada akhirnya bapak hanya menyerah pada

keadaan.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan

natural ligh. Dengan banyaknya ukuran frame MCU (Medium Close

Up) dalam scene ini bertujuan untuk memperlihatkan detail adegan

dan menggiring penonton untuk merasakan perasaan bersalah yang

bapak alami. Selain itu, dengan teknik editing Match Cut dan

ambience suara sekitar membuat adegan ini semakin nyata.


112

Ekspresi dan tingkah laku bapak menunjukkan dirinya tidak

bisa menghindar dari rasa bersalahnya dan merasa menderita.

Kejadian yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat

bapak selalu merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan

melindungi anak perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal

tersebut konsep PTSD tampak dalam scene ini.

4.2.1.11 Level Ideologi Babak Pertama

Scene Level Ideologi


Gagasan konsep yang terkandung dalam beberapa
scene diatas adalah gangguan kejiwaan, rasa takut
yang intens dan ketidakberdayaan seseorang
setelah mengalami kejadian yang mengancam
jiwanya. Hal ini tercipta dari ekspresi dan tingkah
Scene 6, 7, 8,
laku May yang menunjukkan dirinya terisolasi,
9, 12, 19, 20
tidak suka dengan konsep ketidakrapian, dan tidak
mau disentuh oleh orang lain, meskipun bapaknya
sendiri. Ketakutan yang dialaminya dipicu oleh
kejadian yang telah dialaminya delapan tahun lalu
yang membuatnya sangat trauma.
Tabel 4. 11 Level Ideologi Babak Pertama

Deskripsi Level Ideologi

Post-traumatic stress disorder (PTSD) merupakan gangguan

kejiwaan yang dapat timbul setelah mengalami atau menyaksikan

kejadian-kejadian yang mengancam jiwa, salah satunya adalah tindak

kekerasan individual, seperti pemerkosaan dan kekerasan fisik. Selain

itu, PTSD juga merupakan gangguan mental yang secara spesifik


113

timbul karena pengalaman traumatis (Carlson dan Ruzek, 2006).

Gangguan mental dan kejiwaan yang dialami oleh May mulai terlihat

pada beberapa scene setelah kejadian yang dialaminya delapan tahun

lalu.

Secara umum idelogi dalam film 27 Steps Of May merupakan

gagasan konsep ketakutan pada kejadian traumatis yang membuat

karakter May memilih untuk isolasi diri. Menurut Carlson dan Ruzek

(2006), selama masa trauma biasanya penderita seringkali mengalami

ketakutan yang berlebihan. Tidak berapa lama setelah trauma, mereka

biasanya akan kembali mengingat pengalaman trauma yang dulu

terjadi secara mental maupun fisik. Hal tersebut akan tidak nyaman

bahkan kadang menyakitkan. Oleh karena itu, penderita cenderung

untuk menghindari ingatan dari kejadian-kejadian yang dialaminya.

4.2.2 Hasil dan Analisis Babak Kedua

Babak kedua merupakan sekelompok adegan (scene) yang

berisi konflik beberapa tokoh yang ada. Misbach Yusa Biran dalam

Teknik Menulis Skenario Film Cerita (2006), babak kedua dijelaskan

sebagai berlangsungnya cerita yang sesungguhnya. Di babak I cerita

belum dimulai tetapi baru berupa pengantar. Baru dibabak inilah

betul-betul dimulai sampai cerita berakhir. Pada babak II berisi

tentang : Point off attack, jalan cerita, protagonis terseok-seok,

klimaks: protagonis hidup atau mati. Dalam babak ini peneliti


114

mengambil beberapa adegan yang merupakan konflik tokoh May dan

Bapak.

4.2.2.1 Scene 25 (00:20:11 – 00:21:00)

Gambar 4. 51 Cuplikan shot Gambar 4. 52 Cuplikan shot


dari adegan 25 dari adegan 25

Gambar 4. 54 Cuplikan shot Gambar 4. 53 Cuplikan shot


dari adegan 25 dari adegan 25

Deskripsi Narasi

May melakukan rutinitas malamnya, bermain lompat tali.

Tiba-tiba ada cahaya masuk dari lubang misterius di dinding kamar

May. Seketika ia bergeser dan menghindar dari cahaya itu. May terus

memandangi lubang tersebut. Hingga akhirnya lubang itu tertutup dan

tidak ada lagi cahaya masuk, May pun bisa tidur. Dibawah ini peneliti

jabarkan level realitas dan representasi terkait dengan data diatas,

sebagai berikut :
115

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna abu-abu
polos.

Riasan (make up) :


Natural tanpa riasan tertentu.
Level
Realitas

Lingkungan (environment):
May berada di dalam kamarnya.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.51, terlihat May sedang
menghentikan lompat talinya dan memandangi
lubang yang ada di dinding sebelahnya. Lalu pada
gambar 4.52, May bergeser sedikit untuk
menghindari cahaya yang masuk. Gambar 4.53
May melanjutkan lompat talinya. Pada gambar
4.54, May merasa lega setelah cahaya dari lubang
itu menghilang dan melanjutkan tidur.
116

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.51, terlihat May sedang
menghentikan lompat talinya dan memandangi
lubang yang ada di dinding sebelahnya. Lalu pada
gambar 4.52, May bergeser sedikit untuk
menghindari cahaya yang masuk. Gambar 4.53
May melanjutkan lompat talinya. Pada gambar
4.54, May merasa lega setelah cahaya dari lubang
itu menghilang dan melanjutkan tidur.

Ekspresi (expression) :
Terlihat May dengan ekspresi datar.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Gambar 4.51 menggunakan sudut pengambilan
gambar eye level dengan ukuran frame FS (Full
Shot). Gambar 4.52 menggunakan sudut
pengambilan gambar eye level dengan ukuran
Level frame CU (Close Up). Gambar 4.53 menggunakan
Representasi sudut pengambilan gambar eye level dengan
ukuran frame FS (Full Shot). Gambar 4.54
menggunakan sudut pengambilan gambar eye
level dengan ukuran frame MCU (Medium Close
Up).

Pencahayaan (lighting) :
117

Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low


key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.

Tabel 4. 12 Level Realitas dan Level Representasi Scene 25

Scene ini menjelaskan tentang ketidaknyamanan May dengan

cahaya yang masuk dari lubang misterius di dinding kamarnya.

Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari tindakan

May yang berusaha menghindar dari cahaya itu dan tetap melanjutkan

aktifitasnya.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Dengan ukuran frame FS (Full Shot) MCU (Medium


118

Close Up), CU (Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk

memperlihatkan detail adegan dan menggiring penonton untuk

merasakan perasaan May. Selain itu, dengan teknik editing Match Cut

dan ambience suara sekitar membuat adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima benda asing diluar dirinya. Kejadian yang telah

dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu merasa

bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.2.2 Scene 26 (00:21:00 – 00:22:58)

Gambar 4. 55 Cuplikan shot Gambar 4. 56 Cuplikan shot


dari adegan 26 dari adegan 26

Gambar 4. 57 Cuplikan shot Gambar 4. 58 Cuplikan shot


dari adegan 26 dari adegan 26
119

Gambar 4. 59 Cuplikan shot Gambar 4. 60 Cuplikan shot


dari adegan 26 dari adegan 26

Deskripsi Narasi

May melakukan rutinitasnya, bekerja membuat boneka

dengan bapaknya. May merasa terganggu dengan lubang yang ada di

hadapannya. May mencoba menutup lubang itu dengan isolasi yang

diambil dari laci mejanya. Tapi ia tetap merasa terganggu dengan

pandangannya. Hingga akhirnya May sedikit menggeser lemari

bonekanya untuk menutupi lubang itu. Dibawah ini peneliti jabarkan

level realitas dan representasi terkait dengan data diatas, sebagai

berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.
Level
Realitas
Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna krem
muda polos.
120

Riasan (make up) :


Natural tanpa riasan tertentu.

Lingkungan (environment):
May berada di dalam kamarnya.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.55 dan 4.56, terlihat May sedang
memandangi lubang di dinding yang ada di
hadapannya. Lalu pada gambar 4.57, May
mengambil isolasi dan menutup lubang yang ada
di dinding. Gambar 4.58 May masih merasa
terganggu dengan lubang yang sudah ditutupnya.
Pada gambar 4.59, May menggeser lemari
bonekanya untuk menutupi lubang tersebut dari
pandangannya. Gambar 4.60, Bapak hanya
melihati keanehan tingkah May.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.55 dan 4.56, terlihat May sedang
memandangi lubang di dinding yang ada di
hadapannya. Lalu pada gambar 4.57, May
mengambil isolasi dan menutup lubang yang ada
di dinding. Gambar 4.58 May masih merasa
terganggu dengan lubang yang sudah ditutupnya.
121

Pada gambar 4.59, May menggeser lemari


bonekanya untuk menutupi lubang tersebut dari
pandangannya. Gambar 4.60, Bapak hanya
melihati keanehan tingkah May.

Ekspresi (expression) :
Terlihat May dengan ekspresi datar.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Gambar 4.55, 4.56, 4.57, 4.58, 4.59, dan 4.60,
menggunakan sudut pengambilan gambar eye
level dengan ukuran frame MCU (Medium Close
Up) dan FS (Full Shot).

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
Level
dan menegangkan.
Representasi

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-
122

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.

Tabel 4. 13 Level Realitas dan Level Representasi Scene 26

Scene ini menjelaskan tentang ketidaknyamanan May dengan

lubang misterius di dinding yang ada di hadapannya. Penggambaran

konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari tindakan May yang

berusaha menutup lubang itu dengan isolasi dan menggeser lemari

bonekanya.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Dengan ukuran frame FS (Full Shot) MCU (Medium

Close Up), CU (Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk

memperlihatkan detail adegan dan menggiring penonton untuk

merasakan perasaan May. Selain itu, dengan teknik editing Match Cut

dan ambience suara sekitar membuat adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima benda asing atau pun hal aneh diluar dirinya. Kejadian

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak


123

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.2.3 Scene 28 (00:23:28 – 00:24:07)

Gambar 4. 63
62 Cuplikan shot 61 Cuplikan shot
Gambar 4. 64
dari adegan 28 dari adegan 28

Gambar 4. 65 Cuplikan shot Gambar 4. 66 Cuplikan shot


dari adegan 28 dari adegan 28

Gambar 4. 67 Cuplikan shot Gambar 4. 68 Cuplikan shot


dari adegan 28 dari adegan 28

Deskripsi Narasi

Ketika bapak tiba di ruang loker, ternyata lokernya terkunci.

Ia berusaha membukanya secara paksa dan berhasil. Ternyata setelah


124

lokernya dibuka, barang-barang bapak sudah tidak ada. Akhirnya

bapak menghampiri ruang manajer dan menanyakan barangnya.

Setibanya diruangan, bapak tak mendapatkan respon baik dari

manajer. Manajer mengeluarkan bapak dari tim tinju dan memintanya

untuk meninggalkan ruangan. Dengan penuh emosi, bapak pun

menghantam manajer dan dipisahkan oleh pelatih. Dibawah ini

peneliti jabarkan level realitas dan representasi terkait dengan data

diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
Bapak bertubuh tidak terlalu tinggi dan sedikit
berotot. Rambutnya gundul. Warna kulitnya putih
bersih.

Kostum (dress):
Bapak mengenakan baju berwarna abu-abu gelap.
Level
Realitas

Riasan (make up) :


-

Lingkungan (environment):
Bapak berada di ruangan manajer tinju.

Perilaku (behavior):
125

Pada gambar 4.48, 4.49, dan 4.50, bapak


memasuki ruangan manajer dan menanyakan
keberadaan barangnya dengan nada tinggi. Pada
gambar 4.51 dan 4.52, bapak mendapat
perlakukan tidak menyenangkan dari manajer dan
bapak hanya terdiam. Lalu pada gambar 4.53,
4.54, dan 4.55, bapak menghajar manajer dan
pelatih melerainya.

Percakapan (speech) :
Bapak : “Mana barang-barang gue?”
Manajer : “Dibuang.”
Bapak : “Balikin!”
Pelatih : “Tenang-tenang.”
Bapak : “Gua bilang, balikin!”
Manajer : “Gua mau lo keluar. Timing-nya
kelamaan masalah lo, emosi lo, ha. Lu
nggak kelarin disini. Lu kelarin sendiri
atau lu kelarin di rumah sakit jiwa.”
Pelatih : “Tenang, tenang…”

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.50, bapak menunjuk manajer
sambil melotot dan mengeluarkan nadi tinggi.
Pada gambar 4.52, bapak berdiri sambil
membusungkan dada. Pada gambar 4.54, bapak
memukul manajer.

Ekspresi (expression) :
126

Pada gambar 4.48, 4.49, dan 4.53, bapak


memperlihatkan muka datarnya. Lalu pada
gambar 4.50, 4.54, dan 4.55, bapak mulai melotot
dan tampak sangat marah.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Semua shot menggunakan sudut pengambilan eye
level dengan ukuran frame MCU (Medium Close
Up).

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting.

Level
Representasi Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Suara pembicaraan bapak, manajer, dan pelatih
dan ditambah dengan ambience sekitar termasuk
keramaian sedang bertanding.

Tabel 4. 14 Level Realitas dan Level Representasi Scene 28


127

Scene ini menjelaskan tentang ketidakterimaan bapak terhadap

perlakuan sang manajer yang tiba-tiba mengeluarkannya dari tim dan

membuang semua barang-barangnya. Penggambaran konsep PTSD

dalam scene ini terlihat dari tindakan bapak yang tidak bisa

mengontrol emosinya dengan baik lalu memilih menyakiti orang lain.

Gambar 4.50, 4.54, dan 4.55 menunjukkan bahwa bapak mengalami

masalah yang terjadi akibat dari rasa frustasi karena tidak mampu

mengontrol gejala PTSD. Hingga pada akhirnya bapak menyerang

dan menyakiti orang lain.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Dengan ukuran frame MCU (Medium Close Up) dalam

scene ini bertujuan untuk memperlihatkan detail adegan dan

menggiring penonton untuk merasakan kemarahan bapak. Selain itu,

dengan teknik editing Match Cut dan ambience suara sekitar membuat

adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku bapak menunjukkan dirinya tidak

bisa mengontrol gejala PTSD-nya sehingga menyerang orang lain.

Kejadian yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat

bapak selalu merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan

melindungi anak perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal

tersebut konsep PTSD tampak dalam scene ini.


128

4.2.2.4 Scene 33 (00:27:07 – 00:28:22)

Gambar 4. 69 Cuplikan shot Gambar 4. 70 Cuplikan shot


dari adegan 33 dari adegan 33

Gambar 4. 71 Cuplikan shot Gambar 4. 72 Cuplikan shot


dari adegan 33 dari adegan 33

Gambar 4. 73 Cuplikan shot Gambar 4. 74 Cuplikan shot


dari adegan 33 dari adegan 33

Gambar 4. 75 Cuplikan shot Gambar 4. 76 Cuplikan shot


dari adegan 33 dari adegan 33
129

Gambar 4. 77 Cuplikan shot Gambar 4. 78 Cuplikan shot


dari adegan 33 dari adegan 33

Deskripsi Narasi

May melakukan rutinitasnya, bekerja membuat boneka

dengan bapaknya. May merasa terganggu dengan butiran glitter yang

menempel ditangannya. May mencoba menghilangkan glitter itu

dengan tangannya, tetapi tidak bisa. Lalu ia mencoba menghilangkan

dengan menjilat tanggannya, tapi tetap tidak bisa. Hingga akhirnya ia

mengambil sendok yang ada disampingnya dan berkaca disendok itu

dsambil menjilati tangannya. Dibawah ini peneliti jabarkan level

realitas dan representasi terkait dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.
Level
Realitas

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna cokelat
muda polos.
130

Riasan (make up) :


Natural tanpa riasan tertentu.

Lingkungan (environment):
May berada di dalam kamarnya.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.69 dan 4.70, terlihat May sedang
kebingungan dengan taburan glitter yang
menempel pada tangannya. Lalu pada gambar
4.71 dan 4.72, May berusaha menghilangkan
glitter yang menempel pada tangannya. Gambar
4.73 Bapak melihati keanehan tingkah laku May.
Pada gambar 4.74, May menjilati tangannya.
Gambar 4.75, May mengambil sendok yang ada
disampingnya. Gambar 4.76 dan 4.77, May
berkaca disendok sambil menjilati tangannya dan
Bapak hanya melihati dengan kebingungan.
Gambar 4.78, May kebingungan saat teman bapak
datang dan ia belum menyelesaikan pekerjaannya.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.69 dan 4.70, terlihat May sedang
kebingungan dengan taburan glitter yang
menempel pada tangannya. Lalu pada gambar
131

4.71 dan 4.72, May berusaha menghilangkan


glitter yang menempel pada tangannya. Gambar
4.73 Bapak melihati keanehan tingkah laku May.
Pada gambar 4.74, May menjilati tangannya.
Gambar 4.75, May mengambil sendok yang ada
disampingnya. Gambar 4.76 dan 4.77, May
berkaca disendok sambil menjilati tangannya dan
Bapak hanya melihati dengan kebingungan.
Gambar 4.78, May kebingungan saat teman bapak
datang dan ia belum menyelesaikan pekerjaannya.

Ekspresi (expression) :
Terlihat May dengan ekspresi datar dan
kebingungan.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Gambar 4.69 – 4.78, menggunakan sudut
pengambilan gambar eye level dengan ukuran
frame MCU (Medium Close Up) dan CU (Close
Up).

Level
Representasi
Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.

Penyuntingan (editing) :
132

Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match


cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.

Tabel 4. 15 Level Realitas dan Level Representasi Scene 33

Scene ini menjelaskan tentang ketidaknyamanan May dengan

glitter yang menempel pada tangannya. Penggambaran konsep PTSD

dalam scene ini terlihat dari tindakan May yang berusaha

menghilangkan glitter yang merupakan benda aneh baginya yang

menempel pada tangannya.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Dengan ukuran frame CU (Close Up) MCU (Medium

Close Up), CU (Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk

memperlihatkan detail adegan dan menggiring penonton untuk

merasakan perasaan May. Selain itu, dengan teknik editing Match Cut

dan ambience suara sekitar membuat adegan ini semakin nyata.


133

Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima benda asing atau pun hal aneh diluar dirinya. Kejadian

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.2.5 Scene 49 (00:45:28 – 00:46:25)

Gambar 4. 79 Cuplikan shot Gambar 4. 80 Cuplikan shot


dari adegan 49 dari adegan 49

Gambar 4. 81 Cuplikan shot Gambar 4. 82 Cuplikan shot


dari adegan 49 dari adegan 49

Deskripsi Narasi

May mencoba trik sulap yang dilakukan oleh pesulap,

namun ia tidak bisa. Pesulap menawarkan bantuan kepada May. May

pun duduk dan belajar dengan pesulap. Tiba-tiba pesulap memegang


134

tangan May. Seketika May mengingat kejadian yang pernah

dialaminya. May pun terkejut dan melepaskan tangannya. Dibawah

ini peneliti jabarkan level realitas dan representasi terkait dengan data

diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna cokelat
muda polos.

Riasan (make up) :


Level Natural tanpa riasan tertentu.
Realitas

Lingkungan (environment):
May berada di depan dinding perbatasan di dalam
kamarnya.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.79, terlihat May sedang diam dan
berdiri di depan uluran tangan pesulap. Lalu pada
gambar 4.80, May mulai menirukan gerakan
pesulap dan pesulap memegang tangan May.
135

Gambar 4.82, May terkejut dengan perlakuan


pesulap.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.79, terlihat May sedang diam dan
berdiri di depan uluran tangan pesulap. Lalu pada
gambar 4.80, May menggerakkan tangannya dan
menirukan trik sulap. Gambar 4.82, May terkejut
melepaskan tangannya dari genggaman pesulap.

Ekspresi (expression) :
Terlihat May dengan ekspresi datar dan terkejut.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Gambar 4.79, menggunakan sudut pengambilan
gambar eye level dengan ukuran frame FS (Full
Shot). Gambar 4.80, 4.81, dan 4.82 menggunakan
sudut pengambilan gambar eye level dengan
Level ukuran frame dan CU (Close Up).
Representasi

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.
136

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.

Tabel 4. 16 Level Realitas dan Level Representasi Scene 49

Scene ini menjelaskan tentang ketidaknyamanan May dengan

perlakuan pesulap yang memegang tangan May. Penggambaran

konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari tindakan May yang

seketika mengingat kejadian yang pernah dialaminya ketika pesulap

memegang tangannya. Ia pun terkejut dan melepaskan genggaman

pesulap.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Dengan ukuran frame FS (Full Shot) dan CU (Close Up)

dalam scene ini bertujuan untuk memperlihatkan detail adegan dan

menggiring penonton untuk merasakan perasaan May. Selain itu,


137

dengan teknik editing Match Cut dan ambience suara sekitar membuat

adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima benda asing atau pun hal aneh diluar dirinya. Kejadian

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.2.6 Scene 50 (00:46:25 – 00:46:31)

Gambar 4. 83 Cuplikan shot Gambar 4. 84 Cuplikan shot


dari adegan 50 dari adegan 50

Deskripsi Narasi

Setelah mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari

pesulap, May bergegas memasuki kamar mandi dan mencari benda

tajam. May memberi tanda pada tangannya dan melukai dirinya

sendiri. May selalu melakukan hal ini setelah tubuhnya dipegang oleh

orang lain. Dibawah ini peneliti jabarkan level realitas dan

representasi terkait dengan data diatas, sebagai berikut :


138

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna cokelat
muda polos.

Riasan (make up) :


Natural tanpa riasan tertentu.

Level
Lingkungan (environment):
Realitas
May berada di dalam kamar mandi.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.83 dan 4.84, terlihat May sedang
melukai dirinya sendiri dengan benda tajam.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.83 dan 4.84, terlihat May sedang
melukai tangannya dengan benda tajam.
139

Ekspresi (expression) :
Terlihat May dengan ekspresi ketakutan.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Gambar 4.83 dan 4.84, menggunakan pergerakan
kamera follow dengan teknik pengambilan gambar
floating dan ukuran frame CU (Close Up).

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.

Level
Penyuntingan (editing) :
Representasi
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.
Tabel 4. 17 Level Realitas dan Level Representasi Scene 50
140

Scene ini menjelaskan tentang ketidaknyamanan dan

ketakutan May ketika tubuhnya tersentuh oleh orang lain.

Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari tindakan

May yang melukai dirinya sendiri untuk memberi tanda bahwa dirinya

telah tersentuh orang lain.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Pergerakan kamera follow dengan teknik floating dan

ukuran frame CU (Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk

memperlihatkan detail adegan dan menggiring penonton untuk

merasakan perasaan May. Selain itu, dengan teknik editing Match Cut

dan ambience suara sekitar membuat adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima benda asing atau pun hal aneh diluar dirinya. Kejadian

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.2.7 Scene 51 (00:46:53 – 00:47:15)

Gambar 4. 85 Cuplikan shot Gambar 4. 86 Cuplikan shot


dari adegan 51 dari adegan 51
141

Gambar 4. 87 Cuplikan shot Gambar 4. 88 Cuplikan shot


dari adegan 51 dari adegan 51

Deskripsi Narasi

Setelah dikeluarkan dari tim tinju, bapak tidak lagi memiliki

tempat untuk menyalurkan emosi. Akhirnya bapak meluapkan semua

emosinya pada samsak yang digantungkan di kamarnya. Dari mulai

memakai sarung tangan hingga melepasnya, bapak melepaskan

amarahnya hingga samsak yang berisi pasir itu terkelupas dan

pasirnya berjatuhan ke lantai. Dibawah ini peneliti jabarkan level

realitas dan representasi terkait dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
Bapak bertubuh tidak terlalu tinggi dan sedikit
berotot. Rambutnya gundul. Warna kulitnya putih
Level bersih dan memiliki tato dilengan dan diperutnya.
Realitas

Kostum (dress):
Bapak bertelanjang dada dan memakai celana
hitam serta sarung tinju berwarna merah.
142

Riasan (make up) :


-

Lingkungan (environment):
Bapak berada di dalam kamarnya.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.85, terlihat bapak sedang memukul
samsak dengan menggunakan sarung tangan. Lalu
pada gambar 4.86, bapak mulai melepas sarung
tangannya dan tetap memukuli samsak. Gambar
4.87, terlihat pasir berjatuhan ke lantai. Gambar
4.88, bapak duduk dikasurnya.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.85, terlihat bapak sedang memukul
samsak dengan menggunakan sarung tangan. Lalu
pada gambar 4.86, bapak mulai melepas sarung
tangannya dan tetap memukuli samsak. Gambar
4.87, terlihat pasir berjatuhan ke lantai. Gambar
4.88, bapak duduk dikasurnya.

Ekspresi (expression) :
Pada gambar 4.85 dan 4.86, bapak mengerutkan
dahi dan sesekali berteriak menunjukkan emosi
dan keganasannya dengan tatapan tajam.
143

Kamera (angle, frame size, movement) :


Gambar 4.85, 4.86, dan 4.88 menggunakan sudut
pengambilan gambar eye level dengan ukuran
frame MCU (Medium Close Up). Gambar 4.87
menggunakan ukuran frame CU (Close Up).

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.

Level
Representasi
Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Efek suara pukulan dan geraman bapak
menjadikan adegan semakin menegangkan.

Tabel 4. 18 Level Realitas dan Level Representasi Scene 51

Scene ini menjelaskan tentang rasa frustasi bapak karena tidak

mampu mengontrol gejala PTSD dan tidak dapat melakukan sesuatu


144

dengan benar, maka bapak merasa malu dan cenderung menyalahkan

diri sendiri. Oleh sebab itu, bapak meluapkan emosinya pada samsak

yang ada di kamarnya. Perasaan bersalah bapak yang tidak bisa

menjaga May dengan benar, akan selalu muncul ketika sesuatu terjadi

pada May. Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari

tindakan bapak yang selalu merasa bersalah dan meluapkan emosinya

dengan menyakiti diri sendiri dan orang lain. Gambar 4.85, 4.86, 4.88,

menunjukkan bahwa bapak tidak bisa mengontrol dirinya. Hingga

pada akhirnya ia merusak samsak yang dimilikinya.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang semuanya

menggunakan low key lighting untuk memberikan kesan dramatis dan

menegangkan. Dengan banyaknya ukuran frame MCU (Medium

Close Up) dan CU (Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk

memperlihatkan detail adegan dan menggiring penonton untuk

merasakan ketegangan yang dibangun oleh pembuat film. Selain itu,

dengan teknik editing Match Cut, efek suara pukulan, dan geraman

suara bapak, pembuat film ingin membawa penonton untuk semakin

mendalami karakter bapak dan merasakan apa yang sedang dirasakan

oleh bapak.

Ekspresi dan tingkah laku bapak yang menunjukkan dirinya

tidak bisa mengontrol emosinya hingga akhirnya ia menyakiti dirinya

sendiri dan orang lain. Bapak melakukannya karena merasa frustasi

dan selalu merasa bersalah ketika sesuatu terjadi pada May. Kejadian
145

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.2.8 Scene 74 (01:03:46 – 01:05:48)

Gambar 4. 89 Cuplikan shot Gambar 4. 90 Cuplikan shot


dari adegan 74 dari adegan 74

Gambar 4. 91 Cuplikan shot Gambar 4. 92 Cuplikan shot


dari adegan 74 dari adegan 74

Gambar 4. 93 Cuplikan shot Gambar 4. 94 Cuplikan shot


dari adegan 74 dari adegan 74
146

Gambar 4. 95 Cuplikan shot Gambar 4. 96 Cuplikan shot


dari adegan 74 dari adegan 74

Deskripsi Narasi

Setelah percobaan pertama melepas borgornya berhasil, May

mendapat ujian lagi dari pesulap untuk melepas borgol dengan tangan

berada dibelakang. May mulai kebingungan saat kesusahan

melepaskan borgolnya. May berhasil melepaskan borgolnya dengan

tergesa-gesa dan penuh kepanikan. Setelah bermain borgol, pesulap

memberikan sarung tangan dan memakaikannya ditangan May. Disaat

itulah May mulai mengingat kejadian yang pernah dialaminya.

Hingga pada akhirnya May pasrah dan melawan rasa takutnya.

Dibawah ini peneliti jabarkan level realitas dan representasi terkait

dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
Level
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.
Realitas

Kostum (dress):
147

May mengenakan baju setelan berwarna cokelat


muda polos.

Riasan (make up) :


Natural tanpa riasan tertentu.

Lingkungan (environment):
May berada di perbatasan dinding kamarnya
dengan ruangan pesulap.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.83 dan 4.84, terlihat May sedang
melukai dirinya sendiri dengan benda tajam.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.83 dan 4.84, terlihat May sedang
melukai tangannya dengan benda tajam.

Ekspresi (expression) :
Terlihat May dengan ekspresi ketakutan.

Level
Representasi Kamera (angle, frame size, movement) :
148

Gambar 4.83 dan 4.84, menggunakan pergerakan


kamera follow dengan teknik pengambilan gambar
floating dan ukuran frame CU (Close Up).

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.
Tabel 4. 19 Level Realitas dan Level Representasi Scene 74

Scene ini menjelaskan tentang ketidaknyamanan dan

ketakutan May ketika tubuhnya tersentuh oleh orang lain.

Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari tindakan


149

May yang melukai dirinya sendiri untuk memberi tanda bahwa dirinya

telah tersentuh orang lain.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Pergerakan kamera follow dengan teknik floating dan

ukuran frame CU (Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk

memperlihatkan detail adegan dan menggiring penonton untuk

merasakan perasaan May. Selain itu, dengan teknik editing Match Cut

dan ambience suara sekitar membuat adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima benda asing atau pun hal aneh diluar dirinya. Kejadian

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.2.9 Scene 75 (01:05:48 – 01:06:53)

Gambar 4. 97 Cuplikan shot Gambar 4. 98 Cuplikan shot


dari adegan 75 dari adegan 75
150

Gambar 4. 99 Cuplikan shot Gambar 4. 100 Cuplikan shot


dari adegan 75 dari adegan 75

Deskripsi Narasi

Setelah percobaan pertama melepas borgornya berhasil, May

mendapat ujian lagi dari pesulap untuk melepas borgol dengan tangan

berada dibelakang. May mulai kebingungan saat kesusahan

melepaskan borgolnya. May berhasil melepaskan borgolnya dengan

tergesa-gesa dan penuh kepanikan. Setelah bermain borgol, pesulap

memberikan sarung tangan dan memakaikannya ditangan May. Disaat

itulah May mulai mengingat kejadian yang pernah dialaminya.

Hingga pada akhirnya May pasrah dan melawan rasa takutnya.

Dibawah ini peneliti jabarkan level realitas dan representasi terkait

dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
Level
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.
Realitas

Kostum (dress):
151

May mengenakan baju setelan berwarna cokelat


muda polos.

Riasan (make up) :


Natural tanpa riasan tertentu.

Lingkungan (environment):
May berada di perbatasan dinding kamarnya
dengan ruangan pesulap.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.83 dan 4.84, terlihat May sedang
melukai dirinya sendiri dengan benda tajam.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.83 dan 4.84, terlihat May sedang
melukai tangannya dengan benda tajam.

Ekspresi (expression) :
Terlihat May dengan ekspresi ketakutan.

Level
Representasi Kamera (angle, frame size, movement) :
152

Gambar 4.83 dan 4.84, menggunakan pergerakan


kamera follow dengan teknik pengambilan gambar
floating dan ukuran frame CU (Close Up).

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.
Tabel 4. 20 Level Realitas dan Level Representasi Scene 75

Scene ini menjelaskan tentang ketidaknyamanan dan

ketakutan May ketika tubuhnya tersentuh oleh orang lain.

Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari tindakan


153

May yang melukai dirinya sendiri untuk memberi tanda bahwa dirinya

telah tersentuh orang lain.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Pergerakan kamera follow dengan teknik floating dan

ukuran frame CU (Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk

memperlihatkan detail adegan dan menggiring penonton untuk

merasakan perasaan May. Selain itu, dengan teknik editing Match Cut

dan ambience suara sekitar membuat adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima benda asing atau pun hal aneh diluar dirinya. Kejadian

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.2.10 Scene 94 (01:12:06 – 01:12:41)

Gambar 4. 101 Cuplikan shot Gambar 4. 102 Cuplikan shot


dari adegan 94 dari adegan 94
154

Gambar 4. 103 Cuplikan shot Gambar 4. 104 Cuplikan shot


dari adegan 94 dari adegan 94

Gambar 4. 105 Cuplikan shot Gambar 4. 106 Cuplikan shot


dari adegan 94 dari adegan 94

Deskripsi Narasi

Setelah dikeluarkan dari tim tinju, bapak tidak lagi memiliki

tempat untuk menyalurkan emosi. Akhirnya bapak meluapkan semua

emosinya pada samsak yang digantungkan di kamarnya. Dari mulai

memakai sarung tangan hingga melepasnya, bapak melepaskan

amarahnya hingga samsak yang berisi pasir itu terkelupas dan

pasirnya berjatuhan ke lantai. Dibawah ini peneliti jabarkan level

realitas dan representasi terkait dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis


Level
Realitas Penampilan (appearance) :
155

Bapak bertubuh tidak terlalu tinggi dan sedikit


berotot. Rambutnya gundul. Warna kulitnya putih
bersih dan memiliki tato dilengan dan diperutnya.

Kostum (dress):
Bapak bertelanjang dada dan memakai celana
hitam serta sarung tinju berwarna merah.
Riasan (make up) :
-

Lingkungan (environment):
Bapak berada di dalam kamarnya.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.85, terlihat bapak sedang memukul
samsak dengan menggunakan sarung tangan. Lalu
pada gambar 4.86, bapak mulai melepas sarung
tangannya dan tetap memukuli samsak. Gambar
4.87, terlihat pasir berjatuhan ke lantai. Gambar
4.88, bapak duduk dikasurnya.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.85, terlihat bapak sedang memukul
samsak dengan menggunakan sarung tangan. Lalu
pada gambar 4.86, bapak mulai melepas sarung
tangannya dan tetap memukuli samsak. Gambar
156

4.87, terlihat pasir berjatuhan ke lantai. Gambar


4.88, bapak duduk dikasurnya.

Ekspresi (expression) :
Pada gambar 4.85 dan 4.86, bapak mengerutkan
dahi dan sesekali berteriak menunjukkan emosi
dan keganasannya dengan tatapan tajam.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Gambar 4.85, 4.86, dan 4.88 menggunakan sudut
pengambilan gambar eye level dengan ukuran
frame MCU (Medium Close Up). Gambar 4.87
menggunakan ukuran frame CU (Close Up).

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
Level dan menegangkan.
Representasi

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
157

Efek suara pukulan dan geraman bapak


menjadikan adegan semakin menegangkan.

Tabel 4. 21 Level Realitas dan Level Representasi Scene 94

Scene ini menjelaskan tentang rasa frustasi bapak karena tidak

mampu mengontrol gejala PTSD dan tidak dapat melakukan sesuatu

dengan benar, maka bapak merasa malu dan cenderung menyalahkan

diri sendiri. Oleh sebab itu, bapak meluapkan emosinya pada samsak

yang ada di kamarnya. Perasaan bersalah bapak yang tidak bisa

menjaga May dengan benar, akan selalu muncul ketika sesuatu terjadi

pada May. Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari

tindakan bapak yang selalu merasa bersalah dan meluapkan emosinya

dengan menyakiti diri sendiri dan orang lain. Gambar 4.85, 4.86, 4.88,

menunjukkan bahwa bapak tidak bisa mengontrol dirinya. Hingga

pada akhirnya ia merusak samsak yang dimilikinya.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang semuanya

menggunakan low key lighting untuk memberikan kesan dramatis dan

menegangkan. Dengan banyaknya ukuran frame MCU (Medium

Close Up) dan CU (Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk

memperlihatkan detail adegan dan menggiring penonton untuk

merasakan ketegangan yang dibangun oleh pembuat film. Selain itu,

dengan teknik editing Match Cut, efek suara pukulan, dan geraman

suara bapak, pembuat film ingin membawa penonton untuk semakin


158

mendalami karakter bapak dan merasakan apa yang sedang dirasakan

oleh bapak.

Ekspresi dan tingkah laku bapak yang menunjukkan dirinya

tidak bisa mengontrol emosinya hingga akhirnya ia menyakiti dirinya

sendiri dan orang lain. Bapak melakukannya karena merasa frustasi

dan selalu merasa bersalah ketika sesuatu terjadi pada May. Kejadian

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.2.11 Scene 119 (01:28:22 – 01:29:30)

Gambar 4. 107 Cuplikan shot Gambar 4. 108 Cuplikan shot


dari adegan 119 dari adegan 119

Gambar 4. 109 Cuplikan shot Gambar 4. 110 Cuplikan shot


dari adegan 119 dari adegan 119
159

Gambar 4. 111 Cuplikan shot Gambar 4. 112 Cuplikan shot


dari adegan 119 dari adegan 119

Deskripsi Narasi

Setelah percobaan pertama melepas borgornya berhasil, May

mendapat ujian lagi dari pesulap untuk melepas borgol dengan tangan

berada dibelakang. May mulai kebingungan saat kesusahan

melepaskan borgolnya. May berhasil melepaskan borgolnya dengan

tergesa-gesa dan penuh kepanikan. Setelah bermain borgol, pesulap

memberikan sarung tangan dan memakaikannya ditangan May. Disaat

itulah May mulai mengingat kejadian yang pernah dialaminya.

Hingga pada akhirnya May pasrah dan melawan rasa takutnya.

Dibawah ini peneliti jabarkan level realitas dan representasi terkait

dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
Level
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.
Realitas

Kostum (dress):
160

May mengenakan baju setelan berwarna cokelat


muda polos.

Riasan (make up) :


Natural tanpa riasan tertentu.

Lingkungan (environment):
May berada di perbatasan dinding kamarnya
dengan ruangan pesulap.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.83 dan 4.84, terlihat May sedang
melukai dirinya sendiri dengan benda tajam.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.83 dan 4.84, terlihat May sedang
melukai tangannya dengan benda tajam.

Ekspresi (expression) :
Terlihat May dengan ekspresi ketakutan.

Level
Representasi Kamera (angle, frame size, movement) :
161

Gambar 4.83 dan 4.84, menggunakan pergerakan


kamera follow dengan teknik pengambilan gambar
floating dan ukuran frame CU (Close Up).

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.
Tabel 4. 22 Level Realitas dan Level Representasi Scene 119

Scene ini menjelaskan tentang ketidaknyamanan dan

ketakutan May ketika tubuhnya tersentuh oleh orang lain.

Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari tindakan


162

May yang melukai dirinya sendiri untuk memberi tanda bahwa dirinya

telah tersentuh orang lain.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Pergerakan kamera follow dengan teknik floating dan

ukuran frame CU (Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk

memperlihatkan detail adegan dan menggiring penonton untuk

merasakan perasaan May. Selain itu, dengan teknik editing Match Cut

dan ambience suara sekitar membuat adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima benda asing atau pun hal aneh diluar dirinya. Kejadian

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.2.12 Scene 120 (01:28:22 – 01:30:05)

Gambar 4. 113 Cuplikan shot Gambar 4. 114 Cuplikan shot


dari adegan 120 dari adegan 120
163

Gambar 4. 115 Cuplikan shot Gambar 4. 116 Cuplikan shot


dari adegan 120 dari adegan 120

Gambar 4. 117 Cuplikan shot Gambar 4. 118 Cuplikan shot


dari adegan 120 dari adegan 120

Gambar 4. 119 Cuplikan shot Gambar 4. 120 Cuplikan shot


dari adegan 120 dari adegan 120

Gambar 4. 121 Cuplikan shot Gambar 4. 122 Cuplikan shot


dari adegan 120 dari adegan 120
164

Gambar 4. 123 Cuplikan shot Gambar 4. 124 Cuplikan shot


dari adegan 120 dari adegan 120

Deskripsi Narasi

Setelah percobaan pertama melepas borgornya berhasil, May

mendapat ujian lagi dari pesulap untuk melepas borgol dengan tangan

berada dibelakang. May mulai kebingungan saat kesusahan

melepaskan borgolnya. May berhasil melepaskan borgolnya dengan

tergesa-gesa dan penuh kepanikan. Setelah bermain borgol, pesulap

memberikan sarung tangan dan memakaikannya ditangan May. Disaat

itulah May mulai mengingat kejadian yang pernah dialaminya.

Hingga pada akhirnya May pasrah dan melawan rasa takutnya.

Dibawah ini peneliti jabarkan level realitas dan representasi terkait

dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
Level May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
Realitas panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.
165

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna cokelat
muda polos.

Riasan (make up) :


Natural tanpa riasan tertentu.

Lingkungan (environment):
May berada di perbatasan dinding kamarnya
dengan ruangan pesulap.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.83 dan 4.84, terlihat May sedang
melukai dirinya sendiri dengan benda tajam.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.83 dan 4.84, terlihat May sedang
melukai tangannya dengan benda tajam.

Ekspresi (expression) :
Terlihat May dengan ekspresi ketakutan.

Level
Representasi Kamera (angle, frame size, movement) :
166

Gambar 4.83 dan 4.84, menggunakan pergerakan


kamera follow dengan teknik pengambilan gambar
floating dan ukuran frame CU (Close Up).

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.
Tabel 4. 23 Level Realitas dan Level Representasi Scene 120

Scene ini menjelaskan tentang ketakutan dan trauma berat

yang dialami May. Ia mengingat semua kejadian yang pernah

dialaminya delapan tahun lalu. Penggambaran konsep PTSD dalam

scene ini terlihat dari tindakan May yang melukai dirinya sendiri
167

untuk memberi tanda bahwa dirinya telah tersentuh orang lain. Serta

kebingungan May mengendalikan dirinya sendiri.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Pergerakan kamera follow dengan teknik floating dan

ukuran frame MCU (Medium Close Up) dan CU (Close Up) dalam

scene ini bertujuan untuk memperlihatkan detail adegan dan

menggiring penonton untuk merasakan perasaan May. Selain itu,

dengan teknik editing Match Cut dan ambience suara sekitar membuat

adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima benda asing atau pun hal aneh diluar dirinya. Kejadian

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.2.13 Scene 121 (01:30:06 – 01:30:53)

Gambar 4. 125 Cuplikan shot Gambar 4. 126 Cuplikan shot


dari adegan 121 dari adegan 121
168

Gambar 4. 127 Cuplikan shot Gambar 4. 128 Cuplikan shot


dari adegan 121 dari adegan 121

Gambar 4. 129 Cuplikan shot Gambar 4. 130 Cuplikan shot


dari adegan 121 dari adegan 121

Gambar 4. 131 Cuplikan shot Gambar 4. 132 Cuplikan shot


dari adegan 121 dari adegan 121

Deskripsi Narasi

May memasuki kamar mandi dan melukai tangannya dengan

benda tajam. May mengingat semua kejadian yang pernah dialaminya

delapan tahun yang lalu. May mengalami kekacauan karena tidak bisa
169

mengontrol dirinya. Dibawah ini peneliti jabarkan level realitas dan

representasi terkait dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan abu-abu polos.

Riasan (make up) :


Natural tanpa riasan tertentu.

Level
Realitas
Lingkungan (environment):
May berada di dalam kamar mandinya.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.125 dan 4.130, terlihat May sedang
melukai dirinya sendiri dengan benda tajam.
Gambar 4.126, 4.127, 4.128, 4.129, dan 4.131,
May mengingat semua kejadian yang pernah
dialaminya. Gambar 4.132, May kebingungan.

Percakapan (speech) :
170

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.125 dan 4.130, terlihat May sedang
melukai dirinya sendiri dengan benda tajam.
Gambar 4.126, 4.127, 4.128, 4.129, dan 4.131,
May mengingat semua kejadian yang pernah
dialaminya. Gambar 4.132, May kebingungan dan
memegangi kepalanya.

Ekspresi (expression) :
Terlihat May dengan ekspresi kesakitan dan
kebingungan.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Semua gambar menggunakan pergerakan kamera
follow dengan teknik pengambilan gambar
floating dan ukuran frame MCU (Medium Close
Up) dan CU (Close Up).

Level
Representasi
Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.

Penyuntingan (editing) :
171

Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match


cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Suara natural sekitar (ambience)
ditekankan untuk menggambarkan karakter May.
Tabel 4. 24 Level Realitas dan Level Representasi Scene 121

Scene ini menjelaskan tentang ketakutan dan trauma berat

yang dialami May. Ia mengingat semua kejadian yang pernah

dialaminya delapan tahun lalu. Penggambaran konsep PTSD dalam

scene ini terlihat dari tindakan May yang melukai dirinya sendiri

untuk memberi tanda bahwa dirinya telah tersentuh orang lain. Serta

kebingungan May mengendalikan dirinya sendiri.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Pergerakan kamera follow dengan teknik floating dan

ukuran frame MCU (Medium Close Up) dan CU (Close Up) dalam

scene ini bertujuan untuk memperlihatkan detail adegan dan

menggiring penonton untuk merasakan perasaan May. Selain itu,

dengan teknik editing Match Cut dan ambience suara sekitar membuat

adegan ini semakin nyata.


172

Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima benda asing atau pun hal aneh diluar dirinya. Kejadian

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.2.14 Scene 122 (01:30:53 – 01:31:44)

Gambar 4. 133 Cuplikan shot Gambar 4. 134 Cuplikan shot


dari adegan 122 dari adegan 122

Gambar 4. 135 Cuplikan shot Gambar 4. 136 Cuplikan shot


dari adegan 122 dari adegan 122

Deskripsi Narasi

Setelah melukai dirinya di kamar mandi, May melerai bapak

dan pesulap. May berteriak dan melempar semua barang yang ada

didekatnya. May duduk dan menangis karena tidak bisa melakukan


173

hal apa pun untuk memberitahu bapak bahwa ini bukan salah pesulap.

Dibawah ini peneliti jabarkan level realitas dan representasi terkait

dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna abu-abu
polos.

Riasan (make up) :


Level
Natural tanpa riasan tertentu.
Realitas

Lingkungan (environment):
May berada di dalam kamarnya.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.133, terlihat Bapak sedang
memukuli pesulap yang terbaring di lantai.
Gambar 4.134, May berteriak untuk menghentikan
perkelahian bapak dengan pesulap. Gambar 4.135,
May melempar barang-barang yang ada
174

didekatnya. Gambar 4.136, May duduk di lantai


dan menangis.

Percakapan (speech) :
May : Stop!!... Stop!!...

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.133, terlihat Bapak sedang
memukuli pesulap yang terbaring di lantai.
Gambar 4.134, May berteriak untuk menghentikan
perkelahian bapak dengan pesulap. Gambar 4.135,
May melempar barang-barang yang ada
didekatnya. Gambar 4.136, May duduk di lantai
dan menangis.

Ekspresi (expression) :
Terlihat May dengan ekspresi ketakutan dan
marah.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Gambar 4.133, menggunakan sudut pengambilan
gambar eye level dan ukuran frame MCU
Level (Medium Close Up). Gambar 4.134, 4.135, dan
Representasi 4.136, menggunakan sudut pengambilan gambar
eye level dan ukuran frame FS (Full Shot).

Pencahayaan (lighting) :
175

Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low


key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Suara natural sekitar (ambience)
ditekankan untuk menggambarkan karakter May.
Tabel 4. 25 Level Realitas dan Level Representasi Scene 122

Scene ini menjelaskan tentang ketidaknyamanan May ketika

melihat Bapak selalu menyakiti orang lain untuk melindungi May.

Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari tindakan

May yang berteriak menghentikan bapak lalu melempar semua barang

yang ada didekatnya.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Sudut pengambilan gambar eye level dan ukuran frame

MCU (Close Up) serta FS (Full Shot) dalam scene ini bertujuan untuk
176

memperlihatkan detail adegan dan menggiring penonton untuk

merasakan perasaan May. Selain itu, dengan teknik editing Match Cut

dan ambience suara sekitar membuat adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima perlakuan bapak yang berlebihan. Kejadian yang telah

dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu merasa

bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.2.15 Level Ideologi Babak Kedua

Scene Level Ideologi


Gagasan konsep yang terkandung dalam beberapa
scene diatas adalah gangguan kejiwaan, rasa takut
yang intens dan ketidakberdayaan seseorang
Scene 25, 26, setelah mengalami kejadian yang mengancam
28, 33, 49, jiwanya. Hal ini tercipta dari ekspresi dan tingkah
50, 51, 74, laku May yang menunjukkan dirinya terisolasi,
75, 94, 119, tidak suka dengan konsep ketidakrapian, dan tidak
120, 121, 122 mau disentuh oleh orang lain, meskipun bapaknya
sendiri. Ketakutan yang dialaminya dipicu oleh
kejadian yang telah dialaminya delapan tahun lalu
yang membuatnya sangat trauma.
Tabel 4. 26 Level Ideologi Babak Kedua

Deskripsi Level Ideologi


177

Post-traumatic stress disorder (PTSD) merupakan gangguan

kejiwaan yang dapat timbul setelah mengalami atau menyaksikan

kejadian-kejadian yang mengancam jiwa, salah satunya adalah tindak

kekerasan individual, seperti pemerkosaan dan kekerasan fisik. Selain

itu, PTSD juga merupakan gangguan mental yang secara spesifik

timbul karena pengalaman traumatis (Carlson dan Ruzek, 2006).

Gangguan mental dan kejiwaan yang dialami oleh May mulai terlihat

pada beberapa scene setelah kejadian yang dialaminya delapan tahun

lalu.

Secara umum idelogi dalam film 27 Steps Of May merupakan

gagasan konsep ketakutan pada kejadian traumatis yang membuat

karakter May memilih untuk isolasi diri. Menurut Carlson dan Ruzek

(2006), selama masa trauma biasanya penderita seringkali mengalami

ketakutan yang berlebihan. Tidak berapa lama setelah trauma, mereka

biasanya akan kembali mengingat pengalaman trauma yang dulu

terjadi secara mental maupun fisik. Hal tersebut akan tidak nyaman

bahkan kadang menyakitkan. Oleh karena itu, penderita cenderung

untuk menghindari ingatan dari kejadian-kejadian yang dialaminya.

4.2.3 Hasil dan Analisis Babak Ketiga

Babak ketiga merupakan sekelompok adegan (scene) yang

berisi ending dari cerita. Misbach Yusa Biran dalam Teknik Menulis

Skenario Film Cerita (2006), menjelaskan bahwa babak ini lebih

menyediakan kesempatan bagi penonton memantapkan pemahaman


178

final dan menarik kesimpulan. Cerita sudah ada kepastian berakhir

sebagai happy ending atau unhappy ending, disini penonton diberi

kesempatan meresapi kegembiraan yang ditimbulkan oleh happy

ending atau rasa sedih yang ditimbulkan oleh unhappy ending. Juga

memantapkan kesimpulan mereka dari isi cerita. Dalam babak ini

peneliti mengambil beberapa adegan yang merupakan keputusan

akhir yang dilakukan tokoh May dan Bapak.

4.2.3.1 Scene 128 (01:32:16 – 01:32:32)

Gambar 4. 137 Cuplikan shot dari adegan 128

Gambar 4. 138 Cuplikan shot dari adegan 128

Deskripsi Narasi
179

Setelah menghadapi kekacauan yang terjadi, May kembali

dikeadaan awal lagi. May kesulitan untuk tidur. May menghadapi

depresi yang mendalam. Dibawah ini peneliti jabarkan level realitas

dan representasi terkait dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna cokelat
muda polos.

Riasan (make up) :


Level
Natural tanpa riasan tertentu.
Realitas

Lingkungan (environment):
May berada di kamarnya.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.137 dan 4.138, terlihat May sedang
berbaring dan terdiam dikasurnya.

Percakapan (speech) :
180

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.137 dan 4.138, terlihat May sedang
berbaring dan terdiam dikasurnya sambil
memegangi gulingnya.

Ekspresi (expression) :
Terlihat May dengan ekspresi ketakutan.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Gambar 4.137 dan 4.138, menggunakan sudut
pengambilan eye level dengan ukuran frame FS
(Full Shot).

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
Level
dan menegangkan.
Representasi

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-
181

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.
Tabel 4. 27 Level Realitas dan Level Representasi Scene 128

Scene ini menjelaskan tentang depresi yang dialami May

setelah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Akibat May

dicium oleh pesulap, kekacauan pun terjadi. Penggambaran konsep

PTSD dalam scene ini terlihat dari tindakan May yang diam dan

berbaring diatas kasurnya. Depresi adalah masalah yang dapat terjadi

apabila seseorang menghindari untuk bersosialisasi dengan orang lain

dan membuatnya terisolasi (Carlson dan Ruzek, 2006). Scene ini

menunjukkan kesendirian May di dalam kamarnya yang terlihat luas

dan sedikit kosong.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Pergerakan kamera follow dengan teknik floating dan

ukuran frame CU (Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk

memperlihatkan detail adegan dan menggiring penonton untuk

merasakan perasaan May. Selain itu, dengan teknik editing Match Cut

dan ambience suara sekitar membuat adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima benda asing atau pun hal aneh diluar dirinya. Kejadian
182

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.3.2 Scene 134 (01:34:02 – 01:34:26)

Gambar 4. 139 Cuplikan shot Gambar 4. 140 Cuplikan shot


dari adegan 134 dari adegan 134

Gambar 4. 141 Cuplikan shot Gambar 4. 142 Cuplikan shot


dari adegan 134 dari adegan 134

Deskripsi Narasi

Setelah menghadapi kekacauan dengan May dan pesulap,

bapak mulai merasa bahwa dirinya tidak bisa menjaga May dengan

baik. Bapak mulai mengacak-acak kebunnya yang sebelumnya telah

dirawat dengan baik. Bapak tidak bisa mengontrol dirinya. Dibawah


183

ini peneliti jabarkan level realitas dan representasi terkait dengan data

diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
Bapak bertubuh tidak terlalu tinggi dan sedikit
berotot. Rambutnya gundul. Warna kulitnya putih
bersih.

Kostum (dress):
Bapak mengenakan baju berwarna abu-abu.

Riasan (make up) :


-
Level
Realitas
Lingkungan (environment):
Bapak berada di halaman depan rumahnya.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.139, 4.140, dan 4.141, bapak
mengacak-acak kebunnya. Pada gambar 4.142,
bapak jongkok dan meratapi keadaannya.

Percakapan (speech) :
-
184

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.139, 4.140, dan 4.141, bapak
mengacak-acak kebunnya. Pada gambar 4.142,
bapak jongkok dan meratapi keadaannya.

Ekspresi (expression) :
Bapak menangis dan sedih.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Semua shot menggunakan sudut pengambilan eye
level dengan ukuran frame MCU (Medium Close
Up) dan FS (Full Shot).

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
Level key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
Representasi dan menegangkan.

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu fade
in dan match cut yang dibuat untuk mendorong
cerita maju dengan mulus dan menjaga kontinuitas
fisik.

Musik (music scoring) :


185

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
kesedihan Bapak.

Tabel 4. 28 Level Realitas dan Level Representasi Scene 134

Scene ini menjelaskan tentang perasaan bersalah yang terus

dialami oleh bapak karena tidak bisa menjaga May dengan baik.

Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari perasaan

bapak yang menurutnya ia bukan orang yang baik, tidak dapat positif

menilai dirinya, merasa buruk, tidak berarti, bodoh, tidak terampil,

jahat, karena tidak bisa menjaga anak semata wayangnya dengan

benar. Gambar diatas menunjukkan bahwa bapak merasa kurang baik

menjadi seorang bapak sehingga tidak bisa menjaga anaknya dengan

benar.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Dengan ukuran frame MCU (Medium Close Up) dan FS

(Full Shot) dalam scene ini bertujuan untuk memperlihatkan detail

adegan dan menggiring penonton untuk merasakan kemarahan bapak.

Selain itu, dengan teknik editing Match Cut dan ambience suara

sekitar membuat adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku bapak menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima keadaannya dan selalu menyalahkan dirinya sendiri.


186

Kejadian yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat

bapak selalu merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan

melindungi anak perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal

tersebut konsep PTSD tampak dalam scene ini.

4.2.3.3 Scene 135 (01:34:29 – 01:36:39)

Gambar 4. 145
143 Cuplikan shot Gambar 4. 144
146 Cuplikan shot
dari adegan 135 dari adegan 135

Gambar 4. 147 Cuplikan shot Gambar 4. 148 Cuplikan shot


dari adegan 135 dari adegan 135

Deskripsi Narasi

Suatu hari teman bapak datang. Melihat bahwa taman bapak

sedang berantakan, teman bapak berusaha membantu membersihkan

sisa-sisa pot yang berserakan, tetapi bapak malah melarangnya. Lalu

teman bapak memberikan semua pendapatnya kepada bapak dengan

sangat emosional. Mereka berdua pun berbicara dengan sangat

emosional seperti layaknya orang sedang bertengkar. Dibawah ini


187

peneliti jabarkan level realitas dan representasi terkait dengan data

diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
Bapak bertubuh tidak terlalu tinggi dan sedikit
berotot. Rambutnya gundul. Warna kulitnya putih
bersih.

Kostum (dress):
Bapak mengenakan baju berwarna coklat muda.

Riasan (make up) :


-
Level
Realitas
Lingkungan (environment):
Bapak berada di halaman depan rumahnya.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.56, bapak melempar bot bunga
yang sedang dibereskan oleh temannya. Pada
gambar 4.57, 4.58, dan 4.59, bapak mendengarkan
semua yang dibicarakan oleh temannya. Pada
gambar 4.60 dan 4.61, bapak memotong
pembicaraan temannya dan mengatakan semua
kesalahannya.
188

Percakapan (speech) :
Bapak : “Biarin. Gue bilang, biarin!”
Teman bapak : “Lu mau hajar gua juga? Semua
udah lo hajar, sekarang giliran
gua mau lo hajar?”
Teman bapak : “Ayo, pukul gua. Ayo, pukul gua!”
Teman bapak : “Kenapa? Ada yang salah? Udah
abis marahnya?”
Teman bapak : “Gak percaya gua. Udah kejadian.
Mau sampai kapan lu kayak gini
terus? Mau sampai kapan lu
kayak gini terus sama diri lu? Ha?
Segitu kerasnya kepala lu, sampai
gamau sadar kalo gaada lagi yang
lo bisa lakuin. Udah kejadian.
Ancur emang, parah banget, ngeri
banget, tapi lu gabisa hindarin, lu
gabisa balikin waktu untuk
ngebenerin. Liat gua, udah
kejadian! Lua gabisa nyiksa diri
lo sendiri setiap May kenapa-
napa. Udah kejadian. Diluar
kontrol lu, diluar kendali lu, itu
bukan salah lu, ini udah
kejadian!”
Bapak : “Iya, ini sudah terjadi dan semua ini salah
gua!” (sambil berteriak)
Bapak : “Gua bapaknya, tugas gua ngelindungin
dia.”
189

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.56, bapak melempar pot bunga.
Pada gambar 4.57, 4.58, dan 4.59, bapak
mendengarkan semua yang dikatakan oleh
temannya dengan memalingkan mukanya dan
mengedip-kedipkan matanya. Gambar 4.60 dan
4.61, bapak menggenggam tangannya dan
menghempaskannya kebawah lalu membusungkan
dadanya kedepan.

Ekspresi (expression) :
Bapak mengerutkan mukanya dengan pandangan
kosong dan lalu berteriak dengan penuh
emosional.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Semua shot menggunakan sudut pengambilan eye
level dengan ukuran frame MCU (Medium Close
Up) dan FS (Full Shot).

Level
Representasi Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan
natural light.

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu fade
in dan match cut yang dibuat untuk mendorong
190

cerita maju dengan mulus dan menjaga kontinuitas


fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Suara pembicaraan bapak dengan temannya dan
ditambah dengan ambience sekitar.

Tabel 4. 29 Level Realitas dan Level Representasi Scene 135

Scene ini menjelaskan tentang perasaan bersalah yang terus

dialami oleh bapak dan temannya berusaha untuk membantunya,

tetapi bapak tetap saja kuat dengan pemikirannya. Penggambaran

konsep PTSD dalam scene ini terlihat dari perasaan bapak yang

menurutnya ia bukan orang yang baik, tidak dapat positif menilai

dirinya, merasa buruk, tidak berarti, bodoh, tidak terampil, jahat,

karena tidak bisa menjaga anak semata wayangnya dengan benar.

Gambar diatas menunjukkan bahwa bapak merasa kurang baik

menjadi seorang bapak sehingga tidak bisa menjaga anaknya dengan

benar.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan

natural lighting. Dengan ukuran frame MCU (Medium Close Up) dan

FS (Full Shot) dalam scene ini bertujuan untuk memperlihatkan detail

adegan dan menggiring penonton untuk merasakan kemarahan bapak.


191

Selain itu, dengan teknik editing Match Cut dan ambience suara

sekitar membuat adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku bapak menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima keadaannya dan selalu menyalahkan dirinya sendiri.

Kejadian yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat

bapak selalu merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan

melindungi anak perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal

tersebut konsep PTSD tampak dalam scene ini.

4.2.3.4 Scene 137 (01:37:07 – 01:37:16)

Gambar 4. 149 Cuplikan shot dari adegan 137

Deskripsi Narasi

Setelah kekacauan yang terjadi, May akhirnya memutuskan

untuk menutup lubang yang ada di dindingnya. May ingin

memutuskan hubungannya dengan pesulap dan kembali ke kehidupan

awalnya. Dibawah ini peneliti jabarkan level realitas dan representasi

terkait dengan data diatas, sebagai berikut :


192

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna abu-abu
polos.

Riasan (make up) :


Natural tanpa riasan tertentu.

Level
Lingkungan (environment):
Realitas
May berada di perbatasan dinding kamarnya
dengan ruangan pesulap.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.149, terlihat May sedang menutup
dinding dengan menggunakan perekat plastik.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.149, terlihat May sedang menutup
dinding dengan menggunakan perekat plastik.
193

Ekspresi (expression) :
Terlihat May dengan ekspresi datar.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Adegan ini menggunakan sudut pengambilan
gambar eye level dan ukuran frame MCU
(Medium Close Up).

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.

Level
Penyuntingan (editing) :
Representasi
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.
194

Tabel 4. 30 Level Realitas dan Level Representasi Scene 137

Scene ini menjelaskan tentang ketidaknyamanan May akibat

dari berhubungan dengan orang lain. Penggambaran konsep PTSD

dalam scene ini terlihat dari tindakan May yang menutup lubang di

dinding akses bertemunya dengan pesulap.

Scene ini menggunakan teknik low key lighting dengan sudut

pengambilan gambar eye level dan ukuran frame MCU (Medium

Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk memperlihatkan detail

adegan dan menggiring penonton untuk merasakan perasaan May.

Selain itu, dengan teknik editing Match Cut dan ambience suara

sekitar membuat adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima benda asing atau pun hal aneh diluar dirinya. Kejadian

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.


195

4.2.3.5 Scene 138 (01:37:16 – 01:37:28)

Gambar 4. 150 Cuplikan shot dari adegan 138

Gambar 4. 151 Cuplikan shot dari adegan 138

Deskripsi Narasi

Setelah percobaan pertama melepas borgornya berhasil, May

mendapat ujian lagi dari pesulap untuk melepas borgol dengan tangan

berada dibelakang. May mulai kebingungan saat kesusahan

melepaskan borgolnya. May berhasil melepaskan borgolnya dengan

tergesa-gesa dan penuh kepanikan. Setelah bermain borgol, pesulap

memberikan sarung tangan dan memakaikannya ditangan May. Disaat


196

itulah May mulai mengingat kejadian yang pernah dialaminya.

Hingga pada akhirnya May pasrah dan melawan rasa takutnya.

Dibawah ini peneliti jabarkan level realitas dan representasi terkait

dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
May bertubuh tinggi dan kurus. Rambutnya
panjang dan diikat. Warna kulitnya putih bersih.

Kostum (dress):
May mengenakan baju setelan berwarna abu-abu
polos.

Riasan (make up) :


Level
Natural tanpa riasan tertentu.
Realitas

Lingkungan (environment):
May berada di dalam kamarnya.

Perilaku (behavior):
Pada gambar 4.150, terlihat May sedang
mengambil barang-barang dan merapikan
kamarnya. Gambar 4.151, May sedang
membersihkan lantai kamarnya.
197

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.150, terlihat May sedang
mengambil barang-barang dan merapikan
kamarnya. Gambar 4.151, May sedang
membersihkan lantai kamarnya.

Ekspresi (expression) :
Terlihat May dengan ekspresi datar.

Kamera (angle, frame size, movement) :


Gambar 4.150 dan 4.151, menggunakan sudut
pengambilan gambar eye level dan ukuran frame
FS (Full Shot).

Pencahayaan (lighting) :
Level Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
Representasi key lighting untuk membuat adegan lebih dramatis
dan menegangkan.

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.
198

Musik (music scoring) :


-

Suara (sound) :
Adegan ini tidak menggunakan efek suara
tertentu. Keheningan dan suara natural sekitar
(ambience) ditekankan untuk menggambarkan
karakter May.
Tabel 4. 31 Level Realitas dan Level Representasi Scene 138

Scene ini menjelaskan tentang ketidaknyamanan May akibat

dari berhubungan dengan orang lain. Penggambaran konsep PTSD

dalam scene ini terlihat dari tindakan May yang menutup lubang di

dinding akses bertemunya dengan pesulap.

Scene ini menggunakan teknik low key lighting dengan sudut

pengambilan gambar eye level dan ukuran frame MCU (Medium

Close Up) dalam scene ini bertujuan untuk memperlihatkan detail

adegan dan menggiring penonton untuk merasakan perasaan May.

Selain itu, dengan teknik editing Match Cut dan ambience suara

sekitar membuat adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa menerima benda asing atau pun hal aneh diluar dirinya. Kejadian

yang telah dialaminya May 8 tahun yang lalu membuat bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak


199

perempuannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD

tampak dalam scene ini.

4.2.3.6 Scene 152 (01:44:10 – 01:45:19)

Gambar 4. 152 Cuplikan shot Gambar 4. 153 Cuplikan shot


dari adegan 152 dari adegan 152
200

Gambar 4. 154 Cuplikan shot Gambar 4. 155 Cuplikan shot


dari adegan 152 dari adegan 152

Gambar 4. 156 Cuplikan shot Gambar 4. 157 Cuplikan shot


dari adegan 152 dari adegan 152

Gambar 4. 158 Cuplikan shot Gambar 4. 159 Cuplikan shot


dari adegan 152 dari adegan 152

Gambar 4. 160 Cuplikan shot Gambar 4. 161 Cuplikan shot


dari adegan 152 dari adegan 152

Deskripsi Narasi
201

Suatu ketika bapak masuk ke dalam arena pertarungan bebas

dengan lemas dan pasrah. Wasit memulai pertandingan dan ia hanya

diam menerima pukulan dari lawannya tanpa ada pembalasan dan

perlindungan sedikit pun. Hingga pada akhirnya tangan bapak hanya

berpegangan pada jeruji di belakangnya dan pasrah dipukuli oleh

lawannya. Dibawah ini peneliti jabarkan level realitas dan

representasi terkait dengan data diatas, sebagai berikut :

Level Unit Analisis

Penampilan (appearance) :
Bapak bertubuh tidak terlalu tinggi dan sedikit
berotot. Rambutnya gundul. Warna kulitnya putih
bersih.

Kostum (dress):
Bapak bertelanjang dada dan hanya memakai
Level celana hitam serta pelindung tangan.
Realitas

Riasan (make up) :


-

Lingkungan (environment):
Bapak berada di halaman depan rumahnya.

Perilaku (behavior):
202

Pada gambar 4.152 dan 4.153, bapak sedang


memasuki arena pertarungan dan bersiap untuk
bertanding dengan terlihat lemas. Gambar 4.154,
bapak mendapatkan tendangan pertama dari
musuhnya. Gambar 4.155, bapak terjatuh dan
bangkit kembali. Gambar 4.156 dan 4.157, bapak
mendapatkan tendangan kedua dari musuhnya.
Gambar 4.158, 4.159, 4.160, dan 4.161, bapak
hanya diam dan pasrah sambil berpegangan pada
jeruji dibelakangnya.

Percakapan (speech) :
-

Gerak Tubuh (gesture) :


Pada gambar 4.152 dan 4.153 bapak berjalan ke
depan dan mengangkat kedua tangannya. Pada
gambar 4.154, bapak terdiam dan menerima
tendangan pertama dari lawannya. Gambar 4.155,
bapak bangun kembali setelah terjatuh. Gambar
4.158, 4.159, 4.160, dan 4.161, bapak pasrah dan
tangannya menggenggam jeruji yang ada
dibelakangnya.

Ekspresi (expression) :
Bapak mengerutkan mukanya dan beberapa
ekspresi kesakitan yang dialaminya.

Level
Representasi Kamera (angle, frame size, movement) :
203

Hampir semua shot menggunakan sudut


pengambilan eye level dengan ukuran frame MCU
(Medium Close Up). Hanya pada gambar 4.161
menggunakan sudut pengambilan high angle
dengan ukuran frame FS (Full Shot).

Pencahayaan (lighting) :
Adegan ini menggunakan teknik pencahayaan low
key lighting.

Penyuntingan (editing) :
Teknik penyuntingan yang digunakan yaitu match
cut yang dibuat untuk mendorong cerita maju
dengan mulus dan menjaga kontinuitas fisik.

Musik (music scoring) :


Scene ini menggunakan musik pengiring dengan
tempo lambat yang dimainkan oleh nada piano.

Suara (sound) :
Efek suara pukulan, suara teriakan bapak, dan efek
suara seperti mendengung terdengar dalam scene
ini, serta ambience suara teriakan para penonton
yang tidak terima terhadap sikap bapak.

Tabel 4. 32 Level Realitas dan Level Representasi Scene 152

Scene ini menjelaskan tentang perasaan bersalah yang terus

dialami oleh bapak dan ia berusaha untuk menyakiti dirinya sendiri


204

pada arena pertarungan. Penggambaran konsep PTSD dalam scene ini

terlihat dari rasa frustasi bapak karena tidak mampu mengontrol gejala

PTSD. Oleh sebab itu, bapak memilih menyakiti dirinya sendiri pada

arena pertarungan.

Scene ini terdiri dari beberapa shot yang menggunakan low

key lighting. Dengan ukuran frame MCU (Medium Close Up) dan FS

(Full Shot) dalam scene ini bertujuan untuk memperlihatkan detail

adegan dan menggiring penonton untuk merasakan emosi bapak.

Selain itu, dengan teknik editing Match Cut dan ambience suara

sekitar membuat adegan ini semakin nyata.

Ekspresi dan tingkah laku bapak menunjukkan dirinya merasa

bersalah dan tidak mampu mengontrol emosinya sehingga memilih

untuk menyakiti dirinya sendiri. Kejadian yang telah dialaminya May

8 tahun yang lalu membuat bapak selalu merasa bersalah karena tidak

bisa menjaga dan melindungi anak perempuannya dengan baik.

Berdasarkan hal tersebut konsep PTSD tampak dalam scene ini.

4.2.3.7 Level Ideologi Babak Ketiga

Scene Level Ideologi


Gagasan konsep yang terkandung dalam beberapa
Scene 128, scene diatas adalah gangguan kejiwaan dan
134, 135, ketidakpercayaan diri. Hal ini tercipta dari
137, 138, ekspresi dan tingkah laku Bapak yang
152. menunjukkan dirinya sulit mengendalikan
emosinya. Ketakutan yang dialami Bapak dipicu
205

oleh kejadian yang telah dialami May delapan


tahun lalu yang membuatnya sangat trauma dan
takut tidak bisa menjaga anaknya dari bahaya lagi.
Tabel 4. 33 Level Ideologi Babak Ketiga

Deskripsi Level Ideologi

Post-traumatic stress disorder (PTSD) merupakan gangguan

kejiwaan yang dapat timbul setelah mengalami atau menyaksikan

kejadian-kejadian yang mengancam jiwa, salah satunya adalah tindak

kekerasan individual, seperti pemerkosaan dan kekerasan fisik. Selain

itu, PTSD juga merupakan gangguan mental yang secara spesifik

timbul karena pengalaman traumatis (Carlson dan Ruzek, 2006).

Gangguan mental dan kejiwaan yang dialami oleh Bapak mulai

terlihat pada beberapa scene setelah kejadian yang dialami May

delapan tahun lalu. Bapak merasa gagal dalam melindungi anak

perempuannya.

Secara umum idelogi dalam film 27 Steps Of May

merupakan gagasan konsep ketakutan pada kejadian traumatis yang

membuat karakter Bapak memilih untuk meluapkan segala emosinya

pada arena pertarungan. Menurut Carlson dan Ruzek (2006), selama

masa trauma biasanya penderita seringkali mengalami ketakutan yang

berlebihan. Tidak berapa lama setelah trauma, mereka biasanya akan

kembali mengingat pengalaman trauma yang dulu terjadi secara

mental maupun fisik. Hal tersebut akan tidak nyaman bahkan kadang
206

menyakitkan. Oleh karena itu, penderita cenderung untuk

menghindari ingatan dari kejadian-kejadian yang dialaminya.

4.3 Pembahasan

Berdasarkan hasil dan analisis data yang peneliti lakukan dalam film “27

Steps Of May”, peneliti menemukan beberapa scene yang menggambarkan konsep

PTSD dalam karakter tokoh May dan Bapak. Hal tersebut peneliti uraikan

berdasarkan tanda dan simbol dengan menggunakan metode analisis semiotika

John Fiske yaitu level realitas, level representasi, dan level ideologi. Semiotika

sendiri adalah studi mengenai pertandaan dan makna dari sistem tanda, bagaimana

makna dibangun dalam teks media atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis

karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi makna (Fiske, 2004:282).

Peneliti melihat adanya tanda-tanda yang dapat dimaknai sebagai PTSD.

Tanda non verbal yang muncul pada level realitas dan level representasi

memberikan makna bahwa tokoh utama May dan bapaknya sedang mengalami

PTSD. Gejala-gejala PTSD muncul pada scene-scene yang ditemukan oleh peneliti.

Hal ini didukung dengan level ideologi yang menjelaskan bahwa semua trauma

psikologis yang dialami oleh May dan bapaknya berasal dari kejadian delapan

tahun lalu yang menimpa May.

Pada scene 6, dijelaskan bahwa May mengenakan pakaian setelan abu-abu

dan sedang melakukan aktifitas rutinnya setiap malam, yaitu bermain lompat tali.

Sanyoto (2009 : 50) mengatakan abu-abu menyimbolkan ketenangan, suasana


207

kelabu dan keragu-raguan. Rosdiani (2012 : 61) mengatakan olahraga adalah setiap

aktivitas yang mengandung sifat atau ciri permainan dan melibatkan unsur

perjuangan mengendalikan diri sendiri atau orang lain atau konfirmasi dengan

faktor alam. May berbaring di tempat tidurnya dengan menunjukkan ekpresi datar

dan pandangan kosongnya semakin memperkuat konsep PTSD. Feeling

permanently damaged adalah masalah yang dapat terjadi apabila seseorang

mengalami perasaan yang menderita berkepanjangan, mereka merasa tidak dapat

menghindar dari perasaan yang membuatnya menderita (Carlson dan Ruzek, 2006).

Depression adalah masalah yang dapat terjadi apabila seseorang menghindari untuk

bersosialisasi dengan orang lain dan membuatnya terisolasi. Social isolation adalah

masalah yang terjadi apabila seseorang menjadi tidak lagi percaya kepada orang

lain, maka dia akan membuat ruang sendiri bagi dirinya yang membuat dirinya

terisolasi (Carlson dan Ruzek, 2006). Scene ini menunjukkan kesendirian May di

dalam kamarnya yang terlihat luas dan sedikit kosong.

Selain itu dengan teknik low key lighting dan editing jump cut, semakin

memperkuat adegan bahwa rutinitas yang dijalani oleh May sangat membosankan

dan bertujuan untuk menghilangkan depresi yang dialaminya, meskipun sulit

baginya. Menurut Carlson dan Ruzek (2006), selama masa trauma biasanya

penderita seringkali mengalami ketakutan yang berlebihan. Tidak berapa lama

setelah trauma, mereka biasanya akan kembali mengingat pengalaman trauma yang

dulu terjadi secara mental maupun fisik. Hal tersebut akan tidak nyaman bahkan

kadang menyakitkan. Oleh karena itu, penderita cenderung untuk menghindari

ingatan dari kejadian-kejadian yang dialaminya.


208

Pada scene 7, dijelaskan bahwa perilaku dan gerakan tubuh May yang sangat

teliti dan berhati-hati dalam melakukan penghitungan jumlah bonekanya. May

sedang berdiri tegak di depan rak yang berisi banyak boneka yang tersusun rapi.

Mulyana (2008 : 414) mengatakan penataan ruang berkaitan dengan kepribadian,

kebiasaan, atau dilandasi oleh kepercayaan atau ideologi tertentu. Hal ini

menunjukkan bahwa kerapian dari karakter tokoh May terlihat dari caranya menata

boneka-boneka yang telah ia selesaikan dihari sebelumnya.

Pada scene 8, dijelaskan bahwa May yang sangat teliti dan berhati-hati dalam

menyetrika baju dan menata rambutnya. Setelah menyetrika baju dengan sangat

teliti, ia memakainya dan merapikannya kembali sambil berdiri di depan kaca dan

merapikan rambutnya. May memakai baju setelan berwarna merah muda. Mulyana

(2008 : 427) mengatakan di Indonesia, warna merah muda adalah warna feminin.

Ekspresi dan tingkah laku May yang menunjukkan dirinya tidak suka dengan

konsep ketidakrapian ini menunjukkan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Ia

sangat memperhatikan detail-detail kecil untuk mencapai hasil yang sempurnya.

Kejadian yang telah dialaminya delapan tahun yang lalu membuatnya berpikir

bahwa ketidakrapian sangatlah mengganggu dirinya. Menurut Carlson dan Ruzek

(2006), selama masa trauma biasanya penderita seringkali mengalami ketakutan

yang berlebihan. Tidak berapa lama setelah trauma, mereka biasanya akan kembali

mengingat pengalaman trauma yang dulu terjadi secara mental maupun fisik. Hal

tersebut akan tidak nyaman bahkan kadang menyakitkan. Oleh karena itu, penderita

cenderung untuk menghindari ingatan dari kejadian-kejadian yang dialaminya.


209

Pada scene 9, dijelaskan bahwa cara May berinteraksi dengan bapaknya

yang sangat tidak umum. May sedang berdiri di depan pintu kamar dan mengambil

boneka yang akan dikerjakannya dari bapak. Pintu tersebut menjadi sebuah batasan

ruang yang dibuat oleh May, antara ruang pribadinya, yaitu kamarnya, dengan

ruang tengah di dalam rumahnya. Mulyana (2008 : 406-407) mengatakan setiap

orang memiliki ruang pribadi imajiner yang bila dilanggar, akan membuatnya tidak

nyaman. Ruang pribadi kita identik dengan “wilayah tubuh”. Kamar tidur lazimnya

adalah wilayah paling pribadi. May memberikan boneka yang sudah jadi kepada

bapak dengan tidak bersentuhan secara fisik. May sangat menghindari sentuhan

fisik, meskipun dengan bapaknya sendiri. Depression adalah masalah yang dapat

terjadi apabila seseorang menghindari untuk bersosialisasi dengan orang lain dan

membuatnya terisolasi (Carlson dan Ruzek, 2006). Hal ini terlihat dari sikap May

yang berusaha menarik dirinya dari dunia luar dengan tidak bersentuhan,

berkomunikasi, dan bersosialisasi dengan orang lain.

Pada scene 12, dijelaskan tentang cara makan dan makanan yang disukai

oleh May. May sedang duduk dikursinya dan mengambil makanan yang telah

disiapkan oleh bapak. Kursi yang ia tempati merupakan tempat yang sudah

dikhususkan untuk May. Begitu pula dengan makanan yang disiapkan oleh bapak.

Mulyana (2008 : 407) mengatakan ruang pribadi kita identik dengan “wilayah

tubuh”. Dalam interaksi sehari-hari di dalam dan diluar rumah, kita mengklaim

wilayah pribadi kita. Bahkan pada saat makan pun, tidak jarang anggota keluarga,

khususnya ayah, menempati kursi tertentu. May mengambil makanannya yang

serba rebus atau putihan dan menatanya di piringnya sebelum ia memakannya.

Feeling permanently damaged adalah masalah yang dapat terjadi apabila seseorang
210

mengalami perasaan yang menderita berkepanjangan, mereka merasa tidak dapat

menghindar dari perasaan yang membuatnya menderita (Carlson dan Ruzek, 2006).

Hal ini terlihat dari sikap May yang berusaha bersikap sesempurna mungkin di

depan orang lain, meskipun bapaknya sendiri. May tidak suka makanan yang

berwarna dan campur aduk karena ia pernah mengalami kejadian yang berkaitan

dengan makanan yang bercampuraduk.

Pada scene 19, dijelaskan tentang kembalinya ingatan May pada kejadian

traumatis yang pernah dialaminya karena mendapatkan perlakuan yang hampir

serupa oleh bapaknya meskipun hanya memegang tangan May. Ekspresi dan

tingkah laku May yang menunjukkan dirinya tidak suka dengan perlakuan yang

diterimanya dari bapak membuatnya tidak bisa mengontrol dirinya. Ia sangat

terkejut ketika bapak memegang tangannya. Kejadian yang telah dialaminya

delapan tahun yang lalu membuatnya berpikir bahwa semua laki-laki itu jahat dan

tidak bisa dipercaya, meskipun itu bapaknya sendiri. Getting upset dapat timbul

ketika kadang melihat, merasakan, mencium sesuatu yang akan mengingat pada

kejadian yang membuatnya takut dan sedih (Carlson dan Ruzek, 2006). Dengan

banyaknya penggunaan teknik pengambilan high angle yang merupakan teknik

pengambilan gambar dari atas objek yang menimbulkan kesan lemah, tak berdaya,

kesendirian, dan kesan lain yang mengandung konotasi dilemahkan atau

dikerdilkan (Baksin, 2013 : 123).

Pada scene 20, dijelaskan tentang rasa frustasi May karena tidak mampu

mengontrol gejala PTSD. Oleh sebab itu, May selalu menyakiti diri sendiri.

Kembalinya ingatan May pada kejadian traumatis yang pernah dialaminya karena
211

mendapatkan perlakuan yang hampir serupa oleh bapaknya meskipun hanya

memegang tangan May. Ekspresi dan tingkah laku May menunjukkan dirinya tidak

bisa mengontrol emosinya hingga akhirnya ia menyakiti dirinya sendiri. May tanpa

sadar melakukannya karena merasa frustasi dan tidak dapat mengontrol dirinya

sendiri. Kejadian yang telah dialaminya delapan tahun yang lalu membuatnya

berpikir bahwa semua laki-laki itu jahat dan tidak bisa dipercaya, meskipun itu

bapaknya sendiri. Carlson dan Ruzek (2006) mengatakan aggressive behavior

torward oneself or one others adalah masalah yang bisa terjadi akibat dari rasa

frustasi karena tidak mampu mengontrol gejala PTSD. Oleh sebab itu, orang

tersebut cenderung menyerang orang lain maupun dapat menyakiti diri sendiri.

Pada scene 21, dijelaskan tentang rasa frustasi bapak karena tidak mampu

mengontrol gejala PTSD dan tidak dapat melakukan sesuatu dengan benar, maka

bapak merasa malu dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Carlson dan Ruzek

(2006) mengatakan aggressive behavior torward oneself or one others adalah

masalah yang bisa terjadi akibat dari rasa frustasi karena tidak mampu mengontrol

gejala PTSD. Oleh sebab itu, orang tersebut cenderung menyerang orang lain

maupun dapat menyakiti diri sendiri. Self-blame, guilt, and shame adalah masalah

yang dapat muncul karena tidak dapat melakukan sesuatu dengan benar, seseorang

akan merasa malu dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Hal ini yang membuat

bapak meluapkan emosinya pada ring tinju. Perasaan bersalah bapak yang tidak

bisa menjaga May dengan benar, akan selalu muncul ketika sesuatu terjadi pada

May.
212

Pada scene 22, dijelaskan tentang rasa bersalah bapak yang tidak dapat

melakukan sesuatu dengan benar, maka bapak merasa malu dan cenderung

menyalahkan diri sendiri. Carlson dan Ruzek (2006) mengatakan self-blame, guilt,

and shame adalah masalah yang dapat muncul karena tidak dapat melakukan

sesuatu dengan benar, seseorang akan merasa malu dan cenderung menyalahkan

diri sendiri. Hal ini terlihat ketika bapak menceritakan semua kejadian dihari

kemarin kepada temannya. Bapak ingin sekali menjaga May dan melindunginya.

Namun cara yang dilakukan oleh bapak membuat May semakin terpuruk.

Pada scene 28, dijelaskan tentang ketidakterimaan bapak terhadap

perlakuan sang manajer yang tiba-tiba mengeluarkannya dari tim dan membuang

semua barang-barangnya. Bapak tidak bisa mengontrol emosinya ketika

menghadap sang manajer. Hingga akhirnya bapak pun memukul sang manajer dan

dilerai oleh pelatihnya. Carlson dan Ruzek (2006) mengatakan problem with

identity adalah masalah yang dapat timbul karena sering merasa kehilangan jati diri

mereka yang sebenarnya, mereka tidak dapat mengenali dirinya sendiri, dan tidak

tahu menempatkan posisi dirinya. Aggressive behavior torward oneself or one

others adalah masalah yang bisa terjadi akibat dari rasa frustasi karena tidak mampu

mengontrol gejala PTSD. Oleh sebab itu, orang tersebut cenderung menyerang

orang lain maupun dapat menyakiti diri sendiri.

Pada scene 135, dijelaskan tentang perasaan bersalah yang terus dialami

oleh bapak dan temannya berusaha untuk membantunya, tetapi bapak tetap saja

kuat dengan pemikirannya. Carlson dan Ruzek (2006) mengatakan self-blame,

guilt, and shame adalah masalah yang dapat muncul karena tidak dapat melakukan
213

sesuatu dengan benar, seseorang akan merasa malu dan cenderung menyalahkan

diri sendiri. Feeling permanently damaged adalah masalah yang dapat terjadi

apabila seseorang mengalami perasaan yang menderita berkepanjangan, mereka

merasa tidak dapat menghindar dari perasaan yang membuatnya menderita.

Problem with self-esteem adalah masalah yang bisa muncul karena seseorang

merasa bukan orang yang baik, tidak dapat positif menilai dirinya, seseorang akan

merasa buruk, tidak berarti, bodoh, tidak terampil, jahat dan lain-lain. Hal ini selalu

dirasakan oleh bapak ketika sesuatu terjadi pada May. Bapak akan merasa sangat

bersalah ketika tidak bisa menjaga May untuk kesekian kalinya.

Pada scene 152, dijelaskan tentang perasaan bersalah yang terus dialami

oleh bapak dan ia berusaha untuk menyakiti dirinya sendiri pada arena pertarungan.

Carlson dan Ruzek (2006) mengatakan self-blame, guilt, and shame adalah masalah

yang dapat muncul karena tidak dapat melakukan sesuatu dengan benar, seseorang

akan merasa malu dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Aggressive behavior

torward oneself or one others adalah masalah yang bisa terjadi akibat dari rasa

frustasi karena tidak mampu mengontrol gejala PTSD. Oleh sebab itu, orang

tersebut cenderung menyerang orang lain maupun dapat menyakiti diri sendiri.

Problem with self-esteem adalah masalah yang bisa muncul karena seseorang

merasa bukan orang yang baik, tidak dapat positif menilai dirinya, seseorang akan

merasa buruk, tidak berarti, bodoh, tidak terampil, jahat dan lain-lain. Hal ini terjadi

pada bapak setelah bapak mengetahui pesulap memasuki ruangan kamar May.

Bapak semakin merasa bersalah karena tidak bisa menjaga May dengan baik.

Akhirnya bapak memilih pergi ke pertarungan dengan tidak melawan sekali pun.
214

Dalam penelitian ini, tanda-tanda yang muncul diperkuat dengan hal-hal

teknis pada film seperti sinematografi, yang meliputi, sudut pengambilan gambar,

ukuran frame, pergerakan kamera, teknik pencahayaan, serta didukung pula dengan

teknis editing dan suara yang dibangun. Hampir sepanjang film, karakter May tidak

pernah mengeluarkan satu kata pun. Hal ini menggambarkan bahwa May memilih

diam karena ia merasa tidak ada orang lagi yang bisa ia percaya. Selain itu dengan

teknik pencahayaan low key lighting, pembuat film ingin menyampaikan bahwa

keadaan keluarga kecil ini sedang dalam tekanan batin yang mendalam. Lalu

dengan banyaknya still kamera, pembuat film juga ingin menyampaikan perasaan

menderita yang dialami oleh May dan bapaknya serta kehidupannya yang

membosankan.

Untuk mendukung konsep PTSD yang terdapat dalam film “27 Steps Of

May”, dari tanda verbal dan non verbal ini kemudian muncul sebuah ideologi.

Peneliti meninjau film ini kedalam ideologi PTSD. Menurut penelitian A National

Research Center for PTSD dijelaskan bahwa PTSD adalah gangguan kejiwaan yang

dapat timbul setelah mengalami atau menyaksikan kejadian-kejadian yang

mengancam jiwa, seperti pertempuran militer, bencana alam, insiden teroris,

kecelakaan serius atau tindak kekerasan individual, seperti pemerkosaan, dan

kekerasan fisik. PTSD ditandai dengan adanya perubahan biologis maupun gejala-

gejala psikologis. Berdasarkan para ahli kesehatan mental atau mental-health dan

dunia kedokteran diketahui bahwa PTSD adalah gangguan mental yang secara

spesifik timbul karena pengalaman traumatis (Carlson dan Ruzek, 2006).


215

Dalam level ideologi, Vera (2014:118) mengatakan bahwa level ini

mengirimkan kode representasi konvensional, yang membentuk representasi,

misalnya melalui narasi, konflik, karakter, aksi, dialog, latar, dan casting. Oleh

sebab itu, dari hasil penelitian, peneliti akan memaparkan kode-kode representasi

post-traumatic stress disorder (PTSD) yang terbentuk melalui aspek-aspek

tersebut.

1. Narasi dalam film 27 Steps Of May berasal dari tokoh May sebagai tokoh

utama perempuan. Film ini menceritakan tentang trauma psikologis yang

dialami oleh May akibat mengalami kekerasan seksual diusianya yang

masih 14 tahun. Hal ini membuat May mengalami gangguan mental yang

mendalam. Semenjak kejadian depalan tahun lalu, May berusaha

menghilangkan depresinya dengan menghindar dari dunia luar dan

membuat ruangannya sendiri. Hal ini yang membuat tokoh Bapak merasa

selalu bersalah karena tidak bisa menjaga anak semata wayangnya. Bapak

akan selalu merasa bersalah jika sesuatu terjadi lagi pada May. Bapak selalu

ingin melindungi May dan membuatnya aman. Namun sayangnya, cara

yang dilakukan oleh bapak tidak bisa membuat May sembuh. Perasaan

bersalah ini yang membuat bapak mengalami depresi dan meluapkan

emosinya di ring tinju.

2. Konflik yang tercipta adalah ketika May mendapatkan perlakuan yang

membuatnya mengingat kejadian traumatis yang pernah dialaminya.

Menurut Carlson dan Ruzek (2006), getting upset dapat timbul ketika

kadang melihat, merasakan, mencium sesuatu yang akan mengingat pada

kejadian yang membuatnya takut dan sedih. Ketika sesuatu terjadi pada May
216

dan membuatnya bertingkah aneh, maka bapak pun merasa bersalah. Hal ini

yang mempengaruhi naik turunnya emosi bapak. Carlson dan Ruzek (2006)

mengatakan penderita biasanya tidak dapat mengontrol gejala-gejala

tersebut maupun menghentikannya.

3. Karakter tokoh utama perempuan yaitu May, sedangkan tokoh utama laki-

laki yaitu Bapak. Kedua karakter ini menggambarkan konsep PTSD setelah

kejadian yang dialami May delapan tahun lalu dan membuat Bapak selalu

merasa bersalah karena tidak bisa menjaga anak semata wayangnya dengan

baik. Mereka mengalami tingkat depresi yang sama yang dipicu dari

karakter May.

4. Aksi adalah gerak laku pemeran yang terjadi dalam suatu adegan (Trianton,

2013 : 77). Aksi tokoh May dan Bapak yang mengandung tanda-tanda

representasi PTSD telah diuraikan dalam level realitas dan level

representasi. Kemudian dalam level ideologi, aksi tokoh May dan Bapak

direpresentasikan kedalam konsep PTSD sesuai dengan gejala-gejala PTSD

yang diungkapkan oleh Carlson dan Ruzek (2006) .

5. Dialog adalah kalimat yang diucapkan aktor sesuai dengan skenario

(Trianton, 2013 : 80). Dialog yang muncul dalam film ini sangatlah sedikit.

Hampir sepanjang film, May tidak mengeluarkan satu dialog pun. Berbeda

dengan bapak yang selalu berdialog dengan temannya untuk menceritakan

kejadian-kejadian yang ia alami bersama May. Dialog yang muncul pun

menunjukkan bahwa bapak yang selalu merasa bersalah karena tidak

mampu menjaga anak semata wayangnya dengan baik. Selain itu dialog-

dialog emosional yang diucapkan oleh bapak kepada sang manajer.


217

Berdasarkan hal tersebut, keseluruhan dialog merepresentasikan ideologi

PTSD.

6. Setting atau latar. Aspek latar dalam film ini merepresentasikan PTSD.

Latar tempat adalah latar yang paling menonjol dalam film ini. Tanda

representasi PTSD muncul dari tokoh May dan Bapak. Misalnya, ketika

May berada di dalam kamarnya, latar tempat diperjelas melalui kode-kode

teknis sinematografi. Mulyana (2008 : 406-407) mengatakan setiap orang

memiliki ruang pribadi imajiner yang bila dilanggar, akan membuatnya

tidak nyaman. Ruang pribadi kita identik dengan “wilayah tubuh”. Kamar

tidur lazimnya adalah wilayah paling pribadi. Selain itu, latar arena

pertandingan merupakan penggambaran dari karakter tokoh Bapak yang

selalu ingin meluapkan emosinya melalui pertandingan.

7. Casting. Casting adalah proses pemilihan pemain sesuai karakter atau peran

yang akan diberikan (Trianton, 2013 : 79). Ini adalah proses untuk

mendapatkan pemain yang sesuai dengan cerita film. Dalam film 27 Steps

Of May, pemeran utama perempuan digambarkan sebagai tokoh yang

mengalami trauma psikologis yang mendalam akibat pernah mengalami

perlakuan kekerasan seksual. Aspek casting juga mempengaruhi dalam

pembentukan representasi PTSD. Raihaanun dipilih sebagai pemeran utama

perempuan karena memiliki kemampuan akting yang luar biasa. Raihaanun

mengeksekusi karakter May dengan brilian. Nyaris tanpa kata, Raihaanun

memperlihatkan kesedihan hingga kehancuran batin lewat rutinitas yang

membosankan. Matanya kosong, wajahnya seolah hendak meluapkan

sesuatu yang tak dapat diucapkan. Selain itu Lukman Sardi sebagai Bapak,
218

mampu mengimbangi keheningan lawan main dengan emosi yang lebih

atraktif. Permainannya di atas ring tinju, keterlambatannya dalam

menyadari sinyal-sinyal May yang berusaha bangkit setelah terpuruk

menahun, dan semangatnya untuk melanjutkan desain taman merupakan

grafik emosi yang membuat film ini bergejolak di beberapa titik.

Berdasarkan kode-kode representasi tersebut, gagasan konsep ideologi yang

muncul adalah ketakutan pada kejadian traumatis. Oleh sebab itu, gagasan konsep

ideologi yang menonjol ditinjau dari konsep PTSD Carlson dan Ruzek (2006)

berdasarkan tokoh. Tokoh pertama adalah May yang mengalami gangguan mental

akibat pernah mengalami tindak kekerasan seksual diusianya yang masih 14 tahun.

Carlson dan Ruzek (2006) mengatakan selama masa trauma biasanya penderita

seringkali mengalami ketakutan yang berlebihan. Tidak berapa lama setelah

trauma, mereka biasanya akan kembali mengingat pengalaman trauma yang dulu

terjadi secara mental maupun fisik. Hal tersebut akan tidak nyaman bahkan kadang

menyakitkan. Oleh karena itu, penderita cenderung untuk menghindari ingatan dari

kejadian-kejadian yang dialaminya.

Tokoh kedua adalah Bapak yang selalu merasa bersalah karena tidak bisa

menjaga anak semata wayangnya dengan baik. Hal tersebut yang membuatnya

memilih untuk meluapkan semua emosinya pada arena pertandingan tinju. Carlson

dan Ruzek (2006) mengatakan penderita biasanya tidak dapat mengontrol gejala-

gejala tersebut maupun menghentikannya. Aggressive behavior torward oneself or

one others adalah masalah yang bisa terjadi akibat dari rasa frustasi karena tidak

mampu mengontrol gejala PTSD. Oleh sebab itu, orang tersebut cenderung
219

menyerang orang lain maupun dapat menyakiti diri sendiri. Self-blame, guilt, and

shame adalah masalah yang dapat muncul karena tidak dapat melakukan sesuatu

dengan benar, seseorang akan merasa malu dan cenderung menyalahkan diri

sendiri. Problem with self-esteem adalah masalah yang bisa muncul karena

seseorang merasa bukan orang yang baik, tidak dapat positif menilai dirinya,

seseorang akan merasa buruk, tidak berarti, bodoh, tidak terampil, jahat dan lain-

lain.

Konsep post-traumatic stress disorder (PTSD) tidak hanya muncul dari

tanda-tanda verbal, tetapi juga non verbal. Apapun permasalahannya, ketika

seseorang mengalami gangguan kejiwaan yang dapat timbul setelah mengalami

atau menyaksikan kejadian-kejadian yang mengancam jiwa, seperti pertempuran

militer, bencana alam, insiden teroris, kecelakaan serius atau tindak kekerasan

individual, seperti pemerkosaan, dan kekerasan fisik, bisa dikategorikan sebagai

penderita PTSD. PTSD ditandai dengan adanya perubahan biologis maupun gejala-

gejala psikologis. Apabila seseorang didiagnosa menderita PTSD, itu berarti bahwa

orang tersebut telah mengalami suatu kejadian yang menyebabkan fisik dan

jiwanya terancam, dan bahwa orang tersebut telah merespon dengan rasa takut yang

intens dan ketidak berdayaan (ncptsd, 2005). Berdasarkan para ahli kesehatan

mental atau mental-health dan dunia kedokteran diketahui bahwa PTSD adalah

gangguan mental yang secara spesifik timbul karena pengalaman traumatis

(Carlson dan Ruzek, 2006).

Anda mungkin juga menyukai