Anda di halaman 1dari 21

INTRODUCTION TO PHILOSOPHY

MAKNA WARNA DALAM FILM “THE GREATEST SHOWMAN”

MHD ZIKRI AFFANDI NASUTION 00000022133


JASON SURYO CHANDRA 00000022331
RICARDO MARCELLINO 00000022610

KELAS D

UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Film adalah kumpulan gambar diam yang ketika ditayangkan, menciptakan ilusi gambar
yang bergerak. Proses pembuatan film itu sendiri adalah seni sekaligus juga industri. Film terus
berkembang hingga muncul definisi baru akan seni film itu sendiri yaitu bahwa film merupakan
seni mensimulasikan pengalaman untuk menyampaikan ide, cerita, sudut pandang, perasaan, atau
keindahan dengan menggunakan ilusi gambar gerak.

Film musikal adalah salah satu genre film dimana musik dan lagu yang dinyanyikan oleh
karakter film tersebut menyatu dengan naratifnya, terkadang juga diiringi dengan tari-tarian. Lagu-
lagu di dalam film musikal biasanya membantu membangun plot dan karakter film itu. Film
musikal adalah bentuk perkembangan dari teater musikal setelah kemunculan teknologi suara di
dalam film. Salah satu perbedaan terbesar film dengan teater musikal adalah penggunaaan latar
belakang dan lokasi yang megah di dalam film yang tentunya tidak praktis di teater. Ciri khas teater
musikal masih melekat di film musikal dimana pemerannya terkadang bernyanyi dan menari ke
kamera seolah-olah ada penonton yang menonton secara langsung. Tahun 1930an hingga 1950an
merupakan era emas film musikal, popularitas film musikal di barat berada di titik tertingginya.

Jika kita coba memikirkan tentang film bergenre drama musikal mungkin yang pertama
muncul dipikiran kita adalah “High School Musical” yang dibintangi oleh Zac Efron atau mungkin
yang terpikir oleh kita adalah “Les Miserables” yang dibintangi oleh Hugh Jackman. Film yang
akan kami bahas ini adalah film bergenre drama musikal yang mempertemukan kedua bintang dari
film tersebut.

Pertama kali saya mendengar film ini, ekspektasi saya tidaklah tinggi dikarenakan trailer
dari film ini yang menurut saya tidak menarik dan terkesan seperti iklan untuk sebuah pementasan
sirkus aneh dengan wanita berjenggot, namun berhubung tidak ada film lain yang lebih menarik
waktu itu, saya memutuskan menonton film ini dan film ini sangat melampaui ekspektasi saya.

Film yang saya maksud adalah “The Greatest Showman”, film Disney yang satu ini sangat
melampaui ekspektasi saya karena dari adegan awal film ini langsung membuat penonton ingin
menontonnya sampai di akhir yang dimana penonton langsung disambut dengan adegan puncak
yaitu pementasan sirkus dengan lagu utama.

Elemen utama selain gambar pada film drama musikal adalah suara atau bisa juga dibilang
musik. Disini musik sangatlah membantu dalam value drama musikal sendiri karena menunjukan
bagaimana musik itu menyatu dengan film dan dapat merubah sesuatu menjadi lebih indah.

Film ini menyodorkan lagu lagu yang sangat menarik dan sangat catchy kepada penonton
ditambah lagi dengan bintang bintang rupawan yang membuat penonton semakin tehibur dengan
film. Kombinasi dari audio atau lagu yang menarik dengan visual atau tontonan yang menarik ini
sangat memakau penonton dan juga memakau.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang terurai diatas kami menyimpulkan bahwa rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana warna kostum merepresentasikan karakter barnum?

1.3 Batasan Masalah

Batasan – batasan masalah pada penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Karakter yang akan dibahas di dalam makalah ini hanyalah 1 orang yaitu
Phineas T Barnum.

2. Pembahasan pada PT Barnum hanya mengenai wardrobe atau baju yang


dipakai olehnya.

BAB 2

LANDASAN TEORI
2.1 Teori Mise en Scene

Menurut Roberts & Wallis

Mise en scene berasal dari bahasa prancis (dibaca: mis ong sen), berarti meletakkan satu
subjek dalam adegan. Jika diaplikasikan dalam film, Mise en scene mengacu pada segala aspek
visual yang muncul pada film, seperti setting, aktor, latar, kostum, pencahayaan dan lain
sebagainya.
Mise en scène pertama kali dipopulerkan oleh para kritikus Perancis yang berkecimpung di
dunia teater pada tahun 1950an (Roberts & Wallis, 2001). Secara sederhana mise en scène dapat
diartikan sebagai tindakan menempatkan beberapa hal kedalam kerangka film, seperti mengatur
objek yang akan difilmkan atau mengatur posisi kamera (Turner, 2006).
Mengerjakan berbagai aspek visual secara matang dalam film dapat berfungsi untuk
membantu mengekspresikan visi film. Mampu menghasilkan rasa ruang dan waktu, pengaturan
susana hati, dan menggambarkan karakter film tersebut. Mise en scene bersama teknik
sinematografi dan editing akan sangat berpengaruh terhadap efek dramatisasi film pada
penonton. Mise en scene juga mempengaruhi penonton untuk tetap duduk mengetahui
perkembangan seluruh adegan, atau justru meninggalkan film saat diputar.

Orang yang berperan penting membantu sutradara dalam hal ini adalah desainer produksi.
Desainer produksi memiliki tanggungjawab besar terhadap tampilan umum dari film. Oleh karena
itu keduanya harus bisa saling bekerjasama menyempurnakan berbagai aspek Mise en scene.

Menurut David Broadwell dan Kristin Thompson

Latar berperan aktif semenjak kemunculan awal sinema. Latar menjadi yang terpenting bila
menyangkut dengan Mise en scene, Latar harus masuk ke dalam aksi naratif secara dinamis.
Sebagai sebuah contoh di dalam sebuah film tokoh bernama Luke telah menggunakan narkoba
untuk beberapa waktu yang lama. Jadi, film dimulai dengan adegan Luke sedang menggunakan
obat-obatan di depan sebuah toko yang sedang tutup dan beberapa memori tentang dirinya yang
sedang high setelah mengonsumsi obat-obatan terlintas di pikirannya. Selanjutnya, Luke ngegiting
di di dalam sebuah kamar yang berantakan.
Latar ruang yang berantakan menunjukkan kebiasaan orang yang menggunakan narkoba
untuk waktu yang cukup lama. Garis besar dari latar dapat membentuk bagaiman cara penonton
dapat memahami cerita dan menarik mereka ke dalam cerita itu sendiri. Latar dari sebuah film
dapat membuat keterikatan antara cerita dan penonton, setelah keterikatan itu terbentuk, penonton
dapat memahami dengan mudah cerita melalui latar. Latar dimana Luke sedang berlari di trek lari
muncul setelah adegan ruang yang berantakan, latar di trek lari menunjukkan bahwa Luke adalah
seorang atlit yang berambisi sebelum ia menggunakan obat-obatan.
Sebuah trek lari biasanya adalah tempat yang dipenuhi dengan mimpi dan masa depan, itu
terkadang menunjukkan energi positif dan intens atau energi muda kepada penonton. Di dalam
adegan ini, Luke dipenuhi dengan energi positif ketika dia berada di trek lari, ini biasanya
menunjukkan bagaimana seorang atlet menunjukkan diri mereka di trek lari. Latar kamar yang
berantakan, gang di depan toko yang tutup dan trek lari masing-masing membawakan perasaan
yang berbeda di dalam film.

2.2 Aspek aspek dalam Mise en Scene

2.2.1 Pencahayaan
Membuat film bisa diibaratkan melukis dengan cahaya, untuk itu pencahayaan menjadi
faktor penting dalam Mise En Scene produksi film. Intensitas, arah, dan kualitas pencahayaan dapat
menunjukkan waktu, tekstur, bentuk, jarak, dan suasana sehingga mampu mempengaruhi
pemahaman audiens terhadap film yang dibuat. Penggunaan cahaya remang misalnya, akan lebih
dapat memberi kesan tersembunyi, rasa misteri atau ketakutan, jika dibandingkan penggunaan
cahaya terang. Untuk alasan ini, pencahayaan harus benar-benar direncanakan terlebih dahulu untuk
memastikan efek yang diinginkan pada penonton.

2.2.2 Akting
Akting berasal dari kata to Act (beraksi). Itulah sebabnya sutradara sering memberi aba-aba
“ACTION..!” pada saat aktor diminta untuk ber-aksi. Dalam bahasa Indonesia akting diterjemahkan
menjadi peran (berperan/memerankan) atau memeragakan terhadap satu tokoh. Akting dalam
media film tentu berbeda dengan akting dalam media panggung. Dengan alat bantu kamera, seorang
aktor bisa berperan lebih natural karena tidak membutuhkan gestur yang berlebihan jika
dibandingan ketika beraktiing di panggung.

2.2.3 Filmstock
Pilihan hitam-putih atau warna, fine-grain atau kasar dalam film akan memunculkan kesan
yang berbeda. Penggunaan pilihan warna hitam-putih untuk film, ternyata tidak hanya digunakan
pada film lawas saja.

2.2.4 Aspek Rasio


Aspek Rasio (Aspect Ratio) merupakan perbandingan proporsi antara lebar dan tinggi dalam
film. Ada banyak ukuran perbandingan aspek rasio, hal ini tergantung pada media rekam dan output
yang digunakan. Secara umum aspek rasio dalam media film menggunakan 16:9 (wide screen) atau
4:3 (square screen). Pemilihan aspek rasio ini juga tergantung pada saluran distribusi film yang
akan diproduksi.

2.2.5 Make up & Kostum


Kostum merupakan sesuatu yang mengacu pada penggunaan pakaian pada tiap karakter.
Sebagai salah satu aspek dalam Mise En Scene, pertimbangan penggunaan warna atau desain
tertentu pada kostum akan turut membantu dalam membentuk karakter setiap tokoh yang
diperankan. Gaya makeup akan terkait erat dengan kostum, karena mengungkapkan ciri-ciri
karakter dan perubahan dalam karakter dapat dibentuk oleh keduanya. Makeup dan Kostum bisa
menjadi satu simbol terhadap sebuah zaman, negara, status sosial, ekonomi, budaya, pendidikan
maupun ideologi tertentu. Makeup dan Kostum selalu terkait erat dengan setting. Setting
membangun latar belakang sesuai cerita sementara makeup & kostum membangun identitas
karakter pemain.

2.2.6. Ruang
Kedalaman, kedekatan, ukuran dan proporsi dari tempat-tempat dan benda-benda dalam
sebuah film dapat mempengaruhi pembacaan film. Representasi ruang dapat dimanipulasi melalui
penempatan kamera dan penggunaan lensa.

2.2.7. Komposisi
Pengaturan komposisi objek, pelaku pada ruang di dalam frame film juga tidak kalah
penting. Penggunaan komposisi simetris maupun a-simetris yang tepat akan memberi kesan yang
artistik pada tiap shot. Pengaturan komposisi dapat mengacu pada intensitas cahaya, gerakan,
warna, dan benda-benda dalam frame pengambilan gambar.

2.2.8. Desain Latar


Latar (setting) merupakan tempat atau lokasi dimana suatu adegan dimainkan. Kemampuan
mengatur setting menjadi satu elemen penting dalam Mise En Scene agar film dapat terlihat nyata.
Hal ini barguna untuk memperkuat emosi karakter, mampu menggambarkan makna sosial,
psikologis, emosional, ekonomi dan budaya dalam film. Salah satu keputusan terpenting yang
dibuat oleh desainer produksi dan sutradara adalah memutuskan apakah untuk mengambil gambar
tersebut dilakukan di lokasi nyata (Shot on Location), membuat studio indoor maupun outdoor atau
menggunakan teknologi manipulasi digital seperti yang sering digunakan dalam film animasi.

2.3. Teori Warna

Menurut Brewster

Warna disederhanakan menjadi 4 kelompok warna. Keempat kelompok warna tersebut


adalah warna primer, sekunder, tersier, dan warna netral. Teori ini pertama kali dinyatakan tahun
1831.

Kelompok warna dalam teori ini sering disusun dalam lingkaran warna brewster. Lingkaran
warna brewster mampu menjelaskan teori warna komplementer, split komplementer, triad, dan
tetrad.

2.3.1. Warna primer

Yaitu warna dasar yang tidak bisa diperoleh dari campuran warna-warna lain. Warna yang
termasuk dalam golongan warna primer adalah merah, biru, dan kuning.

2.3.2. Warna sekunder

Merupakan hasil pencampuran warna-warna primer. Misalnya warna oranye merupakan


hasil campuran warna merah dengan kuning, hijau adalah campuran biru dan kuning, dan ungu
adalah campuran merah dan biru.

2.3.3. Warna tersier

Warna yang berasal dari campuran warna primer dengan warna sekunder. Misalnya warna
oranye kekuningan merupakan campuran dari warna kuning dengan oranye.

2.3.4. Warna netral


Jika ketiga warna dasar dicampur, maka akan diperoleh warna netral. Warna ini biasanya
digunakan sebagai penyeimbang warna-warna kontras di alam. Biasanya hasil campuran yang tepat
akan menuju hitam.

2.3.5. Warna panas dan dingin

Lingkaran warna mulai dari warna primer sampai tersier bisa dikelompokkan menjadi dua
golongan besar, yaitu golongan warna panas dan warna dingin. Warna panas terdiri dari warna
kuning kehijauan hingga merah. Sedangkan warna dingin dimulai dari ungu kemerahan hingga
hijau. Warna panas mampu memunculkan kesan panas dan dekat. Warna dingin sebaliknya akan
mengahsilkan nuansa yang dingin.

Menurut Albert Munsell

Warna merupakan elemen penting dalam semua lingkup disiplin seni rupa, bahkan secara
umum warna merupakan bagian penting dari segala aspek kehidupan manusia. Hal tersebut dapat
kita lihat dari semua benda yang dipakai oleh manusia, semua peralatan, pakaian, bahkan alam
disekeliling kita merupakan benda yang berwarna. Karena begitu penting peranan warna bagi
manusia warna sering kali dipakai sebagai elemen estetis, sebagai representasi dari alam, warna
sebagai komunikasi, dan warna sebagai ekspresi.

1. Warna sebagi elemen estetika: disini warna memerankan dirinya sebagai ”warna”, yang
mempunyai fungsi dalam membentuk sebuah keindahan. Namun keindahan disini bukan hanya
sebagai ”keindahan” semata. Melainkan sebagai unsur eksistensial benda-benda yang ada
disekeliling kita. Karena dengan adanya warna kita dimudahkan dalam melihat dan mengenali suatu
benda. Sebagai contoh apabila kita meletakkan sebuah benda di tempat yang sangat gelap, mata kita
tidak mampu mendeteksi obyek tersebut dengan jelas. Di sini warna mempunyai fungsi ganda
dimana bukan hanya aspek keindahan saja namun sebagai elemen yang membentuk
diferensial/perbedaan antara obyek satu dengan obyek lain.

2. Warna sebagai representasi dari alam: warna merupakan penggambaran sifat obyek
secara nyata, atau secara umum warna mampu menggambarkan sifat obyek secara nyata. Contoh
warna hijau untuk menggambarkan daun, rumput; dan biru untuk laut, langit dan sebagainya.
Warna dalam hal ini lebih mengacu pada sifat-sifat alami dari obyek tertentu misalnya padat, cair,
jauh, dekat dll.
3. Warna sebagai alat/sarana/media komunikasi (fungsi representasi): warna
menempatkan dirinya sebagai bagian dari simbol (symbol). Warna merupakan lambang atau
sebagai perlambang sebuah tradisi atau pola tertentu. Warna sebagai komunikasi seringkali dapat
kita lihat dari obyek-obyek seperti bendera, logo perusahaan, fashion, dll. Warna merupakan sebuah
perwakilan atau bahkan sebuah obyek pengganti bahasa formal dalam mengkomunikasikan sesuatu
misalnya: merah perlambang kemarahan, patriotisme, seksualitas; kemudian putih sebagai
perlambang kesucian, kebersihan, kebaikan dll.

2.4. Teori Diskriminasi Menurut Theodorson & Theodorson

Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok,
berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras,
kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Biasanya keadaan tersebut terjadi
ketika bangsa minoritas dikuasai oleh pihak mayoritas dengan tindakan tidak bermoral maupun
tidak demokrasi. Kelompok minoritas [minority groups] adalah kelompok-kelompok yang diakui
berdasarkan perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat
prasangka atau diskriminasi istilah ini pada umumnya dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis,
dan malahan, ia sering dipergunakan untuk menunjukan pada kategori perorangan, dari pada
kelompok-kelompok dan seringkali juga kepada kelompak mayoritas daripada kelompok minoritas.

BAB 3

ANALISA

3.1. SINOPSIS “THE GREATEST SHOWMAN”

Film ini dimulai dengan adegan Phineas Taylor “P.T.” Barnum (Hugh Jackman) dengan
semangat memimpin sebuah sirkus yang lansung mempersembahkan penampilan meriah dengan
menyanyikan lagu “The Greatest Show”. Kemudian kita disodorkan ke adegan P.T Barnum saat
masa anak anak (Ellis Rubin) ketika dia menolongi ayahnya “Philo” (Will Swenson) bekerja
sebagai penjahit yang dimana pekerjaan ini ada dinama tengahnya yaitu “Taylor”.

Dia dan ayahnya mengunjungi rumah Tuan Hallet (Fred Lehne) dan putrinya Charity
(Skylar Dunn). Phines main mata dengan Charity dan mereka mulai jatuh cinta pada satu sama lain,
tetapi ayah Charity tidak mau anaknya bergaul dengan anak tukang jahit sehingga Tuan Hallet
berusaha memisahkan mereka.

Philo, ayah Phineas tidak lama kemudian meninggal dan membuat Phineas menjadi
sebatang kara, tanpa pengahasilan Phineas mengandalkan mencuri dan belas kasih orang untuk
dapat bertahan hidup hingga akhirnya dia bekerja di bidang per-kereta api-an. Walau berada jauh,
Phineas dan Charity selalu bertukar surat dan berkabar, rasa cinta mereka tidak padam dan tidak
dapat dipisahkan.

Akhirnya cinta Phineas dan Charity berlanjut ke tahap selanjutnya, mereka pun menikah
walau tanpa persetujuan Tuan Hallet, mereka hidup dengan sangat sederhana. Phineas merasa dia
belum memberikan kebahagiaan kepada Charity karena hidup mereka sangat sederhana atau kata
kasarnya mereka miskin, namun Charity mengatakan dia sudah merasa cukup karena dia hanya
butuh Phineas untuk bahagia.

Suatu hari perusahaan yang mempekerjakan Phineas bangkrut, namun hal ini malah
memberikan phineas kesempatan untuk meminjam uang ke bank, karena dia mempunyai sertifikat
untuk 3.000 kapal yang sudah tenggelam tetapi bank tidak tau kapal kapal ini sudah tenggelam, dia
pun berhasil meminjam ke bank, dan dia bersama keluarganya membuat Museum yang diisi dengan
hal aneh.

Museum yang dibuka Phineas gagal menarik banyak pengunjung, dia pun merombak
konsep museumnya dan mengisinya dengan orang orang “Unik” dan atraksi “Menarik”, hal ini
sukses menarik pengunjung dan di namai kritikus koran dengan nama “Circus”, Phineas menyukai
nama ini dan mengubah nama museumnya menjadi “P.T. Barnum’s Circus”.

P.T. Barnum’s Circus semakin terkenal dan menarik lebih banyak orang untuk mengunjungi
sirkusnya itu. Reaksi orang pengunjung pun beragam, ada yang menyukainya dan ada yang
menganggap hal ini tidak pantas dipertontonkan ke masyarakat.

Waktu berjalan dan sirkus Barnum melejit sukses, mereka merasakan perkembangan usaha
yang signifikan. Perubahan drastis ini membuat Barnum berubah, semua kegelapan masa lalunya Ia
lupakan bagai kacang lupa kulitnya.

Keberhasilan ini membuat Barnum merasa tidak puas dan menginginkannya lebih, Ia
merasa harus menampilkan seorang penyanyi berbakat bernama Jenny untuk membuatnya semakin
sukses lagi, dan benar, keberhasilan semakin menyelimutinya hingga tidak ada rasa puas dalam
dirinya. Barnum berusaha untuk melakukan tur keliling untuk menampilkan sang penyanyi Jenny.
Segala sesuatu yang telah Ia bangun mendadak Ia tinggalkan karena mendapat dunia yang
baru, dunia yang lebih dihargai oleh orang banyak. Istri dan anaknya merasa ada yang berbeda pada
Barnum, mereka merindukan sosoknya yang dulu.

3.2. 3D Character
3.2.1. Gambar

3.2.2. Fisiologi

a. Jenis Kelamin : Pria

b. Umur: 25 tahun
c. Tinggi dan Berat Badan: +/- 180 cm, +/- 85 kg
d. Warna Rambut, Mata dan Kulit: cokelat, biru, putih kecoklatan.
e. Postur Tubuh: Tegak
f. Penampilan Sehari-hari : Rapi
g. Cacat/Tanda lahir: Tidak ada cacat/ tidak diketahui tanda lahir
h. Keturunan/Ras: Kaukasia

3.2.3. Psikologi

a. Kehidupan Seks: Menikah.

b. Ambisi: Membuktikan diri kepada dunia dan mertuanya.


c. Frustasi/Kekecewaan: Dianggap remeh dan gagal.

d. Sikap: Cerdik, mudah berbaur dan pintar mempengaruhi

e. Yang Disukai/Tidak Disukai: Uang, harta, kemewahan/ Kemiskinan, hidup


sengsara.

f. Kemampuan: Mempengaruhi orang lain, menyanyi, dan menari

g. IQ: -

h. Tipe Karakter berdasarkan test yang dilakukan adalah: Pejuang

3.2.4. Sosiologis

a. Kelas sosial: Pekerja

b. Suku: -

c. Pekerjaan: Pemilik sirkus

d. Pendidikan: -

e. Agama: -

f. Kebangsaan: USA

g. Peran serta dalam lingkungan: Membantu para KLMTD untuk bangkit


dan bekerja

h. Pandangan politik: -

3.3. ANALISA
3.3.1. Scene Awal Belum Punya Harapan

PT Barnum mengikuti ayahnya yang hanya pembuat baju untuk orang-orang kaya di
Amerika, Ia jatuh cinta kepada seorang anak dari orang kaya tersebut namun harapannya tidak
mungkin karena perbedaan kasta. Perbedaan kasta sosial di sini sangat mempengaruhi keberadaan
seseorang pada jaman tersebut.

Warna baju yang Ia pakai terlihat berbeda drastis dengan warna yang dimiliki seorang kaya
dan anaknya. PT Barnum mengenakan baju yang walaupun sama sama biru atau semacamnya
namun warnanya lebih kearah tua suram atau gelap. menunjukan bahwa kehidupannya yang seperti
tidak ada harapan.

Dari scene ini terlihat bahwa PT Barnum terlihat dekil dan tanpa harapan. Ayahnya yang
hanya seorang penjahit membuatnya kurang memiliki harapan dan tidak bisa berbuat apa apa,
terdiskriminasi oleh para orang kaya.
3.3.2. Scene Saat Barnum tahu Apa yang akan dilakukan

Di usia anaknya yang beranjak besar, Barnum memiliki harapan besar ketika Ia berhasil
menipu bank untuk meminjaminya sejumlah uang. Ia menipu bank dengan jaminan kapal di Laut
Cina yang sudah tenggelam milik bosnya. Setelah mendapat pinjaman, Barnum membeli Museum
dan membukanya untuk umum supaya mendapat untung. Harapannya kepada museum ini sangat
besar dan membuatnya merasa yakin bahwa Ia akan sukses.

Warna cerah yang dihadirkan disini sangat membantu penonton merasakan apa yang
dirasakan oleh Barnum. Barnum mengenakan setelan Biru muda yang mencolok, sangat berbeda
ketika di scene-scene sebelumnya yang menggunakan baju bernuansa gelap.

Dapat dilihat bahwa baju biru muda ini menghadirkan pesan positif kepada penonton
melihat Barnum merasa ada harapan dan semangat baru dari hidupnya.

"Biru memiliki arti stabil karena itu adalah warna langit,” memberi kesan bahwa Barnum
menginginkan kehidupan stabil untuk keluarganya, dimana Ia harus bekerja keras untuk meraihnya.
3.3.3. Scene Saat Barnum jatuh dari kesuksesan

Barnum jatuh dari kesuksesan yang sempat diraihnya, sebelumnya Ia sukses mendirikan
sebuah sirkus yang berisi orang orang aneh dan tersingkirkan dari masyarakat. Barnum malah
memilih untuk berpindah dari zonanya dan menarik perempuan cantik untuk menjadi penyanyinya.
Awalnya berjalan sesuai keinginnanya hingga penyanyi itu meninggalkannya dan sirkus lamanya
kebakaran. Ditambah lagi istrinya yang kecewa dengannya dan kembali ke mertuanya.

Warna biru kelam kembali hadir menyelimuti badan dari Barnum, terlihat sekali
kekecewaan akan hidupnya dan juga penyesalan didalam dirinya. Warna ini menjelaskan sekali
bagaimana dirinya merasa kembali ke masa kecilnya yang kesulitan dan tanpa harapan.

Kembali ke masanya yang dulu dengan pakaian yang berwarna biru kusam itu memberi efek
yang sama saat scene awal dimana harapan sudah tidak lagi ada disisinya. Menyesal dan menyesal
adalah hal yang hanya dia bisa lakukan disini.
3.3.2. Scene Saat Barnum kembali bangkit dan sukses

Barnum dibantu oleh teman dan para crew di sirkusnya yang dulu bangkit dari
keterpurukan. Ia merasa harus bangkit dan meraih kesuksesan itu untuk keluarganya dan orang
yang Ia sayangi. Perjuangannya terbayarkan ketika sirkus yang bisa bangkit lagi dan semua orang
semakin menyukainya.

Baju merah mencolok yang Barnum gunakan memberi efek semangat yang membara.
Energi positif terpancar dari dirinya yang menjadi pusat perhatian didalam sirkusnya.
BAB 4

KESIMPULAN

Di dalam film The Greatest Showman, Michael Gracey merepresentasikan perkembangan


karakter PT Barnum tidak hanya dengan palet warna pakaian atau kostum, jenis pakaian, tetapi juga
hingga bagaimana cara Barnum mengenakan pakaiannya. Dengan warna palet pakaian pastel gelap
keaadaan Barnum yang sedang terdesak dan putus asa direpresentasikan di dalam The Greatest
Showman, sebaliknya warna-warna tegas seperti merah darah menunjukkan keadaan titik balik
Barnum untuk meraih kesuksesan.

Pada awal cerita memang ditunjukan bagaimana impian seorang Barnum menjadi orang
terkenal dan menjadi bintang, warna merah langsung mencolok dari pakaian yang Ia kenakan ketika
itu. Berlanjut cerita bahwa Ia adalah seorang anak dari penjahit biasa filmmaker memberi warna
yang kearah krem kecoklatan, kusam dan kurang rapi, menambah kesan bagaimana berbanding
terbalik dengan harapannya di awal film. Ketika beranjak dewasa dan besar, Barnum memiliki
keluarga dan anak anak yang memaksanya untuk membahagiakan keluarganya, harapan muncul
ketika Ia mendapat ide untuk membuka bisnis, warna baju biru cerah dan warna-warna cerah lain
menghiasi layar. Pakaian dan warna yang sama persis saat diawal Ia diketahui orang miskin
kembali dimunculkan ketika usahanya hancur dan keluarganya pergi meninggalkannya, Ia kembali
menjadi bukan siapa siapa. Ketika kehancuran hidupnya itu dibantu oleh teman temannya bangkit
dan kembali bersatu dengan keluarganya membuatnya membangun sirkus kembali, warna merah
menyelimuti badan dari Barnum, terbakar, megah, menggairahkan, dan emosional menggambarkan
keadaannya di akhir film sama keperti di awal ketika Ia bermimpi.

Karakter Barnum juga ditunjukkan dengan cara dia menggunakan pakaiannya. Dirinya
selalu menggunakan pakaiannya dengan rapi disetiap saat kecuali saat-saat dimana ia mengalami
kesialan. Pemanfaatan warna, jenis pakaian, hingga cara penggunaan pakaian digunakan dengan
baik untuk merepresentasikan karakter PT Barnum di dalam film The Greatest Showman.

Daftar Pustaka
• imdb.com. 2017. The Greatest Showman: Plot. Diambil Dari
https://www.imdb.com/title/tt1485796/plotsummary. Diakses pada 2 Mei 2018.
• Zlmega. 2016. Movie Review/Nonfict.1. Diambil dari
https://www.wattpad.com/355279133-movie-review-nonfict-1-penjelasan-film. Diakses
pada 9 Mei 2018.
• webbisnis.com. 2017. Mise en Scene dalam Produksi Sebuah Film. Diambil dari
https://webbisnis.com/mise-en-scene-dalam-produksi-sebuah-film/. Diakses pada 9 Mei
2018.
• Porcduction. 2017. Hindered. Diambil dari http://porcduction.blogspot.com/2017/03/.
Diakses pada 9 Mei 2018.
• Themuhamharis. 2016. Analisis Diskriminasi sebagai Masalah Sosial. Diambil dari
https://themuhamharis.wordpress.com/2016/10/07/diskriminasi-sebagai-masalah-sosial/.
Diakses pada 16 Mei 2018.
• Mail, Ismail. 2015. Teori Warna. Diambil dari
http://www.academia.edu/19398512/MAKALAH_TEORI_WARNA. Diakses pada 16
Mei 2018.
• edupaint.com. 2011. Teori Warna Brewster. Diambil dari
http://edupaint.com/warna/roda-warna/486-read-110617-teori-warna-brewster.html.
Diakses pada 16 Mei 2018.

Anda mungkin juga menyukai