a. Skenario
SKENARIO 4
Dilema Etik
Seorang anak laki-laki bernama Yoga, berusia 13 bulan, adalah pasien rujukan
yang telah dirawat di Rumah Sakit Bagas Waras selama lebih dari 2 bulan,
dengan diagnosis utama ”burst abdomen”. Yoga adalah anak kedua, orang tua
berprofesi sebagai buruh tani, dengan kondisi sosial ekonomi lemah. Yoga
dirujuk dari Rumah Sakit Pertama dengan riwayat laparotomi berulang (indikasi
medis awal Hirschprung Disease, dengan NEC grade 2), dan luka jahitan operasi
yang tidak menyembuh. Diagnosis terakhir saat ini adalah:
1. Burst abdomen
2. Sepsis
3. Trombositopenia dan hypoalbuminemia
4. Gizi buruk tipe marasmik
5. Anemia mikrositik hipokromik
Pasien tersebut dari sejak usia 2 bulan telah menjalani 8 kali operasi untuk
memperbaiki kondisinya. Saat ini, dokter bedah anak tetap ingin melanjutkan
operasi untuk memperbaiki kondisinya. Mereka meminta tim dokter anak untuk
memasang infus sentral agar keadaan umur pasien segera membaik. Akan tetapi,
dokter anak berpendapat bahwa pemasangan infus sentral tersebut sangat beresiko
karena kondisi trombosit yang sangat rendah dan keadaan abdomen yang tidak
memungkinkan untuk penyerapan nutrisi secara cukup. Hal tersebut
menimbulkan dilema etik. Dengan adanya perbedaan pendapat diantara tim
dokter, Komite Etik RS diminta untuk memberikan jalan keluarnya.
2
b. Klarifikasi Istilah
STEP 1
1. Dilema etik : konflik antara nilai dan keyakinan dalam
melaksanakan aksi yang menimbulkan 2 pilihan
yang sulit
2. Burst abdomen : terbukanya tepi luka sehingga menyebabkan
pengeluaran isi organ
3. Hirschprung disease : kelainan usus besar pada bayi yang menyebabkan
pembengkakan abdomen
d) Analisis Masalah
STEP 3
1. Perbedaan pendapat antara dokter spesialis anak dan dokter spesialis bedah
anak
- Pemikiran yang berbeda
- Sudut pandang yang berbeda
- Pertimbangan yang berbeda
2. Prinsip dasar moral
Spesialis bedah anak: menganut prinsip non-maleficence, cirinya adalah:
- Menolong pasien emergency
- Mengobati pasien yang luka
3
e. Sistematika Masalah
STEP 4
1. Perbedaan pendapat antara dokter spesialis anak dan dokter spesialis bedah
anak
Karena dokter spesialis bedah anak menginginkan pasien tetap dilakukan
operasi sedangkan dokter spesialis anak tidak ingin memasang infus sentral
2. Prinsip dasar moral
Etika kedokteran terdiri dari:
a. Principalism: -etika normatif; deontologi, teknologi, virtue
- 4 basic moral principle; beneficence, non maleficence,
justice, autonomy
b. Alternative principalism
4
3. Hal yang dapat dilakukan oleh dokter dalam menghadapi dilema etik
- Menyelesaikan sendiri
- Melihat KODEKI
- Identifikasi dari 4 topik
- Konsultasi komite etik
4. Pemecahan kasus dilema etik
- Identifikasi masalah
- Konflik etik yang terkait
o Spesialis bedah anak: fokus pada operasi
o Spesialis anak: risiko pemasangan infus sentral
o Alternatif: transfusi trombosit
- Evaluasi
- Pelaksanaan
Metode pemecahan kasus:
a. Single principal: berdasarkan satu prinsip
b. Ranking: baik buruknya dipertimbangkan kemudian diurutkan berdasarkan
peringkat terbaiknya daripada buruknya
c. Sumum bonum, minus malum: memilih kebaikan yang terbesar, kejelekan
yang sedikit
d. 4 topics: medical indication, patient preferences, quality of life, contextual
feature
5
Mind Map
Syarat dilema
etik
Strategi
pemecahan Komite etik
f. Sasaran Belajar
STEP 5
1. Penjelasan etika medis dan ruang lingkupnya, serta 4 prinsip dasar etika moral
2. Kriteria dilema etik
3. Strategi pemecahan dilema etik
4. Struktur komite etik dan kewenangannya
g. Belajar Mandiri
STEP 6
Belajar mandiri
h. Penjelasan
STEP 7
1. Penjelasan etika medis dan ruang lingkupnya, serta 4 prinsip dasar etika
moral
Etika medis
Kata etik secara etiomologi beasal dari kata Yunani yaitu ethikos, ethos yang
berarti adat, kebiasaan praktik. Etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara
6
Prinsip-prinsip Bioetika
(1) Deontology : asal kata deon (wajid), tidak bersyarat dan tidak bergantung
pada tujuan tertentu. Benar tidaknya tindakan bergantung pada perbuatan
atau cara tindakan itu sendiri, buakan pada akibat tindakan. Dasar:
kewajiban atau keharusan. Kelemahan pemicu fanatisme buta, tidak luwes
dalam perkembangan zaman, tidak mampu memecahkan dilema etis. 1
7
Dilemma etik adalah situasi yang dihadapi seseorang dalam membuat keputusan
mengenai perilaku yang layak harus dibuat. Untuk itu diperlakukan pengambilan
keputusan untuk menghadapi dilema etik. Terdapat enam pendekatan yang
dilakukan seseorang untuk membuat keputusan etis, yaitu :
Moral dilema masih mungkin terjadi apabila prinsip moral autonomi dihadapkan
dengan prinsip moral lainnya atau apabila prinsip beneficence dihadapkan dengan
non maleficence, misalnya apabila keinginan pasien (autonomi) ternyata
bertentangan dengan prinsip beneficence atau non maleficence, dan apabila
9
Tindakan yang ordinary (biasa) adalah semua tindakan medis, bedah atau obat-
obatan yang menawarkan harapan “perbaikan keadaan” yang wajar, yang dapat
diperoleh atau dilakukan tanpa biaya berlebihan, kesakitan/susah payah atau
ketidaknyamanan yang lain. Sedangkan tindakan yang extraordinary (luar biasa)
adalah semua tindakan medis, bedah atau obat-obatan yang tidak dapat diperoleh
/dilakukan tanpa biaya berlebih, susah payah atau ketidaknyamanan, atau yang
apabila dilakukan tidak menawarkan harapan “perbaikan keadaan” yang wajar. 1
Penentuan mana yang ordinary atau extraordinary menjadi sangat penting agar
para dokter dan perawat yakin bahwa tindakan profesionalnya tidak melanggar
etika maupun hukum. Prinsip ini berasal muasal dari Domingo Bañez (1528-
1604), seorang Spanyol. Kita tahu bahwa amputasi itu sudah lama dijalankan di
dunia medis sebagai salah satu cara untuk menyembuhkan penyakit. Dia bertanya,
“Jika tangan seseorang itu terkena penyakit yang akan menjalar dan
membahayakan hidupnya, apakah dia wajib untuk mengamputasi tangan yang
sakit itu atau tidak?”. Pertanyaan ini menjadi penting sebab waktu itu belum ada
anastesi untuk mengurangi sakit sehingga amputasi itu benar-benar menjadikan
kesakitan luar biasa dan resiko terkena infeksi menjadi besar sekali. Bañez
10
Empat pendekatan yang dapat digunakan untuk dapat memecahkan dilema etik
• Combining ranking and balancing, prinsipnya di sini adalah kita berusaha me-
meringkat dan sedapat mungkin membuatnya prinsip-prinsip tersebut dalam satu
11
kelompokan. Akan tetapi pada praktiknya sangat sulit, karena banyaknya nilai
yang satu sama lain saling mengalahkan dan tidak dapat diseimbangkan.
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
dan atau janji dokter.
Pasal 2
Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan
profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku professional
dalam ukuran yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
Pasal 4
Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji
diri .
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan
psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.
Pasal 6
12
Pasal 15
Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar senantiasa dapat
berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya, termasuk dalam beribadat
dan atau penyelesaian masalah pribadi lainnya.
Pasal 16
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 17
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis.
BAB II
Pasal 3
Pembentukan KERS
(1) Komite Etik Rumah Sakit (KERS) merupakan perangkat organisasi rumah
sakit di bentuk di Rumah Sakit dalam rangka membantu pimpinan rumah sakit
menerapkan Kode Etik Rumah Sakit di rumah sakit.
(2) Pembentukan KERS adalah wajib.
(3) Ketua dan Anggota KERS dipilih dan diangkat oleh Direktur/Pimpinan
Rumah Sakit, untuk selama masa bakti tertentu. KERS sekurang-kurangnya
15
harus terdiri dari seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, dan
2 (dua) orang Anggota, dengan jumlah seluruhnya paling banyak 7 (tujuh)
orang.
(4) Keanggotaan KERS harus mewakili berbagai profesi di dalam rumah sakit.
(5) Dalam struktur organisasi rumah sakit, posisi KERS setingkat direktur rumah
sakit dan komite medik rumah sakit. Selain itu KERS juga bisa berada di
bawah direktur rumah sakit dan setingkat komite medik rumah sakit.
(6) Komite etik rumah sakit bertanggung jawab langsung kepada pimpinan rumah
sakit atau yang mengangkatnya.
(7) Bila dipandang perlu anggota KERS dapat berasal dari individu di luar rumah
sakit.
(8) Syarat untuk dapat dipilih menjadi anggota KERS: berjiwa Pancasila,
memiliki integritas, kredibilitas sosial, dan profesional. Ia juga memiliki
kepedulian dan kepekaan terhadap masalah sosial, lingkungan, dan
kemanusiaan.
(9) Keanggotaan KERS diupayakan tidak dirangkap dengan jabatan-jabatan
struktural di rumah sakit. 8
Pasal 4
(2) Komite Etik dan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala atau Direktur Rumah Sakit.
(3) Pembentukan Komite Etik dan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan kebutuhan dan ketersediaan sumber daya yang dimiliki oleh
Rumah Sakit.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 5
(1) Susunan organisasi Komite Etik dan Hukum paling sedikit terdiri atas:
a. ketua;
b. sekretaris; dan
18
c. anggota.
(2) Ketua dan sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merangkap sebagai
anggota.
(3) Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak merangkap jabatan
lain di Rumah Sakit.
(4) Selain susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dibentuk subkomite etik penelitian sesuai dengan kebutuhan Rumah Sakit.
Pasal 6
(1) Keanggotaan Komite Etik dan Hukum paling sedikit terdiri atas:
a. tenaga medis;
b. tenaga keperawatan;
(2) Jumlah personil keanggotaan Komite Etik dan Hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disesuaikan dengan kemampuan Rumah Sakit.
(3) Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan
huruf d diusulkan oleh masing-masing komite.
(4) Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f
diusulkan oleh pimpinan unit sumber daya manusia di rumah sakit.
(5) Dalam hal dibutuhkan, keanggotaan Komite Etik dan Hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan unsur masyarakat.
19
Pasal 7
Keanggotaan Komite Etik dan Hukum diangkat dan diberhentikan oleh Kepala
atau Direktur Rumah Sakit.
Pasal 8
(1) Untuk diangkat menjadi anggota Komite Etik dan Hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 harus dipenuhi persyaratan:
a. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
(3) Pemberhentian anggota Komite Etik dan Hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Kepala atau Direktur Rumah Sakit
kepada ketua dan/atau anggota yang diberhentikan.
Pasal 10
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota Komite
Etik dan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 9 dan
masa kerja keanggotaan Komite Etik dan Hukum ditetapkan oleh Kepala atau
Direktur Rumah Sakit.
Bagian Ketiga
Tugas, Fungsi, dan Kewenangan
Pasal 11
(1) Komite Etik dan Hukum bertugas meningkatkan dan menjaga kepatuhan
penerapan etika dan hukum di Rumah Sakit, dengan cara:
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komite Etik dan Hukum
bertugas:
DAFTAR PUSTAKA
1. Afandi D. Kaidah Dasar Bioetika Dalam Pengambilan Keputusan Klinis Yang
Etis. Vol. 40 No. 2. Riau: Majalah Kedokteran Andalas; 2017.
2. Amin Y. Etika Profesi Dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehtan
Republik Indonesa; 2017.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).
Indonesia: Kitab undang-Undang Hukum Perdata. 1847.
4. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Presiden Republik
Indonesia; 2002.
5. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Jakarta:
Presiden Republik Indonesia; 2003.