Anda di halaman 1dari 22

1

a. Skenario
SKENARIO 4
Dilema Etik

Seorang anak laki-laki bernama Yoga, berusia 13 bulan, adalah pasien rujukan
yang telah dirawat di Rumah Sakit Bagas Waras selama lebih dari 2 bulan,
dengan diagnosis utama ”burst abdomen”. Yoga adalah anak kedua, orang tua
berprofesi sebagai buruh tani, dengan kondisi sosial ekonomi lemah. Yoga
dirujuk dari Rumah Sakit Pertama dengan riwayat laparotomi berulang (indikasi
medis awal Hirschprung Disease, dengan NEC grade 2), dan luka jahitan operasi
yang tidak menyembuh. Diagnosis terakhir saat ini adalah:
1. Burst abdomen
2. Sepsis
3. Trombositopenia dan hypoalbuminemia
4. Gizi buruk tipe marasmik
5. Anemia mikrositik hipokromik
Pasien tersebut dari sejak usia 2 bulan telah menjalani 8 kali operasi untuk
memperbaiki kondisinya. Saat ini, dokter bedah anak tetap ingin melanjutkan
operasi untuk memperbaiki kondisinya. Mereka meminta tim dokter anak untuk
memasang infus sentral agar keadaan umur pasien segera membaik. Akan tetapi,
dokter anak berpendapat bahwa pemasangan infus sentral tersebut sangat beresiko
karena kondisi trombosit yang sangat rendah dan keadaan abdomen yang tidak
memungkinkan untuk penyerapan nutrisi secara cukup. Hal tersebut
menimbulkan dilema etik. Dengan adanya perbedaan pendapat diantara tim
dokter, Komite Etik RS diminta untuk memberikan jalan keluarnya.
2

b. Klarifikasi Istilah
STEP 1
1. Dilema etik : konflik antara nilai dan keyakinan dalam
melaksanakan aksi yang menimbulkan 2 pilihan
yang sulit
2. Burst abdomen : terbukanya tepi luka sehingga menyebabkan
pengeluaran isi organ
3. Hirschprung disease : kelainan usus besar pada bayi yang menyebabkan
pembengkakan abdomen

c. Rumusan Daftar Masalah


STEP 2
1. Mengapa terjadi perbedaan pendapat antara dokter spesialis bedah anak dan
spesialis anak?
2. Prinsip dasar moral apa yang berkaitan dengan kasus?
3. Bagaimana hal yang bisa dilakukan dokter dalam menghadapi kondisi dilema
etik?
4. Bagaimana strategi pemecahan masalah dari kasus tersebut?

d) Analisis Masalah
STEP 3
1. Perbedaan pendapat antara dokter spesialis anak dan dokter spesialis bedah
anak
- Pemikiran yang berbeda
- Sudut pandang yang berbeda
- Pertimbangan yang berbeda
2. Prinsip dasar moral
Spesialis bedah anak: menganut prinsip non-maleficence, cirinya adalah:
- Menolong pasien emergency
- Mengobati pasien yang luka
3

- Tidak membunuh pasien


- Tidak memandang pasien sebagai objek
- Melindungi pasien dari serangan
- Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
3. Hal yang dapat dilakukan oleh dokter dalam menghadapi dilema etik
- Konsultasi ke komisi etik rumah sakit
- Konsultasi ke MKEK
- Konsultasi ke IDI
4. Pemecahan kasus dilema etik
a. Melihat KODEKI
b. Double effect
c. Minus malum, sumum bonum
d. DECIDE MEDIS
Step 1 : identifikasi masalah
Step 2 : determine
Step 3 : evaluasi
Step 4 : action

e. Sistematika Masalah
STEP 4
1. Perbedaan pendapat antara dokter spesialis anak dan dokter spesialis bedah
anak
Karena dokter spesialis bedah anak menginginkan pasien tetap dilakukan
operasi sedangkan dokter spesialis anak tidak ingin memasang infus sentral
2. Prinsip dasar moral
Etika kedokteran terdiri dari:
a. Principalism: -etika normatif; deontologi, teknologi, virtue
- 4 basic moral principle; beneficence, non maleficence,
justice, autonomy
b. Alternative principalism
4

3. Hal yang dapat dilakukan oleh dokter dalam menghadapi dilema etik
- Menyelesaikan sendiri
- Melihat KODEKI
- Identifikasi dari 4 topik
- Konsultasi komite etik
4. Pemecahan kasus dilema etik
- Identifikasi masalah
- Konflik etik yang terkait
o Spesialis bedah anak: fokus pada operasi
o Spesialis anak: risiko pemasangan infus sentral
o Alternatif: transfusi trombosit
- Evaluasi
- Pelaksanaan
Metode pemecahan kasus:
a. Single principal: berdasarkan satu prinsip
b. Ranking: baik buruknya dipertimbangkan kemudian diurutkan berdasarkan
peringkat terbaiknya daripada buruknya
c. Sumum bonum, minus malum: memilih kebaikan yang terbesar, kejelekan
yang sedikit
d. 4 topics: medical indication, patient preferences, quality of life, contextual
feature
5

Mind Map
Syarat dilema
etik

DILEMA Prinsip dasar


Definisi ETIK moral

Strategi
pemecahan Komite etik

f. Sasaran Belajar
STEP 5
1. Penjelasan etika medis dan ruang lingkupnya, serta 4 prinsip dasar etika moral
2. Kriteria dilema etik
3. Strategi pemecahan dilema etik
4. Struktur komite etik dan kewenangannya

g. Belajar Mandiri
STEP 6
Belajar mandiri

h. Penjelasan
STEP 7
1. Penjelasan etika medis dan ruang lingkupnya, serta 4 prinsip dasar etika
moral
Etika medis

Kata etik secara etiomologi beasal dari kata Yunani yaitu ethikos, ethos yang
berarti adat, kebiasaan praktik. Etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara
6

mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilakumanusia dalam


hidupnya. Etika sebagaimana metode filsafat, yang mengandung
permusyawaratan dan argument eksplisit untuk membenarkan tindakan tertentu,
juga membahas asas-asas yang mengatur karakter manusia ideal atau kode etik
profesi tertentu (etika normatif). 1

Etika normative (deontology, teleologi, virtue) berbicara mengenai norma-norma


yang menuntun tingkah laku manusia, serta memberi penilaian dan himbauan
kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya. Tujuannya mencari
prinsi-prinsip dasar yang memungkinkan kita menghadapi pandangan-pandangan
normtif moral yang terdapat dalam masyarakat atau diperjuangkan oleh berbagai
ideologi secara rasional dan kritis. 1

Prinsip-prinsip Bioetika

Prinsip-prinsip bioetika pada dasarnya merupakan penerapan prinsip-prinsip etika


dalam bidang kedokteran dan kesehatan. Etika kedokteran terapan, terbagi atas 2
katogori besar: (1) Principlism adalah memetingkan prinsip etik dalam bertindak.
Termasuk dalam korteks ini adalah etika normatif, 4 basic moral principle,
konsep libertarianism (mengutamakan automi), beneficence in trust (berbuat baik
dalam suasana kepercayaan). Dasar utama dalam principlism adalah bahwa
memilih salah satu prinsip etik ketika akan mengambil keputusan. (2) Artenative
principlism termasuk dalam etika ini adalah komunitarian, etika naratif dan etika
kasih sayang. 1

Ada 3 teori etika normatif, yaitu:

(1) Deontology : asal kata deon (wajid), tidak bersyarat dan tidak bergantung
pada tujuan tertentu. Benar tidaknya tindakan bergantung pada perbuatan
atau cara tindakan itu sendiri, buakan pada akibat tindakan. Dasar:
kewajiban atau keharusan. Kelemahan pemicu fanatisme buta, tidak luwes
dalam perkembangan zaman, tidak mampu memecahkan dilema etis. 1
7

(2) Teleologi: bersyarat (hipotesis), benar tidaknya tindakan bergantung pada


akibat-akibatnya. Dasar: pengalaman (efektif-efisien). Kelemahan
menghilangkan dasar pembawa kepastian etis, tidak bertetapan pemicu,
tujuan menghalalkan cara. 1
(3) Virtue: keutamaan, benar tidaknya tindakan tergantng dari norma-norma
yang diambil. Dalam pengertian bahwa meminimalkan norma-norma
kemanusiaan yang akan dikorbankan. Dasar: menghormati norma
kebahagian manusia. Kelemahan tidak mapu membuat keputusan klinis
yang etik karena terlalu bersifat pride dan cenderung sangat individual. 1

Pengambilan Keputusan Klinis Yang Etis

Etika klinis merupakan suatu metodologi dalam proses pengambilan keputusan

klinis yang etik. Beberapa contoh metodologi tersebut adalah:

(1) Casuistry: metodologi pengambilan keputusan etik adalah


menganalogikan situasi dan kondisi suatu kasus terhadap kasus terdahulu
yang sudah ada pemecahan masalahnya secara konsensus. Kelemahan
metode ini adalah bahwa tidak ada konsensus yang abadi. 1
(2) Moral Pluralism: dikembangkan oleh Jonsen, Siegler dan Winslade yang
membagi 4 jenis kategori yang memerlukan analisis moral. Langkah yang
dilakukan adalah meng-
kontekstualitas-kan masalah-masalah yang ada ke dalam masing-masing
kategori. Untuk selanjutnya dilakukan pertimbangan keputusan apa yang
akan diambil bila ada dua kategori yang berseberangan. Sebagai catatan
bahwa 4 kategori yang ada hanya merupakan alat bantu untuk meninjau
ulang kasus dan bukan ditujukan sebagai prioritas etik. Keputusan tetap
harus diambil dari pertimbangan ke empat kategori tersebut. Kekurangan
metode ini adalah bahwa tidak ada analisis kritik terhadap hasil keputusan
yang telah kita ambil. 1
8

2. Kriteria dilema etik


Kriteria dilema etik

Dilemma etik adalah situasi yang dihadapi seseorang dalam membuat keputusan
mengenai perilaku yang layak harus dibuat. Untuk itu diperlakukan pengambilan
keputusan untuk menghadapi dilema etik. Terdapat enam pendekatan yang
dilakukan seseorang untuk membuat keputusan etis, yaitu :

(1) Memperoleh fakta-fakta yang relevan tentang masalah


(2) Menentukan isu-isu etika dari fakta-fakta yang relevan
(3) Menentukan faktor yang mempengaruhi dilema etik
(4) Menentukan cara alternative dalam memecahkan masalah etika
(5) Menentukan konsekuensi yang mungkin terjadi dari pilihan aternatif
(6) Menetapkan tindakan yang tepat. 6

3. Strategi pemecahan dilema etik


Kedokteran berpegang teguh kepada 4 kaidah dasar moral (moral principles),
yaitu autonomi, beneficence, nonmaleficence dan justice. autonomi berarti setiap
tindakan medis haruslah memperoleh persetujuan dari pasien (atau keluarganya
terdekat, dalam hal ia tidak dapat memberikan persetujuannya), beneficence
berarti setiap tindakan medis harus ditujukan untuk kebaikan pasien, non
maleficence berarti setiap tindakan medis harus tidak boleh memperburuk keadaan
pasien, dan justice berarti bahwa sikap atau tindakan medis harus bersifat adil –
terutama dilihat dari segi distributive-justice. 1

Moral dilema masih mungkin terjadi apabila prinsip moral autonomi dihadapkan
dengan prinsip moral lainnya atau apabila prinsip beneficence dihadapkan dengan
non maleficence, misalnya apabila keinginan pasien (autonomi) ternyata
bertentangan dengan prinsip beneficence atau non maleficence, dan apabila
9

sesuatu tindakan mengandung beneficence dan non maleficence secara bersamaan


seperti pada rule of double effect. 1

Pertimbangan bioetika yang harus diperhatikan dalam menentukan tindakan


withholding life support dan withdrawing life support adalah kapan, dimana dan
kondisi bagaimana dokter menyampaikan hal tersebut kepada keluarga pasien.
Pertama sekali dokter harus menghormati harkat martabat pasien (otonomi
pasien), pada kondisi ini pasien maupun keluarganya harus mempunyai otonomi
untuk menerima informasi yang relevan tentang penyakitnya. Dokter harus
menentukan apakah pasien, keluarga atau kerabat faham tentang kondisi
kesehatan terakhir dari pasien. Hal terpenting dalam menentukan kapan tindakan
withholding life support dan withdrawing life support adalah ketika suatu
tindakan medik itu sudah berubah dari ordinary menjadi extraordinary. 1

Tindakan yang ordinary (biasa) adalah semua tindakan medis, bedah atau obat-
obatan yang menawarkan harapan “perbaikan keadaan” yang wajar, yang dapat
diperoleh atau dilakukan tanpa biaya berlebihan, kesakitan/susah payah atau
ketidaknyamanan yang lain. Sedangkan tindakan yang extraordinary (luar biasa)
adalah semua tindakan medis, bedah atau obat-obatan yang tidak dapat diperoleh
/dilakukan tanpa biaya berlebih, susah payah atau ketidaknyamanan, atau yang
apabila dilakukan tidak menawarkan harapan “perbaikan keadaan” yang wajar. 1

Penentuan mana yang ordinary atau extraordinary menjadi sangat penting agar
para dokter dan perawat yakin bahwa tindakan profesionalnya tidak melanggar
etika maupun hukum. Prinsip ini berasal muasal dari Domingo Bañez (1528-
1604), seorang Spanyol. Kita tahu bahwa amputasi itu sudah lama dijalankan di
dunia medis sebagai salah satu cara untuk menyembuhkan penyakit. Dia bertanya,
“Jika tangan seseorang itu terkena penyakit yang akan menjalar dan
membahayakan hidupnya, apakah dia wajib untuk mengamputasi tangan yang
sakit itu atau tidak?”. Pertanyaan ini menjadi penting sebab waktu itu belum ada
anastesi untuk mengurangi sakit sehingga amputasi itu benar-benar menjadikan
kesakitan luar biasa dan resiko terkena infeksi menjadi besar sekali. Bañez
10

menyatakan bahwa walaupun manusia itu mempunyai kewajiban untuk menjaga


dan memelihara hidupnya tetapi hal itu hanya bisa diwajibkan dengan
mempergunakan sarana yang ordinary (makan, pakaian, obatan-obatan yang
biasa, dan kesakitan yang biasa) sedangkan sarana yang extraordinary tidaklah
wajib. Jadi dalam kasus pemotongan tangan itu, karena amputasi tangan itu
menimbulkan sakit yang luar biasa tak tertahankan, maka amputasi itu tidaklah
wajib (extraordinary). 1

Keputusan untuk menghentikan suatu peralatan atau tindakan memperpanjang


hidup yang telah diterapkan pada seseorang pasien memang tetap merupakan
masalah, dibandingkan apabila peralatan atau tindakan tersebut belum pernah
dilakukan pada pasien. Pertimbangan yang ketat harus dilakukan, khususnya pada
pengambilan keputusan penghentian artificial nutrition and hydration, oleh
karena tindakan tersebut harus ditentukan terlebih dahulu, apakah sebagai bagian
dari “care” ataukah “cure”. Apabila merupakan bagian dari “cure” dan dianggap
sebagai tindakan medis yang sia-sia maka dapat dihentikan, tetapi apabila
dianggap sebaga bagian dari “care” maka oleh alasan apapun tidak etis bila
dihentikan. 1

Empat pendekatan yang dapat digunakan untuk dapat memecahkan dilema etik

• Single-Principle Theories, prinsipnya di sini adalah memilih satu prinsip dengan


mengalahkan prinsip-prinsip yang lain setelah melalui pertimbangan yang
matang.

• Ranking (Lexically Ordering) Principles, prinsipnya di sini adalah kita membuat


peringkat (leksikal) dari prinsip-prinsip yang ada dan keputusan diambil pada
prinsip yang urutannya terletak paling atas.

• Balancing, prinsipnya adalah keputusan diambil dengan menyeimbangkan


prinsip-prinsip yang ada.

• Combining ranking and balancing, prinsipnya di sini adalah kita berusaha me-
meringkat dan sedapat mungkin membuatnya prinsip-prinsip tersebut dalam satu
11

kelompokan. Akan tetapi pada praktiknya sangat sulit, karena banyaknya nilai
yang satu sama lain saling mengalahkan dan tidak dapat diseimbangkan.

(1) Lihat KODEKI. 7

KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
dan atau janji dokter.

Pasal 2
Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan
profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku professional
dalam ukuran yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
Pasal 4
Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji
diri .
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan
psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.
Pasal 6
12

Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau


menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan
masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter waajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 8
Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai
rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 9
Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada saat
menangani pasien dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan.
Pasal 10
Seorang dokter wajib menghormati hak-hak- pasien, teman sejawatnya, dan
tenaga kesehatan lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 11
Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi
hidup makhluk insani.
Pasal 12
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan
keseluruhan aspek pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif ), baik fisik maupun psiko-sosial-kultural pasiennya serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat.
Pasal 13
13

Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat lintas sektoral di


bidang kesehatan, bidang lainnya dan masyarakat, wajib saling
menghormati.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN


Pasal 14
Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh
keilmuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan
pasien/ keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai
keahlian untuk itu.

Pasal 15
Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar senantiasa dapat
berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya, termasuk dalam beribadat
dan atau penyelesaian masalah pribadi lainnya.
Pasal 16
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 17
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT


Pasal 18
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 19
14

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI


Pasal 20
Setiap dokter wajib selalu memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja
dengan baik.
Pasal 21
Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran/ kesehatan. 7

4. Struktur komite etik dan kewenangannya


PEDOMAN PENGORGANISASIAN KOMITE ETIK RUMAH SAKIT
DAN
MAJELIS KEHORMATAN ETIK RUMAH SAKIT INDONESIA
PERSI – MAKERSI. 8

BAB II

TATALAKSANA ORGANISASI KOMITE ETIK RUMAH SAKIT

Pasal 3

Pembentukan KERS

(1) Komite Etik Rumah Sakit (KERS) merupakan perangkat organisasi rumah
sakit di bentuk di Rumah Sakit dalam rangka membantu pimpinan rumah sakit
menerapkan Kode Etik Rumah Sakit di rumah sakit.
(2) Pembentukan KERS adalah wajib.
(3) Ketua dan Anggota KERS dipilih dan diangkat oleh Direktur/Pimpinan
Rumah Sakit, untuk selama masa bakti tertentu. KERS sekurang-kurangnya
15

harus terdiri dari seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, dan
2 (dua) orang Anggota, dengan jumlah seluruhnya paling banyak 7 (tujuh)
orang.
(4) Keanggotaan KERS harus mewakili berbagai profesi di dalam rumah sakit.
(5) Dalam struktur organisasi rumah sakit, posisi KERS setingkat direktur rumah
sakit dan komite medik rumah sakit. Selain itu KERS juga bisa berada di
bawah direktur rumah sakit dan setingkat komite medik rumah sakit.
(6) Komite etik rumah sakit bertanggung jawab langsung kepada pimpinan rumah
sakit atau yang mengangkatnya.
(7) Bila dipandang perlu anggota KERS dapat berasal dari individu di luar rumah
sakit.
(8) Syarat untuk dapat dipilih menjadi anggota KERS: berjiwa Pancasila,
memiliki integritas, kredibilitas sosial, dan profesional. Ia juga memiliki
kepedulian dan kepekaan terhadap masalah sosial, lingkungan, dan
kemanusiaan.
(9) Keanggotaan KERS diupayakan tidak dirangkap dengan jabatan-jabatan
struktural di rumah sakit. 8
Pasal 4

Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab KERS

(1) Secara umum KERS bertugas membantu pimpinan rumah sakit


menerapkan Kode Etik Rumah Sakit di rumah sakit, baik diminta maupun
tidak diminta.
(2) Secara khusus KERS memiliki tugas, wewenang dan tanggung jawab:
a. Melakukan pembinaan insan perumahsakitan secara komprehensif
dan berkesinambungan, agar setiap orang menghayati dan
mengamalkan KODERSI sesuai dengan peran dan tanggung jawab
masing-masing di rumah sakit. Pembinaan ini merupakan upaya
preventif, persuasif, edukatif, dan korektif terhadap kemungkinan
16

terjadinya penyimpangan atau pelanggaran KODERSI. Pembinaan


dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, diskusi kasus, dan
seminar.
b. Memberi nasehat, saran, dan pertimbangan terhadap setiap
kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh pimpinan atau pemilik
rumah sakit.
c. Membuat pedoman pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah
sakit yang terkait dengan etika rumah sakit.
d. Menangani masalah-masalah etik yang muncul di dalam rumah
sakit.
e. Memberi nasehat, saran, dan pertimbangan etik kepada pihak-
pihak yang membutuhkan.
f. Membantu menyelesaikan perselisihan/sengketa medik yang
terjadi di lingkungan rumah sakit.
g. Menyelenggarakan pelbagai kegiatan lain yang dipandang dapat
membantu terwujudnya kode etik rumah sakit.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya KERS wajib menerapkan prinsip
kerjasama, koordinasi, dan sinkronisasi dengan Komite Medik serta
struktur lain di rumah sakit sesuai dengan tugas masing-masing.
(4) Pimpinan dan anggota KERS wajib mematuhi peraturan rumah sakit dan
bertanggung jawab kepada pimpinan rumah sakit serta menyampaikan
laporan berkala pada waktunya.
(5) KERS dapat meminta saran, pendapat atau nasehat dari MAKERSI Daerah
bila menghadapi kesulitan.
(6) KERS wajib memberikan laporan kepada MAKERSI Daerah mengenai
pelaksanaan KODERSI di rumah sakit , minimal sekali setahun.
(7) KERS wajib melaporkan masalah etik yang serius atau tidak mampu
ditangani sendiri ke MAKERSI Daerah. 8
17

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 42 TAHUN 2018
TENTANG
KOMITE ETIK DAN HUKUM RUMAH SAKIT. 9
BAB II
ORGANISASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Komite Etik dan Hukum dibentuk oleh Kepala atau Direktur Rumah Sakit
melalui surat keputusan.

(2) Komite Etik dan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala atau Direktur Rumah Sakit.

(3) Pembentukan Komite Etik dan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan kebutuhan dan ketersediaan sumber daya yang dimiliki oleh
Rumah Sakit.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 5
(1) Susunan organisasi Komite Etik dan Hukum paling sedikit terdiri atas:

a. ketua;

b. sekretaris; dan
18

c. anggota.

(2) Ketua dan sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merangkap sebagai
anggota.

(3) Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak merangkap jabatan
lain di Rumah Sakit.

(4) Selain susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dibentuk subkomite etik penelitian sesuai dengan kebutuhan Rumah Sakit.

Pasal 6
(1) Keanggotaan Komite Etik dan Hukum paling sedikit terdiri atas:

a. tenaga medis;

b. tenaga keperawatan;

c. tenaga kesehatan lain;

d. unsur yang membidangi mutu dan keselamatan pasien;

e. unsur administrasi umum dan keuangan, pengelola pelayanan hukum; dan

f. unsur administrasi umum dan keuangan, pengelola sumber daya manusia.

(2) Jumlah personil keanggotaan Komite Etik dan Hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disesuaikan dengan kemampuan Rumah Sakit.

(3) Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan
huruf d diusulkan oleh masing-masing komite.

(4) Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f
diusulkan oleh pimpinan unit sumber daya manusia di rumah sakit.

(5) Dalam hal dibutuhkan, keanggotaan Komite Etik dan Hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan unsur masyarakat.
19

Pasal 7
Keanggotaan Komite Etik dan Hukum diangkat dan diberhentikan oleh Kepala
atau Direktur Rumah Sakit.
Pasal 8
(1) Untuk diangkat menjadi anggota Komite Etik dan Hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 harus dipenuhi persyaratan:
a. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

b. sehat jasmani dan jiwa;

c. memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman bekerja di bidang etik dan/atau


hukum;

d. mengikuti pelatihan etik dan hukum rumah sakit;

e. bersedia bekerja sebagai anggota Komite Etik dan Hukum; dan

f. memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap masalah etik, hukum, sosial


lingkungan dan kemanusiaan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat dipenuhi
paling lambat 1 (satu) tahun setelah diangkat menjadi anggota Komite Etik dan
Hukum Rumah Sakit.
Pasal 9
(1) Kepala atau Direktur Rumah sakit dapat memberhentikan anggota Komite Etik
dan Hukum sebelum habis masa kerjanya disertai dengan alasan pemberhentian.

(2) Alasan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


a. tidak melaksanakan tugas dan fungsi Komite Etik dan Hukum;
b. melanggar Panduan Etika dan Perilaku (Code of Conduct);
c. terlibat dalam tindakan yang merugikan Rumah Sakit; dan/atau
d. dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
20

(3) Pemberhentian anggota Komite Etik dan Hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Kepala atau Direktur Rumah Sakit
kepada ketua dan/atau anggota yang diberhentikan.

Pasal 10
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota Komite
Etik dan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 9 dan
masa kerja keanggotaan Komite Etik dan Hukum ditetapkan oleh Kepala atau
Direktur Rumah Sakit.

Bagian Ketiga
Tugas, Fungsi, dan Kewenangan
Pasal 11
(1) Komite Etik dan Hukum bertugas meningkatkan dan menjaga kepatuhan
penerapan etika dan hukum di Rumah Sakit, dengan cara:

a. menyusun Panduan Etik dan Perilaku (Code of Conduct);

b. menyusun pedoman Etika Pelayanan;

c. membina penerapan Etika Pelayanan, Etika Penyelenggaraan, dan hukum


perumahsakitan;

d. mengawasi pelaksanaan penerapan Etika Pelayanan dan Etika


Penyelenggaraan;

e. memberikan analisis dan pertimbangan etik dan hukum pada pembahasan


internal kasus pengaduan hukum;

f. mendukung bagian hukum dalam melakukan pilihan penyelesaian sengketa


(alternative dispute resolution) dan/atau advokasi hukum kasus pengaduan
hukum; dan
21

g. menyelesaikan kasus pelanggaran etika pelayanan yang tidak dapat diselesaikan


oleh komite etika profesi terkait atau kasus etika antar profesi di Rumah Sakit.

(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komite Etik dan Hukum
bertugas:

a. memberikan pertimbangan kepada Kepala atau Direktur Rumah Sakit mengenai


kebijakan, peraturan, pedoman, dan standar yang memiliki dampak etik dan/atau
hukum; dan

b. memberikan pertimbangan dan/atau rekomendasi terkait pemberian bantuan


hukum dan rehabilitasi bagi sumber daya manusia rumah sakit.
Pasal 12
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Komite Etik
dan Hukum memiliki fungsi:
a. pengelolaan data dan informasi terkait etika Rumah Sakit;
b. pengkajian etika dan hukum perumahsakitan, termasuk masalah
profesionalisme, interkolaborasi, pendidikan, dan penelitian serta nilai-nilai
bioetika dan humaniora;
c. sosialisasi dan promosi Panduan Etik dan Perilaku (Code of Conduct) dan
pedoman etika pelayanan;
d. pencegahan penyimpangan Panduan Etik dan Perilaku (Code of Conduct) dan
pedoman Etika Pelayanan;
e. monitoring dan evaluasi terhadap penerapan Panduan Etik dan Perilaku (Code
of Conduct) dan pedoman Etika Pelayanan;
f. pembimbingan dan konsultasi dalam penerapan Panduan Etik dan Perilaku
(Code of Conduct) dan pedoman Etika Pelayanan;
g. penelusuran dan penindaklanjutan kasus terkait Etika Pelayanan dan Etika
Penyelenggaraan sesuai dengan peraturan internal Rumah Sakit; dan
h. penindaklanjutan terhadap keputusan etik profesi yang tidak dapat diselesaikan
oleh komite profesi yang bersangkutan atau kasus etika antar profesi.
22

DAFTAR PUSTAKA
1. Afandi D. Kaidah Dasar Bioetika Dalam Pengambilan Keputusan Klinis Yang
Etis. Vol. 40 No. 2. Riau: Majalah Kedokteran Andalas; 2017.
2. Amin Y. Etika Profesi Dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehtan
Republik Indonesa; 2017.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).
Indonesia: Kitab undang-Undang Hukum Perdata. 1847.
4. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Presiden Republik
Indonesia; 2002.
5. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Jakarta:
Presiden Republik Indonesia; 2003.

Anda mungkin juga menyukai