Semester :7
Modul : Kegawatdaruratan Medis dan Forensik
Waktu : 200 Menit
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti skills lab ini, mahasiswa diharapkan mampu
1. Mengenali dilema etik yang muncul pada kasus dengan setting gawat darurat dan
pasien dengan penyakit kritis
2. Mampu menerapkan pendekatan empat prinsip bioetik oleh Beauchamp dan
Childress dalam proses ethical decision making
3. Mampu menerapkan pendekatan empat kuadran oleh Jonsen dan Siegler dalam
proses ethical decision making
4. Mampu merumuskan tindakan moral untuk kasus dilema etik
B. Rencana Pembelajaran
Durasi : 200 menit
Panduan Instruktur :
20 menit pertama tutor memberikan penjelasan mahasiswa tentang materi skill lab
60 menit berikutnya mahasiswa mendiskusikan materi kasus (2 kasus) setelah
dibagi menjadi 2-3 kelompok kecil
100 menit berikutnya tiap kelompok kecil menyajikan kasus dilema etik yang
sudah didiskusikan di tiap kelompok
20 menit terakhir tutor memberikan feedback dan refleksi tentang kasus yang telah
disajikan sebelumnya
Panduan mahasiswa :
20 menit pertama mahasiswa mendengarkan penjelasan instruktur terkait dengan
teori tentang ethical decision making
60 menit berikutnya mahasiswa mendiskusikan materi kasus (2 kasus) setelah
dibagi menjadi 2-3 kelompok kecill
100 menit berikutnya tiap kelompok kecil menyajikan kasus dilema etik yang
sudah didiskusikan di tiap kelompok
20 menit terakhir mahasiswa mendengarkan feedback dan refleksi dari tutor
tentang kasus yang telah disajikan sebelumnya
Pendahuluan
Permasalahan etik merupakan bagian tak terpisahkan dan lazim ditemui dalam
praktek kedokteran. Oleh karena sering ditemui dalam praktek sehari-hari, kadangkala
dokter tidak menyadari bahwa mereka sedang dihadapkan dengan kondisi yang
membutuhkan pertimbangan moral yang perlu dilakukan untuk dapat membuat keputusan
etik (Chambliss, 1996; Kelly, 2000). Akibatnya maka dokter harus memiliki kemampuan
berpikir analitis dan keterampilan untuk menanggapi beragam kasus dengan muatan etik.
Kemampuan untuk mendengarkan orang lain dengan penuh perhatian,termasuk pasien,
dan tidak menarik kesimpulan secara tergesa-gesa adalah keterampilan penting yang
harus dimiliki oleh seorang dokter untuk melakukan analisis etik yang rasional. Nilai
pribadi, nilai profesional dan kompetensi, prinsip-prinsip etika, serta teori dan pendekatan
etika adalah variabel yang harus dipertimbangkan ketika membuat keputusan moral.
Beberapa pertanyaan seperti “Apa tindakan yang paling tepat yang harus saya ambil?” dan
“Apa yang harus saya lakukan dalam keadaan ini?” adalah pertanyaan awal yang selalu
muncul manakala dokter dihadapkan pada suatu kondisi yang disebut dengan dilema etik.
Dilema etik
Dilema etik adalah situasi di mana seorang individu dipaksa untuk memilih antara
dua tindakan yang akan mempengaruhi kesejahteraan makhluk hidup, kedua tindakan
tersebut dapat dibenarkan, tapi tidak ada tindakan yang dapat langsung diputuskan sebagai
tindakan yang benar, atau kebaikan dari tindakan itu tidak dapat dipastikan. Oleh karena
harus ada satu tindakan yang dipilih, maka akan timbul kebingungan atau dilema bagi
orang atau kelompok yang dibebani dengan keharusan untuk memilih tindakan yang
paling tepat.
Istilah dilema etik sering digunakan secara longgar dan tidak tepat. Weston (2011)
menyatakan, "Sekarang ini kita bahkan hampir tidak bisa menyebutkan kata 'moral' tanpa
'dilema' muncul di kalimat berikutnya”. Dia menyebut dilema etik sebagai suatu "hal yang
sangat khusus" , dengan alasan bahwa ketika orang menganggap bahwa mereka sedang
menghadapi dilema, sebenarnya yang mereka temukan adalah "dilema palsu"; orang itu
hanya perlu mengerahkan upaya yang lebih keras untuk mengidentifikasi "kemungkinan-
kemungkinan baru atau melakukan reframing atas permasalahan itu untuk memecahkan
masalah yang sedang dihadapinya. Sebagai contoh, Weston menyajikan kasus klasik
dilema Tn. Heinz yang digunakan oleh Lawrence Kohlberg dalam penelitiannya.
Ceritanya tentang Heinz, yang istrinya sedang sekarat karena kanker. Dia
membutuhkan obat khusus untuk menyelamatkan hidupnya. Apoteker yang melayani obat
yang dibeli oleh Heinz membebankan ongkos yang jauh lebih mahal dari harga yang
sepantasnya berlaku untuk obat tersebut. Harga obat itu jauh di luar kemampuan Heinz.
Heinz mencoba meminjam uang yang dibutuhkan tetapi tidak berhasil. Dia meminta
apoteker untuk menjual obatnya dengan harga yang lebih murah, tetapi apoteker
menolaknya. Akhirnya, putus asa karena tidak ada jalan yang bisa ditempuhnya untuk
menebus obat tersebut, Heinz merampok apotek untuk mendapatkan obat tersebut.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah Heinz seharusnya melakukan ini atau tidak.
Apakah Heinz menghadapi dilema?
Weston mendiskusikan dilema Heinz dengan para mahasiswa yang diajarnya , dan
mereka menghasilkan beberapa cara yang sangat kreatif untuk mendekati masalah itu
tanpa harus ada tindakan perampokan apotek.
Dibawah ini merupakan paparan tentang dua kerangka kerja etik yang dilatihkan dalam
skill lab kali ini :
A. Pendekatan Empat Prinsip Bioetika (Beauchamp and Childress)
Para klinisi mungkin telah familier dengan kerangka kerja etik yang pertama ini. Dalam
menghadapi dilema etik pada setting klinis, dokter perlu menerapkan keempat prinsip ini.
Empat prinsip itu adalah respect for autonomy (menghormati otonomi), beneficence, non-
maleficence dan justice (keadilan) (Beauchamp dan Childress 2009). Penjelasan singkat
dari masing-masing prinsip berikut.
1. Respect for autonomy (Menghormati otonomi)
Otonomi secara harfiah dapat diartikan dengan 'mengatur diri sendiri', otonomi
mengacu pada kemampuan orang untuk membuat pilihan secara sadar dan
kompeten untuk diri mereka sendiri, berdasarkan nilai dan keyakinan mereka.
Prinsip ini mengharuskan dokter untuk, antara lain, menghormati keinginan dan
pilihan pasien yang kompeten dan memberikan informasi yang cukup untuk
membantu pasien membuat keputusan berdasarkan informasi yang adekuat dari
dokter yang merawatnya. Perhatikan bahwa prinsipnya adalah 'menghormati
otonomi', bukan 'otonomi'.
2. Beneficence
Prinsip ini mengharuskan dokter untuk bertindak demi kepentingan terbaik pasien.
Oleh karena apa yang dianggap sebagai manfaat (dan kerugian) mungkin berbeda
dari satu orang ke orang lain, maka dalam penerapannya prinsip ini sangat terkait
dengan prinsip menghormati otonomi. Jika kita menghormati otonomi seseorang,
maka kemungkinan besar kita akan melakukan berbagai upaya yang bermanfaat
untuk orang itu, sesuai dengan pandangan yang dianut oleh individu tersebut.
Dalam kedokteran, prinsip ini berjalan beriringan dengan prinsip non-maleficence
dan harus dipertimbangkan dalam hubungannya dengan prinsip tersebut
3. Non-maleficence
Prinsip ini mengacu pada kewajiban moral dokter untuk tidak membahayakan
pasien. Namun, hampir semua upaya untuk membantu pasien—melalui obat-
obatan, prosedur, dan bahkan kata-kata—membawa risiko bahaya. Oleh karena
itulah maka prinsip non-maleficence dapat digambarkan sebagai kewajiban untuk
upaya menghindari timbulnya cedera dan kerugian di pihak pasien. Doktrin
primum non nocere ('di atas segalanya, jangan membahayakan/menyebabkan
cedera') merupakan suatu istilah yang kurang akurat. Seorang dokter diperbolehkan
untuk melakukan tindakan yang menimbulkan cedera pada kondisi tertentu, seperti
ketika mengebor lubang di tengkorak pasien, sepanjang manfaat yang diperoleh
pasien melebihi kerugian dan cedera yang ditanggungnya. Oleh karena itu doktrin
yang lebih tepat yaitu dengan mengatakan primum non plus nocere quam
succurrere ('di atas segalanya, jangan menimbulkan cedera yang melebihi manfaat
yang bisa diperoleh pasien') (Sokol 2008).
4. Justice (Keadilan)
Prinsip keadilan mungkin merupakan prinsip yang paling kompleks. Ini merujuk
pada kumpulan kewajiban yang meliputi kewajiban untuk bertindak adil,
mendistribusikan sumber daya secara adil, dan menghormati hak asasi manusia
(rights-based justice) dan yurisdiksi (keadilan dilihat dari hukum yang berlaku).
Keempat prinsip diatas luas cakupannya, tapi dari tiap prinsip itu dapat diturunkan
aturan yang lebih spesifik sifatnya. Proses beralih dari prinsip umum menjadi aturan
panduan yang lebih bermanfaat dan spesifik, disebut spesifikasi. Oleh karena itu, dalam
[prinsip menghormati otonomi terdapat aturan-aturan turunannya seperti 'mendapatkan
persetujuan (informed consent)', 'menghormati kerahasiaan' dan 'mengatakan yang
sebenarnya'. Dibawah beneficence dan non-maleficence adalah aturan seperti 'memperoleh
keterampilan medis yang relevan' dan ‘tetap berusaha mengikuti perkembangan ilmu
yang up to date’ (menjaga level keterampilan medis), dan di bawah keadilan terdapat
sejumlah aturan seperti 'hormatilah hukum', 'hormatilah hak asasi manusia', dan 'patuhi
kode etik profesional Anda'.
Quality of life
Bneficience , non, respect autonomy
Prospek with therapy,
w/o thrapy, kematian dalam waktu singkat
efeksamping terapi fisik, bisa terjadi inhalasi/peradangan akibat oksigenasi, mentalnya,
bebear
Kasus 1
Seorang laki-laki sehat usia 75 tahun terpeleset dari tangga ketika sedang memperbaiki
atap rumahnya yang bocor. Pasien jatuh dari ketinggian 3,5 meter ke tanah sehingga
pingsan. Ketika paramedis tiba, pasien sadarkan diri tapi dalam kondisi bingung. Tanda-
tanda vitalnya stabil skor Glasgow Coma Scale 14. Pada pasien dipasangkan cervical
collar dan kemudian dibawa ke UGD. Segera setelah tiba di UGD kondisi pasien
memburuk dan berlanjut menjadi somnolen. Skor GCS turun dari 14 menjadi 10. Dokter
UGD menduga bahwa mungkin pasien mengalami cedera kepala yang signifikan dan
sedang dalam proses mengirim pasien untuk menjalani pemeriksaan CT scan ketika istri
pasien tiba. Kondisi pasien terus memburuk, skor GCS turun menjasdi 8. Dokter UGD
bersiap untuk melakukan intubasi , tetapi ketika dia mendiskusikan tindakan ini dengan
istri pasien, yang bersangkutan malah marah dan menyatakan bahwa suaminya telah
berwasiat yang menjelaskan bahwa, jika dia sakit parah, maka dia tidak ingin dilakukan
intervensi resusitasi, termasuk tindakan intubasi.
Tugas Mahasiswa
1. Temukanlah permasalahan etika/dilema etik pada kasus
tetapi ketika dia mendiskusikan tindakan ini dengan istri pasien, yang bersangkutan
malah marah dan menyatakan bahwa suaminya telah berwasiat yang menjelaskan
bahwa, jika dia sakit parah, maka dia tidak ingin dilakukan intervensi resusitasi,
termasuk tindakan intubasi.
Kasus 2
Seorang wanita 37 tahun datang ke UGD melaporkan bahwa 2 jam sebelumnya dia
memasukkan kondom berisi NAPZA (golonga metamfetamin) kedalam vaginanya.
kondom berisi NAPZA ini sebenarnya akan diselundupkan ke suaminya yang berada di
lembaga pemasyarakatan. Pasien menyatakan dia tidak bisa mengeluarkan kondom
tersebut. Dia meminta dokter untuk memeriksa dan mengeluarkan kondom tersebut. Dari
riwayat medis sebelumnya diketahui bahwa pasien untuk pernah menggunakan obat
secara intravena serta obat untuk gangguan cemas. Pada pemeriksaan, dokter
mendiagnosis pasien dalam kondisi intoksikasi ringan-sedang. Tanda-tanda vitalnya
adalah: nadi 105 kali/menit; TD 135/90 mm Hg; RR 28 napas/menit; SpO2 97%. Pupil
berukuran sedang dan reaktif. Pada pemeriksaan kulit ditemukan luka bekas jarum suntik.
Hasil pemeriksaan fisik lain tidak ditemukan kelainan yang bermakna.