Anda di halaman 1dari 30

Bagian Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Pedoman Dilema Etik Klinis di Rumah Sakit Tipe A

Oleh:
VICTOR JULIUS
1310019006

Pembimbing:
dr. Cort Darby Tombokan, Sp F, SH

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2014

BAB I
PENDAHULUAN

Saat ini masalah yang berkaitan dengan etika (ethical dilemmas) telah menjadi masalah
utama disamping masalah hukum, baik bagi pasien, masyarakat maupun pemberi asuhan
kesehatan. Masalah etika menjadi semakin kompleks karena adanya kemajuan ilmu dan
tehnologi yang secara dramatis dapat mempertahankan atau memperpanjang hidup manusia.
Pada saat yang bersamaan pembaharuan nilai sosial dan pengetahuan masyarakat menyebabkan
masyarakat semakin memahami hak-hak individu, kebebasan dan tanggung jawab dalam
melindungi hak yag dimiliki. Adanya berbagai faktor tersebut sering sekali membuat tenaga
kesehatan menghadapi berbagai dilema. Setiap dilema membutuhkan jawaban dimana
dinyatakan bahwa sesuatu hal itu baik dikerjakan untuk pasien atau baik untuk keluarga atau
benar sesuai kaidah etik.
Berbagai permasalahan etik yang dihadapi oleh tenaga kesehatan telah menimbulkan konflik
antara kebutuhan pasien (terpenuhi hak) dengan harapan tenaga kesehatan dan falsafah ketenaga
kesehatanan. Contoh nyata yang sering dijumpai dalam praktek ketenaga kesehatanan adalah
euthanasia, penolakan tindakan transfusi darah, dan penolakan transplantasi organ. Menghadapi
dilema semacam ini diperlukan penanganan yang melibatkan seluruh komponen yang
berpengaruh dan menjadi support sistem bagi pasien.

BAB II
ISI

DEFINISI ETIK
Etik adalah norma-norma yang menentukan baik-buruknya tingkah laku manusia, baik
secara sendirian maupun bersama-sama dan mengatur hidup ke arah tujuannya ( Pastur scalia,
1971 ). Etika juga berasal dari bahasa yunani, yaitu Ethos, yang menurut Araskar dan David
(1978) berarti kebiasaaan . model prilaku atau standar yang diharapkan dan kriteria
tertentu untuk suatu tindakan. Penggunaan istilah etika sekarang ini banyak diartikan sebagai
motif atau dorongan yang mempengaruhi prilaku. (Mimin. 2002).
Dari pengertian di atas, etika adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana
sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat yang menyangkut aturan-aturan atau prinsipprinsip yang menentukan tingkah laku yang benar, yaitu : baik dan buruk serta kewajiban dan
tanggung jawab
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga
etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku
profesional. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang
digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang
seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain. Sehingga juga dapat disimpulkan bahwa
etika mengandung 3 pengertian pokok yaitu : nilai-nilai atau norma moral yang menjadi
pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku, kumpulan azas atau
nilai moral, misalnya kode etik dan ilmu tentang yang baik atau yang buruk (Ismaini, 2001)
TIPE-TIPE ETIKA
1. Bioetik
Bioetika merupakan studi filosofi yang mempelajari tentang kontroversi dalam etik,
menyangkut masalah biologi dan pengobatan. Lebih lanjut, bioetika difokuskan pada

pertanyaan etik yang muncul tentang hubungan antara ilmu kehidupan, bioteknologi,
pengobatan, politik, hukum, dan theology. Pada lingkup yang lebih sempit, bioetik merupakan
evaluasi etika pada moralitas treatment atau inovasi teknologi, dan waktu pelaksanaan
pengobatan pada manusia. Pada lingkup yang lebih luas, bioetik mengevaluasi pada semua
tindakan moral yang mungkin membantu atau bahkan membahayakan kemampuan organisme
terhadap perasaan takut dan nyeri, yang meliputi semua tindakan yang berhubungan dengan
pengobatan dan biologi
2. Clinical ethics/Etik klinik
Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih memperhatikan pada masalah etik
selama pemberian pelayanan pada klien. Contoh clinical ethics: adanya persetujuan atau
penolakan, dan bagaimana seseorang sebaiknya merespon permintaan medis yang kurang
bermanfaat (sia-sia).
3.

Etik Tenaga kesehatanan


Bagian dari bioetik, yang merupakan studi formal tentang isu etik dan dikembangkan
dalam tindakan ketenaga kesehatanan serta dianalisis untuk mendapatkan keputusan etik.
Etika ketenaga kesehatanan dapat diartikan sebagai filsafat yang mengarahkan tanggung
jawab moral yang mendasari pelaksanaan praktek ketenaga kesehatanan.

Inti falsafah

ketenaga kesehatanan adalah hak dan martabat manusia, sedangkan fokus etika ketenaga
kesehatanan adalah sifat manusia yang unik (k2-nurse, 2009)
TEORI ETIK
Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu
tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang
berlainan. Beberapa teori etik adalah sebagai berikut:
1.

Utilitarisme
Sesuai dengan namanya Utilitarisme berasal dari kata utility dengan bahasa latinnya utilis
yang artinya bermanfaat. Teori ini menekankan pada perbuatan yang menghasilkan
manfaat, tentu bukan sembarang manfaat tetapi manfaat yang banyak memberikan

kebahagiaan kepada banyak orang. Teori ini sebelum melakukan perbuatan harus sudah
memikirkan konsekuensinya terlebih dahulu.
2.

Deontologi
Deontology berasal dari kata deon dari bahasa yunani yang artinya kewajiban. Teori ini
menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan baik jika didasari atas
pelaksanaan kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban sudah melakukan kebaikan. Teori
ini tidak terpatok pada konsekuensi perbuatan dengan kata lain teori ini melaksanakan terlebih
dahulu tanpa memikirkan akibatnya. (Aprilins, 2010)

DILEMMA ETIK KLINIS


Dilema adalah suatu keadaan dimana tenaga kesehatan dihadapkan pada dua alternative
pilihan, yang kelihatannya sama atau hampir sama dan membutuhkan pemecahan masalah.
Dilema muncul karena terbentur pada konflik moral, pertentangan batin, atau pertentangan
antara nilai-nilai yang diyakini tenaga medis dengan kenyataan yang ada
Dilema etik klinis merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang
memuaskan atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan
sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang
etis, seseorang harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional tatapi pada
prinsip moral dalam menyelesaiakan masalah etik (Thompson & Thompson, 1985).
Dilema etik klinis yang sering ditemukan dalam praktek ketenaga kesehatanan dapat bersifat
personal ataupun profesional. Dilema menjadi sulit dipecahkan bila memerlukan pemilihan
keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis. Sebagai tenaga profesional tenaga kesehatan
kadang sulit karena keputusan yang akan diambil keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan
keburukan. Pada saat berhadapan dengan dilema etis juga terdapat dampak emosional seperti
rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan keputusan rasional yang harus dihadapi,
ini membutuhkan kemampuan interaksi dan komunikasi yang baik dari seorang tenaga
kesehatan.
Dilema etik klinis juga dapat berarti sebuah situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan
mengenai perilaku yang layak harus di buat. (Arens dan Loebbecke, 1991: 77). Untuk itu
diperlukan pengambilan keputusan untuk menghadapi dilema etika tersebut. Kerangkan

pemecahan dilema etik banyak diutarakan dan pada dasarnya menggunakan kerangka proses
ketenaga kesehatanan/pemecahan masalah secara ilmiah (Thompson & Thompson, 1985).
Banyak teori tentang pemecahan dilemma etik klinis secara ilmiah. Salah satunya adalah
dengan cara ethical methode of reasoning dimana merupakan langkah-langkah untuk
memutuskan dilema etik denagn menggunakan cara berfikir kritis untuk membuat keputusan
yang benar dalam menentukan tindakan kesehatan
Langkah-langkah Ethical Methode Of Resoning
a. Fact deliberation : pertimbangan terhadap fakta yang ada denagan cara

Case
Menentukan kasus yang akan ditelaah terlebih dahulau sambil memikirkan faktafakta yang ada

Deliberation of fact
Pengungkapan fakta dari kasus yang diangkat untuk diselesaikan

b. Value deliberation : pertimbanagan terhadap nilai yang ada di masyarakat

Identifikasi of problem
Menghubungkan masalah-masalah yang timbul dengan nilai-nilai yang di kandung
dalam kehidupan

Choice of main problem


Memilih pokok permasalahan dan mengaitkannya dengan aspek nilai kehidupan

The values of stake


Menentukan nilai yang merupakan poin utama dalam masalah ynag timbul

c. Duty deliberation : pertimbanagan atas kemungkinan yang akan terjadi dan menentukan
pilihan yang terbaik

Reflecting on the most challenging case


Pertimbangan terhadap kasus yang sedang dihadapi setelah di kaitkan dengan aspek
nilai yang ada

Reflecting on other case


Mempertimbangkan dengan kasus yang pernah terjadi sebelumnya

d. Testing consistensy : pertimbangan dengan membandingkan berdasarkan hukum yang


berlaku dan kemampuan kerja

e. Conclusion/ Final decision : keputusan akhir dari masalah


Ada pula cara penyelesaian dilemma etik klinis dengan melakukan enam pendekatan dapat
dilakukan orang yang sedang menghadapi dilema tersebut, yaitu:
1.

Mendapatkan fakta-fakta yang relevan

2.

Menentukan isu-isu etika dari fakta-fakta

3.

Menentukan siap dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi dilemma

4.

Menentukan alternatif yang tersedia dalam memecahkan dilema

5.

Menentukan konsekuensi yang mungkin dari setiap alternative

6.

Menetapkan tindakan yang tepat.

Dengan menerapkan enam pendekatan tersebut maka dapat meminimalisasi atau


menghindari rasionalisasi perilaku etis yang meliputi: (1) semua orang melakukannya, (2) jika
legal maka disana terdapat keetisan dan (3) kemungkinan ketahuan dan konsekuensinya. Pada
dilema etik ini sukar untuk menentukan yang benar atau salah dan dapat menimbulkan stress
pada tenaga kesehatan karena dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk
melakukannya. Dilema etik biasa timbul akibat nilai-nilai tenaga kesehatan, klien atau
lingkungan tidak lagi menjadi kohesif sehingga timbul pertentangan dalam mengambil
keputusan.
Penetapan keputusan terhadap satu pilihan, dan harus membuang yang lain menjadi sulit
karena keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan apalagi jika

tak satupun

keputusan memenuhi semua kriteria. Berhadapan dengan dilema etis bertambah pelik dengan
adanya dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan
keputusan rasional. Pada pasien dengan kasus-kasus terminal sering ditemui dilema etik,
misalnya kematian batang otak, penyakit terminal misalnya gagal ginjal. Dikenal beberapa teori
lain yang mengusung pendapat tentang cara penyelesaian dilemma etik klinis diantaranya:

Model Pemecahan masalah (Megan, 1989)

Mengkaji situasi

Mendiagnosa masalah etik moral

Membuat tujuan dan rencana pemecahan

Melaksanakan rencana

Mengevaluasi hasil

Kerangka pemecahan dilema etik (Kozier & Erb, 2004 )

Mengembangkan data dasar.

1. Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana keterlibatannya


2. Apa tindakan yang diusulkan
3. Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
4. Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.

Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut

Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan


mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut

Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan
yang tepat

Mengidentifikasi kewajiban tenaga kesehatan

Membuat keputusan

Model Murphy dan Murphy

Mengidentifikasi masalah kesehatan

Mengidentifikasi masalah etik

Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan

Mengidentifikasi peran tenaga kesehatan

Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan

Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan

Memberi keputusan

Mempertimbangkan bagaimanan keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah umum


untuk tenaga kesehatanan klien

Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan
informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya

Langkah-Langkah Menurut Purtilo dan Cassel ( 1981)

Mengumpulkan data yang relevan

Mengidentifikasi dilemma

Memutuskan apa yang harus dilakukan

Melengkapi tindakan

Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson ( 1981)


a.

Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang diperlukan,


komponen etis dan petunjuk individual.

b.

Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi

c.

Mengidentifikasi Issue etik

d. Menentukan posisi moral pribadi dan professional


e.

Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait.

f.

Mengidentifikasi konflik nilai yang ada

Langkah penyelesaian dilema etik menurut Tappen (2005)


a. Pengkajian
Hal pertama yang perlu diketahui tenaga kesehatan adalah adakah saya terlibat langsung
dalam dilema?. Tenaga kesehatan perlu mendengar kedua sisi dengan menjadi
pendengar yang berempati. Target tahap ini adalah terkumpulnya data dari seluruh
pengambil keputusan, dengan bantuan pertanyaan yaitu :
1. Apa yang menjadi fakta medik ?
2. Apa yang menjadi fakta psikososial ?
3. Apa yang menjadi keinginan klien ?
4. Apa nilai yang menjadi konflik ?
b. Perencanaan
Untuk merencanakan dengan tepat dan berhasil, setiap orang yang terlibat dalam
pengambilan keputusan harus masuk dalam proses. Thomson and Thomson (1985)
mendaftarkan 3 (tiga) hal yang sangat spesifik namun terintegrasi dalam perencanaan,
yaitu :

1. Tentukan tujuan dari treatment.


2. Identifikasi pembuat keputusan
3. Daftarkan dan beri bobot seluruh opsi / pilihan.
c. Implementasi
Selama implementasi, klien/keluarganya yang menjadi pengambil keputusan beserta
anggota tim kesehatan terlibat mencari kesepakatan putusan yang dapat diterima dan
saling menguntungkan. Harus terjadi komunikasi terbuka dan kadang diperlukan
bernegosiasi. Peran tenaga kesehatan selama implementasi adalah menjaga agar
komunikasi tak memburuk, karena dilema etis seringkali menimbulkan efek emosional
seperti rasa bersalah, sedih / berduka, marah, dan emosi kuat yang lain. Pengaruh
perasaan ini dapat menyebabkan kegagalan komunikasi pada para pengambil keputusan.
Tenaga kesehatan harus ingat Saya disini untuk melakukan yang terbaik bagi klien.
Tenaga kesehatan harus menyadari bahwa dalam dilema etik tak selalu ada 2 (dua)
alternatif yang menarik, tetapi kadang terdapat alternatif tak menarik, bahkan tak
mengenakkan. Sekali tercapai kesepakatan, pengambil keputusan harus menjalankannya.
Kadangkala kesepakatan tak tercapai karena semua pihak tak dapat didamaikan dari
konflik sistem dan nilai. Atau lain waktu, tenaga kesehatan tak dapat menangkap
perhatian utama klien. Seringkali klien / keluarga mengajukan permintaan yang sulit
dipenuhi, dan di dalam situasi lain permintaan klien dapat dihormati.
d. Evaluasi
Tujuan dari evaluasi adalah terselesaikannya dilema etis seperti yang ditentukan sebagai
outcome-nya. Perubahan status klien, kemungkinan treatment medik, dan fakta sosial
dapat dipakai untuk mengevaluasi ulang situasi dan akibat treatment perlu untuk dirubah.
Komunikasi diantara para pengambil keputusan masih harus dipelihara.
Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler dan
Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang esensial dalam
pelayanan klinik , yaitu :

1. Medical Indication
Pada topik Medical Indication dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi yang
sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi
medis ini ditinjau dari dari sisi etiknya, dan terutama manggunakan kaidah dasar
bioetik Beneficence dan Nonmaleficence. Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa
dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada doktrin
Informed consent.
2. Patient Preferrences
Pada topik Patient Preferrences kita memperhatikan nilai (value) dan penilaian
tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah
Autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat
volunteer sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat
keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dan
lain-lain.
3. Quality of Life
Topik Quality of Life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa, siapa, dan
bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar
prognosis, yang berkaitan dengan kaidah dasar bioetik yaitu Beneficence,
Nonmaleficence dan Autonomy.
4. Contextual Features
Prinsip dalam Contextual Features adalah Loyalty and Fairness. Disini dibahas
pertanyaan etik seputar aspek non medis yang mempengaruhi keputusan, seperti factor keluarga,
ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya dan faktor
hukum.
PRINSIP MORAL DALAM DILEMMA ETIK KLINIS
Prinsip-prinsip moral yang harus diterapkan oleh tenaga kesehatan dalam pendekatan
penyelesaian masalah / dilema etis adalah :

a. Otonomi
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan
memutuskan. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat
keputusan sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang dihargai.
Prinsip otonomi ini adalah bentuk respek terhadap seseorang, juga dipandang sebagai
persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional.
Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut
pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat tenaga kesehatan
menghargai hak hak pasien dalam membuat keputusan tentang tenaga kesehatanan
dirinya.
b. Benefisiensi
Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan juga
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau
kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Kadang-kadang dalam
situasi pelayanan kesehatan kebaikan menjadi konflik dengan otonomi.
c. Keadilan (justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan . Nilai ini direfleksikan dalam
praktek profesional ketika tenaga kesehatan bekerja untuk terapi yang benar sesuai
hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan
kesehatan (Geoffry hunt. 1994).
d. Non-malefisien
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya / cedera secara fisik dan psikologik.
Segala tindakan yang dilakukan pada klien.
e. Veracity (kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi
layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk
meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi

akurat, komprehensif dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan


materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan keadaan dirinya salama menjalani tenaga kesehatanan.
Walaupun demikian terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk
kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis pasien untuk pemulihan, atau
adanya hubungan paternalistik bahwa doctor knows best sebab individu memiliki
otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya.
Kebenaran adalah dasar dalam membangun hubungan saling percaya
f. Fidelity
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap
orang lain.

Tenaga kesehatan

setia pada komitmennya dan menepati janji serta

menyimpan rahasia pasien. Ketaatan, kesetiaan

adalah kewajiban seeorang untuk

mempertahankan komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan itu menggambarkan kepatuhan


tenaga kesehatan terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari
tenaga kesehatan

adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit,

memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.


g. Kerahasiaan (confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang klien harus
dijaga privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya
boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh
informasi tersebut kecuali jika diijin kan oleh klien dengan bukti persetujuannya. Diskusi
tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang
klien dengan tenaga kesehatan lain harus dicegah.
h. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab pasti
pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai

orang lain. Akuntabilitas

merupakan standar yang pasti yang mana tindakan seorang professional dapat dinilai
dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.

LANDASAN HUKUM
- UU kesehatan pasal 15 ayat 1
dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan pasien, dokter dapat melakukan
tindakan medis tertentu
Dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila ;

Indikasi medis mengharuskan diambilnya tindakan.

Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahllian dan kewenangan sesuai
dengan tanggung jawab profesi berdasarkan pertimbangan tim ahli.

Mendapatkan persetujuan pasien atau keluarganya

- Pasal 7 ayat 2 & 3( Peraturan Mententeri Kesehatan tahun 1989 tentang persetujuan tindakan
medik)
Tim medis dibolehkan untuk melakukan suatu tindakan untuk menyelamatkan pasien dalam
keadaan gawat darurat ana persetujuan informed consent.
- Permenkes no.585 tahun 1989
dokter harus menjelaskan informasi/penjelasan kepada pasien atau keluarganya diminta atau
tidak diminta
- Berdasarkan lafal sumpah dokter
nyawa dan kesehatan pasien merupakan prioritas utama dokter
ISU-ISU DILEMA ETIK KLINIS
Dilema etik klinis yang sering dihadapi oleh para tenaga medis di Indonesia antara lain adalah
a. Hak konstitusional wanita untuk melakukan aborsi
b. Bayi tabung
c. Transplantasi organ
d. Eutanasia

Beberapa contoh yang dapat dikemukakan tentang isu etika biomedis dalam arti pertama
(bioetika) adalah antara lain terkait dengan: kegiatan rekayasa genetik, teknologi reproduksi,
eksperimen medis, donasi dan transpalasi organ, penggantian kelamin, eutanasia, isu-isu pada
akhir hidup, kloning terapeutik dan kloning repraduktif. Sesuai dengan definisi di atas tentang
bioetika oleh International Association of Bioethics, kegiatan-kegiatan di atas dalam pelayanan
kesehatan dan ilmu-ilmu biologi tidak hanya menimbulkan isu-isu etika, tapi juga isu-isu sosial,
hukum, agama, politik, pemerintahan, ekonomi, kependudukan, lingkungan hidup, dan mungkin
juga isu-isu di tenaga kesehatan lain.
Dengan demikian, identifikasi dan pemecaha masalah etika biomedis dalam arti tidak
hanya terbatas pada kepedulian internal rumah sakit saja-misalnya Komite Etika Rumah Sakit
dan para dokter saja seperti halnya pada penanganan masalah etika medis tradisionalmelainkan kepedulian dan tenaga kesehatang kajian banyak ahlimulti- dan inter-displiner tentang
masalah-masalah yang timbul karena perkembangan tenaga kesehatang biomedis pada skala
mikro dan makro, dan tentang dampaknya atas masyarakat luas dan sistem nilainya, kini dan
dimasa mendatang (F.Abel,terjemahan K.Bertens).
Studi formal inter-disipliner dilakukan pada pusat-pusat kajian bioetika yang sekarang
sudah banyak jumlahnya terbesar di seluruh dunia. Dengan demikian,identifikasi dan pemecahan
masalah etika biomedis dalam arti pertama tidak dibicarakan lebih lanjut pada presentasi ini.
Yang perlu diketahui dan diikuti perkembangannya oleh pimpinan rumah sakit adalah tentang
fatwa pusat-pusat kajian nasional dan internasional,deklarasi badan-badan internasional seperti
PBB, WHO, Amnesty International, atau fatwa Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional
(diIndonesia;AIPI) tentang isu-isu bioetika tertentu, agar rumah sakit sebagai institusi tidak
melanggar kaidah-kaidah yang sudah dikonsesuskan oleh lembaga-lembaga nasional atau
supranasional yang terhormat itu. Dan jika terjadi masalah bioetika dirumah sakit yang belum
diketahui solusinya, pendapat lembaga-lembaga demikian tentu dapat diminta.
Seperti sudah disinggung diatas, masalah etika medis tradisional dalam pelayanan medis
dirumah sakit kita lebih banyak dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya malpraktek, terutama
oleh dokter. Padahal, etika disini terutama diartikan kewajiban dan tanggung jawab institusional
rumah sakit. Kewajiban dan tanggung jawab itu dapat berdasar pada ketentuan hukum (Perdata,
Pidana, atau Tata Usaha Negara) atau pada norma-norma etika.

ABORSI
Aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mencapai viabilitas dengan usia
kehamilan < 22 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram.
Aborsi dan Kehamilan tidak diinginkan (KTD) merupakan permasalahan yang terabaikan
dibanyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebagai tenaga kesehatan yang menyatu
dengan masyarakat, tenaga kesehatan sering didatangi oleh perempuan dengan masalah ini.
Penyebab terjadinya aborsi dan KTD : korban perkosaan, pengetahuan yang kurang tentang
kesehatan reproduksi, hingga kegagalan kontrasepsi. Menghadapi

masalah tersebut tenaga

kesehatan harus berperang antara keinginan menolong dengan hati nurani yang bertentangan,
belum lagi hukum yang melarang tindakan aborsi.
Menolak

atau tidak peduli pada perempuan yang mengalami permasalahan dengan KTD

seringkali berdampak fatal. Banyak kejadian yang menyebabkan perempuan cari jalan pintas
dengan melakukan aborsi tidak aman. Aborsi tidak aman bisa dilakukan oleh perempuan itu
sendiri, orang lain yang tidak memiliki keterampilan medis, tenaga kesehatan yang tidak
memenuhi standar kemampuan dan kewenangan.
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu :

Aborsi Spontan / Alamiah : berlangsung tanpa tindakan. Kebanyakan disebabkan karena


kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.

Aborsi Buatan / Sengaja : pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu


sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun
pelaksana aborsi.

Aborsi Terapeutik / Medis : pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi
medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah
tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon
ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang
matang dan tidak tergesa-gesa.

Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk turut andil, upaya untuk
menurunkan kematian ibu dengan aborsi :
a.

Mencegah terjadinya KTD dengan cara :

1)

melakukan advokasi kemasyarakat tentang isu - isu kespro

2)

consent inform kepada klien kontrasepsi

b.

Melakukan konseling pada perempuan dengan masalah KTD, tanpa sikap menghakimi

c.

Sampaikan informasi yang diperlukan, misalnya :

1) Prosedur aborsi yang aman, kemungkinan efek samping


2) Mcam aborsi tidak aman dan dampaknya
3) Resiko dari setiap keputusan yang diambil klien
4) Cara mencegah KTD dikemudian hari
d.

Untuk kasus - kasus tertentu (KTD akibat perkosaan) / klien tetap memutuskan ingin
mengakhiri kehamilannya, rujuk klien kepada tenaga kesehatan yang memiliki keahlian
dan keterampilan untuk tindakan aborsi yang aman.

EUTHANASIA
a. Pengertian
Euthanasia berasal dari Bahasa Yunani yaitu : -, eu yang artinya "baik", dan
, thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau
hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit
yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring
dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan tenaga kesehatanan atau tindakan
medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya
dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat
selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
b. Kategori Euthanasia
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :

Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri
hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa
yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa
mematikan tersebut adalah tablet sianida.

Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan
sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan
dengan sadar untuk menerima tenaga kesehatanan medis meskipun mengetahui bahwa

penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan


secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non
agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang
bersangkutan.

Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang
pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang
dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak
memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi
yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat
penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian.
Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah
sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga

yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena


ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien
yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit
untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan
meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.
c. Euthanasia Ditinjau dari Sudut Pemberian Izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :

Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan
dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat
disamakan dengan pembunuhan.

Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi
bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.
Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk
mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien
(seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab
beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.

Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini
juga masih merupakan hal kontroversial.
d. Euthanasia Ditinjau Dari Sudut Tujuan

Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :


1) Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
2) Eutanasia hewan
3) Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, bentuk lain eutanasia agresif secara sukarela
Di Indonesia tindakan eutanasia tidak dibenarkan menurut undang-undang, tujuan dari
eutanasia aktif adalah mempermudah kematian klien. Sedangkan eutanasia pasif bertujuan untuk
mengurangi rasa sakit dan penderitaan klien namun membiarkannya dapat berdampak pada
kondisi klien yang lebih berat bahkan memiliki konsekuensi untuk mempercepat kematian. Batas
kedua hal tersebut kabur bahkan sering kali merupakan hal yang membingungkan bagi
pengambil keputusan tindakan ketenaga kesehatanan (Priharjo, 1995).
Eutanasia aktif merupakan tindakan yang melanggar hukum dan dinyatakan dalam
KUHP pasal 338, 339, 345 dan 359.
Hak Individu yang akan meninggal:
1. Hak diperlakukan sebagaimana manusia hidup sampai ajal tiba
2. Hak untuk mempertahankan harapananya, tidak peduli apapun perubahan yang terjadi
3. Hak untuk mengekspresikan perasaan dan emosinya sehubungan dengan kematian yang
sedang dihadapinya sesuai dengan kepercayaannya.
4. Hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan tenaga
kesehatanannya

5. hak untuk memperoleh perhatian dalam pengobatan dan tenaga kesehatanan secara
berkesinambunagn walaupun tujuan penyembuhannya harus diubah menjadi tujuan
memberikan rasa nyama.
6. Hak untuk tidak meninggal dalam kesendirian
7. Hal untuk bebas dari rasa sakit
8. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaannya secara jujur
9. Hak untuk memperoleh bantuan dari tenaga kesehatan atau medis untuk keluarga yang
ditinggal agar dapat menerima kematiannya
10. Hak untuk meninggal dalam keadaan damai dan bermartabat
11. Hak untuk tetap dalam kepercayaan atau agamanya dan tidak diambil keputusan yang
bertentang dengan kepercayaan yang dianutnya
12. Hak untuk memperdalam dan meningkatkan kepercayaannya, apapun artinya bagi orang
lain
13. Hak untuk mengharapkan bahwa kesucian raga manusia akan dihormati setelah yang
bersangkutan meninggal.
ADOPSI
Adopsi berasal dari kata adaptie dalam bahasa Belanda. Menurut kasus hukum berarti
Pengangkatan seorang anak untuk anak kandungnya sendiri. Dalam bahasa Malaysia dipakai
kata adopsi, berarti anak angkat atau mengangkat anak. Sedangkan dalam Bahasa Inggris,
Edoft (Adaption), berarti pengangkatan anak atau mengangkat anak. Dalam bahasa Arab
disebut Tabanni yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan Mengambil Anak
Angkat.
Sistim Hukum yang Mengatur Adopsi / Pengangkatan Anak
1)

Hukum Barat (BW)

Dalam kitab UU Hukum Perdata (KUHP) tidak ditentukan satu

ketentuan yang mengatur

masalah adopsi atau anak angkat yang ada hanyalah ketentuan tentang pengangkatan anak di luar

kawin, seperti yang diatur dalam buku BW hal XII bagian ketiga, pasal 280-289, tentang
pengakuan anak diluar kawin. Karena tuntutan masyarakat, maka dikeluarkan oleh Pemerintah
Hindia Belanda : Staats Blad no : 124/1917, khusus pasal 5-15, yg mengatur masalah adopsi
anak / anak angkat.
2) Pasal 8 menyebutkan bahwa ada 4 syarat untuk pengangkatan anak :
a) Persetujuan orang yang mengangkat anak.
b) Jika anak diangkat adalah anak syah dari orangtuanya, diperlukan izin dari orangtuanya itu.
Jika bapaknya sudah wafat dan ibunya kawin lagi, kasus ada persetujuan dari walinya.
c) Jika anak yang diangkat lahir di luar perkawinan, izin

diperlukan dari orangtua yang

mengakui sebagai anaknya. Jika anak tidak diakui harus ada persetujuan dari walinya.
d) Jika anak yang akan diangkat sudah berusia 14 tahun, maka persetujuan adalah dari anak
sendiri.
TRANSPLANTASI
a. Pengertian
Transplantasi organ adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ
dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang
sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak befungsi pada
penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor. Donor organ dapat merupakan
orang yang masih hidup ataupun telah meninggal. Teknik transplantasi dimungkinkan untuk
memindahkan suatu organ atau jaringan tubuh manusia yang masih berfungsi baik, baik dari
orang yang masih hidup maupun yang sudah meninggal ke tubuh manusia lain.
Dalam penyembuhan suatu penyakit, adakalanya transplantasi tidak dapat dihindari
dalam menyelamatkan nyawa si penderita. Dengan keberhasilan teknik transplantasi dalam usaha
penyembuhan suatu penyakit dan dengan meningkatnya keterampilan dokter dokter dalam
melakukan transplantasi. Upaya transplantasi mulai diminati oleh para penderita dalam upaya
penyembuhan yang cepat dan tuntas. Untuk mengembangkan transplantasi sebagai salah satu
cara penembuhan suatu penyakit tidak dapat bagitu saja diterima masyarakat luas. Pertimbangan
etik, moral, agama, hukum, atau sosial budaya ikut mempengaruhinya.
Transplantasi ditinjau dari sudut si penerima, dapat dibedakan menjadi :
1) Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh
orang itu sendiri.

2) Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke
tubuh orang lain.
3) Heterotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari suatu spesies ke tubuh
spesies lainnya.
b. Masalah Etik dan Moral dalam Transplantasi

Donor Hidup

Adalah orang yang memberikan jaringan / organnya kepada orang lain ( resepien ). Sebelum
memutuskan untuk menjadi donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang
dihadapi, baik resiko di tenaga kesehatang medis, pembedahan, maupun resiko untuk
kehidupannya lebih lanjut sebagai kekurangan jaringan / organ yang telah dipindahkan.
Disamping itu, untuk menjadi donor, sesorang tidak boleh mengalami tekanan psikologis.
Hubungan psikis dan omosi harus sudah dipikirkan oleh donor hidup tersebut untuk mencegah
timbulnya masalah.

Jenazah dan donor mati

Adalah orang yang semasa hidupnya telah mengizinkan atau berniat dengan sungguh sungguh
untuk memberikan jaringan / organ tubuhnya kepada yang memerlukan apabila ia telah
meninggal kapan seorang donor itu dapat dikatakan meninggal secara wajar, dan apabila
sebelum meninggal, donor itu sakit, sudah sejauh mana pertolongan dari dokter yang
merawatnya. Semua itu untuk mencegah adanya tuduhan dari keluarga donor atau pihak lain
bahwa tim pelaksana transplantasi telah melakukan upaya mempercepat kematian seseorang
hanya untuk mengejar organ yang akan ditransplantasikan.

Keluarga donor dan ahli waris

Kesepakatan keluarga donor dan resipien sangat diperlukan untuk menciptakan saling pengertian
dan menghindari konflik semaksimal mungkin atau pun tekanan psikis dan emosi di kemudian
hari. Dari keluarga resepien sebenarnya hanya dituntut suatu penghargaan kepada donor dan
keluarganya dengan tulus. Alangkah baiknya apabila dibuat suatu ketentuan untuk mencegah
tinmulnya rasa tidak puas kedua belah pihak.

Resipien

Adalah orang yang menerima jaringan / organ orang lain. Pada dasarnya, seorang penderita
mempunyai hak untuk mendapatkan tenaga kesehatanan yang dapat memperpanjang hidup atau
meringankan penderitaannya. Seorang resepien harus benar benar mengerti semua hal yang

dijelaskan oleh tim pelaksana transplantasi. Melalui tindakan transplantasi diharapkan dapat
memberikan nilai yang besar bagi kehidupan resepien. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa
hasil transplantasi terbatas dan ada kemungkinan gagal. Juga perlu didasari bahwa jika ia
menerima untuk transplantasi berarti ia dalam percobaan yang sangat berguna bagi kepentingan
orang banyak di masa yang akan datang.

Dokter dan tenaga pelaksana lain

Untuk melakukan suatu transplantasi, tim pelaksana harus mendapat parsetujuan dari donor,
resepien, maupun keluarga kedua belah pihak. Ia wajib menerangkan hal hal yang mungkin
akan terjadi setelah dilakukan transplantasi sehingga gangguan psikologis dan emosi di
kemudian hari dapat dihindarkan. Tnaggung jawab tim pelaksana adalah menolong pasien dan
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk

umat manusia. Dengan demikian, dalam

melaksanakan tugas, tim pelaksana hendaknya tidak dipengaruhi oleh pertimbangan


pertimbangan kepentingan pribadi.
c. Transplantasi Ditinjau dari Aspek Hukum
Pada saat ini peraturan perundang undangan yang ada adalah Peraturan Pemerintah No.
18 tahun 1981, tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat
atau Jaringan Tubuh Manusia. Pokok pokok peraturan tersebut adalah :
1) Pasal 10
Transplantasi alat untuk jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan
ketentuan yaitu harus dengan persetujuan tertulis penderita dan keluarganya yang trdekat setelah
penderita meninggal dunia.
2) Pasal 14
Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari
korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan pernyataan tertulis keluarga
terdekat.
3) Pasal 15
Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon
donor hidup, calon donor yang bersngkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang
merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi, akibat akibat dan
kemungkinan kemungkinan yang dapat terjadi. Dokter yang merawatnya harus yakin benar

bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan
tersebut.
4) Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas suatu kompensasi material
apapun sebagai imbalan transplantasi.
5) Pasal 17
Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia.
6) Pasal 18
Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk keadaan
dari luar negri
BAYI TABUNG
Bayi tabung adalah upaya jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dan sel telur diluar
tubuh (in vitro fertilization). Setelah terjadi konsepsi hasil tersebut dimasukkan kembali ke
dalam rahim ibu atau embrio transfer sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana
layaknya kehamilan biasa. Status bayi tabung ada 3 macam :
1.

Inseminasi buatan dengan sperma suami.

2.

Inseminasi buatan dengan sperma donor.

3.

Inseminasi bautan dengan model titipan.

Beberapa Negara memperbolehkan donor sperma bukan suami, dan diakui secara legal.
Kerahasiaan identitas donor yang bukan suami senantiasa dijaga, untuk menghindarkan masalah
dikemudian hari. Terkait dengan proses bayi tabung, pada tahun 1979, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pernah mengeluarkan fatwanya. Pada intinya, para ulama menyatakan bahwa bayi tabung
diperbolehkan selama sperma yang didonorkan berasal dari suami yang sah dari si perempuan
yang rahimnya hendak digunakan dalam proses bayi tabung. Hal itu karena memanfaatkan
teknologi bayi tabung merupakan hak bagi pasangan yang berikhtiar untuk memperoleh
keturunan. Namun, jika sperma dan rahim yang digunakan bukan berasal dari pasangan suami
istri yang sah, maka hal itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis di luar
pernikahan yang sah. Dengan kata lain, bisa terjadi rahim seorang perempuan dipinjamkan untuk
proses bayi tabung dari embrio seorang lelaki yang bukan suaminya. Nah, hal itu sama saja
dengan perzinaan.

INFORMED CONSENT
Informed consen adalah izin/pernyataan setuju dari pasien yang diberikan secara bebas, sadar,
dan rasional, setelah ia mendapat inform yang dipahami dari dokter tentang penyakitnya
Tujuan informed consent
a. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan
medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan
medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi
pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan
biaya tinggi atau over utilization yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan
medisnya.
b. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutantuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tidak terduga
dan bersifat negatif. Selama hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat
dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian atau
ketidaktahuan.
Fungsi informed consent
penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
menghindari penipuan dan miss leading oleh dokter
mendorong untukmengambil keputusan rasional
mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan

Jenis informed consent


a. informed consent adalah Consent yang diberikan pada pasien yang ditandatangani
langsung oleh pasien yang berangkutan (tanpa keluarga/wali).

b. Proksi consent adalah Consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu
sendiri dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi
(suami, istri, anak, ortu, saudara kandung, dll)
Bentuk informed consent
a. Tersirat ( Implied Consent) adalah persetujuan yang diberikan pasien secara terirat,
tanpa pernyataan tegas
Contoh : melakukan jahitan, penagmbilan darah untuk pemeriksaan laboratorium,
penyuntikan
Presumed consent adalah jika pasien dalam keadaan gawat darurat, dan dokter harus
lakukan tindakan segera sedangkan pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan
persetujuan, dan keluargapun tidak ada di tempat, maka dokter segera melakukan
tindakan berdasarkan Permenkes 585 tahun 1989, pasal 11. Dengan arti bila pasien
dalam keadaan yang sadar akan menyetujui tindakan medik yang dilakukan
b. Dinyatakan (Ekpress Consent) adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau
tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang
biasa
Yang berhak menandatangani informed consent
pasal 8

pasien dewasa 21 tahun atau sudah menikah dalam keadaan sehat

keluarga pasien bila umur pasien 21, pasien dengan gangguan jiwa, tidak sadar, pingsan
pasal 9

pasien < 21 tahun/ sudah menikah dibawah pengampuan dan gangguan mental,
persetujuan diberikan pada wali
pasal 10

pasien < atau belum menikah dan tidak punya wali/ wali berhalangan, persetujuan
diberikan pada keluarga atau induk semang/ yang bertanggung jawab pada pasien
pasal 11

dalam keadaan pasien tidak sadar dan tidak ada wali/ keluarga terdekat dan dalam
keadaan darurat yang perlu tindakan medik segera tidak dibutuhkan informed consent
dari siapapun

Syarat syah informed consent


diberikan secara bebas
diberikan pada orang yang sanggup memberikan perjanjian
telah dijelaskannya bentuk tindakan yang akan dilakukan sehingga pasien memahami
tindakan itu perlu dilakukan
mengenai sesuatu yang khas
tindakan itu juga dilakukan pada situasi yang sama
Tata cara informed consent
Permenkes RI NO 585/MenKesh/Per/IX/1989
1. Penjelasan langsung dari dokter yang melakukan tindakan medis dan dengan bahasa
yang mudah dimengerti oleh pasien
2. Tidak ada unsur dipengaruhi/ mengarahkan pasien pada tindakan tertentu, semua
putusan diserahkan pasien dan dokter hanya menyarankan dan menjelaskannya
3. Menyakan ulang kembali apakah sudah mengerti
4. Lembar informed consent diisi oleh pasien/keluarga/ wali
Jenis tindakan yang memerlukan Informed Consent
1. Tindakan-tindakan yang bersifat invasif dan operatif atau memerlukan pembiusan, baik
untuk menegakkan diagnosis maupun tindakan yang bersifat terapeutik.
2. Tindakan pengobatan khusus, misalnya radioterapi untuk kanker.
3. Tindakan khusus yang berkaitan dengan penelitian bidang kedokteran ataupun uji klinik
(berkaitan dengan bioetika)
Hal yang membatalkan informed consent
keadaan darurat medis

ancaman terhadap kesehatan masyarakat


pelepasan hak pemberian consen pada pasien
clinical privilage
pasien tanpa pendamping yang tidak kompeten memberikan consent
Aspek hukum yang mendasari informed consent adalah :

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 85/Menkes/Per/1X/1998 tentang persetujuan


tindakan medik. Pasal 1 (angka a) ialah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut.

UU No. 29 Tahun 2004 Pasal 45, persetujuan diberikan setelah diberikan penjelasan
kepada pasien.

IDI fatwa No 319- 1988

Dari sudut hukum pidana informed consent harus dipengaruhi dengan adanya pasal 351
KUHP tentang penganiyaan

Informasi dalam informed consent


a. Garis besar, seluk beluk penyakit yang diderita prosedur perawatan/ pengobatan yang
akan diberikan atau diteruskan
b. Resiko yang akan dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul
c. Prospek atau prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
d. Alternative metode perwatan atau pengobatan
e. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk member ikan persetujuan
f. Prosedur perawatan atau pengobatan yang akan dilakukana merupakan suatu
percobaan atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Jaringan Epidemiologi Nasional. (1995). AIDS dan Hukum / Etika. Seri


Jakarta : Jaringan Epidemi Nasional bekerja sama

Monogragi

No:05.

dengan The Ford Foundation.

Guwandi,J. (2002). Hospital Law (Emerging doctrines & Jurisprudence). Jakarta :

Balai

penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Guwandi,J. (1992). Trilogi Rahasia Kedokteran. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Marquis, B.L and Huston, Carol.J. (2006). Leadership Roles and Management Functions in
Nursing : Theory and Application. 5 th Ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Tappen, M.R., Sally A. Weiss, Diane K.W. (2004). Essentials of Nursing Leadership and
Management. 3 rd Ed. Philadelphia : FA. Davis Company.
Widiastuti, Rahayu.dkk.2012.Kamus Ketenaga kesehatanan. Jakarta: Prestasi Pustaka
Kozier, B., Erb G., Berman, A., & Snyder S. J. (2004). Fundamentalsof Nursing Concepts
Process and Practice. (7th ed). New Jerney: Pearson Education Line.
http://hadita19.wordpress.com/2011/10/12/delima-etik/
Guwandi, J. 2005. Rahasia Medis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Hanafiah, M.Jusuf dan Amri Amir. 1998. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.
EGC

Medan:

Achadiat CM.2007. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Guwandi J.2006. Dugaan Malpraktek Medik dan Draft RPP: Perjanjian Terapetik antara
Dokter dan Pasien. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Guwandi J. 2008, Informed Consent. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Hanafiah MJ, Amir Amri. 2007. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Guwandi J. 2004.Hukum Medik (medical Law). Jakarta: Balai Penerbit FKUI


Sampurna Budi,dkk. 2005. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar
Undang-Undang Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006

Anda mungkin juga menyukai