Anda di halaman 1dari 6

FARMAKOTERAPI STRESS PASCA TRAUMA

TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan dari pembelajaran ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan farmakoterapi
gangguan kejiwaan pada penyakit Stress Pasca Trauma.

PENGERTIAN

Gangguan stres pascatrauma (Post-Traumatic Stress Disorder/PTSD) adalah gangguan


kecemasan yang terjadi setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis
yang mengancam jiwa, menyakitkan secara fisik, atau menyebabkan perasaan ketakutan atau
kebingungan yang ekstrem.

Orang yang menderita PTSD mungkin mengalami berbagai gejala, termasuk:

1. Kilas balik dan kenangan menyakitkan dari peristiwa traumatis


2. Menghindari situasi atau orang yang dapat memicu ingatan akan peristiwa traumatis
3. Kesulitan tidur atau mimpi buruk tentang peristiwa traumatis
4. Kecemasan, ketakutan, atau kewaspadaan yang berlebihan
5. Perubahan suasana hati yang tiba-tiba dan perasaan putus asa, jengkel, atau marah.

PTSD dapat terjadi pada siapa saja, termasuk veteran perang, korban kekerasan seksual atau
kekerasan dalam rumah tangga, atau penyintas kecelakaan atau bencana alam. PTSD dapat
memengaruhi banyak aspek kehidupan seseorang, seperti hubungan, pekerjaan, dan
kesehatan mental dan fisik secara umum. Oleh karena itu, pengobatan PTSD harus
disesuaikan dengan kebutuhan individu dan melibatkan intervensi medis, psikologis, atau
sosial.

ETIOLOGI

Etiologi gangguan stres pasca-trauma (PTSD) melibatkan serangkaian faktor kompleks yang
dapat memengaruhi cara seseorang menangani dan merespons pengalaman traumatis.
Beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya PTSD antara lain:

1. Pengalaman traumatis yang parah atau berulang: Orang yang mengalami pengalaman
traumatis yang parah atau berulang cenderung lebih rentan terhadap PTSD daripada
orang yang mengalami peristiwa traumatis yang tidak terlalu parah atau terisolasi.
2. Faktor lingkungan: Faktor lingkungan seperti tingkat kekerasan dan kekerasan dalam
lingkungan sosial dan budaya yang merugikan juga dapat meningkatkan risiko
berkembangnya PTSD.
3. Faktor genetik: Ada bukti bahwa faktor genetik juga dapat memengaruhi risiko
seseorang untuk mengembangkan PTSD.
4. Faktor psikologis: Beberapa faktor psikologis, seperti riwayat gangguan kecemasan
atau depresi sebelumnya, juga dapat memengaruhi risiko berkembangnya PTSD.
5. Faktor sosial: Dukungan sosial yang buruk atau kurangnya dukungan dari keluarga
dan teman dapat meningkatkan risiko berkembangnya PTSD.

PTSD adalah kondisi yang kompleks dan multifaktorial. Seseorang yang pernah
mengalami pengalaman traumatis mungkin tidak selalu mengembangkan PTSD, dan berbagai
faktor dapat memengaruhi risiko seseorang. Oleh karena itu, penting untuk memahami faktor
risiko dan faktor pelindung yang terkait dengan PTSD, agar dapat memberikan perawatan
dan dukungan yang tepat bagi individu yang terkena.

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi PTSD (gangguan stres pasca-trauma) melibatkan mekanisme biologis,


neurologis, dan psikologis yang kompleks. PTSD terjadi ketika seseorang mengalami
peristiwa traumatis dan tidak mampu memproses pengalaman tersebut dengan baik, sehingga
memicu respons berlebihan dari sistem saraf dan hormon yang bertanggung jawab atas
respons stres.

Beberapa perubahan biologis yang terkait dengan PTSD meliputi:

1. Perubahan pada sistem saraf pusat: Orang dengan PTSD memiliki respon berlebihan
dari sistem saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatis. Hal ini dapat menyebabkan
perubahan keseimbangan hormon, detak jantung, dan tekanan darah.
2. Perubahan kadar hormon: Orang dengan PTSD sering mengalami perubahan kadar
hormon kortisol dan adrenalin, yang merupakan hormon yang bertanggung jawab atas
respons stres.
3. Perubahan fungsi otak: Orang dengan PTSD sering mengalami perubahan fungsi otak,
seperti di amigdala, hipokampus, dan korteks prefrontal. Hal ini dapat menyebabkan
kesulitan dalam mengatur emosi, memori dan pengambilan keputusan.
4. Perubahan sistem kekebalan: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan
PTSD sering mengalami perubahan pada sistem kekebalan, seperti peningkatan
peradangan dan penurunan jumlah sel darah putih.

Perubahan biologis ini dapat menyebabkan gejala yang terkait dengan PTSD, seperti kilas
balik, mimpi buruk, kecemasan, depresi, dan gejala fisik lainnya. Selain itu, faktor psikologis
seperti persepsi dan penilaian seseorang terhadap peristiwa traumatis, serta dukungan sosial
dan lingkungan juga dapat mempengaruhi patofisiologi PTSD.

LABORATORIUM

Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendiagnosis PTSD (post-


traumatic stress disorder), karena PTSD adalah kondisi psikologis yang didiagnosis melalui
observasi, wawancara, dan penilaian oleh ahli kesehatan mental.

Namun, terkadang tes laboratorium dilakukan untuk membantu mengidentifikasi


faktor yang dapat memperburuk gejala PTSD atau untuk menyingkirkan penyakit fisik yang
mendasarinya. Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada pasien PTSD
antara lain:

1. Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik umum dapat membantu menyingkirkan penyakit


fisik yang mendasari gejala Anda, seperti hipertensi, diabetes, atau penyakit tiroid.
2. Tes tingkat hormon: Tes darah dapat dilakukan untuk memeriksa kadar hormon
kortisol dan adrenalin. Kadar hormon yang tinggi dapat mengindikasikan respons
stres yang berlebihan pada pasien PTSD.
3. Tes fungsi tiroid: Gangguan kelenjar tiroid dapat menyebabkan gejala yang mirip
dengan PTSD. Oleh karena itu, tes fungsi tiroid dapat diperiksa untuk menyingkirkan
penyakit tiroid.
4. Tes fungsi hati: Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati PTSD dapat
memengaruhi fungsi hati. Oleh karena itu, tes fungsi hati dapat diperiksa secara
berkala pada pasien yang sedang menjalani pengobatan.
5. Pemeriksaan neurologis: Pemeriksaan neurologis dapat membantu menyingkirkan
kemungkinan gangguan neurologis yang mendasari gejala pasien.
Namun, penting untuk diingat bahwa diagnosis PTSD harus didasarkan pada observasi
dan penilaian oleh profesional kesehatan mental yang berpengalaman. Tes laboratorium
hanya digunakan sebagai alat bantu dalam mendukung diagnosis dan mengesampingkan
kemungkinan penyakit fisik yang mendasarinya.

TERAPI NON FARMAKOLOGI

Terapi non farmakologi untuk PTSD (post-traumatic stress disorder) terdiri dari
berbagai pendekatan psikoterapi yang dapat membantu pasien mengatasi gejala PTSD dan
meningkatkan kualitas hidup. Beberapa terapi non-farmakologis umum yang digunakan
untuk mengobati PTSD meliputi:

1. Terapi perilaku-kognitif (CBT): CBT adalah jenis terapi yang berfokus pada
hubungan antara pikiran, perasaan, dan perilaku. Dalam terapi CBT untuk PTSD,
pasien akan belajar mengidentifikasi pikiran negatif yang memicu gejala PTSD dan
menggantinya dengan pikiran yang lebih positif. Selain itu, pasien juga akan
mempelajari teknik relaksasi dan teknik pengendalian diri untuk mengatasi gejala
PTSD.
2. Terapi EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing): Terapi EMDR
menggunakan gerakan mata atau rangsangan sensorik lainnya untuk membantu pasien
mengurangi respons emosional yang terkait dengan pengalaman traumatis. Terapi ini
bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
3. Terapi Keluarga: Terapi keluarga dapat membantu pasien PTSD dan keluarganya
untuk meningkatkan komunikasi, membangun dukungan sosial, dan mengatasi
masalah keluarga yang dapat memperburuk gejala PTSD.
4. Terapi Seni: Terapi seni dapat membantu pasien untuk mengekspresikan perasaan
mereka dengan cara yang kreatif, seperti melalui lukisan, musik atau tulisan. Terapi
seni bertujuan untuk membantu pasien mengurangi gejala PTSD dan meningkatkan
kualitas hidup.
5. Terapi Latihan: Terapi latihan dapat membantu pasien dengan PTSD untuk mengatasi
stres dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental mereka. Terapi olahraga dapat
berupa olahraga aerobik, yoga, meditasi, atau aktivitas fisik lainnya.

TERAPI FARMAKOLOGI

Terapi farmakologis dapat digunakan sebagai bagian dari pengobatan PTSD


(gangguan stres pascatrauma), baik sendiri atau dikombinasikan dengan terapi
nonfarmakologis. Beberapa obat yang dapat digunakan untuk mengatasi gejala PTSD antara
lain:

1. Antidepresan: Antidepresan, seperti SSRI (Inhibitor Reuptake Serotonin Selektif) dan


SNRI (Inhibitor Reuptake Serotonin-Norepinefrin), dapat membantu mengurangi
gejala kecemasan dan depresi yang terkait dengan PTSD. Obat ini juga dapat
membantu meningkatkan mood dan kualitas tidur pasien.
2. Benzodiazepin: Obat ini dapat membantu mengurangi gejala kecemasan, tetapi karena
potensi ketergantungan dan efek samping lainnya, obat ini hanya direkomendasikan
untuk waktu yang singkat dan dalam dosis rendah.
3. Prazosin: Obat ini pada awalnya digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi,
tetapi juga dapat membantu mengurangi mimpi buruk dan gejala hypervigilance yang
terkait dengan PTSD.
4. Antipsikotik: Jenis obat ini dapat membantu mengurangi gejala psikotik yang terkait
dengan PTSD, seperti halusinasi atau delusi. Namun, obat ini hanya digunakan dalam
kasus yang jarang terjadi dan hanya pada pasien yang memiliki gejala psikotik yang
signifikan.

Algoritme farmakologis untuk mengobati PTSD (gangguan stres pascatrauma):

1. Evaluasi gejala: Diagnosis PTSD harus dikonfirmasi oleh dokter sebelum meresepkan
obat. Dokter perlu mengevaluasi gejala pasien, termasuk kecemasan, depresi,
insomnia, mimpi buruk, dan peningkatan reaktivitas. Pasien juga harus diuji untuk
kemungkinan komorbiditas dan kondisi medis lainnya.
2. SSRI atau SNRI: Antidepresan tipe SSRI atau SNRI adalah andalan pilihan dalam
pengobatan farmakologis PTSD. Obat ini membantu mengurangi kecemasan, depresi,
dan gejala reaktif lainnya yang terkait dengan PTSD. Misalnya sertralin dan
fluoxetine.
3. Benzodiazepin: Jenis obat ini dapat membantu mengurangi kecemasan dan membantu
pasien tidur. Namun, penggunaan benzodiazepin harus diawasi secara ketat karena
potensi ketergantungan. Misalnya alprazolam dan lorazepam.
4. Prazosin: Obat ini digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi dan juga terbukti
efektif dalam mengobati mimpi buruk yang terkait dengan PTSD. Dosis awal
biasanya rendah dan ditingkatkan secara bertahap.
5. Antipsikotik: Jenis obat ini dapat membantu mengurangi gejala psikotik yang terkait
dengan PTSD. Namun, penggunaan antipsikotik harus diawasi secara ketat karena
potensi efek sampingnya. Misalnya risperidone dan quetiapine.
6. Terapi kombinasi: Dalam beberapa kasus, mungkin diperlukan terapi kombinasi
beberapa obat untuk mengobati gejala yang kompleks atau sulit diobati.

DAFTAR PUSTAKA

Amir N. Buku ajar psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2013.

American Psychiatric Assosiation. Practice guideline for the treatment of patients with panic
disorder second edition. New York: American Psychiatric Assosiation; 2010.

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2023, Pharmacotherapy
Handbook, 12th Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.

Anda mungkin juga menyukai