Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Polip hidung merupakan penyakit inflamasi kronis yang terjadi pada
membran mukosa hidung dan sinus paranasalis, dengan karakteristik masa
edema lunak yang membentuk masa bertangkai dengan tangkai yang
ramping atau lebar.1 Sebagian besar polip ini berasal dari kompleks
osteomeatal (KOM) dan melebar ke rongga hidung.1,4
Prevalensi dari penderita polip nasi masih belum diketahui secara
pasti karena hanya sedikit laporan dari hasil studi epidemolologi serta
tergantung pada pemilihan populasi penelitian serta metode diagnostik
yang digunakan. Namun dari beberapa penelitian diketahui bahwa angka
kejadian dari polip hidung ini mencapai 1-4% dari total populasi di
seluruh dunia. Umumnya lelaki lebih banyak terkena penyakit ini
dibandingkan wanita, serta populasi dewasa juga lebih sering dibandingkan
dengan anak-anak. Seandainya polip hidung ini terjadi pada anak-anak,
maka harus dipikirkan kemungkinan adanya gangguan mukosiliar dan
penyakit imunodefisiensi, sebagai contoh pasien dengan cystic fibrosis
memiliki prevalensi 6-8% untuk mengalami polip hidung.2
Etiologi dari polip hidung ini sendiri masih merupakan subjek yang
terus menjadi sorotan dalam berbagai penelitian terkini. Berbagi faktor
khusunya inflamasi kronis hidung, faktor intoleransi aspirin, asma dan
riwayat rinitis alergi merupakan beberapa dari banyak faktor predisposisi
yang akan dijelaskan nantinya dalam referat ini.
Selain begitu banyak faktor predisposisi serta etiologinya, hal lain
yang juga menjadi sorotan terkini terkait polip hidung ini yaitu bagaimana
penanganan efektif yang dapat dilakukan. Selama ini penanganan yang
digunakan untuk polip hidung yaitu penanganan medikal dan operatif.
Kortikosteroid topikal merupakan pilihan obat yang digunakan untuk

1
mengurangi ukuran polip dan meningkatkan patensi pernafasan melalui
hidung serta digunakan untuk mencegah kekambuhan. Kemudian pada
pasien yang tidak memberikan respon dengan terapi ini atau memiliki
ukuran polip yang sangat besar, tindakan operatif merupakan pilihan
selanjutnya.2,3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Polip Nasal


Polip hidung adalah penyakit inflamasi kronis pada membran mukosa
hidung dan sinus paranasalis, dengan karakteristik adanya masa edema,
berwarna putih keabu-abuan yang membentuk masa bertangkai dengan
dasar tangkai tipis atau lebar.1,4 Umumnya sebagian besar polip ini berasal
dari celah kompleks osteomearal (KOM) yang kemudian tumbuh ke arah
rongga hidung.1
Secara luas didefinisikan, polip hidung adalah lesi abnormal yang berasal
dari bagian manapun dari mukosa hidung atau sinus paranasal. Polip adalah
hasil akhir dari berbagai proses penyakit di rongga hidung.7

2.2 Anatomi Hidung


Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala
nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat
dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago
ala mayor, 3) beberapa pasang kartilago ala minor dan 4) tepi anterior kartilago
septum.4

3
Gambar 1. Anatomy Hidung

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut

4
nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.4
Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang
nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise.4 Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis os etmoid,
(2) vomer, (3) Krista nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os palatine.

Gambar 2. Anatomi Hidung

Bagian tulang rawan adalah (1) kartilago septum (lamina kuadrangularis)


dan (2) kolumela.4 Bagian superior dan posterior disusun oleh lamona
prependikularis os etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum
(quadrilateral), premaksila, dan kolumna membranousa. Bagian inferior,
disusun oleh vomer, maksila, dan tulang palatine dan bagian posterior oleh
lamina sphenoidalis.6 Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang
rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula
oleh mukosa hidung.
5
Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di
belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka
media, lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. 4
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.4 Meatus medius
terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilnaris dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit
melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior.4 Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sphenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh
os maksila dan os palatum.4
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian
atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari arteri oftalmika, sedangkan a. oftalmika berasal
dari a. karotis interna.4

6
2.3 Fisiologi Hidung
Untuk fisiologi hidung terkait dengan polip, pertama kita harus
memahami Kompleks Osteomeatal (KOM), dimana struktur ini tersusun
dari prosessus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula
etmoid, agger nasi, dan ressesuss frontalis. KOM ini merupakan unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dasri sinus-sinus
anterior (maksila, etmoid anterior dan frontal). Karena fungsinya tersebut
maka seandainya terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan
terjadi perubahan yang signifikan pada sinus-sinus terkait serta perubahan
pada mukosa yang menjadi salah satu predisposisi terjadinya

Gambar 3. Kompleks Osteomeatal


Beberapa fungsi hidung juga antara lain :
1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik
2) Fungsi penghidu
3) Fungsi fonetik dalam resonansi suara, membantu proses bicara
4) Refleks nasal.

7
2.4 Epidemiology
Pada populasi umum, angka kejadian polip hidung ini pada orang
dewasa sekitar 1-4 %. Prevalensi ini jauh lebih rendah pada anak, dimana
seandainya ditemukan anak dengan polip hidung, maka kemungkinan besar
ada gangguan pada faktro mukosilier atau faktor imunologisnya, misalnya
pada anak dengan polip hidung cenderung disertai dengan danya cystic
fibrosis. Dengan pemeriksaan endoskopi yang teliti pada kadaver,
ditemukan seperempat dari individu memiliki polip tanda riwayat penyakit
sinonasal sebelumnya. Polip hidung biasanya terjadi pada rentang usia 30-
60 tahun dengan dominasi pada pria sekitar 2:1 sampai 4:1 dibandingkan
dengan wanita.1,2

2.5 Etiologi
Untuk lebih memahami etiologi dan patogenesis dari polip hidung,
maka terlebih dahulu sebaiknya kita melihat tampakan histologis dari
polip ini. Polip hidung umumnya ditandai dengan adanya edema jaringan
yang masif, yang terjadi dari karena kebocoran plasma melalui celah
endotel (endothelial junction) yang melebar pada pembuluh darah.
Berdasarkan temuan histologis, polip hidung dapat dibagi menjadi empat
tipe menurut Hellquist HB1,6 :
1) Eosinophilic edematous type: ditandai dengan edema pada stroma
dengan jumlah eosinofil yang banyak.
2) Chronic inflamatory or fibrotic type : ditandai dengan sel inflamasi
khususnya limfosit dan neurtrofil dan sedikit eosinofil
3) Seromucinous gland type : tipe I disertai dengan hiperplasia kelenjar
seromukus.
4) Atypical stromal type
Sedangkan secara umum, klasifikasi dari polip hidung ini dibagi
menjadi eosinophil dan neutrophil dominated inflammation, tergantung dari
sel inflamasi masa yang lebih dominan. Sebagian besar pada polip hidung,
eosinofil merupakan sel inflamasi yang paling sering ditemukan.1
8
Polip hidung merupakan penyakit multifaktorial, mulai dari infeksi,
inflamasi non infeksi, anatomis, serta abnormalitas genetik. Banyak teori
yang mengarahkan polip ini sebagai manifestasi dari inflamasi kronis,
oleh karena itu, tiap kondisi yang menyebabkan adanya inflamasi kronis
pada rongga hidung dapat menjadi faktor predisposisi polip. Kondisi-
kondisi ini seperti rinitis alergi ataupun non alergi, sinusitis , intoleransi
aspirin, astma, Churg-strauss syndrome, Cystic fibrosis, katagener syndrome,
young syndrome. Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :1

1) Alergi
Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga
hal, yaitu karena sebagian besar polip hidung terdiri dari eosinofil,
berhubungan dengan asma, serta temuan klinis pada nasal yang
menyerupai gejala dan tanda alergi. Paparan alergen udara menahun,
diduga berperan dalam terjadinya polip hidung melalui inflamasi yang
terus-menerus pada mukosa hidung.1
Ditemukan sekitar 7 % pasien dengan asma memiliki polip hidung.7
Akan tetapi ditemukan bahwa pada pasien non atopik angka kejadian
polip hidung juga lebih tinggi yaitu 13%. Akan tetapi studi lain
menunjukkan bahwa asma dengan onset yang telat (late onset asthma)
akan berkembang menjadi nasal polip sekitear 10-15%
2) Ketidak Seimbangan Vasomotor
Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak ditemukan
adanya tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan alergen yang
ditemukan. Akan tetapi pasien cenderung mengalami rinitis prodromal
sebelum pada akhirnya berkembang menjadi polip hidung. Polip hidung
bisanya memiliki vaskularisasi yang kurang dan berkurangnya inervasi
vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan dalam regulasi vaskular dan
peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan edema dan pembentukan
polip.

9
3) Bernouli Fenomena
Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan yang
selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan tekanan
negatif dalam KOM, yang mempengaruhi mukosa disekitarnya. Karena
tekanan negatif ini kemudia akan terjadi infalamasi mukosa yang
selanjutnya menjadi awal terbentuknya polip.
4) Terori Rupture Epithel
Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena
infeksi daspat menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang
selanjutnya akan membentuk polip. Defek dari faktor ini mungkin
semakin membesar karena pengaruh gravitasi atau drainase vena
mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning dengan pengamatan
mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang bermakna pada
pasien dengan polip hidung.
5) Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari
intoleransi aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat
sindrom klinis yang jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khusunya
aspirin dapat memicu terjadinya rinitis dan serangan asma. Respon
Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat berbeda pada pasien dengan
intoleransi aspirin dibandingkan normal. Dapat dibuktikan bahwa terjadi
perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan metabolit tertentu
yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene (Cys-LT). Perubahan ini
selanjutnya menyebabkan metabolisme asam arachidonat menjadi jalur
leukotriene inflamasi tinggi, yang selanjutnya akan mengurangi kadar
PGE2 (yang merupakan PG antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari
LTC4 synthase selanjutnya akan meningkatkan jumlah cysteinyl LTs,
menyebabkan respon inflamasi tak terkontrol dan inflamasi kronis.
6) Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif
pada kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena
10
mutasi gen tunggal pada kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis
transmembrane regulator (CFTR). Hal ini menyebabkan tidak adanya
cyclic AMP-regulated chloride chanel yang menyebabkan
impermeabilitas klorida dan peningkatan absorpsi natrium. Peningkatan
absorpsi natrium dan penurunan sekresi klorida menyebabkan
pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya menimbulkan
retensi ari, pembentukan polip. Defek migrasi protein CFTR juga
menyebabkan terjadinya inflamasi kronis skunder.
7) Nitric Oxide
Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran
besar dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi dari tone
vaskular, pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal
bebas biasanya dipertahankan dalam keadaan seimbang oleh antioxidan
defense system superoxide dismutase , catalase dan glutahione
peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat melebihi kemampuan
pertahanan d ari antioxidant, maka akan terjadi defek seluler, defek
jaringan, dan penyakit kronis. Ditemukan laporan akan meningkatnya
kadar nitric oxide dan penurunan scavangeing enzim pada pasien polip
hidung dibandingkan dengan kontrol, yang menunjukkan adanya
penumpukan radikal bebeas pada polip hidung.
8) Infeksi
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting terhadap
pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan pada epitel
dengan proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya terjadi pada
infeksi Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau
Bacteroides fragilis (semua jenis patogen yang sering ditemukan pada
rinosinusitis). Bagaimana granuloma menginduksi terjadinya polip
hidung masih belum benar-benar dipahami.

11
9) Superantigen Hypotensis
Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah
mukus didekat polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin,
staphylococcus enterotoxin A (SEA), staphylococcus enterotoxin B
(SEB) dan toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) yang akan berperan
sebagai supetantigen, menyebabkan aktifasi dan ekspansi klonal dari
limfosit pada lateral hidung. Aktifasi dari limfosit ini, akan
menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4), hal ini
akan menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophil muchosal disease.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antibodi spesifik IgE terhadap
SEA dan SEB sebanyak 50% pada penderita polip hidung.

2.6 Manifestasi Klinis


Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya
dapat menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga
sinus. Kemudian dirasakan hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang
jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia serta dapat juga dirasakan
nyeri kepala daerah frontal. Gejala lain yang dapat timbul tergantung dari
penyertanya, pada infeksi bakteri dapat disertai pula dengan post nasal
drip serta rinorea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah
bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur, dan
gannguan kualitas hidup.4
Dapat juga menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa
batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan
asma. Selain itu harus dicari riwayat penyakit lain seperti alergi, asma,
intoleransi aspirin.4,6

12
2.7 Diagnosis
Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung tersumbat,
rinorea, hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala skunder
seperti bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan
gangguan aktifitas.4
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior maupun posterior didapatkan masa pucat yang berasal
dari meatus media dan mudah digerakkan.4

Gambar 4. Polip Nasal

Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund :


Stadium 1 : polip masih terbatas pada meatus media,
Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus media, tampak pada
rongga hidung tertapi belum memenuhi rongga hidung,
Stadium 3 : polip masif.4

13
Pemeriksaan Penunjang
Naso-endoskopi
Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari rinoskopi
anterior, akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat dengan jelas.
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang
berasal dari ostium asesorius sinus maksila.

Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan latera) dapat
memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan
di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip hidung. Pemeriksaan
CT scan sangat bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan di hidung
dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip
atau sumbatan pada kompleks osteomeatal (KOM). CT scan harus
diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi
medikamnetosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan
tindakan bedah endoskopi.

2.8 Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui
penatalksanaan medis dan operatif. Tujuan dari penatalaksana dari polip
hidung yaitu:
1) Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung
2) Meminimalisir gelaja
3) Meningkatkan kemampuan penghidu
4) Menatalaksanai penyakit penyerta
5) Meningkatkan kulitas hidup
6) Mencegah komplikasi.3,6

14
Tatalaksana Medis
Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara
medis. Walaupun pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif,
serta tatalaksana agresif sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan.3
1. Antibiotik
Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang
selanjutnya menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat
mencegah pertumbuhan dari polip dan mengurangi perdarahan selama
operasi. Antibiotik yang diberkan harus langsung dapat memberikan
efek langsung terhadap spesies Staphylococcus, Streptococcus, dan
bakteri anaerob, yang merupakan mikroorganisme pada sinusitis
kronis.3,6
2. Corticosteroid
Topikal Korticosteroid
Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk
polip hidung. Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga
berguna pada pasien post-operatif polip hidung, dimana pemberiannya
dapat mengurangi angka kekambuhan. Pemberian dari kortikosteroid
topikal ini dapat dicoba selama 4-6 minggu dengan fluticasone
propionate nasal drop 400 ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam
mengatasi polip hidung ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat
mengurangi ukuran dari polip hidung dan keluhan hidung tersumbat.3
Sitemik Kortikosteroid
Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum
banyak diteliti. Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan terapi
kortikosteroid intranasal. Penggunaan fluocortolone dengan total dosis
560 mg selama 12 hari atau 715 mg selama 20 hari dengan pengurangan
dosis perhari disertai pemberian budesonide spray 0,2 mg dapat
mengurangi gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan sinus dan
mengurangi ukuran polip.3

15
Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik
tunggal yaitu methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5
hari, dan 8 mg selama 10 hari ternyata dapat memberikan efek yang
signifikan dalam mengurangi ukuran polip hidung serta gejala nasal
selain itu juga meningkatkan kemampuan penghidu.6
3. Terapi lainnya
Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek
simtomatik akan tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya.
Imunoterapi menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan
sinusitis fungal dan dapat berguna pada pasien dengan polip berulang.
Antagonis leukotrient dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi
aspirin3.

Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada
pasien yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal,
pasien dengan infeksi berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis,
selain itu pasien polip hidung disertai riwayat asma juga perlu
dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan guna patensi jalan nafas.
Tindakan yang dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip (polipektomi),
etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus maxila.
Untuk pengembangan terbaru yaitu menggunakan operasi endoskopik
dengan navigasi komputer dan instrumentasi power.

2.9 Prognosis
Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip hidung
ini baik (dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan tetapi
kekambuhan pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih
sering terjadi. Untuk itu follow-up pasca operatif merupakan pencegahan
dini yang dapat dilakukan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya sinekia
dan obstruksi ostia pasca operasi, bagaimana patensi jalan nafas setelah
16
tindakan serta keadaan sinus, pencegahan inflamasi persisten, infeksi, dan
pertumbuhan polip kembali, serta stimulasi pertumbuhan mukosa normal.
Untuk itu sangat penting dilakukan pemeriksaan endoskopi post operatif.
Penatalaksanaan lanjutan dengan intra nasal kortikosteroid diduga dapat
mengurangi angka kekambuhan polip hidung.3

17
BAB III
SIMPULAN

Polip hidung merupakan penyakit inflamasi kronis yang terjadi pada


membran mukosa hidung dan sinus paranasalis, dengan karakteristik masa
edema lunak yang membentuk masa pedunculated dengan tangkai yang
ramping atau lebar. Penyebab pasti dari polip ini sendiri masih belum bisa
dijelaskan secara pasti, namun diduga adanya inflamasi kronis menjadi faktor
penyebab utamanya.
Berbagai kondisi yang berhubungan dengan terbentuknya polip hidung ini
antara lain yaitu riwayat alergi, ketidak seimbangan vasomotor, fenomena
bernoulli, rupture epitel, cystic fibrosis, radikal bebas, serta adanya infeksi.
Pada pasien dengan polip hidung ditemukan keluhan-keluhan berupa
hidung tersumbat, rinorea, hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala
skunder seperti bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur
dan gangguan aktifitas. Dari rinoskopi anterior ditemukan adanya masa pucat
bertangakai. Kemudian pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto polos, CT
scan serta endoskopi untuk menegakkan diagnosa.
Penanganan pada polip hidung ini dapat dengan obat-obatan (medik) serta
dapat pula dengan tindakan operatif.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Kirtsreesatul Virat. Update on Nasal Polyps : Etopatogenesis. J Med


Assoc Thai. 2005 : 88 (12) :1966-72
2. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of
Nasal Polyps that Require Surgery. Iranian Journal Of
Otorhynolaryngology. 2012 : 2 (4) : 72-75
3. Assanasen paraya MD. Medical & Surgical Management of Nasal Polyps.
Current Option in Otolaryngology & Head and Neck Surgery. 2001.
9 : 27-36
4. Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. Hidung. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001, h. 88 – 95
5. Probst, R., Grevers, G., dan Iro, H. Anatomy, Physiology, and Immunology
of the Nose, Paranasal Sinuses, and Face. Dalam: Basic
Otorhinolaryngology. New York: Thieme, 2006, h. 2 – 13
6. Bachort C.Management of Nasal Polyps. Rhinology. 2005 : 18: 1-87
7. McKlay JE. Pediactric Nasal Polyps. Medscape. 2019

19

Anda mungkin juga menyukai