Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PLENO

BLOK 3.10 GANGGUAN JIWA


POST TRAUMATIC STRESS DISORDER PASCA TSUNAMI DI
INDONESIA TAHUN 2004

Disusun oleh:
Tutorial D
Sarah Kalis Salita 41150006
Komang Jourdy Kharisma P 41150016
Yemima Kenia Atmaja 41150019
Ariani Wanti Paluta 41150027
Wili Dirda Adventio 41150037
Willy Christian Putra Philipus 41150042
I Gusti Bagus Suryanegara 41150043
Ruth Prilia Gitasari 41150054
I Gusti Ayu Sherlyta Revania Ranuh 41150072
Velica Kressentia Yunus 41150093

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2017
DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………………………………………….. i

Daftar Isi…………………………………………………………………………………... ii

BAB I PENDAHULUAN : PTSD

1.1 Definisi…………………………………………....…………………………………… 1

1.2 Epidemiologi……………………………………...…………………………………… 1

1.3 Etiologi dan Patomekanisme…….…………………………………..………..…….… 2

1.4 Gambaran Klinis………………………………………………………………..……... 3

1.5 Diagnosis………………………………………………………………………..…….. 4

BAB II PEMBAHASAN

2.4 Tatalaksana……………………………………………………………………….…… 9

BAB III PENUTUP

3.1 Komplikasi……….…………………………………………………………………… 11

3.2 Prognosis……………………………………………………………………..……..… 11

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...……….. 12
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Definisi PTSD


PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) merupakan gangguan reaksi terhadap stress
berat pasca kejadian traumatic yang terjadi dalam hidup pasien sehingga menyebabkan
gangguan penyesuaian pada hidup pasien sehari-hari.

1.2 Epidemiologi
Di Indonesia belum terdapat angka kejadian yang pasti dari gangguan stress pasca
trauma. Penelitian terhadap 21135 anak dan remaja di Aceh Utara pada periode 2005-2007
menunjukkan 8,94% dari total anak dan remaja mengalami gangguan jiwa dan gangguan
stress pasca trauma menduduki peringkat pertama dari gangguan jiwa yang dijumpai
(24,6% pada populasi anak usia 4-10 tahun dan 35,6% pada populasi anak usia 11-17
tahun).

1.3 Etiologi dan Patomekanisme


Tipe kejadian yang cenderung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stress
pasca trauma dapat dikategorikan menjadi :
1. Riwayat mengalami tidak kekerasan interpersonal (kekerasan seksual, penyerangan
fisik, dan perampokan)
2. Riwayat mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancam nyawa, baik
berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang dibuat oleh manusia
3. Trauma berulang dan bersifat kronik (serangan teroris, penyiksaan, didiagnosis
mengalami penyakit berat yang mengancam kehidupan)
Karakteristik dari peristiwa traumatic yang dialami juga mempengaruhi jenis reaksi
psikologis yang ditimbulkannya, seperti :
 Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami
 Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang
 Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal)
 Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatic
tersebut, misalnya apakah ia juga meyelamatkan orang lain pada saat kejadian
atau dia hanya menyelamatkan dirinya sendiri
Setelah mengalami peristiwa traumatic, maka sistem keyakinan (beliefs) dan
latar belakang budaya yang dianut oleh individu yang bersangkutan, serta dukungan
social dari lingkungan sekelilingnya akan menjadi faktor-faktor risiko yang memegang
peranan penting bagi kemampuan individu untuk kembali menyesuaikan atau tidak
mampu menyesuaikan dirinya lagi.
Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons
biologis dan juga psikologis seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi
dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada
seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatic dapat menimbulkan
respons perasaan takut yang membuat otak (terutama lobus prefrontal dan sistem
limbik) dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang dialami
tersebut, yang selanjutnya mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam
hal ini, amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala dapat
mengaktivasi beberapa neurotransmitter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika
seseorang menghadapi peristiwa traumatic yang mengancam nyawa sebagai respons
tubuh untuk menghadapi peristiwa tersebut. Dalam beberapa milidetik setelah
mengalami peristiwa tersebut, amigdala dengan segera bereaksi dengan memberikan
sinyal tanda darurat kepada :
1. Sistem saraf simpatis (katekolamin)
2. Sistem saraf parasimpatis
3. Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (Aksis HPA)
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami
peristiwa traumatic, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah.
kondisi ini disebut sebagai reaksi fight or flight reaction. Reaksi ini juga akan
meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot skeletal sehingga
membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika
mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang optimal. Reaksi sistem
saraf parasimpatis berupa pembatasan reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa
jaringan tubuh, namun respons ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan
respons yang diberikan oleh sistem saraf simpatis.
Aksis HPA ikut terstimulasi oleh beberpa neuropeptide otak pada waktu orang
tersebut berhadapan dengan peristiwa traumatic. Hipotalamus selanjutnya
mengeluarkan Cortico-Releasing Factor (CRF) dan beberapa neuropeptide regulator
lainnya, sehingga merangsang kelenjar hipofisis untuk mensekresi pengeluaran ACTH
yang akhirnya mengeluarkan hormone kortisol dari kelenjar adrenal. Jika seseorang
mengalami tekanan, maka tubuh secara alamiah akan meningkatkan pengeluaran
katekolamin dan hormone kortisol; pengeluaran kedua zat ini tergantung pada derajat
tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin berperan dalam menyediakan energy
yang cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut.
Hormone kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan
beberapa sistem tubuh yang bersifat defensive yang timbul akibat dari peristiwa
traumatic yang dialami oleh individu. Dengan kata lain, hormone kortisol berperan
dalam proses terminasi dari respon tubuh dalam menghadapi tekanan. Peningkatan
hormone kortisol akan menimbulkan efek umpan balik negative pada aksis HPA
tersebut.
Pitman (2012) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung untuk
mengalami gangguan stress pasca trauma, mengalami gangguan dalam regulasi
neuropeptide dan juga katekolamin di otak pada waktu menghadapi peristiwa
traumatic. Katekolamin yang meningkat ini membuat individu tetap berada dalam
kondisi siaga terus menerus. Jika hormone kortisol gagal menghentikan proses ini,
maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadiya
konsolidasi berlebihan dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang dialami.
Aspek Psikodinamik dari Gangguan Stress Pasca Trauma
Model psikodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan stress pasca trauma
terjadi oleh karena reaktivasi dari konflik-konflik psikologis yang belum terselesaikan
di masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatic yang dialami maka konflik-konflik
psikologis yang belum diselesaikan di masa lalu teraktivasi kembali sehingga membuat
individu harus mengerahkan energy mentalnya untuk mengatasi kondisi tersebut.
Sistem ego bekerja lebih keras dan terus berusaha untuk mengatasi maslaah dan
meredakan kecemasan yang terjadi. Hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikodinamik
dari gangguan stress pasca trauma adalah:
1. Arti subjektif dari stressor yang dialami mungkin menentukan dampak dari
peristiwa traumatic yang dialami oleh seseorang
2. Kejadian traumatic yang dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik
psikologis akibat peristiwa traumatic di masa kanak
3. Peristiwa traumatic membuat seseorang gagal unutk meregulasi
keseimbangan ego, superego, serta id nya
4. Refleksi peristiwa traumatic yang dialami menimbulkan terjadinya
pengalihan dalam bentuk somatisasi atau aleksitimia
5. Beberapa sistem defensif yang sering digunakan pada individu dengan
gangguan stress pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi,
disosiasi, dan rasa bersalah
6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari
berbagai peran seperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang
omnipoten

1.4 Gambaran Klinis


PTSD dapat terjadi oleh karena konsekuensi langsung dari suatu stress akut yang berat
atau trauma berkelanjutan. Stress yang terjadi atau keadaan yang tidak nyaman tersebut
merupakan factor pemicu utama, dan tanpa hal tersebut gangguan ini tidak akan terjadi.
Gambaran klinis dari gangguan stress pasca trauma seringkali berupa adanya ingatan-
ingatan kembali dari peristiwa traumatic yang pernah dialami serta mendesak untuk timbul
ke alam sadar dan disertai oleh mimpi buruk. Individu tersebut dengan sengaja tampak
menghindari berbagai situasi atau kondisi yang dapat mengingatkan adanya peristiwa
traumatic tersebut.
Umumnya individu dengan gangguan stress pasca trauma datang ke dokter tidak
dengan gejala-gejala tersebut di atas; mereka umumnya datang dengan keluhan berupa
gejala-gejala depresi, ide-ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan sosialnya, kesulitan
tidur, penyalahgunaan alcohol/zat adiktif lainnya, serta berbagai keluhan fisik lainnya
(misalnya nyeri kronik, irritable bowel syndrome, dll). Gangguan stress pasca trauma
seringkali berhubungan dengan keluhan fisik dan penurunan taraf kesehatan secara umum,
sehingga kondisi-kondisi ini seringkali dijumpai pada pusat-pusat pelayanan kesehatan
primer.
Penelitian mendapatkan bahwa individu dengan gangguan stress pasca trauma 3 kali
lebih banyak mengunjungi praktek dokter umum atau pusat pelayanan kesehatan primer
jika dibandingkan dengan kunjungan ke professional kesehatan lainnya. Seperempat dari
jumlah individu yang berobat ke pusat pelayanan kesehatan primer melaporkan adanya
latar belakang problem emosi atau psikologis sebagai latar belakang keluhan-keluhan yang
mereka alami.

1.5 Diagnosis
Menurut PPDGJ-III, pedoman diagnostic PTSD adalah sebagai berikut :
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan telah timbul dalam kurun waktu 6
bulan setelah kejadian traumatic berat (masa laten yang berkisar antara beberapa
minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai
saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi
klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternative kategori gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau
mimpi-mimpi dari kejadian traumatic tersebut secara berulang-ulang kembali
(flashbacks).
3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
4. Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa, misalnya
saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0
(perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).
BAB II
PEMBAHASAN

Community Destruction and Traumatic Stress in Post-Tsunami Indonesia

Abstract
How are individuals affected when the communities they live in change for the worse? This
question is central to understanding neighborhood effects, but few study designs generate
estimates that can be interpreted causally. We address issues of inference through a natural
experiment, examining post-traumatic stress at multiple time points in a population
differentially exposed to the 2004 Indian Ocean tsunami. The data, from the Study of the
Tsunami Aftermath and Recovery, include interviews with over 16,000 Indonesian adults
before and after the event. These data are combined with satellite imagery, direct observation,
and informant interviews to examine the consequences of community destruction for post-
traumatic stress. Using multilevel linear mixed models, we show that community destruction
worsens post-traumatic stress, net of rigorous controls for individual experiences of trauma
and loss. Furthermore, the effect of community destruction persists over time and extends
across a wide range of community types.

LATAR BELAKANG
Post-Traumatic Stress Pasca Bencana
Bencana memengaruhi banyak dimensi kesehatan mental. stres pasca-trauma (PTSR),
didefinisikan sebagai adanya gejala rasa seperti mengalami kembali kejadian, menghindari
hal-hal yang mengingatkan pasien dengan kejadian, dan hyperarousal (American Psychiatric
Association 1994).
Dasar-dasar biologis PTSR sangat kompleks. Teori terbaru mengandaikan bahwa berkaitan
dengan kejadian biasa, proses penyimpanan dan pengambilan memori berbeda untuk
pengalaman yang menciptakan tekanan ekstrem, yang melibatkan disregulasi dalam beberapa
sistem biologis (Brewin dan Holmes 2003; Hageman, Andersen, dan Jorgenson 2001).
Bencana dapat menyebabkan disregulasi dalam sistem-sistem ini jika mereka menciptakan
rasa takut, horor, atau perasaan tidak berdaya, atau jika bencana menantang asumsi
fundamental tentang dunia dan rasa aman seseorang di dalamnya (Dalgleish 1999; Ehlers,
Maercker, and Boos 2000:45; Reynolds and Turner 2008).
Bencana dengan angka kematian tinggi dapat mengekspos individu ke tekanan ekstrem,
bahkan tanpa menimbulkan ancaman langsung terhadap kelangsungan hidup seseorang.
Bencana dapat menimbulkan perasaan dimana lari dari masalah menjadi tidak mungkin lagi,
yang menghasilkan rasa tidak berdaya (Kalayjian 1999; Zinner and Williams 1999). Peristiwa
bencana dengan angka kematian yang tinggi dapat menciptakan perasaan horor/takut,
kehilangan, dan kesedihan yang rumit (Walsh 2007; Zinner and Williams 1999). Selain itu,
ancaman terhadap integritas sumber daya sosial dan ekonomi menciptakan stres yang ekstrim
yang menantang asumsi mendasar tentang dunia (Hobfoll 1988).
Studi Sosiologi dan Psikologi mengenai Peran Komunitas bagi Keadaan Mental Pasca
Bencana
Sebelumnya, penelitian sosiologi terkait bencana fokus dalam pemahaman mengenai
perilaku/kondisi seseorang di bawah stress berat. Erikson (1976) mengembangkan ide-ide ini
di dalam penelitiannya pada banjir Buffalo Creek, dengan alasan bahwa gangguan komunitas
mempengaruhi kesejahteraan psikologis dari trauma individu. Erikson mengemukakan bahwa
dampak perubahan komunitas pada individu dapat muncul secara perlahan. Meskipun
kehancuran dalam komunitas terjadi segera, namun kesadaran bahwa peristiwa tersebut telah
mengganggu kehidupan komunitas terjadi secara bertahap. Erikson menggambarkan
terjalinnya kehancuran ekologis dengan penghancuran jaringan hubungan sosial di tempat
sebelum bencana, sehingga Buffalo Creek tampak dan terasa menjadi seperti tempat yang
sangat berbeda. Untuk Erikson, hilangnya komunitas adalah hilangnya orang dan kehilangan
tempat. Baru-baru ini, penelitian pada pasca bencana Katrina New Orleans menekankan
bagaimana kerusakan lingkungan mempersulit pemulihan individu dan komunitas (Miller
dan Riviera 2008: 9).

Studi pada Gangguan Kronis di Komunitas


Penelitian sosiologis pada gangguan kronis di komunitas dicirikan oleh ikatan antar
masyarakat yang lemah, kemiskinan, dan memburuknya infrastruktur fisik. Penelitian
lingkungan memberikan prediksi tentang dampak penghancuran yang disebabkan oleh
bencana di tingkat komunitas dan mengapa fase predisaster masyarakat dapat memengaruhi
dampak ini. Teori yang dibuat oleh para peneliti menyatakan bahwa komunitas yang
berfungsi secara maksimal akan baik dalaam pertumbuhan ekonomi, politik, dan socialnya
untuk melawan ancaman kehancuran pada komunitas. Kemiskinan, instabilitas tempat
tinggal, dan kepadatan populasi, serta heterogenitas diperkirakan dapat meningkatkan sumber
daya komunitas yang menghasilkan luaran negative. Penelitian terbaru lebih memfokuskan
komponen social dan fisik dari penyakit kronis. Studi di Los Angeles, Aneshensel dan Sucoff
(1996) menemukan bahwa status sosial ekonomi dan mobilitas penduduk yang rendah
meramalkan skala lingkungan yang “bahaya lingkungan” yang berkorelasi dengan depresi,
kecemasan, dan gangguan perilaku di kalangan remaja. Studi lingkungan sekarang secara
teratur memasukan pengukuran kerusakan fisik, yang disebut "gangguan yang terlihat" oleh
Sampson dan Raudenbush (1999). Isu penting yang didiskusikan pada penelitian di
lingkungan tempat tinggal adalah bahwa individu menentukan dimana mereka akan tinggal,
yang menyebabkan komplikasi berupa isolasi dari efek gangguan komunitas yang dapat
memengaruhi kesehatan. Perubahan setelah bencana merupakan perubahan akut dalam
elemen yang menjadi pusat penelitian lingkungan: ketidakstabilan tempat tinggal, gangguan
jaringan sosial, dan kerusakan infrastruktur. Jika atribut ini merupakan penyebab awal
gangguan mental, pergeseran akut harus menghasilkan dampak yang terukur pada kesehatan
mental. Dalam penelitian ini, dipertimbangkan hubungan ini di Indonesia, dimana
kemiskinan dan infrastruktur fisik yang tidak memadai diketahui menghambat kesehatan dan
ketika bencana berskala besar secara tiba-tiba menggeser bidang sosial dan fisik dari banyak
komunitas.
Indonesia dan Gempa Bumi dan Tsunami di Sumatra
Studi menggunakan data dari provinsi Indonesia di Aceh dan Sumatra Utara. Selama
beberapa dekade konflik terjadi di Aceh antara pemerintah Indonesia dan gerilyawan yang
berjuang untuk otonomi provinsi yang lebih besar, tetapi perjanjian damai mengakhiri konflik
sembilan bulan setelah tsunami. Di kedua provinsi, desa adalah ruang fisik dan sosial yang
menonjol dan teradministrasi dengan baik. Setiap desa memiliki pemimpin terpilih, yang
perannya termasuk mendukung kegiatan masyarakat dan memfasilitasi pelaksanaan program
jejaring pengaman sosial pemerintah. Di Aceh, Hurgronje (1906) mengamati fungsi komunitas
desa, mencatat bahwa “berbagai masalah keluarga seperti pernikahan, perceraian,
membesarkan anak yatim, atau perubahan tempat tinggal diperlakukan di Aceh sebagai
masalah yang mempengaruhi seluruh desa”(Hal. 65). Lembaga-lembaga tradisional
masyarakat tetap merupakan komponen penting dari kehidupan sehari-hari di Aceh dan
Sumatra Utara (Reid 2001: 9; Singarimbun 1967: 128).
Pada tanggal 26 Desember 2004, gempa Sumatra-Andaman melanda menghasilkan
pecahan seluas 1,200 km lempeng dasar laut dan memindahkan satu triliun ton air yang
menewaskan sekitar 160.000 orang (Lay et al. 2005; Rofi, Doocy, dan Robinson 2006). Di
pantai di kota Banda Aceh, kedalaman air adalah 9 m tetapi jarang melebihi ketinggian
bangunan dua lantai (Borrero 2005). Di beberapa daerah, air menyapu bersih permukaan bumi,
memusnahkan bangunan dan vegetasi. Di daerah lain, air mengendapkan lumpur, pasir, mayat,
dan puing-puing tetapi meninggalkan struktur utuh. Setelah gelombang mereda, daerah dataran
rendah tetap tergenang air (McAdoo, Richardson, dan Borrero 2007).

DATA DAN METODE


Data
Pada penilitan ini, peneliti menggunakan data yang berasal dari Study of the Tsunami
Aftermath and Recovery (STAR) yang merupakan survei longitudinal dari 27.000 orang
dewasa di daerah yang terkena tsunami, Aceh dan Sumatra Utara. Data-data pada STAR ini
dikumpulkan pada bulan Februari 2014 oleh Statistik Indonesia yang merupakan bagian dari
Survei Sosial Ekonomi Nasioanl (SUSENAS). Data ini memberikan sampel representatif dari
populasi sebelum terjadinya bencana
Berdasarkan responden SUSENAS, target responden penilitan ini terdiri dari anggota rumah
tangga yang berasal dari 11 kabupaten di Aceh dan 8 kabupaten di Sumatra Utara. Namun
setelah terjadinya tsunami ini diketahui 7% individu yang tercatat dalam SUSENAS tewas
dalam tsunami dan dari yang selamat 91% mau diwawancarai, 1% menolak, 8% tidak dapat
ditemukan meskipun sudah dilakukan pelacakan secara intensif.
Penelitian ini dilakukan sebanyak 2 gelombang pasca tsunami, dengan total individu 16.709
orang. Unsur utama dari desain penelitian ini adalah komunitas atau masyarakat survei yang
bervariasi dalam tingkat paparannya terhadap tsunami sehingga peneliti mengelompokkan
masyarakat kedalam tiga kelompok berdasarkan sejauh mana bencana merusak komunitas
tersebut, dari ringan ke berat.
Pada tiap komunitas, ketua komunitas akan diwawancarai mengenai kerusakan rumah, jalan,
jembatan, tanah, akuakultur, bangunan masyarakat, dan masjid. Disisi lain pengawas survei
(observer) juga akan melakukan pengamatan independen terhadap kerusakan yang terlihat.
Peneliti mengembangkan indeks kerusakan fisik yang dilaporkan dan diamati (korelasi
keduanya adalah 8).
Peneliti juga menggabungkan pengukuran genangan air dari gambaran satelit NASA dan
menggunakan indikator penggenangan berbasis satelit yang dibangun oleh pemerintahan AS
dan pusat data di Jerman (korelasi pengukuran berbasis satelit 0.69 hingga 0.74) serta
menggunakan indikator banjir yang dikembangkan oleh Dartmouth Flood Observatory
(korelasi antara indikator banjir dan pengukuran berbasis satelit lebih rendah, mulai dari 0.28
hingga 0.42). Pengukuran genangan air ini guna untuk mengukur sejauh mana tertutupnya
tanah oleh bangunan-bangunan pada gambaran sebelum tsunami yang kemudian berubah
menjadi tanah kosong pasca tsunami.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti mengklasifikasikan komunitas menjadi komunitas yang
tidak rusak, karena tidak menunjukan indikasi genangan atau kerusakan fisik; komunitas
dengan rusak berat, karena adanya kerusakan yang berat pada salah satu atau kedua indikasi
tersebut (genangan dan kerusakan fisik); dan komunitas yang rusak sedang.

Metode
Penelitian ini menghubungkan PTSD (Post Traumatic Syndrome Disorder) seseorang
terhadap paparan trauma dan kerusakan pada tingkat individu dan komunitas yang
dipengaruhi oleh pengalaman terkait bencana, karakteristik individu, dan bulan wawancara.
Karena penelitian ini merupakan penelitian terhadap individu yang terdapat dalam kelompok
survei maka peneliti memperkirakan model penelitian multilevel linear mixed model with
random intercepts and random slope. Pada penelitian ini menggunakan beberapa persamaan
(terdapat 4 persamaan). Persamaan I untuk mengetahui stres pasca trauma (PTSD) pada
seseorang dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh paparan trauma pada saat tsunami,
ukuran kehilangan keluarga dan harta benda, serta berapa bulan diwawancarainya sejak
tsunami. Pada spesifikasi kedua (persamaan II) peneliti mengukur tingkat kerusakan yang
disebabkan tsunami terhadap masyarakat atau komunitas pada saat tsunami. Spesifikasi
ketiga (persamaan III) peneliti mengamati apakah stres pasca trauma dipengaruhi oleh
interaksi antara karakteristik komunitas pre-tsunami dan ukuran trauma dari komunitas
tersebut. Sedangkan spesifikasi terakhir (persamaan IV) peneliti menilai apakah kerusakan
komunitas berhubungan dengan paparan individu dengan memperkenalkan interaksi lintas
level antara paparan individu dan komunitas.

Pengukuran
Semua responden berusia ≥ 15 tahun dalam survei pasca-tsunami ditanya tentang gejala-
gejala yang psikologis yang khas dari stres pasca-trauma: perilaku waspada berlebihan,
penghindaran, dan teringat kembali trauma. Saat ditanya tentang mengulang kenangan,
pikiran, mimpi, atau pengalaman tsunami yang mengganggu; merasa sangat kesal ketika
teringat akan tsunami; menghindari kegiatan atau situasi karena mereka mengingatkan
responden akan pengalaman yang membuat stres; merasa bahwa masa depan seseorang akan
dipersingkat; kesulitan jatuh atau tetap tertidur; merasa mudah marah atau marah-marah; dan
menjadi sangat waspada.
Skala untuk penghancuran komunitas yang disebabkan oleh tsunami mengacu pada lima
indikator: stabilitas perumahan, gangguan yang terlihat, dan akses ke kebutuhan dasar. Dua
indikator berhubungan dengan stabilitas lingkungan: apakah ≥ 20 orang di komunitas
terbunuh dan apakah ≥ 5 keluarga pindah setelah bencana (sekitar 15 % masyarakat
memenuhi kriteria ini). Dua indikator lain menangkap dampak tsunami pada gangguan yang
terlihat: apakah properti perlu direkonstruksi ulang setelah bencana (diperlukan di 27 %
komunitas secara keseluruhan) dan apakah puing-puing bangunan menimbulkan
permasalahan (sebuah masalah di 18% komunitas secara keseluruhan). Akhirnya, satu
indikator terkait dengan kebutuhan dasar: apakah sumber air masyarakat terkontaminasi oleh
tsunami (dilaporkan untuk 23 % masyarakat).
Skala kedua mengukur paparan individu terhadap trauma. Skala ini dibangun dengan
menjumlahkan lima indikator pengalaman sensorik responden selama kejadian yang mungkin
menghasilkan stres yang ekstrim: mendengar air dari tsunami, melihat air, yang tersapu di air
itu, mengalami cedera, dan melihat orang-orang berusaha bertahan di air. Sekitar 2/3
responden dari komunitas di zona rusak berat mendengar air, > 1/2 menyaksikannya, 1/3
melihat keluarga atau teman-teman berusaha bertahan di air, hampir 1/4 tersapu oleh air, dan
17 % terluka akibat itu. Pengalaman seperti itu jarang terjadi di antara mereka yang tinggal di
daerah yang tidak rusak
Di luar perusakan masyarakat dan pengalaman individu, kematian keluarga dan kerusakan
properti kemungkinan mempengaruhi PTSR. Terdapat indikator kematian pasangan, orang
tua, atau anak, yang terjadi sekitar 1/4 responden di zona kerusakan berat tetapi hanya 2 %
dari mereka yang berada di zona tidak rusak.

HASIL
Efek tsunami terhadap kejadian PTSR baik terhadap trauma individu dengan kerusakan
komunitas dan trauma individu tanpa kerusakan komunitas disimpulkan kedalam sebuah
tabel. Pada tiga kolom pertama yang memuat tentang skala pengalaman trauma individu
tanpa kerusakan komunitas dan kolom selanjutnya memuat tentang pengalaman trauma
individu dengan kerusakan komunitas. Dan juga terdapat terdapat 3 kolom waktu kerjadian,
Kolom satu memuat tentang kejadian ptsr pada saat bencana maksimal dan kolom kedua
memuat kejadian saat follow up interview pertama dan kolom ketiga tentang kejadian yang
terjadi pada saat followup kedua.
Dan dari data hasil didapatkan kejadian PTSR terjadi paling tinggi pada rentang
interval waktu antara masa Tsunami yg paling besar dan follow up pertama dan kejadian
PTSR berkurang saat follow up keadua. Yang intinya dimana paparan trauma terhadap
individu itu berperan penting terhadap kejadian PTSR tanpa dipengaruhi waktu tetapi
efeknya akan berkurang seiring berjalnnya waktu.
Dan juga didapatkan hasil yang sama pada kejadian kehilangan anggota keluarga dan
kerusakan properti. Jadi kejadian meninggal aggota keluarga didapatkan paling banyak saat
bencana tsunami yang sangat maksimal dan juga banyak ditemukan anggota meninggal saat
follow up kedua karena korban baru ditemukan saat itu yang belum ditemukan saat followup
pertama. Wanita lebih banyak mengalami PTSR daripada pria dan juga orang tua lebih
banyak mengalami PTSR dari pada dewasa muda.
Jadi intinya individual trauma dengan kerusakan komunitas mengalami kejadian PTSR yang
lebih sedikit dibandingkan dengan individual trauma tanpa kerusakan komunitas dikarenakan
individu tersebut merasa terdapat persamaan nasib dengan anggota komunitasnya.
Dan pada tabel ketiga juga terdapat data tentang kejadian presTsunami yang memuat tentang
variabel paparan terhdapap komunitas, trauma individu, jumlah kematian dan kerusakan
infrastruktur di aceh yang semua itu konstan dalam 5 tahun terakhir, Jadi di aceh sebelum
kejadian Tsunami semua masih dalam batas yang konstan kejadian PTSR jumlahnya masih
dalam batas yang minimal tetapi setelah terjadi Tsunami jumlah yang mengalami PTSR
terjadi peningkatan yang signifikan dikarenakan paparan trauma bencana terhadap individu,
komunitas, meningkatnya kematian, peningkatan kerusakan infrastruktur bangunan yang
dimana itu merupakan stressor sehabis bencana Tsunami yang menyebabkan peningkatan
kejadian PTSR yang signifikan.

PEMBAHASAN
Bencana menyediakan kesempatan untuk mengamati bagaimana individu dan komunitas atau
masyarakat dihadapi dengan perubahan yang tiba-tiba, tetapi datanya jarang sekali tersedia
untuk mempertimbangkan bagaimana individu dipengaruhi oleh perubahan pada komunitas
mereka sambil memperhitungkan variasi dalam pengalaman masing-masing. Penelitian ini
mengembangkan dan menerapkan tes hipotesis yang menghubungkan antara dekstruksi
komunitas dengan reaksi stres individu menggunakan data yang mencakup ratusan desa yang
menjangkau daerah-daerah yang langsung terkena oleh tsunami dan daerah yang tidak rusak.
Hasil studi menunjukkan bahwa dekstruksi komunitas meningkatkan PTSR, terlepas dari efek
kontrol yang ketat pada paparan individu terhadap trauma dan kehilangan. Selain itu,
meskipun efek dari kehancuran masyarakat lebih kecil dari pengaruh paparan individu
terhadap trauma, efek komunitas melemah secara bertahap. Temuan ini konsisten dengan
gagasan bahwa komunitas yang rusak mempengaruhi individu di sepanjang waktu yang
berbeda daripada pengalaman trauma dari individu.
Dalam jangka pendek, dampak pada stres pasca-trauma dari meningkatnya level trauma
individu tidak terlalu berat bagi individu dari komunitas di mana kerusakan terhadap
infrastruktur fisik dan sosial sangat ekstrim. Temuan ini konsisten dengan gagasan tentang
pentingnya pengalaman bersama: bahwa kehilangan individu mungkin lebih mudah
ditanggung ketika orang lain memiliki pengalaman serupa.
Penelitian ini berkontribusi pada literatur ilmu kemasyarakatan juga dengan menggunakan
variasi derajat gangguan dalam masyarakat (dalam hal ini disebabkan oleh tsunami) untuk
memprediksi kesejahteraan individu. Pendekatan ini memberikan kesempatan yang tidak
biasa untuk mengukur dampak perubahan komunitas tanpa mengkhawatirkan bahwa individu
yang tertekan memilih lingkungan dengan tingkat gangguan yang lebih tinggi atau bahwa
karakteristik ketiga yang tidak terukur menyebabkan gangguan individu dan gangguan
komunitas. Penelitian inimenunjukkan bahwa destruksi komunitas memiliki efek kausal yang
mendalam dan terus-menerus pada kesehatan mental penduduk.

Suatu bencana secara tak terbantahkan menggambarkan trauma spesifik terhadap komunitas,
tetapi para peneliti memperdebatkan bahwa perubahan terhadap fungsi komunitas akibat
bencana tidak teramati. Pengaruh dari suatu perubahan yang mendadak setelah sebuah
bencana mungkin lebih besar dibanding serangkaian peristiwa dari kekerasan atau
pengalaman kelalaian pada lingkungan yang disfungsional secara kronik. Hubungan
komunitas berubah secara tiba-tiba ketika lingkungan berubah di sekitar individu.
Destruksi komunitas sebagai akibat dari sebuah bencana dapat dikarakteristikan dalam
berbagai bentuk. Pertama, dimensi sosial dan fisik dari destruksi karena kedua dimensi
tersebut penting dalam pengaruh lingkungan terhadap kesejahteraan individu dan bagaimana
bencana mempengaruhi kesejahteraan. Kedua, fokus terhadap dimensi perubahan komunitas
yang tiba-tiba, tidak terduga, dan melebihi kontrol anggota komunitas.
Dalam studi pengaruh eksogen dari perubahan komunitas pada kesehatan jiwa, terdapat
kemungkinan kegagalan dari suatu komunitas untuk pulih mengganggu kemampuan individu
untuk pulih dari paparan trauma. Sebaliknya, pemulihan individu akan lebih lancar ketika
fungsi komunitas pulih dengan cepat. Pada waktu yang bersamaan, fungsi komunitas dapat
kembali dengan cepat ketika kesehatan jiwa penduduk komunitas tersebut juga telah pulih
dengan cepat.
Data dari STAR dapat menggambarkan tingkat pemulihan komunitas paska bencana.
Kecepatan pemulihan bervariasi, baik dalam waktu suksesnya rekonstruksi dari infrastruktur
lokal dan partisipasi penduduk. Restorasi komunitas secara deskriptif ditunjukkan dengan
identifikasi gambaran yang berhubungan etnografi dari bencana untuk mengingat pentingnya
cara hidup komunal dan pentingnya pemulihan kehidupan komunal setelah bencana.

Anda mungkin juga menyukai