Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

Gangguan Stres Pasca Trauma dan Efek Jangka Panjangnya

Pembimbing:

dr. Eva Suryani, Sp.KJ

Disusun oleh :

Pricilia Donna Esperansa Sea

2015-061-179

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

9 Januari 2017 – 11 Februari 2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmatNya, referat dengan judul “Gangguan Stress Pasca Trauma dan Efek
Jangka Panjangnya” ini dapat selesai tepat pada waktunya. Referat ini dibuat sebagai salah
satu prasyarat untuk mengikuti ujian pada siklus kepaniteraan klinik Departemen Ilmu
Kedokteran Jiwa dan Perilaku di Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma
Jaya.

Penulis menyadari bahwa referat ini dapat terselesaikan dengan baik dengan bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Eva
Suryani, SP.KJ. yang telah membimbing dan membantu dalam penyusunan referat ini. Terima
kasih pula penulis sampaikan kepada pihak-pihak lain yang turut membantu dalam
penyusunan referat ini.

Dalam referat ini, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan sehingga penulis meminta maaf sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata yang
kurang berkenan. Penulis juga mengharapkan kritik serta saran untuk memperbaiki
kekurangan dalam referat ini. Akhir kata semoga referat ini dapat menambah pengetahuan
dan berguna bagi pembaca.

Jakarta, 3 Februari 2017

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 4
1.1Latar Belakang 4
1.2Tujuan Penelitian 5
1.2.1Tujuan Umum 5
1.2.2Tujuan Khusus 5
1.3Manfaat Penelitian 5
1.3.1Bagi masyarakat 5
1.3.2Bagi pendidikan 6
1.3.3Bagi penulis 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1. Gangguan Stres Pasca Trauma 7
2.1.1 Definisi7
2.1.2 Epidemiologi 7
2.1.3 Faktor Risiko 8
2.1.4 Etiologi9
2.1.5 Manifestasi Klinis 12
2.1.6 Diagnosis Banding 13
2.1.7 Pedoman diagnosis 14
2.1.8 Komorbid 17
2.1.9 Terapi 18
2.2. Efek Jangka Panjang Gangguan Stress Pasca Trauma 19

BAB III KESIMPULAN 21


DAFTAR PUSTAKA 23

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejadian traumatik atau kehilangan adalah hal yang umum terjadi dan pasti
dialami oleh setiap orang. Kejadian ini mungkin berbekas dan dapat membawa dampak
bagi masing-masing orang. Kejadian traumatik ini dapat menjadi stressor psikososial
yang menyebabkan gangguan stres pasca trauma (GSPT). Selain itu mereka juga
berisiko mengalami berbagai jenis gangguan psikiatrik lainnya, seperti gangguan panik,
gangguan cemas menyeluruh dan penyalahgunaan zat.(1)
WHO memberikan perhatian khusus untuk gangguan jiwa yang berkaitan
dengan trauma dan kehilangan. Sebuah study yang dilakukan WHO dalam 21 negara
menunjukan bahwa lebih dari 10% resporden terdata mengalami kekerasan (21.8%)
atau mengalami kekerasan interpersonal (18.8%), kecelakaan (17.7%), paparan
terhadap perang (16.2%) atau trauma terhadap orang yang dicintai (12.5%).
Diperkirakan 3.6% dari populasi dunia menderita Gangguan Stres Pasca Trauma di
tahun sebelum penelitian ini dilakukan (2). Kejadian traumatik tersebut memberikan
berbagai rentang reaksi yang berbeda pada masing-masing orang, sedangkan sisanya
dapat sembuh secara alami.
Di Indonesia belum ada angka pasti mengenai jumlah penderita Gangguan Stres
Pasca Trauma ataupun prevalensinya dalam 5 tahun terakhir. Akan tetapi berdasarkan
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes tahun 2013, prevalensi gangguan
mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk
usia 15 tahun keatas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk
Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai
sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Merujuk pada data
tersebut, maka masalah kesehatan jiwa seseorang janganlah dianggap enteng.
Berdasarkan jumlah tersebut, ternyata 14,3% di antaranya atau sekira 57.000 orang
pernah atau sedang dipasung. Angka pemasungan di pedesaan adalah sebesar 18,2%.
Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka di perkotaan, yaitu sebesar 10,7
%.(3) Maka dari data di sini bisa dilihat bahwa masalah gangguan jiwa di Indonesia
bukanlah hal yang bisa dianggap kecil.

4
Selain itu bisa dilihat bahwa dalam satu dekade terakhir cukup banyak terjadi
peristiwa bencana alam, pemboman dan ancamannya maupun angka kekerasan yang
masih memprihatinkan. Hal-hal ini bisa menjadi stressor munculnya gangguan yang
muncul karena reaksi terhadap stres berat.
Dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnsosis Gangguan Jiwa) III,
Gangguan Stres Pasca Trauma dimasukkan ke dalam kelompok F4 yaitu gangguan
neurotik, gangguan somatoform, gangguan terkait stres. Reaksi Terhadap Stres Berat
dan Gangguan Penyesuaian (F43) memuat diagnosis Reaksi Stres Akut, Gangguan
Stres Pasca-Trauma, dan Gangguan Penyesuaian. Sedangkan dalam DSM-5 (Diagnoses
Manual) terdapat kelas baru untuk pedoman diagnosis gangguan terkait trauma dan
stres yang didalamnya mencakup Gangguan Stres Akut, Gangguan Stres Pasca Trauma,
Reactive Detachement Disorder, disinhibit social engagement disorder, dan gangguan
penyesuaian.
Produktivitas penderita gangguan stress pasca trauma dapat menurun sehingga
hal ini dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Para penderita gangguan stress pasca
trauma mungkin akan lebih butuh banyak waktu untuk mengunjungi pusat kesehatan
untuk mencari pengobatan. Mereka bisa lebih sering absen dan mungkin kehilangan
pekerjaan karena gangguan yang mereka alami. Hal ini selain mempengaruhi
kehidupan pribadi mereka juga tentu dapat meningkatkan beban keluarga dan sosial.
Penulis tertarik untuk membahas tentang efek jangka panjang dari gangguan stres pasca
trauma, tingkat kesembuhan dari gangguan ini. Penulis juga tertarik untuk mencari
gangguan jiwa yang dapat timbul sebagai akibat dari gangguan stress pasca trauma.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
 Mengetahui mengenai efek jangka panjang gangguan stres pasca trauma.
1.2.2 Tujuan Khusus
 Memahami mengenai gangguan stress pasca trauma secara umum.
 Mengetahui tatalaksana efek jangka panjang gangguan stress pasca
trauma

1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi masyarakat

5
Membantu masyarkat mengetahui tentang gangguan stress pasca trauma dan efek
jangka panjangnya.

1.3.2 Bagi pendidikan


Memberikan tambahan pengetahuan dan informasi mengenai efek jangka panjang
gangguan stres pasca trauma

1.3.3 Bagi penulis


Menambah wawasan penulis mengenai mengenai efek jangka panjang gangguan
stres pasca trauma

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gangguan Stres Pasca Trauma


2.1.1. Definisi
Gangguan stres pasca trauma adalah salah satu gangguan cemas yang ditandai
dengan pengulangan kembali pengalaman trauma secara terus menerus, usaha untuk
menghindar mengingat kembali trauma dan kewaspadaan berlebihan (4). Gangguan
ini merupakan suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat secara
langsung atau mendengar stresor traumatik yang ekstrim.
Kejadian traumatik bisa berupa menjadi korban atau terlibat dalam suatu
kecelakaan atau kejahatan, perang militer, atau penyiksaan, diculik, terlibat dalam
bencana alam, penyakit berat atau kekerasan seksual. Kejadian tersebut ditanggapi
dengan rasa takut dan tidak berdaya, secara terus menerus berusaha melupakan dan
dan mencoba menghindari mengingat hal tersebut.(5)(6)
Stresor yang ada bisa menyebabkan gangguan stres akut dan gangguan stres
pasca trauma yang cukup besar mempengaruhi kebanyakan orang. Pengalaman
traumatik tersebut bisa dialami ulang di dalam mimpi atau di pikiran sehari-hari
mereka. Mereka dengan Gangguan Stres Pasca Trauma cenderung menghindari segala
sesuatu yang membawa kenangan buruk mereka tentang kejadian tersebut dan mereka
mengalami mati rasa untuk menanggapi disertai dengan keadaan waspada berlebihan.
Gejala lainnya adalah depresi, kecemasan, dan gangguan fungsi kognitif seperti
konsentrasi rendah.(6)

2.1.2. Epidemiologi
Insidensi PTSD diperkirakan mencapai 9-15%, sedangkan prevalensinya kira-
kira 8% dari seluruh jumlah populasi, dan terdapat tambahan 5-15% mungkin
mengalami bentuk subklinis dari gangguan ini. Prevalensi pada wanita adalah sebesar
10% sedangkan pada pria 4%. Berdasarkan National Vietnam Veterans Readjustment
Study (NVVRS), 30% pria mengalami Gangguan Stres Pasca Trauma (GSPT) setelah
mengikuti perang, dan 22,5% mengalami GTSP parsial. Di antara veteran perang Iraq
dan Afganistan terdapat 13% terdiagnosis GSPT(6). Pada tahun 2008 WHO
melakukan sebuah penelitian dari hampir 200.000 responden di 27 negara. Setelah
terdapat 17 negara yang menyelesaikan World Mental Health Surveys, secara umum

7
didapatkan prevalensi GSPT yang paling rendah terdapat di China sebesar 0,3% dan
dan yang tertinggi 6,1% di Selandia Baru (7).
Wanita mungkin berada pada risiko yang lebih tinggi untuk mengalami GSPT
daripada laki-laki. Prevalensi GSPT diperkirakan 0,5% dia antara laki-laki dan 1,2%
di antara perempuan.(4) Sebuah survei epidemiologi wanita dewasa menunjukkan
tingginya peristiwa traumatik, khususnya kejadian yang berkaitan dengan menajadi
korban kejahatan. Kekerasan seksual mungkin memiliki pengaruh paling besar pada
perempuan, dan trauma dari pertempuran mungkin memiliki pengaruh paling besar
pada laki-laki. (8)(9). Penelitian yang dilakukan Gates dkk, jumlah prevalensi
penduduk U.S yang mengalami GSPT adalah sebesar 7-8%, dan terdapat 14-16%
tentara US yang mengalami GSPT (10). Pada penelitian yang dilakukan Hines et al
pada anggota personil tentara yang dikirim ke Irak dan Afganistan, tingkat prevalensi
PTSD lebih tinggi di antara studi personil Irak dikerahkan sebesar 14,4%,
dibandingkan dengan personil dikerahkan ke Afghanistan sebesar 9,6%, personel
yang tidak ditugaskan keluar dan personil yang bertugas di tentara Kanada, AS, atau
Inggris atau angkatan laut atau marinir sebesar 13,4%, dibandingkan dengan layanan
lainnya yaitu 8,4%.(11).
PTSD dapat terjadi pada semua tingkat usia dari anak-anak hingga dewasa
dan dapat terjadi dalam hitungan jam, hari, dan atau bahkan bertahun-tahun setelah
trauma. Prevalensi pada dewasa muda adalah yang paling sering karena mereka lebih
banyak terpapar berbagai situasi.(6).

2.1.3. Faktor Risiko


Gangguan Stres Pasca Trauma didahului oleh adanya suatu stresor berat yang
melampaui kapasitas hidup seseorang, serta menimbulkan penderitaan bagi orang
tersebut. Disebutkan bahwa National Cormobidity Study menemukan bahwa terdapat
60% laki-laki dan 50% wanita mengalami trauma yang significant, tetapi hanya
sekitar 8% yang mengalami GSPT. Tidak semua orang yang mengalami trauma akan
mengalami GSPT, tergantung dari kerentanan masing-masing individu dan keparahan
tingkat trauma. Sebuah penelitian metaanalisis yang dilakukan Brewin et al, terdapat 3
faktor risiko utama penyebab GSPT, yaitu riwayat gangguan psikiatri, trauma masa
kecil, dan riwayat keluarga penderita gangguan jiwa
Di bawah ini merupakan rangkuman faktor risiko yang memainkan peranan
penting dalam etiologi GSPT:

8
 Adanya trauma masa kecil
 Memiliki ciri kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisosial.
 Dukungan yang tidak adekuat dari keluarga atau kelompok
 Wanita
 Kerentanan genetik untuk penyakit psikiatri
 Perubahan gayahidup atau hidup yang penuh tekanan
 Persepsi adanya kontrol eksternal lokus (penyebab alami) daripada faktor internal
(penyebab manusia)
 Intake alkohol berlebih
Terdapat beberapa faktor predisposisi untuk mengalami gangguan stress pasca
trauma, yaitu:
 Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang
bersangkutan maupun keluarga
 Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual
 Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir
 Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial
 Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem
berupa kesulitan untuk menyesuaikan diri
 Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna
 Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya
baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang
bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan
bagi dirinya.

2.1.4. Etiologi
Etiologi utama dari PTSD adalah trauma itu sendiri. Ada beberapa faktor
predisposisi yang mempengaruhi munculnya PTSD karena tidak semua orang yang
mengalami trauma yang sama berkembang menjadi PTSD. Sebuah penelitian dengan
menggunakan modalitas MRI mendukung bahwa terdapat perubahan volume
hipocampal pada pasien PTSD. (4)
Berdasarkan DSM-IV, beberapa kejadian traumatik yang dapat menyebabkan
gangguan stress pasca trauma adalah:
 Kekerasan personal (kekerasan seksual, penyetrangan fisik dan perampokan)

9
 Penculikan
 Penyanderaan
 Serangan militer
 Serangan teroris
 Penyiksaan
 Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang
 Bencana alam baik yang alamiah maupun yang dibuat oleh manusia
 Kecelakaan mobil yang berat
 Didiagnosis mengalami penyakit berat atau mengancam kehidupan.
Tidak semua trauma bisa menyebabkan gangguan stres pasca trauma, hal ini
bergantung dari
 Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami
 Derajat dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang
 Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal)
 Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatik
tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat
kejadian atau dia hanya menyelamatkan dirinya sendiri.
Berdasarkan definisi, stressor merupakan faktor utama penyebab GSPT, akan
tetapi tidak semua orang mengalami GSPT setelah mengalami trauma. Dokter juga
harus memperhatikan faktor biologis dan psikososial dan kejadian yang terjadi sbelum
dan setelah peristiwa traumatik tersebut terjadi. Sebagai contoh, seseorang yang
selamat dari sebuah kecelakaan tetapi teman yang bersama dengan dia meninggal
akan mengalami perasaan bersalah yang bisa menjadi faktor predisposisi atau
eksaserbasi, gangguan stres pasca trauma.

2.1.4.1. Faktor Biologi


Setelah terpapar trauma, akan muncul respon dari otak yaitu adanya rasa
takut sehingga otak dengan semndirinya akan menilai kondisi keberbahayaan
peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu respon perilaku yang sesuai.
Dalam hal ini amigdala adalah bagian berperan. Amigdala akan mengaktivasi
beberapa neurotransmitter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang
menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respon tubuh.

10
Stimulus tersebut akan mengaktifkan sistem saraf simpatis (katekolamin), sistem
saraf parasimpatis, dan aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA).
Sistem simpatis yang teraktivasi akan menyebabkan peningkatan denyut
jantung dan tekanan darah. Kondisi ini dikenal dengan “fight or flight reaction” .
Reaksi ini juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot
skeletal untuk bersiap menghadapi ancaman. Reaksi parasimpatis timbul untuk
membatsai reaksi simpatis. Aksis HPA akan terstimulasi oelh beberapa
neuropeptida otak pada waktu orang berhadapan dengan peristiwa traumatik.
Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico Releasing Factor (CRF) dan beberapa
neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan
mensekresi pengeluaran Adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya
menstimulasi pengeluaran hormon kortikol dari kelenjar adrenal.
Jika tubuh mengalami tekanan maka akan dikeluarkan katekolamin dan
hormon kortisol; katekolamin berperan untuk menyediakan energi bagi organ vital
tubuh. Kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saram simpatik dan
beberapa fungsi tubuh yang bersifat defensif. Peningkatan hormon kortisol akan
memberi efek umpan balik negatif pada aksis HPA.
Pada individu yang mengalami gangguan stres pasca trauma terjadi
kegagalan regulasi neuropeptida sewaktu menghadapi trauma sehingga kortisol
gagal mengehentikan proses ini, dan katekolamin tetap tinggi. Kondisi ini
dikaitkan dengan terjadinya “konsolidasi berlebihan” dari ingatan-ingatan
peristiwa traumatik yang dialami.
Terdapat kelainan pada sistem opioid yang ditunjukan lewat rendahnya
kadar β-endorphin pada GSPT. Salah satu study menunjukan bahwa nalmafene
(revex), sebuah agonist reseptor opioid digunakan untuk mengurangi gejala
gangguan stres pasca trauma.

2.1.4.2. Faktor Psikodinamik


Model psikodinamik dari gangguan stres pasca trauma menjelaskan bahwa
trauma tersebut mengaktivasi kembali konflik-konflik psikologis masa lampau
yang belum terselesaikan. Kebangkitan trauma masa kecil mengakibatkan regresi
dan penggunaan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, reaksi formasi,
dan kehancuran. Sistem ego akan teraktivasi dan berusaha untuk emngatasi
masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi.

11
Hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikodimanik dari gangguan stres
pasca trauma.
 Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari
peristiwa traumatik yang dialami seseorang
 Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik yang
dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik psikologis akibat peristiwa
traumatik di masa kanak.
 Peristiwa traumatik dapat membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem
afeknya
 Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam bentuk
somatisasi atau aleksitimia.
 Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan
gangguan stres pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi,
disosiasi dan rasa bersalah
 Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari
berbagai peran seperti penyelamat, pelaku dan korban yang omnipoten.

2.1.4.3. Faktor Kognitif-Perilaku


Model kognitif gangguan stress pasca trauma berpendapat bahwa orang-
orang yang terkena dampak tidak dapat memproses atau merasionalisasi trauma
yang ditinggalkan gangguan tersebut. Mereka terus mengalami stres dan berusaha
untuk menghindari pengalaman tersebut dengan teknik menghindar. Model
perilaku akan melewati dua fase. Pertama, trauma yang menyebabkan efek
menakutkan akan berusaha dicocokkan dengan kondisi klasik lainnya yang
dikondisikan mirip stmulus. Kedua, mereka akan belajar menghindar dari stimulus
dan akan timbul pola untuk menghindar baik kondisi yang sama atau yang tidak
disengaja.

2.1.5. Manifestasi Klinis


Terdapat tiga gejala domain pada penderita gangguan stres pasca trauma:
adanya gejala intrusi mengikuti trauma, menghindari stimulus yang berhubungan
dengan trauma, dan mengalami gejala otonomik karena peningkatan kewaspadaan

12
seperti peningkatan rasa kaget. Kilas balik, di mana pasien mungkin merasa atau
berlaku seperti ketika trauma terjadi, memunculkan gejala klasik intrusi.
Para penderita gangguan stres pasca trauma tertahan pada pengalaman traumatik
(seperti perang, kekerasan fisik, pemerkosaan, pemboman) yang pernah dialami,
disaksikan, atau ketika dihadapkan pada pengalaman aktual atau berpotensi
mematikan, luka kecelakaan serius, atau ancaman terhadap integritas fisik. Kejadian
traumatik tersebut kemudian dialami kembali melalui gambaran atau mimpi atau
melalui ilusi, halusinasi atau kilas balik kejadian itu yang berulang dan menganggu.
Dalam usahanya untuk beradapatasi pasien akan berusaha untuk menghindari
pengumulan kembali peristiwa tersebut, sering melalui mekanisme psikologis
(seperti: disosiasi atau mati rasa) atau penghindaran secara nyata keadaan yang dapat
memanggil kenangan. Mereka juga mengalami perasaan terikat dari yang lain dan
terlihat bukti hyperarousal otonom (seperti: kesulitan tidur, respons berlebih). Pasien
juga mengalami anhedonia, penurunan kapasitas untuk mengingat, afek yang tumpul,
perasaan terikat atau depersonalisasi dan perasaan masa depan yang pendek.
Pada tentara Amerika yang mengikuti perang di Afganistan tahun 1990-1991
dilaporkan munculnya gejala-gejala terkait kesehatan setelah perang usai, seperti
iritabel, kelelahan kronis, nafas pendek, nyeri otot dan sendi, migren, gangguan
digestif, rash, rambut rontok, gampang lupa dan gangguan konsentrasi, gejala-gejala
ini disebut Gulf War Syndrome. Tsunami pada bulan Desember tahun 2004 yang
terjadi di Indonesia, Sri Lanka, dan Thailand menyebabkan ketakutan dan gejala
PTSD yang ditimbulkan bagi mereka yang bertahan hidup, seperti nelayan takut ke
laut, anak-anak takut ke pantai yang dulunya mereka sukai, dan banyak keluarga yang
takut tidur nyenyak karena khawatir munculnya tsunami lagi.

2.1.6. Diagnosis Banding


Gejala gangguan stres pasca trauma bisa cukup sulit dibedakan dari gangguan
panik dan ganggguan cemas menyeluruh, karena ketiga gejala tersebut berhubungan
dengan kecemasan yang menonjol dan kewaspadaan otonomik. Kunci untuk
mendiagnosis PTSD adalah melihat secara lengkap perjalanan gejala sesuai waktu dan
dihubungkan dengan kejadian traumatik. GSPT juga dihubungkan dengan
pengulangan kembali pengelaman dan menghindar trauma, hal ini tidak ada pada
gangguan panik atau gangguan cemas menyeluruh.(6) Depresi mayor juga bisa
muncul seiring dengan GSPT. Penelitian yang dilakukan Grieger pada tentara U.S.

13
yang dirawat karena menjadi korban perang, pada 1 bulan pertama, 4,2% dari tentara
memiliki kemungkinan PTSD dan 4,4% mengalami depresi; pada 4 bulan, 12,2%
memiliki PTSD dan 8,9% mengalami depresi; pada 7 bulan, 12,0% memiliki PTSD
dan 9,3% mengalami depresi. Meskipun kedua gangguan ini biasanya tidak sulit
dibedakan secara fenomena, penting untuk diingat adanya komorbid dengan depresi,
karena hal ini bisa mempengaruhi terapi GSPT. (12)
Gangguan Stres Pasca Trauma juga harus dibedakan dari gangguan yang
berhubungan yang bisa memunculkan gejala yang sama, termasuk adanya gangguan
kepribadian ambang, gangguan disosiativ, gangguan penyesuaian,. Kepribadian
ambang mungkin agak sulit dibedakan dari GSPT, tetapi keduanya bisa saling
berhubungan . Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak punya tingkat
perilaku menghindar, kewaspadaan otonom berlebih dan sejarah trauma. (6)

2.1.7. Pedoman Diagnosis


Dalam PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III)
Gangguan Stres Pasca Trauma termasuk dalam kelompok Gangguan Neurotik,
Gangguan Somatoform dan Gangguan Terkait Stress (F4). Gangguan neurotik,
gangguan somatoform dan gangguan terkait stress dikelompokkan menjadi satu
dengan alasan bahwa dalam sejarahnya ada hubungan dengan perkembangan konsep
neurosis dan berbagai kemungkinan penyebab psikologis (physocologic caution).
Konsep menganai neurosis secara prinsip tidak lagi digunakan sebagai patokan
dalam pengaturan penggolongan, meskipun dalam beberapa hal masih diperhitungkan
untuk memudahkan bagi mereka yang terbiasa menggunakan istilah neurotik dalam
mengidentifikasi berbagai gangguan tersebut.
Pedoman diagnostik:
 Diagnosis baru ditegakkan bilaman gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6
bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara
beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan)
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu
mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja
manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori
gangguan lainnya

14
 Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau
mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali
(flashbacks)
 Gangguan otonomik. Gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya
dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas
 Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa,
misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam
kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah
mengalami klaustrofa)

Pedoman Diagnostik menurut DSM-5


Catatan: Kriteria ini berlaku untuk pasien dewasa, remaja dan anak-anak di atas 6
tahun. Untuk anak-anak 6 tahun dan di bawahnya, lihat kriteria di bawah ini.
A. Terpapar aktual atau ancaman kematian, cedera serius, atau kekerasan seksual
dalam satu (atau lebih) cara berikut:
1. Mengalami peristiwa traumatik secara langsung
2. Menyaksikan secara pribadi kejadian tersebut terjadi pada orang lain
3. Mempelajari bahwa kejadian traumatik tersebut terjadi pada anggota
keluarga dekat atau teman dekat. Pada kasus aktual atau ancaman kematian
anggota keluarga atau teman, kejadian tersebut harus berupa kekerasan
atau kecelakaan.
4. Mengalami kejadian berulang atau terpapar ekstrim terhadap detail
peristiwa traumatis (sebagai contoh tim respon pertama mengumpulkan
sisa-sisa tubuh manusia; petugas kepolisian yang berulang kali terpapar
detail dari kekerasan anak)
B. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi yang berhubungan dengan kejadian
traumatik, awal setelah kejadian traumatik terjadi:
1. Berulang, tidak dikehendaki, dan memori menyedihkan yang mengganggu
tentang kejadian traumatik.
Catatan: pada anak-anak yang berusia lebih dari 6 tahun, terdapat
permainan yang berulang dengan tema atau aspek traumatik.
2. Mimpi menyedihkan yang berulang di mana isi dan/atau afek mimpi
tersebut berhubungan dengan kejadian traumatis.

15
Catatan: Pada anak-anak, mungkin ada mimpi menakutkan dengan isi yang
tidak dikenali.
3. Reaksi disosiatif (contoh: flashbacks) di mana individu tersebut merasa
atau berlaku seperti jika kejadian traumatik tersebut sedang terjadi.
(Beberapa reaksi bisa terjadi berkelanjutan, dengan ekspresi paling ekstrim
adalah menjadi kehilangan kesadaran total tentang keadaan sekitar)
Catatan: Pada anak-anak, trauma spesifik dapat terjadi seperti berulang.
4. Gangguan psikologis yang intens atau berkepanjangan terhadap paparan
internal atau eksternal yang melambangkan atau menyerupai aspek
kejadian traumatik tersebut.
5. Reaksi psikologis yang ditandai untuk isyarat internal atau eksternal yang
melambangkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatik.
C. Menghindari secara terus menerus stimulus yang berhubungan dengan
peristiwa traumatis, dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi, dibuktikan
dengan satu atau lebih berikut ini:
1. Menghindari atau berusaha menghindari memori, pikiran atau perasaan
menyedihkan tentang atau hal yang mendekati berhubungan dengan
kejadian traumatis.
2. Menghindari atau berusaha menghindari faktor eksternal yang dapat
mengingatkan (orang, tempat, pembicaraan, aktivitas, objek, situasi) yang
memicu memori, pikiran atau perasaan menyedihkan tentang atau hal yang
erat terkait berhubungan dengan peristiwa traumatis.
D. Perubahan negatif dalam kognitif dan perasaan yang berhubungan dengan
peristiwa traumatis, dimulai memburuk setelah peristiwa traumatis terjadi,
terbukti dengan setidaknya 2 (atau lebih) berikut ini:
1. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari kejadian traumatis
(biasanya karena amnesia disosiatif dan bukan karena faktor lainnya
seperti cedera kepala, alkohol maupun obat-obatan).
2. Adanya kepercayaan negatif atau ekspektasi tentang diri sendiri, orang
lain atau dunia yang persisten dan berlebihan. (contoh: “saya buruk”,
“tidak ada yang bisa dipercaya”, “dunia ini tempat yang berbahaya”,
“seluruh sistem saraf saya sudah dirusak secara permanen”)

16
3. Secara persisten adanya distorsi kognitif tentang penyebab atau
konsekuensi dari peristiwa traumatis yang membawa ke individu untuk
menyalahkan dirinya atau orang lain.
4. Emosi negatif yang terus menerus (seperti ketakutan, kemarahan, rasa
bersalah, rasa malu).
5. Hilangnya atau berkurangnya minat secara nyata atau dalam partisipasi
kegiatan yang signifikan.
6. Perasaan terpisah atau enggan dengan yang lain.
7. Ketidakmampuan mengalami emosi yang positif secara terus menerus
(seperti ketidakmampuan mengekspresikan kebahagiaan, kepuasan atau
perasaan cinta).
E. Ditandai dengan perubahan dalam gairah dan reaktivitas yang terkait dengan
peristiwa traumatis, dimulaipada permulaan atau bertambah buruk setelah
kejadian traumatik terjadi, terbukti dengan dua (atau lebih) berikut ini:
1. Perilaku iritabel dan luapan emosi (dengan sedikit atau tanpa provokasi)
yang biasanya dinyatakan sebagai agresi verbal atau fisik terhadap
seseorang atau benda.
2. Perilaku ceroboh atau merugikan diri sendiri
3. Waspada berlebih
4. Respon kaget yang berlebihan
5. Masalah konsentrasi
6. Gangguan tidur (seperti sulit tidur atau mempertahankan tidur)
F. Durasi dari gangguan (kriteria B, C, D dan E) lebih dari 1 bulan.
G. Gangguan ini menyebabkan penderitaan atau penurunan fungsi dalam sosial,
pekerjaan atau fungsi penting area lainnya.
H. Gangguan ini tidak termasuk yang disebabkan karena efek fisiologis akibat zat
(seperti obat-obatan, alkohol) atau kondisi medis lainnya.

2.1.8. Kormobid
Gangguan Stres Pasca Trauma bisa memiliki kormobid dengan gangguan
psikiatri lainnya maupun yang non-psikiatri.

17
Dari tabel di atas bisa dilihat bahwa yang gangguan psikiatri terbanyak yang
menjadi komorbid gangguan stres pasca trauma adalah gangguan cemas dan depresi
(13). Selain terkait dengan psikiatri, penderita gangguan stres pasca trauma juga bisa
memiliki kormobid dengan gangguan kardiovaskular, gangguan gastrointestinal dan
muskuloskeletal (14).

2.1.9. Terapi
Sama seperti terapi gangguan jiwa pada umumnya, maka terapi PTSD
mengandalkan kombinasi antara farmakoterapi dan nonfarmakoterapi berupa
psikoterapi dan edukasi.
1. Farmakoterapi
Modalitas utama pengobatan PTSD berbasis obat-obatan adalah menggunakan
kelompok SSRI, yang bertujuan untuk mengurangi gejala secara langsung. SSRI
digunakan paling kurang selama 6 bulan sebagai terapi efektif untuk mengurangi
gejala PTSD. TCAs dan MAOIs mungkin efektif . Propanolol dan betabloker lain
bisa berperan dalam mencegah perkembangan PTSD jika diberikan awal setelah
trauma. SSRI yang dapat digunakan seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Setralin 50-
200 mg/hr atau Fluvoxamine 50-300 mg/hari. Antidepresan yang dapat digunakan
adalah Ammiltriptilin 50-300 mg/hr dan Imipramin 50-300 mg/hr.

2. Non-farmakoterapi
Terapi Gangguan Stress Pasca Trauma diharapkan dilakukan secara komprehensif,
artinya adalah selain menggunakan terapi farmologi, diperlukan psikoterapi serta

18
edukasi, dukungan psikososial, teknik untuk meredakan kecemasan dan
modifikasi pola hidup. Psikoterapi harus efektif dan biasanya disesuaikan dengan
sifat dari trauma, tingkat keterampilan mengatasi dan sistem pendukung yang
tersedia untuk pasien.
 Edukasi
Edukasi merupakan hal yang penting karena merupakan salah satu bentuk
pendekatan untuk membantu pasien mengerti akan perubahan-perubahan
yang terjadi dalam fungsi diri pasien baik secara fisik maupun psikis
sebgai dampak dari peristiwa traumatik yang dialami, baik adaptif maupun
maladaptif.
 Dukungan psikososial
Penderita gangguan stress pasca trauma pun tidak terlepas dari stigma
negatif masyarakat maka dukungan psikososial sangat dibutuhkan oleh
mereka. Dukungan psikososial ini bukan saja berasal dari dokter
penanggung jawab melainkan terutama dari keluarga dan orang-orang
sekitar pasien termasuk lingkungan masyarakat sekitar pasien. Dukungan
psikososial dapat berupa konseling
 Teknik untuk meredakan kecemasan
Salah satu gejala yang paling sering dialami penderita gangguan stres
pasca trauma adalah cemas berlebih. Teknik relaksasi, teknik mengatur
napas serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih pada penderita
gangguan stress pasca trauma karena terbukti bermanfaat.
 Modifikasi pola hidup
Modifikasi pola hidup mencakup diet sehat, mengontrol konsumsi alkohol
dan rokok, menghindari napza dan rajin berolahraga.
 Psikoterapi
Psikoterapi yang umum diberikan pada individu dengan gangguan stress
pasca trauma adalah psikoterapi kognitif-perilaku, psikoterapi kelompok
dan hipnoterapi.

2.2. Efek Jangka Panjang Gangguan Stres Pasca Trauma


Gangguan Stres Pasca Trauma biasanya muncul beberapa lama setelah trauma,
bisa dari 1 minggu hingga 30 tahun. Gejalanya bisa fluktuatif dari waktu ke waktu dan

19
bisa memburuk selama periode stres. Jika tidak diobati, 30% pasien dapat sembuh
sempurna, 40% berlanjut menjadi gejala ringan, 20% menjadi gejala sedang dan 10%
tidak berubah atau menjadi tambah parah. Setelah satu tahun 50% pasien akan sembuh.
Prognosis yang baik diprediksi dengan onset yang cepat, durasi gejala yang singkat
(kurang dari 6 bulan), fungsi premorbid yang masih baik, dukungan sosial yang kuat, dan
tidak adanya gangguan psikiatri, medis dan terkait obat lain atau faktor risiko lain.
Mereka yang menderita GSPT dapat mengalami kesulitan berfungsi dalam
pekerjaan mereka atau hubungan pribadi. Anak-anak dapat mengalami trauma dan
mengalami kesulitan di sekolah, menjadi terisolasi dari orang lain dan mengembangkan
fobia. Banyak orang dengan GSPT berulang kali mengalami serangan dalam bentuk
episode kilas balik, kenangan, mimpi buruk, atau pikiran menakutkan, terutama ketika
mereka terkena peristiwa atau hal-hal yang mengingatkan mereka akan trauma mereka.
PTSD didiagnosis bila gejala berlangsung lebih dari satu bulan.(15)
Untuk pasien yang sangat muda atau sangat tua akan mengalami kesulitan
tersendiri. Sebagai contoh, dari 80% anak kecil yang mengalami kebakaran akan
menunjukan gejala gangguan stress pasca trauma setelah 1-2 tahun, hanya 30% orang
dewasa yang menunjukkan gejala setelah 1 tahun. Ketersediaan dukungan sosial bisa
mempengaruhi perkembangan keparahan gangguan stres pasca trauma. Mereka yang
memiliki hubungan baik dengan dukungan sosial yang kuat akan lebih cepat mengalami
perbaikan.(6)
Dari fungsi memori, terdapat gangguan dalam mempelajari hal baru. Sebaliknya
ada perbesaran reaksi untuk respon terhadap hal-hal yang mengingatkan pada trauma.
Individu yang mengalami GSPT telah ditemukan memiliki evolusi progresif dari
disfungsi seperti dijelaskan di atas 30 tahun. Semakin, mereka bereaksi terhadap
ancaman potensial dengan rentang dan intensitas yang lebih besar akhirnya
mengembangkan reaksi yang berlebihan di lingkungan sekitar. Gangguan stres pasca
trauma terkait depresi memiliki peran penting dalam episode awal 35 tahun. Adanya
serangan-serangan dapat meningkatkan sensitivitas terhadap beban lingkungan yang juga
bisa menjadi bermanifestasi sebagai hipertensi, hiperlipidemia, dan obesitas. Sekarang
ada hubungan didirikan antara penyakit kardiovaskular dan GSPT (16).

20
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

Gangguan stres pasca trauma adalah salah satu gangguan cemas yang ditandai
dengan pengulangan kembali pengalaman trauma secara terus menerus, usaha untuk
menghindar mengingat kembali trauma dan kewaspadaan berlebihan. Gangguan ini
merupakan suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat secara
langsung atau mendengar stresor traumatik yang ekstrim. Beberapa kejadian yang bisa
menimbulkan gangguan stres pasca trauma antara lain pernah mengalami kejadian yang
mengancam nyawa, terlibat perang, diculik, menjadi korban kekerasan seksual dan
mengalami bencana alam. Tidak semua orang yang mengalami trauma akan menjadi
penderita gangguan stres pasca trauma, hal ini tergantung dari beberapa faktor seperti
kerentanan individu, sifat trauma itu sendiri, faktor biologis dan faktor psikososial.
Prevalensi penderita Gangguan Stres Pasca Trauma di dunia kira-kira 8% dan
insidensinya mencapai 15% dengan jumlah wanita lebih banyak dari pria. Beberapa
faktor risiko munculnya gangguan stres pasca trauma adalah adanya trauma masa kecil,
memiliki ciri kepribadian ambang, dukungan yang tidak adekuat, wanita dan ada
kerentanan genetik juga.
Diagnosis gangguan stres pasca trauma bisa menggunakan PPDGJ III ataupun
DSM-5. Dalam PPDGJ III diagnosis ditegakkan bila gejala muncul dalam 6 bulan
setelah adanya trauma. Sedangkan dalam DSM-5 diagnosis sudah dapat ditegakkan
setelah gejala muncul dalam 1 bulan. Gangguan stres pasca trauma bisa memiliki
komorbid psikiatri maupun non psikiatri. Komorbid psikiatri yang paling sering
dikeluhkan adalah depresi dan gangguan cemas. Sedangkan komorbid nonpsikiatri bisa
mencakup gangguan kardiovaskular, gastrointestinal dan neuromuskular. Produktivitas
penderita gangguan stres pasca trauma biasanya terganggu kerena mereka tidak bisa
bekerja ketika serangan muncul. Anak-anak yang mengalami GSPT dapat mengalami
kesulitan di sekolah, menjadi terisolasi dari orang lain dan timbul fobia.
Terapi gangguan stres pasca trauma harus dilakukan secara komprehensif yaitu
melibatkan farmakologis dan nonfarmakologis. Terapi farmakologi yang digunakan
adalah SSRI seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Setralin 50-200 mg/hr atau Fluvoxamine
50-300 mg/hari. Bisa juga menggunakan antidepresan lain seperti TCAs dan MAOIs.

21
Terapi nonfarmakologi meliputi edukasi, dukungan psikososial, teknik untuk
meredakan kecemasan dan juga modifikasi pola hidup.
Gangguan Stres Pasca Trauma biasanya tidak langsung muncul setelah trauma
terjadi biasanya membutuhkan 1 minggu hingga 30 tahun. Setelah 1 tahun 50% pasien
dapat sembuh. Jika tidak diobati, 30% pasien dapat sembuh sempurna, 40% berlanjut
menjadi gejala ringan, 20% menjadi gejala sedang dan 10% tidak berubah atau menjadi
tambah parah. GSPT bisa memiliki prognosis yang baik bila diprediksi cepat, durasi
gejala yang singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi premorbid yang masih baik, dukungan
sosial yang kuat, dan tidak adanya gangguan psikiatri, medis dan terkait obat lain atau
faktor risiko lain.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI,
Jakarta; 2013

2. WHO | WHO releases guidance on mental health care after trauma [Internet]. WHO.
[dikutip 7 Februari 2017]. Tersedia pada:
http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2013/trauma_mental_health_20130806/e
n/

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Internet]. [dikutip 8 Februari 2017].


Tersedia pada: http://www.depkes.go.id/article/view/201410270010/lighting-the-hope-
for-schizoprenia-warnai-peringatan-hari-kesehatan-jiwa-tahun-2014.html

4. Murphy MJ, Cowan RL. Blueprints Psychiatry. 4'th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins;2007

5. Vacchiano CA, Wofford KA, Titch JF. Chapter 1 posttraumatic stress disorder: a view
from the operating theater. Annu Rev Nurs Res. 2014;32:1–23.

6. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins; 2011. 1504 hal.

7. Epidemiology of PTSD - PTSD: National Center for PTSD [Internet]. [dikutip 8


Februari 2017]. Tersedia pada: http://www.ptsd.va.gov/professional/PTSD-
overview/epidemiological-facts-ptsd.asp

8. Posttraumatic Stress Disorder: Practice Essentials, Background, Etiology. 6 Januari


2017 [dikutip 8 Februari 2017]; Tersedia pada:
http://emedicine.medscape.com/article/288154-overview

9. Breslau N. Epidemiologic Studies of Trauma, Posttraumatic Stress Disorder, and Other


Psychiatric Disorder. Can J Psychiatry. 10 Desember 2002;47:923–30.

10. Gates MA, Holowka DW, Vasterling JJ, Keane TM, Marx BP, Rosen RC. Posttraumatic
stress disorder in veterans and military personnel: epidemiology, screening, and case
recognition. Psychol Serv. November 2012;9(4):361–82.

11. Hines LA, Sundin J, Rona RJ, Wessely S, Fear NT. Posttraumatic stress disorder post
Iraq and Afghanistan: prevalence among military subgroups. Can J Psychiatry Rev Can
Psychiatr. September 2014;59(9):468–79.

12. Grieger TA, Cozza SJ, Ursano RJ, Hoge C, Martinez PE, Engel CC, et al. Posttraumatic
stress disorder and depression in battle-injured soldiers. Am J Psychiatry. Oktober
2006;163(10):1777–1783; quiz 1860.

13. Dorrington S, Zavos H, Ball H, McGuffin P, Rijsdijk F, Siribaddana S, et al. Trauma,


post-traumatic stress disorder and psychiatric disorders in a middle-income setting:
prevalence and comorbidity. Br J Psychiatry. 1 November 2014;205(5):383–9.

23
14. PTSD and Physical Health - PTSD: National Center for PTSD [Internet]. [dikutip 9
Februari 2017]. Tersedia pada: http://www.ptsd.va.gov/professional/co-occurring/ptsd-
physical-health.asp

15. The Effects of Trauma Do Not Have to Last a Lifetime [Internet]. http://www.apa.org.
[dikutip 9 Februari 2017]. Tersedia pada: http://www.apa.org/research/action/ptsd.aspx

16. McFARLANE AC. The long-term costs of traumatic stress: intertwined physical and
psychological consequences. World Psychiatry. Februari 2010;9(1):3–10.

24

Anda mungkin juga menyukai