Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan


banyak Negara di seluruh dunia. Pada tahun 2016, Indonesia memiliki 48.000 (43.000
- 52.000) infeksi HIV baru dan 38.000 (34.000 - 43.000) kematian terkait AIDS. Ada
620.000 (530.000 - 730.000) orang yang hidup dengan HIV pada tahun 2016,
diantaranya 13% (11% - 15%) mengakses terapi antiretroviral. Di antara ibu hamil
yang hidup dengan HIV, 14% (12% - 16%) mengakses pengobatan atau profilaksis
untuk mencegah penularan HIV pada anak-anak mereka. Diperkirakan 3200 (2500 -
4000) anak terinfeksi HIV karena penularan dari ibu ke anak. Populasi yang paling
terpengaruh oleh HIV di Indonesia adalah pekerja seks dengan prevalensi HIV 5,3%;
pria yang berhubungan seks dengan pria dengan prevalensi HIV 25,8%; orang yang
menyuntikkan narkoba, dengan prevalensi HIV 28,76%; orang transgender dengan
prevalensi HIV 24,8% dan tahanan dengan prevalensi HIV 2,6%. Sejak 2010, infeksi
HIV telah menurun sebanyak 22% dan kematian terkait AIDS telah meningkat sebesar
68%.1
Orang dengan penyakit HIV/AIDS dapat mengalami infeksi oportunistik.
Infeksi oportunistik adalah infeksi akibat adanya kesempatan untuk muncul pada
kondisi – kondisi tertentu yang memungkinkan, yang bisa disebabkan oleh organisme
non patogen. Infeksi ini dapat menyerang otak ( Toxoplasmosis, Cryptococcal ), paru
– paru ( Pneumocytis pneumonia, Tuberculosis ), mata ( Cytomegalovirus ), mulut dan
saluran napas ( Candidiasis ), usus (Cytomegalovirus, Mycobacterium avium complex
), alat kelamin ( Herpes genitalis, Human papillomavirus ), dan kulit ( Herpes simplex
). Secara klinis digunakan hitung jumlah limfosit CD4 sebagai penanda munculnya
infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS. CD4 adalah sebuah marker atau
penanda yang berada di permukaan sel – sel darah putih manusia, terutama sel – sel
limfosit. Sel ini berfungsi dalam memerangi infeksi yang masuk ke dalam tubuh.2
Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS yang
memerlukan terapi ARV, maka strstegi penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan
dengan memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta
pengobatan. Hal ini dapat menurunkan risiko infeksi oportunistik yang apabila berat
dapat menimbulkan kematian pada ODHA. Pada akhirnya, diharapkan kualitas hidup
ODHA akan meningkat.

1.2. Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai infeksi opurtunistik
pada pasien HIV

1.2.2 Tujuan Khusus


Memahami mengenai definisi, etiologi, perjalanan penyakit, dan macam-
macam infeksi opurtunistik pada pasien HIV serta penanganannya
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang
sistemkekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS (Acquired Immu
nodeficiency Syndrome). AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit
yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akubat infeksi HIV.AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.3

2.2. Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis
yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa
lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4
pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di
bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam
inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase
enzyme). 3

2.3. Patogenesis
HIV ditularkan melalui kontak seksual, paparan darah yang terinfeksi atau sekret
dari kulit yang terluka, dan oleh ibu yang terinfeksi ke janinnya atau melalui laktasi.
Siklus replikasi HIV dimulai dari ikatan antara HIV’s gp120 binding protein yang
terletak di permukaan virus dengan reseptor CD4. Molekul gp 41 akan menetrasi
membrane plasma sel target kemudian membawa virion ma suk kedalam sel target. 3
Yang menjadi ciri khas dari retrovirus ini adalah DNA yang terbentuk kemudian
bergabung dengan DNA genom dari sel yang diinfeksinya, sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.. Limfosit CD4+
merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap
molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah
fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan
respon imun yang progresif. Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu
setelah infeksi, namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi
virus telah menurun sampai ke level ‘steady state’. Walaupun antibodi ini umumnya
memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak
dapat mematikan virus. 3
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan
gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama
2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik
dengan atau tanpa pengobatan.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya
lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,
demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis,
infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.
Pada akhirnya, akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini
berarti telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului
oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis
menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan hilangnya
kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar limfe.3
Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan
hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+.
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV
menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai
dengan penurunan viremia. Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel
T CD4 terus terjadi hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan
terjadinya infeksi oportunistik.3

2.4. Stadium Klinis HIV


Klasifikasi stadium klinis HIV menurut WHO dibagi menjadi 4.4
1. Stadium 1 asimptomatik, tidak ada penurunan berat badan ,tanpa gejala atau
hanya limfadenopati generalisata
2. Stadium 2, terdapat penurunan berat badan <10%, ISPA berulang: sinusitis,
otitis media, tonsilitis, dan faringitis, herpes zooster dalam 5 tahun terakhir,
Cheilitis Angularis, ulkus mulut berulang, ruam kulit yang gatal (seboroik atau
prurigo), dermatitis seboroik, infeksi jamur pada kuku.
3. Stadium 3, penurunan berat badan >10%, diare dan demam yang tidak
diketahui penyebabnya >1 bulan, kandidiasis oral atau oral hairy leukoplakia,
TB Paru dalam 1 tahun terakhir, limfadenitis TB, infeksi bakterial yang berat:
Pneumonia, Piomiosis, anemia (<8 gr/dl), Trombositopeni Kronik (<50 x109
per liter)
4. Stadium 4, Sindroma Wasting (HIV), pneumoni pneumocystis, pneumonia
bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan, kandidiasis esofagus, Herpes
Simpleks Ulseratif >1 bulan, limfoma, sarkoma kaposi, kanker serviks yang
invasif, retinitis CMV, TB Ekstra paru, toksoplasmosis, ensefalopati HIV,
Meningitis Kriptokokus, Infeksi mikobakteria non - TB meluas,
Lekoensefalopati multifokal progresif , Kriptosporidiosis kronis, mikosis
meluas.

2.5. Infeksi oportunistik

Definisi Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi oleh organisme yang biasanya
tidak menyebabkan penyakit tetapi pada keadaan tertentu (misal: gangguan sistem
imun) menjadi patogenik. Dalam tubuh kita membawa banyak organisme seperti
bakteri, parasit, jamur, dan virus. Sistem kekebalan yang sehat mampu mengendalikan
kuman ini. Tetapi bila sistem kekebalan dilemahkan oleh penyakit HIV atau obat
tertentu, kuman ini mungkin tidak terkendali lagi dan menyebabkan masalah
kesehatan. Infeksi oportunistik HIV yang paling sering Hampir semua penyakit dapat
menjadi IO pada penderita HIV jika sistem imun mulai lemah. Berikut ini adalah IO
pada HIV yang paling sering.

1. Kandidosis: infeksi jamur pada mulut, tenggorokkan atau vagina


2. CMV (Cytomegalo Virus)
3. Mycobacterium Avium Complex (MAC)
4. Pneumocytis Carinii Pneumonia
5. Toksoplasmosis
6. Herpes Simpleks Virus (HSV)
7. Tuberculosis

2.5.1. Kandidiasis Oral 5,6,7


Definisi dan etiologi
Kandidiasis oral merupakan salah satu infeksi oportunistik di rongga mulut
yang paling sering pada penderita HIV, yang disebabkan oleh pertumbuhan abnormal
dari jamur. Faktor utama etiologi kandidiasis oral adalah spesies candida albicans,
meskipun spesies lain dari candida dapat terlibat.
Kandida albikans ini pada dasarnya adalah flora normal rongga mulut, namun
berbagai faktor seperti penurunan sistem kekebalan tubuh seperti pada HIV maupun
pengobatan kanker dengan kemoterapi, dapat menyebabkan flora normal tersebut
menjadi pathogen.

Klasifikasi dan gambaran klinis


Adapun kandidiasis oral dikelompokkan atas tiga, yaitu :.
1. Akut, dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
 Acute pseudomembranous candidiasis
Kandidiasis pseudomembranosus akut yang disebut juga sebagai
thrush. Jenis kandidiasis ini tampak sebagai plak mukosa yang putih, difus,
bergumpal atau seperti beludru, terdiri dari sel epitel deskuamasi, fibrin, dan
hifa jamur, dapat dikerok sehingga meninggalkan mukosa eritematous dan
kasar. Pada umumnya dijumpai pada mukosa pipi, lidah, dan palatum lunak.
Penderita kandidiasis ini dapat mengeluhkan rasa terbakar pada mulut.
Kandidiasis seperti ini sering diderita oleh pasien dengan sistem imun rendah,
seperti HIV/AIDS, pada pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid, dan
menerima kemoterapi.
Kondisi ini biasanya akut, tetapi pada penderita HIV bisa bertahan
beberapa bulan. Bentuk eritmatus ditandai oleh daerah merah dan gundul pada
bagian dorsum lidah.
Diagnosa dapat ditentukan dengan pemeriksaan klinis, kultur jamur,
atau pemeriksaan mikroskopis secara langsung dari kerokan jaringan.
 Kandidiasis Atropik Akut
Disebut juga midline glossitis, antibiotic candidiasis, glossodynia,
antibiotic tongue, acute erythematous candidiasis. Kandidiasis jenis ini
membuat daerah permukaan mukosa oral mengelupas dan tampak sebagai
bercak-bercak merah difus yang rata. Mungkin merupakan kelanjutan
kandidiasis pseudomembran akut akibat menumpuknya pseudomembran.
Daerah yang terkena tampak khas sebagai lesi eritematosa, simetris, tepi
berbatas tidak teratur pada permukaan dorsal tengah lidah, sering hilangnya
papila lidah dengan pembentukan pseudomembran minimal dan ada rasa nyeri.
Sering berhubungan dengan pemberian antibiotik spektrum luas,
kortikosteroid sistemik, inhalasi maupun topikal.

2. Kronik
 Kandidiasis Atropik Kronik
Disebut juga denture stomatitis, denture-sore mouth. Gambaran
khas berupa eritema kronis dan edema di sebagian palatum di bawah
prostesis maksilaris. Kandidiasis ini hampir 60% diderita oleh pemakai
gigi tiruan terutama pada wanita tua yang sering memakai gigi tiruan selagi
tidur
 Median Rhomboid Glositis
Median Rhomboid Glositis adalah daerah simetris kronis di anterior
lidah ke papila sirkumvalata, tepatnya terletak pada duapertiga anterior
dan sepertiga posterior lidah. Gejala penyakit ini asimptomatis dengan
daerah tidak berpapila

3. Keilitis Angularis
Keilitis angularis merupakan infeksi Kandida albikan pada sudut
mulut, dapat bilateral maupun unilateral. Sudut mulut yang terkena infeksi
tampak merah dan pecah-pecah, dan terasa sakit ketika membuka mulut. Keilitis
angularis ini dapat terjadi pada penderita defisiensi vitamin B12 dan anemia
defisiensi besi.

Diagnosis
Menemukan pseudohifa pada kultur rongga mulut dengan pemberian KOH
10%

Pengobatan:
- Oral thrush: clotrimazole 10 mg tablet hisap atau nistatin
- Esophageal candidiasis: fluconazole (100-200mg/dL) atau itraconazole
(200mg/dl), caspofungin, micafungin, amfotericin B (sebagai alternatif)

2.5.2. CMV (Cytomegalo Virus)8,9


Etiologi dan Penularan
Sitomegalovirus merupakan virus DNA yang tergolong famili herpetoviridae.
CMV merupakan patogen opportunistik. Resiko CMV tertinggi adalah pada saat
jumlah CD4 di bawah 50/mcl. Manusia adalah satu-satunya inang yang diketahui
untuk cytomegalovirus. Penularan memerlukan kontak langsung dari orang ke orang.
Virus mungkin dikeluarkan dalam urin, air liur, air susu, dan sekresi servikal dan
dibawa dalam sel darah putih yang bersirkulasi. Penyebaran secara oral dan
pernapasan kemungkinan merupakan jalur utama penularan sitomegalovirus. Virus ini
dapat menyebar melalui placenta, melalui transfusi darah, melalui transplantasi organ,
dan melalui kontak seksual.

Tanda dan Gejala


Demam akut dengan kerusakan jaringan parenkim sistem saraf pusat yang
menimbulkan kejang, kesadaran menurun, atau tanda-tanda neurologis fokal. Gejala
yang timbul pada sistem saraf tepi termasuk lemas pada lengan dan kaki, masalah
pendengaran dan keseimbangan, tingkat mental yang berubah, demensia, neuropati
perifer, koma dan penyakit retina yang dapat mengakibatkan kebutaan. Infeksi CMV
pada urat saraf tulang belakang dan saraf dapat mengakibatkan lemahnya tungkai
bagian bawah dan beberapa paralisis, nyeri bagian bawah yang berat dan kehilangan
fungsi kandung kemih. Infeksi ini juga dapat menyebabkan pneumonia dan penyakit
lambung-usus.

Diagnosis
Pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk membantu menegakkan
diagnosis ensefalitis CMV :
1. Pungsi Lumbal dan pemeriksaan cairan serebrospinal.
2. Elektroensefalografi (EEG)
Hasil EEG yang abnormal, kemungkinan adalah suatu ensefalitis, tetapi hasil
EEG yang normal tidak bisa menyingkirkan diagnosis ensefalitis.
3. CT Scan dan MRI
CT Scan dan MRI dikerjakan untuk memastikan bahwa penyebab dari timbulnya
gejala bukan karena abscess otak, stroke, atau kelainan struktural (tumor,
hematoma, aneurisma) Jika diduga suatu ensefalitis, CT Scan / MRI ini
dikerjakan sebelum pungsi lumbal untuk mengetahui adanya peningkatan
intrakranial.

4. Biopsi otak

5. Pemeriksaan darah : Pemeriksaan serologis untuk mengukur kadar antibodi


terhadap virus.
Plain CT Scan - HIV encephalitis.
Bilateral and symmetric diffuse hypodensity in the periventricular white matter
without any mass effect.

Penatalaksanaan
Pengobatan ensefalitis sitomegalovirus pada pasien dengan AIDS
membutuhkan obat khusus terhadap CMV dan pemulihan fungsi kekebalan melalui
penggunaan terapi anti retroviral (ART). Untuk virus CMV nya dapat diberikan
asiklovir (5mg/kgBB 2 kali sehari parenteral selama 14-21 hari, selanjutnya
5mg/kgBB sekali sehari dianjurkan sampai CD4>100 sel/ml). Sedangkan pengobatan
kausatif dapat diberikan diazepam 10-20 mg iv untuk mengatasi kejang, dan dapat pula
diberikan manitol 20% untuk anti udem serebri.

2.5.3. Mycobacterium Avium Complex (MAC)10

Definisi dan etiologic


‘ Kompleks mikobakterium Avium adalah suatu infeksi berat yang disebabkan
oleh bakteri umum. MAC juga dikenal sebagai MAI ( Mycobacterium Avium
Intracellulare) MAC disebabkan oleh infeksi dengan berbagai jenis mycobacterium:
Mycobacterium avium, Mycobacterium intracellulare, atau Mycobacterium kansasii.
Mycobacteria ini hidup di lingkungan kita, termasuk di tanah, air, makanan dan
partikel debu. Bakteri ini jarang menimbulkan penyakit bagi orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang sehat., tetapi pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah
seperti HIV dapat mengembangkan MAC. Infeksi MAC dapat lokal ( terbatas pada
suatu bagian tubuh) atau diseminata ( tersebar luas pada seluruh tubuh). Infeksi MAC
sering terjadi pada paru-paru, usus, sumsum tulang, hati dan limpa.
Gambaran Klinis
Hinga 50% Odha mengalami penyakit MAC, terutama jika jumlah CD4
dibawah 50. MAC hampir tidak pernah menyebabkan penyakit pada orang dengan
jumlah CD4 di atas 100. Gejala MAC dapat meliputi demam tinggi, diare, kehilangan
berat badan, sakit perut, kelelahan, dan anemia. Jika MAC menyebar dalam tubuh
dapat menyebabkan infeksi darah, hepatitis dan pneumonia.

2.5.4 Pneumocytis Carinii Pneumonia11

Definisi
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) atau yang saat ini dikenal dengan
Pneumocystis jirovecii pneumonia merupakan infeksi oportunistik tersering pada
pasien HIV terutama pada pasien dengan CD4 < 200.

Gejala
Pada pasien dengan HIV atau pasien dengan kandidiasis orofaring yang dicurigai HIV,
bila terdapat keluhan demam, sesak, dan/atau bantuk yang tidak produktif perlu
dicurigai adanya PCP. Gejala PCP biasanya ringan dan memberat dalam hitungan hari
hingga minggu. Namun sekitar 7% pasien dengan PCP tidak bergejala.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tidak spesifik, pasien dapat menunjukan gejala distress
pernapasan seperti takipneu, takikardia, dan sianosis. Pada auskultasi paru mungkin
terdapat krepitasi saat inspirasi hingga tidak ditemukan kelainan berarti pada kasus
ringan. Pada kasus berat dapat terjadi hipoksia

Pemeriksaan Radiologi
Pada foto toraks dapat menunjukkan pola interstitial bilateral yang homogen serta
diffuse dapat juga disertai dengan pneumotoraks spontan. Pada PCP, yang paling
berperan adalah gambaran CT scan dimana hasilnya ditemukan gambaran ground-
glass appearance (crazy paving) dengan distribusi tidak merata. Gambaran ground-
glass appearance lebih dominan pada daerah perihiler. Pada keadaan lebih lanjut akan
ditemukan septal lines dengan atau tanpa intralobular lines superimposed pada
ground-glass appearance serta konsolidasi.
Pneumocstis carinii pneumonia tidak dapat dikultur. Diagnosis definitifnya adalah
dengan menemukan organisme pada histopatologi sputum yang berasal dari induksi
atau BAL.

Terapi
PCP ringan-sedang (PaO2 > 70 mmHg : Trimetroprim oral 15-20 mg/kg/hari –
sulfametoksazole oral 75 – 100 mg/kg/hari (TMX-SMX) dibagi menjadi 3 atau 4 dosis
PCP sedang-berat (PaO2 < 70 mmHg : Trimetroprim IV 15-20 mg/kg/hari –
sulfametoksazole IV 75 – 100 mg/kg/hari (TMX-SMX) dibagi menjadi 3 atau 4 dosis

Gambar 1. Rontgen thoraks PCP


Gambar 2. CT Scan Thoraks PCP

Pada HIV, respon terapi muncul lebih lama, tapi harus terjadi dalam 8 hari pertama.
Bila hal tersebut tidak terjadi, maka perlu dicari

Setelah diagnosis PCP ditegakan, selanjutnya berikan kotrimoksazol setara dosis


trimetroprim 15 mg/kgBB terbagi dalam 3-4 dosis. Bila respon meembaik sebelum
hari ke 8 maka pasien boleh rawat jalan.

PCP derajat berat direkomendasikan untuk memberikan kortikosteroid sistemik dalam


72 jam pertama memulai terapi PCP. Kortikosteroid sistemik perlu diberikan jika PaO2
< 70 mmHg atau gradient oksigen alveolar-arteri lebih dari 35 mmHg. Dosis
kortikosteroid yang diberikan adalah prednisolone 40 mg 2 kali sehari per oral pada
hari ke 1-5 kemudian 40 mg satu kali sehari pada hari ke 6-10. Dilanjutkan dengan
prednisolone 20 mg satu kali sehari pada hari ke 11-21.
2.5.5 Toksoplasmosis12

Toxoplasma gondii hampir dapat ditemukan di seluruh dunia dan telah


menginfeksi lebih dari 50% populasi manusia di dunia. Toxoplasma gondii adalah
parasit obligat intraseluler, ada tiga jenis, tachyzoite (bentuk proliferatif), kista
(mengandung bradyzoite) dan oocyst (mengandung spozoit). Bentuk Tachyzoite
terlihat seperti bulan sabit dengan titik runcing, dan titik lainnya sekitar bulat. Kista
terbentuk di sel inang jika tachyzoit yang membelah membentuk dinding.. Kista dalam
tubuh inang dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung dan otot
lurik. Merupakan tahap beristirahat dari T. gondii. Oocyst memiliki bentuk ovale,
memiliki dinding, mengandung satu sporoblast yang terbagi menjadi dua sporoblast.
Pada perkembangan selanjutnya, kedua sporoblas membentuk dinding dan menjadi
sporocyst. Setiap sporokista mengandung empat spozoit yang memiliki ukuran sekitar
8 × 2 mikron.

Patogenesis toksoplasmosis pada host immunocompromised seperti pasien


HIV - AIDS dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain, penurunan jumlah sel CD4 +,
kegagalan produksi IL - 12, IL - 2 dan IFN - γ dan aktivitas sitotoksik dari T -
Limphocyte menurun. Sel yang terinfeksi virus HIV menghambat pembentukan IL -
12 dan IFN - γ, membuat mereka rentan terhadap infeksi toxoplasmosis. Tingkat IFN-
γ biasanya menurun pada pasien dengan AIDS dan dapat menyebabkan reaktivasi
toksoplasmosis kronis.

Manifestasi klinis pada immunocompromised seperti pasien dengan AIDS,


toksoplasmosis dapat menyebabkan ensefalitis, meningoensefalitis, miokarditis, dan
pneumonitis. Ensefalitis toksoplasma (TE) adalah manifestasi yang paling sering pada
pasien immunocompromised. Dalam 58-89% kasus terjadi pada manifestasi klinis
sub-akut dalam bentuk kelainan neurologis fokal, dalam 15-25% kasus dengan
manifestasi klinis yang lebih parah dari kejang dan pendarahan otak. Manifestasi klinis
lainnya seperti kehilangan kesadaran, meningismus, tanda serebelum, gangguan
neuropsikiatrik, demensia, agitasi. Pada pasien HIV risiko infeksi SSP terkait dengan
tingkat CD4, risiko lebih tinggi pada mereka yang hanya memiliki jumlah CD4 + <200
sel / mm3. Dalam beberapa penelitian mencatat bahwa untuk setiap penurunan sel CD4
+ 50 sel akan meningkatkan risiko TE hingga 30%, tetapi di era ARV (Terapi
Antiretroviral) risiko dan kematian akibat TE saat ini menurun karena peningkatan
sistem kekebalan tubuh. Toksoplasmosis pada pasien AIDS juga dapat menyerang
paru-paru, mata, dan organ lainnya. Toksoplasmosis paru (pneumonitis) terjadi
terutama pada pasien dengan manifestesi klinis AIDS lanjutan termasuk demam,
dyspnea, dan batuk dan sering sulit dibedakan dari pneumonia pneumocystic jeroveci.
Angka kematian berkisar dari 35%.

Reaktivasi infeksi kronis adalah penyebab paling sering toksoplasmosis pada


pasien immunocompromised. Titer IgM dan IgG meningkat saat reaktivasi. Meskipun
serum anti-Toksoplasma IgM dan IgG negatif tidak secara otomatis mengecualikan
diagnosis toksoplasmosis. Isolasi parasit dari darah dan cairan tubuh yang terinfeksi
adalah diagnosis yang pasti dari infeksi toxoplasmosis. Tes lain yang mungkin
dilakukan termasuk uji PCR untuk mendeteksi DNA T. gondii dalam darah atau cairan
tubuh. CT scan atau MRI harus dilakukan atas kecurigaan keterlibatan CNS pada
infeksi T.gondii. Gambaran lesi multiple ring -Enhance mendukung diagnosis
toksoplasmosis.

Terapi toksoplasmosis pada pasien HIV - AIDS dibagi menjadi 2 pengobatan


akut dan terapi maintenance. Terapi akut diberikan setidaknya selama 3 minggu dan
dapat diberikan selama 6 minggu jika respons lengkap tidak terjadi, terapi maintenance
diberikan untuk mencegah kekambuhan. Profilaksis primer dianjurkan pada HIV-
seropositif AIDS di mana jumlah CD4 + <100 / mm3 atau pasien dengan CD4 <200 /
mm3 disertai dengan infeksi oportunistik dan keganasan. Rejimen yang digunakan
dapat diberikan TMP - SMX (trimethoprim - sulfamethoxazole). Dosis TMP - SMX
adalah satu tablet kekuatan ganda (DS) (160 mg trimetoprim, 800 mg sulfametoksazol)
2 kali / hari (14 tablet DS / minggu).

Pada infeksi akut dapat diberikan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin.


Rejimen ini adalah rejimen standar untuk pengobatan TE. Dosis awal pirimetamin 200
mg / hari berikutnya 50-75 mg / hari ditambah sulfadiazine 4-8 g / hari selama 6
minggu kemudian dirujuk ke terapi supresif seumur hidup atau untuk meningkatkan
sistem kekebalan tubuh. Dalam beberapa studi disebutkan kombinasi pirimetamin -
klindamisin dan trimetoprim - sulfametoksazol seefektif penggunaan kombinasi
pirimetamin - sulfadiazin. Klindamisin dapat diberikan dengan dosis 600 mg PO / IV,
4 kali / hari selama 3-6 minggu. Dosis untuk terapi supresif 300-450 mg PO setiap 6-
8 jam. Kombinasi atovakon dengan pirimetamin atau sulfadiazin juga memberikan
efektivitas yang tinggi. Dapat diberikan pada dosis 750 mg (5 mL) PO saat makan
selama 21 hari. Dalam beberapa penelitian, rejimen ini memberikan hasil yang baik
pada gambaran klinis dan radiologis dari 77% dalam 6 minggu pengobatan dan tingkat
kekambuhan 5 % dalam periode pemeliharaan. Terapi profilaksis sekunder dapat
dimulai setelah terapi selesai pada fase akut diberikan, yang menggunakan rejimen
yang sama seperti pada fase akut tetapi dengan dosis setengah.
Profilaksis primer dapat dihentikan jika jumlah CD4 setelah penggunaan ARV
meningkat> 200 / mm3, dihentikan selama kurang lebih 3 bulan, dengan pemeriksaan
jumlah virus negatif. Profilaksis sekunder dihentikan jika pasien menjalani terapi akut
dan menunjukkan perbaikan klinis ditandai dengan hilangnya tanda-tanda dan gejala
toksoplasmosis dan peningkatan sistem kekebalan tubuh setelah pengobatan dengan
HAART ditandai dengan peningkatan CD4 +> 200 / mm3 diselesaikan selama sekitar
6 bulan.

2.5.6. Herpes Simpleks Virus (HSV)


Virus herpes simpleks (HSV) termasuk jenis patogen yang dapat
menyesuaikan diri dengan tubuh host. Terdapat 2 jenis HSV yaitu virus herpes
simpleks tipe 1 (HSV-1) dan tipe2 (HSV-2). HSV-1 dikaitkan dengan penyakit
orolabial, sedangkan HSV-2 dikaitkan dengan penyakit genital. Namun, infeksi
HSV-1 dapat menyebabkan herpes genital. Sekitar 80% infeksi HSV tidak
menunjukkan gejala (asimptomatis). Gejala infeksi sering terjadi pada host yang
imunokompromis. Infeksi dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa.23
Definisi23
Herpes Simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh infeksi virus herpes
simpleks (HSV). Vrius Herpes simpleks terdiri dari 2 tipe yaitu HSV 1 dan HSV 2.
Infeksi HSV ditandai dengan adanya vesikel berkelompok diatas kulit eritematosa
pada daerah mukokutan disertai nyeri. Infeksi dapat berlangsung primer maupun
rekurens. HSV 1 ditransmisikan secara oral-oral dikaitkan dengan infeksi orofasial,
tetapi dapat juga menyebabkan herpes genital. Sedangkan HSV 2 ditrasmisikan secara
genital terkait dengan herpes genital. Hampir semua infeksi HSV terjadi secara
asimptomatik tetapi dapat juga menyebabkan gejala. Gejala yang titimbulkan berupa
vesikel berkelompok diatas kulit eritematous dengan nyeri ringan hingga berat. 23
Herpes Simplex Virus Tipe 1 (HSV1)
HSV 1 merupakan infeksi yang sangat menular. Infeksi HSV 1 umumnya merupakan
infeksi yang didapat sewaktu masa kanak-kanak, dan menimbulkan infeksi jangka
panjang. Mayoritas infeksi HSV 1 menyebabkan herpes oral, tetapi juga dapat
menyebabkan herpes genital. 23
Gambaran Klinis
Hampir semua herpes oral tidak menunjukkan gejala (asimptomatik) dan mayoritas
penderita tidak menyadari jika mereka menderita herpes. Apabila menimbulkan
gejala, gejala berupa vesikel / ulser berkelompok disekitar mulut (cold sore). Selain
itu, terdapat juga rasa kesemutan, gatal, terbakar pada area seitar mulut sebelum
timbulnya vesikel/ulser. Pada orang dengan imunokompromis, terutama pada infeksi
HIV tahap lanjut, infeksi HSV dapat menimbulkan gejala yang berat dan sering terjadi
rekurensi. 23

Herpes Simpleks Virus tipe 2 (HSV 2)


HSV-2 merupakan penyebab utama herpes genital, meskipun HSV 1 juga dapat
menyebabkan herpes genital. Infeksi HSV-2 merupakan infeksi jangka panjang dan
tidak dapat sembuh. HSV-2 ditularkan melalui hubungan seks, dimana terdapat kontak
genital, kulit, ulkus atau cairan dari orang yang terinfeksi. 23
Infeksi HSV-2 dan HIV
Infeksi HSV-2 dan HIV saling menimbulkan dampak satu sama lain. Infeksi HSV-2
meningkatkan resiko terkena HIV sebanyak 3 kali lipat. Pada penderita HIV dan HSV-
2 lebih cepat menularkan HIV kepada orang lain. HSV-2 merupakan infeksi paling
sering pada penderita HIV, sekitar 60-90% penderita HIV. Infeksi HSV-2 pada
penderita HIV menimbulkan gejala yang lebih berat dan rekurensi yang lebih sering.
Pada HIV tahap lanjut, HSV-2 menimbulkan gejala yang lebih serius, tetapi
komplikasi seperti meningoensefaltis, esofagitis, hepatitis, pneumonitis, nekrosis
retina, dan infeksi diseminata jarang. 23
Gambaran klinis
Infeksi HSV-2 sering tifak bergejala atau hanya memiliki gejala ringan dan sering
tidak disarasi. Apabila menunjukkan gejala, gejala yang timbul berupa 1 atau lebih
vesikel/ulkus di area genital. Gejala awal infeksi dapat disertai dengan demam, badan
pegal, dan pembengkakkan kelenjar limfe. Infeksi berulang menimbulkan gejala yang
lebih ringan dibandingkan dengan infeksi pertama. 23

Hubungan CD 4 dengan infeksi HSV pada pasien HIV


Berdasarkan studi review sistematis penelitian observasi, menunjukkan tidak
ada hubungan antara HSV-2 seropositif, inisial terapi antiretroviral, CD4≤350 (n=1),
CD4≤200, kematian, viral load dan jumlah CD4. Hampir semua infeksi oportunistik
dapat terjadi pada jumlah CD4 yang tinggi dan tidak menunjukkan progresivitas HIV.
Terdapat sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa infeksi HSV-2 meningkat
terkait dengan jumlah viral load 0.4 log copies/mL.24

Menurut sebuah sutdi di Eropa yang melibatkan 487 wanita HIV positif yang
terdiri dari 276 wanita dengan HSV positif, menunjukkan prevalensi antibodi HSV
tinggi dan gejala infeksi HIV minimal. Gejala meningkat seiring dengan penurunan
hitung CD4. HSV-2 terkait dengan aktivitas seksual pada kelompok HIV dalam
penelitian ini. 25

Menurut penelitian yang dilakukan di Universitas Padjajaran Bandung,


menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara seropositivitas HSV-1 dan -
2 dengan jumlah CD4. Namun, sebagian besar pasien seropositif HSV-2 memiliki
jumlah CD4 < 200 sel/mm3. 26
Pengobatan 23
2.5.7. Tuberkulosis
Berdasarkan data WHO, Tuberkulosis adalah penyebab kematian ke-9 di
dunia. Pada tahun 2016, kematian sekitar 1.300.000 penderita TB tanpa HIV dan
374.000 pada HIV positif. Pada tahun 2016, secara global, tingkat mortalitas TB
menurun sebanyak 3 % per tahun. TB dengan HIV juga merupakan penyebab
kematian yang tinggi di seluruh dunia. Pada tahun 2014, kematian pasien HIV
diperkirakan sekitar 1,2 juta penduduk, termasuk 0.4 juta dengan infeksi TB dan
HIV.13
Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis). Penyakit TB telah ada sejak 70.000
tahun yang lalu. TB paling sering melibatkan jaringan paru, dapat juga menyebabkan
organ selain paru pada sepertiga kasus. Transmisi M.Tuberkulosis terjadi melalui
droplet dari orang yang terinfeksi TB paru.14
Hubungan CD4 dengan infeksi TB
Infeksi TB pada HIV tidak dipengaruhi oleh jumlah CD4. Infeksi TB
meningkat pada jumlah CD4 yang rendah. Menurut sistematis review, pengobatan
dini ARV sangat penting untuk menurunkan resiko infeksi TB pada orang dengan
HIV/AIDS untuk meningkatkan jumlah CD4.15
Manifestasi
TB paling sering menyerang paru-paru dengan gejala klasik berupa batuk 2 minggu
atau lebih, menurunnya berat badan, demam, keringat malam hari, batuk berdarag,
nyeri dada, tidak nafsu makan, dan lemah.16
Diagnosis
Gold standar dari diagnosis TB paru yaitu dengan pemeriksaan sputum BTA.
Sputum BTA dikatakan positif apabila dari 3 pemeriksaan, didapatkan 3 pemeriksaan/
2 pemeriksaan positif. Jika dari 3 pemeriksaan hanya 1 yang positif maka dapat
dilakukan pemeriksaan dahak ulang atau foto thorax. Dan jika didapatkan dari 3
pemeriksaan dahak ulang, ada satu yang positif maka dapat didiagnosis dengna TB.
Jika dari 3 pemeriksaan ketiga nya negatif maka dapat diberikan antibiotic dan jika
tidak ada perbaikan dapat dilakukan pemeriksaan dahak ulang. Jika didapatkan dari 3
pemeriksaan dahak ulang, ada satu yang positif maka dapat didiagnosis dengan TB
dan jika ketiganya negatif dapat dilakukan foto thoraks. Apabila hasil foto thoraks
mendukung gambaran TB maka dapat didiagnosis dengan TB.17
Pengobatan
Berdasarkan ISTC , semua pasien TB yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB maupun yang tidak memiliki faktor resiko untuk resistensi obat
diberikan regimen Tb lini pertama. Regimen Pengobatan TB lini pertama terdiri dari
fase inisial dan fase intensif. Fase inisial diberikan setiap hari selama 2 bulan,
sedangkan fase intensif diberikan 3 kali seminggu selama 4 bulan. Fase inisial terdiri
dari Isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Sedangkan fase intensif, terdiri
dari isoniazid dan rifampisin. Rifampisin merupakan antituberkulosis yang efektif
pada M. Tuberculosis yang masih sensitif. Pada pengobatan rifampisin yang tidak
16,17
adekuat, dapat menyebabkan terjadinya resistensi obat antituberkulosis.
Berdasarkan Pedoman Nasional TB Indonesia tahun 2014, Paduan pengobatan yang
digunakan adalah 16,17
 Kategori 1 : 2(HRZE)4(HR)3
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
 Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA (S)/4-10HR
 Obat yang digunakan untuk tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia
yaitu OAT lini kedua, terdiri dari kanamisin, kapreomisin, levofloksasin, etionamid,
Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini pertama, yaitu pirazinamid dan
etambutol.

Berdasarkan ISTC, pada pasien dengan infeksi HIV dan TB yang menderita
imunosupresi berat (hitung CD4 kurang dari 50 sel/mm3), ARV harus dimulai dalam
waktu 2 minggu setelah dimulainya pengobatan TB kecuali jika ada meningitis TB.
Untuk semua pasien HIV dan TB, terlepas hasil hitung CD4, terapi ARV harus
dimulai dalam waktu 8 minggu semenjak awal pengobatan TB. Pasien dengan infeksi
TB dan HIV harus diberikan kotrimoksazol untuk pencegahan infeksi lain. Pasien
dengan infeksi HIV yang telah dievaluasi tidak memiliki TB aktif harus diobati
sebagai infeksi TB laten dengan isoniazid selama setidaknya 6 bulan.17

.
BAB III
KESIMPULAN

HIV (Human Immuno Devesiensi) adalah virus yang hanya hidup dalam tubuh
manusia, yang dapat merusak daya kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acguired
Immuno Deviensi Syndromer) adalah kumpulan gejala menurunnya gejala kekebalan
tubuh terhadap serangan penyakit dari luar. Tanda dan Gejala Penyakit AIDS
seseorang yang terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan
tanda dan gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai
6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV
tersebut. Hingga saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya termasuk serum
maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV
penyebab penyakit AIDS yang ada hanyalah pencegahannya saja.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prevalency HIV in Indonesia. Unaids.org. (2018). Indonesia. [online]
Available at: http://www.unaids.org/en/regionscountries/countries/indonesia
[Accessed 27 Sep. 2018].

2. Saeed, N. (2018). View of Prevalence of opportunistic infections in HIV-


positive patients in Bahrain: a four-year review (2009-2013). [online] Jidc.org.
Available at: https://jidc.org/index.php/journal/article/view/25596573/1232
[Accessed 27 Sep. 2018].
3. Klatt, E. (2018). Patology of HIV/AIDS. [online] Library.med.utah.edu.
Available at: https://library.med.utah.edu/WebPath/AIDS2017.PDF
[Accessed 27 Sep. 2018].
4. Who.int. (2018). Clinical staging of HIV. [online] Available at:
http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/arv2013/annexes/WHO_CG_annex_1
.pdf [Accessed 27 Sep. 2018].
5. Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
2006
6. Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency
(HIV)/Acquired Immunodeficiency Sindrome). Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC,2006
7. Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS.
2006
8. Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
2006
9. Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency
(HIV)/Acquired Immunodeficiency Sindrome). Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC,2006
10. The Mycobacterium avium Complex, asm.org (1993). Amerikia. [online]
Available at: https://cmr.asm.org/content/cmr/6/3/266.full.pdf [Accessed
July. 1993 )
11. Dewi Rizki Agustina, dkk. Diagnosis dan Tata Laksana Pneumocystis Carinii
Pneumonia (PCP) / Pneumocystis Jirovecii Pneumonia pada pasien HIV :
Sebuah Laporan Kasus. Jakarta : Divisi alergi imunologi, departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUPN dr.
Cipto Mangunkusumo, Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, Vol. 4 No. 4.
Desember 2917
12. Yuliawati, I. (2018). Patogenesis,diagnostic and treatment of toxoplasmosis.
[online] E-journal.unair.ac.id. Available at: https://e-
journal.unair.ac.id/IJTID/article/viewFile/2008/1657 [Accessed 27 Sep.
2018].
13. Tuberculosis. WHO. 2018. Available from:
http://www.who.int/immunization/diseases/tuberculosis/en/
14. Kasper. Harisson Principle of Internal Medicine 19 ed. 2015. Available from
:https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=iQ4LDgAAQBAJ&oi=fnd
&pg=PR5&dq=tuberculosis+can+be+cured&ots=9f1uowsdHR&sig=RlP52z
y7o2UfUWqAi750MNEDwOA&redir_esc=y#v=onepage&q=tuberculosis%
20can%20be%20cured&f=false
15. Penelope K. Ellis, Willam J. Martin, and Peter J. Dodd.CD4 count and
tuberculosis risk in HIV-positive adults not on ART: a systematic review and
meta-analysis.2017. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5733368/
16. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Indonesia. 2014.
Available from : http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf
17. ISTC (http://www.tbindonesia.or.id/tbidcnt/uploads/2017/02/BUKU-TB-IDI-
Standard-Internasional-Untuk-Penanganan-TB-ISTC-Edisi-3.pdf )

18. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : Interna Publishing; 2009.
19. Arif, M. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi III. Jakarta: Penerbit
Media Aesculapius FKUI.
20. Center for Disease Control and Prevention (CDC). 2013. Malaria. Available
at: https://www.cdc.gov/malaria/resources/pdf/treatmenttable.pdf )
21. Kementrian Kesehatan RI. Epidemiologi malaria di Indonesia. 2011.
22. World Health Organization (WHO). Herpes Simplex Virus. 2017. Available
at: http://www.who.int/news room/fact-sheets/detail/herpes-simplex-virus
23. Darrell Hoi-San Tan, Kellie Murphy,Prakesh Shah, Sharon Lynn Walmsley.
Herpes simplex virus type 2 and HIV disease progression: a systematic
review of observational studies. 2013. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3819722/
24. BHB van B, J spaargaren, J A R vanden H, J Merks, R Coutinho et all.
Prevalence and risk Factors of HSV-1 and HSV-2 antibodies in European HIV
infected women. 2001. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1744291/
25. Irna Sufiawati, Sunardhi Widyaputra, and Tony S. Djajakusumah.
Seroprevalence of Herpes Simplex virus types 1 and 2 and their association
with CD4 count among HIV-positive patients. 2012. Available
from:https://www.researchgate.net/publication/307842282_Seropreva
lence_of_Herpes_Simplex_virus_types_1_and_2_and_their_association_wit
h_CD4_count_among_HIV-positive_patients

Anda mungkin juga menyukai