Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN SARAF TINJAUAN PUSTAKA

FAKULTAS KEDOKTERAN
September 2017
UNIV. AL-KHAIRAAT PALU

TINJAUAN PUSTAKA
TETANUS

Disusun Oleh:

Novi Herman 12 777 030

Pembimbing:
dr. Nur Faisah, M. Kes, Sp.S
dr. Masita Muchtar

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN KEDOKTERAN SARAF
PROGRAM PENELITIAN PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2017

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan


penyakit endemik di 90 negara berkembang. Bentuk yang paling sering pada anak
adalah tetanus neonatorum yang menyebabkan kematian sekitar 500.000 bayi tiap
tahun karena para ibu tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus pada anak yang lebih
besar berhubungan dengan luka, sering karena luka tusuk akibat objek yang kotor
walaupun ada juga kasus tanpa riwayat trauma tetapi sangat jarang, terutama pada
tetanus dengan masa inkubasi yang lama. Spora Clostridium tetani dapat
ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat, terutama di daerah
rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di
negara berkembang. 1
Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi.
Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka
kematian tetanus neonatorumnya tinggi. Pada tahun 1988 jumlah angka kematian
tetanus neonatorum sebesar 10,9 %, dan tahun 1992 sebesar 7,3 %. Angka
tersebut cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga yakni Vietnam
dengan jumlah kematian karena tetanus neonatorum tahun 1988 sebanyak 9598
dan tahun 1992 berjumlah 85550 dan angka kematian tahun 1988 dan 1992 adalah
4.8 ‰ dan 4,2 ‰ secara berurutan. 1
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan
yang tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus
mempunyai case fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat
didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih menurunkan
angka kematian. Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh
pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis,
komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit
ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat
dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta
diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala
klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf
pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot.1
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram
positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini
menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran
tongkat penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan
terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat
dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda.
Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk
vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.
Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan
menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung
saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang. 1

ETIOLOGI

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani Bakteri ini
berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan
juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa
tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang
atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh
penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.3
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus,
bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini
dikenal dengan nama tetanus neonatorum.3

PATOFISIOLOGI

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka


dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah,
nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya
penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama
berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin
yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh
kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani.
Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian
para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan
atas percobaan pada hewan.
Penyebaran toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar
dengan berbagai cara, sebagai berikut :
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka,
kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke
dalam susunan saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah
sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik,
namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui
pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan
beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam
pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan
pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena.
Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena
sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin
bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah,
sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan
saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara
retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan
autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus
motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf
inhibitor.2
Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin:2,4
a. Tetanus lokal
Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin
tetanus yang masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin
yang berada di sekitar luka.
b. Tetanus sefal
Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-
otot yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari
batang otak dan medula spinalis servikalis.
c. Ascending Tetanus
Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya
mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah
terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara
asenderen masuk ke dalam SSP.
d. Tetanus umum
Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai
otot dan kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus
kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini
disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling
pendek adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan
mengenai daerah lain sesuai urutan panjang saraf.
Mekanisme kerja toksin tetanus:
1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin
mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik
dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum
diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai
patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik
pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting
untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan
toksisitas belum diketahui secara jelas.
3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf
pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti
glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA
adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi
mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah
sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik
menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan
cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.
Perubahan akibat toksin tetanus:
1. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan
listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance
excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari
SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf
inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara,
emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di
daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti
retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini
mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang
resisten terhadap toksin.
- Rasa Sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala
ditemukan neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak
ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf
ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.
- Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar
biasanya brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa
jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang
diberikan.
2. Aktifitas neuromuskular perifer
Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga
mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di
susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak
terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-
kadang efek neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus
fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin
atau karena axonopathi.
Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:
a. Neuropati perifer
b. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang
terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa
bulan setelah sembuh.
c. Denervasi parsial dari otot tertentu.
3. Perubahan pada sistem saraf autonom
Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis,
hal ini mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem
tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang
berasal dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu
anterior ke kornu lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom
bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran
cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat
pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.
4. Gangguan Sistem pernafasan
Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :
a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot
diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang
yang terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga
dada sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan
gagal nafas yang ditandai dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat
terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang
tidak terkena efek toksin.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena
adanya spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat
batuk dan menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk
terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia
dan atelektasis.
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.
d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal
Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan
yang terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic
pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau
infeksi sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.
e. Gangguan pusat pernafasan
Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat
pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan
otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada
hewan percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan
resistensi terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan
pada penderita tetanus adalah :
- Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa
ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan
sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai
½-1 jam.
- Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged
respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.
- Henti nafas akut dan mati mendadak. Sekalipun demikian gangguan pusat
pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder seperti hipoksia
rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring,
hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan
keseimbangan asam basa.
5. Gangguan hemodinamika
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan
gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika
pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena :
- Kendala etik
- Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis,
infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa,
yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi
- Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik
mempersulit penilaian dari hasil penelitian.
6. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya
kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan
perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu
dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan
memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma
dan urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen
tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah
dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya.
Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan
menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan
ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai
antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk.
Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang
sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.
7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai
terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia
akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan
alertness dan awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari
batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut
saraf khusus yang merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf
tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin,
TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme
umpan balik hipofise-kelenjar endokrin.
8. Gangguan pada sistem lain
Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara
langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh
tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan
kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut
sulit ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati
dan abnormalitas traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek
toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan
elektrolit dan metabolik yang terganggu.
Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi
urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena
efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf
perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat
gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ
tertentu.2,4

GEJALA KLINIS

Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3
atau beberapa minggu ).1

Kharekteristik dari tetanus

1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.

Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena


spasme otot masetter.
1. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )

2. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .

3. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai
dengan.

4. Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.

5. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).

Adapun gejala klinis berdasarkan klasifikasi tetatus, yaitu:

a. Tetanus Lokal (Lokalited Tetanus)


Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan
tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan
dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.

Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam
bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal tetanus ini
dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal
ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.

b. Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung.11

c. Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang
tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam.
Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan
oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa
Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus
( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa
terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C.
Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan
dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya
berdasarkan gejala klinis.

d. Neonatal Tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu
proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat
yang telah terkontaminasi.

Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional


yang tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.

Menurut penelitian E. Hamid. dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.


Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus
tetanus. Biasanya ditolong melalui tenaga persalianan tradisional ( TBA =
Traditional Birth Attedence ) 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39
% ) ,dan selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %) ).11

DIAGNOSIS

a. Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:9,10


1. Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat
luka.
2. Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
3. Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan
otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
4. Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
5. Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun
spontan dimana kesadaran tetap baik.
b. Temuan laboratorium :9
1. Lekositosis ringan
2. Trombosit sedikit meningkat
3. Glukosa dan kalsium darah normal
4. Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
5. Enzim otot serum mungkin meningkat
6. EKG dan EEG biasanya normal
7. Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram
positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
8. Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

DIAGNOSIS BANDING

Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah:1


1. Meningitis bakterialis
2. Rabies
3. Poliomielitis
4. Epilepsi
5. Ensefalitis
6. Keracunan striknin
7. Sindrom Shiffman
8. Efek samping fenotiazin

KOMPLIKASI

Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia


dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi
antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan
hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan
aspirasi pneumonia atau atelektasis.
Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia,
gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur
vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli,
pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan
asidosis metabolik. 3,5

PROGNOSIS

Prognosis tetanus diklassikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :


1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )
2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih
pendek atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada
lamanya masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin
jelek.
Prognosa tetanus neonatal jelek bila:
1. Umur bayi kurang dari 7 hari
2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam
4. Dijumpai muscular spasm.
Case Fatality Rate ( CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus
neonatorum > 60%.1,3

PENATALAKSANAAN

a. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan
sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan
luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202, dalam hal ini
penatalaksanaan terhadap luka tersebut dilakukan - 2 jam setelah ATS dan
pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit. 6

b. Obat- obatan
1. Antibiotika :

Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta IU / hari selama 10 hari, IM.


Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 IU / KgBB/
12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline,
obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/
24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4
dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000
unit /kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.

Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,


bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi
pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.7

2. Antitoksin

Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan


dosis 3000-6000 IU, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan
secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of
globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius.

Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang
berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 IU, dengan cara pemberiannya adalah :
20.000 IU dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaCl fisiologis dan
diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-
45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 IU) diberikan secara IM pada
daerah pada sebelah luar.7
3. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan
pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang
berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai
imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. 7

4. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik
yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan
penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat
diatasi.
Jenis Antikonvulsan, yaitu Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam
(IM), Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM), Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam
(IM), Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM)
Di Bagian llmu Kesehatan Anak RS Dr. Pirngadi/ FK USU, obat anti
konvulsan yang dipergunakan untuk tetanus noenatal berupa diazepam, obat ini
diberikan melalui bolus injeksi yang dapat diberikan setiap 2 – 4 jam. Pemberian
berikutnya tergantung pada basil evaluasi setelah pemberian anti kejang.
Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal
pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun.
Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan ( setelah kejang terkontrol )
adalah 20 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan
tiap 3 jam ). Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih
terus berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang
dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari( dosis maintenance ).
Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat, dan ini
dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai
adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10
-15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara
drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan
dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol kejang yang
terjadi.Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera
dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang
dipertahankan selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini
dilakukan untuk selanjutnya . Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih
terjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti
kejang lainnya harus dilakukan.6,8

PENCEGAHAN

Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan
artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi
luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak
terbentuknya kekebalan pada penderita setelah sembuh dikarenakan toksin yang
masuk kedalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin
( karena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun
dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang
adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).

Ada beberapa kejadian dimana dijumpai natural imunitas. Hal ini diketahui
sejak C. tetani dapat diisolasi dari tinja manusia. Mungkin organisme yang berada
didalam lumen usus melepaskan imunogenic quantity dari toksin. Ini diketahui
dari toksin dijumpai anti toksin pada serum seseorang dalam riwayatnya belum
pernah di imunisasi, dan dijumpai/adanya peninggian titer antibodi dalam serum
yang karakteristik merupakan reaksi secondary imune response pada beberapa
orang yang diberikan imunisasi dengan tetanus toksoid untuk pertama kali.

Dengan dijumpai natural imunitas ini, hal ini mungkin dapat menjelaskan
mengapa insiden tetanus tidak tinggi, seperti yang semestinya terjadi pada
beberapa negara dimana pemberian imunisasi tidak lengkap/ tidak terlaksana
dengan baik.

Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan
satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan
pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara
pemberian imunisasi aktif ( DPT atau DT ).7

Pencegahan pada orang dewasa maupun anak-anak dengan melakukan


perawatan luka terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga
tercemar dengan spora tetanus. Selain itu, juga dilakukan pemberian ATS dan
HTIG profilaksis, namun ATS hanya efektif pada luka baru (<6 jam).7

BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama : Sdra. MG
Umur : 20 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jalan Asam No. 24
Tanggal masuk RS : 2 Oktober 2017 (17:00 WITA)
Tanggal pemeriksaan : 3 Oktober 2017

ANAMNESIS

Keluhan Utama:
Kaku seluruh tubuh

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien laki-laki masuk Rumah Sakit Umum Anutapura dengan keluhan


kaku seluruh tubuh yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan tersebut dirasakan memberat menjalar sampai ke mulut sehingga pasien
tidak bisa membuka mulut. Pasien saat ini tidak sadarkan diri. Sebelum dibawa ke
rumah sakit pasien mengalami demam. Riwayat kecelakaan 1 minggu yang lalu,
terdapat luka tusuk pada ibu jari kaki sebelah kanan dan pasien mengalami kejang.
Pasien merupakan rujukan dari RSUD Undata.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit serupa dengan pasien.

PEMERIKSAAN FISIS
 Keadaan umum : Sakit berat
 Kesadaran : Stupor
 Gizi : Baik
 Tanda-tanda vital:
 Tekanan darah : 110/80 mmHg
 Nadi : 108x/menit
 Suhu : 37,5ºC
 Pernapasan : 24 x/menit

TORAKS Inspeksi : Simetris bilateral


Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

*Paru Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan


Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
*Jantung Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan


Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
ABDOMEN Inspeksi : Dalam batas normal
Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Palpasi : Lemas/Tegang : Tidak dilakukan pemeriksaan
Hepar : Tidak dilakukan pemeriksaan
Lien : Tidak dilakukan pemeriksaan

PEMERIKSAAN PSIKIATRI
- Emosi dan afek : Sulit dinilai Penyerapan : Sulit dinilai
- Proses berpikir : Sulit dinilai Kemauan : Sulit dinilai
- Kecerdasan : Sulit dinilai Psikomotor : Sulit dinilai
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Status Neurologis : GCS 6 : E2 M2 V2
1. Kepala:
-Posisi : Central - Bentuk/Ukuran : Normocephal
-Penonjolan : Tidak ada - Auskultasi :-

2. N. cranialis:

Nervi Cranialis Kanan Kiri


N. I Penghidu Sulit dinilai
N. II Ketajaman Penglihatan Sulit dinilai
Lapangan Penglihatan Sulit dinilai
N. III, Celah Kelopak Mata
IV, VI
Ptosis Sulit dinilai Sulit dinilai
Exoftalmus Sulit dinilai Sulit dinilai
Posisi bola mata Central Central
Pupil
Ukuran/bentuk Sulit dinilai Sulit dinilai
Isokor/anisokor Sulit dinilai Sulit dinilai
Refleks Cahaya (langsung dan tidak Sulit dinilai Sulit dinilai
langsung)
Refleks Akomodasi Sulit dinilai
Gerakan bola mata
Parese kearah Sulit dinilai
Nistagmus Sulit dinilai
N. V Sensibilitas N. V1, V2, V3 Sulit dinilai
Motorik (Istirahat/Menggigit) Sulit dinilai
Refleks Cornea Sulit dinilai
N. VII Motorik M. Frontalis M. Orbic. Oculi M. Orbic. Oris
Nervi Cranialis Kanan Kiri
Istirahat Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Gerakan Mimik Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
N. VIII Pendengaran Sulit dinilai
Tes Rinne/Weber Tidak dilakukan
Fungsi vestibularis Tidak dilakukan
N. IX/X Posisi arkus pharinks (istirahat/AAH) Tidak dilakukan
Refleks telan/muntah Tidak dilakukan
Pengecap 1/3 lidah bagian belakang Tidak dilakukan
Fonasi Tidak dilakukan
N. XI Memalingkan Kepala Tidak dilakukan
Mengangkat Bahu Tidak dilakukan
N. XII Deviasi lidah Tidak dilakukan
Fasciculasi Tidak dilakukan
Atrofi Tidak dilakukan
Tremor Tidak dilakukan
Ataxia Tidak dilakukan

3. Leher:
 Tanda-tanda perangsangan selaput otak
Kaku kuduk: Tidak dilakukan
Kernig sign: Tidak dilakukan
 Kelenjar lymphe : Tidak ditemukan pembesaran
 Arteri karotis
Palpasi: Berdenyut
Auskultasi: Tidak dilakukan
 Kelenjar gondok: Tidak ditemukan pembesaran
4. Abdomen:
 Refleks kulit dinding perut: Tidak dilakukan pemeriksaan
5. Kollumna vertebralis
 Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Pergerakan : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
6. Ekstremitas:
Superior Inferior
D S D S
 Motorik:
Pergerakan SD SD SD SD
Kekuatan SD SD SD SD
Tonus otot SD SD SD SD
 Otot yang terganggu: Sulit dinilai
 Refleks fisiologis
Biceps Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Triceps Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Radius Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Ulna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Klonus: Lutut: -/-
Kaki: -/-

 Reflex patologis:
Hoffman: Tidak dilakukan
Tromner: Tidak dilakukan
Babinski: Tidak dilakukan
Chaddock: Tidak dilakukan
Gordon: Tidak dilakukan
Schaefer: Tidak dilakukan
Oppenheim: Tidak dilakukan
 Sensibilitas:
 Ekstroseptif
Nyeri: Sulit dinilai
Suhu: Sulit dinilai
Rasa raba halus: Sulit dinilai
Rasa sikap: Sulit dinilai
Rasa nyeri dalam: Sulit dinilai
 Fungsi Kortikal
Rasa diskriminasi: Sulit dinilai
Stereognosis: Sulit dinilai
7. Pergerakan abnormal yang spontan: Tidak ada
8. Gangguan koordinasi: Sulit dinilai
9. Gangguan keseimbangan: Sulit dinilai
10. Pemeriksaan fungsi luhur: Sulit dinilai

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium:

1. K+ : 4.03 mmol/L
2. Na+ : 152.07 mmol/L
3. Cl : 101.98 mmol/L

RESUME

Pasien laki-laki umur 20 tahun masuk Rumah Sakit Umum Anutapura


dengan keluhan kaku seluruh tubuh yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan tersebut dirasakan memberat menjalar sampai ke mulut
sehingga pasien tidak bisa membuka mulut. Pasien saat ini tidak sadarkan diri.
Sebelum dibawa ke rumah sakit pasien mengalami demam. Riwayat kecelakaan 1
minggu yang lalu, terdapat luka tusuk pada ibu jari kaki sebelah kanan dan pasien
mengalami kejang. Pasien merupakan rujukan dari RSUD Undata.

Status neurogis

- Keadaan umum : Sakit berat RM : KK : Tidak dilakukan


- Kesadaran : Stupor KS : Tidak dilakukan
- Gizi : Baik
- GCS : E2V2M2
- FKL : Sulit Dinilai

Nn Cranialis : Sulit untuk dinilai


N. Cranialis Lain : Sulit untuk dinilai
Vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 108 x/menit
Suhu : 37,5 ºc
RR : 24 x/menit

Motorik
Pergerakan : Sulit dinilai
Kekuatan : Sulit dinilai
Tonus : Sulit dinilai
Refleks Fisiologis : Sulit dinilai
Refleks Patologis : Sulit dinilai
Sensibilitas : Sulit dinilai
Sistem Saraf Otonom
 BAB : Sulit dinilai
 BAK : Lancar

DIAGNOSIS
 Diagnosis Klinis : Spasme otot, trismus

 Diagnosis Topis : Neuromuscular Junction

 Diagnosis Etiologi : Tetanus

PENATALAKSANAAN
 Antibiotik : Penicilline 1,2 juta IU/ hari (selama10 hari)

 Antikonvulsan : Diazepam 10 Amp tiap ganti cairan, atau 500 mg/ 500 ml
cairan infus

 Antitoksin : Human Tetanus Immunoglobulin 3000-6000 IU

KEPUSTAKAAN

1. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis.
Dalam : Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman
Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung,
2005 ; 209-213.
2. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical
Neurology. Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871
3. Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology, McGraw-Hill, ed
2007, 1205-1207.
4. Behrman.E.Richard : Tetanus, chapter 193, edition 15th, Nelson,
W.B.Saunders Company, 2004, 815 -817.
5. Feigen. R.D : Tetanus .In : Bchrmlan R.E, Vaughan V C , Nelson W.E , eds.
Nelson Textbook of pediatrics, ed. 13 th, Philadelphia, W.B Saunders
Company, 2000, 617 - 620.
6. Glickman J, Scott K.J, Canby R.C: Infectious Disese, Phantom notes
medicine ,ed. 6 th, Info Acces and Distribution Ltd, Singapore, 2005, 53-55.
7. Gilroy, John MD, et al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.2008, 229-230
8. Harrison: Tetanus in :Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13 th,
McGrawHill. Inc,New York, 1994, .577-579.
9. Hendarwanto: llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta,
2010, 49- 51.
10. Lubis, CP :Tetanus Neonatorum dan anak, Diktat Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak, Peny. lnfeksi, bag II, Balai Penerbit FK USU, Medan, 2011, 21-40.
11. Menkes, JH: Textbook of child Neurology, in Tetanus Neonatorun, ed. 3 th,
Lea and Frebringer, Philadelphia, 1985, 521-522.

Anda mungkin juga menyukai