Anda di halaman 1dari 28

Makalah

PERAN PERAWAT KESEHATAN JIWA TERHADAP MASALAH


PSIKOSOSIAL PADA POST TRAUMATIC STRES DISORDER
(PTSD)
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“Keperawatan Jiwa I”
Dosen Pengajar : Firmawati,S.Kep,Ns.,M.Kep

Disusun Oleh:
TASSYA ANGGRIANI DEHIMELI
C01419124
A KEPERAWATAN 2019
SEMESTER 4

PROGRAM STUDI – ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, Yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya
kepadah kita semua sehingga saya bisa menyelesaikan makalah “PERAN PERAWAT
KESEHATAN JIWA TERHADAP MASALAH PSIKOSOSIAL PADA PTSD” ini. sholawat serta
salam selalu tercurahkan kepadah nabi Muhammad SAW, beserta keluarga-nya, sahabat-nya dan
kita selaku umatnya hingga akhir zaman.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,hal ini karena
kemampuan dan pengalaman saya yang masih ada dalam keterbatasan.untuk itu saya
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun,demi perbaikan dalam makalah yang
akan datang.

Akhir kata saya sampaikan terimah kasih semoga Allah SWT senantiasa meridohi segala
usaha kita amin.

Gorontalo,3 April 2021

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................1

1
DAFTAR ISI.................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................3

1.1 Latar belakang......................................................................................................................3


1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................................4
1.4 Manfaat Penulisan................................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................5


2.1 Kesehatan Jiwa......................................................................................................................5
2.1.1 Pengertian Kesehatan Jiwa...........................................................................................5
2.1.2 Epidemiologi.............................................................................................................5
2.1.3 Etiologi.......................................................................................................................6
2.1.3.1 Stressor...................................................................................................6
2.1.3.2 Faktor Psikodinamika.............................................................................7
2.1.3.3 Faktor Biologis.......................................................................................8
2.1.4 Patofisiologi.......................................................................................................8
2.1.5 Faktor Resiko.....................................................................................................9
2.1.6 Tanda Dan Gejala..............................................................................................10
2.1.7 Diagnosis...........................................................................................................10
2.1.8 Diagnosis banding.............................................................................................12
2.1.9 Tata Laksana......................................................................................................13
2.1.10 Pragnosis..........................................................................................................13
BAB III PEMBAHASAN..................................................................................................15
3.1 Peran Perawat Terhadap Masalah Psikososial PTSD.................................................15
BAB IV PENUTUP............................................................................................................20
4.1 Kesimpulan.................................................................................................................20
4.2 Saran...........................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................22

BAB I

2
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejadian traumatic merupakan peristiwa kehidupan yang dapat mengenai semua
orang,yang akan berdampak terhadap masalah kejiwaan. Salah satu masalah kejiwaan yang
dapat timbul adalah Post Traumatic Stres Disorder. Menurut Towsend (2016) Post
Traumatic Sters Disorder adalah kejadian yang diakibatkan dari bencana atau musibah
seperti kecelakaan,bencana alam,perang atau kekerasan yang menyebabkan gangguan seperti
kecemasan dang gangguan integritas diri. Sedangkan menurut wahyuni (2016) Post
Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang muncul akibat suatu kejadian
atau beberapa kejadian traumatis yang dialami maupun disaksikan secara langsung oleh
seseorang.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami PTSD,salah satunya adalah
faktor yang terkait dengan traumatis. PTSD juga diakibatkan dari beberapa faktor baik dari
dalam diri korban maupun faktor lingkungan terdekat misalnya keluarga. Rendahnya
pendidikan dan perhatian orang tua serta minimnya pengetahuan cara mendidik anak yang
benar,akan berdampak terhadap perilaku orang tua dalam memberikan pengasuhan kepada
anak (Maryam, 2017). Selain itu, (Harianti & Salmiah, 2014) menambahkan bahwa faktor
utama yang menyebabkan terjadinya kekerasan orang tua terhadap anak meliputi faktor
ekonomi,faktor pendidikan,faktor lingkungan social dan faktor psikologis. Kurangnya
partisispasi orang tua dalam program penting mengakibatkan orang tua tidak memahami
betapa pentingnya pengasuhan itu bagi orang tua agar kita bisa mendewasakan anak secara
lebih manusiawi.
Setelah suatu peristiwa traumatic,seseorang dapat merasakan sesuatu yang mengganggu
kehidupannya. Dapat juga diikuti stress,ketakutan, dan kemarahan. Mereka juga sering
mendapati bahwa mereka sulit untuk tidak memikirkan apa yang telah terjadi. Merasakan
reaksi stress adalah hal yang sering terjadi pada kebanyakan orang dan tidak ada
hubungannya dengan kelemahan pribadinya. Banyak orang juga akan menunjukkan
kewaspadaan yang berlebihan. Yang paling sering,jika gejalanya ikut muncul,akan menurun
seiring berjalannya waktu.

3
Orang-orang yang selamat dari suatu trauma (misalnya veteran,anak-anak,penyelamat
bencana atau pekerja social) mengalami reaksi stress yang umum. Memahami bahwa apa
yang terjadi ketika kita atau seseorang yang kita kenal bereaksi terhadap peristiwa traumatic
akan membantu kita agar tidak terlalu takut dan lebih baik dalam menanganinya, reaksi-
reaksi tersebut yang dapat menetap selama beberapa hari atau bahkan beberapa minggu,yang
diantaranya adalah :
1. Perasaan putus asa mengenai masa depan dan ketidakpedulian terhadap orang lain
2. Sulit konsentrasi,tidak dapat mengambil keputusan
3. Mudah terkejut dengan keributan yang tiba-tiba
4. Mengalami mimpi/memori yang mengganggu
5. Masalah di tempat kerja atau sekolah.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana perawat kesehatan jiwa berperan terhadap masalah psikososial pada
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
1.3 Tujuan penulisan
1.3.1 Mengetahui peran perawat kesehatan jiwa terhadap masalah psikososial pada Poat
Traumatic Stress Disorder (PTSD)
1.4 Manfaat penulisan
1.4.1 Bagi Mahasiswa
1.4.1.1 Mahasiswa dapat mengetahui peran perawat kesehatan jiwa terhadap maalah
psikososial pada Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
1.4.2 Bagi Masyarakat
1.4.2.1 Masyarakat dapat menggunakan makalah ini sebagai bahan bacaan juga
referensi khususnya tentang PTSD.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

2.1.1 Definisi

Post Traumatic Stress Disorder adalah sindrom yang muncul setelah seseorang
melihat,mendengar atau terlibat dalam stressor traumatis yang ekstrim PTSD terjadi
karena paparan peristiwa traumatis dan didefinisikan berdasar cluster gejala yang berbeda
antara lain kembali merasakan sedang dalam peristiwa trauma atau
flashback,menghindar,emosi tumpul/numbing dan gejala tersebut tetap bertahan selama
lebih dari satu bulan (Sadock, B.J & Sadock, V.A, 2007). Stressor ekstrem yang
memiliki resiko menimbulkan PTSD antara lain serangan teroris,peperangan,kecelakan
lalu lintas berat,dan bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi (Santiago et al. 2013).

PTSD memiliki dampak jangka panjang yang parah dan individu dengan PTSD memiliki
resiko terkena depresi berat,ketergantungan zat,dan gangguan kondisi kesehatan lainnya
serta gangguan fungsi peran yang dapat mengurangi kualitas hidup.

2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi PTSD pada wanita lebih tinggi dari pria. Prevalensi pada wanita
berkisar 10-12% dan 5-6% pada pria. Walaupun PTSD dapat muncul pada usia berapa
pun,tetapi kebanyakan sering terjadi pada dewasa muda karena cenderung lebih mudah
terpapar. Gangguan ini cenderung terjadi pada orang yang belum memiliki
pasangan,bercerai,janda,dikucilkan dari lingkungan atau social ekonomi yang rendah.
Faktor resiko gangguan ini yaitu pada tingkat keparahan trauma,durasi,serta trauma yang
dialami individu. Trauma yang sering muncul pada pria antara lain kekerasan,sedangka n
pada wanita yaitu pemerkosaan (Sadock, B.J. & Sadock V.A., 2010). Namun kecelakaan
lalu lintas dapat menimbulkan gangguan ini pada pria maupun wanita. Berdasarkan hasil
studi di RSUP Sanglah selama bulan Desember 2013 sampai dengan Januari 2014 pada
10 pasien kecelakaan lalu lintas yang menjalani pengobatan RSUP Sanglah didapatkan

5
kasus PTSD sebanyak 4 orang,yang terdiri dari 3 orang wanita dan satu orang pria
(Prabandari et al. 2015).
2.1.3 Etiologi
Sressor merupakan faktor utama yang menyebabkan sters akut dan PTSD tidak
semua peristiwa traumatic yang dialami oleh individu dapat menyebabkan PTSD.
Peristiwa traumatic dapat menimbulkan PTSD jika peristiwa tersebut menjadi stressor
yang kuat dalam kehidupan individu. Stressor tersebut dapat timbul dari pengalaman
perang,kekerasan,bencana alam,pemerkosaan,dan kecelakan lalu lintas yang serius.
Kriteria suatu peristiwa menjadi stressor untuk mendiagnosis PTSD yaitu ; ancaman
serius terhadap keselamatan individu baik secara fisik maupun psikologis,menyaksikan
ancaman kekerasan dan kematian,rusakan yang terjadi tiba-tiba baik rumah dan
komunitas. Kriteria tersebut dapat menimbulkan respon subjektif antara lain ketakutan
(terror dan horror) serta intensitas maupun durasi dari suatu peristiwa traumatic yang
memperngaruhi kepribadian individu sehingga menimbulkan distress. (Nurtanty, N.D.,
2009).
2.1.3.1 Stressor
Menurut definisinya,stressor adalah faktor penyebab utama dalam perkembangan
gangguan stress pasca traumatic. Tetapi tidak setiap orang mengalami ganggua stress
pasca traumatic setelah suatu peristiwa traumatic; walaupun stressor diperlukan,stressor
tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Klinisi harus mempertimbangkan juga faktor
biologis individual yang telah ada sebelumnya,faktor psikososial sebelumnya,dan
peristiwa yang terjadi setelah trauma.
Penelitian terakhir pada gangguan stress pasca trauma telah sangat menekankan
pada respon subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stressor itu sendiri.
Walaupun gejala gangguan stress pasca traumatic pernah dianggap secara langsung
sevanding dengan beratnya stressor,penelitian empiris telah membuktikan sebaliknya.
Sebagai akibatnya,consensus yang tumbuh adalah bahwa gangguan memiliki pengaruh
pada arti subjektif stressor bagi pasien.
Bahkan jika dihadapkan dengan trauma yang berat,sebagian besar orang tidak
mengalami gejala gangguan stress pasca traumatic. Demikian juga peristiwa yang
tampaknya biasa atau kurang berbahaya bagi kebanyakan orang mungkin menyebabkan

6
gangguan stressor pasca traumatic pada beberapa orang karena arti subjektif dari
peristiwa tersebut. Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi yang tampaknya
memainkan peranan penting dalam menentukan apakah gangguan berkembang adalah :
1. Adanya trauma masa anak-anak
2. Sifat gangguan kepribadian ambang,paranoid,dependen,atau anti social
3. System pendukung yang tidak adekuat.
4. Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatik.
5. Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi.
6. Persepsi lokus control eksternal,bukannya internal.
7. Penggunaan alcohol yang baru.
Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat bertahan hidup dari trauma
psikis yang parah telah menemukan aleksitimia,yaitu ketidakmampuan untuk
mengidentifikasi atau mengungkapkan keadaan perasaan sebagai ciri yang umum.
Jika trauma psikis terjadi pada anak-anak,biasanya dihasilkan perhentian
perkembangan emosional. Jika trauma terjadi pada masa dewasa,regresi emosional
seringkali terjadi. Orang yang selamat dari trauma biasanya tidak dapat menggunakan
keadaan emosional internal sebagai tanda dan mungkin mengalami gejala
psikosomatik. Mereka juga tidak mampu menenangkan dirinya jika dalam stress.

2.1.3.2 Faktor Psikodinamika

Model kognitif dari gangguan stress pasca trauma menyebabkan bahwa orang
yang terkena adalah tidak mampu untuk memproses atau merasionalisasikan trauma yang
mencetuskan gangguan. Mereka terus mengalami stress dan berusaha untuk tidak
mengalami stress dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan periode
mengakui peristiwa dan menghambatnya secara berganti-ganti.

Model perilaku dari gangguan stress pasca traumatic menyatakan bahwa


gangguan memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama, (stimulus ysng tidak
dibiasakan) adalah dipasangkan,melalui pembiasaan klasik,dengan stimulus yang
dibiasakan (pengingat fisik atau mental terhadap trauma). Kedua,melalui pelajaran

7
instrumental,pasien mengembangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang
dibiasakan maupun stimulus yang tidak dibiasakan.

Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah


merekativasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan.
Penghidupan kembali trauma amasa anak-anak menyebabkan regresi dan mekanisme
pertahanan represi,penyangkalan,dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan
dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga
mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar,peningkatan perhatian atau simpati,dan
pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan
persistensinya. Suatu pandangan kognitif tentang gangguan stress adalah bahwa otak
mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang ditentukan oleh trauma
dengan periode menerima dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti.

2.1.3.3 Faktor Biologis

Model praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan,pembangkitan dan


sensitisasi yang dipelajari telah menimbulkan teori tentang norepinefrin,dopamine,opiate-
endogen,dan resptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal. Pada
populasi klinis,data telah mendukung hipotesis bahwa system noradenergik dan opiate
endogen,dan juga sumbu hipotalamus-hipifisis-adrenal,adalah hiperaktif pada
sekurangnya beberapa pasien dengan gangguan stress pascatraumatik.

Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktivitas dan responsivitas


system saraf otonom,seperti yang dibuktikan oleh peninggian kecepatan denyut jantung
dan pembacaan tekanan darah,dan arsitektur tidur yang abnormal. Beberapa peneliti telah
menyatakan adanya kemiripan antara gangguan stress pasca traumatic dan dua gangguan
psikiatri laij,gangguan depresif berat dan gangguan panic.

2.1.4 Patofisiologi

PTSD mengakibatkan terjadinya perubahan yang mengatur memori dan emosi.


Ditinjau dari aspek biologis,PTSD terjadi karena adanya proses yang terjadi diotak.

8
Individu dengan PTSD akan mengalami perubahan yang terjadi pada fisik. Kondisi ini
mempengaruhi system saraf pusat dan system otonom. Selain itu akan terjadi penurunan
ukuran dari hipokampus dan amigdala yang overekatif. Dalam hal ini, komponen yang
paling penting adalah memori karena kejadian traumatic akan berulang terus menerus
melalui memori. Hipokampuas dan amigdala adalah kunci dari memori manusia
(Schiraldi, 2009).
Amigdala merupakan fear center dari otak. Sehingga penderita PTSD akan
mengalami amigdala yang overeaktif. Amigdala membantu otak dalam embuat hubungan
antara situasi yang menimbulkan ketakutan di masa lalu. Kondisi ini dapat berpasangan
dengan situasi saat ini yang bisa saja netral. Individu dengan dengan gangguan ini akan
mempertahankan kondisi waspada yang konstan pada saat situasi yang tidak tepat karena
pada saat itu otak memerintahkan individu bahwa dalam situasi yang aman pun individu
sedang menghadapi ancaman (Sun et al. 2013).
Hipokampus adalah bagian yang menciptakan harapan terhadap situasi yang akan
memberikan reward atau situasi traumatic yang kita alami berdasarkan pada memori dan
pengalaman belajar dari masa lalu. Penderita PTSD dengan kerusakan hipokampus,akan
mengalami kesulitas untuk belajar dan menciptakan harapan baru untuk berbagai situasi
yang terjadi setelah kejadian traumatic (Erwina Ira, 2010).
Selain itu,pada penderita PTSD juga terjadi derajat hormone stress yang tidak
normal. Individu dengan PTSD memiliki hormone kortisol yang rendah jika
dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami PTSD dan hormone epinefrin dan
norepinefrin dalam jumlah yang lebih dari rata-rata. Ketiga hormone tersebut berperan
penting dalam menciptakan respon flight or fight terhadap situasi stress. Ini berarti bahwa
individu dengan PTSD akan selalu berada dalam kondisi flight or fight. Individu dengan
PTSD juga memiliki kadar natural opiate yang tinggi. Kondisi ini akan membuat individu
untuk mengalami kembali trauma dalam hal untuk mencapai respon dari opiate (Erwina
Ira, 2010).

2.1.5 Faktor Resiko

9
Faktor resiko merupakan faktor pendukung bagi individu untuk mengalami
PTSD. Faktor resikon untuk PTSD meliputi tetap hidup setelah mengalami kejadian
berbahaya dan traumatic,memiliki riwayat penyakit mental,mengalami
kecelakaan,perasaan tertekan,tidak berdaya dan ketakutan yang amat sangat melihat
orang lain terluka atau meninggal,menghadapi banyak stressor setelah kejadian traumatic
yang dialami,seperti kehilangan anggota keluarga,kehilangan pekerjaan atau tempat
tinggal (Markowitz et al. 2015).
Selain itu faktor resiko lain yang memperberat PTSD yaitu jenis kelamin.
Berdasarkan epidemiologinya, wanita memiliki resiko lebih besar untuk mengalami
PTSD daripada pria. Hal ini disebabkan rendahnya sintesis serotonin serta tingginya
prevalensi wanita untuk menjadi korban dalam peristiwa traumatic seperti pemerkosaan
dan kekerasan. Sedangkan faktor memperberat PTSD pada individu antara lain masalah
kesehatan yang dimiliki,penggunaan alcohol,social ekonomi yang rendah,perasaan yang
tidak aman,tingkat pendidikan yang rendah,status sebagai minoritas,dan banyaknya
jumlah tanda atau gejala yang dialami (Erwina Ira., 2010).

2.1.6 Tanda dan Gejala


Ada tiga kelompok dari gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis suatu
PTSD,yaitu:

1. Gejala re-experience misalnya ingatan mengenai masalah,kilas balik yang biasanya


disebabkan oleh hal-hal yang menginatkan pada peristiwa traumatic,mimpi buruk
yang sering muncul mengenai trauma atau peristiwa yang berhubungan dengan
trauma.
2. Gejala avoidance yaitu menghindari tempat-tempat yang orang-orang dan
pengalaman yang mengingatkan penderita pada trauma,kehilangan ketertarikan pada
aktivitas yang disukai,memiliki masalah dengan mengingat peristiwa tang berbahaya.
3. Gejala hyperaurosal, termasuk masalah tidur,masalah dalam
konsentrasi,iritabilitas,kemarahan,sulit mengingat sesuatu,peningkatan tendensi,reaksi
untuk terjaga dan hypervigilance terhadap ancaman.

10
Sedikitnya 1 gejala re-experience, 2 gejala avoidance dan 3 gejala hyperaurosal
harus ada selama paling sedikit 1 bulan harus ada disebabkan oleh distress yang
signifikan atau kekeurangan fungsional untuk mendiagnosis suatu PTSD. PTSD
menjadi kronik jika terjadi lebih dari 3 bulan.

2.1.7 Diagnosis
Berikut adalah kriteria diagnostic untuk gangguan stress pasca traumatic menurut DSM-
IV :
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic dimana kedua dari berikut ini
terdapat:
1.) Orang mengalami,menyaksikan,atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau
kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesuangguhnya atau cedera yang serius,atau ancaman kepada integritas fisik diri
sendiri atau orang lain.
2.) Respon orang tersebut berupa takut yang kuat,rasa tidak berdaya,atau horror.
Catatan: pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku yang kacau
atau teragitasi.

B. Kejadian traumatic secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara
berikut:
1.) Rekoleksi yang menderitakan,rekuren,dan mengganggu tentang
kejadian,termasuk bayangan,pikiran,atau persepsi. Catatan: pada anak
kecil,dapat menunjukkan permainan berulang dengan tema atau aspek trauma.
2.) Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anak-
anak,mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.
3.) Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatic terjadi kembali
(termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman,ilusi,halusinasi,dan episode
kilas balik disosiatif,termasuk yang terjadi selama terbangun atau saat
terintoksikasi). Catatan: pada anak kecil,dapat terjadi penghidupan kembali yang
spesifik dengan trauma.

11
4.) Penderita psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal
yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatic.
5.) Reaktivitas paikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatic.

C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku
karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditujukan
oleh tiga (atau lebih) berikut ini:
1.) Usaha untuk menghindari pikiran,perasaan atau percakapan yang berhubungan
dengan trauma.
2.) Usaha untuk menghindari aktivitas,tempat,atau orang yang menyadarkan
rekoleksi dengan trauma.
3.) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4.) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.
5.) Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.
6.) Rentang efek yang terbatas (misalnya,tidak mampu untuk memiliki perasaan
cinta).
7.) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya,tidak berharap memiliki
karir,menikah,anak-anak,atau panjang kehidupan normal).

D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum


trauma),seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:
1.) Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur.
2.) Iribilitas atau ledakan kemarahan.
3.) Sulit berkonsentrasi.
4.) Kewaspadaan berlebihan.
5.) Respon kejut yang berlebihan.

E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria A,B,C,dan D) adalah lebih dari satu bulan.
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi social,pekerjaan,atau fungsi penting lain.

12
Sementara itu kriteria diagnostic untuk gangguan stress pasca traumatic menurut
PPDGJ III (F 43.1) adalah sebagai berikut:
1.) Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6
bulan setelah kejadian traumatic berat (masa laten yang berkisar antara beberapa
minggu sampai beberapa bulan,jarang sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai
saat kejadian dan omset gangguan melebihi waktu 6 bulan,asal saja manifestasi
klinisnya adalah khas dan tidak dapat alternative kategori gangguan lainnya.
2.) Sebagai bukti tambahan selain trauma,harus didapatkan bayang-bayang atau
mimpi-mimpi dari kejadian traumatic tersebut secara berulang-ulang kembali
(flashback).
3.) Gangguan otonomik,gangguan efek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
4.) Suatu “sequalae” menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar
biasa,misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma,diklasifikasikan dalam
kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami
katastrofa).

2.1.8 Diagnosis Banding


Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pasca traumatic
adalah kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma.
Pertimbangan organic lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala
adalah epilepsy,gangguan penggunaan alcohol,dan gangguan berhubungan zat lainnya.
Intoksikasi akut tau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis
yang sulit dibedakan dari gangguan stress pascatraumatik sampai efek zat menghilang.

Pada umumnya,gangguan stress pasca traumatic dapat dibedakan dari gangguan


mental lain dengan mewawancarai pasien tentang peristiwa traumatic sebelumnya dan
melalui sifat gejala sekarang ini. Gangguan kepribadian ambang,gangguan
disosiatif,gangguan buatan,dan pura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan

13
kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dengan gangguan stress pasca traumatic.
Dua gangguan tersebut terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab
akibat. Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku
menghindar,kesadaran berlebih (hiperurosal) otonomik,atau riwayat trauma yang
dilaporkan oleh pasien gangguan stress pasca traumatic dalam berita popular,klinisi harus
juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura-pura.

2.1.9 Tatalaksana
Berbagai teknik untuk meredakan kecemasan seperti relaksasi,teknik-teknik
mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih dan terbukti
bermanfaat untuk individu dengan gangguan stress pasca traumatic. Modifikasi pola
hidup seperti diet yang sehat,mengatur konsumsi kafein,alcohol,rokok,obat-obatan
lainnya,perlumya olahraga yang teratur,dll. Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk
mengatasi kasus ini adalah pemberian antidepresan golongan SSRI (penghambat selektif
ambilan serotonin) seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Seralin 50-200 mg/hr atau
Fluvoxamine 50-300 gr/hr. anti depresan lain juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin
50-300 gr/hr dan juga Imipramin 50-300 gr/hr.

Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consesnsus Panels for PTSD


tatalaksanaka gangguan stress pasca traumatic sebaiknya mempertimbangkan beberapa
aspek dibawah ini:
1. Gangguan stress pasca traumatic merupakan suatu gangguan yang kronik dan
berulang serta sering berkormodibitas dengan gangguan-gangguan jiwa serius
lainnya.
2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI
merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini.
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.
4. Exposure therapy (terapi pemaparan) ,erupakan terapi dengan pendekatan
psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan sekama 6
bulan.

14
Penata laksanaan penderita PTSD dapat dilakukan dengan farmakoterapi dan
psikoterapi. Pemberian farmakoterapi merupakan pengobatan penting untuk
penderita PTSD dengan disesuaikan berdasarkan tingkat keparahan gejala dan
gejala spesifik yang dialami penderita.

A. Farmakoterapi
Penderita SSRI atau Selwctive Serotonin Re-uptake Inhibitor merupakan
obat lini pertama. Obat golongan ini akan bekerja sebagai penghambat
pengambilan kembali serotonin dicelah sinaps sehingga jumlah serotonin
dicelah sinaps semakin bertambah. Sehingga golongan ini efektif untuk
semua gejala PTSD dan memiliki efek samping paling minimal. Ada lima
golongan SSRI yang dapat digunakan untuk penderita PTSD,yaitu Zoloft
(sertraline), paxil (paraxotine), Prizac (fluoxetine), Luxof ( Fluvoxamine),
Celaxa (citalopram) (Rosss, D ., 1999).

Gejala yang dapat diobati dengan golongan SSRI antara lain; pikiran yang
intrusive,flashback,ketakutan yang berhubungan dengan
trauma,panic,menghindar,emosi tumpul/numbing,gejala disosiatif,mudah
marah/tersinggung,sulit konsentrasi dam rasa bersalah.
Selain itu terdapat golongan psikotropika lain yang juga dianjurkan untuk
mengobati gejala PTSD yang timbul seperti golongan anti depresi,trisiklik
(Amitriptyline dan Imipramine), mood stabilizers, golongan SNRI
(Venlafaxine) dan antiasietas (Benzodiazepine) (Nurtaty, N.D., 2009).

B. Psikoterapi
Pendekatan psikoterapi setelah mengalami peristiwa traumatis harus
bersamaan dengan edukasi dan pembentukan mekanisme koping serta
penerimaan terhadap peristiwa yang dialami. Ketika mengalami gangguan
PTSD dapat dilakukan dua pendekatan yaitu membayangkan peristiwa
tramatis untuk meningkatkan mekanisme koping. Pendekatan kedua yaitu
penatalaksanaan stress yang dialami dengan teknik relaksasi dan

15
pendekatan kognitif. Terapi individual,terapi kelompok dan terapi
keluarga juga efektif dalam penatalaksaan PTSD.

Penatalaksaan dengan psikoterapi lainnya yang dapat digunakan untuk


penderita PTSD antara lain,Cognitive Behavioral Therapy
(CBT) ,Prolonged Exposure,Stres inoculation Training, Imagery
Rehearsal Therapy (IRT), CPT, EMDR, Psychodinamic therapy,Hypnosis
dan Debriefing, penatalaksaan psikoterapi tersebut menggunakan
pendekatan fungsi kognitif pasien untuk mengurangi gejala yang terjadi
pasca trauma (Markowitx et al. 2015).

2.1.10 Prognosis
Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat,durasi gejala yang
singkat (kurang dari enam bulan),dukungan social yag kuat,dan tidak adanya gangguan
psikiatrik,medis,atau berhubungan zat lainnya.

Pada umumnya,orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak
kesulitan dengan peristiwa traumatic dibandingkan mereka yang dalam usia paruh baya.
Kemungkinan, anak-anak belum memiliki mekanisme mengatasi kerugian fisik dan
emosional akibat trauma. Demikian juga dengan orang lanjut usia,jika dibandingkan
dengan orang dewasa yang lebih mudah,kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi
yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan pendekatan fleksibel untuk mengatasi
efek trauma. Kecacatan psikiatrik yang ada sevelumnya,apakah suatu gangguan
kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius,juga meningkatkan efek stressor tertentu.
Tersedianya dukungan social juga mempengaruhi perkembangan,keparahan,dan durasi
gangguan stress pasca traumatic. Pada umumnya,pasien yang memiliki jaringan
dukungan social yang baik,kemungkinan tidak menderita gangguan atau tidak mengalami
gangguan dalam bentuk yang parahnya.

16
BAB III

PEMBAHASAN

17
3.1 Peran Perawat Kesehatan Jiwa terhadap masalah psikososial PTSD

1. Segera setelah bencana (24 jam),perawat perlu menilai dengan cermat :

a. Kerusakan lingkungan yang terjadi


b. Jenis cedera yang dialami
c. Penderitaan yang dialami
d. Kebutuhan dasar yang harus dipenuhi segera

Pada tahap ini yang perlu dilakukan segera adalah:

a. Pertolongan kedaruratan untuk masalah-masalah fisik


b. Memenuhi kebutuhan dasar
c. Untuk membantu individu melalui fase krisisnya maka perawat perlu
memfasilitasi kondisi yang dapat menyeimbangkan krisis seperti menjadi sumber
koping (system pendukung) bagi klien

2. Minggu pertama sampai ketiga setelah bencana

a. Berikan informasi yang sederhana dan mudah diakses tentang lokasi jenazah
b. Mendukung keluarga jika jenazah dimakamkan tanpa acara tertentu
c. Bantu mencari anggota keluarga yang terpisah pada individu yang beresiko
seperti lansia,ibu hamil,anak,dan remaja.
d. Anjurkan pasien dan keluarga untuk melakukan aktivitas kelompok yang
terorganisir seperti ibadah bersama.
e. Motivasi tim anggota lapangan untuk terlibat dalam proses berkabung (missal:
tahlilan).
f. Lakukan aktivitas rekreasi bagi anak-anak
g. Informasikan pada korban tentang reaksi psikologis normal yang terjadi
setelah bencana. Yakinkan mereka bahwa hal tersebut normal dan
berlangsung sementara dan akan hilang dengan sendirinya dan dialami oleh
semua orang.

18
h. Informasikan tentang reaksi stress yang normal pada masyarakat secara masal
(libatkan ulama,guru dan pimpinan social lainnya).
i. Motivasi para korban untuk bekerja bersama memenuhi kebutuhan meraka
seperti membersihkan lokasi bersama-sama,memasak bersama.
j. Libatkan korban yang masih sehat dalam melaksanakan bantuan.
k. Motivasi pimpinan masyarakat dan tokoh kunci lainnya untuk terlibat dalam
diskusi kelompok dan dapat memotivasi klien untuk berbagi perasaan.
l. Pastikan informasi yang diterima akurat.
m. Pastikan distribusi bantuan merata.
n. Berikan pelayanan dengan empati “yang sehat” dan tidak memihak pada salah
satu bagian masyarakat (golongan minoritas).

3. Setelah minggu ketiga bencana

Pada fase ini perawat dapat melakukan tindakan dengan menggunakan metode
pemberian informasi,konseling,dan bimbingan antisipasi. Setelah melalui fase
akut tindakan yang dapat perawat lakukan adalah:

a. Tindakan psikososial secara umum. Tujuan perawat melakukan tindakan


ini adalah agar sebagian besar klien dan keluarga mampu beradaptasi
terhadap kondisi psikososial dengan menggunakan mekanisme koping
yang dimiliki walaupun dukungan dari keluarga/orang lain di
lingkungannya sangat minim atau tidak ada.

Tindakan yang perawt lakukan adalah pertolongan pertama pada masalah


psikososial sbb:

1.) Identifikasi individu dengan koping yang tidak efektif yang


ditandai dengan gejala psikologis yang dilakukan.
2.) Bina hubungan saling percaya.
3.) Penuhi kebutuhan fisik yang mendesak.
4.) Mobilisasi dukungan social (tetapi jangan memaksa).

19
5.) Cegah timbulnya bahaya yang lain (seperti terjangkitnya penyakit
menular).
6.) Mulai berkomunikasi : mendengarkan masalah merejka
juga,sampaikan keprihatinan,berikan bantuan yang berkelanjutan
(tetapi jangan pernah memaksa).
7.) Sampaikan bahwa semua korban bencana merasakan perasaan
yang sama.
8.) Tetap mensupervisi perawatan sampai reaksi berlalu.
b. Tindakan psikososial khusus. Tindakan yang dapat perawat lakukan
pada fase ini antara lain konseling trauma,berduka,dan bimbingan
antisipasi.
1.) Konseling terhadap trauma :

 Dengarkan ungkapkan perasaan pasien dengan penuh


perhatian.
 Tanyakan dan klarifikasi untuk menggali lagi
pengalamannya tetapi jangan memaksa bila pasien
menolak.
 Coba memahami penderitaan yang dialami pasien dan
keluarganya.
 Sampaikan bahwa perawat akan selalu membantu
perlihatkan bahwa perawat memahami apa yang
dirasakannya.
 Sampaikan bahwa orang lain pun akan mengalami kejadian
seperti yang dialami pasien,
 Bicarakan cara terbaik yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah.

2.) Konseling terhadap proses berduka.

Perawat dapat membantu klien dan keluarga dengan memberikan


konseling. Langkah-langkah yang dapat perawat lakukan adalah :

20
 Lakukan pendekatan dengan cara yang lemah lembut.
 Tanyakan tentang kondisi keluarganya dan bicarakan
tentang korban yang meninggal.
 Motivasi untuk berbagi informasi tentang anggota keluarga
yang meninggal (misalnya menunjukkan dan
membicarakan poto anggota keluarga).
 Fokuskan pembicaraan pada hubungan dengan orang-orang
terdekat sebelum bencana dan arti kehilangan secara
pribadi.

3.) Bimbingan antisipasi :

 Bantu klien untuk menerima bahwa reaksi yang mereka


perlihatkan adalah normal sehingga dapat mengurangi rasa
tidak berarti dan putus asa.
 Berikan informasi tentang reaksi stress yang alamiah dan
intensitas perasaan dapat berkurang seiring dengan
berjalannya waktu.
 Lakukan pertemuan-pertemuan yang berisi berbagai
informasi yang perlu diketahui korban.
 Jangan fokuskan perhatian hanya pada reaksi akibat stress
secara individual tetapi fokuskan pada kekuatan kelompok
untuk menghadapi krisis secara bersama-sama.

4.) Konseling krisis :

 Bersama klien mengidentifikasi masalah yang


menyebabkan klien meminta pertolongan.
 Bantu klien untuk membuat daftar alternative dan strategi
untuk mengatasi masalahnya.
 Bantu klien untuk menilai dukungan social yang tersedia
untuknya.

21
 Bantu klien untuk mengambil keputusan yang tepat bagi
dirinya.
 Bantu klien untuk melaksanakan keputusan yang sudah
diambil
 Diskusikan persepsi klien tentang kemampuannya.

5.) Konseling untuk menyelesaikan masalah :

 Mengidentifikasi masalah
 Mengidentifikasi altrnatif pemecahan masalah melalui
curhat pendapat.
 Bandingkan keuntungan dan kerugia dari setiap masalah.
 Identifikasi solusi yang paling sesuai untuk klien.
 Implementasikan untuk penyelesaian yang telah dipilih.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

22
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan kecemasan yang
dapat terjadi setelah mengalami atau menyiksa suatu peristiwa traumatic.

Statistic pada anak-anak dan remaja menunjukkan bahwa hamper 40%


muncul paling tidak satu peristiwa traumatic,yang berkembang menjadi PTSD
pada hamper 15% anak perempuan dan 6% pada anak laki-laki. Hampir 100%
dari anak-anak yang menyaksikan orang tuanya dibunuh atau mengalami
kekerasan seksual atau kekerasan rumah tangga mengarah untuk berkembang
menjadi PTSD,lebih dari sepertiga anak muda yang terpapar pada kekerasan
akan mengalami gangguan ini.

Secara garis besar terdapat tiga faktor penyebab terjadinya gangguan stress pasca
traumatic, yaitu :

1. Stressor
2. Faktor psikodinamika
3. Faktor biologis

Kriteria diagnosis terdapat pada DSM-IV dan PPDGJ III. DSM-IV


menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang (re-
eksperiencing),menghindar,dan kesadaran yang berlebihan (hyperarousal)
harus berlangsung lebih dari satu bulan. Bagi pasien yang gejalanya
ditemukan kurang dari satu bulan,diagnosis yang tepat mungkin adalah
gangguan stress akut. Kriteria diagnostic DSM-IV untuk gangguan stress
pasca traumatic memungkinkan klinisi menentukan apakah gangguan
adalah akut atau kronis. DSM IV juga memungkinkan klinisi menentukan
bahwa gangguan adalah dengan onset lambat jika onset gejala adalah 6
bulan atau lebih setelah peristiwa stress.

Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah pemberian
anti depresan golongan SSRI (penghambat seklektif ambila serotonin)
seperti flouxetin 10-60 mg/hr,sertraline 50-200 mg/hr,atau fluvoxamine

23
50-300 mg/hr. anti depresan lain juga dapat digunakan adalah amiltriplitin
50-300 mg/hr dan juga inipramin 50-300 mg/hr.

4.2 Saran

Demikian isi makalah ini,saya sangat menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan baik dari segi bentuk maupun
materi yang saya uraikan. Oleh karena itu,saya sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca untuk memrebaiki makalah
selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

American Pcychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of

24
Mental Disorder. 5th ed. Washington, DC: American Pcychiatric Publishing.

American Pcychiatric Association. 2000 . Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorder. 4th ed. Revisi teks.Washington, DC:American Pcychiatric
Association.

Connor, K. M & Butterfield, M.I. 2003. Post Traumatic Stress Disorder, Focus
The Journal of Lifelong Learning in Psychiatry, 1(3), pp: 247-262.

Erwina Ira., 2010. Pengaruh Cognitive Behavior Therapy Terhadap Post Traumatic Stress
Disorder Pada Penduduk Pasca Gempa Di Kelurahan Air
Tawar Barat. (Tesis). Jakarta : Universitas Indonesia.

First . B Michael, . Reed Geoffreym, Hyman S, Shekharsaxena. 2015. The


development of the ICD-11 Clinical Descriptions and Diagnostic Guidelines
for Mental and Behavioural Disorders. USA. Dept. of Psychiatry. Report
number: 14:1.

Japardi I. 2009. Patologi dan Fisiologi Cedera Kepala. Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer.

Lulie Y, Hatmoko JT. 2006. Analisis Hubungan Kecepatan dengan Tebal Helm
yang Direkomendasikan. Jurnal Teknik Sipil. 6(2):171-84

Markowitz, J.C. et al., 2015. Is Exposure Necessary ? A Randomized Clinical


Trial of Interpersonal Psychotherapy for PTSD. , (May).

Maslim, Rusdi. 2013. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa.


Jakarta: PT Nuh jaya.

25
Nurtanty, N.D., 2009. Post- Traumatic Stress Disorder (PTSD)., 3(2),pp.4-10.

Prabandari, N.P. et al., 2015. Pengaruh Cognitive Behavioral Therapy (CBT)


Terhadap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pada Pasien Post
Kecelakaan Lalu Lintas di RSUP Sanglah Denpasar., 3(2), pp.22–26.

Qoriyah NM. Perbedaan Kelelahan Mata yang Terpapar Silau dalam


Mengemudi Angkot pada Siang Hari dan Malam Hari Trayek Johar
Banyumanik. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2012; 1(2):777-84.

Rahmi W., 2002. Gambaran Cedera Kepala Korban Kecelakaan Yang


Dilakukan Pemeriksaan Luar Jenazah di Bagian Forensik RSUP Dr. M.
Djamil Padang periode 1 Januari 1997 – 31 Desember 2000. Padang:
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.

Riyadina W, Suhardi, Perm


ana M. Pola dan Determinan Sosiodemografi Cedera Akibat Kecelakaan Lalu
Lintas di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. 2009; 59(10): 464-72.

Santiago, P.N. et al., 2013. A Systematic Review of PTSD Prevalence and


Trajectories in DSM-5 Defined Trauma Exposed Populations : Intentional
and Non-Intentional Traumatic Events. , 8(4), pp.1–6.

Sun, Y. et al., 2013. Alterations in White Matter Microstructure as Vulnerabilit y


Factor and Acquired Signs of Traffic Accident- Induced PTSD. , 8(12),
pp.1–13.

Sadock, B.J. & Sadock, V.A. 2007. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10 th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins.

26
Sadock, B.J. & Sadock, V.A. 2010. Kaplan & Sadock’s Concise textbook of
Clinical Psychiatry. 2th edition. Jakarta : ECG.

Wedasana, A.S., 2011. Analisis Daerah Rawan Kecelakaan dan Penyusunan


Database Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kota Denpasar).
(Tesis). Denpasar : Universitas Udayana.

27

Anda mungkin juga menyukai