Disusun Oleh:
TASSYA ANGGRIANI DEHIMELI
C01419124
A KEPERAWATAN 2019
SEMESTER 4
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, Yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya
kepadah kita semua sehingga saya bisa menyelesaikan makalah “SEJARAH SINGKAT
PERKEMBANGAN KESEHATAN JIWA DI INDONESIA” ini. Sholawat serta salam selalu
tercurahkan kepadah nabi Muhammad SAW, beserta keluarga-nya, sahabat-nya dan kita selaku
umatnya hingga akhir zaman.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,hal ini karena
kemampuan dan pengalaman saya yang masih ada dalam keterbatasan.untuk itu saya
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun,demi perbaikan dalam makalah yang
akan datang.
Akhir kata saya sampaikan terimah kasih semoga Allah SWT senantiasa meridohi segala
usaha kita amin.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................1
DAFTAR ISI.................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................3
BAB IV PENUTUP............................................................................................................31
4.1 Kesimpulan.................................................................................................................31
4.2 Saran...........................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................32
\
2
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan keperawatan yang kita ketahui saat ini tidak dapat dipisahkan dan
sangat dipengaruhi oleh perkembangan struktur dan kemajuan peradaban manusia.
Kepercayaan terhadap animism,penyebaran agama-agama besar dunia,serta kondisi
social ekonomi masyarakat,terjadinya perang,renaissance serta gerakan reformasi turut
serta mewarnai perkembangan keperawatan. Dari sejarah kita dapat mengetahui
pengalaman tersebut untuk itu kita gunakan pada masa kini dan masa yang akan datang.
Kecepatan informasi dan mobilitas manusia di era modernisasi saat ini begitu
tinggi sehingga terjadi hubungan social budaya. Hubungan social antar manusia
dirasakan menurun akhir-akhir ini,bahkan kadang-kadang hanya sebatas imitasi saja.
Padahal bangsa Indonesia yang mempunyai/menjunjung tinggi adat ketimuran sangat
memperhatikan hubungan social ini. Dengan demikian kita patut waspada dari
kehilangan identitas diri tersebut. Perubahan yang terjadi tadi dapat membuat rasa
bingung karena muncul rasa tidak pasti antara moral,norma,nilai-nilai dan etika bahkan
juga hokum. Menurut Dadang Hawari (1996) hal-hal tersebut dapat menyebabkan
perubahan psikososial,antara lain : pola hidup social religious menjadi materialistis dan
sekuler. Nilai agama dan tradisional diera modern menjadi serba boleh dan seterusnya.
3
Perubahan-perubahan yang dirasakan dapat memperngaruhi tidak hanya fisik tapi
juga mental,seperti yang menjadi standar WHO (1984) yang dikatakan sehat tidak hanya
fisik tetapi juga mental,social,dan spiritual. Standar sehat yang disampaikan oleh WHO
tersebut dapat menjadi peluang besar bagi perawat untuk berbuat banyak,karena perawat
mempunyai kesempatan kontak dengan klien 24 jam sehari.
4
Masyarakat dapat menggunakan makalah ini sebagai bahan bacan atau referensi
untuk dapat mengetahui sejarah perkembangan kesehatan jiwa di Indonesia pada
zaman penjajahan Belanda,Inggris,Portugis,Jepang,dan zaman kemerdekaan,serta
model pendekan keperawatan jiwa.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tahun 1799 didirikan rumah sakit Binen Hospital di Jakarta untuk memelihara kesehatan
staf dan tentara Belanda. Usaha pemerintah colonial Belanda pada masa ini adalah
membentuk Dinas Kesehatan Tentara dan Dinas Kesehatan Rakyat. Daendels mendirikan
rumah sakit di Jakarta,Surabaya,dan Semarang,tetapi tidak diikuti perkembangan profesi
keperawatan,karena tujuannya hanya untuk kepentingan tentara Belanda.
Gubernur Jenderal Inggris ketika VOC berkuasa yaitu Raffles sangat memperhatikan
kesehatan rakyat. Berangkat dari semboyannya yaitu kesehatan adalah milik manusia,ia
melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki derajat kesehatan penduduk pribumi antara
lain:
- Pencacaran umum
- Cara perawatan pasien dengan gangguan jiwa
- Kesehatan para tahanan
6
RS. Carrolus Jakarta, RS. Boromeus di Bandung, RS Elizabeth di Semarang. Bersamaan
dengan itu berdiri pula sekolah-sekolah perawat.
Tahun 1949 mulai adanya pembangunan dibidang kesehatan yaitu rumah sakit dan balai
pengobatan. Tahun 1952 didirikan Sekolah Guru Perawat dan sekolah perawat setingkat
SMP. Pendidikan keperawatan professional mulai didirikan tahun 1962 yaitu Akper milik
Departemen Kesehatan di Jakarta untuk menghasilkan perawat professional pemula.
Pendirian Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) mulai bermunculan,tahun 1985 didirikan PSIK
(Program Studi Ilmu Keperawatan) yang merupakan momentum kebangkitan keperawatan di
Indonesia. Tahun 1995 PSIK FK UI berubah status menjadi FIK UI. Kemudian muncul
PSIK-PSIK baru seperti di Undip,UGM,UNHAS,dll.
7
BAB III
PEMBAHASAN
1. Psychoanalytical (Freud,Erickson)
Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi pada seseorang apabila
ego (akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu atau insting).
Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akalnya (ego) untuk mematuhi tata
tertib,peraturan,norma,agama (super ego/das uber ich),akan mendorong terjadinya
penyimpangan perilaku (devation of Behavioral).
Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam teori ini adalah adanya konflik
intrapsikis terutama pada masa anak-anak. Misalnya ketidakpastian pada masa oral
dimana anak tidak mendapatkan air susu secara sempurna.,tidak adanya stimulus untuk
belajar berkata-kata,dilarang dengan kekerasan untuk memasukkan benda pada mulutnya
pada fase oral dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan traumatic yang membekas
pada masa dewasa.
Proses terapi pada model terapi ini adalah menggunakan metode asosiasi bebas
dan analisa mimpi,transferan untuk memperbaiki traumatic masa lalu. Misalnya klien
dibuat dalam keadaan ngantuk yang sangat. Dalam keadaan yang tidak berdaya
pengalaman alam bawah sadarnya digali dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali
traumatic masa lalu. Hal ini lebih dikenal dengan metode hypnotic yang memerlukan
keahlian dan latihan yang khusus.
8
Peran perawat adalah berupaya melakukan assessment atau pengkajian mengenai
keadaan-keadaan traumatic atau stressor yang dianggap bermakna pada masa lalu
misalnya (perna disiksa orang tua,perna disodomi,diperlakukan ssecara
kasar,diterlantarkan,diasuh dengan kekerasan,diperkosa pada masa anak-anak),dengan
menggunakan pendekatan komunikasi terapeutik setelah terjalin trust (saling percaya).
2. Interpersonal (Sullivan,peplau)
Menurut konsep model ini,kelainan jiwa seseorang bisa muncul akibat adanya
ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety). Ansietas timbul dan
dialami seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan dengan orang lain
(interpersonal). Menurut konsep ini perasaan takut seseorang didasari adanya ketakutan
ditolak atau tidak diterima oleh orang sekitar.
Proses terapi menurut konsep ini adalah Build Feeling Security (berupaya
membangun rasa aman pada klien), Trusting Relationship and interpersonal Satisfaction
(menjalin hubungan saling percaya) dan membina kepuasan dalam bergaul dengan orang
lain sehingga klien merasa berharga dan dihormati.
Peran perawat dalam terapi adalah share anxietas (berupaya melakukan sharing
mengenai apa-apa yang dirasakan klien,apa yang biasa dicemaskan oleh klien saat
berhubungan dengan orang lain), therapist use empathy and relationship (perawat
berupaya bersikap empati dan turut merasakan apa-apa yang dirasakan oleh klien).
Perawatat memberikan respon verbal yang mendorong rasa aman klien dalam
berhubungan dengan orang lain.
9
Prinsip proses terapi yang sangat penting dalam konsep model ini adalah
environment manipulation and social support pentingnya modifikasi lingkungan dan
adanya dukungan social).
Peran perawat dalam memberikan terapi menurut model ini adalah pasien harus
menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat melibatkan teman
sejawat,atasan,keluarga atau suami-istri. Sedangkan therapist berupaya: menggali system
social klien seperti suasana di rumah,di kantor,di sekolah, di masyarakat atau tempat
kerja.
Menurut teori model eksistensial gangguan perilaku atau gangguan jiwa terjadi
bila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya. Individu tidak memiliki
kebanggan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan mengalami gangguan dalam Bodi-
imagenya.
10
5. Supportive Therapy (Wermon, Rockland)
Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: faktor biopsikososial dan
respon maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti: sering sakit
mag,migraine,batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak keluhan seperti:
mudah cemas,kurang percaya diri,perasaan bersalah,ragu-ragu,pemarah. Aspek sosialnya
memiliki masalah seperti: susah bergaul,menarik diri,tidak disukai,bermusuhan,tidak
mampu mendapatkan pekerjaan,dan sebagainya. Semua hal tersebut terkakumulasi
menjadi penyebab gangguan jiwa. Fenomena tersebut muncul akibat ketidakmampuan
dalam beradaptasi pada masalah-masalah yang muncul saat bini tidak ada kaitannya
dengan masa lalu.
Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifactor yang
kompleks meliputi: aspek fisik,genetic,lingkungan dan factor social. Sehingga focus
penatalaksanaannya harus lengkap melalui prosedur pemeriksaan diagnostic,terapi
somatic,farmakologik dan teknik interpersonal. Perawat berperan dalam berkolaborasi
dengan tim medis dalam melakukan prosedur diagnostic dan terapi jangka
panjang,therapist berperan dalam pemberian terapi,laporan mengenai dampak
terapi,menentukan jenis pendekatan terapi yang digunakan.
3.2 Issue Kecenderungan Pada Empat Area/Setting Praktik Keperawatan Komunitas Jiwa
11
Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang sedang
hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat dianggap
ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa baik dalam
tatanan regional maupun global.
Ada beberapa trend penting yang menjadi perhatian dalam keperawatan jiwa di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
Dahulu bila berbicara masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai pada saat onset
terjadinya sampai klien mengalami gejala-gejala. Di Indonesia banyak gangguan jiwa
terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita jarang sekali melihat fenomena masalah
sebelum anak lahir. Perkembangan terkini menyimpulkan bahwa berbicara masalah
kesehatan jiwa harus dimulai dari masa konsepsi atau bahkan harus dimulai dari masa
pranikah. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan masa dalam
kandungan dengan kesehatan fisik dan mental seseorang di masa yang akan datang.
Penelitian-penelitian berikut membuktikan bahwa kesehatan mental seseorang dimulai
pada masa konsepsi.
Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang berada pada
trimester dua dalam kandungan mempunyai resiko yang leih tinggi untuk menderita
skizofrenia di kemudian hari. Penemuan penting ini menunjukkan bahwa lingkungan luar
yang terjadi pada waktu yang tertentu dalam kandungan dapat meningkatkan risiko
menderita skizofrenia.
Mednick menghidupkan kembali teori perkembangan neurokognitif, yang
menyebutkan bahwa pada penderita skizofrenia terjadi kelainan perkembangan
neurokognitif sejak dalam kandungan. Beberapa kelainan neurokognitif seperti
berkurangnya kemampuan dalam mempertahankan perhatian, membedakan suara
rangsang yang berurutan, working memory, dan fungsi-fungsi eksekusi sering dijumpai
pada penderita skizofrenia.
Dipercaya kelainan neurokognitif di atas didapat sejak dalam kandungan dan dalam
kehidupan selanjutnya diperberat oleh lingkungan, misalnya, tekanan berat dalam
kehidupan, infeksi otak, trauma otak, atau terpengaruh zat-zat yang mempengaruhi fungsi
otak seperti narkoba. Kelainan neurokognitif yang telah berkembang ini menjadi dasar
12
dari gejala-gejala skizofrenia seperti halusinasi, kekacauan proses pikir, waham/delusi,
perilaku yang aneh dan gangguan emosi.
13
masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang
mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan kesehatan
jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang
mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal karena bunuh
diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri
dari para penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya.
Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan banyak hal. Namun,
menurut Aris Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa (psikiatri) Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan penyebab
gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organic. Penyebabnya antara
lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis,
malaria dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol dan lain-lain. Kedua, gangguan
mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah dalam pola pengasuhan
(pattern of parenting) hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan
frustasi, konflik, dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial aau lingkungan.
Penyebabnya dapat berupa stressor psikososial (perkawinan, problem orangtua, hubungan
antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah
keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain).
14
Pengaruh globalisasi terhadap perkembangan pelayanan kesehatan termasuk
keperawatan adalah tersedianya alternatif pelayanan dan persaingan penyelenggaraan
pelayanan. (persaingan kualitas). Tenaga kesehatan (perawat “jiwa” ) harus mempunyai
standar global dalam memberikan pelayanan kesehatan, jika tidak ingin ketinggalan.
Fenomena masalah kesehatan jiwa, indicator kesehatan jiwa di masa mendatang bukan
lagi masalah klinis seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkan berorientasi pada
konteks kehidupan sosial. Fokus kesehatan jiwa bukan hanya menangani orang sakit,
melainkan pada peningkatan kualitas hidup. Jadi konsep kesehatan jiwa buka lagi sehat
atau sakit, tetapi kondisi optimal yang ideal dalam perilaku dan kemampuan fungsi social
Paradigma sehat Depkes, lebih menekankan upaya proaktif untuk pencegahan daripada
menunggu di RS, orientasi upaya kesehatan jiwa lebih pada pencegahan (preventif) dan
promotif. Penangan kesehatan jiwa bergeser dari hospital base menjad community base.
Empat Ciri Pembentuk Struktur Masyarakat Yang Sehat :
a. Suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yg diperalat oleh
orang lain. Oleh karena itu seharusnya tidak ada yang diperalat/ memperalat diri
sendiri, dimana manusia itu menjadi pusat dari semua aktivitas ekonomi maupun
politik diturunkan pada tujuan perkembangan diri manusia.
b. Mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya, merangsang
perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, mampu membuat manusia untuk
mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa seni dan perilaku normatif kolektif.
c. Masyarakat terhindar dari sifat-sifat rakus, eksploitatif, pemilikan berlebihan,
narsisme, tidak mendapatkan kesempatan meraup keuntungan material tanpa batas.
d. Kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam dimensi-dimensi
yang dapat dipimpin dan diobservasi. Partisipasi aktif dan bertanggung jawab dalam
kehidupan masyarakat. Untuk mewujudkan struktur masyarakat sehat, kuncinya :
Setiap orang harus meningkatkan kualitas hidup yang dapat menjamin terciptanya
kondisi sehat yang sesungguhnya. Mandiri dan tidak bergantung pada orang lain
merupakan orientasi paradigma kesehatan jiwa
6. Kecenderungan Penyakit
15
Masalah kesehatan jiwa akan menjadi “The global burdan of disease“ (Michard &
Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan bagi ”Public Health Policy” yang
secara tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit infeksi. Standar
pengukuran untuk kebutuhan kesehatan global secara tradisional adalah angka kematian
akibat penyakit. Ini telah menyebabkan gangguan jiwa seolah-olah bukan masalah.
Dengan adanya indikator baru, yaitu DALY (Disabilitty Adjusted Lfe Year) diketahuilah
bahwa gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan utama secara internasional.
Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik yang tidak
menentu menyebabkan semakin tigginya angka pengangguran, kemiskinan, dan
kejahatan, situasi ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan jiwa dalam
kehidupan manusia ( Antai Otong, 1994).
Untuk menjawab tantangan ini diperlukan tenaga-tenaga- kesehatan seperti
psikiater, psilolog, social Worker, dan perawat psikiatri yang memadai baik dari segi
kuantitas.
Saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang terpapar dengan kejadian
Traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian yang berupa ancaman
kematian atau kematian yang sebenarnya dan mereka yang cedera serta yang dalam
ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain. Respons yang terjadi berupa
rasa takut yang kuat serta tidak berdaya, sedangkan bagi anak-anak apa yang
menghadapinya akan dieksperikan dengan perilaku yang kacau.
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma diluar rentang.
Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam kejadian sehari-hari. Pengalaman
katastropik dalam berbagai bentuk, baik peperangan (memang sedang terjadi),
pemerkosaan (banyak dialami sebagian wanita di Aceh), maupun bencana alam, (gempa
dan bencana tsunami), sungguh mengerikan.
Ini akan membuat mereka dalam keadaan stress berkepanjangan dan berusaha
untuk tidak mengalami stress yang sedemikian. Dalam kriteria klinik seperti yang disusun
dalam Diagnostic and Statical Manual Of Mental Disorder lll dan Lv serta Pedoman
Pengggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa lll di Indonesia menyatakan, gejala yang
ditemukan pada mereka itu menggambarkan suatu yang stress yang terjadi berbulan-
bulan, bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian mereka menjadi manusia yang invalid
16
dalam kondisi kejiwaan dengan akibat dan resultante akhir penderita ini akan menjadi
tidak produktif. Padahal seperti diketahui ada diantara mereka yang berkali-kali telah
mengalami pengalaman katastropik yaitu saat daerah tersebut ada dalam kondisi
berlangsungnya Daerah Operasi Militer dan peristiwa-peristiwa sesudahnya. Kondisi itu
memang amat melumpuhkan tidak hanya ragawi, tetapi juga kondisi kejadian masyarakat
di daerah NAD. Di kemudian hari, mereka menjadi manusia yang tanpa alasan selalu
berusaha menghindar terhadap kejadian yang mirip, terutama terhadap kekerasan yang
sebernarnya tidak akan terjadi. Mereka juga menjadi manusia yang selalu bermimpi
menakutkan terjadi secara berulang-ulang. Akibatnya, tidur yang seharusnya kan
membuat restorasi terhadap kondisi tubuh, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka
berada dalam keadaan lelah dan seakan berada dalam kondisi depresi. Mungkin saja
mereka kan berperilaku atau merasa seakan-akan kejadian traumatis itu terjadi kmbaki,
termasuk pengalaman, ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik dalam bentuk disosiatif.
Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies) mulai memahami bahwa
trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat individual. Trauma muncul
sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang
peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. Dalam konteks tsunami Aceh dan
bencana-bencana besar lainnya di Indonesia, kompleksitas sosial dan kultural sangat
penting mengingat bahwa masyarakat telah mengalami dan menjadi saksi berbagai
macam kekerasan sejak berlangsungnya operasi keamanan di daerah ini. Oleh karena itu,
pemahaman tentang trauma sebagai proses sosial dan sekaligus proses kejiwaan yang
bersifat personal mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar dari lingkaran ingatan
traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami yang mengalami bencana di
seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud sendiri pernah mengemukakan
bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi. Dan, karena direpresi itulah maka
trauma sering berlangsung secara tidak sadar dalam periode yang cukup lama.
Guncangan psikologis yang disebabkan oleh ingatan mengerikan tentang gelombang
tsunami, tentang mayat-mayat yang berserakan, dan tentang kehilangan banyak anggota
keluarga sekaligus berpotensi untuk membentuk ingatan yang traumatis.
Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni kajian trauma, juga
menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi sering disebut sebagai transference.
17
Istilah ini merujuk pada ‚“transfer“ pengalaman traumatis yang terjadi dari orang yang
secara fisik langsung mengalami peristiwa yang mengerikan kepada orang lain yang tak
secara langsung mengalaminya. Freud memberi contoh bahwa psikoanalis juga dapat
mengalami proses transference saat ia secara tak sadar melakukan identifikasi dengan
korban trauma tersebut. Dori Laub, psikiater yang terlibat dalam pembuatan Shoah,
mengatakan bahwa transference itu bisa terjadi saat psikoanalis, atau siapapun juga yang
melakukan wawancara dengan korban.
18
b. Masalah Psikososial yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai aikbat
terjadinya perubahan sosial, misalnya :
Psikotik gelandangan (seseorang yang berkeliaran di tempat umum dan
diperkirakan menderita gangguan jiwa psikotik dan dianggap mengganggu
ketertiban/keamanan lingkungan).
Pemasungan penderita gangguan jiwa.
Masalah anak jalanan.
Masalah anak remaja (tawuran, kenakalan).
Penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika.
c. Masalah seksual (penyimpangan seksual, pelecehan seksual, dan lain-lain).
Tindak kekerasaan sosial (kemiskinan, penelataran tidak diberi nafkah, korban
kekerasaan pada anak dan lain-lain).
Stress pascatrauma (ansietas, gangguan emosional, berulangkali merasakan
kembali suatu pengalaman traumatik, bencana alam, ledakan, kekerasaan,
penyerangan/penganiyaan secara fisik atau seksual, termasuk pemerkosaan,
terorisme dan lain-lain).
Pengungsi/imigrasi (masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat
terjadinya suatu perubahan sosial, seperti cemas, depresi, stress pascatrauma,
dan lain-lain.
d. Masalah usia lanjut yang terisolasi (penelataran, penyalahgunaan fisik, gangguan
psikologis, gangguan penyesuaian diri terhadap perubahan, perubahan minat,
gangguan tidur, kecemasan, depresi, gangguan pada daya ingat, dll).
e. Masalah kesehatan tenaga kerja ditempat kerja (kesehatan jiwa tenaga kerja,
penurunan produktivitas, stress di tempat kerja, dan lain-lain).
19
10 kali lebih besar dari angka tersebut, tetapi cepat tertolong. Kini yang
mengkhawatirkan trend bunuh diri mulai tampak meningkat terjadi pada anak-anak dan
remaja.
Di Benua Asia, Jepang dan Korea termasuk Negara yang sering diberitakan
bahwa warganya melakukan bunuh diri. Di Jepang, harakiri (menikam atau merobek
perut sendiri) sering dilakukan bawahan untuk melindungi nama baik atasannya. Sebagai
contoh, sekretaris pribadi mantan Perdana Menteri Takeshita melakukan bunuh diri,
ketika skandal suap perusahaan Recruits Cosmos terbongkar pada tahun 1984 atau yang
paling terkenal kasus bunuh dirinya sopir pribadi mantan Perdana menteri Tanaka, ketika
skandal suap Lockheed terbongkar. Sang sopir menusuk perutnya, demi menjaga
kehormatan pimpinannya.
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 mengungkapkan
bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau terjadi dalam seiap 40
detiknya. Bunuh diri juga termasuk satu dari tiga penyebab utama kematian pada usia 15-
34 tahun, selain faktor kecelakaan.
20
Gerakan konspirasi mereka telah membuat carut marut dan tercabiknya wajah kaum
beragama, utamanya umat muslim, mereka menuduh umat islam sebagai fundamentalis,
ekstrimis, dan tiran. Bahkan Hungtington (Misionaris Yahudi) pernah mengatakan :
“Musuh Barat terbesar setelah Rusia hancur adalah Islam“. Salah satu program mereka
adalah menghancurkan islam melalui penghancuran generasi mudanya dengan cara
menebarkan narkotik dan zat adiktif lainnya (NAPZA).
Sekarang para imperalis dan konspirasi Yahudi telah memanfaatkan energi yang
tersimpan dalam generasi negeri ini (1,3 juta orang pemuda) yang berusia 15-25 tahun
melalui NAPZA (Narkotik dan Zat Adikif lainnya) dan telah membunuh 30 orang
perbulannya. Masalah lainnya muncul seiring dengan merebaknya pemakaian NAPZA.
Menjelang tahun 2008 pertumbuhan HIV AIDS di dunia dapat mencapai 4 orang
permenit. Ini merupakan ancaman hilangnya kehidupan dan runtuhnya peradaban.
Kita semua, khususnya tim kesehatan harus merasa terpanggil menyelamatkan
generasi penerus bangsa dari cangkraman NAPZA (Narkotika, Alkohol, psikotropika,
dan Zat Adiktif lainnya). Perawat merupakan komponen terbesar dari seluruh tim
kesehatan, maka upaya-upaya pengcegahan dan penatalaksanaan keperawatan menjadi
hal yang sangat penting karena perawat senantiasa berada di sisi klien dalam rentang
waktu yang lama di banding tim kesehatan lainnya. Melalui forum presentasi orientasi
keperawatan jiwa kami berusaha memaparkan suatu topic dengan tema Asuhan
Keperawatan pada Pengguna NAPZA.
21
masalah. Orang tua menjadi teman dalam express feeling anak sehingga anak menjadi
sehat jiwanya.
Kontrol yang tinggi adalah bagaimana anak dilatih mandiri dan mengenal disiplin
di rumahnya. Kemandirian ini menjadi hal yang sangat penting dalam kesehatan jiwa.
Anak mandiri terbiasa menyelesaikan masalahnya, ia akan memiliki self confidence yang
cukup. Contoh kontrol yang diterapkan orang tua adalah kapan anak harus bangun pagi,
kapan belajar, kapan anak berlatih memakai kaos kaki sendiri, makan sendiri dan
berpakaian secara mandiri. Orang tua juga melatih anak bertanggung jawab mengerjakan
tugas-tugas di rumah seperi mencuci, menyiram bunga, dan sebagainya.
Tipe pola asuh :
Autoriatif : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol yang tinggi dan
kehangatan tinggi.
Otoriter : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol tinggi kehangatan
rendah.
Permisif : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol rendah
kehangatan tinggi.
Neglected : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol rendah
kehangatan rendah.
22
A.Trend dalam Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri
Sejarah Keperawatan mental psikiatri muncul sebagai sebuah profesi pada awal abad ke-
19. Kemudian sejak tahun 1940 keperawatan mental psikiatri mulai berkembang pesat,
tetapi pelayanan masih terpusat di Rumah Sakit (Antai Otong, 1994). Hal ini terjadi sejalan
dengan program deinstitusionalisasi. Deinstitusionalisasi adalah suatu program pembebasan
klien gangguan jiwa kronik dari institusi rumah sakit dan mengembalikan mereka ke
lingkungan rehabilitas di masyarakat (Lefley, 1996). Angka kejadian gangguan jiwa dapat
diminimalkan dengan menggunakan cara-cara preventif seperti menemukan kasus-kasus
secara dini, diagnosa dini da intervensi krisis (Gerald Kaplan dikutip oleh Antai Otong,
1994).
23
3. Perbedaan peran perawat jiwa berdasarkan pendidikan dan pengalaman sering kali tidak
jelas dalam “Position Description,” job responsibility dan system reward di dakam
pelayanan keperawatan dimana mereka bekerja (Stuart Sudeen, 1998).
4. Di negara lain pun mempunyai kecenderungan yang sama, hasil penelitian di Ireland
menunjukkan bahwa mahasiswa mempunyai persepsi yang salah tentang peran perawat
psikiatri (Wells, 2000).
24
Ibu dua anak ini ditemukan dalam keadaan tewas oleh suaminya, Supriyono (36), dan warga
yang mendobrak pintu kamar mandi yang terkunci dari dalam. Suwarni sudah tak bernyawa
tatkala ditemukan.
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa masalah ekonomi merupakan salah satu
masalah yang paling sering menyebabkan gangguan jiwa di Indonesia. Himpitan ekonomi
yang semakin besar dikarenakan penghasilan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dapat menjadi salah satu pencetus untuk seseorang bunuh diri. Saat ini masalah
ganguan jiwa semakin meningkat. Beban hidup yang semakin berat, diperkirakan menjadi
salah satu penyebab bertambahnya klien gangguan jiwa. Terutama karena meningkatnya
harga-harga semua bahan pokok, BBM dan adanya era globalisasi.
Pada kasus diatas, klien yang bunuh diri tersebut, penyebabnya adalah karena gangguan
sosial atau lingkungan yang berupa stressor psikososial yaitu masalah keuangan. Gangguan
jiwa saat ini tidak hanya mengenai orang-orang yang merupakan kalangan kelas bawah, tapi
sekarang gangguan jiwa dapat menyerang baik itu orang kalangan bawah, menengah
maupun kelas atas. Jika seseorang tidak dapat beradaptasi dengan baik dalam lingkungan
dan tidak dapat berusaha menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya maka seseorang
akan cenderung untuk mengalami gangguan jiwa. Dari berbagai penyebab itulah maka satu
demi satu akan muncul tindakan-tindakan yang dapat dikatakan sebagai suatu
penyelewengan atau pengingkaran diri akan kondisi atau kenyataan yang ada. Pasien
cenderung tidak mampu menerima kondisi yang ada sehingga muncul suatu keinginan untuk
melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab tersebut. Dan dalam kasus ini pun
cenderung akhir dari segala pengingkaran diri pasien adalah dengan melakukan bunuh diri.
Bunuh diri merupakan salah satu tindakan yang menjadi trend issue dalam keperawatan
jiwa. Tanpa dibatasi umur, status ekonomi, tingkat pendidikan bahkan beban kerja yang
dipikul bunuh diri menjadi suatu alternatif terakhir dalam menyelesaikan masalah yang
dianggap berat untuk dihadapi. Pola pikir inilah yang seharusnya menjadi pusat garapan
perawat-perawat jiwa untuk meluruskan kembali persepsi yang berkembang di masyarakat
mengenai tindakan bunuh diri. Hal ini berguna untuk rehabilitasi pasien yang pernah
mencoba untuk melakukan tindakan tersebut dan juga untuk pencegahan terjadinya tindakan
ini yang semakin marak. Segala tindakan pencegahan dan rehabilitasi ini tentu akan
25
terlaksana dengan dukungan dari segala pihak baik pemerintah maupun bidang kesehatan
lainnya.
Dalam sejarah evolusi keperawatan jiwa, kita mengenal beberapa teori dan model
keperawatan yang menjadi core keperawatan jiwa, yang terbagi dalam beberapa periode.
Pada awalnya perawatan pasien dengan gangguan jiwa tidak dilakukan oleh petugas
kesehatan (Custodial Care) (tidak oleh tenaga kesehatan). Perawatan bersifat isolasi dan
penjagaan. Mereka ditempatkan dalam suatu tempat khusus, yang kemudian berkembang
menjadi Primary Consistend of Custodial Care.
Baru sekitar tahun 1945-an fokus perawatan terletak pada penyakit, yaitu model
kuratif (model Curative Care). Perawatan pasien jiwa difokuskan pada pemberian
pengobatan. Baru tahun 1950 fokus perawatannya mulai befokus pada klien, anggota
keluarga tidak dianggap sebagai bagian dari tim perawatan. Obat-obat psychotropic
menggantikan Restrains dan seklusi (pemisahan). Deinstitutionalization dimulai, mereka
bukan partisipan aktif dalam perawatan dan pengobatan kesehatan mereka sendiri.
Hubungan yang terapetik mulai diterpakan dan ditekankan. Fokus utama pada preventiv
primer. Perawatan kesehatan jiwa diberikan di rumah sakit jiwa yang besar (swasta atau
pemerintah) yang biasanya terletak jauh dari daerah pemukiman padat.
Sekitar dekade berikutnya, pada saat terjadi Pergerakan Hak-Hak Sipil (The Civil
Rights) di 1960-an, penderita gangguan jiwa mulai mendapatkan hak-haknya. The
Community Mental Health Centers Act (1963) secara dramatis mempengaruhi pemberian
pelayanan kesehatan jiwa. Undang-Undang inilah yang menyebabkan fokus dan
pendanaan perawatan beralih dari rumah sakit jiwa yang besar ke pusat-pusat kesehatan
jiwa masyarakat yang mulai banyak didirikan.
Pada tahun 1970-1980, perawatan beralih dari perawatan rumah sakit jangka
panjang ke lama rawat yang lebih singkat. Fokus perawatan bergeser ke arah community
based care / service (Pengobatan berbasis komunitas). Pada tahun-tahun ini banyak
dilakukan riset dan perkembangan teknologi yang pesat. Populasi klien di rumah sakit
26
jiwa yang besar berkurang, sehingga banyak rumah sakit yang ditutup. Pusat-pusat
kesehatan komunitas jiwa sering tidak mampu menyediakan layanan akibat
bertambahnya jumlah klien. Tunawisma menjadi masalah bagi penderita penyakit mental
kronik persisten yang mengalami kekurangan sumber daya keluarga dan dukungan sosial
yang adekuat.
,
Baru pada akhir abad ke-20, biaya perawatan kesehatan yang tinggi dan
kebutuhan pembatasan biaya menjadi focus nasional. Pada saat ini sistem manajemen
perawatan mengatur hubungan antara pembayar, penyedia jasa, dan konsumen layanan
kesehatan. Sistem ini memantau distribusi pelayanan, tindakan penyedia jasa, dan hasil
perawatan. Tujuan dari sistem ini adalah mengurangi biaya sambil tetap meningkatkan
mutu pelayanan. Hubungan antara penyedia jasa dan pengguna layanan tidak lagi bersifat
primer. Manajer dan pihak asuransi kesehatan memantau hubungan antara penyedia jasa
dan konsumen layanan kesehatan.
Awal abad 21, fokus perawatan pada preventif atau pengobatan berbasis
komunitas, yang menggunakan berbagai pendekatan, antara lain melalui pusat kesehatan
mental, praktek, pelayanan di rumah sakit, pelayanan day care, home visite dan hospice
care. Pada saat ini banyak terjadi perubahan yang signifikan dalam perawatan kesehatan
jiwa. Managed care menghubungkan struktur dan layanan baru. Seorang manajer kasus
ditugaskan untuk mengkoordinasikan pelayanan untuk klien individu dan bekerja sama
dengan tim multidisipliner. Alat-alat manajemen klinis yang menunjukkan organisasi,
urutan dan waktu intervensi yang diberikan oleh tim perawatan untuk satu gangguan
yang teridentifikasi pada klien. Pemberian dan pemfokusan layanan pencegahan primer
(bukan hanya perawatan berbasis penyakit); mencakup identifikasi kelompok-kelompok
berisiko tinggi dan penyuluhan untuk mencegah gaya hidup guna mencegah penyakit.
27
berpatisipasi penuh dalam kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat. Organisasi-
organisasi seperti The National Alliance of Mentally III, menghapus stigma gangguan
jiwa dan member dukungan komunitas setempat bagi penderita ganguan jiwa dan
keluarganya. Organisasi tersebut melakukan lobi untuk meningkatkan dana penelitian
dan pengobatan gangguan jiwa. Pengetahuan tentang struktur dan fungsi otak
berkembang pesat. Tahun 1990-an dianggap sebagai “Dekade Otak” karena
pertumbuhan pesat pengetahuan tentang cara kerja otak. Seiring dengan kemajuan
genetika, pengetahuan yang dihasilhan telah membentuk kembali pemahaman tentang
penyebab dan pengobatan gangguan jiwa.
Meski dalam sejarah kesehatan jiwa banyak didominasi oleh dunia barat,
namun sesungguhnya dalam dunia Islam sejarah kesehatan jiwa justru sudah dimulai
sejak jauh sebelum Barat mengenal metode penyembuhan penyakit jiwa berikut
tempat perawatannya. Pada abad ke-8 M di Kota Baghdad. Menurut Syed Ibrahim B
PhD dalam bukunya berjudul "Islamic Medicine: 1000 years ahead of its times",
mengatakan, rumah sakit jiwa atau insane asylums telah didirikan para dokter dan
psikolog Islam beberapa abad sebelum peradaban Barat menemukannya. Hampir
semua kota besar di dunia Islam pada era keemasan telah memiliki rumah sakit jiwa.
Selain di Baghdad ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah Insane Asylum juga terdapat di
kota Fes, Maroko. Selain itu, rumah sakit jiwa juga sudah berdiri di Kairo, Mesir pada
tahun 800 M. Pada abad ke-13 M, kota Damaskus dan Aleppo juga telah memiliki
rumah sakit jiwa.
28
pembinaan moral bagi penderita sakit jiwa. Selain itu, para dokter dan psikolog
Muslim juga mampu menemukan bentuk pengobatan modern bagi penderita sakit
jiwa seperti, mandi pengobatan dengan obat, musik terapi dan terapi jabatan.
Konsep kesehatan mental atau al-tibb al-ruhani pertama kali diperkenalkan dunia
kedokteran Islam oleh seorang dokter dari Persia bernama Abu Zayd Ahmed ibnu
Sahl al-Balkhi (850-934). Dalam kitabnya berjudul Masalih al-Abdan wa al-Anfus
(Makanan untuk Tubuh dan Jiwa), al-Balkhi berhasil menghubungkan penyakit antara
tubuh dan jiwa. Ia pun sangat terkenal dengan teori yang dicetuskannya tentang
kesehatan jiwa yang berhubungan dengan tubuh. Menurut dia, gangguan atau
penyakit pikiran sangat berhubungan dengan kesehatan badan. Jika jiwa sakit, maka
tubuh pun tak akan bisa menikmati hidup dan itu bisa menimbulkan penyakit
kejiwaan, tutur al-Balkhi.
Menurut al-Balkhi, badan dan jiwa bisa sehat dan bisa pula sakit. Inilah yang
disebut keseimbangan dan ketidakseimbangan. Dia menulis bahwa
ketidakseimbangan dalam tubuh dapat menyebabkan demam, sakit kepala, dan rasa
sakit di badan. Sedangkan, ketidakseimbangan dalam jiwa dapat mencipatakan
kemarahan, kegelisahan, kesedihan, dan gejala-gejala yang berhubungan dengan
kejiwaan lainnya.
29
Bagaimana perkembangan keperawatan jiwa di Indonesia? Perkembangan
keperawatan jiwa di Indonesia dimulai sejak zaman dulu kala, ketika gangguan
jiwa dianggap kerasukan, sehingga para dukun berusaha mengeluarkan roh jahat.
Seiring perkembangan keperawatan jiwa di dunia, perkembangan di Indonesia pun
turut berkembang. Hal ini dimulai sejak zaman Kolonial. Sebelum ada RSJ di
Indonesia, pasien gangguan jiwa ditampung di RS Sipil atau RS Militer di Jakarta,
Semarang, dan Surabaya, yang ditampung pada umumnya penderita gangguan jiwa
berat. Kemudian, mulailah didirikan beberapa rumah sakit jiwa.
30
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Kita sebagai perawat tidak boleh lupa akan sejerah perjuangan keperawatan jiwa
yang selalu dipandang sebelah mata terhadap khalayak umum dan harus terkobarkan
semangat juang membantu orang yang mengalami gangguan jiwa untuk sembuh seperti
semula.
Demikian isi makalah ini,saya sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna dan banyak kekurangan baik dari segi bentuk maupun materi yang saya
uraikan. Oleh karena itu,saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca untuk memrebaiki makalah selanjutnya.
31
DAFTAR PUSTAKA
http://grhasia.jogjaprov.go.id/berita/41/sejarah-perkembangan-keperawatan-jiwa.html
https://www.academia.edu/33363241/Sejarah_Keperawatan_Jiwa?auto=download
https://www.scribd.com/document/406589772/Makalah-Sejarah-Keperawatan-Jiwa-Di-Dunia-
dan-Di-Indonesia-docx
http://calonsarjanabangsa.blogspot.com/2018/12/makalah-sejarah-keperawatan-di.html
32