Anda di halaman 1dari 28

Referat

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)

Oleh:
Heni Nurdita, S.Ked.
712021027

Pembimbing:

dr. Meidian Sari, Sp.KJ

SMF ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul:
POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)
Oleh:
Heni Nurdita,
S.Ked 712021027

Telah dilaksanakan pada bulan November 2022 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang.

Palembang, November 2022


Pembimbing

dr. Meidian Sari, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “POST TRAUMATIC STRESS
DISORDER (PTSD)” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di SMF Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta
para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada:
1. dr. Meidian Sari, Sp.KJ selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Senior di
SMF Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang, yang telah
memberikan masukan, arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian referat
ini.
2. Rekan-rekan co-assistensi atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, November
2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................... 2
1.3 Maksud dan Tujuan.................................................................................... 2
1.4 Manfaat........................................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................3
2.1. Definisi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)..................................... 3
2.2. Epidemiologi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)............................ 3
2.3. Etiologi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)..................................... 5
2.4. Patofisiologi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)............................. 7
2.5. Gambaran Klinis dan Kriteria Diagnosis Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD)...................................................................................................................... 8
2.6. Evaluasi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).................................. 16
2.7. Tatalaksana Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)............................. 16
2.8. Diagnosis Banding Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)..................19
2.9. Prognosis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)................................ 20
2.10. Komplikasi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)............................. 20
2.11. Pencegahan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).............................21
BAB III. KESIMPULAN.....................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 23

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress disorder / PTSD)
merupakan suatu sindrom yang timbul setelah individu melihat, telibat di dalam,
atau mendengar stresor traumatik yang ekstrem. Seseorang bereaksi terhadap
pengalaman tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, secara menetap
menghidupkan kembali peristiwa tersebut, dan mencoba menghindari mengingat
hal itu. Untuk menegakkan diagnosis gejala harus bertahan lebih dari satu bulan
setelah peristiwa dan harus memengaruhi area penting kehidupan secara signifikan,
seperti keluarga dan pekerjaan. Edisi keempat revisi Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR) mendefinisikan gangguan yang serupa
dengan PTSD sebagai gangguan stress akut, yang terjadi lebih dini dari PTSD
(dalam 4 minggu setelah peristiwa) dan membaik dalam 2 hari hingga 4 minggu.
Jika gejala bertahan setelah waktu tersebut, diagnosis PTSD diperlukan.1
Gangguan stres pasca-trauma (PTSD) mempengaruhi sekitar 20% veteran
militer AS dan merupakan penyebab utama kematian pada pria dan wanita ini. 4
Penelitian Tentama 2014 di Yogyakarta menunjukkan bahwa 20% individu yang
mengalami peristiwa traumatik akan mengalami PTSD. 84% dari populasi umum
akan mengalami setidaknya satu peristiwa yang berpotensi traumatis dan 25%
dari individu tersebut akan mengalami gangguan PTSD. Prevalensi kejadian PTSD
pada laki-laki 20% dan pada perempuan sebanyak 36%.3
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk membuat
referat yang membahas tentang gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress
disorder / PTSD), sehingga diharapkan dapat memberikan beberapa pengetahuan
tambahan mengenai penyakit tersebut.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapatkan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa definisi dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)?
2. Bagaimana epidemiologi dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)?
3. Apa saja etiologi dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)?
4. Bagaimana gambaran klinis dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)?
5. Bagaimana tatalaksana pada Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)?

1.3 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan referat ini adalah sebagai berikut :
1. Diharapkan mengetahui definisi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
2. Diharapkan mengetahui epidemiologi dari Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD).
3. Diharapkan mengetahui etiologi dari Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD).
4. Diharapkan mengetahui gambaran klinis dari Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD).
5. Diharapkan mengetahui tatalaksana pada Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD).

1.4 Manfaat
Diharapkan melalui referat ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dan
sebagai tambahan referansi dalam bidang ilmu kesehatan jiwa terutama mengenai
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress disorder / PTSD)
merupakan suatu sindrom yang timbul setelah individu melihat, telibat di dalam,
atau mendengar stresor traumatik yang ekstrem. Seseorang bereaksi terhadap
pengalaman tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, secara menetap
menghidupkan kembali peristiwa tersebut, dan mencoba menghindari mengingat
hal itu.1 Posttraumatic Stress Disorder/PTSD adalah gangguan kecemasan yang
dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik.2

2.2. Epidemiologi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Gangguan psikologis setelah mengalami peristiwa traumatik atau stres berat
seperti peristiwa perang telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu. Pada tahun
1980 American Psychiatric Association mulai memperkenalkan gangguan jiwa
yang disebut sebagai gangguan stres pasca trauma (Post Traumatic Stress
Disorder/PTSD) dengan kriteria diagnosis yang tercantum dalam DSM – III dan juga
oleh WHO yang memasukkan diagnosis ini kedalam International Classification of
Diseases (ICD) X.7
Prevalensi seumur hidup PTSD diperkirakan sekitar 8% populasi umum
walaupun tambahan 5-15% dapat mengalami bentuk subklinis gangguan ini. Di
antara kelompok risiko tinggi yang anggotanya mengalami peristiwa traumatik.
Angka prevalesi seumur hidupnya berkisar 5-75%. Sekitar 30% veteran Vietnam
mengalami PTSD dan tambahan 25% mengalami bentuk subklinis gangguan
tersebut. Prevalensi seumur hidup pada perempuan berkisar sekitar 10 -12% dan 5-
6% pada laki-laki. Walaupun PTSD dapat timbul pada usia berapapun, gangguan
ini paling prevalen pada dewasa muda karena mereka cenderung lebih terpajang
dengan situasi penginduksi. Anak juga dapat mengalami gangguan ini. Laki-laki
dan perempuan memiliki perbedaan tipe trauma yang memajankan mereka dan
kecenderungan untuk mengalami PTSD. Prevalensi seumur hidup secara bermakna

3
lebih tinggi pada perempuan dan proporsi perempuan yang terus mengalami
gangguan ini lebih tinggi. Berdasarkan sejarah, trauma laki-laki biasanya berupa
pengalaman berperang dan trauma perempuan paling lazim adalah kekerasan atau
perkosaan. Gangguan ini lebih cenderung terjadi pada orang lajang, bercerai, janda,
menarik diri dari sosial, atau tingkat sosioekonomi yang rendah. Meskipun
demikian, faktor risiko yang paling penting gangguan ini adalah keparahan,
durasi dan kedekatan pajanan seseorang dengan trauma yang sebenarnya.
Tampaknya terdapat pola familial untuk gangguan ini dan kerabat biologis derajat
pertama orang dengan riwayat depresi memiliki peningkatan risiko untuk
timbulnya PTSD setelah peristiwa traumatik.1
Gangguan stres pasca-trauma (PTSD) mempengaruhi sekitar 20% veteran
militer AS dan merupakan penyebab utama kematian pada pria dan wanita ini. 4
Prevalensi yang mengalami PTSD di Amerika Serikat menunjukkan sekitar 2,5 –
8,3 % dengan usia awitan rata-rata 23 tahun. Prevalensi sangat bervariasi dari
negara ke negara, dalam survei yang dipublikasikan oleh WHO pada tahun 2008
menunjukkan bahwa prevalensi sepanjang waktu untuk populasi dewasa di Cina
sebesar 0,3% sedangkan di New Zealand sebesar 6,1%. Di Indonesia sendiri belum
terdapat angka kejadian yang pasti dari gangguan stres pasca trauma. Penelitian
yang dilakukan di Kabupaten Ciamis pasca trunami 8 bulan pada populasi dewasa
menunjukkan angka terjadinya gangguan stres pasca trauma sebesar 48,8%.
Sedangkan penelitian terhadap 2135 anak dan remaja di Aceh Utara pada periode
2005 – 2007 menunjukkan 8,94% dari total anak dan remaja mengalami
gangguan jiwa dan gangguan stresa pasca trauma menduduki peringkat pertama
dari gangguan jiwa yang dijumpai (24,6% pada populasi anak usia 4 – 10 tahun
dan 35,6% pada populasi anak usia 11 – 17 tahun). 7 Penelitian Tentama 2014 di
Yogyakarta menunjukkan bahwa 20% individu yang mengalami peristiwa
traumatik akan mengalami PTSD. 84% dari populasi umum akan mengalami
setidaknya satu peristiwa yang berpotensi traumatis dan 25% dari individu tersebut
akan mengalami gangguan PTSD. Prevalensi kejadian PTSD pada laki-laki 20%
dan pada perempuan sebanyak 36%.3

4
2.3. Etiologi Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD) Stresor
Stresor yang menyebabkan stres akut dan PTSD cukup hebat untuk
memengaruhi hampir setiap orang. Stresor dapat timbul dari pengalaman perang,
penyiksaan, bencana alam, penyerangan, perkosaan dan kecelakaan serius
(contohnya di dalam mobil dan gedung terbakar). Meskipun demikian, tidak
setiap orang mengalami gangguan ini setelah peristiwa traumatik. Stesornya sendiri
tidak cukup menimbulkan gangguan ini. Klinisi harus mempertimbangkan faktor
psikososial dan biologis yang sebelumnya ada dan peristiwa yang terjadi sebelum
dan setelah trauma. Contohnya, serang anggota suatu kelompok yang bertahan
hidup pada bencana kadang-kadang dapat menangani trauma karena anggota yang
lainnya juga mengalami yang sa,a. arti subjektif suatu stresor pada seseorang juga
penting. Contohnya, orang yang selamat dari bencana mengalami rasa bersalah
(survivor guilt) yang dapat menjadi predisposisi atau memperberat PTSD.1
Faktor Risiko
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahkan ketika menghadapi trauma
yang hebat, sebagian besar orang tidak mengalami gejala PTSD. National
Comorbidity Study menemukan bahwa 60% laki-laki dan 50% perempuan
mengalami sejumlah trauma yang signifikan, tetapi prevalensi PTSD yang
dilaporkan hanya 6,7%. Demikian juga, peristiwa yang mungkin tampak biasa atau
kurang dianggap sebagai bencana besar bagi sebagian besar orang dampak
menimbulkan PTSD pada sejumlah orang lainnya.1
Faktor Psikodinamik
Model psikoanalitik gangguan ini menghipotesiskan bahwa trauma
mengaktifkan kembali konflik psikologis yang sebelumnya tenang, tetapi tidak
terselesaikan. Penghidupan kembali trauma masa kanak-kanak menimbulkan
regresi dan penggunaan mekanisme defens represi, penyangkalan, reaction
formation dan undoing. Menurut Freud, pemecahan kesadaran terjadi pada pasien
yang melaporkan riwayat trauma seksual masa kanak-kanak. Konflik yang
sebelumnya telah ada secara simbolis dibangkitkan kembali oleh peristiwa
traumatik yang baru. Ego menghidupkan kembali dan dengan demikian mencoba
menguasai dan mengurangi ansietas. Orang yang menderita aleksitimia, yaitu

5
ketidakmampuan mengidentifikasi atau memverbalisasikan keadaan perasaan,
tidak mampu menenangkan dirinya ketika berada dalam stres.1
Faktor Perilaku-Kognitif
Model kognitif PTSD membuat postulat bahwa orang yang mengalaminya
tidak mampu memroses atau merasionalisasikan trauma yang mencetuskan
gangguan ini. Mereka terus mengalami stres dan berupaya menghindari mengalami
hal itu dengan teknik penghindaran. Konsisten dengan kemampuan parsial
mereka menghadapi peristiwa tersebut secara kognitif, orang tersebut mengalami
periode bergantian antara memahami dan memblok peristiwa. Upaya otak untuk
memroses jumlah informasi yang banyak yang mencetuskan trauma diangap
menimbulkan periode bergantian antara memahami dan memblok peristiwa.1
Model perilaku PTSD menekankan adanya dua fase di dalam
perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak dipelajari), yang
menimbulkan respons takut, dipasangkan melalui pembelajaran klasik, dengan
stimulus yang dipelajari (pengingat fisik atau mental terhadap trauma, seperti
penglihatan, bau atau suara). Kedua, melalui pembeajaran instrumental, stimulus
yang dipelajari mencetuskan respons takut yang bebas dari stimulus asal yang tidak
dipelajari dan orang mengembangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang
dipelajari maupun stimulus yang tidak dipelajari. Sejumlah orang juga menerima
keuntungan sekunder dari dunia luar, umumnya berupa kompensasi keuangan,
meningkatnya perhatian atau simpati, pemuasan akan kebutuhan ketergantungan.
Keuntungan ini menyokong gangguan dan menetapnya gangguan.1
Faktor Presdiposisi
Beberapa faktor presdiposisi bagi seorang individu untuk mengalami
gangguan stress pasca trauma adalah :7
1. Adanya gangguan psikiatri sebelum trauma baik pada individu yang
bersangkutan maupun keluarganya.
2. Adanya trauma masa kanak, seperti kekekerasan fisik maupun seksual.
3. Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir.
4. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial.
5. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya
problem berupa kesulitan untuk menyesuaikan diri.

6
6. Adanya kebutuhan emosional yang terus menerus dan tidak terpenuhi
secara bermakna.
7. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kchidupan yang luar biasa
sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif
oleh individu yang bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa
yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya.

2.4. Patofisiologi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Aspek biologik gangguan stres pasca trauma
Gejala-gejala gangguan stres pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons
biologik dan juga psikologik seorang individu, kondisi ini terjadi olch karena
aktivasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan
takut pada seseorang. Terpaparnya sescorang oleh peristiwa yang traumatik dapat
menimbulkan respons perasaan takut yang membuat otak (terutama lobus prefrontal
dan sistem limbik) dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan
peristiwa yang dialami tersebut, yang selanjutnya mengorganisasi suatu respons
perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, amigdala merupakan bagian otak yang sangat
berperan besar. Amigdala dapat mengaktivasi beberapa neurotransmiter serta
bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa
traumatik yang mengancam nyawa sebagai respons tubuh untuk menghadapi
peristiwa tersebut.7
Dalam waktu beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut,
amigdala dengan segera bereaksi dengan memberikan sinyal tanda darurat kepada:7
1. Sistem saraf simpatis (katekolamin)
2. Sistem saraf parasimpatis
3. Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA)
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah
mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan
tekanan darah. Kondisi ini disebut sebagai reaksi ‘fight or flight reaction’. Reaksi
ini juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot skeletal
sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut
atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif tethadap ancaman yang optimal.

7
Reaksi sistem saraf parasimpatis berupa membatasi reaksi sistem saraf simpatis
pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini bekerja secara bebas dan tidak
berkaitan dengan respons yang diberikan oleh sistem saraf simpatis.7
Aksis HPA ikut terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu
orang berhadapan dengan petistiwa traumatik. Hipotalamus selanjutnya
mengeluarkan Cortico-Releasing Factor (CRF) dan beberapa neuropetida regulator
lainnya, sehingga merangsang kelenjar hipofisis untuk mensekresi pengeluaran
adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya mengeluarkan hormon
kortisol dari kelenjar adrenal.7
Jika sescorang mengalami tekanan, maka tubuh secara alamiah akan
meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol; pengeluaran kedua
zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin
berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh
dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol berperan dalam
menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa sistem tubuh yang
bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami
oleh individu. Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses terminasi
dari respons tubuh dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan
menimbulkan efek umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut.7
Pitman (2012) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung untuk
mengalami gangguan stress pasca trauma, mengalami gangguan dalam regulasi
neuropeptida dan juga katekolamin di otak pada waktu menghadapi peristiwa
trumatik. Katekolamin yang meningkat ini membuat individu tetap berada dalam
kondisi siaga terus-menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses ini,
maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan
terjadinya ‘konsolidasi berlebihan’ dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang
dialami.9

2.5. Gambaran Klinis dan Kriteria Diagnosis Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD)
PTSD ditandai oleh tiga set gejala inti, yaitu reexperiencing, penghindaran,
dan hyperarousal, yang bertahan selama lebih dari 1 bulan. Pasien yang terus

8
mengembangkan PTSD (gangguan stres pasca trauma) setelah terpapar stres dan
peristiwa traumatik menunjukkan tanda-tanda khas dari gangguan tersebut, yang
meliputi reexperiencing (gejala mengalami kembali peristiwa yang menyebabkan
trauma), menghindar dari lingkungan, dan hyperarousal (teragitasi). Selanjutnya,
gejala ini diungkapkan dalam hubungannya dengan perasaan takut dan tidak
berdaya.2
PTSD ditandai dengan trauma, gejala yang mengganggu seperti kilas balik
(flashback) atau teror malam (night terrors), menghindari stimulus, perubahan
negatif dalam kognisi dan suasana hati, dan perubahan dalam gairah dan
reaktivitas.4 Gejala khas mencakup episode-episode dimana bayangan-bayangan
kejadian traumatik tersebut terulang kembali (flashbacks) atau dalam mimpi, terjadi
dengan latar belakang yang menetap berupa kondisi perasaan “beku” dan
penumpulan emosi, menjauhi orang lain, tidak responsif terhadap lingkungannya,
anhedonia, menghindari aktivitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya.
Lazimnya ada ketakutan dan penghindaran dari hal-hal yang mengingatkannya
kembali pada trauma yang dialami. Meskipun jarang, kadang-kadang bisa terjadi
reaksi yang dramatik, mendadak ketakutan, panik atau agresif, yang dicetuskan oleh
stimulus yang mendadak mengingatkannya kembali pada trauma yang dialaminya
serta reaksi asli terhadap trauma itu.6
Kriteria Diagnostik DSM-5 untuk PTSD :11
Catatan: Kriteria berikut berlaku untuk orang dewasa, remaja, dan anak-
anak di atas 6 tahun. Untuk anak-anak berusia 6 tahun ke bawah, lihat bagian
DSM-5 berjudul “Gangguan Stres Pasca Trauma untuk Anak-anak 6 Tahun dan
Lebih Muda”.11
1. Terpapar pada kematian atau terancam, cedera serius, atau kekerasan
seksual dengan satu (atau lebih) cara berikut ini:
a. Mengalami peristiwa traumatis secara langsung.
b. Menyaksikan langsung peristiwa yang terjadi pada orang lain.
c. Mengetahui bahwa peristiwa traumatis terjadi pada anggota
keluarga dekat atau teman dekat. Dalam kasus kematian nyata atau
terancam kematian anggota keluarga atau teman, kejadian tersebut
pasti kekerasan atau tidak disengaja.

9
d. Mengalami keterpaparan berulang-ulang atau ekstrem terhadap
detail yang tidak menyenangkan dari peristiwa traumatis (mis.,
Responden pertama yang mengumpulkan jenazah; petugas polisi
berulang kali mengungkap detail pelecehan
anak). Catatan: Kriteria A4 tidak berlaku untuk eksposur melalui
media elektronik, televisi, film, atau gambar, kecuali eksposur ini
terkait dengan pekerjaan.
2. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi berikut yang terkait dengan peristiwa
traumatis, dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi:
a. Ingatan yang berulang, tidak disengaja, dan mengganggu dari
peristiwa traumatis. Catatan: Pada anak-anak di atas 6 tahun,
permainan berulang dapat terjadi di mana tema atau aspek dari
peristiwa traumatis diekspresikan.
b. Mimpi menyedihkan yang berulang di mana mengandung dan / atau
pengaruh dengan peristiwa traumatis. Catatan: Pada anak-anak,
mungkin ada mimpi yang menakutkan tanpa unsur yang dapat
dikenali.
c. Reaksi disosiatif (mis., Kilas balik / flashcback) di mana individu
merasa atau bertindak seolah-olah peristiwa traumatis itu
berulang. (Reaksi semacam itu dapat terjadi pada suatu rangkaian,
dengan ekspresi yang paling ekstrim adalah hilangnya kesadaran
sepenuhnya akan lingkungan sekitar.) Catatan: Pada anak-anak,
pemeragaan trauma spesifik dapat terjadi dalam permainan.
d. Tekanan psikologis yang intens atau berkepanjangan saat terpapar
sinyal internal atau eksternal yang melambangkan atau
menyerupai aspek peristiwa traumatis.
e. Reaksi fisiologis yang ditandai terhadap sinyal internal atau
eksternal yang melambangkan atau menyerupai aspek peristiwa
traumatis.
3. Menghindari rangsangan secara terus-menerus yang terkait dengan
peristiwa traumatis, dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi,
sebagaimana dibuktikan oleh salah satu atau kedua hal berikut:

1
a. Penghindaran atau upaya untuk menghindari ingatan, pikiran, atau
perasaan yang mengganggu tentang atau terkait erat dengan
peristiwa traumatis.
b. Penghindaran atau upaya untuk menghindari pengingat eksternal
(orang, tempat, percakapan, aktivitas, objek, situasi) yang
membangkitkan ingatan, pikiran, atau perasaan yang menyedihkan
tentang atau terkait erat dengan peristiwa traumatis.
4. Perubahan negatif dalam kognisi dan suasana hati yang terkait dengan
peristiwa traumatis, yang dimulai atau memburuk setelah peristiwa
traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih) hal
berikut:
a. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari peristiwa
traumatis (biasanya karena amnesia disosiatif, dan bukan karena
faktor lain seperti cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan).
b. Keyakinan atau ekspektasi negatif yang terus-menerus dan
berlebihan tentang diri sendiri, orang lain, atau dunia (misalnya,
"Saya buruk", "Tidak ada yang bisa dipercaya", "Dunia ini benar-
benar berbahaya", "Seluruh sistem saraf saya rusak secara
permanen") .
c. Keyakinan yang terus-menerus dan terdistorsi tentang penyebab
atau konsekuensi dari peristiwa traumatis yang menyebabkan
individu menyalahkan dirinya sendiri atau orang lain.
d. Keadaan emosional negatif yang persisten (misalnya, ketakutan,
ngeri, marah, bersalah, atau malu).
e. Menurunnya minat atau partisipasi dalam aktivitas penting.
f. Perasaan tidak terpengaruh atau keterasingan dari orang lain.
g. Ketidakmampuan terus-menerus untuk mengalami emosi positif
(misalnya, ketidakmampuan untuk mengalami kebahagiaan,
kepuasan, atau perasaan cinta).
5. Perubahan yang ditandai dalam gairah dan reaktivitas yang terkait dengan
peristiwa traumatis, yang dimulai atau memburuk setelah peristiwa
traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih) hal
berikut:

1
a. Perilaku yang mudah tersinggung dan ledakan amarah (dengan
sedikit atau tanpa provokasi), biasanya diekspresikan sebagai
agresi verbal atau fisik terhadap orang atau objek.
b. Perilaku gegabah atau merusak diri sendiri.
c. Kewaspadaan berlebihan.
d. Respon mengejutkan yang berlebihan.
e. Masalah dengan konsentrasi.
f. Gangguan tidur (misalnya sulit tidur atau tertidur atau tidur gelisah).
6. Durasi gangguan (Kriteria 2, 3, 4 dan 5) lebih dari 1 bulan.
7. Gangguan tersebut menyebabkan penderitaan atau gangguan yang
signifikan secara klinis dalam bidang fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lainnya.
8. Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya
obat-obatan, alkohol) atau kondisi medis lainnya.
Tentukan apakah:
Dengan gejala disosiatif: Gejala individu memenuhi kriteria untuk gangguan stres
pasca trauma, dan sebagai tambahan, sebagai tanggapan terhadap stresor, individu
mengalami gejala persisten atau berulang dari salah satu dari berikut ini:11
1. Depersonalisasi: Pengalaman terus-menerus atau berulang dari perasaan
terlepas dari, dan seolah-olah seseorang adalah pengamat luar, proses
mental atau tubuh seseorang (misalnya, merasa seolah-olah berada dalam
mimpi; merasakan perasaan tidak nyata dari diri atau tubuh atau waktu
bergerak perlahan).
2. Derealisasi: Pengalaman tidak nyata yang terus-menerus atau berulang dari
lingkungan sekitar (misalnya, dunia di sekitar individu dialami sebagai tidak
nyata, seperti mimpi, jauh, atau terdistorsi). Catatan : Untuk menggunakan
subtipe ini, gejala disosiatif tidak boleh disebabkan oleh efek fisiologis zat
(mis., Padam, perilaku selama keracunan alkohol) atau kondisi medis lain
(mis., Kejang parsial kompleks).

1
Tentukan apakah:
Dengan ekspresi tertunda: Jika kriteria diagnostik lengkap tidak terpenuhi hingga
setidaknya 6 bulan setelah kejadian (meskipun onset dan ekspresi beberapa gejala
mungkin langsung terjadi).11
Kriteria diagnosis dari gangguan stres pasca trauma berdasarkan DSM IV-TR
adalah sebagai berikut :7
1. Individu pernah terpapar dengan peristiwa traumatik berupa :
a. Individu mengalami, menjadi saksi mata atau berhadapan langsung
dengan satu kejadian beberapa kejadian yang mengerikan atau
mengancam kehidupan atau kecelakaan yang serius, atau ancaman
terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
b. Respons dari individu yang terlibat dalam peristiwa yang sangat
mengerikan, keputusasaan atau ketakutan yang luar biasa. Catatan :
pada anak, kondisi ini mungkin ditunjukkan oleh adanya perilaku
yang disorganisasi atau agitasi.
2. Pengalaman peristiwa traumatik selalu timbul berulang dalam salah satu
bentuk di bawah ini :
a. Adanya bayangan, pikiran atau persepsi yang berkaitan dengan
peristiwa traumatik yang timbul secara berulang dan menyebabkan
penderitaan bagi individu yang bersangkutan. Bagi anak, seringkali
kondisi ini diekspresikan melalui pola bermain yang bertemakan
peristiwa traumati yang dialaminya.
b. Adanya mimpi-mimpi buruk berulang yang menimbulkan
penderitaan bagi individu. Pada anak kondisi ini seringkali berupa
timbulnya mimpi buruk tanpa dapat dikenali isi dari mimpi-mimpinya
itu.
c. Berperilaku atau berperasan seolah-olah peristiwa traumatik yang
dialami itu terjadi kembali (termasuk ilusi, halusinasi, dan episode
disosiatif yang bersifat flashback).
d. Adanya penderitaan psikologis jika berhadapan dengan hal hal atau
simbol-simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik
baik sebagian atau sehuruhnya secara internal maupun eksternal.

1
e. Adanya reaksi fisiologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbol-
simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik
sebagian atau seluruhnya secara internal maupun eksternal.
3. Adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus-
stimulus yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialami dan
disertai dengan respons emosi yang membeku secara keseluruhan (tidak
dijumpai sebelum trauma terjadi), yang ditunjukkan oleh 3 atau lebih
gejala di bawah ini :
a. Adanya usaha untuk menghindari pikiran-pikiran, perasaan, atau
pembicaraan yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang
dialaminya.
b. Adanya usaha untuk menghindari aktivitas, tempat-tempat atau
orang-orang yang membangkitkan ingatan-ingatan tentang peristiwa
traumatrik yang dialaminya.
c. Kesulitan untuk mengingat kembali aspek-aspek penting yang
berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialaminya.
d. Penurunan yang jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam
aktivitas-aktivitas.
e. Merasa asing atau merasa terpisah dari lingkungan atau orang-orang
di sekitarnya.
f. Adanya ekspresi afektif yang terbatas, misalnya tidak mampu lagi
merasakan perasaan di cintai.
g. Kehilangan motivasi untuk membina masa depannya, misalnya
tidak mempunyai keinginan lagi untuk mengembangkan karier,
hidup perkawinan, mengasuh anak atau dalam aktivitas sehari-hari
lainnya.
4. Adanya gejala yang menetap dari peningkatan kewaspadaan (tidak di
jumpai sebelum mengalami peristiwa traumatik), yang ditandai oleh 2
atau lebih gejala di bawah ini :
a. Kesulitan untuk tidur atau jatuh tertidur.
b. Iritabilitas atau mudah mengalami ledakan kemarahan.
c. Kesulitan berkonsentrasi.
d. Hypervigilance.

1
e. Respons yang kacau dan tidak terkendali.
5. Durasi dari gejala-gejala dalam kriteria 2, 3 dan 4 berlangsung lebih
dari 1 (satu) bulan.
6. Gejala-gejala diatas jelas menimbulkan penderitaan atau hendaya dalam
fungsi social, pekerjaan atau fungsi-fungsi penting lainnya.
Spesifikasi :
- Akut: jika durasi gejala-gejala kurang dari tiga bulan.
- Kronik: jika durasi gejala-gejala berlangsung 3 bulan atau lebih.
- Dengan awitan lambat: jika awitan dari gejala-gejala terjadi paling
lambat 6 bulan setelah mengalami peristiwa traumatik.
Pedoman diagnostik dari gangguan stress pasca trauma berdasarkan PPDGJ
III (F43.1) adalah sebagai berikut :5,7
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun
waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar
antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai
melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya
waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan,
asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif
kategori gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang
atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang
kembali (flashbacks).
3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya
dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
4. Suatu “sequele” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa,
misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam
kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah
mengalami katastrofa).

1
2.6. Evaluasi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Gangguan stres pascatrauma merupakan fenomena yang kompleks, dan perlu
dievaluasi untuk setiap penyakit kejiwaan yang ada pada pasien. Setelah riwayat
rinci diperoleh, langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan status mental
menyeluruh, yang membantu memastikan aspek perilaku, emosional, dan kognitif
dari PTSD. Pada pemeriksaan status mental, pasien kemungkinan akan
menyebutkan kurang tidur dan konsentrasi, sering mimpi buruk dan kilas balik
(flashback) terkait dengan kejadian tersebut, rasa bersalah atau emosi negatif yang
terkait dengan pengingat, penghindaran, dan peningkatan kewaspadaan. Penyedia
layanan kesehatan dapat secara efisien menggunakan timbangan laporan mandiri
untuk skrining atau manajemen seperti PTSD Checklist for DSM-5 (PCL-5),
Trauma Symptom Checklist - 40 (TSC-40). Pemeriksaan fisik harus dilakukan
sebagai bagian dari pemeriksaan menyeluruh untuk menyingkirkan gangguan
medis atau neurologis. Pemeriksaan laboratorium rutin seperti hitung darah lengkap,
toksikologi urin, TSH, vitamin B12, kadar folat diperiksa. Individu mungkin datang
dengan cedera fisik sehubungan dengan trauma, dan karenanya, penelitian
neuroimaging seperti CT scan dan MRI scan otak diindikasikan sesuai dengan
riwayat dan presentasi.8
PCL-5 terdiri dari 20 item untuk menilai gejala PTSD berdasarkan DSM-5.
PCL-5 memiliki berbagai tujuan, termasuk:10
1. Memantau perubahan gejala selama dan setelah perawatan
2. Skrining individu untuk PTSD
3. Membuat diagnosis PTSD sementara
Standar emas untuk mendiagnosis PTSD adalah wawancara klinis terstruktur
seperti Skala PTSD yang Dikelola oleh Dokter (CAPS-5). Jika perlu, PCL-5
dapat dinilai untuk memberikan diagnosis PTSD sementara.10

2.7. Tatalaksana Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Tatalaksana gangguan stres pasca trauma diharapkan dalam bentuk yang
komprehensif, meliputi pemberian medikasi dan psikoterapi serta edukasi,
dukungan psikososial, teknik untuk meredakan kecemasan dan juga modifikasi pola
hidup. Edukasi sangat penting karena merupakan suatu bentuk pendekatan untuk

1
membantu pasien mengerti adanya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam
fungsi diri pasien baik secara fisik maupun psikis sebagai dampak dari peristiwa
traumatik yang dialami, baik adaptif maupun maladaptif.7
Dukungan psikososial dibutuhkan untuk mengurangi berbagai stigma negatif
yang mungkin muncul akibat dari diagnosis gangguan stress pasca trauma.
Dukungan psikososial tidak hanya diberikan oleh dokter tetapi juga oleh seluruh
anggota keluarga bahkan seluruh lingkungan masyrakat di sekitar pasien.7
Berbagai teknik untuk meredakan kecemasan seperti relaksasi, teknik-teknik
mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih dan terbukti
bermanfaat untuk individu dengan gangguan stres pasca trauma. Modifikasi pola
hidup sepert diet yang sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-
obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur, dll. Psikoterapi yang umum
diberikan bagi individu dengan gangguan stres pasca trauma adalah psikoterapi
kognitif-perilaku, psikoterapi kelompok dan hypnotherapy.7
Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah
pemberian antidepresan golongan SSRI (Penghambat selektif dari ambilan
serotonin/SSRI) seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertralin 50-200mg/hr atau
Fluvoxamine 300 mg/hr. Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah
Amiltriplin 50-300 mg/hr dan juga Imipramin 50-300 mg/hr.7
Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD,
tatalaksana gangguan stres pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan beberapa
aspek di bawah ini :7
1. Gangguan stres pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan
berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan jiwa serius
lainnya.
2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI
merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini.
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.
4. Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial
terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.
Inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) dan serotonin-norepinefrin
reuptake inhibitor (SNRI) adalah obat lini pertama pilihan untuk pengobatan PTSD.

1
Sertraline dan paroxetine adalah obat yang disetujui Food and Drug Administration
(FDA) untuk orang dewasa. Namun, khasiatnya pada anak-anak dan remaja
masih harus dibuktikan. Insomnia sering terjadi pada pasien dengan PTSD, yang
dapat diobati dengan mendidik pasien mengenai kebersihan tidur yang memadai.
Klonidin dan prazosin berguna untuk mengurangi mimpi buruk terkait trauma.
Trazodone juga dapat digunakan untuk mengobati insomnia. Penelitian telah
menunjukkan bahwa menambahkan antipsikotik seperti risperidone ke dalam
rejimen antidepresan standar dapat secara signifikan meningkatkan hasil akhir
pasien dengan PTSD. SSRI atau SNRI atau psikoterapi yang berfokus pada
trauma atau kombinasi keduanya efektif dalam pengobatan PTSD.8
SSRI hanya tersedia secara oral dan datang dalam berbagai bentuk,
termasuk tablet, kapsul, atau suspensi / larutan cair. Saat ini tidak ada SSRI
parenteral (IV, IM, SubQ), rektal, atau bentuk lain. Pemberian SSRI biasanya
pengobatan sekali sehari di pagi atau malam hari. Kecuali untuk vilazodone,
SSRI dapat dikonsumsi dengan atau tanpa makanan. Vilazodone harus diberikan
dengan makanan. SSRI saat ini yang digunakan di Amerika Serikat adalah:
Fluoxetine, Sertraline, Paroxetine, Fluvoxamine, Citalopram, Escitalopram dan
Vilazodone.12
Indikasi
SSRI saat ini memiliki indikasi berlabel FDA untuk menangani kondisi
berikut:12
1. Gangguan depresi mayor (Major Depressive Disorder)
2. Gangguan kecemasan menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder)
3. Bulimia nervosa
4. Depresi bipolar (Bipolar Depression)
5. Gangguan obsesif kompulsif (Obsessive-Compulsive Disorder)
6. Gangguan panik (Panic Disorder)
7. Gangguan disforia pramenstruasi (Premenstrual Dysphoric Disorder)
8. Pengobatan depresi resisten (Treatment-Resistant Depression)
9. Gangguan stres pascatrauma (Post-Traumatic Stress Disorder)
10. Gangguan kecemasan sosial (Social Anxiety Disorder)
Penggunaan di luar label lainnya termasuk namun tidak terbatas pada:
Gangguan makan berlebihan (binge eating disorder), Gangguan dysmorphic tubuh

1
(body dysmorphic disorder), fibromyalgia, ejakulasi dini (premature ejaculation),
paraphilias, autisme, fenomena Raynaud, dan gejala vasomotor yang terkait dengan
menopause.12
Kontra Indikasi
SSRI dikontraindikasikan dengan penggunaan bersamaan MAOI
(monoamine oxidase inhibitors), linezolid, dan obat lain yang meningkatkan
kadar serotonin dan dapat membuat pasien berisiko mengalami sindrom serotonin
yang mengancam jiwa. Paroxetine dikontraindikasikan pada kehamilan dan
diklasifikasikan sebagai kategori D / X karena efek teratogeniknya dalam
menyebabkan cacat kardiovaskular, khususnya malformasi jantung, jika diresepkan
pada trimester pertama.12
Mekanisme Aksi
Tindakan terapeutik SSRI memiliki dasar untuk meningkatkan kekurangan
serotonin yang para peneliti dalilkan sebagai penyebab depresi dalam hipotesis
monoamine. Seperti namanya, SSRI melakukan tindakan dengan menghambat
pengambilan kembali serotonin, sehingga meningkatkan aktivitas serotonin. Tidak
seperti kelas antidepresan lainnya, SSRI memiliki sedikit efek pada neurotransmiter
lain, seperti dopamin atau norepinefrin. SSRI juga memiliki efek samping yang
relatif lebih sedikit dibandingkan dengan TCA (tricyclic antidepressants) dan
MAOI (monoamine oxidase inhibitors) karena memiliki efek yang lebih sedikit
pada reseptor adrenergik, kolinergik, dan histaminergik.12
SSRI menghambat transporter serotonin (SERT) di terminal akson
presinaptik. Dengan menghambat SERT, peningkatan jumlah serotonin (5 -
hydroxytryptamine atau 5HT) tetap berada di celah sinaptik dan dapat
merangsang reseptor postsynaptic untuk waktu yang lebih lama.12

2.8. Diagnosis Banding Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Diagnosis banding Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah sebagai
berikut :8
1. Gangguan stres akut: Gejala PTSD dan gangguan stres akut kebanyakan
tumpang tindih. Awal dan durasi gejala membantu dalam membuat

1
diagnosis akhir. Gangguan stres akut didiagnosis jika gejala muncul
kurang dari satu bulan.
2. Depresi: Kadang-kadang, pasien memiliki depresi yang mendasari yang
mungkin ada bersamaan dan perlu dievaluasi sebelum merumuskan
rencana pengobatan. Pasien dengan PTSD juga memiliki peningkatan
risiko seumur hidup untuk depresi dan keinginan / upaya bunuh diri.
3. Gangguan penyesuaian: Pasien didiagnosis dengan gangguan
penyesuaian saat kriteria PTSD atau penyakit kejiwaan lainnya tidak
terpenuhi.
4. Gangguan kecemasan: Peningkatan respons emosional dan fisiologis
negatif pasien mungkin dikacaukan dengan serangan panik atau
gangguan kecemasan spesifik lainnya.
5. Cedera otak traumatis (TBI): Gangguan kognitif dan gejala disosiatif
mungkin disebabkan oleh cedera otak traumatis.

2.9. Prognosis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Hasil jangka panjang untuk pasien dengan gangguan stres pasca trauma
bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengatasi stres, penyalahgunaan zat,
sifat dukungan sosial, dan kemampuan untuk tetap mematuhi rencana perawatan
yang dirancang secara individual. Sekitar 30% orang akhirnya pulih, dan 40%
lainnya menjadi lebih baik dengan pengobatan, meskipun gejala yang kurang intens
mungkin tetap ada. Beberapa pasien menerima dukungan untuk membuat
penyesuaian yang berhasil dan mengembangkan metode koping untuk mengatasi
gejala PTSD bahkan tanpa perawatan formal. Komorbiditas dengan PTSD
memperburuk status kesehatan individu.8

2.10. Komplikasi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Gangguan stres pascatrauma memiliki dampak yang menghancurkan pada
mereka yang menderita dan keluarganya. Komorbiditas psikiatri dan medis umum
terjadi pada PTSD seperti :8
1. Gangguan mood
2. Gangguan kecemasan dan panik

2
3. Gangguan neurologis termasuk demensia
4. Gangguan penyalahgunaan zat
Pasien dengan PTSD dikaitkan dengan kecacatan substansial, dan keberadaan
komorbiditas dapat menyebabkan kondisi kronis. Penelitian telah menunjukkan
bahwa 51,9% pria dengan PTSD secara bersamaan menyalahgunakan alkohol dan
telah melaporkan timbulnya ketergantungan alkohol pada usia dini, peningkatan
mengidam, dan masalah hukum karena penyalahgunaan alkohol. Ada peningkatan
risiko ide dan upaya bunuh diri secara keseluruhan. Demensia juga dapat terjadi
karena cedera traumatis atau perubahan fungsi otak.8

2.11. Pencegahan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Risiko dan kesembuhan pasien dengan gangguan stres pasca trauma sangat
bergantung pada fenomena sosial. Penelitian telah menunjukkan bahwa individu
yang telah terpapar peristiwa traumatis yang disebabkan oleh manusia seperti
veteran perang berisiko lebih tinggi mengembangkan PTSD daripada individu yang
terpapar pada jenis trauma lain. Selama masa kanak-kanak, kedekatan anak dengan
pengasuhnya memodulasi keterampilan mengatasi dan menentukan rasa aman
setelah trauma. Sulit bagi pasien untuk membuka diri tentang trauma mereka,
terutama pada kunjungan pertama. PTSD juga mempengaruhi perkembangan dan
jalannya banyak penyakit fisik. Kesadaran tentang tanda dan gejala PTSD sangat
penting bagi pasien dan penyedia layanan kesehatan untuk memulai pengobatan
dini dan membatasi beban penyakit pada pasien dan keluarga korban.8

2
BAB III
KESIMPULAN

1. Gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress disorder / PTSD)


merupakan suatu sindrom yang timbul setelah individu melihat, telibat di
dalam, atau mendengar stresor traumatik yang ekstrem.
2. Dilihat dari epidemiologinya, 84% dari populasi umum akan mengalami
setidaknya satu peristiwa yang berpotensi traumatis dan 25% dari individu
tersebut akan mengalami gangguan PTSD. Prevalensi kejadian PTSD
pada laki-laki 20% dan pada perempuan sebanyak 36%.
3. Stresor merupakan etiologi dari PTSD dimana stresor yang menyebabkan
stres akut dan PTSD cukup hebat untuk memengaruhi hampir setiap
orang. Stresor dapat timbul dari pengalaman perang, penyiksaan, bencana
alam, penyerangan, perkosaan dan kecelakaan serius (contohnya di dalam
mobil dan gedung terbakar).
4. PTSD ditandai oleh tiga set gejala inti, yaitu reexperiencing,
penghindaran, dan hyperarousal, yang bertahan selama lebih dari 1 bulan.
Pasien yang terus mengembangkan PTSD (gangguan stres pasca trauma)
setelah terpapar stres dan peristiwa traumatik menunjukkan tanda-tanda
khas dari gangguan tersebut, yang meliputi reexperiencing (gejala
mengalami kembali peristiwa yang menyebabkan trauma), menghindar dari
lingkungan, dan hyperarousal (teragitasi). Selanjutnya, gejala ini
diungkapkan dalam hubungannya dengan perasaan takut dan tidak
berdaya.
5. Tatalaksana gangguan stres pasca trauma diharapkan dalam bentuk yang
komprehensif, meliputi pemberian medikasi dan psikoterapi serta edukasi,
dukungan psikososial, teknik untuk meredakan kecemasan dan juga
modifikasi pola hidup.

2
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ dan Sadock VA. 2017. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis Edisi 2 Cetakan 2017. Jakarta: EGC.
2. Ayuningtyas IPI. 2017. Penerapan Strategi Penanggulangan Penanganan
PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) pada Anak-Anak dan Remaja.
International Conference. pp. 47-56.
3. Andini FT, Arif Y dan Fernandes Y. 2020. Edukasi Kesehatan Jiwa yang
dibutuhkan Anak Korban Kekerasan dengan Post Traumatic Stress
Disorders di Sumatera Barat. Jurnal Keperawatan Jiwa. 8(4) : 469 - 476.
4. Haveman-Gould, Bradley MHS, PA-C, Newman, Chelsea. 2018. Post-
Traumatic Stress Disorder in Veterans. Journal of the American Academy
of Physician Assistants. 31(11): 21-24. doi:
10.1097/01.JAA.0000546474.26324.05.
5. Maslim R. 2015. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas
dari PPDGJ – III dan DSM – 5 Cetakan Kedua. Jakarta: PT. Nuh Jaya.
6. Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III, PPDGJ III Cetakan Pertama. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.
7. Wiguna T. 2018. Buku Ajar Psikiatri Edisi ke-3 Cetakan ke-2 Tahun 2018,
Gangguan Stress Pasca Trauma. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
8. Mann SK, Marwaha R. 2021. Posttraumatic Stress Disorder. In:
StatPearls [Internet] NCBI.. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559129/.
9. Pitman RK, Rasmusson AM, Koenen KC, Shin LM, Orr SP, Gilbertson
MW, et al. 2012. Biological Studies of Post-Traumatic Stress Disorder.
Nature Reviews Neuroscience. 13: 769-787. Dalam: Wiguna T. 2018. Buku
Ajar Psikiatri Edisi ke-3 Cetakan ke-2 Tahun 2018, Gangguan Stress
Pasca Trauma. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

2
10. Weathers FW, Lit BT, Keane TM, Palmieri PA, Marx BP dan Schnurr PP.
2013. The PTSD Checklist for DSM-5 (PCL-5). Scale available from the
National Center for PTSD at www.ptsd.va.gov.
11. Center for Substance Abuse Treatment (US). 2014. Trauma-Informed
Care in Behavioral Health Services. Rockville (MD): Substance Abuse
and Mental Health Services Administration (US). (Treatment
Improvement Protocol (TIP) Series, No. 57.) Exhibit 1.3-4, DSM-5
Diagnostic Criteria for PTSD. NCBI.
Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK207191/box/part1_ch3.box16/.
12. Chu A, Wadhwa R. 2020. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors. In:
StatPearls [Internet] NCBI. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554406/.

Anda mungkin juga menyukai