Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat Kelompok 3
Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat Kelompok 3
Dosen Pembimbing:
Ns. Andi Lis Arming Gandini., M. Kep ( Koordinator )
Di Susun Oleh :
1. Abigael Rante Toding
2. Andi Astillawati
3. Maria Goreti Timung
4. Nana Husneriyana
5. Suriansyah
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
Rahmat dan Hidayah – Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Aspek
Psikososial dari Keperawatan Kritis”. Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak sekali
menemukan kesulitan dan hambatan, namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata ajar Keperawatan Gawat
Darurat dan Kritis. Selain itu, agar pembaca juga dapat memperluas ilmu yang berkaitan dengan
judul makalah yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber dan hasil
kegiatan yang telah dilakukan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak terkait, terutama kepada dosen
pembimbing dan pengajar yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran dalam penyelesaian
makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Dan
kami menyadari masih banyak kekurangan yang mendasar dalam makalah ini. Oleh karena itu,
kami memohon keterbukaan dalam pemberian saran dan kritik agar lebih baik lagi untuk ke
depannya. Akhir kata penulis mengucapkan Wassalamu’alaikum wr. wb.
Kelompok 3
DAFTAR ISI
2
Kata Pengantar ……………………………………………………………..2
BAB I Pendahuluan
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.2.2. Bagaimana patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada kasus kritis
dengan gangguan berbagai sistem?
1.2.3. Bagaimana Asuhan Keperawatan Kritis pada berbagai sistem ?
1.2.4. Bagaimana Pencegahan primer, sekunder, dan tersier pada masalah kasus
kritis berbagai sistem?
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
keadaan tersebut bisa memperburuk status kesehatan mereka. Sebagai seorang
perawat kritis, perawat harus mampu mengatasi berbagai masalah kesehatan pasien
termasuk masalah psikososialnya. Perawat tidak boleh hanya berfokus pada
masalah fisik yang dialami pasien. Kegagalan dalam mengatasi masalah
psikososial pasien bisa berdampak pada semakin memburuknya keadaan pasien
karena pasien mungkin akan mengalami kecemasan yang semakin berat dan
bahkan menolak untuk diberikan pengobatan.
Immobility
Perubahan PerubahanRespirasi
Usia Hemodinamik Perubahan
Kardiovaskuler
Kecemasan Blood Preasure
Perubahan Metabolisme
Mean Arterial
Nyeri Perubahan
Presure
Gastrointestinal
Heart Rate
Ketakutan Gangguan Keseimbangan
Respiratory Rate Cairan dan Elektrolit
Obat – obatan Sa02 Perubahan Integumen
8
yang dapat mencegah atau memperlambat malnutrisi protein akut
dan menjamin outcome pasien. Nutrisi enteral total (TEN/Total
Enteral Nutrition) lebih dipilih dari pada TPN karena alasan
keamanan, murah, fisiologis dan tidak membuat hiperglisemia.
Intoleransi TEN dapat terjadi, yaitu muntah, distensi atau
cramping abdomen, diare, keluarnya makanan dari selang naso
gastrik. Pemberian TPN secara dini tidak diindikasikan kecuali
pasien mengalami malnutisi berat.
9
Kebutuhan protein melebihi kebutuhan protein normal yaitu 1,2
g/kg/protein/hari. Kuantitas protein sebaiknya memenuhi 15 –
20% dari kebutuhan kalori total dengan rasio kalori non protein/
nitrogen adalah 80:1 sampai dengan 110:1.
2.2.3.3. Nutrisi pada Penyakit Ginjal Akut (Acute Renal Failure) ARF
Secara umum tidak berhubungan dengan peningkatan kebutuhan
energi. Meski demikian kondisi traumatik akut yang menetap
dapat meningkatkan REE (misalnya pada sepsis meningkat
hingga 30%). Adanya Nutrisi pada Penderita Sakit Kritis,
penurunan toleransi terhadap glukosa dan resistensi insulin
menyebabkan uremia akut, asidosis atau peningkatan
glukoneogenesis. Pada pasien ARF membutuhkan perhatian yang
hati-hati terhadap kadar glukosa darah dan penggunaan insulin
dimungkinkan dalam larutan glukosa untuk mencapai kadar
euglikemik. Pemberian lipid harus dibatasi hingga 20 – 25% dari
energi total. Meski demikian lipid sangatlah penting karena
osmolaritasnya yang rendah, sebagai sumber energi, produksi
CO2 yang rendah dan asam lemak essensial. Protein atau
asamamino diberikan 1,0 – 1,5 g/kg/hari tergantung dari beratnya
penyakit, dan dapat diberikan lebih tinggi (1,5 – 2,5 g/kg/hari)
pada pasien ARF yang lebih berat dan mendapat terapi
menggunakan CVVH, CVVHD, CVVHDF, yang memiliki
klirens urea mingguan yang lebih besar.
10
dilaporkan menurun seiring dengan peningkatan status nutrisi,
terutama pada pasien-pasien pankreatitis akut derajat sedang dan
berat. Pada pasien dengan penyakit berat pemberian nutrisi
isokalorik maupun hiperkalorik dapat mencegah katabolisme
protein. Oleh karena itu, pemberian energi hipokalorik sebesar 15
– 20 kkal/kg/hari lebih sesuai pada keadaan katabolik awal pada
pasien-pasien non bedah dengan MOF. Pemberian protein sebesar
1,2 – 1,5 g/kg/hari optimal untuk sebagian besar pasien
pankreatitis akut. Pemberian nutrisi peroral dapat mulai diberikan
apabila nyeri sudah teratasi dan enzim pankreas telah kembali
normal. Pasien awalnya diberikan diet karbohidrat dan protein
dalam jumlah kecil, kemudian kalorinya ditingkatkan perlahan
dan diberikan lemak dengan hati-hati setelah 3 – 6 hari.
11
Kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis tergantung dari tingkat
keparahan cedera atau penyakitnya, dan status nutrisi sebelumnya. Pasien
sakit kritis memperlihatkan respon metabolik yang khas terhadap kondisi
sakitnya. Pada sakit kritis terjadi pelepasan mediator inflamasi (misalnya
IL-1, IL-6, dan TNF) dan peningkatan produksi “counter regulatory
hormone” (misalnya katekolamin, kortisol, glukagon, GH), yang dapat
menyebabkan serangkaian proses yang mempengaruhi seluruh sistem
tubuh dan menimbulkan efek yang jelas pada status metabolik dan nutrisi
pasien. Penilaian secara objektif status nutrisi pasien di ICU adalah sulit,
karena proses dari penyakit mengacaukan metode penilaian yang kita
gunakan. Status nutrisi adalah fenomena multi dimensional yang
memerlukan beberapa metode dalam penilaian, termasuk indikator-
indikator nutrisi, intake nutrisi, dan pemakaian / pengeluaran energi.
Pemberian nutrisi pada kondisi sakit kritis bisa menjamin kecukupan
energi dan nitrogen, namun harus dihindari overfeeding seperti uremia,
dehidrasi hipertonik, steatosis hati, gagal napas hiperkarbia, hiperglisemia,
koma non-ketotik hiperosmolar dan hiperlipidemia. Pada pasien sakit
kritis tujuan pemberian nutrisi adalah menunjang metabolik, bukan untuk
pemenuhan kebutuhannya saat itu. Bahkan pemberian total kalori
mungkin dapat merugikan karena menyebabkan hiperglisemia, steatosis
dan peningkatan CO2 yang menyebabkan ketergantungan terhadap
ventilator dan imunosupresi. Secara umum dapat diuraikan tujuan
pemberian dukungan nutrisi pada kondisi kritis adalah meminimalkan
keseimbangan negatif kalori dan protein dan kehilangan protein dengan
cara menghindari kondisi starvasi, mempertahankan fungsi jaringan
khususnya hati, sistem imun, sistem otot dan otot-otot pernapasan, dan
memodifikasi perubahan metabolik dan fungsi metabolik dengan
menggunakan substrat khusus.
12
2.3.1. Pengkajian
Dilakukan pada semua sistem tubuh untuk menopang dan
mempertahankan sistem-sistem tersebut tetap sehat dan tidak terjadi
kegagalan. Pengkajian meliputi proses pengumpulan data, validasi data,
menginterpretasikan data dan memformulasikan masalah atau diagnosa
keperawatan sesuai hasil analisa data. Pengkajian awal didalam
keperawatan itensif sama dengan pengkajian umumnya yaitu dengan
pendekatan system yang meliputi aspek bio-psiko-sosial-kultural-spiritual,
namun ketika klien yang dirawat telah menggunakan alat-alat bantu
mekanik seperti Alat Bantu Napas (ABN), hemodialisa, pengkajian juga
diarahkan ke hal-hal yang lebih khusus yakni terkait dengan terapi dan
dampak dari penggunaan alat-alat tersebut. Pengkajian airway, breathing,
dan circulation penting halnya untuk diperhatikan pada pasien kritis. Selain
itu, pengkajian tingkat kesadaran pasien juga penting adanya untuk
dilakukan secara berkala.
13
merencanakan perawatan yang kompeten secara budaya untuk
pasien yang sakit kritis dan keluarga, contoh : Anda lebih suka
dipanggil apa ?, Apa yang boleh kami ketahui tentang anda?,
Tradisi dan keyakinan anda tentang kesehatan dan praktik
perawatan kesehatan, pilihan atau larangan untuk menyentuh,
melakukan kontak mata, atau perilaku lain ketika berkomunikasi,
benda spesifik yang ingin anda pakai atau berada di dekat anda ?
14
perubahan usia (Urden LD,Stacy KM, Lough ME: Thelan’s critical
care nursing: diagnosis and management, ed 4, St. Louis, 2002,
Mosby)
2.3.3. Diagnosa
Dari hasil analisis data, lalu ditetapkan masalah/diagnosa keperawatan
berdasarkan data yang menyimpang dari keadaan fisiologis. Kriteria hasil
ditetapkan untuk mencapai tujuan dari tindakan keperawatan yang
diformulasikan berdasarkan pada kebutuhan klien yang dapat diukur dan
realistis. Ditegakkan untuk mencari perbedaan serta mencari tanda dan
gejala yang sulit diketahui untuk mencegah kerusakan/ gangguan yang
lebih luas.
Diagnosa Keperawatan yang dapat muncul pada pasien kritis sebagai
berikut :
2.3.3.1. Duka cita adaptif
2.3.3.2. Kecemasan
2.3.3.3. Gangguan citra tubuh
2.3.3.4. Hambatan komunikasi verbal
2.3.3.5. Gangguan harga diri
2.3.3.6. Distress spiritual
2.3.4. Intervensi
Perencanaan tindakan keperawatan dibuat apabila diagnosa telah
diprioritaskan dan data telah dianalisis. Prioritas masalah dibuat
berdasarkan pada ancaman/risiko ancaman hidup (contoh: bersihan jalan
nafas tidak efektif, gangguan pertukaran gas, pola nafas tidak efektif,
gangguan perfusi jaringan, lalu dapat dilanjutkan dengan mengidentifikasi
15
alternatif diagnosa keperawatan untuk meningkatkan keamanan,
kenyamanan (contoh: resiko infeksi, resiko trauma/injury, gangguan rasa
nyaman dan diagnosa keperawatan untuk mencegah, komplikasi (contoh:
resiko konstifasi, resiko gangguan integritas kulit). Perencanaan tindakan
mencakup 4(empat) unsur kegiatan yaitu observasi/monitoring, terapi
keperawatan, pendidikan dan tindakan kolaboratif. Perencanaan tindakan
perlu pula diprioritaskan dengan perencanaan ini adalah untuk membuat
efisiensi sumber-sumber, mengukur kemampuan dan mengoptimalkan
penyelesaian masalah. Ditujukan pada penerimaan dan adaptasi pasien
secara konstan terhadap status yang selalu berubah.
2.3.5. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan tahap selanjutnya proses
keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan
(Potter & Perry, 2013). Pada tahap ini perawat akan mengimplementasikan
intervensi yang telah direncanakan berdasarkan hasil pengkajian dan
penegakkan diagnosis yang diharapkan dapat mencapai tujuan dan hasil
sesuai yang diinginkan untuk mendukung dan meningkatkan status
kesehatan klien. Penerapan implementasi keperawatan yang dilakukan
perawat harus berdasarkan intervensi berbasis bukti atau telah ada
penelitian yang dilakukan terkait intervensi tersebut. Hai ini dilakukan agar
menjamin bahwa intervensi yang diberikan aman dan efektif (Miller,
2012). Dalam tahap implementasi perawat juga harus kritis dalam menilai
dan mengevaluasi respon pasien terhadap pengimplementasian intervensi
yang diberikan.
2.3.6. Evaluasi
Pada tahap ini sangat penting untuk menentukan adanya perbaikan
kondisi atau kesejahteraan klien (Perry & Potter, 2013). Hal yang perlu
diingat bahwa evaluasi merupakan proses kontinyu yang terjadi saat
16
perawat melakukan kontak dengan klien. Selama proses evaluasi perawat
membuat keputusan-keputusan klinis dan secara terus-menerus mengarah
kembali ke asuhan keperawatan. Tujuan asuhan keperawatan adalah
membantu klien menyelesaikan masalah kesehatan aktual, mencegah
terjadinya masalah risiko, dan mempertahankan status kesehatan sejahtera.
Proses evaluasi menentukan keefektifan asuhan keperawatan yang
diberikan.
2.4. Pencegahan Primer, Sekunder dan Tersier pada Masalah Kasus Kritis Berbagai
Sistem
2.4.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi segala bentuk kegiatan yang dapat
menghentikan kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu
terjadi. Pencegahan primer juga diartikan sebagai bentuk pencegahan
terhadap terjadinya suatu penyakit pada seseorang dengan faktor resiko.
Tahap pencegahan primer diterapkan dalam fase pre pathogenesis yaitu
pada keadaan dimana proses penyakit belum terjadi atau belum mulai.
Dalam afase ini meskipun proses penyakit belum mulai tapi ketiga faktor
utama untuk terjadinya penyakit, yaitu agent, host, dan environment yang
membentuk seperti segitiga epidemiologi selalu akan berintaraksi yang satu
dengan lainya dan selalu merupakan ancaman pontensial untuk sewaktu-
waktu mencetuskan terjadinya stimulus yang memicu untuk mulainya
terjadinya proses penyakit dan masuk dalam fase pathogenesis.
Untuk pencegahan primer dilakukan upaya, sebagai berikut :
2.4.1.1. Promosi Kesehatan
Tingkat pencegahan pertama, yaitu promosi kesehatan oleh para
ahli kesehatan di terjemaahkan menjadi peningkatan kesehatan,
bukan promosi kesehatan, hal ini dikarenakan makna yang
terkandung dalam istilah promotion of health disini adalah
meningkatkan kesehatan seseorang, yaitu melalui asupan gizi
seimbang, olahraga teratur, dan lain sebagainya agar orang
17
tersebut tetap sehat, tidak terserang penyakit. Namun demikian,
bukan berarti bahwa peningkatan kesehatan tidak ada hubunganya
dengan promosi kesehatan. Leavell dan Clark dalam penjelasan
tentang promotion of health menyatakan bahwa selain melalui
peningkatan gizi dan sebagainya, peningkatan kesehatan juga
dapat dilakukan dengan memberikan Pendidikan Kesehatan (
health education ) kepada individu dan masyarakat. Usaha ini
merupakan pelayanan terhadap pemeliharan kesehatan pada
umumnya. Sebagian besar strategi promosi kesehatan termasuk
kedalam pencegahan primer
18
penyakit-penyakit yang terjadi dimasyarakat. Bahkan kadang-
kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan diobati
penyakitnya. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat tidak
memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. masyarakat perlu
mengetahui dan mengenal gejala penyakit pada tingkat awal dan
segera mencari pengobatan. Masyarakat perlu menyadari bahwa
berhasil atau tidaknya usaha pengobatan, tidak hanya tergantung
pada baiknya jenis obat serta keahlian tenaga
kesehatanya,melainkan juga tergantung pada kapan pengobatan
itu diberikan.
19
masyarakat,dalam keadaan yang sekarang. Sikap yang diharapkan dari
warga masyarakat adalah sesuai dengan falsafah pancasila yang
berdasarkan unsur kemanusiaan yang sekarang ini. Mereka yang
direhabilitas ini memerlukan bantuan dari setiap warga masyarakat,
bukan hanya berdasarkan belas kasihan semata-mata, melainkan juga
berdasarkan hak azasinya sebagai manusia. Dari tingkatan-tingkatan
tersebut seharusnya srategi pencegahan berurutan mulai dari pencegahan
primer sampai kepencegahan tersier. Prinsip mencegah lebih mudah dan
lebih murah dari pada mengobati masih menjadi dasar mengapa
pemilihan strategi pencegahan penyakit sebaiknya berurutan dari primer
menuju tersier
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sistem pemberian perawatan kesehatan terus berkembang, demikian juga
dengan keperawatan dan perawatan kritis. Sejak unit perawatan kritis pertama
dibuka pada tahun 1960-an terjadi kemajuan teknologi yang signifikan, disertai
dengan ledakan pengetahuan dalam bidang asuhan keperawatan kritis. Oleh sebab
itu perawat di bidang perawatan kritis pada abad ke -21 secara rutin merawat
pasien yang sakit kritis dan kompleks. Hal ini dicapai dengan memadukan
teknologi yang canggih dengan tantangan psikososial dan konflik etik yang terkait
dengan sakit kritis.
3.2. Saran
Sebagai respon terhadap sistem pemberian perawatan kesehatan yang selalu
berubah, perawat perawatan kritis memperjuangkan kebutuhan pasien dan keluarga
20
, atau orang terdekat, perawat perawatan kritis telah menjalani langsung apa yang
perawat telah tunjukkan secara konsisten, oleh sebab itu perawat harus bisa
mengaplikasikan dan memberikan perawatan pada pasien kritis yang tidak hanya
pemenuhan kebutuhan fisiologis tetapi juga proses psikososial, perkembangan dan
spiritual karena sakit kritis juga merupakan ancaman terhadap individu dan
kelompok keluarganya. Di dalam pembuatan makalah ini penulis banyak
mengalami kendala dan keterbatasan, oleh karena itu dalam pembuatan makalah
ini penulis banyak sekali kekurangannya, penulis menyarankan agar pembaca terus
belajar, memperbaharui, mencari berbagai literatur tentang aspek psikososial dari
keperawatan kritis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alspach, J. G. (2006). AACN Core Curriculum for Critical Care Nursing, 6th Ed.
Bench, S & Brown, K. (2011). Critical Care Nursing: Learning from Practice.
Iowa:Blackwell Publishing
2. Burns, S. (2014). AACN Essentials of Critical Care Nursing, Third Edition (Chulay,
AACN Essentials of Critical Care Nursing). Mc Graw Hill
3. Comer. S. (2005). Delmar’s Critical Care Nursing Care Plans. 2nd ed. Clifton Park:
Thomson Delmar Learning
4. Elliott, D., Aitken, L. & Chaboyer, C. (2012). ACCCN’s Critical Care Nursing, 2nd ed.
Chatswood: Elsevier
5. Porte, W. (2008). Critical Care Nursing Handbook. Sudburry: Jones and Bartlett
Publishers
6. Schumacher, L. & Chernecky, C. C. (2009).Saunders Nursing Survival Guide:
CriticalCare & Emergency Nursing, 2e. Saunders Urden, L.D., Stacy, K. M. & Lough,
M. E. (2014). Critical care Nursing: diagnosis andManagement. 7thed. St Louis: Mosby
21
22