Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

Studi Literatur: Peran Psikiatri dalam Penanganan Pasien Perawatan Paliatif

Disusun oleh
Felicia Tandiono 205070100111044

Pembimbing
dr. Winarni Dian Dwiastuti Wisnu Putri, Sp.K.J.

MATA KULIAH KEDOKTERAN ELEKTIF-1


PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
MEI 2022
Daftar Isi

Daftar Isi ................................................................................................................................... 1


Abstrak ................................................................................................................................. 2
1. Latar Belakang .................................................................................................................... 2
2. Tinjauan Pustaka ................................................................................................................ 2
2.1 Psikiatri dan Kedokteran Paliatif ............................................................................ 2
2.1.1 Pengalaman dengan Penyakit yang Mengancam Nyawa................................. 3
2.1.2 Perawatan Paliatif sebagai Respons ................................................................. 5
2.1.3 Perlunya Psikiatri ............................................................................................. 6
2.1.4 Keahlian Terapeutik Spesifik ........................................................................... 6
2.1.5 Area Spesifik dari Keahlian ............................................................................. 7
2.2 Tahap-Tahap Kematian ............................................................................................ 8
2.2.1 Syok dan Penyangkalan ................................................................................... 8
2.2.2 Marah ............................................................................................................... 8
2.2.3 Tawar-menawar ............................................................................................... 8
2.2.4 Depresi ............................................................................................................. 9
2.2.5 Penerimaan....................................................................................................... 9
2.3 Nyeri ............................................................................................................................ 9
2.3.1 Pengalaman Nyeri ............................................................................................ 9
2.3.2 Nyeri dan Penyakit Terminal ......................................................................... 10
2.3.3 Jenis-Jenis Nyeri ............................................................................................ 10
2.3.4 Psikologi Nyeri .............................................................................................. 11
2.3.5 Psikiatri Nyeri ................................................................................................ 11
2.4 Kebutuhan Pasien Paliatif ...................................................................................... 14
2.4.1 Karakteristik Perawatan Paliatif .................................................................... 14
2.4.2 Struktur dan Proses ........................................................................................ 14
2.4.3 Aspek Fisik .................................................................................................... 15
2.4.4 Aspek Psikologi dan Psikiatri ........................................................................ 15
2.4.5 Aspek Sosial................................................................................................... 16
2.4.6 Aspek Spiritual, Religius, dan Eksistensial ................................................... 16
2.4.7 Aspek Kultural ............................................................................................... 16
2.4.8 Perawatan Akhir Hayat .................................................................................. 17
2.4.9 Aspek Etik dan Legal ..................................................................................... 17
2.4.10 Komunikasi .................................................................................................... 18
2.5 Hambatan dalam Psikiatri Perawatan Paliatif ..................................................... 19
3. Kesimpulan ........................................................................................................................ 21
Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 22

1
Studi Literatur: Peran Psikiatri dalam Perawatan Paliatif

Abstrak—Kebutuhan perawatan paliatif memberikan kesempatan dan potensi besar dalam


bidang psikiatri untuk membuat perbedaan. Perawatan paliatif dirancang untuk mencegah dan
menangani kebutuhan fisik, spiritual, emosional, dan sosial dari pasien dengan kondisi yang
membatasi atau mengancam hidup. Perawatan ini juga meluas bagi keluarga pasien. Perawatan
paliatif diberikan oleh tim interdisipliner untuk meningkatkan kualitas hidup sejak diagnosis
hingga kematian dan kehilangan. Namun, terdapat hambatan dalam perawatan paliatif pasien,
termasuk yang terkait bidang psikiatri.

1. Latar Belakang
Pasien dengan penyakit yang membatasi hidup mengalami penderitaan yang memiliki
kebutuhan paliatif dan suportif yang unik. Umumnya perawatan paliatif berfokus pada
pasien dengan penyakit somatis yang mengancam nyawa atau gangguan neurologis
progresif (Strand et al., 2020). Namun, peran perawatan paliatif terhadap gangguan
psikiatri belum signifikan (Etgen, 2020) walaupun gangguan kejiwaan dapat bersifat
kronis, menyebabkan disabilitas berat, dan berpotensi mengancam nyawa (Strand et al.,
2020).
Perlunya peran psikiatri dalam menangani pasien dan keluarga dengan penyakit kronis
yang mengancam jiwa tidak pernah lebih besar. Manusia hidup makin lama, dengan
berbagai masalah yang menyebabkan penderitaan, mengganggu kehidupan, dan sering
menyebabkan gejala sisa psikososial (Etgen, 2020). Untuk memastikan perawatan
mutakhir bagi pasien dan keluarga selama sakit dan pada periode duka, diperlukan
perawatan paliatif interdisipliner. Kebutuhan ini memberikan kesempatan luas dalam
bidang psikiatri untuk merawat pasien, memberi edukasi, dan terlibat dalam penelitian—
potensi untuk membuat perbedaan sangat besar.

2. Tinjauan Pustaka
2.1 Psikiatri dan Kedokteran Paliatif
Tujuan utama dari perawatan medis adalah meringankan penderitaan. Menurut
Macleod (2011: 1), penderitaan adalah pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan dan menyedihkan yang mengurangi kualitas hidup. Penderitaan terjadi
ketika penyakit berhadapan dengan integritas tentang bagaimana kita mendefinisikan
diri kita sendiri, tentang bagaimana kita berfungsi, tentang peran yang kita lakukan,

2
dan bagaimana kita memandang diri kita sendiri. Penderitaan meliputi aspek fisik,
psikologis, spiritual dan filosofis seseorang. Saat penderitaan tidak dapat dihilangkan,
tetapi kelegaan yang memadai tercapai maka koping dan pertumbuhan pribadi dapat
terjadi.
Psikiatri dan kedokteran paliatif merawat pasien yang mengalami tekanan
mental dan sekarat. Tujuan klinis dalam psikiatri adalah paliatif yang 'baik' dari
penderitaan mental. Tujuan dalam pengobatan paliatif adalah 'kematian yang baik'.
Oleh karena itu, ketika penyakit tidak dapat disembuhkan, yang terbaik yang dapat
dicapai adalah pengendalian gejala dan pemeliharaan dari pengendalian itu. Dengan
demikian, kualitas hidup yang tersisa akan meningkat dan sebagian penderitaan
berkurang (Macleod, 2011: 1).
Adapun peran psikiatri dalam perawatan paliatif (Irwin dan Ferris, 2008)
melingkupi
2.1.1 Pengalaman dengan Penyakit yang Mengancam Nyawa
Masalah-masalah yang timbul karena penyakit kronis yang mengancam
jiwa (Gambar 1) dapat menyebabkan penderitaan yang berlangsung berbulan-
bulan bahkan bertahun-tahun. Keluarga biasanya mengemban tugas berat untuk
mengasuh selama beberapa tahun, kemudian ditinggalkan oleh orang yang
mereka kasihi. Setiap orang berjuang untuk mengatasi berbagai perubahan,
termasuk beban ketergantungan yang makin meningkat, sambil berusaha
mendapatkan sebanyak mungkin pengalaman yang berarti dan berharga
(Gambar 2). Isu-isu ini, dan ketegangan yang muncul darinya, pasti berdampak
pada kesejahteraan fisik setiap orang serta rasa aman, cinta, dan harga diri
(Gambar 3). Jika masalah dan kebutuhan yang dihasilkan ini tidak sepenuhnya
ditangani dan didukung, dapat timbul dampak negatif terhadap kapasitas pasien,
keluarga, dan pengasuh dalam menjalani kehidupan yang bermakna dan
berharga serta menyadari potensi penuh mereka. Efeknya dapat bertahan selama
hidup pasien hingga lama setelah kematiannya.

3
Gambar 1 Masalah-Masalah Umum Pasien dan Keluarga Selama Penyakit dan
Kehilangan (Irwin dan Ferris, 2008)

4
Gambar 2 Transisi Pasien dan Keluarga dari Kesejahteraan Melalui Penyakit
dan Kehilangan (Irwin dan Ferris, 2008)

Gambar 3 Kebutuhan-Kebutuhan Umum Pasien dan Keluarga Berdasarkan


Hierarki Kebutuhan Manusia Maslow (Irwin dan Ferris, 2008)

2.1.2 Perawatan Paliatif sebagai Respons


Perawatan paliatif membantu individu mencapai potensi penuh mereka
sepanjang perjalanan penyakit mereka dengan membantu mengatasi berbagai
masalah yang dapat menyebabkan penderitaan serta setiap kebutuhan yang
terkait, mulai dari diagnosis hingga melalui periode berkabung. Walaupun
beberapa praktisi medis memberikan perawatan paliatif primer (dasar) dan
sekunder (lanjutan), sebagian besar belum kompeten dalam pengetahuan dan

5
keterampilan baru ini. Layanan interdisipliner khusus perawatan paliatif
memberikan layanan konsultatif tersier (ahli) untuk mengelola situasi yang
menantang dan kompleks, terutama ketika tujuan perawatan bergeser untuk
lebih fokus pada kenyamanan dan kualitas daripada penyembuhan.

2.1.3 Perlunya Psikiatri


Masalah psikososial dan psikiatri pada pasien dengan penyakit lanjut
yang mengancam jiwa sering terjadi, sering kali tidak diketahui (misalnya,
dianggap respons normal terhadap antisipasi dari kematian), tidak dinilai,
kurang terdiagnosis, dan kurang diobati. Berbagai macam masalah bisa
mendapatkan keuntungan dari keahlian psikiatri (Gambar 1). Karena pasien
dengan masalah psikiatri kompleks dalam konteks penyakit lanjut yang
mengancam jiwa sering dirujuk ke tim perawatan paliatif, psikiater diperlukan
sebagai konsultan atau anggota penghubung bagi tim perawatan paliatif
interdisipliner. Dengan meningkatnya prevalensi penyakit akut dan kronis yang
mengancam jiwa, ada peluang dan kebutuhan yang meningkat pesat bagi
psikiater, bersama dengan profesional kesehatan mental lainnya, untuk merawat
pasien ini dan keluarga mereka. Seiring dengan memberikan perawatan, para
profesional ini berpartisipasi dalam pendidikan, penelitian, dan advokasi yang
secara signifikan akan menguntungkan pasien, keluarga, dan sistem kesehatan
mereka di seluruh dunia.

2.1.4 Keahlian Terapeutik Spesifik


2.1.4.1 Psikoterapi
Psikoterapi suportif berkelanjutan dapat memberikan tempat
aman yang mendorong pasien dan keluarga untuk menceritakan
masalah yang mungkin membuat mereka menderita, terutama
masalah yang enggan mereka sampaikan ke tim perawatan paliatif.
2.1.4.2 Farmakoterapi
Ketika diindikasikan, pasien biasanya merespons psikofarmasi.
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai respons terapeutik penting
bagi pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa. Pasien dengan
harapan hidup terbatas membutuhkan terapi yang bertindak cepat.
Banyak yang tidak akan hidup bahkan dalam beberapa minggu yang

6
diperlukan untuk menyadari efek antidepresan standar. Hampir secara
universal, hanya psikiater yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman untuk menggunakan obat-obatan tidak sesuai label yang
mungkin bermanfaat bagi pasien ini, seperti stimulan untuk
menghilangkan depresi dengan cepat, antipsikotik generasi pertama
untuk delirium, dan benzodiazepin untuk delirium ireversibel.

2.1.5 Area Spesifik dari Keahlian


Psikiater mampu membantu tim perawatan paliatif, terutama dalam
mengatasi depresi, delirium, kecemasan, maupun perawatan bagi keluarga
pasien. Ada pula peluang bagus dan kebutuhan nyata bagi peneliti psikiatri
untuk memperluas pengetahuan dan keterampilan dalam mendefinisikan,
mengenali, menilai, dan mengelola masalah psikiatri pada populasi pasien ini.
Di samping itu, untuk meningkatkan kesadaran dan perawatan, diperlukan
pendidikan formal dalam penilaian, diagnosis, dan pengelolaan masalah
kejiwaan yang berkaitan dengan pasien dan keluarga yang hidup dengan
penyakit yang mengancam jiwa diperlukan, termasuk pendidikan yang
ditargetkan bagi
• anggota tim kesehatan umum nonpaliatif, yang perlu mencapai dan
mempertahankan kompetensi dasar;
• ahli kedokteran paliatif serta anggota lain dari tim perawatan paliatif, yang
membutuhkan pelatihan dan keahlian lanjutan;
• psikiater dan profesional kesehatan mental lainnya, yang dapat memberikan
layanan konsultatif serta membutuhkan kompetensi dasar dalam aspek
psikiatri dari kedokteran paliatif—ini harus menjadi bagian rutin dari
program pelatihan profesional; serta
• spesialis psikiatri perawatan paliatif, yang akan memerlukan pelatihan dan
keahlian lanjutan dalam aspek psikiatri maupun kedokteran paliatif itu
sendiri.

7
2.2 Tahap-Tahap Kematian
Menurut Elisabeth Kubler-Ross dalam Kaplan dan Sadock (2015: 1352–1353),
lima tahap kematian ini sering ditemukan:
2.2.1 Syok dan Penyangkalan
Saat diberitahu bahwa sedang sekarat, seseorang mungkin awalnya
tampak bingung kemudian menolak mempercayai diagnosisnya. Tingkat
penolakan adaptif atau maladaptif tergantung pada apakah pasien terus
mendapatkan pengobatan bahkan ketika menyangkal prognosis. Dalam kasus
tersebut, dokter harus mengomunikasikan kepada pasien dan keluarganya—
secara hormat dan langsung—informasi dasar tentang penyakit, prognosis, dan
pilihan pengobatan. Untuk komunikasi yang efektif, dokter harus
memperbolehkan respons emosional pasien dan meyakinkan mereka bahwa
mereka tidak akan ditinggalkan.
2.2.2 Marah
Seseorang menjadi frustrasi, mudah tersinggung, dan marah karena
sakit. Mereka biasanya bertanya, "Mengapa saya?" dan mungkin marah pada
Tuhan, nasib mereka, teman, keluarga, atau staf rumah sakit dan dokter, yang
mereka salahkan atas penyakit itu. Pasien dalam tahap marah pun sulit diobati.
Dokter harus menyadari bahwa kemarahan yang diungkapkan tidak dapat
diambil secara pribadi. Respons yang empatik dan tidak defensif dapat
membantu meredakan kemarahan pasien dan membantu mereka kembali fokus
pada perasaan mendalam (misalnya, kesedihan, ketakutan, kesepian) yang
mendasari kemarahan mereka. Dokter juga harus menyadari bahwa kemarahan
dapat mewakili keinginan pasien untuk memegang kontrol dalam situasi yang
mereka rasa benar-benar di luar kendali.
2.2.3 Tawar-menawar
Pasien mungkin mencoba bernegosiasi dengan dokter, teman, atau
bahkan Tuhan—sebagai imbalan untuk kesembuhan, mereka akan memenuhi
satu atau banyak janji, seperti beramal atau beribadah teratur. Beberapa pasien
percaya bahwa jika mereka baik (menurut, tidak bertanya, ceria), dokter akan
membuat mereka lebih baik. Perawatan pasien yang demikian mencakup
memperjelas bahwa mereka akan dirawat sebaik mungkin sesuai kemampuan
dokter serta bahwa segala yang dapat dilakukan akan dilakukan, terlepas dari
tindakan atau perilaku dari pihak pasien. Pasien juga harus didorong untuk

8
berpartisipasi dalam perawatan mereka dan memahami bahwa menjadi pasien
yang baik berarti bersikap sejujur dan sejelas mungkin.
2.2.4 Depresi
Pasien menunjukkan tanda-tanda klinis penarikan depresi,
keterbelakangan psikomotor, gangguan tidur, keputusasaan, dan mungkin ide
bunuh diri. Depresi mungkin reaksi terhadap efek penyakit pada kehidupan
mereka (misalnya, kehilangan pekerjaan, kesulitan ekonomi, ketidakberdayaan,
keputusasaan, serta isolasi dari teman dan keluarga), atau mungkin dalam
mengantisipasi hilangnya nyawa. Semua orang merasakan kesedihan pada
prospek kematian mereka dan kesedihan yang normal tidak memerlukan
intervensi biologis. Namun, gangguan depresif berat dan ide bunuh diri aktif
dapat dikurangi dan tidak boleh diterima sebagai reaksi normal terhadap
kematian yang akan datang.
2.2.5 Penerimaan
Pasien menyadari bahwa kematian tidak dapat dihindari, dan mereka
menerima universalitasnya. Perasaan mereka dapat berkisar dari netral hingga
euforia. Idealnya, pasien mampu mengatasi perasaan mereka tentang kematian
yang tak terhindarkan serta dapat berbicara tentang menghadapi hal yang tidak
diketahui. Pasien dengan keyakinan agama yang kuat dan keyakinan akan
kehidupan setelah kematian terkadang menemukan kenyamanan dalam pepatah,
"Jangan takut kematian; ingatlah mereka yang telah pergi sebelum kamu dan
mereka yang akan datang setelahnya."

2.3 Nyeri
2.3.1 Pengalaman Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan, terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Nyeri
adalah apa yang oleh pasien dikatakan menyakitkan. Nyeri merupakan
pengalaman “somatopsikis”, intensitasnya tergantung pada tingkat kerusakan
jaringan dan pada keadaan psikologis pasien (Macleod, 2011: 59).
Nyeri tidak dapat diukur secara objektif. Skala analog visual adalah
ukuran nyeri yang disukai, termudah dan terbaik. Besarnya skor numerik
memiliki sedikit mana, kecuali ketika pengukuran dilakukan secara serial dan
dilakukan komparasi. Setiap individu merasakan nyeri secara unik, tetapi

9
seiring waktu konsistensi dan reliabilitas dalam pelaporan dapat dicapai
menggunakan skala-skala ini (Macleod, 2011: 60).

2.3.2 Nyeri dan Penyakit Terminal


Nyeri yang tak terkontrol atau tidak terkontrol dengan baik, di samping
ketidaknyamanan yang dirasakan, dapat memperburuk dan/atau memicu gejala
psikologis dan psikiatri. Neurobiologi nyeri dan depresi tumpang tindih.
Kesengsaraan dan keputusasaan pun dapat mengikuti. Nyeri dapat
mendominasi eksistensi dan memprovokasi perilaku memohon perawatan
(Macleod, 2011: 62).
Pengendalian nyeri perlu menjadi prioritas pengobatan tertinggi dalam
pengobatan paliatif. Hanya ketika nyeri dapat dikelola, asesmen gejala lain
dapat dilanjutkan. Secara klinis, penting dipahami bahwa nyeri yang paling
parah adalah nyeri yang paling menjadi perhatian pasien. Pada pasien dengan
banyak situs nyeri, peringanan nyeri yang paling parah dapat menyoroti nyeri
yang lain, yang sebelumnya tidak terasa. Nyeri jarang statis sehingga
pengkajian nyeri perlu diulang secara terus-menerus bersama dengan tinjauan
berkelanjutan dan titrasi analgesia (Macleod, 2011: 62).

2.3.3 Jenis-Jenis Nyeri


Pasien sekarat mengalami beberapa jenis nyeri yang berbeda,
dirangkum dalam Tabel 1. Perbedaan ini penting karena mereka membutuhkan
strategi pengobatan yang berbeda (Kaplan dan Sadock, 2015: 1366–1368).
Tabel 1 Jenis-Jenis Nyeri (Kaplan dan Sadock, 2015: 1367)
Nyeri biasanya, tetapi tidak selalu konstan, sakit, menggerogoti, dan
Somatis terlokalisasi dengan baik (misalnya, metastasis tulang)
biasanya, tetapi tidak selalu konstan, dalam, meremas,
Nyeri terlokalisasi dengan buruk, dengan kemungkinan alihan ke
Viseral kulit (misalnya, efusi pleura yang menyebabkan nyeri dada
yang dalam, iritasi diafragma yang mengalih ke bahu)
nyeri disestetik yang membakar dengan paroksisme seperti
syok yang terkait dengan kerusakan langsung pada reseptor
Nyeri perifer, serabut aferen, atau sistem saraf pusat, yang
Neuropatik menyebabkan hilangnya modulasi inhibisi sentral dan
pelepasan spontan (misalnya, nyeri phantom limb; dapat
melibatkan aferen somatik simpatik)

10
karakteristik variabel sekunder dari faktor psikologis tanpa
Nyeri adanya faktor medis; jarang sebagai fenomena murni pada
Psikogenik pasien dengan kanker, tetapi sering menjadi faktor tambahan
pada adanya nyeri organik

2.3.4 Psikologi Nyeri


Nyeri menimbulkan kewaspadaan, kecemasan, dan ketakutan.
Kecemasan pun memperkuat pengalaman nyeri. Kecemasan adalah proses
internal, sedangkan ketakutan adalah respons terhadap stimulus eksternal yang
mengancam. Identifikasi pasien terhadap pengaruh yang meringankan atau
memperparah nyeri mereka menyebabkan perilaku penghindaran protektif
(Macleod, 2011: 62).
Nyeri memiliki inisiator organik dan faktor psikososial yang
memengaruhinya. Saunders memperkenalkan istilah perawatan paliatif “total
pain”, untuk merujuk pada banyaknya faktor psikologis, sosial, birokratis,
finansial, dan spiritual yang berkontribusi terhadap, dan mungkin menciptakan,
nyeri pada pasien kanker. Meskipun “analgesia memadai”, nyeri tetap bertahan
tidak berubah. Ini merupakan konsep klinis yang berguna asalkan keorganikan
nyeri tidak sepenuhnya diabaikan. “Total pain” dapat merepresentasikan
keahlian klinis dan teknis yang tidak memadai, atau dapat menggambarkan
suatu sindrom dengan pengaruh psikososial yang mempertahankan nyeri yang
fundamentalnya bersifat “organik” (Macleod, 2011: 62–63).

2.3.5 Psikiatri Nyeri


Nyeri akut sangat penting untuk kelangsungan hidup suatu organisme,
menghasilkan refleks penarikan dan perilaku penghindaran. Kecemasan dan
ketakutan yang disebabkan oleh nyeri akut—jika nyeri berlanjut—diperparah
oleh distres afektif, dan mungkin berujung gangguan afektif. Rasa sakit dapat
menyebabkan depresi, dan depresi dapat meningkatkan rasa sakit (Macleod,
2011: 64–65).
Gangguan tidur sekunder akibat ketidaknyamanan nyeri serta gangguan
depresi penyerta melemahkan kemampuan untuk mengatasi nyeri. Kuantitas
dan kualitas tidur yang berkurang berkorelasi dengan rasa sakit, depresi, dan
afektivitas negatif. Tidur terganggu oleh nyeri, dan kelelahan menggagalkan

11
strategi koping. Tidur yang buruk berkontribusi dalam penurunan ambang
nyeri. Insomnia tidak hanya memperparah rasa sakit, tetapi juga dapat
mendorong penyalahgunaan hipnotis dan analgesik (Macleod, 2011: 65).
2.3.5.1 Psikoterapi Nyeri
Mengungkap sebab dan akibat dari variabel psikologis tertentu
secara klinis tidak mudah dan juga tidak menguntungkan. Manajemen
nyeri perlu menggunakan intervensi psikologis yang ditujukan pada
efek daripada penyebab. Diperlukan intervensi pragmatis “di sini-
dan-sekarang” daripada analisis penyebab.
Eksplanasi, penghiburan, pembingkaian ulang ide negatif secara
kognitif, dan strategi koping menggunakan relaksasi, hipnosis,
meditasi kesadaran, dan distraksi bisa bermanfaat. Memperkuat
koping dan penilaian ulang kognitif meningkatkan farmakoterapi
analgesik. Sebuah pil dapat bermanfaat, tetapi pil dan kata-kata
pendukung dapat memberikan manfaat yang lebih besar (Macleod,
2011: 66).
2.3.5.2 Farmakoterapi Nyeri
Terapi primer yang diarahkan pada penyebab nyeri yang
mendasari dapat memiliki konsekuensi analgesik. Manajemen
farmakologis nyeri memerlukan keahlian dalam penggunaan tiga
kelompok besar analgesik: obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS),
analgesik opioid, dan yang disebut analgesik adjuvan. Analgesik
adjuvan adalah kelompok beragam agen yang tak berkaitan, yang
memiliki indikasi primer lain, tetapi mungkin menjadi analgesik
dalam keadaan tertentu (Chochinov dan Breitbart, 2000: 103–104).
Kebanyakan pasien mencapai keseimbangan yang
menguntungkan antara analgesia dan efek samping dan stabil untuk
waktu yang lama. Adapun hal-hal berikut perlu diperhatikan:
gunakan pedoman dosis yang sesuai, gunakan interval dosis yang
tepat, waspadai potensi relatif, dan tangani efek samping (Chochinov
dan Breitbart, 2000: 112–115).

12
Jenis-jenis terapi farmakologis nyeri (Macleod, 2011: 66–79):
i. analgesik opioid
(a) morfin
(b) opioid selain morfin: kodein, fentanil, oksikodon,
hydromorphone, pethidine, buprenorphine, metadon,
diamorfin (heroin), naloxone, tramadol
ii. analgesik non-opioid:
(a) obat-obatan antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
(b) obat antidepresan
(c) obat antikonvulsan
(d) calcium channel alpha-2-gamma ligands (gabapentin,
pregabalin)
(e) ketamina
(f) psikostimulan
(g) benzodiazepin.
2.3.5.3 Pendekatan Nonfarmakologis Nyeri
Ada banyak terapi nonfarmakologis bagi nyeri, yang dapat
dikategorikan secara luas menjadi pendekatan anestesi, bedah,
rehabilitatif, dan psikologis. Belum ada uji coba komparatif dari
pendekatan ini, dan keputusan penerapan didasarkan pada penilaian
klinis terbaik. Banyak dari pendekatan yang umum digunakan
bersifat invasif dan risikonya mengharuskan penilaian ulang yang
cermat terhadap pasien sebelum dilakukan tindakan. Pertimbangan
terkait penyakit—seperti harapan hidup dan cakupan penyakit—serta
masalah lain, termasuk tujuan perawatan, harus dipahami dengan
jelas sebelum rekomendasi dapat diberikan (Chochinov dan Breitbart,
2000: 115).

13
2.4 Kebutuhan Pasien Paliatif
Kebutuhan pasien paliatif serta keluarganya, sebagaimana diuraikan oleh
Martín-Ancel et al. (2022), melingkupi
2.4.1 Karakteristik Perawatan Paliatif
Tujuan perawatan paliatif bukanlah membantu pasien meninggal,
melainkan membantu mereka hidup pada akhir hayat mereka, mengoptimisasi
kualitas hidup pasien dan juga keluarga mereka. Untuk itu, perawatan paliatif
diberikan pada setting yang berbeda-beda secara terkoordinasi. Dua kelompok
penyakit membutuhkan perawatan paliatif: penyakit yang membatasi hidup
dan penyakit yang mengancam hidup (Gambar 4).
Gambar 4 Distribusi Perawatan Kuratif ( ) dan Perawatan Paliatif ( )
Berdasarkan Jenis Penyakit (Martín-Ancel et al., 2022)

2.4.2 Struktur dan Proses


Perawatan paliatif diberikan oleh tim interdisipliner termasuk dokter,
perawat, pekerja sosial, psikolog, dan profesional lainnya tergantung penyakit
yang dihadapi. Keluarga berperan penting dalam pengambilan keputusan dan
perencanaan perawatan. Seorang dokter ditunjuk untuk mengoordinasikan
perawatan dan dokumentasi serta kelanjutan perawatan. Ini termasuk setting
perawatan pada akhir hayat, selama sumber daya yang diperlukan tersedia—
perawatan di rumah berdampak positif terhadap kualitas hidup. Jalur
perawatan dan protokol praktik klinis yang terstruktur dan mapan merupakan
elemen penting dari perawatan paliatif.

14
2.4.3 Aspek Fisik
Untuk mengidentifikasi berbagai gejala yang mungkin, tenaga
kesehatan dan keluarga harus terus memonitor pasien. Walaupun beberapa
gejala dapat dikendalikan (misalnya, nyeri dan dispnea), pasien dan
keluarganya perlu menyesuaikan diri dengan gejala-gejala lain (misalnya,
kelemahan dan anoreksia). Untuk setiap gejala, tenaga kesehatan mencoba
untuk mengidentifikasi etiologi dan merenungkan, berkolaborasi dengan
keluarga, keuntungan dan kerugian dari melakukan tes diagnostik dan
menawarkan perawatan spesifik—kuratif atau paliatif—yang menargetkan
penyebab atau gejalanya.
Nyeri adalah salah satu gejala paling sering. Ada manfaat dari
pemantauan keparahan dan evolusi nyeri menggunakan skala. Tergantung
pada tingkat keparahan, intervensi nonfarmakologis atau farmakologis dapat
diindikasikan, yang paling sering sukrosa, parasetamol, morfin, dan fentanil.
Analgesia harus diresepkan dengan mempertimbangkan waktu paruh obat
untuk mencegah kembalinya nyeri di antara dosis. Rute pemberian yang
diutamakan adalah rute oral dan, jika itu bukan pilihan, rute endonasal; rute
subkutan digunakan secara khusus, dan rute intravena hanya dipertimbangkan
jika akses vaskular telah ditetapkan.

2.4.4 Aspek Psikologi dan Psikiatri


Profesional menilai pasien dan keluarganya, mulai dari diagnosis hingga
melalui proses kehilangan. Skrining yang dilakukan meliputi asesmen tekanan
emosional dan psikososial serta penilaian kecemasan, depresi, dan gangguan
mental yang mendasarinya. Tim psikologi dan psikiatri dapat memberikan
perawatan bagi yang secara khusus dirujuk kepada mereka.
Keluarga perlu dukungan untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan serta untuk mengelola ketidakpastian dan komplikasi penyakit
pasien maupun pengobatannya. Keluarga juga harus menerima dukungan
untuk duka antisipatif dan perubahan dalam kehidupan sehari-hari mereka
yang terkait dengan beban merawat pasien dan, kemungkinan, isolasi dan
burnout. Setelah kematian, dukungan untuk berkabung harus ditawarkan
setidaknya selama 13 bulan melalui telepon, kunjungan profesional kesehatan
mental, atau surat belasungkawa. Dukungan emosional dapat diberikan dengan

15
menjaga komunikasi yang terbuka dan saling menghormati antara profesional,
melalui pelatihan khusus, atau melalui sesi konseling setelah kematian pasien
dan konsultasi rutin dengan ahli kesehatan mental.

2.4.5 Aspek Sosial


Pekerja sosial menilai kekuatan, ketahanan, dan dukungan sosial setiap
keluarga di samping kebutuhan dan kelemahan mereka. Asesmen ini meliputi
analisis struktur keluarga serta hubungan dengan keluarga besar, sahabat, dan
kelompok masyarakat yang berbeda. Ditelusuri juga sumber daya ekonomi,
karakteristik rumah, dan kemampuan keluarga untuk membayar biaya
tambahan terkait penyakit dan pemakaman. Kemudian, rencana dirumuskan
bersama keluarga, mengidentifikasi sumber perawatan kesehatan dan
kesejahteraan sosial yang dapat membantu.

2.4.6 Aspek Spiritual, Religius, dan Eksistensial


Perawatan paliatif juga termasuk pengambilan riwayat spiritual—
mengidentifikasi bagaimana seseorang mencari serta mengungkapkan makna
dan tujuan hidup yang paling utama—yang dimanifestasikan melalui
keyakinan, nilai, tradisi, dan ritual. Spiritualitas seseorang memengaruhi
pengambilan keputusan, pengalaman penyakit, duka, serta proses kematian
dan kehilangan. Skrining spiritual juga harus dilakukan pada saat-saat penting
untuk menilai tekanan eksistensial atau keputusasaan yang mungkin
memerlukan asesmen spiritual penuh oleh penyedia perawatan spiritual,
pemuka agama, dll.

2.4.7 Aspek Kultural


Anggota tim interdisipliner harus menghormati budaya, nilai-nilai, dan
praktik tradisional keluarga serta menahan diri dari memaksakan keyakinan
mereka sendiri. Mereka juga harus menyadari tantangan yang mungkin timbul
akibat perbedaan ini, terutama dalam hal komunikasi dan pengambilan
keputusan bersama. Protokol dan praktik klinis harus merangkul
keanekaragaman budaya serta menawarkan alat untuk mengelolanya dengan
baik.

16
2.4.8 Perawatan Akhir Hayat
Perawatan paliatif tidak terbatas pada perawatan akhir hayat, tetapi juga
sangat penting pada hari-hari sebelum dan setelah kematian pasien. Asesmen
serta manajemen nyeri dan gejala lain seperti dispnea, nausea, agitasi, atau
peningkatan sekresi sangatlah penting; begitu pula aspek sosial (menyiapkan
pemakaman, penguburan, atau kremasi) dan aspek psikologis (konseling duka
dan dukungan dalam berkabung). Ini juga saat untuk menyampaikan manfaat
potensial dari autopsi atau pemeriksaan resonansi magnetik post-mortem dan
pengumpulan sampel darah atau jaringan lain. Berkolaborasi dengan tim
transplantasi, keluarga dapat didekati untuk mempertimbangkan donasi katup
jantung atau kornea.
Idealnya, perawatan paliatif diinisiasi dari proses pengambilan
keputusan yang hati-hati oleh tim dan keluarga dengan mempertimbangkan
kematian yang akan segera terjadi, keparahan dan ireversibel gejala, manfaat
pengobatan dan risikonya, serta semua alternatif yang mungkin. Proses
pengambilan keputusan ini harus didokumentasikan dalam rekam medis.
Tidak disarankan untuk meminta keluarga menandatangani dokumen, karena
tidak diwajibkan secara hukum dan dapat memperburuk perasaan bersalah.
Keputusan untuk menghentikan atau menahan pengobatan dibuat bersama
oleh keluarga dan tim perawatan, yang dapat mengurangi perasaan bersalah
keluarga tanpa membatasi otonomi mereka.
Sebagai upaya terakhir, untuk mengurangi gejala parah dan ireversibel
yang refrakter terhadap pengobatan lain, mungkin perlu sedasi paliatif pada
akhir hayat (sedasi terminal) melalui administrasi obat yang terkontrol untuk
menginduksi penurunan kesadaran yang berkelanjutan. Setelah kematian,
mayat harus ditangani dengan hormat dan mengikuti keinginan keluarga,
termasuk kemungkinan lain seperti pemandian, pengenaan pakaian khusus,
ritual, maupun penciptaan suasana khusus melalui musik, lilin, dll.

2.4.9 Aspek Etik dan Legal


Keluarga harus membuat setiap keputusan demi kepentingan terbaik
pasien, melindungi hak-hak pasien, serta mematuhi hukum yang berlaku dan
standar perawatan profesional. Proses musyawarah (mempertimbangkan
fakta, dilema moral, dan kemungkinan tindakan) dapat memandu manajemen

17
rasional dari keraguan yang ada, untuk membuat keputusan yang bijaksana.
Untuk itu, komunikasi merupakan aspek penting dari praktik medis.

2.4.10 Komunikasi
Tabel 2 Aspek-Aspek Esensial dari Komunikasi (Martín-Ancel et al., 2022)
• Ruang yang menawarkan privasi, tempat duduk, dan
waktu yang cukup
• Dipimpin oleh dokter paling berpengalaman, dengan
partisipasi perawat dan profesional terkait lainnya
Setting
• Tawarkan pilihan kepada keluarga untuk mengajak
kerabat atau orang lain yang mereka percaya
• Jika perlu, gunakan penerjemah, sehingga anggota
keluarga tidak harus memenuhi peran ini
• Jujur dan jelas. Hindari istilah teknis dan monolog
panjang. Akurat, hindari eufemisme maupun
keterusterangan yang berlebihan
• Bicara dengan bijaksana dan lembut. Sering-seringlah
berhenti—kadang-kadang untuk sejenak, katakan apa
yang harus disampaikan secara perlahan, beri waktu
bagi keluarga untuk menyerap informasi.
Pertimbangkan latar belakang budaya, kepercayaan,
dan literasi keluarga
• Akui emosi yang diungkapkan oleh keluarga
• Komunikasi nonverbal berkontribusi besar terhadap
Karakteristik
apa yang disampaikan: pertemuan mata, kualitas jabat
tangan, ekspresi wajah, gerakan tubuh, postur, nada
suara
• Dapatkan informasi dan verifikasi pemahaman dengan
mengajukan pertanyaan. Dorong keluarga untuk
bertanya
• Promosikan harapan, soroti aspek positif yang ada
bahkan dalam situasi yang paling menyakitkan
• Pada kehamilan: panggil janin dengan namanya, jika
orang tua sudah memilihnya. Gunakan jenis kelamin
yang benar dalam mengacu pada janin
• Komunikasi adalah proses, bukan tindakan: tawarkan
informasi secara bertahap, cari poin utama dan ingat
keinginan keluarga
Konten
• Pada percakapan awal, karena syok, keluarga mungkin
kesulitan memahami dan mengingat beberapa
informasi

18
• Pada kunjungan berikutnya, telusuri pemahaman,
ekspektasi, dan harapan keluarga, serta perbaiki
kesalahpahaman yang ada. Tambahkan informasi
secara bertahap, dengan mempertimbangkan keinginan
keluarga:
o “Apa lagi yang ingin Anda ketahui?”
o “Apa yang Anda inginkan terjadi?”
o “Apa yang paling Anda khawatirkan?”
• Tetapkan rencana perawatan bersama keluarga,
tawarkan opsi, tetap selaras dengan perspektif mereka,
dan fasilitasi partisipasi mereka dalam pengambilan
keputusan
• Identifikasi dan teguhkan kekuatan
• Berikan informasi tertulis. Gunakan grafik dan diagram
jika dapat membantu
• Keluarga akan mencari informasi melalui internet:
pandu mereka dalam pencarian ini
• Fasilitasi akses ke asosiasi lokal dan nasional

2.5 Hambatan dalam Psikiatri Perawatan Paliatif


Pasien dan keluarga yang hidup dengan penyakit yang mengancam jiwa sering
kali memiliki masalah multipel, kompleks, dan saling terkait yang muncul sebagai
bagian dari proses penyakit yang mendasarinya (Irwin dan Ferris, 2008). Masalah-
masalah ini (Gambar 1) memengaruhi rasa identitas, mengurangi kesejahteraan, dan
mengganggu kemampuan untuk mewujudkan potensi penuh mereka. Komplikasi
psikiatri pada pasien ini sering kali menantang untuk dinilai serta membutuhkan
pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman ahli untuk diagnosis dan manajemennya.
Dengan demikian, tidak adanya pelatihan psikiatri terkait penyakit lanjut yang
mengancam jiwa berkontribusi pada kurangnya kesadaran maupun perawatan terhadap
masalah ini, sehingga tentu merugikan pasien dan keluarganya. Tanpa pengalaman,
dokter—termasuk psikiater—tidak cukup siap untuk menangani pasien kompleks ini
secara efektif. Bahkan, beberapa mungkin menghindari merawat pasien ini, karena
mereka merasa sangat stres (Irwin dan Ferris, 2008). Maka dari itu, edukasi formal
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan terkait masalah
ini sangatlah penting.

19
Secara tradisional, perawatan paliatif berfokus pada pasien yang menderita
penyakit somatis yang mengancam jiwa—seperti kanker—atau gangguan neurologis
yang progresif. Akan tetapi, terlepas dari sifat gangguan kejiwaan yang sering kronis,
melumpuhkan, dan berpotensi mengancam jiwa, tidak ada unit perawatan paliatif
maupun pedoman klinis tentang tindakan paliatif untuk pasien psikiatri. Padahal,
banyak intervensi tipikal untuk gangguan kejiwaan yang refrakter pengobatan memang
bersifat paliatif. Di samping itu, memperkenalkan fitur tradisional dari perawatan
paliatif—membicarakan tujuan perawatan—dapat membantu memastikan bahwa
pengasuh, pasien, dan keluarga sepakat tentang tujuan pengobatan yang harus
diprioritaskan untuk mengoptimalkan kualitas hidup (Strand et al., 2020).
Dalam beberapa kasus, transisi dari tujuan perawatan kuratif ke paliatif tidaklah
mudah. Ini juga menjadi hambatan dalam pengenalan perawatan paliatif dalam bidang
psikiatri. Penggunaan istilah “paliatif” saja dapat dianggap kontroversial, mungkin
karena banyak pasien akan secara naluriah menganggap perawatan paliatif sebagai
intervensi yang berkonotasi kematian akan datang. Konotasi ini juga dapat
memengaruhi dokter. Sekadar melabeli suatu pendekatan sebagai paliatif awalnya
dapat mengkhawatirkan pasien dan keluarga serta tenaga kesehatan. Meski begitu,
beralih dari pendekatan kuratif ke paliatif merupakan keputusan yang reversibel.
Ketika pasien dengan gangguan mental jangka panjang membaik karena beralih ke rute
paliatif, ia mungkin juga termotivasi kembali untuk terlibat dalam intervensi kuratif
tradisional (Strand et al., 2020).
Adapun menurut Etgen (2020), perawatan paliatif belum memiliki peran yang
signifikan dalam penanganan gangguan psikiatri yang berat dan kronis. Masih banyak
pula rumah sakit jiwa yang belum memiliki layanan paliatif spesifik. Dalam penelitian
Etgen (2020), diindikasikan keraguan dalam penggunaan layanan konsultasi
perawatan paliatif dalam psikiatri—yang awalnya dianggap hampir tidak diperlukan,
tetapi kebutuhannya meningkat kemudian. Oleh karena itu, perlu ditelusuri alasan
keraguan penggunaan perawatan paliatif dalam psikiatri, serta melibatkan lebih banyak
pasien dengan gangguan mental yang berat dan persisten. Selain itu, sulitnya
mengidentifikasi keperluan konsultasi perawatan paliatif dapat ditanggapi dengan
penerapan pertanyaan kejutan (“Apakah saya akan terkejut jika pasien ini meninggal
dalam satu tahun ke depan?”), yang mengindikasikan hubungan antara perawatan
paliatif dan perawatan akhir hayat (Etgen, 2020).

20
Satu masalah yang dapat muncul adalah konsultasi perawatan paliatif hanya
diberikan oleh satu orang karena tidak ada dokter lain yang memiliki kualifikasi
tambahan terkait kedokteran paliatif, dan tidak ada perwakilan selama ketidakhadiran.
Terdapat pula hambatan lain, yaitu perlunya konsultasi lanjutan untuk menganalisis
pengaruh dari konsultasi perawatan paliatif terhadap kesejahteraan pasien. Penyediaan
layanan konsultasi perawatan paliatif secara permanen juga tidak mungkin tanpa
rencana kepegawaian dan penguatan staf (Etgen, 2020).

3. Kesimpulan
Untuk memastikan populasi yang rentan dapat mengakses perawatan paliatif yang
berkualitas, program dan protokol yang terstruktur harus dikembangkan untuk menangani
patologi yang kompleks. Harus ada pelatihan dasar bagi seluruh tenaga kesehatan yang
terlibat. Perlu dilakukan pula penelusuran lebih lanjut mengenai alasan keraguan
penggunaan perawatan paliatif dalam psikiatri. Di samping itu, perawatan paliatif dapat
dilibatkan bagi lebih banyak pasien dengan gangguan mental yang berat dan persisten.

21
Daftar Pustaka

Abdelaal, M., Mosher, P.J., Gupta, A., Hannon, B., Cameron, C., Berman, M., Moineddin, R.,
Avery, J., Mitchell, L., Li, M., dan Zimmermann, C., 2021. Supporting the Needs of
Adolescents and Young Adults: Integrated Palliative Care and Psychiatry Clinic for
Adolescents and Young Adults with Cancer. Cancers, 13 (4), p. 770.
Breen, L.J., Aoun, S.M., O’Connor, M., Johnson, A.R., dan Howting, D., 2020. Effect of
caregiving at end of life on grief, quality of life and general health: A prospective,
longitudinal, comparative study. Palliative Medicine, 34 (1), pp. 145–154.
Chochinov, H.M. dan Breitbart, W. (eds.), 2000. Handbook of Psychiatry in Palliative
Medicine. Oxford University Press, USA.
Etgen, T., 2020. Case series of introducing palliative care consultation in psychiatry. Palliative
Medicine, 34 (5), pp. 680–683.
Kaplan, H.I. dan Sadock, B.J., 2015. Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry, Eleventh Edition. Williams & Wilkins Co.
Irwin, S.A. dan Ferris, F.D., 2008. The Opportunity for Psychiatry in Palliative Care. The
Canadian Journal of Psychiatry, 53 (11), pp. 713–724.
Macleod, S., 2011. The Psychiatry of Palliative Medicine: The Dying Mind, Second Edition.
Radcliffe Publishing.
Martín-Ancel, A., Pérez-Muñuzuri, A., González-Pacheco, N., Boix, H., Fernández, M.G.E.,
Sánchez-Redondo, M.D., Cernada, M., dan Couce, M.L., 2022. Perinatal palliative
care. Anales de Pediatría (English Edition), 96 (1), pp. 60.e1–60.e7.
McInnerney, D., Kupeli, N., Stone, P., Anantapong, K., Chan, J., Flemming, K., Troop, N., dan
Candy, B., 2021. Emotional disclosure in palliative care: A scoping review of
intervention characteristics and implementation factors. Palliative Medicine, 35 (7), pp.
1323–1343.
Strand, M., Sjöstrand, M., dan Lindblad, A., 2020. A palliative care approach in psychiatry:
clinical implications. BMC Medical Ethics, 21 (1), pp. 1–8.

22

Anda mungkin juga menyukai