Anda di halaman 1dari 23

GANGGUAN MENTAL DAN

PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN


OPIOIDA
Paper ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti
kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
atau Psikiatri RSU dr. Pirngadi Medan.

DI SUSUN OLEH :
Safira Mustakilla
NPM : 71220891110
PEMBIMBING
dr. Ritha Mariati Sembiring, M. Ked (KJ). Sp.KJ

SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN
2022

1
LEMBAR VERIFIKASI

Dibacakan tanggal :
Nilai :

Dokter pembimbing

(dr. Ritha Mariati Sembiring, M. Ked (KJ). Sp.KJ)

i
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di bagian SMF
Psikiatri Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan dengan judul“Gangguan
Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Opioida”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada dr. Ritha Mariati Sembiring, M.Ked (KJ). Sp.KJ, yang telah
memberikan bimbingan dan arahannya selama mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di bagian SMF Psikiatri Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan dalam
membantu menyusun makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini memiliki banyak
kekurangan baik dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan menambah
pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu
kedokteran dalam praktek di masyarakat.

Medan, Desember 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................... i

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1

1.2 Tujuan......................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3

2.1 Definisi........................................................................................................ 3

2.2 Epidemiologi............................................................................................... 3

2.3 Reseptor Opioid.......................................................................................... 3

2.4 Mekanisme Terjadinya Nyeri..................................................................... 6

2.5 Macam-Macam Opioid............................................................................. 14

2.6 Efek Opioid............................................................................................... 19

2.7 Faktor Risiko Penggunaan Opioid............................................................ 20


2.8 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Opioid.................... 21
2.8.1 Intoksikasi Opioid ........................................................................ 21
2.8.2 Keadaan Putus Zat (withdrawal) Opioid ...................................... 23
2.8.3 Sindrom ketergantungan (Dependence Syndrome) ..................... 25
2.8.4 Gangguan Psikotik (Psychotic Disorder) ..................................... 26
2.8.5 Sindrom Amnesik (Amnesic Syndrome) ..................................... 27
2.8.6 Opioid Menginduksi Gangguan Depresi ..................................... 28

iii
2.8.7 Opioid Menginduksi Gangguan Axietas ...................................... 29
2.8.8 Opioid Menginduksi Bunuh Diri ................................................. 30
2.9 Pemeriksaan Laboratorium..................................................................... 32
2.10 Tatalaksana............................................................................................. 33
2.10.1 Tatalaksana Pada Putus Zat Opioid............................................. 34
2.10.2 Tatalaksana Pada Ketergantungan Opioid.................................. 35

BAB III PENUTUP....................................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 36

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gangguan mental adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang
karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang
kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri. Gangguan mental adalah
gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan (volition),emosi (affective),
tindakan (psychomotor). Gangguan mental menurut Depkes RI (2000) adalah
suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada
fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan
dalam melaksanakan peran sosial.1
Ada sekitar 20,5 juta jiwa mulai dari umur 12 ke atas yang menggunakan
opioid pada tahun 2015 dan ditemukan sekitar 72.000 orang Amerika yang
meninggal karena overdosis opioid pada tahun 2017 yang meningkat sebanyak 2
kali lipat selama 10 tahun terakhir.2 Sedangkan di Indonesia sendiri terdapat
sekitar 148.000- 195.000 orang di Indonesia yang menggunakan opioid.3
Pada orang-orang dengan gangguan penggunaan opioid biasanya akan terus
berjalan sampai beberapa tahun dan walaupun ada sedikit periode dimana
seseorang tidak menggunakan zat tersebut. Pada orang-orang yang sudah
diberikan penanganan juga kondisi relapse cukup sering terjadi sehingga
gangguan penggunaan opioid sendiri sebenarnya adalah suatu hal yang cukup sulit
untuk ditangani.4
1.2. Tujuan
Paper ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk mengikuti
kepanitraan klinik senior di Departemen Psikiatri. Paper ini diharapkan dapat
menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai gangguan mental dan
perilaku akibat penggunaan opioida sehingga dapat lebih mengetahui tentang
gangguan ini serta mendiagnosisnya. Pemahaman yang lebih baik tentang

1
gangguan mental ini diharapkan dapat memudahkan dalam diagnosis sehingga
jika diketahui lebih dini, pasien dapat memiliki prognosis yang lebih baik,
sehingga mencegah terjadi kesalahan pengobatan dan mencegah gangguan ini
terjadi berlarut-larut.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.
2.1 Definisi
Opioid adalah salah satu jenis obat yang digunakan untuk mengurangi rasa
nyeri dan memberikan efek yang menyenangkan. Opioid bekerja dengan cara
berinteraksi dengan reseptor opioid yang berada di sel saraf di tubuh dan otak.5,6
Opioid digunakan untuk mengatasi nyeri akut sedang sampai berat terutama
pada bagian viseral seperti penyembuhan luka atau post operasi, penanganan
kanker aktif, palliative care, dan lain-lain. Namun selain mengurangi rasa nyeri,
opioid juga bisa menyebabkan rasa mengantuk, kebingungan mental, euphoria,
mual, konstipasi, dan pada dosis tinggi juga bisa menyebabkan depresi napas dan
hipotensi. Selain itu penggunaan yang berulang juga bisa menyebabkan
ketergantungan dan toleransi sehingga pemakaian opioid harus selalu diawasi.2
2.2 Epidemiologi
Gangguan penggunaan opioid paling sering muncul pertama kali pada usia
remaja akhir atau akhir 20-an.4 Pada tahun 2015 terdapat 20,5 juta jiwa umur 12
keatas yang mengalami gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat.1
Sedangkan pada tahun 2017 terdapat lebih dari 72 ribu orang Amerika yang
meninggal karena overdosis obat, hal ini meningkat sebanyak 2 kali lipat selama
10 tahun.2
Dari penelitian lain ditemukan bahwa perempuan lebih cenderung
mengalami rasa sakit yang kronik sehingga mereka lebih banyak diresepkan obat
pereda nyeri dengan dosis yang lebih tinggi dan mereka menggunakannya dalam
jangka waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini
menyebabkan perempuan lebih cenderung untuk mengalami ketergantungan
terhadap obat-obat pereda nyeri dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini bisa dilihat
dari data pada tahun 1999 sampai 2010 ditemukan ada 48.000 perempuan yang

3
overdosis obat pereda nyeri.1 Selain itu menurut penelitian di Croatia menyatakan
bahwa intensitas nyeri pascaoperasi lebih banyak dilaporkan oleh perempuan
karena mereka lebih sensitif dan memiliki toleransi yang lebih rendah terhadap
rasa nyeri.7
2.3 Reseptor Opioida
Ada 3 jenis reseptor opioid yaitu reseptor µ (mu), reseptor δ (delta), dan
reseptor κ (kappa). Ikatan opioid pada reseptor reseptor µ menghasilkan efek
analgesi spinal dan supraspinal, sedasi, inhibisi respirasi, penurunan waktu transit
gastrointestinal, dan modulasi pelepasan neurotransmiter dan hormon. Opioid
alami di dalam tubuh yang memiliki afinitas paling tinggi terhadap reseptor µ
adalah endorfin kemudian diikuti enkefalin, dan afinitas paling rendah dimiliki
oleh dinorfin.8,9
Ikatan opioid pada reseptor δ menghasilkan efek analgesi spinal dan
supraspinal, modulasi pelepasan hormon dan neurotransmiter. Opioid alami dalam
tubuh yang memiliki afinitas paling tinggi adalah enkefalin diikuti dengan
endorfin dan dinorfin. Ikatan opioid pada reseptor κ akan menghasilkan efek
analgesia spinal dan supraspinal, efek psikotomimetik, dan penurunan waktu
transit gastrointestinal. Opioid alami dalam tubuh yang memiliki afinitas paling
tinggi terhadap reseptor ini adalah dinorfin kemudian diikuti oleh endorfin dan
enkefalin.8,9
2.4 Mekanisme Terjadinya Nyeri
Otak dan sistem saraf terdiri dari sel yang disebut neuron. Masing-masing
neuron terdiri dari badan sel, akson, dan akson terminal. Pada akson terminal
terdapat pre-synaptic, synaptic cleft, dan post-synaptic. Masuknya ion kalsium
menyebabkan pelepasan neurotransmiter ke dalam pre-synaptic, dimana
neurotransmiter tersebut akan menyeberang ke post-synaptic dan berikatan
dengan reseptor yang ada di post-synaptic neuron. Hal ini akan menginisiasi
secondary neuron yang akan menyebarkan sinyal rasa nyeri ke otak.10
2.5 Macam-Macam Opioid
Opioid memiliki beberapa macam jenis, antara lain:11,12
A. Morfin

4
etergantungan morfin sangat sering terjadi karena hanya dengan sedikit
pemakaian bisa menyebabkan munculnya ketergantungan, hal ini bisa
ditandai dengan adanya toleransi. Morfin bekerja langsung di dalam sistem
saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit.13
B. Kodein
Kodein sering kali ditemukan di obat batuk sirup, namun kodein juga
merupakan opioid untuk mengatasi nyeri dari yang ringan sampai sedang.
Kodein sudah dibuktikan bisa digunakan untuk menangani masalah diare
terutama yang berhubungan dengan irritable bowel syndrome karena zat ini
akan dipecahkan di liver dan kembali menjadi morfin sehingga ketika zat ini
dipecahkan, zat ini akan mempengaruhi pusat penghargaan yang ada di otak
yang menghasilkan perasaan menyenangkan dan sejahtera.13
C. Heroim
Efek yang dihasilkan oleh heroin mirip seperti yang dihasilkan oleh morfin.
Heroin memiliki sifat yang mudah larut dalam lemak dan bereaksi lebih
cepat daripada morfin sehingga cepat menghasilkan efek euforia, hal ini
menyebabkan heroin populer di kalangan penyalahguna. Heroin juga tidak
diperkenankan untuk penggunaan klinis karena memiliki potensi untuk
terjadi ketergantungan yang cukup tinggi. Heroin bisa digunakan dengan
cara dihirup, disuntik, dan dikonsumsi. Pengguna akan merasakan
perubahan dalam waktu 7-8 detik bila disuntikkan lewat IV, dan 5-8 menit
bila disuntikkan lewat IM.13,16
D. Fentanil
Fentanil bisa digunakan untuk mengatasi nyeri sedang hingga berat. Zat ini
bisa digunakan untuk penanganan jangka panjang, hal ini diduga menjadi
salah satu faktor resiko mengapa fentanil menjadi salah satu zat yang paling
adiktif.13
E. Tramadol
Tramadol memiliki efek agonis lemah terahadap reseptor µ. Tramadol juga
menghambat pengambilan kembali serotonin dan norepinefrin sehingga hal
ini membedakan tramadol dengan opioid lainnya. Tramadol sering

5
digunakan untuk menangani nyeri neuropatik. Efek mereka hanya dilawan
secara parsial oleh nalokson. Apabila tramadol diberikan dengan obat
golongan MAOI, maka sindrom serotonin dapat muncul. Pemberian
tramadol dan tapentadol berhubungan dengan peningkatan risiko kejang dan
dikontraindikasikan pada pasien dengan epilepsi.15
2.6 Efek Opioid
Efek opioid akan berbeda-beda pada setiap orang dan tidak ada level
penggunaan yang aman, walaupun hanya menggunakan sedikit opioid namun hal
ini tetap berbahaya bagi seseorang. Efek yang timbul pada masing-masing orang
bisa dilihat dari berat badan, tinggi badan, kesehatan orang tersebut. Selain itu
bisa juga dilihat dari obat-obatan lain yang digunakan bersamaan dengan
penggunaan opioid, jumlah opioid yang dikonsumsi, kekuatan dari jenis opioid
yang digunakan, seberapa sering seseorang menggunakan opioid tersebut.16
Pada orang-orang yang menggunakan opioid pada umumnya akan
merasakan efek seperti relaksasi, mengantuk, menjadi lebih ceroboh,
kebingungan, melantur, pernapasan dan detak jantung yang melambat. Selain itu
penggunaan opioid juga akan menyebabkan mulut dan hidung yang kering, hal ini
dikarenakan penggunaan opioid akan menyebabkan sekresi yang dihasilkan oleh
membran mukosa jadi semakin sedikit. Pada pengguna opioid dengan cara injeksi
maka akan ditemukan bekas luka suntikan pada lengan bagian bawah dan sering
kali disertai dengan pengerasan pada vena, dimana hal ini bisa menyebabkan
edema periferal dan membuat pengguna beralih menyuntikkan opioid tersebut
lewat vena-vena lain seperti vena pada tungkai bawah, leher, ataupun
selangkangan, hal ini membuat bisa ditemukannya luka-luka suntikan pada bagian
lain.4,16,17
Jika menggunakan opioid jangka panjang maka akan terjadi efek seperti
meningkatkan toleransi terhadap zat opioid, hal ini bisa dilihat dari kemampuan
seseorang untuk beradaptasi terhadap jumlah dosis yang digunakan, maksud dari
pernyataan di atas adalah seseorang bisa menggunakan opioid dan baru muncul
efek dari opioid tersebut setelah mencapai dosis yang harusnya bisa menyebabkan
overdosis pada orang-orang yang belum pernah atau baru menggunakan opioid.

6
Selain itu penggunaan opioid jangka panjang juga bisa menyebabkan disfungsi
ereksi pada pria. Pada orang-orang yang menggunakan opioid dengan cara dihirup
akan menyebabkan munculnya iritasi pada mukosa hidung dan kadang disertai
dengan perforasi septum hidung. Selain itu penggunaan jangka panjang juga akan
meningkatnya risiko terjadinya HIV karena penggunaan jarum suntik yang tidak
steril.4,16
2.7 Faktor Risiko Penggunaan Opioid
Ada beberapa faktor risiko yang bisa berkaitan dengan penggunaan opioid
antara lain lingkungan individu, keluarga, teman sebaya, dan sosial. Di luar dari
lingkungan seseorang, genetik juga berperan penting baik langsung maupun tidak
langsung. Sebagai contohnya, bila seseorang memiliki kepribadian yang selalu
ingin mencoba hal yang baru atau ingin mencari sesuatu yang bisa membuat
dirinya merasa senang maka orang-orang tersebut memiliki probabilitas untuk
menjadi salah satu pengguna opioid.4

2.8 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Opioid


Beberapa gangguan mental dan gangguan fisik lainnya bisa disebabkan oleh
penggunaan opioid. Beberapa contoh gangguan mental yang sering terjadi adalah
depresi berat, gangguan kecemasan, gangguan psikotik, dan gangguan paranoid.
Namun dari semua gangguan mental tersebut, gangguan depresi berat dan
gangguan kecemasan adalah salah satu yang paling sering terjadi. Selain itu juga
penggunaan opioid bisa menyebabkan munculnya keinginan untuk bunuh diri.
Dari penelitian sebelumnya ditemukan bahwa orang-orang yang menggunakan
opioid memiliki risiko bunuh diri sebanyak 20 kali lipat dibandingkan dengan
orang-orang yang tidak menggunakan zat tersebut.18
2.8.1 Intoksikasi Opioid
Bila opioid dikonsumsi dalam dosis besar akan menyebabkan intoksikasi
opioid yang akan menyebabkan munculnya gejala seperti gangguan memori
atau perhatian, mual, berkurangnya hasrat seksual, delirium, euforia, sedasi
atau kantuk yang bisa berkembang menjadi koma, depresi pernapasan,
disartria, dan gangguan persepsi, suhu badan rendah, kulit terasa dingin.

7
Intoksikasi akan mengancam nyawa karena terjadi depresi pernapasan.
Pasien juga akan mengalami gejala konstipasi yang disebabkan karena
penurunan bising usus dan saluran pencernaan. Pasien juga akan mengalami
gangguan pengelihatan karena efek dari pinpoint pupil, namun bila sudah
terjadi overdosis yang parah maka akan menimbulkan dilatasi pupil.4,16,19,20
2.8.2 Keadaan Putus Zat (withdrawal) Opioid19,21,22
Gejala withdrawal opioid akan muncul setelah penghentian penggunaan
opioid. Bila opioid dikonsumsi lewat penggunaan oral maka gejala tersebut
akan timbul dalam 1 sampai 2 hari setelah penghentian penggunaan, namun
bila opioid digunakan dengan cara penyuntikan intravena maka gejala
withdrawal akan muncul dalam waktu beberapa jam. Gejala yang muncul
akan bermacam-macam, seperti kecemasan, mudah marah, insomnia,
mialgia atau kram otot, sakit kepala, mual dan muntah, diare, kram perut,
merinding, dilatasi pupil, lakrimasi, rhinorrhea, menguap, demam. Gejala-
gejala ini akan menyebabkan kesulitan dalam kegiatan sosial, pekerjaan dan
lain-lain sehingga menyebabkan gangguan mental lainnya. Gejala
withdrawal opioid akan hilang dalam 18-24 jam setelah pemberhentian
dosis pertama pada orang yang menggunakan short-acting opioid.
2.8.3 Sindrom ketergantungan (Dependence Syndrome)
Ketika seseorang sudah memiliki keinginan yang sangat kuat atau sering
juga disebut sebagai dorongan impulsif untuk menggunakan opioid terus
menerus untuk memperoleh efek dari opioid tersebut maka hal ini sudah
masuk ke sindrom ketergantungan sehingga menyebabkan seseorang untuk
kesulitan mengontrol perilaku dalam penggunaan zat tersebut. Penghentian
atau pengurangan penggunaan opioid akan menyebabkan timbulnya gejala
putus zat atau sering disebut juga withdrawal yang membuat orang tersebut
merasa tidak nyaman sehingga menyebabkan orang tersebut ingin terus
menggunakan opioid untuk menghindari gejala putus zat. Sudah terjadi
toleransi sehingga orang tersebut harus meningkatkan dosis yang
digunakannya untuk memperoleh efek yang sama. Dan walaupun pengguna

8
opioid mengetahui dampak buruk dari opioid terhadap tubuh mereka,
mereka akan tetap menggunakan opioid tersebut.19
2.8.4 Gangguan Psikotik (Psychotic Disorder)
Penggunaan opioid bisa menyebabkan munculnya gejala-gejala psikotik
seperti halusinasi, kesalahan indektifikasi, waham yang sifatnya kecurigaan
atau merasa dikejar-kejar, gangguan psikomotor seperti semangat yang
berlebihan atau stupor, serta bisa juga disertai dengan perasaan sangat
ketakutan atau rasa senang yang berlebihan.19
2.8.5 Sindrom Amnesik (Amnesic Syndrome)
Sindrom amnesik ditandai dengan adanya gangguan daya ingat jangka
pendek yang menonjol yang terkadang disertai dengan gangguan daya ingat
jangka panjang namun gangguan daya ingat segera masih dalam batas
normal. Orang dengan sindrom amnesik akan merasa kesulitan untuk
menyusun kembali urutan kronologis karena memiliki gangguan sensasi
waktu walaupun kesadarannya tidak terganggu. Perubahan kepribadian
menjadi apatis dan kehilangan inisiatif serta lebih sering untuk mengabaikan
keadaan juga sering terjadi.19
2.8.6 Opioid Menginduksi Gangguan Depresi4,23
Opioid akan menyebabkan gejala seperti putus asa, rasa bersalah yang
sering kali berhubungan dengan depresi. Peneliti berpikir bahwa terjadi
perubahan pada level hormon, serta sistem reward dan kesenangan di otak
pengguna opioid sehingga hal ini akan menimbulkan gejala depresi yang
semakin lama akan semakin parah sehingga menyebabkan seseorang
memiliki gangguan depresi.
Gangguan depresi akibat penggunaan opioid harus menyebabkan gejala
klinis yang signifikan serta gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan dan
lain-lain. Gejala klinis pada gangguan depresi adalah memiliki minimal 2
gejala utama dan minimal 2 gejala lainnya. Gejala utama yang dimaksud
adalah afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya
energi yang menuju meningkatnya keadaan mudal lelah dan menurunnya
akvitias. Sedangkan gejala lainnya adalah konsentrasi dan perhatian

9
berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa
bersalah dan tidak berguna, pemandangan masa depan yang suram dan
pesimistik, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri,
tidur yang terganggu, dan nafsu makan menurun.
2.8.7 Opioid Menginduksi Gangguan Axietas
Gangguan anxietas juga bisa diinduksi oleh penggunaan opioid. Hal ini
merupakan salah satu efek dari opioid karena salah satu gejala yang
dihasilkan dari withdrawal opioid adalah gejala cemas atau disebut juga
ansietas, sehingga pada beberapa orang hal ini akan menyebabkan gangguan
mental bila tidak diatasi dengan baik. Gejala klinis pada gangguan ansietas
contohnya seperti merasa cemas karena khawatir akan ada hal buruk yang
terjadi atau merasa berada di ujung tanduk. Selain itu juga ada gejala
ketegangan motorik seperti sakit kepala, gelisah, dan gemetar. Gejala
lainnya yang bisa timbul adalah overaktivitas otonomik contohnya kepala
terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, kepala terasa pusing, dan
mulut kering.23,24
2.8.8 Opioid Menginduksi Bunuh Diri
Risiko bunuh diri meningkat pada orang-orang yang menggunakan opioid
sebanyak 20 kali lipat dibandingkan dengan orang-orang yang tidak
menggunakan zat tersebut. Beberapa faktor yang bisa menyebabkan bunuh
diri pada orang-orang yang menggunakan opioid adalah depresi berat dan
gangguan kecemasan atau dalam keadaan intoksikasi.18
2.9 Pemeriksaan Laboratorium
Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang bisa digunakan untuk
menunjang diagnosis penggunaan opioid seperti pemeriksaan urin. Pada
pemeriksaan urin dipstick bisa ditemukan positif jika menggunakan heroin,
morfin, kodein, oksikodon, maupun propoksifen. Zat-zat ini bisa dideteksi dalam
12-36 jam setelah penggunaan. Namun pada penggunaan seperti metadon,
buprenorfin, dan LAAM (L-alpha-acetylmethadol) pemeriksaan urin yang
ditemukan akan negatif karena ketiga zat ini harus diuji secara spesifik baru akan

10
menunjukkan hasil yang bermakna. Ketiga zat ini bisa menunjukkan hasil positif
sampai lebih dari satu minggu.4
Selain pemeriksaan urin, untuk mendeteksi seseorang menggunakan opioid
juga bisa dilakukan pemeriksaan hepatitis karena 80-90% orang-orang yang
menggunakan injeksi opioid akan menderita hepatitis sehingga ada baiknya untuk
melakukan pemeriksaan antigen hepatitis untuk mengecek hepatitis aktif, antibodi
hepatitis untuk meriksa infeksi hepatitis yang sudah lewat dan tes fungsi liver.
Fungsi liver akan meningkat pada orang-orang yang menderita hepatitis ataupun
cedera liver karena kontaminasi dengan injeksi opioid.4
Tes laboratorium lainnya yang bisa dilakukan kepada orang-orang yang
menggunakan opioid dengan cara injeksi adalah tes HIV/AIDS. Para pengguna
opioid terutama dengan jenis heroin di Amerika Serikat ada sekitar 60% yang
terbukti mengalami HIV/AIDS.4 Tes laboratorium yang bisa dilakukan untuk
pengecekan HIV/AIDS antara lain adalah tes antibodi ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay), PCR (polymerase chain reaction) untuk mendeteksi DNA
atau RNA HIV dalam darah dimana tes ini bisa digunakan bila tes antibody
meragukan, dan yang terakhir adalah tes antibodi-antigen yang dikenal dengan
p24. P24 dapat terdeteksi 2-6 minggu setelah terinfeksi, tes ini bisa dilakukan
sebelum antibody HIV terdeteksi. 25
2.10 Tatalaksana
2.11.1 Tatalaksana Pada Putus Zat Opioid
Pada keadaan putus zat opioid atau sering juga disebut sebagai withdrawal
state terdapat 3 tatalaksana yang berbeda yaitu tatalaksana non medis,
tatalaksana simptomatik, dan detoksifikasi metadon. Pada tatalaksana non
medis bisa dilakukan pembatasan akses ke zat opioid sampai tidak ada
gejala withdrawal. Pada tatalaksana simptomatik akan diberikan clonodin
(contoh: catapres) untuk mengurangi gejala-gejala autonomic withdrawal
contohnya seperti takikardia, serta bisa diberikan loperamide sebagai obat
untuk gejala diare yang disebabkan oleh efek withdrawal dari opioid.
Detoksifikasi metadon bisa diberikan dengan dosis 5-20 miligram 3 kali
sehari tergantung dari dosis opioid yang digunakan. Setelah pasien stabil

11
maka dosis metadon dikurangi sebanyak 5 miligram perhari atau dikurangi
10 miligram perhari sampai tercapai 10 miligram dosis metadon setelah itu
baru dikurangi 2 miligram perharinya. Jika gejala withdrawal tidak dapat
ditekan dalam waktu 1 jam bisa diberikan lebih banyak, namun pada
umumnya pemberian dosis awal metadon tidak boleh melebihi 30
miligram dan total dalam 24 jam tidak melebihi 40 miligram karena 40
miligram metadon akan menjadi dosis yang fatal pada orang-orang yang
nontolerant. Selain itu pemberian metadon dengan dosis yang sama seperti
dosis pertama kali diberikan juga akan berbahaya pada orang-orang yang
nontolerant bila dilanjutkan selama 2 hari karena akan terjadi peningkatan
metadon dalam darah.21
2.11.2 Tatalaksana Pada Ketergantungan Opioid
Banyak penelitian yang mengatakan bahwa gangguan mental bisa menjadi
salah satu faktor yang mendukung alasan penggunaan opioid.31 Sehingga
langkah utama untuk menghentikan ketergantungan opioid adalah dengan
mengobati penyebabnya yaitu dengan mengobati gangguan mental yang
menyertakan penggunaan opioid tersebut. Setelah itu menerapkan 12
langkah model pemulihan yang ditulis oleh alcoholic anonymous dalam
kehidupan sehari-hari pengguna. 12 model pemulihan memiliki arti dari
masing-masing stepnya.26
Pada step pertama ditekankan tentang 2 kata yaitu powerless yang artinya
mengakui bahwa pengguna tidak memiliki kontrol untuk melawan alkohol
yang dalam kondisi ini artinya untuk melawan opioid dan unmanageable
yang artinya mengakui bahwa menggunakan opioid membuat efek negatif
dalam hidup penggunanya. Pada step kedua menekankan tentang hope atau
harapan. Pada step ini ingin disampaikan bahwa disamping kebiasaan
pengguna untuk menggunakan opioid, kesembuhan itu adalah sesuatu hal
yang mungkin terjadi. Pada step ketiga berbicara tentang action atau
tindakan. Pada step ini pengguna diminta untuk mencari pertolongan atau
mengekspresikan rasa terima kasih mereka, untuk menekan rasa egois
mereka. Pada kalimat God as we understood Him maksudnya adalah

12
proses kesembuhan, support system. Pada step keempat menekankan
eliminasi kemungkinan untuk penolakan dengan 3 hal yaitu jujur dan
berani dengan cara mengakui kesalahan, mencari dengan cara pikirkan dan
tulis semua pikiran, kata-kata dan perbuatan pengguna, dan yang terakhir
moral yaitu ketika memikirkan semua hal itu pengguna juga harus
memikirkan apa yang benar terhadap keinginan egois mereka sendiri. Inti
dari step keempat adalah ketika seseorang mengetahui kekuatan dan
kelemahan mereka maka mereka akan bisa membuat pilihan yang lebih
baik. Pada step kelima membahas tentang mencari bantuan dengan cara
berbicara kepada orang lain untuk membantu mengatasi perasaan bersalah
atau malu yang dialami pengguna. Pada step keenam ditekankan untuk
melepaskan kebiasaan dan sifat buruk pengguna, menjadi lebih baik dan
belajar untuk memiliki kebiasaan yang lebih baik maka dunia di sekitar
pengguna juga akan berubah jadi lebih baik. Pada step ketujuh adalah
kesempatan dimana seseorang bisa melihat dirinya sebagaimana mestinya,
semua hal buruk dan baik. Ada 3 alasan kenapa rasa malu penting pada
step ini yaitu karena rasa malu membuat pengguna menyadari seberapa
parahnya dia sudah rusak, untuk membantu mereka mengetahui batasan
mereka, dan untuk membantu mereka sadar ada kekuatan yang lebih tinggi
yang membantu mereka untuk mengubah hidupnya. Pada step kedelapan
dilakukan untuk membantu mereka sadar seberapa besar kerusakan yang
sudah mereka tinggalkan ketika mereka sangat adiktif terhadap opioid.
Mereka juga harus mengetahui apa yang sudah mereka buat sampai
menyakiti orang lain untuk melanjutkan kedepannya. Pada step
kesembilan ditekankan untuk membuat catatan tentang nama-nama yang
harus ditindaklanjuti dengan minta maaf yang tulus, mencoba
memperbaiki kesalahan dan meminta maaf namun hal ini bukan berarti
harus dimaafkan. Pada step kesepuluh ditekankan untuk tetap bertumbuh
dan tetap berjalan di jalan yang benar supaya tidak jatuh ke lubang yang
sama lagi. Pada step kesebelas lebih menekankan tentang step spiritual,
tetap berdoa dan meditasi. Pada step ini membahas tentang lebih

13
mendekatkan diri kepada Tuhan. Pada step kedua belas ditekankan untuk
menyebarkan 12 model pemulihan kepada sesama pengguna untuk
membantu orang-orang yang mencoba keluar dari masalah yang sama.26
elain tatalaksana non medis bisa juga dilakukan tatalaksana medis yaitu
dengan pemberian naltrexone 50 miligram peroral sebanyak 4 kali sehari
untuk menghalangi reward effect dari opioid, selain itu juga bisa diberikan
metadon 60- 100 miligram peroral 4 kali sehari untuk mengurangi hasrat
ingin menggunakan opioid dan mengurangi konsekuensi psikososial dan
komorbiditas medis akibat opioid. Bisa juga diberikan LAAM (Levo-
Alpha-Acetylmethadol) yang bekerja sebagai agonis opiate jangka panjang
yang bisa bertahan sekitar 92 jam di dalam tubuh seseorang. LAAM
bekerja mirip dengan metadon namun bisa diberikan dosis setiap 2-3 hari
sekali.21,27

14
BAB III
PENUTUP

3
3.1 Kesimpulan
Opioid adalah salah satu jenis obat pereda nyeri yang didapatkan dari
tumbuhan Papaver somniferum atau disebut juga opium poppy dan sintetik yang
digunakan dengan cara dihirup atau ditusukkan ke kulit.
Cara kerja opioid adalah dengan berikatan dengan reseptor opioid dan
menghasilkan dopamin yang akan bekerja di thalamus, batang otak, dan spinal
cord untuk mengurangi rasa nyeri dan juga di reward pathway yang menyebabkan
efek menyenangkan dan menimbulkan ketergantungan.
Penggunaan opioid ini akan menimbulkan gangguan mental dan perilaku
seperti intoksikasi opioid, keadaan putus zat opioid, penggunaan yang merugikan,
sindrom ketergantungan, gangguan psikotik, sindrom amnesik, opioid
menginduksi gangguan depresi. Selain itu opioid juga bisa menyebabkan
timbulnya toleransi yaitu keadaan dimana efektivitas obat menurun sehingga tidak
menghasilkan efek yang sama seperti saat awal digunakan maka harus dilakukan
peningkatan dosis.
Penatalaksaanaan gangguan penggunaan opioid sendiri terbagi menjadi tiga
yaitu tatalaksana pada intoksikasi opioid, putus zat opioid, dan ketergantungan
opioid.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman


penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III. Jakarta:
Departemen Kesehatan; 2015. Available from :
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.02_.02-
MENKES-73-
2015_ttg_Pedoman_Nasional_Pelayanan_Kedokteran_Jiwa_.pdf.
2. Saxon A. Opioid Use Disorder [Internet]. American Psychiatric
Association; 2018 [cited 2020 May 5]. Available from:
https://www.psychiatry.org/patients-families/addiction/opioid-usedisorder/
opioid-use-disorder
3. Arijanto I. HUBUNGAN ANTARA STATUS KETERGANTUNGAN
OPIOID DAN MASALAH PSIKIATRIK PADA PENGGUNA OPIOID
INTRAVENA. Sosiohumaniora. 2007;9(2):136–44.
4. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of
mental disorders: DSM-5. Arlington, VA: American Psychiatric
Association; 2017.
5. Opioid Addiction 2016 Facts & Figures . Rockville: American Society of
Addiction Medicine; 2016.
(https://www.asam.org/docs/defaultsource/advocacy/opioid-addiction-
disease-facts-figures).
6. CDC. Opioid Basics [Internet]. Centers for Disease Control and Prevention.
Centers for Disease Control and Prevention; 2020 [cited 2020 May 5].
Available from: https://www.cdc.gov/drugoverdose/opioids/index.html
7. Prabandari DA, Indriasari I, Maskoen TT. Efektivitas Analgesik 24 Jam
Pascaoperasi Elektif di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2017.
Jurnal Anestesi Perioperatif. 2018;6(2):98–104.
8. Eskasasnanda I. FENOMENA KECANDUAN NARKOTIKA. SEJARAH
DAN BUDAYA [Internet]. 2014 [cited 5 May 2020];8(1). Available from:

16
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2
&ved=2ahUKEwi3_5PN3Z3pAhXEXCsKHXsYCscQFjABegQIBBAB&
url=http%3A%2F%2Fjournal.um.ac.id%2Findex.php%2Fsejarah-
danbudaya%2Farticle%2Fdownload
%2F4755%2F2237&usg=AOvVaw0BM UCFC9UeiXHggEKDwOCh
9. Pleuvry B. Opioid Receptors And Their Ligands: Natural And Unnatural.
British Journal of Anaesthesia. 1991;66(3):370–80.
10. Yam M, Loh Y, Tan C, Adam SK, Manan NA, Basir R. General Pathways
of Pain Sensation and the Major Neurotransmitters Involved in Pain
Regulation. International Journal of Molecular Sciences. 2018;19(8):2164
11. Hardey S, Thomas S, Stein S, Kelley R, Ackermann K. Opioid Abuse:
Opiates vs. Opioids: What are Opiates? [Internet]. American Addiction
Centers. 2020 [cited 2022 Des 3]. Available from:
https://americanaddictioncenters.org/opiates
12. Butanis B. What Are Opioids? [Internet]. What Are Opioids? 2018 [cited
2022 Des 3]. Available from:
https://www.hopkinsmedicine.org/opioids/what-are-opioids.html
13. Hardey S, Thomas S, Stein S, Kelley R, Ackermann K. Heroin Addiction
Treatment: Issues of Abuse & Recovery Needs [Internet]. American
Addiction Centers. 2020 [cited 2022Des3]. Available from:
https://americanaddictioncenters.org/heroin-treatment
14. Foster B, Twycross R, Mihalyo M, Wilcock A. Buprenorphine. Journal of
Pain and Symptom Management. 2013;45(5):939–49
15. Young JWS, Juurlink DN. Tramadol. Canadian Medical Association
Journal. 2013;185(8).
16. Alcohol and Drugs Foundations. Opioids [Internet]. Opioids - Alcohol and
Drug Foundation. 2020 [cited 2022 Des 3]. Available from:
https://adf.org.au/drug-facts/opioids
17. Kosten T, George T. The Neurobiology of Opioid Dependence: Implications
for Treatment. Science & Practice Perspectives. 2002;1(1):13– 20.

17
18. Arijanto I. HUBUNGAN ANTARA STATUS KETERGANTUNGAN
OPIOID DAN MASALAH PSIKIATRIK PADA PENGGUNA OPIOID
INTRAVENA. Sosiohumaniora. 2007;9(2):136–44.
19. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
(Psychotropic Medication). 3rd ed. Jakarta: BIKJ FK Unika Atma Jaya;
2002.
20. Fareed A, Stout S, Casarella J, Vayalapalli S, Cox J, Drexler K. Illicit
Opioid Intoxication: Diagnosis and Treatment. Substance Abuse: Research
and Treatment. 2011;5.
21. Kosten TR, Baxter LE. Review article: Effective management of opioid
withdrawal symptoms: A gateway to opioid dependence treatment. The
American Journal on Addictions. 2019;28(2):55–62.
22. Prommer E. Opioid Withdrawal: Creating More Problems. Journal of Pain
and Symptom Management. 2007;33(2):114–5
23. Miller NS, Oberbarnscheidt T. DSM-5 Psychiatric Diagnoses and Opioid
Use Disorder. Journal of Addiction Research & Therapy. 2017;08(02).
24. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan
DSM-5. 2nd ed. Jakarta: BIKJ FK-Unika Atma Jaya; 2013.
25. Fearon M. The Laboratory Diagnosis of HIV Infections. Canadian Journal
of Infectious Diseases and Medical Microbiology. 2005;16(1):26-30.
26. Mendola A, Gibson RL. Addiction, 12-Step Programs, and Evidentiary
Standards for Ethically and Clinically Sound Treatment Recommendations:
What Should Clinicians Do? AMA Journal of Ethics. 2016;18(6):646–55.
27. Stotts AL, Dodrill CL, Kosten TR. Opioid dependence treatment: options in
pharmacotherapy. Expert Opinion on Pharmacotherapy. 2009;10(11):1727–
40.

18

Anda mungkin juga menyukai