Anda di halaman 1dari 18

Laporan Kasus

ASPEK MEDIKOLEGAL
TINDAKAN PENGANIAYAAN (AIDIL FITRA NASUTION)

SUPERVISOR

dr. Rahmadsyah, M. Ked (For), Sp. FM

DISUSUN OLEH:

Ika Dinda Suryani Hasibuan


71220891089

SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK MEDIKOLEGAL


RSUD Dr. PIRNGADI
KOTA MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan “Laporan Kasus” ini untuk memenuhi persyaratan
mengikuti Persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik
Medikolegal Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dengan judul “Kasus Penganiayaan”.
Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Rahmadsyah, M. Ked (For), Sp. FM atas segala bimbingan dan arahannya dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Medikolegal Rumah
Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dan dalam pembuatan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangannya, oleh sebab itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna memperbaiki laporan
kasus ini di kemudian hari.
Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan
bagi kita semua serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu kedokteran
dalam praktik di masyarakat.

Medan, Desember 2022

Ika Dinda Suryani Hasibuan


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................2

DAFTAR ISI...................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................4

2.1 Pengertian Penganiayaan.................................................Error: Reference source not found

2.2 Unsur-unsur Penganiayaan.....................................................................................................

2.3 Jenis-jenis Penganiayaan.................................................Error: Reference source not found

Error: Reference source not found BAB III LAPORAN KASUS........Error: Reference source not
found

3.1 Kronologi.........................................................................Error: Reference source not found

3.2 Hasil Pemeriksaan............................................................Error: Reference source not found

BAB IV PEMBAHASAN..........................................................Error: Reference source not found

BAB V PENUTUP.....................................................................Error: Reference source not found

DAFTAR PUSTAKA.................................................................Error: Reference source not found


BAB I

PENDAHULUAN

Trauma atau kecelakaan merupakan hal yang biasa dijumpai dalam kasus forensik. Hasil
dari trauma atau kecelakaan adalah luka, perdarahan dan/atau skar atau hambatan dalam fungsi
organ. Agen penyebab trauma diklasifikasikan dalam beberapa cara, antara lain kekuatan
mekanik, aksi suhu, agen kimia, agen elektromagnet, asfiksia dan trauma emboli. Dalam
prakteknya nanti seringkali terdapat kombinasi trauma yang disebabkan oleh satu jenis
penyebab, sehingga klasifikasi trauma ditentukan oleh alat penyebab dan usaha yang
menyebabkan trauma.2
Luka adalah keadaan hilang atau terputusnya jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan
oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau
gigitan hewan. Didalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang menderita orang yang
menderita luka luka akibat kekerasan  pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapat
memberikan kejelasan kejelasan dari permasalahan dan kewajiban dokter didalam membuat
Visum Et Repertum hanyalah menentukan secara objektif  adanya luka , dan bila ada luka dokter
harus menentukan derajatnya. Berdasarkan derajat luka, luka dibedakan menjadi luka ringan
(luka derajat pertama), yaitu luka yang tidak mengakibatkan  penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan atau jabatan untuk sementara waktu, luka sedang (luka derajat kedua),
yaitu luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan atau
jabatan untuk sementara waktu, dan luka berat yaitu luka yang termasuk dalam pengertian
hukum “luka berat” (pasal 90 KUHP). Berdasarkan pasal 352 disebutkan: (1) kecuali yang
tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencurian, diancam, sebagai penganiayaan
ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu
terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya. (2) percobaan untuk
melakukan kejahatan ini tidak dipidana.3
Pada pasal 133 ayat (1) KUHAP dan pasal 179 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa
penyidik berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
atau bahkan ahli lainnya. Keterangan ahli tersebut adalah Visum et Repertum, dimana di
dalamnya terdapat penjabatan tentang keadaan korban, baik korban luka, keracunan, ataupun
mati yang diduga karena tindak pidana. Bagi dokter yang bekerja di Indonesia perlu mengetahui
ilmu kedokteran Forensik termasuk cara membuat Visum et Repertum. Seorang dokter perlu
menguasai pengetahuan tentang mendeskripsikan luka, tujuannya atau mempermudah tugas-
tugasnya dalam membuat Visum et Repertum yang baik dan benar sehingga dapat digunakan
sebagai alat bukti yang bisa meyakinkan hakim untuk memutuskan suatu tindak pidana. Pada
kenyataannya dalam praktek, dokter sering mengalami kesulitan dalam membuat Visum et
Repertum karena kurangnya pengetahuan tentang luka. Padahal Visum et Repertum harus di buat
sedemikian rupa, yaitu memenuhi persyaratan formal dan material, sehingga dapat dipakai
sebagai alat bukti yang sah di siding pengadilan.1,2,3
Dari sudut medis, luka merupakan kerusakan jaringan (disertai atau tidak disertai
diskontinuitas permukaan kulit). Dari sudut hukum, luka merupakan kelainan yang dapat
disebabkan oleh tindak pidana, baik yang bersifat intensional (sengaja), recklessness
(ceroboh), atau negligence (kurang hati-hati). Selain itu perlu ditetapkan jenis luka yang
terjadi karena dapat digunakan untuk menentukan berat ringannya hukuman. Pada prinsipnya
penentuan derajat luka dilakukan berdasarkan dampak cedera terhadap kesehatan tubuh korban.8
Batasan dalam penentuan derajat luka adalah luka ringan, sedang dan berat.
Berdasarkan pasal 352 ayat 1 KUHP luka ringan adalah luka yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencariannya
sedangkan luka sedang adalah luka yang menimbulkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencariannya, sedangkan luka berat didefinisikan
berdasarkan ketentuan pasal 90 KUHP. alam menyimpulkan derajat luka dokter harus
menggunakan kalimat yang tidak akan menimbulkan kesalahan interpretasi oleh
penyidik/polisi. Dalam menyimpulkan derajat luka, dokter tidak menyatakan bahwa
“luka tersebut merupakan luka derajat” karena formulasi tersebut tidak dikenal oleh
penyidik, jaksa maupun hakim. Sebagai gantinya dokter harus mencantumkan kalimat
atau frase yang sesuai dengan bunyi pasal-pasal yang dilanggar dalam KUHP. 9,10
Salah satu informasi penting yang perlu dicantumkan dalam VeR korban hidup adalah
derajat atau kualifikasi luka. Kesimpulan tentang perlukaan sangat penting karena menjadi
dasar bagi penyidik dalam menetapkan tindak pidana yang terjadi, pasal mana yang
dilanggar serta berapa besar ancaman sanksinya.9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Penganiayaan
Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHAP untuk tindak pidana terhadap tubuh .
namun KUHAP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia arti penganiayaan adalah: “Perlakuan yang sewenang-wenang”. Pengertian yang
dimuat dalam kamus besar bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni
yang termasuk menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Sedangkan penganiayaan yang dimaksud
dalam Hukum Pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian penganiayaan
menurut pendapat sarjana, Doktrin, dan penjelasan Menteri Kehakiman.5
Sedangkan menurut penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351
KUHAP dirumuskan, antara lain:
1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan
kepada orang lain, atau
2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan
orang lain.6
Bertolak dari adanya kelemahan yang cukup mendasar tersebut, dalam perkembangannya
muncul yurisprudensai yang mencoba menyempurnakan Arrest Hooge Raad tanggal 10 Februari
1902, yang secara substansial menyatakan: “jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan
menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka
tidaklah ada penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau
orangtua memukul seorang anak”.4
Menurut Adami Chazawi penganiayaan dapat diartikan sebagai “suatu perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh
orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan sipetindak”.7
2.2 Unsur-unsur Penganiayaan
Berdasarkan pengertian tindak pidana penganiayaan diatas maka rumusan penganiayaan
memuat unsur-unsur sebagai berikut:7
1. Unsur kesengajaan
Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan sebagai
sebagai kesengajaan sebagai maksud. &erbeda dengan tindak pidana lain seperti
pembunuhan, unsur. kesengajaan harus ditafsirkan secara luas yaitu meliputi
kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai
kemungkinan.
Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan
ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa ogmerk), maka seorang baru
dapat dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan, apabila orang itu
mempunyai maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh.
Jadi, dalam hal ini maksud orang itu haruslah ditujukan pada perbuatan dan rasa sakit
atau luka pada tubuh. Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana
penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam
hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai
kesengajaan sebagai kemungkinan.
2. Unsur perbuatan
Yang dimaksud dengan perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti
possitif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari
manusia dengan menggunakan (sebagian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil
apapun perbuatan itu. Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana
penganiayaan juga bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa dalam berbagai
bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris, membacok, dan sebagainya
3. Unsur akibat yang berupa rasa sakit dan luka tubuh
Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai terjadinya atau
timbulnya rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderitaan. Sementara yang
dimaksud dengan luka adalah adanya perubahan dari tubuh, atau terjadinya
perubahan rupa tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaan tubuh sebelum
terjadinya penganiayaan.
2.3 Jenis-jenis Penganiayaan
Penganiayaan adalah tindak pindana yang menyerang kepentingan hukum berupa tubuh
manusia. Didalam KUHP terdapat ketentuan yang mengatur berbagai perbuatan yang menyerang
kepentingan hokum yang berupa tubuh manusia.11
Penentuan berat ringannya luka tersebut dicantumkan dokter dalam bagian
kesimpulan VeR berupa kualifikasi luka. Kualifikasi luka tersebut adalah:11
1. Luka ringan
Luka ringan adalah luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencariannya. Hukuman terhadap
luka ringan ini tercantum pada pasal 352 ayat 1 KUHP yang berbunyi Kecuali
yang tersebut pada pasal 353 dan 356, maka penganiyaan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling
lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.4
2. Luka sedang
Luka sedang adalah luka yang menimbulkan penyakit atau
halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencariannya untuk
sementara waktu. Hukuman dapat dijatuhkan berdasarkan pasal 351 ayat 1
KUHP yang berbunyi penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.4
3. Luka berat
Luka berat adalah sebagaimana tercantum di dalam pasal 90 KUHP
yaitu jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut, tidak mampu terus-menerus
untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian, kehilangan salah
satu panca indera, mendapat cacat berat, menderita sakit lumpuh,
terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih, gugur atau matinya
kandungan seorang perempuan. Hukuman dapat dijatuhkan berdasarkan dalam
KUHP Pasal 351 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 353, Pasal 354, Pasal 355.4
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Kronologi
Yang bertanda tangan di bawah ini, dr. Rahmadsyah, M.Ked(For) Sp.FM dokter pada
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Umum Daerah Dokter
Pirngadi Medan, menerangkan bahwa atas permintaan tertulis dari atas nama Kepala Kepolisian
Resor Kota Besar Medan, Ka. SPKT u.b KANIT I, tertanggal sebelas Desember tahun dua ribu
dua puluh dua, Nomor : B/3034/VER/XII/2022/SPKT Tabes Medan, yang ditanda tangani oleh
W. Sembiring dengan pangkat IPTU, NRP 66110324 maka pada tanggal sebelas Desember
tahun dua ribu dua puluh dua, pukul delapan lewat empat puluh menit Waktu Indonesia Barat,
bertempat di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Pirngadi Medan, telah
dilakukan pemeriksaan terhadap korban yang berdasarkan surat permintaan tersebut diatas
dengan identitas sebagai berikut :
Nama : Aidil Fitra Nasution
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/tgl.lahir : Medan/ 27-11-2003
Umur : 19 tahun
Pekerjaan : Pelajar/Mahasiswa
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Pintu Air IV GG. Keluarga LK VIII RT/RW: 00/00, Medan Johor,
Kota Meedan

3.2 Hasil Pemeriksaan


1. Pemeriksaan Luar
A. Keadaan Umum
Tingkat kesadaran : Sadar penuh (nilai kesadaran lima belas dari lima belas)
Denyut nadi : Denyut nadi normal (enam puluh lima kali per menit)
Pernapasan : Pernapasan normal (dua puluh dua kali per menit)
Tekanan darah : Tekanan darah normal (seratus per delapan puluh milimeter air
raksa)
Identifikasi umum : Telah diperiksa seorang laki-laki, perawakan sedang, warna
kulit sawo matang, rambut lurus berwarna hitam , Warga Negara
Indonesia
B. Kelainan-kelainan Fisik
Kepala : Dijumpai luka lecet kebiruan pada kepala sebelah kanan
belakang dengan panjang nol koma lima centimeter dan
lebar nol kma enam centimeter, dengan jarak empat
centimeter dari garis tengah tubuh dan sepuluh centimeter
dari liang telinga
Dahi : Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan
Mata : Dijumpai luka memar berwarna kebiruan pada kelopak
mata kanan bawah bagian luar dengan panjang satu koma
lima centimeter, lebar tiga koma lima centimeter
Pipi : Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan
Hidung : Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan
Mulut : Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan
Rahang : Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan
Telinga : Dijumpai luka lecet berwarna kemerahan pada daun
telinga luar bagian belakang dengan panjang empat
centimeter, lebar nol koma tiga centimeter
Leher : Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan
Bahu : Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan
Dada : Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan
Perut : Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan
Punggung : Dijumpai beberapa luka lecet berwarna hitam kecoklatan
pada punggung dengan luas daerah panjang dua puluh
tujuh centimeter dan lebar delapan belas centimeter
Pinggang : Dijumpai luka lecet berwarna kemerahan pada pinggang
kiri dengan panjang dua centimeter, lebar nol koma lima
centimeter, dengan jarak tujuh centimeter dari garis tengah
tubuh dan empat belas centimeter dari pinggang kiri
Pinggul : Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan
Genitalia : Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan
Dubur : Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan
Anggota gerak atas : Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan
Anggota gerak bawah : - Dijumpai luka lecet pada lutut kanan bagian luar dengan
panjang dua centimeter dan lebar satu koma lima
centimeter, dengan jarak enam centimeter dari lutut
kanan
- Dijumpai luka lecet pada tungkai bawah kanan bagian
dalam dengan panjang satu centimeter dan lebar satu
koma dua centimeter, dengan jarak sembilan centimeter
dari lipatan siku lutut kanan
BAB IV
PEMBAHASAN
Pemeriksaan korban ini sudah sesuai dengan prosedur medikolegal yaitu dengan adanya
permintaan dari penyidik dalam hal ini permintaan tertulis dari dari a.n. Kepala Kepolisian Resor
Kota Besar Medan, tertanggal sebelas bulan Desember tahun dua ribu dua puluh dua, Nomor:
B/2988/VER/XII/2022/SPKT Tabes Medan yang ditandatangani oleh W. Sembiring selaku Ka
SPKT u.b KANIT I pangkat IPTU, NRP 66110324, maka pada tanggal sebelas bulan Desember
tahun dua ribu dua puluh dua, pukul delapan lewat empat puluh lima menit Waktu Indonesia
Barat telah dilakukan pemeriksaan visum dengan permintaan yang dilakukan secara tertulis yang
sesuai dengan pasal 352 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Berdasarkan pasal KUHP Pasal 351 ayat 2 yang menyatakan “Jika perbuatan
(penganiayaan) mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun”. Pelaku juga dapat dituntut dengan KUHP Pasal 353 ayat 2 yang
meyatakan “Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan
pidana penjara paling lama 7 tahun. Selain pasal tersebut pelaku terjerat KUHP Pasal 354
yang menyatakan “Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun. Serta KUHP Pasal 355
yang menyatakan.” Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu,
diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.11
Istilah VeR berasal dari bahasa Latin, visum berarti “terlihat”, et berarti “dan”, dan
repertum berarti “ditemukan.” Secara sederhana VeR dapat diartikan sebagai “melihat
dan melaporkan.8 Beberapa peneliti mendefinisikan VeR sebagai surat keterangan yang
dibuat oleh dokter setelah memeriksa korban tindak pidana.2,6,7 Keterangan tersebut
dapat dibuat bila ada permintaan tertulis dari kepolisian sesuai dengan KUHAP pasal 120
ayat 1.12
Pada kasus ini, pasien telah melapor pada kepolisian telah mengalami tindakan kekerasan.
Dengan demikian, maka pada pasien dilakukan pemeriksaan yang mana hasil pemeriksaan akan
dimuat dalam suatu keterangan tertulis sebagai bukti bahwa benar telah terjadi tindakan
kekerasan. Keterangan tertulis yang dimaksud adalah Visum et Repertum. Hal ini sudah sesuai
dengan prosedur permintaan Visum et Repertum.
Di dalam KUHAP, istilah VeR tidak ada, yang ada hanyalah istilah alat bukti
kategori surat, yang dibuat dengan sumpah atau janji (sebagaimana yang diucapkan di
pengadilan) atau dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan (yang
diucapkan setelah lulus dokter) sehingga pada hakekatnya juga merupakan keterangan
tertulis. KUHAP turut mengatur produk dokter yang sepadan dengan visum, yaitu:Pada Pasal
1 butir 28 yang menyatakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki
keahlian khusus tentang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.12
Kemudian pada Pasal 186 yang berbunyi keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli
nyatakan di sidang pengadilan dimana dalam penjelasannya menyatakan keterangan ahli
ini dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum
yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia
menerima jabatan atau pekerjaan dan pada Pasal 187 (c) menyatakan surat keterangan dari
seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau
sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Ketiganya termasuk ke dalam
alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP pasal 184 (1): yang berbunyi alat
bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa.12,13
Hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap korban atau pasien sudah memuat hasil
pemeriksaan yang bersifat objektif dan sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan
ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan juga dilakukan dengan baik
secara sistematis dari bagian atas hingga ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal.
Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak secara anatomisnya, koordinatnya jenis luka
atau cedera, karakteristiknya serta ukurannya 13. Dalam pemeriksaan kedokteran forensik, pasien
yang sekaligus dianggap juga sebagai korban harus dilakukan pemeriksaan dengan cermat
sehingga tidak salah dalam menilai dan mengkwalifikasikan derajat luka, serta tidak dipengaruhi
oleh pihak manapun.9
Dilihat sari sisi medis, luka akibat penganiayaan atau tindakan kekerasan mampu
menimbulkan kerusakan jaringan yang dapat disertai atau tidak disertai oleh adanya
diskontinuitas pada permukaan kulit.14 Akibat daripada luka yang ditimbulkan oleh karena
trauma ini dapat berupa kelaianan fisik/organik yaitu hilangnya jaringan atau bagian tubuh, baik
sebagain atau seluruhnya.
Pada kasus ini seorang laki-laki pelajar telah mengalami penganiayaan. Korban sempat
didorong oleh pelaku dan dipukul. Akibat dari kekerasan yang dialami oleh korban, korban
mendapatkan beberapa luka lecet dan luka memar pada beberapa bagian anggota tubuh.
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, bahwa luka lecet dan luka memar yang diderita
korban jelas menggambarkan adanya kekerasan (trauma) dengan benda tumpul.
Dari hasil pemeriksaan, maka luka-luka yang dialami oleh korban termasuk pada luka
derajat ringan. Luka ringan adalah luka yang tidak menimbulkan suatu penyakit atau tidak
mengakibatkan halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencariannya 9. Dalam
kasus ini korban adalah seorang pelajar, dan luka-luka ini tidak mengganggu aktifitas sehari-hari
yang dijalankan. Namun, meski luka pada korban termasuk pada luka derajat ringan sesuai
dengan pasal 352 ayat 1 KUHP, pelaku tidak dituntut dengan menggunakan pasal tersebut hal ini
dikarenakan penganiyaan ringan tersebut dilakukan terhadap seorang ini. Oleh sebab itu,
hukuman pada pelaku tindak kekerasan dalam kasus ini mengacu pada pasal KUHP Pasal 354
tentang penganiayaan.
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan atas surat permintaan visum et repertum, telah dilakukan pemeriksaan
terhadap seorang laki-laki, perawakan sedang, warna sawo matang, rambut lurus warna hitam,
warga negara Indonesia di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan pada
tanggal sebelas bulan Desember tahun dua ribu dua puluh dua. Pasien mengaku mengalami
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami pasien sendiri sehari sekitar pukul 08.40 WIB.
Akibat dari kekerasan yang dialami, pasien mendapatkan luka lecet dan luka memar pada
beberapa bagian tubuh.
Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dijumpai luka lecet pada kepala sebelah
kanan belakang, daun telinga luar bagian belakang, punggung, pinggang, lutut kanan bagian luar,
tungkai bawah bagian dalam dan luka memar pada mata kanan bawah bagian luar akibat trauma
tumpul.
DAFTAR PUSTAKA
1. Atmadja DS. Simposium Tatalaksana Visum et Repertum korban hidup pada kasus
perlukaan & keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Rabu
10 Juli 2004.
2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Dahlan, Sofwan. 2003. Pembuatan Visum et Repertum. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang.
4. RM, Suharto. 2002, Hukum Pidana Materiil Edisi Kedua, Sinar Grafika. Jakarta
5. Soeparmono, R. 2002. Keterangan Ahli dan Visum et Repertum Dalam Aspek Hukum
Acara Pidana, Mandar Maju. Bandung.
6. Soesila, R. 1994. Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta komentar-komentarnya
lengkap pasal demi pasal. Politeia. Bogor.
7. Tjokronegoro, Sutomo, 1952. Beberapa hal tentang ilmu kedokteran kehakiman. Pustaka
Rakyat. NV. Jakarta
8. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2000.
9. Derajat Luka pada Kasus Perlukaan dan Keracunan. posted by Atmadja
DS Fakultas Kedokteran Indonesia [cited 2022 Desember 18]. Available from: URL:
http://www.derajatluka.blogspot.com
10. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa Aksara. Jakarta. 1997.
11. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
12. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
13. Santosa Agung. Rekam Medis dan Rahasia Kedokteran. Tesis. 2007. Semarang:
Universitas Katolik Soegijapranata.
14. Raharja, Hendrawan B, Kekerasan Tajam. 2012. Semarang: Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai